bab iii ( landasan teori )

53
BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Penetapan Station atau Segmen Jalan Dalam perencanaan suatu ruas jalan, untuk memudahkan dalam perencanaan dan pelaksanaa dibuat station- station atau di singkat sta..Penempatan station pada gambar perencanaan maupun pelaksanaanya dilapangan tergantung pada kondisi topografi daerah. Penomoran station dimulai dari awal perencanaan jalan bergerak maju sampai ke ujung rencana jalan. Cara penempatan nomor station dilakukan dengan pembutan patok-patok bernomor dengan jarak sebagai berikut: 1. Untuk daerah datar, jarak antara patok adalah 100 meter. 2. Untuk daerah berbukit, jarak antara patok adalah 50 meter. 3 - 1

Upload: hkmiftah

Post on 02-Jan-2016

82 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

cfgdg

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III ( Landasan Teori )

BAB III

LANDASAN TEORI

3.1 Penetapan Station atau Segmen Jalan

Dalam perencanaan suatu ruas jalan, untuk memudahkan dalam perencanaan

dan pelaksanaa dibuat station-station atau di singkat sta..Penempatan station

pada gambar perencanaan maupun pelaksanaanya dilapangan tergantung pada

kondisi topografi daerah. Penomoran station dimulai dari awal perencanaan

jalan bergerak maju sampai ke ujung rencana jalan. Cara penempatan nomor

station dilakukan dengan pembutan patok-patok bernomor dengan jarak

sebagai berikut:

1. Untuk daerah datar, jarak antara patok adalah 100 meter.

2. Untuk daerah berbukit, jarak antara patok adalah 50 meter.

3. Untuk daerah pegunungan, jarak antara patok adalah 25 meter.

Penempatan jarak antara patok ini berbeda-beda tergantung pada kondisi

topografi dengan maksud agar mendapatkan ketelitian pada skala horisontal

maupun vertikal didalam perhitungan volume galian dan timbunan. Pada

daerah tikungan penempatan dan penomoran station berdasarkan pada

perubahan-perubahan lengkung dari tangen ke spiral maupun dari bagian

spiral ke circle.

3 - 1

Page 2: BAB III ( Landasan Teori )

3.2 Jalan Angkut Tambang

Secara garis besar jalan angkut tambang mempunyai persyaratan yang hampir

sama dengan jalan angkut di kota dan desa. Satu-satunya perbedaan yang utama

adalah pada bagian permukaan jalan (road surface). Untuk jalan angkut tambang,

permukaan jalannya jarang sekali ditutupi dengan aspal atau beton, sebab jalan

angkut tersebut akan sering dilalui peralatan mekanis yang memakai crawler track

seperti : crawler rock drill, bulldozer, track loader, dan lain-lain.

Faktor-faktor yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap

pengoperasian alat angkut, antara lain :

a. Ketinggian tempat kerja dari permukaan laut (altitude) dan keadaan iklim.

b. Keadaan, macam dan ukuran alat muat.

c. Sifat fisik dan mekanik batuan.

d. Kondisi jalan angkut.

Fungsi utama jalan angkut secara umum adalah untuk menunjang kelancaran

operasi penambangan terutama dalam kegiatan pengangkutan. Oleh karena itu

diperlukan suatu rancangan geometri jalan tambang yang setiap elemen geometrinya

memberikan rasa aman dan efisien pada saat traveling dengan kondisi pengoperasian

kecepatan normal.

Beberapa elemen geometri jalan angkut tambang yang perlu diperhatikan adalah :

1. Lebar jalan angkut (width of haul road)

2. Jumlah jalur (number of lines)

3. Jari-jari tikungan (radius of curve)

3 - 2

Page 3: BAB III ( Landasan Teori )

4. Superelevasi (superelevation) dan superelevasi runout (superelevation runout)

5. Jarak pandang yang aman (safe sight distance)

6. Jarak henti yang aman (safe stopping distance)

7. Kemiringan jalan angkut (grade)

8. Rambu-rambu pada jalan angkut (haul road sign)

9. Lampu penerangan (lighting)

10. Damp Pengaman Jalan

11. Cross slope dari jalan angkut.

3.2.1 Lebar Jalan Angkut Tambang (Width of Mine Haul Road)

a. Lebar jalan angkut tambang pada jalan lurus

Semakin lebar jalan angkut tambang, maka akan semakin aman dan lalu-lintas

pengangkutan juga semakin lancar. Dalam penentuan lebar jalan angkut tambang

pada jalan lurus didasarkan pada formulasi Aasho Manual Rural High Way Design

sebagai berikut:

L (m) = [(n.Wt) + {(n + 1) (1/2.Wt)}] ……..………(1)

Dimana;

n = jumlah lajur

Wt = lebar satu unit kendaraan rencana (m)

3 - 3

Page 4: BAB III ( Landasan Teori )

Gambar 3.1 Jalan Angkut Tambang Pada Jalan Lurus

b. Lebar Jalan Angkut Tambang Pada Tikungan

Kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju tikungan, seringkali tak

dapat mempertahankan lintasannya pada lajur yang disediakan. Hal ini disebabkan

karena :

Pada waktu membelok yang diberi belokan pertama kali hanya roda depan,

sehingga lintasan roda belakang agak keluar lajur (off tracking).

Jejak lintasan kendaraan tidak lagi berimpit, karena bemper depan dan

belakang kendaraan akan mempunyai lintasan yang berbeda dengan lintasan

roda depan dan roda belakang kendaraan.

Pengemudi akan mengalami kesukaran dalam mempertahankan lintasannya

tetap pada lajur jalannya terutama pada tikungan-tikungan yang tajam atau

pada kecepatan-kecepatan yang tinggi.

3 - 4

Page 5: BAB III ( Landasan Teori )

Untuk penentuan besarnya dimensi lebar jalan angkut tambang pada tikungan

didasarkan pada dimensi lebar kendaraan rencana yang terlebar seperti Dump Truck

Komatsu HD 465-5 dimana kendaraan angkut tambang ini fleksibel terhadap kondisi

medan yang ada pada areal penambangan, sehingga bilamana Dump Truck Komatsu

HD 465 leluasa atau tidak kesulitan dalam melakukan manuver pada tikungan yang

telah didesign, maka tidak perlu ada lagi penambahan lebar pada tikungan. Jika di

kemudian hari diperlukan pelebaran jalan pada tikungan maka dapat dihitung dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

W = { (2 X ( U + Fa + Fb + Z ) )+ C } ………………(2)

Z = {( U + Fa + Fb ) / 2 }

Dimana,

W = Lebar jalan pada jalur tikungan (m)

n = Jumlah jalur lalu-lintas (m)

U = Lebar lintasan truk pada tikungan (m)

Fa = Lebar juntai depan (m)

Fb = Lebar juntai belakang (m)

Z = Lebar tambahan akibat kelalaian dalam mengemudi (m)

C = Kebebasan samping

3 - 5

Page 6: BAB III ( Landasan Teori )

Gambar 3.2 Penentuan Lebar Jalan Pada Belokan

3.2.2 Alinyemen Horisontal

Alinyemen horisontal adalah proyeksi horisontal dari sumbu jalan tegak lurus

bidang peta situasi jalan. Alinyemen (garis tujuan) horisontal merupakan trase jalan

yang terdiri dari :

a. Garis lurus (tangent), merupakan jalan bagian lurus.

b. Lengkungan horisontal yang disebut tikungan.

Bagian yang sangat kritis pada alinyemen horisontal adalah bagian tikungan, dimana

terdapat gaya yang akan melemparkan kendaraan keluar dari daerah tikungan yang

disebut gaya sentrifugal. Atas dasar ini, maka design tikungan diusahakan agar dapat

memberikan keamanan dan kenyamanan sehingga perlu dipertimbangkan hal-hal

berikut :

a. Bentuk tikungan

b. Lengkung peralihan

3 - 6

Page 7: BAB III ( Landasan Teori )

c. Kemiringan melintang

d. Kebebasan samping

A. Bentuk Tikungan

Ada tiga bentuk tikungan yaitu :

Lengkung busur lingkaran sederhana (full circle)

Lengkung busur lingkaran dengan lengkung peralihan (spiral-circle-spiral)

Lengkung peralihan saja (spiral-spiral)

A.1 Lengkung Busur Lingkaran Sederhana (Full circle)

Lengkung busur lingkaran sederhana ini diperbolehkan untuk radius > 180 m

dengan sudut tangent yang relatif kecil. Beberapa segment yang terdapat dalam

lengkung horisontal berbentuk busur lingkaran sederhana terdiri atas :

Tangent yaitu bagian lurus dari jalan (di kiri TC atau di kanan CT).

Tangent circle (TC) yaitu batas antara bagian lurus dari jalan ke bagian

pelengkungan dari jalan.

Circle tangent (CT) yaitu batas antara bagian pelengkungan dari jalan ke

bagian lurus dari jalan.

