bab iii pembahasan -...

24
38 BAB III PEMBAHASAN Bab ini akan mengupas lebih dalam mengenai pokok permasalahan dan tujuan yang hendak dijawab. Adapun pokok permasalahan yang dimaksud adalah mengenai apakah The 1951 Refugee Convention and 1967 Protocol dapat dikatakan sebagai Law Making Treaty, dan bagaimana hak dan kewajiban internasional Indonesia terhadap pengungsi apabila dikaitkan dengan norma-norma dalam The 1951 Convention Refugee and 1967 Protocol dimana bentuk tanggungjawab masyarakat internasional terhadap status pengungsi internasional dalam hukum nasionalnya. Cara penulis menjawab permasalahan tersebut melalui pendekatan perundang-undangan yaitu dengan menelaah The 1951 Refugee Convention and 1967 Protocol. Khususnya bagi Indonesia yang belum meratfikasi konvensi mengenai status pengungsi. Dengan demikian menjadi pokok permasalahan yang akan diangkat penulis mengenai bagaimana karakter dari konvensi status pengungsi tersebut dan hak serta kewajiban Indonesia berdasarkan konvensi status pengungsi tersebut. Argumentasi penulis adalah konvensi status pengungsi merupakan lex specialist dari DUHAM itu sendiri. Walaupun konvensi status pengungsi belum diratifikasi oleh Indonesia namun konvensi ini merupakan hasil kodifikasi kebiasaan internasional masyarakat internasional.

Upload: dinhthu

Post on 06-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

38

BAB III

PEMBAHASAN

Bab ini akan mengupas lebih dalam mengenai pokok permasalahan

dan tujuan yang hendak dijawab. Adapun pokok permasalahan yang

dimaksud adalah mengenai apakah The 1951 Refugee Convention and

1967 Protocol dapat dikatakan sebagai Law Making Treaty, dan

bagaimana hak dan kewajiban internasional Indonesia terhadap pengungsi

apabila dikaitkan dengan norma-norma dalam The 1951 Convention

Refugee and 1967 Protocol dimana bentuk tanggungjawab masyarakat

internasional terhadap status pengungsi internasional dalam hukum

nasionalnya. Cara penulis menjawab permasalahan tersebut melalui

pendekatan perundang-undangan yaitu dengan menelaah The 1951

Refugee Convention and 1967 Protocol.

Khususnya bagi Indonesia yang belum meratfikasi konvensi

mengenai status pengungsi. Dengan demikian menjadi pokok

permasalahan yang akan diangkat penulis mengenai bagaimana karakter

dari konvensi status pengungsi tersebut dan hak serta kewajiban Indonesia

berdasarkan konvensi status pengungsi tersebut.

Argumentasi penulis adalah konvensi status pengungsi merupakan

lex specialist dari DUHAM itu sendiri. Walaupun konvensi status

pengungsi belum diratifikasi oleh Indonesia namun konvensi ini

merupakan hasil kodifikasi kebiasaan internasional masyarakat

internasional.

39

Sehingga konvensi status pengungsi merupakan jenis perjanjian

yang berbentuk Law making treaty untuk negara yang bukan non peserta

akan tetap menimbulkan kewajiban bagi negara non peserta tersebut.

Alasan mendasarnya adalah konvensi status pengungsi tersebut terdapat

unsur general principles of law.

Dalam tesis ini penulis merangkum pokok untuk memperkuat

argumentasi diantaranya adalah pertama sejarah hukum status pengungsi,

kedua prinsip general principle of law yang terdiri dari non-

refoulement,dan equality non-discrimination. Serta peran Indonesia yang

secara tidak langsung mengadopsi instrumen konvensi status pengungsi

dalam hukum normatif Indonesia.

A. Tinjauan Umum Terhadap The 1951 Refugee Convention and 1967

Protocol

Masyarakat internasional mulai mengenal pengungsi sejak

perang dunia ke I (1914-1918) terjadi perang Balkan yang

mengakibatkan pergolakan pada kekaisaran Rusia. Diperkirakan 1-2

juta orang meninggalkan Rusia dan menuju kenegara Eropa, Asia

Tengah, Asia Selatan pada tahun 1918 dan 1922 .1 Pada saat itu LBB

(Liga Bangsa Bangsa) mendirikan High Commissionner for Refugees

1938 namun karena peran High Commissionner for Refugees 1938

1 Gilbert Jaeger, On The History of the International Protection of Refugee, ICRC

September 2001 Vol 83 No. 843., h. 727 dalam diakses pada 3-09-2017 http://www.icrc.org/Web/Eng/siteengO.nsf/iwpList128/5BA471F787461F15C1256B6699608ACF

40

terbatas sehingga dibubarkan pada tahun 1946.2 Perang dunia ke II

dapat dikatakan sebagai tonggak awal lahirnya konvensi status

pengungsi, dengan banyaknya korban perang khususnya bagi negara

yang kalah. Akibat dari perang tersebut menyebabkan banyak penduduk

yang merasa khawatir dan cemas untuk kembali kenegara asalnya.

