bab iii ( landasan teori )
DESCRIPTION
cfgdgTRANSCRIPT
BAB III
LANDASAN TEORI
3.1 Penetapan Station atau Segmen Jalan
Dalam perencanaan suatu ruas jalan, untuk memudahkan dalam perencanaan
dan pelaksanaa dibuat station-station atau di singkat sta..Penempatan station
pada gambar perencanaan maupun pelaksanaanya dilapangan tergantung pada
kondisi topografi daerah. Penomoran station dimulai dari awal perencanaan
jalan bergerak maju sampai ke ujung rencana jalan. Cara penempatan nomor
station dilakukan dengan pembutan patok-patok bernomor dengan jarak
sebagai berikut:
1. Untuk daerah datar, jarak antara patok adalah 100 meter.
2. Untuk daerah berbukit, jarak antara patok adalah 50 meter.
3. Untuk daerah pegunungan, jarak antara patok adalah 25 meter.
Penempatan jarak antara patok ini berbeda-beda tergantung pada kondisi
topografi dengan maksud agar mendapatkan ketelitian pada skala horisontal
maupun vertikal didalam perhitungan volume galian dan timbunan. Pada
daerah tikungan penempatan dan penomoran station berdasarkan pada
perubahan-perubahan lengkung dari tangen ke spiral maupun dari bagian
spiral ke circle.
3 - 1
3.2 Jalan Angkut Tambang
Secara garis besar jalan angkut tambang mempunyai persyaratan yang hampir
sama dengan jalan angkut di kota dan desa. Satu-satunya perbedaan yang utama
adalah pada bagian permukaan jalan (road surface). Untuk jalan angkut tambang,
permukaan jalannya jarang sekali ditutupi dengan aspal atau beton, sebab jalan
angkut tersebut akan sering dilalui peralatan mekanis yang memakai crawler track
seperti : crawler rock drill, bulldozer, track loader, dan lain-lain.
Faktor-faktor yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap
pengoperasian alat angkut, antara lain :
a. Ketinggian tempat kerja dari permukaan laut (altitude) dan keadaan iklim.
b. Keadaan, macam dan ukuran alat muat.
c. Sifat fisik dan mekanik batuan.
d. Kondisi jalan angkut.
Fungsi utama jalan angkut secara umum adalah untuk menunjang kelancaran
operasi penambangan terutama dalam kegiatan pengangkutan. Oleh karena itu
diperlukan suatu rancangan geometri jalan tambang yang setiap elemen geometrinya
memberikan rasa aman dan efisien pada saat traveling dengan kondisi pengoperasian
kecepatan normal.
Beberapa elemen geometri jalan angkut tambang yang perlu diperhatikan adalah :
1. Lebar jalan angkut (width of haul road)
2. Jumlah jalur (number of lines)
3. Jari-jari tikungan (radius of curve)
3 - 2
4. Superelevasi (superelevation) dan superelevasi runout (superelevation runout)
5. Jarak pandang yang aman (safe sight distance)
6. Jarak henti yang aman (safe stopping distance)
7. Kemiringan jalan angkut (grade)
8. Rambu-rambu pada jalan angkut (haul road sign)
9. Lampu penerangan (lighting)
10. Damp Pengaman Jalan
11. Cross slope dari jalan angkut.
3.2.1 Lebar Jalan Angkut Tambang (Width of Mine Haul Road)
a. Lebar jalan angkut tambang pada jalan lurus
Semakin lebar jalan angkut tambang, maka akan semakin aman dan lalu-lintas
pengangkutan juga semakin lancar. Dalam penentuan lebar jalan angkut tambang
pada jalan lurus didasarkan pada formulasi Aasho Manual Rural High Way Design
sebagai berikut:
L (m) = [(n.Wt) + {(n + 1) (1/2.Wt)}] ……..………(1)
Dimana;
n = jumlah lajur
Wt = lebar satu unit kendaraan rencana (m)
3 - 3
Gambar 3.1 Jalan Angkut Tambang Pada Jalan Lurus
b. Lebar Jalan Angkut Tambang Pada Tikungan
Kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju tikungan, seringkali tak
dapat mempertahankan lintasannya pada lajur yang disediakan. Hal ini disebabkan
karena :
Pada waktu membelok yang diberi belokan pertama kali hanya roda depan,
sehingga lintasan roda belakang agak keluar lajur (off tracking).
Jejak lintasan kendaraan tidak lagi berimpit, karena bemper depan dan
belakang kendaraan akan mempunyai lintasan yang berbeda dengan lintasan
roda depan dan roda belakang kendaraan.
Pengemudi akan mengalami kesukaran dalam mempertahankan lintasannya
tetap pada lajur jalannya terutama pada tikungan-tikungan yang tajam atau
pada kecepatan-kecepatan yang tinggi.