Tongkat (T) yaitu jarak antara TC ke PH atau CT ke PH

Perpotongan horisontal (PH) yaitu titik potong antara kedua tongkat(T).

External (Ec) yaitu pergeseran horisontal dari PH ke pelengkungan.

Jarak ordinat (M) yaitu jarak antara pelengkungan ke tali busur

pelengkungan.

3 - 7

Page 8: BAB III ( Landasan Teori )

Derajat pelengkungan (β) yaitu besarnya sudut yang terbentuk dari

pelengkungan yang ada.

Radius circle (R) yaitu jari – jari pelengkungan

Gambar 3.3 Lengkung Busur Lingkaran SederhanaSumber : Dasar-dasar Perencanaan Geometrik

Jalan oleh : Silvia Sukirman

Formulasi yang digunakan untuk menentukan nilai beberapa segment dalam

lengkung busur lingkaran sederhana (full circle) sebagai berikut :

Tongkat (T),

T = R. tg 1/2 ….………………………………..(3)

External (Ec),

Ec = T tg 1/4 atau …………………………….(4)

Ec = .……………(5)

Panjang ordinat (M),

3 - 8

Page 9: BAB III ( Landasan Teori )

m = ……………………………….(6)

Panjang tikungan (Lc),

Lc =

= 0,01744 x x R ……………………………..(7)

Dimana;

T = tongkat (m)

R = jari-jari pelengkungan (m)

= derajat pelengkungan (diukur langsung ) ()

Ec = External (m)

Untuk perubahan superelevasi normal (en) ke superelevasi maksimum (emax)

AASHTO menetapkan 2/3 Ls’ dibagian lurus (kiri TC atau kanan CT)dan 1/3 Ls’

ditempatkan dibagian lengkung (kanan TC atau kiri CT).

A.2 Lengkung busur lingkaran dengan lengkung peralihan (Spiral-circle-

spiral)

Lengkung busur lingkaran dengan lengkung peralihan ini diperbolehkan

untuk radius < 180 m dengan sudut pelengkungan yang relatif besar.

3 - 9

Page 10: BAB III ( Landasan Teori )

Gambar 3.4 Lengkung Spiral-Lingkaran-Spiral SimetrisSumber : Dasar-dasar Perencanaan Geometrik

Jalan oleh : Silvia Sukirman

Lengkung TS-SC adalah lengkung peralihan berbentuk spiral (clothoid) yang

menghubungkan bagian lurus dengan radius tak berhingga di awal spiral (kiri TS) dan

bagian berbentuk lingkaran dengan radius = Rc diakhir spiral (kanan SC). Titik TS

adalah titik peralihan bagian lurus ke bagian berbentuk spiral dan titik SC adalah titik

peralihan bagian spiral ke bagian lingkaran.

A.3 Lengkung peralihan saja (spiral-spiral)

Bentuk tikungan jenis ini dipergunakan pada tikungan yang tajam. Lengkung

horisontal berbentuk spiral-spiral adalah lengkung tanpa busur lingkaran, sehingga

titik SC berimpit dengan titik CS. Panjang busur lingkaran Lc = 0, dan s = 1/2 . Rc

yang dipilih harus sedemikian rupa sehingga Ls yang dibutuhkan lebih besar dari Ls

yang menghasilkan landai relatif minimum yang di syaratkan.

3 - 10

Page 11: BAB III ( Landasan Teori )

B. Lengkung Horisontal

Didalam suatu design garis lengkung perlu diketahui hubungannya dengan

kecepatan rencana (Vr) dan hubungan keduanya dengan kemiringan melintang jalan

(superelevasi ), sebab pada prinsipnya lengkung peralihan bertujuan mengurangi gaya

sentrifugal yang berangsur-angsur dari mulai nol sampai mencapai maximum yang

kemudian secara berangsur-angsur menjadi nol. Secara teoritis perubahan jurusan

yang dilakukan pengemudi dari jalan lurus (R = )ke tikungan berbentuk busur

lingkaran (R = R) harus dilakukan dengan mendadak. Tetapi hal ini tak perlu karena :

Pada pertama kali membelok yang dibelokan adalah roda depan, sehingga jejak

roda akan melintasi lintasan peralihan dari jalan lurus ke tikungan berbentuk

busur lingkaran.

Akibat keadaan di atas, gaya sentrifugal yang timbulpun berangsur-angsur dari R

tak berhingga di jalan lurus sampai R = Rc pada tikungan berbentuk busur

lingkaran.

