bab iii objek dan desain penelitian iii.1. objek ...thesis.binus.ac.id/doc/bab3/2011-2-00102 ak bab...
TRANSCRIPT
29
BAB III
OBJEK DAN DESAIN PENELITIAN
III.1. Objek Penelitian
III.1.1. Karakteristik Usaha Industri Perikanan
III.1.1.1. Standar Pelaporan Akuntansi Industri Perikanan
Pada tahun 2011 ini, sektor industri pertanian (industri tanaman pangan,
perkebunan, peternakan, perikanan, dan lainnya) tidak memiliki pernyataan standar
pelaporan keuangan khusus yang diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang
dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Maka dari itu, penyusunan laporan
keuangan pada sektor industri ini hanya memperhatikan prinsip-prinsip akuntansi secara
umum.
Adapun pedoman penyajian dan pengungkapan laporan keuangan dikeluarkan
oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAMLK), pada
tanggal 27 Desember 2002. Pedoman-pedoman ini diluncurkan untuk beberapa industri
tertentu, termasuk untuk sektor industri pertanian. Pedoman ini disebut dengan Pedoman
Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik
(P3LKEPP).
Sektor industri pertanian memiliki 2 (dua) buah P3LKEPP, yaitu P3LKEPP
Industri Perkebunan dan Industri Peternakan. P3LKEPP Industri Perkebunan
menyediakan pedoman bagi penyajian dan pengungkapan informasi keuangan untuk
30
perusahaan-perusahaan yang memiliki aktivitas utama di bidang perkebunan (persediaan
berupa tanaman hidup). Sedangkan, P3LKEPP Industri Peternakan memuat pedoman
untuk perusahaan-perusahaan yang memiliki aktivitas utama di bidang peternakan
(persediaan berupa hewan hidup). Maka dari itu, P3LKEPP Industri Peternakan juga
dapat digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri perikanan.
Dalam lingkup pedoman P3LKEPP Industri Peternakan, dinyatakan bahwa
pedoman ini dibuat untuk Emiten atau Perusahaan Publik yang memiliki aktivitas utama
berupa industri peternakan dengan asumsi bahwa Emiten atau Perusahaan Publik
tersebut tidak mempunyai anak perusahaan yang dikonsolidasikan. Apabila Emiten atau
Perusahaan Publik memiliki anak perusahaan yang harus dikonsolidasikan, pedoman ini
harus digunakan bersama dengan P3LKEPP Industri Investasi.
III.1.1.2. Gambaran Umum Aktivitas Industri Peternakan (dan Perikanan)
Industri peternakan memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dengan
sektor industri lain yang ditunjukkan oleh adanya pengelolaan transformasi biolojik
hewan yang menghasilkan produk yang akan dikonsumsi atau diproses lebih lanjut.
Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan
Publik (P3LKEPP) Industri Peternakan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAMLK) menggolongkan kegiatan industri
peternakan pada umumnya, sebagai berikut:
31
a) Pembelian atau penetasan bibit, yaitu membeli hewan ternak untuk dijual
kembali atau membeli bibit hewan ternak untuk ditetaskan menjadi hewan ternak
jadi.
b) Pemeliharaan hewan sampai dapat menghasilkan, yaitu pemeliharaan hewan
melalui proses pembesaran dan penggemukan hingga dapat menghasilkan
produk.
c) Pemungutan, yaitu proses pengambilan atas hewan yang siap dijual atau produk
yang dihasilkan hewan itu sendiri.
d) Pengolahan dan pemasaran, yaitu proses lebih lanjut yang dibutuhkan agar
produk tersebut siap dijual.
III.1.1.3. Resiko Industri
Menurut P3LKEPP Industri Peternakan, terdapat 8 (delapan) resiko umum dalam
industri peternakan, antara lain:
1. Kesinambungan hidup hewan ternak
Hewan ternak, terutama yang berfungsi sebagai pembibit dan petelur, merupakan
aktiva utama perusahaan. Risiko hama penyakit atau kondisi alam yang dapat
mengakibatkan kematian hewan ternak maupun terganggunya kondisi hewan ternak
untuk menjalankan fungsinya harus diantisipasi sebelumnya oleh pihak manajemen.