Namun penyelesaian mengenai masalah pengungsi dilakukan

berdasarkan kebiasaan internasional.3 Pada tahun 1951 Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan konfrensi di Jenewa pada 2-25 Juli

1951 sesuai keputusan majelis umum Perserikatan Bangsa Bangsa.

Tujuan dari konfrensi tersebut membahas pembentukan

kebiasaan internasional terhadap penyelesaian mengenai pengungsi

yang dikodifikasikan sehingga berbentuk hukum positif yaitu konvensi

1951 mengenai status pengungsi yang berada diwilayah Eropa. Namun

seiring berjalannya waktu dan mengikuti perkembangan, karena

konvensi 1951 tentang status pengungsi merupakan bagian dari hukum

internasional 4 dalam konvensi ini juga timbul kelemahan. Adapun

kelemahannya adalah dalam konvensi status pengungsi pada tahun

1951 hanya mengatur wilayah Eropa saja.

Sehingga seiring berjalannya waktu dan perkembangan jaman

maka lahir sebuah instrumen hukum yaitu protokol 1967 menjadi

pelengkap. Sejak saat dilakukan pembakuan dalam format universal

2 Koesparmono Irsan, Pengungsi Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia, Komisi

Nasional Hak Asasi Mnausia, Jakarta, 2007, h.119 3 Wagiman, Opc.Cit hal.105

4 Ibid., hal.105

41

yang diakomodir secara universal berdasarkan kesepakatan negara-

negara.

Munculnya protokol ini merupakan pelengkap dari konvensi

1951. Isi dari protokol konvensi 1967 menghapus dua pokok penting

yaitu terkait dengan pembahasan geografis dan waktu. 5 Sehingga

disebut Convention Relating to the Status Of Refugees

Hukum pengungsi internasional berdiri sebagai akibat dari

interaksi antara hukum internasional dan hukum nasional. Aspek

hukum ini mengedepankan hak asasi manusia diposisi paling atas. Pada

masa sekarang, instrumen-instrumen internasional tentang pengungsi

serta pendukungnya mulai disempurnakan dan semakin dikukuhkan

yaitu pasca Piagam PBB dan Deklarasi Hak Asasi Manusia disepakati

Konvenan Sipil dan Politik serta Konvenan Ekonomi, Sosial, dan

Budaya.6

Esensi hukum hak asasi manusia internasional mengatur

kemanusiaan universal tanpa terikat atribut ruang dan waktu.7 Namun

setiap konvensi yang diratifikasi memiliki dua kewajiban yaitu

kewajiban tindakan dan kewajiban proses. Lingkup dari kewajiban

tindakan adalah menghormati,melindungi dan memenuhi sedangkan

5 Konvensi 1951 hanya mencakup wilayah Eropa dan untuk kasus pengungsian terjadi

sebelum 1 januari 1951 6 Davidson, Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori, dan Praktik Dalam Pergaulan

Internasional, Grafiti, Jakarta, 1994, h. 84-85 7 Agus fadillah, pengantar hukum internasional dan hukum humaniter internasional,

jakarta,2007 hal.vi

42

kewajiban proses terdiri atas anti diskriminasi, peran serta masyarakat

dan kemajuan yang memadai.8

Sehingga dalam peraturan mengenai hukum status pengungsi

terdapat beberapa hal yang perlu diketahui antara konvensi 1951 dan

protokol 1967 yaitu :

TABEL PERBANDINGAN ANTARA KONVENSI DAN

PROTOKOL

NO POKOK PASAL KONVENSI PROTOKOL

1 Kebebasan beragama Pasal 4

2 Hak milik atas benda

bergerak dan tidak

bergerak

Pasal 13

3 Hak berserikat Pasal 15

4 Hak berswakarya Pasal 18

5 Hak menjalankan profesi

liberal

Pasal 19

6 Hak atas pendidikan Pasal 22

7 Hak bekerja dan jaminan

sosial

Pasal 24

8 Kebebasan berpindah

tempat

Pasal 26

8 Wagiman Op.Cit hal.34

43

Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Protokol Status Pengungsi 1967

menyebutkan bahwa negara-negara pihak dalam Protokol ini

menetapkan Pasal 2 sampai dengan Pasal 34 Konvensi Status

Pengungsi sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi tersebut.

