bab iii objek dan desain penelitian iii.1. objek ...thesis.binus.ac.id/doc/bab3/2011-2-00102 ak bab...

23
29 BAB III OBJEK DAN DESAIN PENELITIAN III.1. Objek Penelitian III.1.1. Karakteristik Usaha Industri Perikanan III.1.1.1. Standar Pelaporan Akuntansi Industri Perikanan Pada tahun 2011 ini, sektor industri pertanian (industri tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan lainnya) tidak memiliki pernyataan standar pelaporan keuangan khusus yang diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Maka dari itu, penyusunan laporan keuangan pada sektor industri ini hanya memperhatikan prinsip-prinsip akuntansi secara umum. Adapun pedoman penyajian dan pengungkapan laporan keuangan dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAMLK), pada tanggal 27 Desember 2002. Pedoman-pedoman ini diluncurkan untuk beberapa industri tertentu, termasuk untuk sektor industri pertanian. Pedoman ini disebut dengan Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik (P3LKEPP). Sektor industri pertanian memiliki 2 (dua) buah P3LKEPP, yaitu P3LKEPP Industri Perkebunan dan Industri Peternakan. P3LKEPP Industri Perkebunan menyediakan pedoman bagi penyajian dan pengungkapan informasi keuangan untuk

Upload: phungdieu

Post on 06-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

29

BAB III

OBJEK DAN DESAIN PENELITIAN

III.1. Objek Penelitian

III.1.1. Karakteristik Usaha Industri Perikanan

III.1.1.1. Standar Pelaporan Akuntansi Industri Perikanan

Pada tahun 2011 ini, sektor industri pertanian (industri tanaman pangan,

perkebunan, peternakan, perikanan, dan lainnya) tidak memiliki pernyataan standar

pelaporan keuangan khusus yang diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang

dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Maka dari itu, penyusunan laporan

keuangan pada sektor industri ini hanya memperhatikan prinsip-prinsip akuntansi secara

umum.

Adapun pedoman penyajian dan pengungkapan laporan keuangan dikeluarkan

oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAMLK), pada

tanggal 27 Desember 2002. Pedoman-pedoman ini diluncurkan untuk beberapa industri

tertentu, termasuk untuk sektor industri pertanian. Pedoman ini disebut dengan Pedoman

Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik

(P3LKEPP).

Sektor industri pertanian memiliki 2 (dua) buah P3LKEPP, yaitu P3LKEPP

Industri Perkebunan dan Industri Peternakan. P3LKEPP Industri Perkebunan

menyediakan pedoman bagi penyajian dan pengungkapan informasi keuangan untuk

30

 

perusahaan-perusahaan yang memiliki aktivitas utama di bidang perkebunan (persediaan

berupa tanaman hidup). Sedangkan, P3LKEPP Industri Peternakan memuat pedoman

untuk perusahaan-perusahaan yang memiliki aktivitas utama di bidang peternakan

(persediaan berupa hewan hidup). Maka dari itu, P3LKEPP Industri Peternakan juga

dapat digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri perikanan.

Dalam lingkup pedoman P3LKEPP Industri Peternakan, dinyatakan bahwa

pedoman ini dibuat untuk Emiten atau Perusahaan Publik yang memiliki aktivitas utama

berupa industri peternakan dengan asumsi bahwa Emiten atau Perusahaan Publik

tersebut tidak mempunyai anak perusahaan yang dikonsolidasikan. Apabila Emiten atau

Perusahaan Publik memiliki anak perusahaan yang harus dikonsolidasikan, pedoman ini

harus digunakan bersama dengan P3LKEPP Industri Investasi.

III.1.1.2. Gambaran Umum Aktivitas Industri Peternakan (dan Perikanan)

Industri peternakan memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dengan

sektor industri lain yang ditunjukkan oleh adanya pengelolaan transformasi biolojik

hewan yang menghasilkan produk yang akan dikonsumsi atau diproses lebih lanjut.

Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan

Publik (P3LKEPP) Industri Peternakan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pasar

Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAMLK) menggolongkan kegiatan industri

peternakan pada umumnya, sebagai berikut:

31

 

a) Pembelian atau penetasan bibit, yaitu membeli hewan ternak untuk dijual

kembali atau membeli bibit hewan ternak untuk ditetaskan menjadi hewan ternak

jadi.

b) Pemeliharaan hewan sampai dapat menghasilkan, yaitu pemeliharaan hewan

melalui proses pembesaran dan penggemukan hingga dapat menghasilkan

produk.

c) Pemungutan, yaitu proses pengambilan atas hewan yang siap dijual atau produk

yang dihasilkan hewan itu sendiri.

d) Pengolahan dan pemasaran, yaitu proses lebih lanjut yang dibutuhkan agar

produk tersebut siap dijual.