32
Kesinambungan hidup hewan ternak berpengaruh terhadap kesinambungan entitas
(going concern). Untuk itu sebagian risiko tersebut dapat diasuransikan.
2. Kondisi pasar dan fluktuasi harga
Perusahaan peternakan yang menjual sendiri hasil ternaknya memiliki risiko yang
terkait dengan kondisi pasar. Kondisi pasar yang tidak dapat menyerap hasil
peternakan merupakan risiko tersendiri yang dapat mengganggu kondisi perusahaan
secara keseluruhan. Hal ini mengakibatkan berfluktuasinya harga komoditi ternak di
pasar.
3. Tingkat kompetisi
Dengan bertambahnya jumlah penduduk, menyebabkan meningkatnya kebutuhan
konsumsi pangan, termasuk produk hewani. Disatu sisi ini merupakan peluang bagi
industri peternakan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produknya. Disisi
lain, kondisi ini merupakan suatu ancaman karena semakin banyak pesaing baik
dalam maupun luar negeri yang memasok produk mereka di pasar Indonesia. Hal ini
tentunya menciptakan iklim persaingan yang semakin ketat bagi industri peternakan
di Indonesia.
4. Resiko perubahan teknologi
Pesatnya perkembangan bio-teknologi khususnya di sector peternakan,
mengakibatkan teknologi yang ada tidak ekonomis untuk dipakai. Kalaupun masih
33
dipakai, perusahaan yang menggunakan teknologi lama menjadi kurang mampu
bersaing dengan perusahaan yang menggunakan teknologi baru.
5. Resiko pemogokan karyawan
Semakin kuatnya peranan serikat karyawan dalam menyikapi setiap kebijakan
pemerintah atau perusahaan, menyebabkan karyawan lebih kritis dalam
menyuarakan ketidakpuasan terhadap kondisi kerja seperti kompensasi, perubahan
peraturan, sampai keadaan ekonomi dan politik yang tidak stabil. Ketidakpuasan ini
bisa dinyatakan dalam bentuk demonstrasi dan pemogokan massal yang berpotensi
menimbulkan kerusuhan (riot).
6. Kerusuhan dan penjarahan
Semakin buruknya kondisi sosial dan ekonomi, menyebabkan masyarakat lebih
mudah terpengaruh oleh berbagai informasi yang dapat menyebabkan pengerahan
massa dalam menyuarakan ketidakpuasan terhadap perusahaan. Ketidakpuasan ini
bisa dinyatakan dalam bentuk demonstrasi dan pemogokan massal yang berpotensi
kerusuhan (riot).
7. Resiko leverage
Pengembangan usaha peternakan, terutama dalam pembangunan sarana dan
prasarananya membutuhkan dana dalam jumlah yang besar. Keterlibatan kreditor
sebagai penyedia sumber dana tentunya tidak bisa dihindari. Semakin besarnya
34
pendanaan dari luar mengakibatkan semakin besar pula kemungkinan perusahaan
tidak melunasi hutang tersebut.
8. Resiko kebijakan pemerintah
Resiko ini menyangkut peraturan impor bahan baku dan peralatan, serta ekspor
produk dan masalah perizinan.
III.2. Sejarah Industri Perikanan Indonesia
III.2.1. Beberapa Momen Penting Sektor Industri Perikanan
III.2.1.1. Tahun 1400an sampai Tahun 1600an: "Age of Commerce"
Pada abad ke-7 dan ke-8 perdagangan telah menjadi ciri dari beberapa wilayah
seperti di Selat Malaka dan Laut Jawa. Perkembangan ekonomi dan formasi negara
bahkan sangat terkait dengan aktivitas ini. Hal tersebut juga tergambar dari hikayat yang
berkembang yang menunjukkan hubungan dialektis antara penguasa dan pedagang.
Periode 1450-1680 menjadi periode emas ekonomi pesisir, yang oleh seorang
peneliti Selandia Baru, Anthony Reid, menyebut zaman ini sebagai "age of commerce”.
Puncak keemasan ekonomi Nusantara merupakan hasil dari spesialisasi ekonomi yang
tinggi (misalnya produk pangan untuk pasar domestik dan beberapa hasil pertanian,
hutan dan hasil laut, serta emas untuk pasar global), jaringan perdagangan yang luas,
merebaknya monetisasi dan urbanisasi.