Namun ada beberapa pasal-pasal yang tidak dapat direservasi

merupakan ketentuan pasal 4. Tercantum dalam pasal 42 konvensi

status pengungsi dan protokol yaitu :

TABEL POKOK PASAL YANG TIDAK DAPAT

DIRESERVASI

NO POKOK PASAL KONVENSI PROTOKOL

1 Pengertian Pengungsi Pasal 1 Pasal II

2 Non diskriminasi Pasal 3

3 Kebebasan beragama Pasal 4

4 Akses ke pengadilan Pasal 6

5 Non refoulement Pasal 33

6 Klausula akhir Pasal 36-46 Pasal III-XI

Instrumen konvensi status pengungsi yang tidak dapat

direservasi merupakan instrumen dari kebiasaan Internasional.

Kebiasaan internasional yang dimaksud adalah general principles of

law. Sehingga mengandung norma jus cogens dimana norma ini

44

merupakan norma yang memaksa. Pada 1 Juli 2013, terdapat 145

negara yang telah menjadi negara anggota konvensi dan 146 untuk

Protokol tersebut.9 Dengan demikian untuk memperjelas pembahasan

mengenai prinsip dan norma tersebut. Penulis akan menjabarkan

sebagai berikut.

B. The Convention Relating to the Status of Refugees merupakan Law

Making Treaty

Dalam bab ini penulis melalui pendekatan perundang-

undangan yang diambil dari konvensi status pengungsi akan

menganalisis instrumen hukum dari konvensi Law making treaty

yang merupakan salah satu sifat dari perjanjian internasional.

Analisa ini akan menggambarakan mengenai karakteristik dari law

making treaty yaitu terbuka,mengandung prinsip general

principles.

Dalam analisa ini akan membuktikan bahwa konvensi

status pengungsi mengandung instrumen yang berkarakter law

making treaty. Selain itu pembahasan ini akan membahas bahwa

Indonesia secara tidak langsung memberikan kewajibannya yang

diatur dalam hukum normatif nasionalnya.

Universal Declaration of Human Rights (UDHR)

merupakan instrumen internasional pertama yang mengakui adanya

9Diakses tanggal 04/10/201

https://en.wikipedia.org/wiki/Convention_Relating_to_the_Status_of_Refugees#cite_note-convrat-1

45

hak mengenai suaka yang diterima secara universal oleh semua

negara. Pasal 14 ayat (1) UDHR mengatur,”Everyone has the right

to seek and enjoy in other countries asylum from persecution”.

Selanjutnya, dalam Pasal 14 ayat (2) mengatur,“This right may not

be invoked in the case of prosecutions genuinely arising from non-

political crimes or from acts contrary to the purposes and

principles of the United Nations”. Aturan dasar UDHR di atas

menunjukkan bahwa suaka merupakan bagian Hak Asasi Manusia

(HAM) yang muncul ketika ada ketakutan atas bahaya persekusi,

tetapi tidak berhak diberikan bagi pelaku tindak pidana atau

kejahatan non-politik.

Sehingga dengan demikian dalam sub bab ini penulis akan

menjabarkan mengenai karakteristik law making-treaty dalam

konvensi status pengungsi yang mengandung general principles

sebagai berikut.

1. Karakteristik Terbuka

Konvensi 1951 pada saat itu hanya berlaku di wilayah yang

terletak di Eropa saja, namun seiring berjalannya waktu dan

perkembangannya muncullah instrumen protokol 1967 yang

merupakan pelengkap dari konvensi 1951 dimana pemberlakuan

batas wilayah dan geografis dihapuskan.

Protokol ini merupakan suplementing instrument dengan

konvensi yang mana protokol ini mengubah sifat konvensi yang

46

terbatas menjadi tidak terbatas. Dimana pembatasan yang hanya

wilayah Eropa saja menjadi tidak ada batasan yang diatur dalam

Pasal 1 ayat 3 tentang Protokol 1967 berbunyi :

“the present Protocol shall be applied by the States Parties

here to without any geographic limitation...”

Dengan demikian maka sifat dari konvensi ini terbuka

karena tidak memiliki batasan negara.