III.1.1.3. Resiko Industri

Menurut P3LKEPP Industri Peternakan, terdapat 8 (delapan) resiko umum dalam

industri peternakan, antara lain:

1. Kesinambungan hidup hewan ternak

Hewan ternak, terutama yang berfungsi sebagai pembibit dan petelur, merupakan

aktiva utama perusahaan. Risiko hama penyakit atau kondisi alam yang dapat

mengakibatkan kematian hewan ternak maupun terganggunya kondisi hewan ternak

untuk menjalankan fungsinya harus diantisipasi sebelumnya oleh pihak manajemen.

32

 

Kesinambungan hidup hewan ternak berpengaruh terhadap kesinambungan entitas

(going concern). Untuk itu sebagian risiko tersebut dapat diasuransikan.

2. Kondisi pasar dan fluktuasi harga

Perusahaan peternakan yang menjual sendiri hasil ternaknya memiliki risiko yang

terkait dengan kondisi pasar. Kondisi pasar yang tidak dapat menyerap hasil

peternakan merupakan risiko tersendiri yang dapat mengganggu kondisi perusahaan

secara keseluruhan. Hal ini mengakibatkan berfluktuasinya harga komoditi ternak di

pasar.

3. Tingkat kompetisi

Dengan bertambahnya jumlah penduduk, menyebabkan meningkatnya kebutuhan

konsumsi pangan, termasuk produk hewani. Disatu sisi ini merupakan peluang bagi

industri peternakan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produknya. Disisi

lain, kondisi ini merupakan suatu ancaman karena semakin banyak pesaing baik

dalam maupun luar negeri yang memasok produk mereka di pasar Indonesia. Hal ini

tentunya menciptakan iklim persaingan yang semakin ketat bagi industri peternakan

di Indonesia.

4. Resiko perubahan teknologi

Pesatnya perkembangan bio-teknologi khususnya di sector peternakan,

mengakibatkan teknologi yang ada tidak ekonomis untuk dipakai. Kalaupun masih

33

 

dipakai, perusahaan yang menggunakan teknologi lama menjadi kurang mampu

bersaing dengan perusahaan yang menggunakan teknologi baru.

5. Resiko pemogokan karyawan

Semakin kuatnya peranan serikat karyawan dalam menyikapi setiap kebijakan

pemerintah atau perusahaan, menyebabkan karyawan lebih kritis dalam

menyuarakan ketidakpuasan terhadap kondisi kerja seperti kompensasi, perubahan

peraturan, sampai keadaan ekonomi dan politik yang tidak stabil. Ketidakpuasan ini

bisa dinyatakan dalam bentuk demonstrasi dan pemogokan massal yang berpotensi

menimbulkan kerusuhan (riot).

6. Kerusuhan dan penjarahan

Semakin buruknya kondisi sosial dan ekonomi, menyebabkan masyarakat lebih

mudah terpengaruh oleh berbagai informasi yang dapat menyebabkan pengerahan

massa dalam menyuarakan ketidakpuasan terhadap perusahaan. Ketidakpuasan ini

bisa dinyatakan dalam bentuk demonstrasi dan pemogokan massal yang berpotensi

kerusuhan (riot).

7. Resiko leverage

Pengembangan usaha peternakan, terutama dalam pembangunan sarana dan

prasarananya membutuhkan dana dalam jumlah yang besar. Keterlibatan kreditor

sebagai penyedia sumber dana tentunya tidak bisa dihindari. Semakin besarnya

34

 

pendanaan dari luar mengakibatkan semakin besar pula kemungkinan perusahaan

tidak melunasi hutang tersebut.

8. Resiko kebijakan pemerintah

Resiko ini menyangkut peraturan impor bahan baku dan peralatan, serta ekspor

produk dan masalah perizinan.

III.2. Sejarah Industri Perikanan Indonesia

III.2.1. Beberapa Momen Penting Sektor Industri Perikanan

III.2.1.1. Tahun 1400an sampai Tahun 1600an: "Age of Commerce"

Pada abad ke-7 dan ke-8 perdagangan telah menjadi ciri dari beberapa wilayah

seperti di Selat Malaka dan Laut Jawa. Perkembangan ekonomi dan formasi negara

bahkan sangat terkait dengan aktivitas ini. Hal tersebut juga tergambar dari hikayat yang

berkembang yang menunjukkan hubungan dialektis antara penguasa dan pedagang.