35
Pada periode ini, perdagangan mutiara dan kerang-kerangan cukup penting. Ada
pula keterangan bahwa perikanan di Cilacap hanya menggunakan alat tangkap sederhana
dan nelayan mengolah hasilnya untuk dibarter dengan wilayah pedalaman. Hal ini
menjadi panduan kondisi lain perikanan di era ini.
III.2.1.2. Tahun 1800an sampai dengan Pertengahan Tahun 1900an: Pasang-Surut
Perikanan
Tarik-menarik politik pesisir dan pedalaman menandai maju-mundurnya peran
ekonomi di bidang ini. V.J.H. Houben dalam bukunya yang berjudul Trade and State
Formation in Central Java 17th-19th Century, membagi zaman ini menjadi tiga periode
yaitu:
a. Periode tahun 1600-1755 dimana terjadi perubahan orientasi politik dari pesisir
ke pedalaman atau dari perdagangan ke pertanian yang ditandai naik-turunnya
kekuasaan Mataram;
b. Periode tahun 1755-1830 Jawa terpecah belah dan berakhir dengan perang.
Belanda memanfaatkan momen ini melalui serial kerjasama pengembangan
pertanian tanaman ekspor dengan para penguasa Jawa, sehingga tahun 1757
Belanda telah menguasai daerah pedalaman;
c. Periode Tahun 1830-1870 merupakan periode menguatnya kolonialisme. Periode
ini ditandai dengan diberlakukannya tanam paksa pada tahun 1830.
36
Untuk mendukung ekspor, pemerintah membangun pelabuhan. Namun,
pelabuhan yang tumbuh memiliki karakter menghisap potensi alam dan bumiputera.
Keuntungan tanam paksa tidak diterima rakyat tetapi oleh orang Eropa, pedagang China,
importir dan eksportir selain pemerintah Belanda. Tanam paksa juga diperkirakan
mendorong penurunan tampilan industri perkapalan.
Sejak akhir tahun 1800an perikanan telah berorientasi pada pasar yang ditandai
dengan pertumbuhan spektakuler usaha pengolahan dan pemasaran ikan. Bahkan, pada
awal abad ke-20 kota Bagan Siapiapi di mulut Sungai Rokan telah menjadi salah satu
pelabuhan perikanan terpenting di dunia dengan kegiatan utama ekspor perikanan. Jawa
dengan populasi 1/4 dari total penduduk Asia Tenggara pada tahun 1850 telah menjadi
pasar terpenting produk perikanan, khususnya ikan kering (asin) dan terasi. Merujuk
pada data Van der Eng, kontribusi perikanan terhadap total PDB pada tahun 1880 dan
1890 mencapai di atas 2% atau tertinggi yang pernah dicapai perikanan dari seluruh
periode antara 1880-2002.
Pasang-surut perikanan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah, permasalahan
ketersediaan sumberdaya, ekologi, ekonomi dan sosial. Kebijakan monopoli garam oleh
pemerintah dengan meningkatkan biaya sewa pada tahun 1910 menghasilkan stagnasi
dan penurunan peran industri perikanan yang ditunjukkan oleh penurunan ekspor dari
25.900 ton ikan kering di tahun 1904 menjadi 20.000 ton di tahun 1910. Tahun 1912
perikanan kota Bagan Siapiapi telah mengalami kemunduran berarti. Hal yang serupa
disertai dengan permasalahan pajak dan kredit juga terjadi di Jawa dan Madura.
Permasalahan ekologi seperti ekstraksi bakau dan pendangkalan perairan, serta
37
menurunnya sumberdaya ikan muncul dan mendorong perikanan bergerak lebih jauh
dari pantai.
Periode tahun 1870an hingga 1930an diikuti oleh perubahan teknologi dan
perluasan daerah penangkapan sebagai akibat modernisasi perikanan dan semakin
langkanya ikan di daerah pinggir. Peran nelayan Jepang dalam hal ini patut dicatat
karena mereka masuk ke Indonesia dengan profesi salah satunya sebagai nelayan.