Karakteristik terbuka seperti multirateral treaties dalam

perjanjian yang bersifat multilateral ini berkaitan dengan

kepentingan negara-negara yang telah berusaha untuk

menyelesaikan perselisihan dan menetapkan hak dan kewajiban

dimana terdapat prinsip-prinsip baru dalam hukum internasional.10

Adapun karakteristik dari perjanjian multilateral ini bersifat timbal

balik, memiliki tanggung jawab intergral, dan tanggung jawab

independen .11

Dengan demikian perjanjian multilateral merupakan

perjanjian yang bersifat universal yaitu perjanjian yang diadakan

diantara beberapa negara tanpa batasan wilayah apapun.

Contoh dari perjanjian multirateral yang bersifat timbal

balik adalah Konvensi Wina 1961/1963 tentang hubungan

diplomatik dan konsuler walaupun pelaksanaannya bersifat

bilateral saja namun dalam prakteknya setiap negara melaksanakan

kewajiban yang ada dalam konvensi tersebut, contohya perjanjian

10

Eddy pratomo., Locc.Cit hal.103 11

Ibid.,hal.102

47

mengenai hubungan diplomatik semua negara mengirimkan

perwakilannya di berbagai negara yang dan memiliki wilayah

teritorial di negara tersebut yaitu kantor kedutaan besar.

Kemudian mengenai perjanjian multilateral yang memiliki

tanggungjawab integral yaitu konvensi Genosida 1948 dimana

perjanjian ini negara yang bukan peserta dianggap peserta

perjanjian dan memiliki kewajiban erga omnes. Sifat yang terakhir

adalah perjanjian independent dimana dalam perjanjian ini hanya

dapat membebankan kepada negara peserta dengan catatan bahwa

negara peserta tersebut harus mampu contohnya adalah konvensi

peluncuran senjata. 12

Dalam protokol ini juga mengatur tentang perlunya

kerjasama atau kooperasi dari negara-negara yang ada dengan

lembaga internasional PBB maupun UNCHR dalam penanganan

pengungsi.13

Mengenai pengungsi yang diatur dalam konvensi

1951 status pengungsi terdapat prinsip-prinsip pengungsi

internasional yaitu prinsi suaka, prinsip non-refoulement,Equality

dan Non-Discrimination

12

Eddy, Loc.Cit. hal.102 13

The protocol Relating to the Status of Refugees (606 U.N.T.S. 267), pasal 2

48

2. Mengandung General Principles of law

Berikut akan dipaparkan bahwa konvensi 1951 memiliki

norma yang mengandung general principles bersifat jus cogens

yang merupakan karakter dari law making-treaty.

a. Equality non-discrimination

Non diskriminasi diatur dalam Pasal 3 konvensi 1951

menyebutkan bahwa :

“The Contracting States shall apply the provisions of this

Convention to refugees without discrimination as to race,

religion or country of origin”

Prinsip pertama, yaitu prinsip non diskriminasi dalam

konvensi ini merupakan prinsip yang bersifat jus cogens, karena

dalam “International Bill of Human Rights”, yaitu UDHR, ICCPR

maupun ICESCR, prinsip ini telah dimuat secara tegas dan

sebelumnya dipertegas dalam piagam PBB (United Nations

Charter).

Prinsip ini merupakan bagian dari General Principle of law

yang dalam Pasal 2 Universal Declaration of Human Rights

(UDHR) menyebutkan bahwa :

“everyone is entitled to all the rights and freedoms set

forth in this Declaration, without distinction of any kind,

such as race, colour, sex, language, religion, political or

other opinion, national or social origin, property, birth or

other status. Furthermore, no distinction shall be made on

the basis of the political, jurisdictional or international

status of the country or territory to which a person

49

belongs, whether it be independent, trust, non-self-

governing or under any other limitation of sovereignty.”

Dalam Pasal 2 ICCPR 1966 dijelaskan bahwa “setiap

negara pihak dari konvenan ini berjanji untuk menghormati dan

menjamin hak-hak yang diakui dalam konvenan ini bagi semua

orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah

hukumnya tanpa pembedaan apapun”

ICESCR (International Covenant on Economic, Social and

Cultural Rights) 1966 juga mengatur tentang Prinsip Non-

Discrimination.Perlindungan Hak-hak pengungsi atau warga

negara asing dalam kovenan ini diatur dalam Pasal 2 yang

menyatakan bahwa :

1) Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini, berjanji untuk

mengambil langkah-langkah, baik secara individual

maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional,

khususnya dibidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia

sumber dayanya, untuk secara progresif mencapai

perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan

ini dengan cara-cara yang sesuai, termasuk dengan

pengambilan langkah-langkahlegislatif.

2) Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin

bahwa hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini akan

dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun sepertii ras, warna

kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat

lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan,

kelahiran atau status lainnya.

3) Negara-negara berkembang, dengan memperhatikan hak

asasi manusia dan perekonomian nasionalnya, dapat

menentukan sampai seberapa jauh mereka dapat menjamin

hak-hak ekonomi yang diakui dalam Kovenan ini kepada

warga negara asing.14

14

Pasal 6 kovenan Ekosob 1966

50

Prinsip ini merupakan aspek dasar dari hukum pengungsi yang

telah dikembangkan menjadi hukum kebiasaan internasional. Sehingga

prinsip ini bersifat mengikat bagi setiap negara meskipun negara belum

meratifikasi konvensi status pengungsi.15

Dasar dibangunnya prinsip

tersebut atas ketidakberpihakan serta tanpa diskriminasi.

Bantuan kemanusiaan terhadap pengungsi tidak boleh dialihkan

dengan alasan politis atau kemiliteran dan yang petama memiliki

kewenangan terkait dengan prinsip non-discrimination adalah negara

penerima.16

Dalam konvensi wina tahun 1969 menetapkan bahwa hukum

kebiasaan internasional mengikat bagi semua negara.17

Adapun prinsip non-discrimination dikategorikan sebagai jus

cogens yang merupakan norma dasar hukum internasional menurut

konvensi wina 1969 merupakan suatu norma yang diterima dan diakui

oleh masyarakat internasional sebagai suatu norma yang tidak bisa

dilanggar dan hanya bisa diubah oleh norma dasar hukum internasional

baru yang sama sifatnya. 18

Dengan demikian prinsip ini tetap diterapkan

untuk negara dimana pengungsi mencari perlindungan walaupun negara

tersebut bukan merupakan peserta konvensi status pengungsi

15

UNCHR III 16

Wagiman., Loc.Cit hal. 120 17

Sumaryo suryokusumo, Studi Kasus Hukum Internasional,PT Tatanusa, Jakarta, 2007. Hal.186

18 Wagiman., Loc.Cit hal.123

51

b. Kebebasan beragama

Prinsip kedua, yaitu prinsip kebebasan beragama terdapat dalam

Pasal 4 :

“The Contracting States shall accord to refugees within

their territories treatment at least as favourable as that

accorded to their nationals with respect to freedom to

practice their religion and freedom as regards the religious

education of their children.”

Sama halnya dengan prinsip non-diskriminasi, dimana prinsip ini

menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memeluk agama dan

melaksanakan ibadah agamanya masing-masing. Bila dicermati prinsip ini

merupakan turunan dari prinsip non diskriminasi “...to refugees without

discrimination as to race, religion...” karena semua itu merupakan alasan

yang semakin tidak terbatas dan semakin banyak pula instrumen yang

memperluasnya. Serta masyarakat internasional pun menyadari dan

mengakui eksistensi dari prinsip ini.

c. Akses pengadilan

Prinsip ketiga yaitu Akses ke pengadilan (pasal 16 ayat 1) yang

berbunyi :

“A refugee shall have free access to the courts of law on the

territory of all Contracting States.”

Pasal 10 UDHR juga menyebutkan bahwa :

52

“Everyone is entitled in full equality to a fair and public

hearing by an independent and impartial tribunal, in the

determination of his rights and obligations and of any

criminal charge against him.”

Pengertian pasal diatas menyebutkan bahwa setiap orang berhak

memperoleh keadilan yang seadil-adilnya di depan hukum. Adapun

gagasan kesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang sama khususnya

dalam mendapatkan bantuan huku. Karena alasan ini menyangkut harkat

dan martabat manusia yang harus diperlakukan sama.

d. Non-Refoulement

Prinsip terakhir yaitu Non refoulement (Pasal 33) yang berbunyi

bahwa :

“No Contracting State shall expel or return (“refouler”) a

refugee in any manner whatsoever to the frontiers of territories

where his life or freedom would be threatened on account of his

race, religion, nationality, membership of a particular social group

or political opinion.”

Prinsip non-refoulement merupakan prinsip utama dalam pencarian

suaka. Prinsip ini merupakan refleksi dari komitmen masyarakat

internasional untuk memastikan terpenuhinya HAM, termasuk hak untuk

hidup; hak untuk bebas dari siksaan atau perlakukan-perlakuan yang

kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia; serta hak

perorangan untuk bebas dan merasa aman. Hak-hak tersebut, serta hak-hak

lainnya, tidak akan dapat dinikmati apabila seorang pengungsi

dikembalikan ke dalam keadaan penyiksaan atau keadaan yang berbahaya.