3 - 4
Untuk penentuan besarnya dimensi lebar jalan angkut tambang pada tikungan
didasarkan pada dimensi lebar kendaraan rencana yang terlebar seperti Dump Truck
Komatsu HD 465-5 dimana kendaraan angkut tambang ini fleksibel terhadap kondisi
medan yang ada pada areal penambangan, sehingga bilamana Dump Truck Komatsu
HD 465 leluasa atau tidak kesulitan dalam melakukan manuver pada tikungan yang
telah didesign, maka tidak perlu ada lagi penambahan lebar pada tikungan. Jika di
kemudian hari diperlukan pelebaran jalan pada tikungan maka dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
W = { (2 X ( U + Fa + Fb + Z ) )+ C } ………………(2)
Z = {( U + Fa + Fb ) / 2 }
Dimana,
W = Lebar jalan pada jalur tikungan (m)
n = Jumlah jalur lalu-lintas (m)
U = Lebar lintasan truk pada tikungan (m)
Fa = Lebar juntai depan (m)
Fb = Lebar juntai belakang (m)
Z = Lebar tambahan akibat kelalaian dalam mengemudi (m)
C = Kebebasan samping
3 - 5
Gambar 3.2 Penentuan Lebar Jalan Pada Belokan
3.2.2 Alinyemen Horisontal
Alinyemen horisontal adalah proyeksi horisontal dari sumbu jalan tegak lurus
bidang peta situasi jalan. Alinyemen (garis tujuan) horisontal merupakan trase jalan
yang terdiri dari :
a. Garis lurus (tangent), merupakan jalan bagian lurus.
b. Lengkungan horisontal yang disebut tikungan.
Bagian yang sangat kritis pada alinyemen horisontal adalah bagian tikungan, dimana
terdapat gaya yang akan melemparkan kendaraan keluar dari daerah tikungan yang
disebut gaya sentrifugal. Atas dasar ini, maka design tikungan diusahakan agar dapat
memberikan keamanan dan kenyamanan sehingga perlu dipertimbangkan hal-hal
berikut :
a. Bentuk tikungan
b. Lengkung peralihan
3 - 6
c. Kemiringan melintang
d. Kebebasan samping
A. Bentuk Tikungan
Ada tiga bentuk tikungan yaitu :
Lengkung busur lingkaran sederhana (full circle)
Lengkung busur lingkaran dengan lengkung peralihan (spiral-circle-spiral)
Lengkung peralihan saja (spiral-spiral)
A.1 Lengkung Busur Lingkaran Sederhana (Full circle)
Lengkung busur lingkaran sederhana ini diperbolehkan untuk radius > 180 m
dengan sudut tangent yang relatif kecil. Beberapa segment yang terdapat dalam
lengkung horisontal berbentuk busur lingkaran sederhana terdiri atas :
Tangent yaitu bagian lurus dari jalan (di kiri TC atau di kanan CT).
Tangent circle (TC) yaitu batas antara bagian lurus dari jalan ke bagian
pelengkungan dari jalan.
Circle tangent (CT) yaitu batas antara bagian pelengkungan dari jalan ke
bagian lurus dari jalan.
Tongkat (T) yaitu jarak antara TC ke PH atau CT ke PH
Perpotongan horisontal (PH) yaitu titik potong antara kedua tongkat(T).
External (Ec) yaitu pergeseran horisontal dari PH ke pelengkungan.
Jarak ordinat (M) yaitu jarak antara pelengkungan ke tali busur
pelengkungan.
3 - 7
Derajat pelengkungan (β) yaitu besarnya sudut yang terbentuk dari
pelengkungan yang ada.
Radius circle (R) yaitu jari – jari pelengkungan
Gambar 3.3 Lengkung Busur Lingkaran SederhanaSumber : Dasar-dasar Perencanaan Geometrik
Jalan oleh : Silvia Sukirman
Formulasi yang digunakan untuk menentukan nilai beberapa segment dalam
lengkung busur lingkaran sederhana (full circle) sebagai berikut :
Tongkat (T),
T = R. tg 1/2 ….………………………………..(3)
External (Ec),
Ec = T tg 1/4 atau …………………………….(4)
Ec = .……………(5)
Panjang ordinat (M),
3 - 8
m = ……………………………….(6)
Panjang tikungan (Lc),
Lc =
= 0,01744 x x R ……………………………..(7)
Dimana;
T = tongkat (m)
R = jari-jari pelengkungan (m)
= derajat pelengkungan (diukur langsung ) ()
Ec = External (m)
Untuk perubahan superelevasi normal (en) ke superelevasi maksimum (emax)
AASHTO menetapkan 2/3 Ls’ dibagian lurus (kiri TC atau kanan CT)dan 1/3 Ls’
ditempatkan dibagian lengkung (kanan TC atau kiri CT).
A.2 Lengkung busur lingkaran dengan lengkung peralihan (Spiral-circle-
spiral)
Lengkung busur lingkaran dengan lengkung peralihan ini diperbolehkan
untuk radius < 180 m dengan sudut pelengkungan yang relatif besar.
3 - 9
Gambar 3.4 Lengkung Spiral-Lingkaran-Spiral SimetrisSumber : Dasar-dasar Perencanaan Geometrik
Jalan oleh : Silvia Sukirman
Lengkung TS-SC adalah lengkung peralihan berbentuk spiral (clothoid) yang
menghubungkan bagian lurus dengan radius tak berhingga di awal spiral (kiri TS) dan
bagian berbentuk lingkaran dengan radius = Rc diakhir spiral (kanan SC). Titik TS
adalah titik peralihan bagian lurus ke bagian berbentuk spiral dan titik SC adalah titik
peralihan bagian spiral ke bagian lingkaran.