Nelayan-nelayan tersebut datang dengan dukungan subsidi pemerintahan Meiji yang
sedang giat menggalakan industrialisasi. Teknologi perikanan yang lebih maju membuat
nelayan Jepang mendapat keuntungan yang lebih besar dari eksploitasi sumber daya
ikan.
III.2.1.3. Awal Kemerdekaan dan Akhir Orde Lama
Kebijakan ekonomi era ini banyak yang tidak dilaksanakan karena berbagai
pergolakan politik. Strategi pemulihan terus dilaksanakan hingga tahun 1957, namun
kinerja memburuk terjadi pada masa ekonomi terpimpin yang akhirnya menghasilkan
kemunduran secara struktural ekonomi Indonesia antara tahun 1940 dan 1965. Di
pertengahan 1960an ekonomi sangat merosot dengan inflasi mendekati 500%.
Diantara wacana politik ekonomi perikanan dan kelautan adalah perjuangan
Konsepsi Archipelago sesuai deklarasi Desember 1957, dan Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) No. 5/1960, serta perikanan sebagai salah satu "mainstream"
pembangunan nasional.
38
Konsepsi archipelago diperkuat dengan UU No. 4 prp. 1960 tentang Perairan
Indonesia, yang diikuti Keppres 103/1963 untuk memberikan pengertian lebih luas
tentang lingkungan maritim. UU tersebut tidak hanya memperkokoh konsep wawasan
Nusantara, bagi perikanan perangkat kebijakan ini menguntungan karena secara prinsip
kapal ikan asing tidak dibenarkan beroperasi di dalam lingkungan maritim Indonesia.
Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan di atur dalam UU Pokok Agraria
(UUPA) pasal 47 ayat 2. Walaupun sejarah penyusunannya tidak diwarnai debat antara
konsep "kepemilikan bersama" dan "kepemilikan tunggal" sebagaimana di Jepang yang
memperkuat konsep hak atas sumber daya ikan dalam perundangan perikanannya,
namun konsepsi ini memberikan ruang bagi pengakuan "kepemilikan tunggal".
Sayangnya, peraturan pemerintah yang dimaksud dalam UUPA belum atau tidak
ditetapkan sampai saat ini dan juga tidak menjadi acuan lahirnya UU No. 9/1985 tentang
perikanan ataupun UU Perikanan No. 31/2004.
Sejak ekonomi terpimpin dicanangkan di tahun 1959, bersama minyak bumi dan
hasil hutan, perikanan menjadi harapan pengerak ekonomi nasional seperti tertuang
dalam Perencanaan Pembangunan Delapan Tahunan yang disusun Dewan Perantjang
Nasional (Depernas, sekarang Bappenas) di tahun 1961. Target pendapatan dari
ekstraksi sumber daya perikanan mencapai US$ 500 juta, namun karena ekspektasi yang
sangat berlebihan, target tersebut akhirnya direvisi menjadi US$ 12,5 juta dalam sidang
kabinet.
Setelah mengimpor ikan pada era awal kemerdekaan, produksi perikanan terus
meningkat dari 320 ribu ton pada tahun 1940 menjadi 324 ribu ton pada tahun 1951, dan
39
kemudian menjadi 661 ribu ton pada tahun 1965. Pertumbuhan produksi tertinggi 7,4%
per tahun dicapai pada periode 1959-1965, namun produktivitas per kapal menurun dari
4 ton di tahun 1951 menjadi 2,8 ton pada tahun 1965. Produktivitas nelayan juga turun
dari 1 ton menjadi 0,7 ton dalam periode yang sama. Basis perikanan pada era ini
sepenuhnya di daerah pantai dan hanya sedikit industri perikanan modern yang
berkembang.
III.2.1.4. Orde Baru: Terabaikan dan Dualisme Ekonomi Perikanan
Terdapat berbagai keberhasilan orde baru dalam pembangunan ekonomi
Indonesia seperti kemampuan memanfaatkan harga minyak yang tinggi, pertumbuhan
ekonomi yang berlanjut, perbaikan pendidikan, kesehatan dan gizi, selain beberapa
catatan tantangan bagi masa depan. Disparitas ekonomi juga meluas antara yang kaya
dan miskin, desa dan kota, bagian barat dan timur Indonesia, dan meningkatnya kroni-
konglomerat. Pengelolaan sumberdaya alam yang buruk mendapat sorotan khususnya
pengelolaan hutan.