Periode 1450-1680 menjadi periode emas ekonomi pesisir, yang oleh seorang

peneliti Selandia Baru, Anthony Reid, menyebut zaman ini sebagai "age of commerce”.

Puncak keemasan ekonomi Nusantara merupakan hasil dari spesialisasi ekonomi yang

tinggi (misalnya produk pangan untuk pasar domestik dan beberapa hasil pertanian,

hutan dan hasil laut, serta emas untuk pasar global), jaringan perdagangan yang luas,

merebaknya monetisasi dan urbanisasi.

35

 

Pada periode ini, perdagangan mutiara dan kerang-kerangan cukup penting. Ada

pula keterangan bahwa perikanan di Cilacap hanya menggunakan alat tangkap sederhana

dan nelayan mengolah hasilnya untuk dibarter dengan wilayah pedalaman. Hal ini

menjadi panduan kondisi lain perikanan di era ini.

III.2.1.2. Tahun 1800an sampai dengan Pertengahan Tahun 1900an: Pasang-Surut

Perikanan

Tarik-menarik politik pesisir dan pedalaman menandai maju-mundurnya peran

ekonomi di bidang ini. V.J.H. Houben dalam bukunya yang berjudul Trade and State

Formation in Central Java 17th-19th Century, membagi zaman ini menjadi tiga periode

yaitu:

a. Periode tahun 1600-1755 dimana terjadi perubahan orientasi politik dari pesisir

ke pedalaman atau dari perdagangan ke pertanian yang ditandai naik-turunnya

kekuasaan Mataram;

b. Periode tahun 1755-1830 Jawa terpecah belah dan berakhir dengan perang.

Belanda memanfaatkan momen ini melalui serial kerjasama pengembangan

pertanian tanaman ekspor dengan para penguasa Jawa, sehingga tahun 1757

Belanda telah menguasai daerah pedalaman;

c. Periode Tahun 1830-1870 merupakan periode menguatnya kolonialisme. Periode

ini ditandai dengan diberlakukannya tanam paksa pada tahun 1830.

36

 

Untuk mendukung ekspor, pemerintah membangun pelabuhan. Namun,

pelabuhan yang tumbuh memiliki karakter menghisap potensi alam dan bumiputera.

Keuntungan tanam paksa tidak diterima rakyat tetapi oleh orang Eropa, pedagang China,

importir dan eksportir selain pemerintah Belanda. Tanam paksa juga diperkirakan

mendorong penurunan tampilan industri perkapalan.

Sejak akhir tahun 1800an perikanan telah berorientasi pada pasar yang ditandai

dengan pertumbuhan spektakuler usaha pengolahan dan pemasaran ikan. Bahkan, pada

awal abad ke-20 kota Bagan Siapiapi di mulut Sungai Rokan telah menjadi salah satu

pelabuhan perikanan terpenting di dunia dengan kegiatan utama ekspor perikanan. Jawa

dengan populasi 1/4 dari total penduduk Asia Tenggara pada tahun 1850 telah menjadi

pasar terpenting produk perikanan, khususnya ikan kering (asin) dan terasi. Merujuk

pada data Van der Eng, kontribusi perikanan terhadap total PDB pada tahun 1880 dan

1890 mencapai di atas 2% atau tertinggi yang pernah dicapai perikanan dari seluruh

periode antara 1880-2002.

Pasang-surut perikanan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah, permasalahan

ketersediaan sumberdaya, ekologi, ekonomi dan sosial. Kebijakan monopoli garam oleh

pemerintah dengan meningkatkan biaya sewa pada tahun 1910 menghasilkan stagnasi

dan penurunan peran industri perikanan yang ditunjukkan oleh penurunan ekspor dari

25.900 ton ikan kering di tahun 1904 menjadi 20.000 ton di tahun 1910. Tahun 1912

perikanan kota Bagan Siapiapi telah mengalami kemunduran berarti. Hal yang serupa

disertai dengan permasalahan pajak dan kredit juga terjadi di Jawa dan Madura.

Permasalahan ekologi seperti ekstraksi bakau dan pendangkalan perairan, serta

37

 

menurunnya sumberdaya ikan muncul dan mendorong perikanan bergerak lebih jauh

dari pantai.