A.3 Lengkung peralihan saja (spiral-spiral)
Bentuk tikungan jenis ini dipergunakan pada tikungan yang tajam. Lengkung
horisontal berbentuk spiral-spiral adalah lengkung tanpa busur lingkaran, sehingga
titik SC berimpit dengan titik CS. Panjang busur lingkaran Lc = 0, dan s = 1/2 . Rc
yang dipilih harus sedemikian rupa sehingga Ls yang dibutuhkan lebih besar dari Ls
yang menghasilkan landai relatif minimum yang di syaratkan.
3 - 10
B. Lengkung Horisontal
Didalam suatu design garis lengkung perlu diketahui hubungannya dengan
kecepatan rencana (Vr) dan hubungan keduanya dengan kemiringan melintang jalan
(superelevasi ), sebab pada prinsipnya lengkung peralihan bertujuan mengurangi gaya
sentrifugal yang berangsur-angsur dari mulai nol sampai mencapai maximum yang
kemudian secara berangsur-angsur menjadi nol. Secara teoritis perubahan jurusan
yang dilakukan pengemudi dari jalan lurus (R = )ke tikungan berbentuk busur
lingkaran (R = R) harus dilakukan dengan mendadak. Tetapi hal ini tak perlu karena :
Pada pertama kali membelok yang dibelokan adalah roda depan, sehingga jejak
roda akan melintasi lintasan peralihan dari jalan lurus ke tikungan berbentuk
busur lingkaran.
Akibat keadaan di atas, gaya sentrifugal yang timbulpun berangsur-angsur dari R
tak berhingga di jalan lurus sampai R = Rc pada tikungan berbentuk busur
lingkaran.
Pada lengkung horisontal yang tumpul dengan jar-jari yang besar lintasan
kendaraan masih dapat tetap berada pada lajur jalannya, tetapi pada tikungan tajam
kendaraan akan menyimpang dari lajur yang disediakan, mengambil lajur lain
disampingnya. Guna menghindari hal tersebut, sebaiknya dibuatkan lengkung dimana
lengkung tersebut merupakan peralihan dari R = Rc. Lengkung ini disebut lengkung
peralihan. Keuntungan dari penggunaan lengkung peralihan pada alinyemen
horisontal :
3 - 11
Pengemudi dapat dengan mudah mengikuti lajur yang telah disediakan
untuknya, tanpa melintasi lajur lain yang berdampingan.
Memungkinkan mengadakan perubahan dari lereng jalan normal ke
kemiringan sebesar superelevasi secara berangsur – angsur sesuai dengan
gaya sentrifugal yang timbul.
Memungkinkan mengadakan peralihan pelebaran perkerasanyang diperlukan
dari jalan lurus ke kebutuhan lebar perkerasan pada tikungan-tikungan yang
tajam.
Menambah keamanan dan kenyamanan bagi pengemudi, karena sedikit
kemungkinan pengemudi keluar dari jalur.
Menambah keindahan bentuk dari jalan tersebut, menghindari kesan patahnya
jalan pada batasan bagian lurus dan lengkung busur lingkaran.
B.1. Jari-jari kurva (Radius circle)
Untuk menentukan besarnya jari-jari kurva pada lengkung horisontal dapat
dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap trase jalan yang telah direncanakan
sebelumnya atau dengan melakukan pendekatan formulasi yang dipengaruhi oleh
superelevasi maksimum (emax) dan kecepatan rencana (Vr) sebagai berikut :
………………………….(8)
3 - 12
Dimana;
R = radius belokan (m)
V = kecepatan rencana (km/hr)
emax = superelevasi maksimum (%)
B.2. Kecepatan rencana (Design speed)
Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan design
setiap segment jalan angkut tambang seperti tikungan, kemiringan jalan, jarak
pandang dan lain-lain. Kecepatan yang dipilih tersebut adalah kecepatan tertinggi
menerus dimana kendaraan dapat berjalan dengan aman dan keamanan itu
sepenuhnya tergantung dari bentuk jalan. Keseimbangan antara fungsi jalan dan
keadaan medan akan menentukan biaya pembangunan jalan tersebut.
Medan dikatakan datar jika kecepatan kendaraan truk sama atau mendekati kecepatan
mobil penumpang. Medan dikatakan daerah perbukitan jika kecepatan kendaraan truk
berkurang sampai di bawah kecepatan mobil penumpang. Medan dikatakan
pegunungan jika kecepatan kendaraan truk berkurang banyak sehingga truk tersebut
merangkak melewati jalan tersebut dengan frekuensi yang sering. Kecapatan rencana
dapat ditetapkan dengan metode trial and erorr terhadap pengamatan radius tikungan
(R) dan superelevasi maksimum (emax) dengan pendekatan formulasi sebagai berikut :
……………………..(9)
3 - 13
Dimana;
V = kecepatan rencana (km/hr)
emax = superelevasi maksimum (%)
R = jari-jari belokan (m) (hasil pengamatan langsung pada trase jalan)
B.3 Gaya gesekan melintang (Fs) antara ban kendaraan dengan permukaan
jalan
Gaya gesekan melintang (Fs) adalah besarnya gesekan yang timbul antara ban
dan permukaan jalan dalam arah melintang jalan yang berfungsi untuk mengimbangi
gaya sentrifugal. Perbandingan antara gaya gesekan melintang dan gaya normal yang
bekerja disebut koefisien gesekan melintang. Besarnya koefisien gesekan melintang
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis dan kondisi ban, tekanan ban,
kekasaran permukaan perkerasan, kecepatan kendaraan, dan keadaan cuaca.