Produksi perikanan meningkat dari 721 ribu ton pada tahun 1966 menjadi 1,923
ribu ton pada 1986. Produksi ikan meningkat menjadi 3.724 ribu ton tahun 1998. Setelah
mengalami pertumbuhan negatif dalam periode peralihan (1966-1967), laju pertumbuhan
produksi perikanan meningkat dari 3,5% (1968-1973) menjadi 5,3% per tahun (1974-
1978). Periode berikutnya pertumbuhan produksi perikanan cenderung menurun.
Produktivitas perikanan dalam era ini walaupun tumbuh dengan laju yang berfluktuasi
(khususnya kapal), secara nomimal meningkat dari rata-rata 4,3 ton/kapal periode 1974-
1978 menjadi 8,4 ton per kapal periode 1994-1998.
40
Motorisasi perikanan merupakan salah satu penyebab peningkatan produksi
sektor ini. Tahun 1966 motorisasi hanya meliputi 1.4% dari total armada perikanan
sebanyak 239.900 unit, menjadi 5,8% pada tahun 1975, dan mencapai 16% dari total
armada pada tahun 1980. Pada tahun 1998 armada perikanan bermotor telah mencapai
45,8% dari total sebanyak 412.702 unit, namun data tahun ini menunjukkan hanya 21%
berupa kapal motor, dan bagian terbesar adalah perahu motor tempel serta perahu tanpa
motor. Dengan demikian, basis perikanan masih dominan di wilayah pantai.
Konflik antara perikanan skala besar dan skala kecil mewarnai sejarah perikanan
laut orde baru sebagai akibat dualisme struktur perikanan. Dualisme perikanan
ditunjukkan oleh Bailey pada dua kasus penting yaitu 1) introduksi trawl dan purse seine
dan 2) pengembangan budidaya udang. Kasus trawl menguatkan tesis Hardin tentang
tragedi sumberdaya kepemilikan bersama. Ketika nelayan skala kecil dengan
produktivitas rendah (1,4-6,7 ton/unit alat) semakin tersingkirkan oleh nelayan skala
besar (trawl dan purse seine) dengan produktivitas masing-masing mencapai 70,4
ton/unit dan 38 ton/unit di tahun 1980, respon nelayan skala kecil adalah melawan
dengan berbagai cara termasuk menggunakan bom molotov. Kondisi ini yang
mendorong pemerintah melarang penggunaan trawl secara bertahap melalui Keppres
39/1980 yang diikuti Inpress 11/1982 dan SK Menteri Pertanian No.
545/Kpts/Um/8/1982 tentang penghapusan jaring trawl di seluruh perairan Indonesia
terhitung mulai 1 Januari 1983.
41
III.2.1.5. Pasca Reformasi: Harapan menjadi "Prime Mover”
Produksi perikanan dalam periode 1999-2001 tumbuh 2,5% per tahun, sedangkan
armada perikanan mulai tumbuh terbatas yaitu di bawah 1% per tahun. Pertumbuhan
nelayan lebih tinggi dari armada perikanan dan mendekati pertumbuhan produksi
(2,1%).
Jika periode ini dibandingkan periode sebelumnya (1994-1998), produksi
perikanan tumbuh lebih rendah (2,5%), demikian juga produktivitas kapal baik secara
nomimal maupun laju pertumbuhan. Rata-rata produktivitas perikanan periode 1994-
1998 mencapai 8,4 ton/kapal dan 1.7 ton/nelayan turun menjadi 8,3 ton/kapal dan 1,5
ton/nelayan periode tahun 1999-2001. Laju pertumbuhan produktivitas kapal mencapai
3,0% periode 1994-1998, turun menjadi 1,6% periode 1999-2001.
Berdasarkan Nota Keuangan dan APBN tahun 2000-2005, Pendapatan Negara
Bukan Pajak (PNBP) perikanan meningkat sangat pesat dari Rp 52 miliar pada tahun
2000 menjadi Rp 450 miliar pada tahun 2003. Dibanding tahun sebelumnya, PNBP 2004
turun menjadi Rp 282,8 miliar (di bawah target Rp 450 miliar) dan diperkirakan target
PNBP sebesar Rp 700 miliar pada tahun 2005 juga tidak tercapai karena belum
optimalnya perjanjian bilateral dengan Cina, Filipina dan, Thailand. Kondisi ini menjadi
satu tantangan bagi sektor perikanan dan kelautan untuk menjadi salah satu "the prime
mover" atau "mainstream" ekonomi nasional.