53

Hak-hak tersebut serta hak-hak lainnya, tidak akan dapat dinikmati apabila

seorang pengungsi dikembalikan ke dalam keadaan penyiksaan atau

keadaan yang berbahaya.19

Intinya konsep prinsip tersebut melarang negara untuk

memulangkan/mengembalikan/mengusir seseorang/sekelompok orang

diwilayahnya dimana nyawa ataupun kebebasan mereka terancam.20

Prinsip ini menurut beberapa ahli termasuk dalam jus cogens merujuk

pada the free encylopedia disebutkan bahwa “Non-refoulement is a jus

cogens of international law that forbids the explusion of a refugee into

area where shele might be again subjected to presecution”

Untuk beberapa negara prinsip tersebut telah menjadi bagian dari

hukum nasionalnya khususnya Indonesia yang telah diratifikasinya

Convention Againts Torture 1998 serta International Covenant on Civil

and Political Rights 2006 maka Indonesia berkewajiban menghormati

prinsip ini .21

Walaupun ditulis secara eksplisit dalam surat perdana

menteri Mr Ali Sostroamidjojo Nomor 11/RI/1956 tentang perlindungan

pelarian politik.

Karena prinsip non-refoulement merupakan prinsip hukum

internasional dan oleh karenanya mengikat bagi negara peserta maupun

negara peserta. Dengan demikian semua bantuan kemanusiaan terhadap

pengungsi puncaknya terdapat dalam prinsip tersebut.

19 UN High Commissioner for Refugees Publication, “UNHCR Note on the

Principle of Non-Refoulement”<http://www.refworld.org/docid/438c6d972.html> diakses pada (04/09/2017).

20 Wagiman., Loc.Cit hal.93

21 Ibid., hal. 116

54

Konvensi 1951 dan protokol 1967 merupakan satu kesatuan

instrumen hukum tentang status pengungsi internasional dimana secara

substansia konvensi ini melindungi HAM diantaranya adalah pertama

hukum HAM yang mengatur secara umum dan normal, kedua hukum

HAM diberlakukan dalam situasi perang dikenal dengan Hukum

Humaniter, ketiga Hukum HAM yang khusus diterapkan kepada

pengungsi (dikenal dengan Hukum Pengungsi). Hukum HAM mengenai

pengungsi ini diterapkan karena berada diluar negaranya dan tidak ada

yang melindungi para pengungsi.

Berdasarkan sifat atau karakteristik diatas dapat ditarik kesimpulan

bahwa konvensi status pengungsi dilihat dari isinya memiliki karakteristik

law making treaty yang dibuktikan dalam peraturannya terdapat non-

refoulement, dan equality non-discrimination. Peraturan tersebut

merupakan bagian dari general principles of law dimana peraturan diatas

tersebut mengandung prinsip jus cogens.

Dengan demikian norma ini mengatur bahwa setiap orang memiliki

hak yang dijunjung tinggi oleh orang lain sehingga dalam pemberlakuan

konvensi tersebut dapat di berlakukan bagi negara peserta dan bukan

negara peserta. Bila dilihat dari tinjauan diatas dapat diuraikan bahwa

setiap negara selain memiliki hak untuk mengatur negaranya sendiri

dengan hukum nasionalnya. Namun prinsip umum ini merupakan hukum

primer yang diakui dan di hormati oleh masyarakat.

Sikap negara-negara yang menghormati adanya norma primer

dilakukan dengan mengkodifikasikan dalam bentuk hukum normatif

55

nasional di tiap-tiap negara sehingga secara tidak langsung bila suatu

negara non peserta konvensi status pengungsi harus tunduk terhadap

konvensi tersebut. Walaupun kewajiban dari negara tersebut

dipertanggungjawabkan berdasarkan hukum normatif yang berlaku dalam

hukum nasionalnya.

Sehingga kesimpulannya adalah Konvensi status pengungsi ini

dilihat dari instrumen-instrumennya terdapat prinsip-prinsip umum seperti

non diskriminasi, kebebasan beragama, akses kepengadilan dan non

refoulment. Instrumen tersebut merupakan instrumen yang bersifat jus

cogens merupakan bagian dari kebiasaan internasional yang sudah ada

sejak lama.