Formulasi yang digunakan untuk menentukan nilai koefisien gesekan melintang
maksimum adalah
fmax = ………………………….(10)
Dimana;
fmax = Koefisien gesekan melintang maksimum (%)
V = Kecepatan rencana (km/hr)
R = Jari-jari tikungan (m)
emax = Superelevasi maksimum (%)
3 - 14
C. Kemiringan Melintang (Superelevasi)
Komponen berat kendaraan untuk mengimbangi gaya sentrifugal diperoleh
dengan membuat kemiringan melintang jalan. Kemiringan melintang jalan pada
lengkung horisontal yang bertujuan untuk memperoleh komponen berat kendaraan
guna mengimbangi gaya sentrifugal biasanya disebut superelevasi. Semakin besar
superelevasi semakin besar pula komponen berat kendaraan yang diperoleh.
C.1 Kemiringan melintang normal (Superelevasi normal)
Pada jalan lurus kendaraan bergerak tanpa membutuhkan kemiringan
melintang jalan. Tetapi agar air hujan yang jatuh di atas permukaan jalan cepat
mengalir ke samping dan masuk ke selokan samping, maka dibuatkan kemiringan
melintang jalan yang umum disebut sebagai kemiringan melintang normal
(superelevasi normal). Besarnya kemiringan melintang normal sangat tergantung dari
jenis lapis permukaan yang digunakan. Semakin kedap air muka jalan tersebut
semakin landai kemiringan melintang jalan yang dibutuhkan, sebaliknya lapis
permukaan yang mudah dirembesi oleh air harus mempunyai kemiringan melintang
jalan yang cukup besar, sehingga kerusakan konstruksi perkerasan dapat dihindari.
Besarnya kemiringan melintang (en) berkisar antara 2 – 4 %.
Bentuk kemiringan melintang normal pada jalan 2 lajur 2 arah umumnya
berbentuk :
3 - 15
Gambar 3.5 Kemiringan Melintang Normal
C.2 Kemiringan melintang maksimum (Superelevasi maksimum)
Kemiringan melintang maksimum yang dapat dipergunakan pada suatu jalan
angkut tambang dibatasi oleh beberapa kondisi seperti :
Keadaan cuaca, seperti sering turun hujan, berkabut. Di daerah yang memiliki
4 musim , superelevasi maksimum yang dipilih dipengaruhi juga oleh sering
dan banyaknya salju yang turun.
Jalan yang berada di daerah yang sering turun hujan, berkabut, atau sering
turun salju, superelevasi maksimum lebih rendah daripada jalan yang berada
di daerah yang selalu bercuaca baik.
Keadaan medan, seperti datar, berbukit-bukit atau pegunungan. Di daerah
datar superelevasi maksimum dapat dipilh lebih tinggi daripada di daerah
berbukit-bukit, atau di daerah pegunungan. Dalam hal ini batasan superelevasi
maksimum yang dipilih lebih ditentukan dari kesukaran yang dialami dalam
hal pembuatan dan pelaksanaan dari jalan dengan superelevasi maksimum
yang besar.
Dasar penetapan superelevasi maksimum untuk jalan angkut tambang dapat
diambil dari American Association of State Thecnical Highway Officials (AASTHO)
yaitu superelevasi maksimum yang dianjurkan adalah 0,04; 0,06; 0,08; 0,10; dan
3 - 16
0,12. Syncrude canada Ltd. tidak menggunakan superelevasi maksimum mencapai 6
% pada setiap jalan. Superelevasi maksimum yang digunakan mencapai 4 % - 5 %.
Penetapan nilai tersebut bertujuan untuk meminimalkan terjadinya pengaruh buruk
oleh air pada permukaan jalan angkut tambang selama hujan atau pada kondisi basah.
C.3 Kemiringan Melintang Runout (Superelevasi runout)
Kemiringan melintang runout (Superelevasi runout) adalah transisi sepanjang
antara kemiringan melintang normal (en) dengan kemiringan melintang maksimum
(emax) yang bertujuan untuk membantu pengemudi dalam memanuver kendaraannya
memasuki pelengkungan (tikungan) jalan angkut tambang. Kaufman & Ault 1977 dan
AASTHO merekomendasikan pembagian panjang runout pada segment tikungan
dimana 1/3 bagian panjang runout ditempatkan pada pelengkungan (kurva) dan 2/3
bagian panjang runout ditempatkan pada bagian lurus (tangent).