42
III.3. Ikhtisar Kebijakan Akuntansi
Bagian ini akan membahas mengenai kebijakan akuntansi yang telah secara
konsisten dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak pada sektor industri
perikanan di Indonesia, sebelum diberlakukannya konvergensi IFRS. Adapun kebijakan-
kebijakan akuntansi yang dijabarkan pada subbab ini adalah kebijakan akuntansi yang
masih memiliki keterkaitan dengan ruang lingkup pembahasan dari penelitian, yaitu
International Accounting Standard 41 tentang Agriculture. Berikut adalah kebijakan-
kebijakan akuntansi tersebut:
1. Persediaan
2. Persediaan Ikan Indukan
III.3.1. Persediaan
Dalam industri peternakan (perikanan), persediaan meliputi hewan ternak
tersedia untuk dijual, hewan ternak dalam proses pertumbuhan, dan barang atau material
yang akan digunakan secara langsung dalam proses produksi.
Persediaan hewan ternak tersedia untuk dijual dan hewan ternak dalam proses
pertumbuhan disajikan dengan menggunakan harga perolehan atau net realizable value,
mana yang lebih rendah apabila memenuhi kriteria yaitu (1). mempunyai harga pasar
yang dapat diandalkan, (2). mempunyai cost of disposal yang relatif rendah dan dapat
diperkirakan dan (3). tersedia untuk dijual dengan cepat. Jika tidak memenuhi kriteria
tersebut di atas, maka penilaian berdasarkan cost.
43
III.3.2. Persediaan Ikan Indukan
Persediaan ikan indukan merupakan hewan ternak yang dipelihara untuk
menghasilkan barang konsumsi. Nilai perolehan dari persediaan ikan indukan
dialokasikan secara sistematis dengan menggunakan deplesi sepanjang umur produktif
ekonomisnya menggunakan metode garis lurus (straight line method).
Selain penjabaran diatas, perlu diketahui bahwa industri agrikultur (khususnya
sektor industri perikanan) tidak memiliki pedoman akuntansi khusus, seperti yang
dimiliki oleh industri lain, contohnya Industri Perbankan Indonesia yang memiliki
Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI).
III.4. Bentuk Laporan Keuangan Perusahaan Peternakan (dan Perikanan)
Indonesia Menurut P3LKEPP Industri Peternakan
Dalam subbab ini akan disajikan bentuk laporan keuangan perusahaan
peternakan (dan perikanan) Indonesia, sebagaimana yang telah diatur pada Pedoman
Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik
(P3LKEPP) Industri Peternakan.
Laporan keuangan yang disajikan pada subbab ini berupa: (1) Neraca, (2)
Laporan Laba Rugi, (3) Laporan Perubahan Ekuitas, dan (4) Laporan Arus Kas.
Sedangkan, Catatan Atas Laporan Keuangan berdasarkan P3LKEPP Industri Peternakan,
pada penelitian ini disertakan pada Lampiran 3 (halaman L3 – L66).
51
III.5. Desain Penelitian
III.5.1. Jenis dan Sumber Data
Berdasarkan sumber datanya, penelitian ini akan menggunakan data sekunder.
Menurut Indrianto dan Supomo (2002), “data sekunder merupakan sumber data
penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara
(diperoleh dan dicatat oleh pihak lain)”. Penelitian ini akan memanfaatkan data sekunder
yang diperoleh dari situs web PT Bursa Efek Indonesia, yaitu http://www.idx.co.id. Data
sekunder yang digunakan adalah berupa laporan keuangan tahunan. Data sekunder lain
juga diperoleh melalui berbagai situs web lainnya, yang dapat berupa berita mengenai
aktivitas, sejarah dan perkembangan industri perikanan Indonesia. Penelitian ini juga
mengumpulkan data-data yang relevan dari perpustakaan Universitas Bina Nusantara,
berbagai literatur, dan jurnal.