C. Sikap Indonesia Terhadap Convention Relating to the Status of

Refugees dalam Norma Konstitusi

Indonesia secara geografis diapit oleh dua benua yaitu benua Asia

dan Australia, sehingga tidak heran bahwa wilayah Indonesia sebagai

obyek tempat pemberhentian para pencari suaka khususnya pengungsi

dibagian Asia seperti Myanmar,Vietnam,Afganistan dan lain-lain banyak

diantara mereka menuju Australia agar mendapatkan hak suaka. Berada

diantara negara – negara penerima pencari suaka dan pengungsi dalam

jumlah besar seperti Malaysia, Thailand dan Australia, secara

berkelanjutan Indonesia terkena dampak dari pergerakan populasi

tercampur (mixed population movements).

56

Setelah penurunan jumlah di akhir tahun 1990-an, jumlah

kedatangan pencari suaka ke Indonesia kembali meningkat di tahun 2000,

2001 dan 2002. Meskipun jumlah kedatangan kemudian menurun lagi

pada tahun 2003 – 2008, tren kedatangan kembali meningkat di tahun

2009 dengan jumlah 3,230 orang meminta perlindungan melalui UNHCR.

Saat ini mayoritas pencari suaka tersebut datang dari from Afghanistan

dan Somalia. (Data kedatangan pencari suaka yang mendaftarkan diri di

UNHCR dari tahun ke tahun: 385 di tahun 2008; 3,230 pada tahun 2009;

3,905 pada tahun 2010; 4,052 di tahun 2011, 7,223 di tahun 2012; 8,332 di

tahun 2013;5,659 di tahun 2014; 4,426 di tahun 2015; 3,112 di tahun

2016).

Indonesia mengeluarkan Perpres Nomor 125 Tahun 2016 tentang

Penanganan Pengungsi Luar Negeri sehingga ini merupakan bukti

kepatuhan Indonesia meski belum meratifikasi Convention Relating to the

Status of Refugees selain itu Indonesia juga bekerjasama dengan

organisasi UNCHR yang berdiri di Indonesia sejak tahun 1979 yang

memiliki kantor perwakilan pusat di Jakarta (cabang Medan, Tanjung

Pinang, Surabaya, Makasar, Kupang dan Pontianak). Catatan jumlah

pengungsi di Indonesia di tahun ini (2017) yaitu sekitar Sampai dengan

akhir Maret 2017, sebanyak 6,191 pencari suaka terdaftar di UNHCR

Jakarta secara kumulatif dari Afghanistan (42%) dan Somalia (14%).

Sementara sejumlah 8,279 pengungsi terdaftar di UNHCR Jakarta dari

Afghanistan (57%), Myanmar (10%), dan Somalia (7%). 22

Dalam hal ini

22

Diakses pada 15/09/2017 : http://www.unhcr.org/id/unhcr-di-indonesia

57

indonesia berdasarkan index negara mengenai perkara pengungsi dalam

index tersebut indonesia berada dalam posisi 32 yang berarti

mempersilahkan pengungsi datang ke negara mereka.23

Indonesia merupakan negara yang belum meratifikasi konvensi

status pengungsi. Akan tetapi secara praktek Indonesia menghormati

kebijakan pelaksanaan masyarakat lintas dunia yang dituangkan dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 paragraf ke empat yang berbunyi

“dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. Sifat kekuatan norma dalam

pembukaan UUD 1945 tidak dapat dirubah. Dengan demikian sejak

dahulu Indonesia secara hukum konstitusionalnya yang merupakan Dasar

hukum nasional secara tegas mematuhi atau mengakui eksistensi dari

hukum kebiasaan masyrakat internasional.

Maka Indonesia menyerahkan penanganan pengungsi kepada

UNCHR (United Nation High Commisioner for Refugees) merupakan

orgnaisasi Internasional yang bergerak dalam bidang penanganan

pengungsi Internasional. Karena Indonesia merupakan negara non peserta

maka Indonesia tidak memiliki payung hukum untuk melakukan penangan

pengungsi yang masuk ke Indonesia.

Dengan menjunjung hak asasi manusia yang terdapat dalam Pasal

28G ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :

23

Diakses pada 15/09/2017 : https://tirto.id/indonesia-dan-persimpangan-para-pengungsi-9jb

58

“setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau

perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia

dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”

Sehingga secara tidak langsung indonesia menjunjung tinggi

general principles dikodifikasikan dalam Pasal 28 Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa

“setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan

politik dari negara lain” yang merupakan lex specialist dari Pasal 28G

UUD 1945 .Dengan demikian hak untuk mencari suaka sudah

dilembagakan dan dijamin secara konstitusional.