Untuk menentukan panjang runout sepanjang superelevasi runout berdasarkan pada
tabel 3.1 yang merupakan standar maksimum perubahan cross slope untuk setiap 30
m dengan kecepatan rencana (Vr). Pendekatan formulasi yang digunakan untuk
menentukan panjang runout berdasarkan afterKaufman & Ault 1977 sebagai berikut :
Panjang runout (Ls’) = x 30 m ………………..(11)
Dimana;
Ls’ = Panjang runout (m)
en = Superelevasi normal (%)
3 - 17
emax = Superelevasi maksimum (%)
cs = Perubahan cross slope (%)
Tabel 3.1after Kaufman & Ault 1977
Kec. RencanaPerubahan maks. Cross slope
pada jarak 30 m(km/hr) (%)
16 8,00024 8,00032 8,00033 7,87534 7,75036 7,50037 7,37539 7,12540 7,000
Tabel 3.2
Sumber : Caterpillar Perfomance Handbook edition 33 Hal 26-3
Superelevasi kurva dalam % grade (caterpillar 1999)
Radius belokan kecepatan kendaraan
(m)16
km/hr24
km/hr32
km/hr 40
km/hr48
km/hr56
km/hr64
km/hr72
km/hr
15.2 13% 30,5 7% 15% 45,7 4% 10% 61,0 3% 8% 13% 91,5 2% 5% 9% 14% 152,4 1% 3% 5% 8% 12% 16% 213,4 1% 2% 4% 6% 9% 12% 15% 304,9 1% 2% 3% 4% 6% 8% 11% 14%
3 - 18
C.4 Diagram kemiringan melintang ( superelevasi )
Diagram superelevasi menggambarkan pencapaian superelevasi dari lereng
normal ke superelevasi penuh, sehingga dengan mempergunakan diagram
superelevasi dapat ditentukan bentuk penampang melintang pada setiap titik di suatu
lengkung horisontal yang direncanakan. Diagram superelevasi digambar berdasarkan
elevasi sumbu jalan sebagai garis nol. Elevasi tepi perkerasan diberi tanda posistf atau
negatif ditinjau dari ketinggian sumbu jalan.
Pendekatan formulasi yang digunakan untuk menentukan besarnya perubahan dari
superelevasi normal sampai mencapai superelevasi maksimum sebagai berikut :
2/3 Ls’ 1/3 Ls’ Dari gambar disamping diperoleh pers. :
x en emax
x = …...
(12)
Dimana;
Ls’ = lengkung peralihan fiktif (runout length) (m)
en = Superelevasi normal (%)
emax = Superelevasi maksimum (%)
3 - 19
x = Superelevasi yang dicari (%)
D. Jarak henti (Stopping distance) dan jarak pandang (Sight distance) yang
aman pada lengkung horisontal
Jarak pandangan pengemudi kendaraan yang bergerak pada lajur tepi sebelah
dalam seringkali dihalangi oleh hutan-hutan kayu, tebing galian dan lain sebagainya.
Demi menjaga keamanan pengguna jalan angkut tambang, panjang sepanjang jarak
henti dan jarak pandang minimum harus terpenuhi di sepanjang lengkung horisontal.
Banyaknya penghalang-penghalang yang mungkin terjadi dan sifat-sifat yang berbeda
dari masing-masing penghalang mengakibatkan sebaiknya setiap faktor yang
menimbulkan halangan tersebut ditinjau sendiri-sendiri.
Penentuan batas minimum jarak antara sumbu lajur sebelah dalam ke penghalangan
ditentukan berdasarkan dua kondisi yaitu :
D.1 Kondisi dimana jarak pandang dan jarak henti berada di dalam
pelengkungan ( S < L ) dengan pendekatan formulasi sebagai berikut :
SD = x x R; ………………………(13)
ShD = ………(14)
Dimana;
= derajat pelengkungan ()
3 - 20
R = Radius kurva (m)
= ½ derajat pelengkungan ()
SD = Stopping Distance (m)
ShD = Sight Distance (m)
D.2 Kondisi dimana jarak pandang dan jarak henti berada di luar
pelengkungan ( S > L ) dengan pendekatan formulasi sebagai berikut :
SD = 0,01744 x x R; …………………….(15)
ShD = …. …………(16)
Dimana;
= derajat pelengkungan ()
R = Radius kurva (m)
= ½ derajat pelengkungan ()
SD = Stopping Distance (m)
ShD = Sight Distance (m)
3.3 Volume Galian Dan Timbunan
Berdasarkan data gambaran tentang bentuk alinyemen vertikal terhadap
permukaan tanah asli dari profil memanjang akan diketahui ketinggian permukaan
rencana jalannya. Informasi ini selanjutnya digambarkan dalam bentuk profil
melintang setiap station. Dari gambaran ini selanjutnya dapat dihitung volume galian
dan timbunan. Untuk ketelitian data sebaiknya menggunakan Peta sekurang-
3 - 21
kurangnya berskala 1 : 1000. Perhitungan volume galian dan timbunan dapat dihitung
berdasarkan persamaan:
V = L X d …………… ( 17 )
Dimana ;
V = Volume ( m3 )
L = Luas ( m2 )
d = Lebar Jalan rencana ( m )
L ( luas ) dapat dihitung berdasarkan bentuk setiap segmen jalan pada profil
melintang, digunakan beberapa metode antara lain;
Metode Segitiga,
L = ,
………………( 18 )
s = ………………. ……………..( 19 )
Dimana ; a, b, c = Panjang sisi segitiga
Metode Segi Empat
L = Panjang X Lebar …………. ……………..…( 20 )
Metode Jajaran Genjang
L = Alas X Tinggi …………………………….…( 21 )
Metode Trapesium
3 - 22
L = d ………….…( 22 )
3.4 Pembongkaran Batu Gamping
3.4.1 Pemboran ( Drilling )
Kegiatan pemboran merupakan awal dari kegiatan pembongkaran material
karena material batugamping tidak dapat dilakukan oleh alat mekanis secara
langsung. Diperlukan kegiatan pemboran untuk membuat lubang tembak (Blast Hole)
ledakan pada daerah penambangan dan daerah rintisan. Pemilihan jenis alat bor yang
digunakan dipengaruhi oleh kondisi batuan yang akan di bor serta hal-hal lain yang
mendukung dalam keberhasilan pemboran dan peledakan nantinya. Untuk
menghasilkan produksi peledakan yang baik maka perlu dilakukan upaya untuk
menentukan pola pemboran yang digunakan, pedoman pelaksanaan dan hal-hal
penting yang menghambat kegiatan pemboran.