Periode tahun 1870an hingga 1930an diikuti oleh perubahan teknologi dan

perluasan daerah penangkapan sebagai akibat modernisasi perikanan dan semakin

langkanya ikan di daerah pinggir. Peran nelayan Jepang dalam hal ini patut dicatat

karena mereka masuk ke Indonesia dengan profesi salah satunya sebagai nelayan.

Nelayan-nelayan tersebut datang dengan dukungan subsidi pemerintahan Meiji yang

sedang giat menggalakan industrialisasi. Teknologi perikanan yang lebih maju membuat

nelayan Jepang mendapat keuntungan yang lebih besar dari eksploitasi sumber daya

ikan.

III.2.1.3. Awal Kemerdekaan dan Akhir Orde Lama

Kebijakan ekonomi era ini banyak yang tidak dilaksanakan karena berbagai

pergolakan politik. Strategi pemulihan terus dilaksanakan hingga tahun 1957, namun

kinerja memburuk terjadi pada masa ekonomi terpimpin yang akhirnya menghasilkan

kemunduran secara struktural ekonomi Indonesia antara tahun 1940 dan 1965. Di

pertengahan 1960an ekonomi sangat merosot dengan inflasi mendekati 500%.

Diantara wacana politik ekonomi perikanan dan kelautan adalah perjuangan

Konsepsi Archipelago sesuai deklarasi Desember 1957, dan Undang-Undang Pokok

Agraria (UUPA) No. 5/1960, serta perikanan sebagai salah satu "mainstream"

pembangunan nasional.

38

 

Konsepsi archipelago diperkuat dengan UU No. 4 prp. 1960 tentang Perairan

Indonesia, yang diikuti Keppres 103/1963 untuk memberikan pengertian lebih luas

tentang lingkungan maritim. UU tersebut tidak hanya memperkokoh konsep wawasan

Nusantara, bagi perikanan perangkat kebijakan ini menguntungan karena secara prinsip

kapal ikan asing tidak dibenarkan beroperasi di dalam lingkungan maritim Indonesia.

Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan di atur dalam UU Pokok Agraria

(UUPA) pasal 47 ayat 2. Walaupun sejarah penyusunannya tidak diwarnai debat antara

konsep "kepemilikan bersama" dan "kepemilikan tunggal" sebagaimana di Jepang yang

memperkuat konsep hak atas sumber daya ikan dalam perundangan perikanannya,

namun konsepsi ini memberikan ruang bagi pengakuan "kepemilikan tunggal".

Sayangnya, peraturan pemerintah yang dimaksud dalam UUPA belum atau tidak

ditetapkan sampai saat ini dan juga tidak menjadi acuan lahirnya UU No. 9/1985 tentang

perikanan ataupun UU Perikanan No. 31/2004.

Sejak ekonomi terpimpin dicanangkan di tahun 1959, bersama minyak bumi dan

hasil hutan, perikanan menjadi harapan pengerak ekonomi nasional seperti tertuang

dalam Perencanaan Pembangunan Delapan Tahunan yang disusun Dewan Perantjang

Nasional (Depernas, sekarang Bappenas) di tahun 1961. Target pendapatan dari

ekstraksi sumber daya perikanan mencapai US$ 500 juta, namun karena ekspektasi yang

sangat berlebihan, target tersebut akhirnya direvisi menjadi US$ 12,5 juta dalam sidang

kabinet.

Setelah mengimpor ikan pada era awal kemerdekaan, produksi perikanan terus

meningkat dari 320 ribu ton pada tahun 1940 menjadi 324 ribu ton pada tahun 1951, dan

39

 

kemudian menjadi 661 ribu ton pada tahun 1965. Pertumbuhan produksi tertinggi 7,4%

per tahun dicapai pada periode 1959-1965, namun produktivitas per kapal menurun dari

4 ton di tahun 1951 menjadi 2,8 ton pada tahun 1965. Produktivitas nelayan juga turun

dari 1 ton menjadi 0,7 ton dalam periode yang sama. Basis perikanan pada era ini

sepenuhnya di daerah pantai dan hanya sedikit industri perikanan modern yang

berkembang.