Hukum nasional lainnya juga mengatur tentang hak mencari suaka

diantaranya adalah :

Pasal 25 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang

Hubungan Luar Negeri menyebutkan bahwa :

“kewenangan memberikan suaka kepada orang asing berada

ditangan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Menteri”

Pasal tersebut berkolerasi dengan Artikel 35 (1) Convention

Relating to the Status of Refugee menyebutkan bahwa :

“The Contracting States undertake to co-operate with the Office of

the United Nations High Commissioner for Refugees, or any other

agency of the United Nations which may succeed it, in the exercise

of its functions, and shall in particular facilitate its duty of

supervising the application of the provisions of this Convention”

Pasal 26 :

59

“pemberian suaka kepada orang asing dilaksanakan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan nasional serta dengan

memperhatikan hukum, kebiasaan dan praktek internasional”

Sesuai dengan Artikel 36 Convention Relating to the Status of

Refugee yang berbunyi :

“The Contracting States shall communicate to the Secretary-

General of the United Nations the laws and regulations which they

may adopt to ensure the application of this Convention.”

Pasal 27 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang

Hubungan Luar Negeri :

“presiden menetapkan kebijakan masalah pengungsi dari luar

negeri dengan memperhatikan pertimbangan Menteri”

Sesuai dengan Artikel 35 (2) Convention Relating to the Status of

Refugee yang berbunyi :

“In order to enable the Office of the High Commissioner or any

other agency of the United Nations which may succeed it, to make

reports to the competent organs of the United Nations, the

Contracting States undertake to provide them in the appropriate

form with information and statistical data requested concerning:

(a) The condition of refugees,

(b) The implementation of this Convention, and;

(c) Laws, regulations and decrees which are, or may hereafter be,

in forcerelating to refugees”.

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi

juga menyebutkan bahwa :

“permintaan ekstradisi ditolak, jika terdapat sangkaan

yang cukup kuat bahwa yang dimintakan ekstradisinya akan

dituntut, dipidana, atau dikenakan tindakan lain karena

lasan yang bertalian dengan agamanya, keyakinan politik

60

atau kewarganegaraannya atau karena termasuk suatu

suku bangsa atau golongan penduduk tertentu”

Sesuai dengan Artikel 3 Convention Relating to the Status of

Refugee yang berbunyi bahwa :

“The Contracting States shall apply the provisions of this

Convention to refugees without discrimination as to race,

religion or country of origin.”

Meskipun secara normatif Indonesia telah memuat dalam

konstitusi atau perundang-undangan, namun hingga saat ini implementasi

tentang hak pencari suaka ini belum ada aturan operasionalnya yang

jelas.24

Sangat disayangkan hingga saat ini instrumen hukum internasional

terkait pengungsi internasional belum diinkorporasikan kedalam sistem

hukum nasional.

Namun berdasarkan konstitusi nasional, indonesia secara eksplisit

juga menghargai tentang kebebasan beragama yang diatur dalam pasal 29

ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 :

“negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Dengan demikian walaupun Indonesia belum meratifikasi konvensi

status pengungsi Indonesia tetap terikat oleh kewajiban dari instrumen

konvensi tersebut. Adapun instrumen hukum yang dimaksud adalah

24

Stephane Jaquement, 2004, Mandat dan fungsi dari Komisariat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi (UNCHR), artikel dimuat dalam jurnal hukum internasional Vol. 2 No. 1, Lembaga pengkajian hukum internasional fakultas hukum universitas indonesia, hlm. 20.

61

instrumen hukum yang mengandung general principles dari pembahasan

diatas. Sehingga dengan demikian Indonesia wajib mengikuti aturan yang

ada dalam Convention Relating to the Status of Refugees tersebut diatas.

Dengan demikian Indonesia berkewajiban mewujudkan pasal-pasal yang

tidak dapat di reservasi dalam Convention Relating to the Status of

Refugees yaitu Non diskriminasi, Kebebasan beragama, Non refoulement.

Serta Indonesia berhak mendapatkan bantuan Internasional dalam

mewujudkan kewajiban yang sudah diatur.

Diluar dari instrumen yang mengandung general principles akan

membawa dampak yang sangat merugikan bagi Indonesia. Yaitu mengenai

penyelesaian sengketa yang diatur dalam Pasal IV Protokol 1967 status

pengungsi, dimana penyelesaian sengketa dapat diajukan di Mahkamah

Internasional (ICJ) namun karena Indonesia belum meratifikasinya maka

Indonesia tidak memiliki hak untuk mengajukan gugatan kepada ICJ 25

sehingga cukup disayangkan apabila negara tidak meratifikasi konvensi

ini.

25

Wagiman.,Loc.Cit hal.91