3.4.1.1. Pola Pemboran
Pola pemboran merupakan pengaturan jarak antara lubang-lubang bor yang
sejajar bidang bebas (Spacing) atau jarak antara lubang-lubang bor dengan bidang
bebas (Burden). Pola pemboran yang biasa diterapkan adalah pola sejajar persegi
panjang, pola bujur sangkar dan kadang-kadang digunakan pola zig-zag (Staggered
Pattern) lihat Gambar 3.6.
3 - 23
Gambar 3.6
Pola Pemboran Sejajar ( A ) dan Pola Zig-Zag ( B )
3.4.1.2 Produktifitas Pemboran
a. Cycle Time Pemboran
Cycle Time pemboran merupakan waktu siklus alat bor dalam satu kali
membor sampai pindah ke lubang yang lainnya dalam waktu tertentu.
Cycle Time pemboran satu siklus adalah sebagai berikut :
- Waktu membor ( Wb )
- Waktu melepas dan sambung rod ( Wm )
- Waktu cabut / menaikkan rod ( Wc )
- Waktu pindah posisi ( Wp )
3 - 24
Free Face
Burden
Spacing
Pola Bujur Sangkar
Pola Sejajar ( A )Free Face
Burden
Spacing
Pola Persegi Panjang
B BS
S
Pola Zig-Zag ( B ) Free Face
Burden
Spacing
B
½ S
S
½ S
Total Cycle time = Wb + Wm + Wc + Wp …………………( 23 )
b. Kecepatan Pemboran
Kecepatan pemboran atau penetration rate adalah kedalaman yang dapat
dicapai oleh suatu alat bor dalam waktu tertentu. Kecepatan pemboran dapat di
ketahui apabila kedalaman pemboran , dan waktu membor di ketahui secara pasti.
Kecepatan pemboran dapat di rumuskan sebagai berikut :
Kec. Pemboran ( Vp ) = ( m/mnt )…………( 24 )
c. Effesiensi Kerja alat bor
Yang dimaksud dengan effisiensi kerja alat bor adalah perbandingan antara
waktu yang digunakan oleh alat untuk produksi dengan waktu yang tersedia di kali
seratus persen, sehingga dinyatakan dalam %. Utuk lebih jelasnya dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Eff = x 100 % ………………………………( 25 )
Dimana :
Eff = Effisiensi kerja ( % )
We = Waktu kerja efektif ( jam )
T = Total waktu yang tersedia ( jam )
Untuk mengetahui keadaan alat dalam penggunaannya dapat di tulis melalui
persamaan sebagai berikut :
3.4.1.3 Kemampuan Produksi lubang pemboran ( Pb )
3 - 25
Pb = …………………………( 26)
Dimana :
Pb = Produksi lubang / jam
Eff = Effesiensi kerja alat bor
T = Waktu kerja yang tersedia
3.4.2 Peledakan ( Blasting )
Peledakan merupakan tindak lanjut dari kegiatan pemboran, dimana
tujuannya adalah untuk melepaskan batuan dari batuan induknya agar menjadi
fragmen-fragmen yang berukuran lebih kecil sehingga memudahkan dalam
pendorongan, pemuatan, pengangkutan, dan konsumsi material pada crusher yang
terpasang.
Metode peledakan yang diterapkan oleh PT. Semen Tonasa adalah peledakan
secara listrik, dimana penempatan lubang bor diatur sedemikian rupa dan di ledakkan
dengan pola tertentu yang di sebut dengan pola peledakkan.
3.4.2.1 Geometri Peledakan
Untuk mencapai produksi peledakan batugamping Yang diinginkan, maka
hal yang perlu diperhatikan adalah parameter dari geometri peledakan yang terdiri
atas burden, spacing, sub drilling, dan kedalaman lubang bor.
Untuk menentukan Geometri peledakkan pada PT. Semen Tonasa maka
pendekatan teori yang digunakan adalah “Anderson Formula”. Hal ini dilakukan
3 - 26
untuk menguji keefektipan dalam mengurangi fragmentasi, dan upaya peningkatan
produksi.
a. Burden
Burden merupakan jarak dari muatan tegak lurus terhadap free face terdekat dan
arah dimana pelemparan akan terjadi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan burden :
Karakteristik batuan yaitu sifat yang dimiliki oleh batuan seperti adanya
bidang-bidang lemah seperti retakan atau rekahan (discontinue ).