III.2.1.4. Orde Baru: Terabaikan dan Dualisme Ekonomi Perikanan

Terdapat berbagai keberhasilan orde baru dalam pembangunan ekonomi

Indonesia seperti kemampuan memanfaatkan harga minyak yang tinggi, pertumbuhan

ekonomi yang berlanjut, perbaikan pendidikan, kesehatan dan gizi, selain beberapa

catatan tantangan bagi masa depan. Disparitas ekonomi juga meluas antara yang kaya

dan miskin, desa dan kota, bagian barat dan timur Indonesia, dan meningkatnya kroni-

konglomerat. Pengelolaan sumberdaya alam yang buruk mendapat sorotan khususnya

pengelolaan hutan.

Produksi perikanan meningkat dari 721 ribu ton pada tahun 1966 menjadi 1,923

ribu ton pada 1986. Produksi ikan meningkat menjadi 3.724 ribu ton tahun 1998. Setelah

mengalami pertumbuhan negatif dalam periode peralihan (1966-1967), laju pertumbuhan

produksi perikanan meningkat dari 3,5% (1968-1973) menjadi 5,3% per tahun (1974-

1978). Periode berikutnya pertumbuhan produksi perikanan cenderung menurun.

Produktivitas perikanan dalam era ini walaupun tumbuh dengan laju yang berfluktuasi

(khususnya kapal), secara nomimal meningkat dari rata-rata 4,3 ton/kapal periode 1974-

1978 menjadi 8,4 ton per kapal periode 1994-1998.

40

 

Motorisasi perikanan merupakan salah satu penyebab peningkatan produksi

sektor ini. Tahun 1966 motorisasi hanya meliputi 1.4% dari total armada perikanan

sebanyak 239.900 unit, menjadi 5,8% pada tahun 1975, dan mencapai 16% dari total

armada pada tahun 1980. Pada tahun 1998 armada perikanan bermotor telah mencapai

45,8% dari total sebanyak 412.702 unit, namun data tahun ini menunjukkan hanya 21%

berupa kapal motor, dan bagian terbesar adalah perahu motor tempel serta perahu tanpa

motor. Dengan demikian, basis perikanan masih dominan di wilayah pantai.

Konflik antara perikanan skala besar dan skala kecil mewarnai sejarah perikanan

laut orde baru sebagai akibat dualisme struktur perikanan. Dualisme perikanan

ditunjukkan oleh Bailey pada dua kasus penting yaitu 1) introduksi trawl dan purse seine

dan 2) pengembangan budidaya udang. Kasus trawl menguatkan tesis Hardin tentang

tragedi sumberdaya kepemilikan bersama. Ketika nelayan skala kecil dengan

produktivitas rendah (1,4-6,7 ton/unit alat) semakin tersingkirkan oleh nelayan skala

besar (trawl dan purse seine) dengan produktivitas masing-masing mencapai 70,4

ton/unit dan 38 ton/unit di tahun 1980, respon nelayan skala kecil adalah melawan

dengan berbagai cara termasuk menggunakan bom molotov. Kondisi ini yang

mendorong pemerintah melarang penggunaan trawl secara bertahap melalui Keppres

39/1980 yang diikuti Inpress 11/1982 dan SK Menteri Pertanian No.

545/Kpts/Um/8/1982 tentang penghapusan jaring trawl di seluruh perairan Indonesia

terhitung mulai 1 Januari 1983.

41

 

III.2.1.5. Pasca Reformasi: Harapan menjadi "Prime Mover”

Produksi perikanan dalam periode 1999-2001 tumbuh 2,5% per tahun, sedangkan

armada perikanan mulai tumbuh terbatas yaitu di bawah 1% per tahun. Pertumbuhan

nelayan lebih tinggi dari armada perikanan dan mendekati pertumbuhan produksi

(2,1%).

Jika periode ini dibandingkan periode sebelumnya (1994-1998), produksi

perikanan tumbuh lebih rendah (2,5%), demikian juga produktivitas kapal baik secara

nomimal maupun laju pertumbuhan. Rata-rata produktivitas perikanan periode 1994-

1998 mencapai 8,4 ton/kapal dan 1.7 ton/nelayan turun menjadi 8,3 ton/kapal dan 1,5

ton/nelayan periode tahun 1999-2001. Laju pertumbuhan produktivitas kapal mencapai

3,0% periode 1994-1998, turun menjadi 1,6% periode 1999-2001.