Jenis bahan peledak yang digunakan yaitu bahan peledak yang berupa ANFO
dengan karakteristik menghasilkan banyak gas adalah cocok digunakan untuk
jenis batuan yang memiliki retakan untuk memindahkan material.
Untuk memperkirakan burden maka dapat di tentukan dengan pendekatan
teori “ Anderson “ yang merupakan teori empiris yang sesuai dengan kondisi bahan
galian baik kekerasannya maupun struktur geologi yang ada didalamnya sehingga di
harapkan dapat menghasilkan nilai peledakan yang bagus sesuai target kuantitas dan
kualitas yang di inginkan.
Nilai Burden menurut teori “Anderson “ di nyatakan dengan rumus sebagai berikut :
B = 0,11 …………………( 27 )
Dimana :
De = Diameter lubang bor ( mm )
H = Kedalam lubang ( m )
3 - 27
Gambar 3.7
Geometri Peledakan
Keterangan :
B = Burden
S = Spacing
H = Kedalaman lubang tembak
L = Tinggi jenjang
PC = Tinggi isian bahan peledak
J = Sub drilling
T = Stemming
b. Kedalaman Lubang Ledak
3 - 28
L
T
J
PCC
B
B
S
S
H
FREE FACE
Secara teoritis kedalaman lubang ledak tidak boleh lebih kecil dari burden. Hal
ini untuk menghindari terjadinya “ over break “ atau “ createring “. Nilai hole depth
ratio ( Kh ) ditentukan melalui persamaan sebagai berikut
Kh = …………………( 28 )
Dimana ;
Kh = Hole depth ratio = 1,5 – 4,0
H = Kedalaman lubang ledak ( m )
B = Burden ( m )
Pengaruh nilai burden terlalu kecil dapat menyebabkan fly rock ( gambar 3.8)
Gambar 3.8Penyebab Pengaruh Burden Terlalu Kecil
c. Spacing ( S )
3 - 29
Batu-BatuMelayang Stemming
Burden
Spacing adalah jarak antara lubang-lubang bor dirangkai dalam satu baris (row)
dan diukur sejajar terhadap pit wall, biasanya spacing tergantung pada burden,
kedalaman lubang bor, letak primer, dan delay. Besarnya spacing dapat digunakan
persamaan sebagai berikut :
S = 1,25 B …………………( 29 )
Besarnya spacing ratio ( Ks ) menurut waktu delay yang dipergunakan adalah
sebagai berikut :
- Long interval delay Ks = 1
- Short periode Ks = 1 – 2
- Normal Ks = 1,25 – 1,8
Prinsip dasar penentuan spacing adalah sebagai berikut :
Apabila lubang-lubang bor dalam satu baris (row) diledakan secara sequence
delay maka Ks =1, maka S = B
Apabila lubang-lubang bor dalam satu baris (row) diledakan secara simultan
(serentak), maka Ks = 2 jadi S = 2B
Apabila dalam banyak baris (multiple row) lubang-lubang bor dalam satu baris
diledakan secara sequence delay dan lubang-lubang bor dalam arah lateral dari
baris yang berlainan di ledakan secara simultan maka pemborannya harus
dibuat squard arregement.
Apabila dalam multiple row lubang-lubang bor dalam satu baris yang satu
dengan yang lainnya di delay, maka harus digunakan staggered pattern.
d. Sub drilling
3 - 30
Sub drilling adalah bagian dari lubang tembak di bawah permukaan jenjang
(bench). Penggunaan sub drilling adalah dimaksudkan agar batuan terbungkar secara
full face sebagaimana yang diterapkan. Apabila batuan tidak terbongkar secara full
face akan mengakibatkan lantai yang tidak rata atau adanya tonjolan-tonjolan yang
akan menyulitkan kegiatan pemuatan dan pengangkutan. Biasanya sub drilling ratio
(Kj) dipakai 0,3 untuk batuan massive.
3.4.2.2 Pola Peledakan
Pola peledakan di lakukan untuk mengefektifkan hasil peledakan. Secara
garis besar pola peledakan yang biasa digunakan dalam pembongkaran adalah pola
peledakan dengan arah lemparan ke depan yang sejajar bidang bebas, pengaturan
delay menyerupai hurup V lihat gambar 3.10 dan pola peledakan dengan arah
lemparan ke arah pojok (Pola Corner Cut), pola peledakan yang menyerupai bentuk
kotak (Box Cut) yang dilakukan dengan cara pengaturan nomor delay detonator dan
sistem penembakan secara beruntun (delay) dan secara serentak (simultan). Pola
peledakan disesuaikan dengan bentuk pola pemboran yang sudah ada, dan untuk
menghasilkan arah lemparan yang teratur dilakukan pengaturan nomor delay
detonator yang tepat. Pola pemboran zig-zag lebih sering digunakan dimaksudkan
agar dalam peledakan energi bahan peledak dapat di distribusikan secara optimum
untuk mencapai fragmentasi yang dikehendaki, akan tetapi hal ini di sesuaikan
dengan kondisi lapangan, kemampuan alat bor dalam pindah posisi, dan kebiasaan
3 - 31
Pola Sejajar Pola Zig-Zag
A
B
C
A = Daerah Penyebab Energi Bahan PeledakB = Lubang LedakC = Daerah Yang Tidak Dihancurkan Energi Bahan Peledak
skill yang dimiliki oleh operator alat. Distribusi penyebaran energi bahan peledak
dapat di lihat pada Gambar 3.9.
Gambar 3.9
Distribusi Relatif Energi Bahan Peledak
Detonator yang digunakan adalah detonator listrik jenis tunda dimana arus
listrik berfungsi sebagai sumber energi. Pengaturan nomor delay detonator dapat
disusun atau di atur sesuai nomor delay detonator, dengan interval delay yang terkecil
3 - 32
ke interval delay yang besar. Hal ini dimaksudkan agar dalam peledakan terdapat
bidang-bidang bebas. Pengaturan nomor delay detonator ini dapat dibuat berdasarkan
profil tumpukan material hasil peledakan yang di inginkan. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat seperti pada gamar di bawah ini.
Gambar 3.10
Pengaturan Nomor Delay Detonator
Interval delay yang terlalu singkat antara lubang dalam satu baris dan
antara baris dapat menyebabkan over break < 25 milli second yang berlebihan.
Jika delay antar lubang peledakan pada baris belakang (Back Row) kurang dari
42 milli second (ms), bahan peledak dapat bereaksi bersama-sama untuk
menghancurkan dinding belakang (Back Wall). Interval delay antara baris yang
3 - 33
4 3 2 1 0 1 2 3 4
7 6 5 5 6 7
4 43 32 21 10
5 56 67 7
FREE FACE
terlalu singkat < 35 milli second (ms) dapat menyebabkan terjadinya back
break.
Pada setiap detonator listrik type delay tercantum nomor delaynya. Misalnya
untuk merek “Himeji “ tertera nomor delay yaitu selang peledakannya nol
detik, nomor 1 selang waktu peledakan 1 x 0,025 milli econd. Demikian nomor
delay selanjutnya. Peledakan banyak baris ( > 4 baris ) penggunaan interval
delay yang semakin lama di baris belakang akan mengakibatkan terbentuknya
bidang bebas.
3.4.2.3 Produktivitas Hasil Peledakan
a. Massa Ledakan ( W )
Massa ledakan suatu material merupakan perkalian antara volume ledakan di
kalikan dengan density batuan yang ada. Massa ledakan material dapat di nyatakan
dalam rumus matematis sebagai berikut :
Massa Ledakan ( W ) = Volume ledakan x Density batuan ………( 30 )
b. Produksi Peledakan ( P )
Produksi peledakan adalah jumlah material yang akan terbongkar apabila di
lakukan peledakan. Produksi batuan yang terbongkar dapat di nyatakan dalam rumus
sebagai berikut :
P = W x x 60 menit / jam x jam kerja/ hari
…………………( 31 )
3 - 34
Dimana ;
W = Massa ledakan ( ton / lubang )
P = Produksi ( Ton / unit alat )
Eff = Effisiensi kerja alat bor ( % )
CT = Cycle time ( menit )
3.4.3 Alat penggali/ pendorong (dozing)
Alat ini berfungsi untuk menggali dan mendorong material hasil peledakan,
maka digunakan Bulldozer Cat. D9N dan Bulldozer Cat. D10N dengan jenis bilah
(blade) “universal”. Kapasitas produksi Bulldozer dapat diperkirakan dengan
menggunakan persamaan :
P Bulldozer = ………… ( 32 )
Dimana ;P Buldozer : Produksi Bulldozer ( LCM/h )
C blade : kapasitas bilah , m3
F koreksi : faktor koreksi blade, %
CT : waktu edar, menit
EU : Efisiensi Kerja
Sf : Swell Factor
Faktor koreksi menurut CAT Hand Book, yaitu faktor koreksi yang
mempengaruhi produksi Bulldozer seperti : kondisi kerja, keahlian operator, efisiensi
3 - 35
kerja, dan sebagainya (lihat tabel). Faktor teoritis ini merupakan faktor koreksi
teoritis.
KONDISI KERJA CRAWLER FACTOR WHEEL LOADER
1. Jenis material Tanah lepas Keras untuk digali Batuan hasil peledakan
Tanpa silinder jungkit 2. Operator
Baik
Sedang
Buruk 3. Sistem Dozing
Slot dozing Side by side dozing
4. Cuaca Gelap, berdebu, hujan
5. Efisiensi kerja 50 menit/ jam 40 menit/ jam
6. Direct drive transmission
1,200,80
0,6 – 0,80,70
1,000.750,601,20
1,15 – 1,25
0,80
0,830,670,80
1,200,75
--
1,000,600,501,20
1,15 – 1,25
0,70
0,830,67
-
Tabel. 3.3 Faktor Koreksi Bulldozer
3.5 Lama Pembuatan Jalan Tambang
Waktu pembuatan Jalan tergantung pada Tonase material galian, timbunan
dan kemampuan produksi alat.
Lama Pembuatan Jalan = ……….. ( 33
)
3 - 36