Berdasarkan Nota Keuangan dan APBN tahun 2000-2005, Pendapatan Negara

Bukan Pajak (PNBP) perikanan meningkat sangat pesat dari Rp 52 miliar pada tahun

2000 menjadi Rp 450 miliar pada tahun 2003. Dibanding tahun sebelumnya, PNBP 2004

turun menjadi Rp 282,8 miliar (di bawah target Rp 450 miliar) dan diperkirakan target

PNBP sebesar Rp 700 miliar pada tahun 2005 juga tidak tercapai karena belum

optimalnya perjanjian bilateral dengan Cina, Filipina dan, Thailand. Kondisi ini menjadi

satu tantangan bagi sektor perikanan dan kelautan untuk menjadi salah satu "the prime

mover" atau "mainstream" ekonomi nasional.

42

 

III.3. Ikhtisar Kebijakan Akuntansi

Bagian ini akan membahas mengenai kebijakan akuntansi yang telah secara

konsisten dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak pada sektor industri

perikanan di Indonesia, sebelum diberlakukannya konvergensi IFRS. Adapun kebijakan-

kebijakan akuntansi yang dijabarkan pada subbab ini adalah kebijakan akuntansi yang

masih memiliki keterkaitan dengan ruang lingkup pembahasan dari penelitian, yaitu

International Accounting Standard 41 tentang Agriculture. Berikut adalah kebijakan-

kebijakan akuntansi tersebut:

1. Persediaan

2. Persediaan Ikan Indukan

III.3.1. Persediaan

Dalam industri peternakan (perikanan), persediaan meliputi hewan ternak

tersedia untuk dijual, hewan ternak dalam proses pertumbuhan, dan barang atau material

yang akan digunakan secara langsung dalam proses produksi.

Persediaan hewan ternak tersedia untuk dijual dan hewan ternak dalam proses

pertumbuhan disajikan dengan menggunakan harga perolehan atau net realizable value,

mana yang lebih rendah apabila memenuhi kriteria yaitu (1). mempunyai harga pasar

yang dapat diandalkan, (2). mempunyai cost of disposal yang relatif rendah dan dapat

diperkirakan dan (3). tersedia untuk dijual dengan cepat. Jika tidak memenuhi kriteria

tersebut di atas, maka penilaian berdasarkan cost.

43

 

III.3.2. Persediaan Ikan Indukan

Persediaan ikan indukan merupakan hewan ternak yang dipelihara untuk

menghasilkan barang konsumsi. Nilai perolehan dari persediaan ikan indukan

dialokasikan secara sistematis dengan menggunakan deplesi sepanjang umur produktif

ekonomisnya menggunakan metode garis lurus (straight line method).

Selain penjabaran diatas, perlu diketahui bahwa industri agrikultur (khususnya

sektor industri perikanan) tidak memiliki pedoman akuntansi khusus, seperti yang

dimiliki oleh industri lain, contohnya Industri Perbankan Indonesia yang memiliki

Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI).

III.4. Bentuk Laporan Keuangan Perusahaan Peternakan (dan Perikanan)

Indonesia Menurut P3LKEPP Industri Peternakan

Dalam subbab ini akan disajikan bentuk laporan keuangan perusahaan

peternakan (dan perikanan) Indonesia, sebagaimana yang telah diatur pada Pedoman

Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik

(P3LKEPP) Industri Peternakan.

Laporan keuangan yang disajikan pada subbab ini berupa: (1) Neraca, (2)

Laporan Laba Rugi, (3) Laporan Perubahan Ekuitas, dan (4) Laporan Arus Kas.

Sedangkan, Catatan Atas Laporan Keuangan berdasarkan P3LKEPP Industri Peternakan,

pada penelitian ini disertakan pada Lampiran 3 (halaman L3 – L66).

44

 

45

 

46

 

47

 

 

48

49

 

50

 

51

 

III.5. Desain Penelitian

III.5.1. Jenis dan Sumber Data

Berdasarkan sumber datanya, penelitian ini akan menggunakan data sekunder.

Menurut Indrianto dan Supomo (2002), “data sekunder merupakan sumber data

penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara

(diperoleh dan dicatat oleh pihak lain)”. Penelitian ini akan memanfaatkan data sekunder

yang diperoleh dari situs web PT Bursa Efek Indonesia, yaitu http://www.idx.co.id. Data

sekunder yang digunakan adalah berupa laporan keuangan tahunan. Data sekunder lain

juga diperoleh melalui berbagai situs web lainnya, yang dapat berupa berita mengenai

aktivitas, sejarah dan perkembangan industri perikanan Indonesia. Penelitian ini juga

mengumpulkan data-data yang relevan dari perpustakaan Universitas Bina Nusantara,

berbagai literatur, dan jurnal.