Pada lengkung horisontal yang tumpul dengan jar-jari yang besar lintasan

kendaraan masih dapat tetap berada pada lajur jalannya, tetapi pada tikungan tajam

kendaraan akan menyimpang dari lajur yang disediakan, mengambil lajur lain

disampingnya. Guna menghindari hal tersebut, sebaiknya dibuatkan lengkung dimana

lengkung tersebut merupakan peralihan dari R = Rc. Lengkung ini disebut lengkung

peralihan. Keuntungan dari penggunaan lengkung peralihan pada alinyemen

horisontal :

3 - 11

Page 12: BAB III ( Landasan Teori )

Pengemudi dapat dengan mudah mengikuti lajur yang telah disediakan

untuknya, tanpa melintasi lajur lain yang berdampingan.

Memungkinkan mengadakan perubahan dari lereng jalan normal ke

kemiringan sebesar superelevasi secara berangsur – angsur sesuai dengan

gaya sentrifugal yang timbul.

Memungkinkan mengadakan peralihan pelebaran perkerasanyang diperlukan

dari jalan lurus ke kebutuhan lebar perkerasan pada tikungan-tikungan yang

tajam.

Menambah keamanan dan kenyamanan bagi pengemudi, karena sedikit

kemungkinan pengemudi keluar dari jalur.

Menambah keindahan bentuk dari jalan tersebut, menghindari kesan patahnya

jalan pada batasan bagian lurus dan lengkung busur lingkaran.

B.1. Jari-jari kurva (Radius circle)

Untuk menentukan besarnya jari-jari kurva pada lengkung horisontal dapat

dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap trase jalan yang telah direncanakan

sebelumnya atau dengan melakukan pendekatan formulasi yang dipengaruhi oleh

superelevasi maksimum (emax) dan kecepatan rencana (Vr) sebagai berikut :

………………………….(8)

3 - 12

Page 13: BAB III ( Landasan Teori )

Dimana;

R = radius belokan (m)

V = kecepatan rencana (km/hr)

emax = superelevasi maksimum (%)

B.2. Kecepatan rencana (Design speed)

Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan design

setiap segment jalan angkut tambang seperti tikungan, kemiringan jalan, jarak

pandang dan lain-lain. Kecepatan yang dipilih tersebut adalah kecepatan tertinggi

menerus dimana kendaraan dapat berjalan dengan aman dan keamanan itu

sepenuhnya tergantung dari bentuk jalan. Keseimbangan antara fungsi jalan dan

keadaan medan akan menentukan biaya pembangunan jalan tersebut.

Medan dikatakan datar jika kecepatan kendaraan truk sama atau mendekati kecepatan

mobil penumpang. Medan dikatakan daerah perbukitan jika kecepatan kendaraan truk

berkurang sampai di bawah kecepatan mobil penumpang. Medan dikatakan

pegunungan jika kecepatan kendaraan truk berkurang banyak sehingga truk tersebut

merangkak melewati jalan tersebut dengan frekuensi yang sering. Kecapatan rencana

dapat ditetapkan dengan metode trial and erorr terhadap pengamatan radius tikungan

(R) dan superelevasi maksimum (emax) dengan pendekatan formulasi sebagai berikut :

……………………..(9)

3 - 13

Page 14: BAB III ( Landasan Teori )

Dimana;

V = kecepatan rencana (km/hr)

emax = superelevasi maksimum (%)

R = jari-jari belokan (m) (hasil pengamatan langsung pada trase jalan)

B.3 Gaya gesekan melintang (Fs) antara ban kendaraan dengan permukaan

jalan

Gaya gesekan melintang (Fs) adalah besarnya gesekan yang timbul antara ban

dan permukaan jalan dalam arah melintang jalan yang berfungsi untuk mengimbangi

gaya sentrifugal. Perbandingan antara gaya gesekan melintang dan gaya normal yang

bekerja disebut koefisien gesekan melintang. Besarnya koefisien gesekan melintang

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis dan kondisi ban, tekanan ban,

kekasaran permukaan perkerasan, kecepatan kendaraan, dan keadaan cuaca.

Formulasi yang digunakan untuk menentukan nilai koefisien gesekan melintang

maksimum adalah

fmax = ………………………….(10)

Dimana;

fmax = Koefisien gesekan melintang maksimum (%)

V = Kecepatan rencana (km/hr)

R = Jari-jari tikungan (m)

emax = Superelevasi maksimum (%)

3 - 14

Page 15: BAB III ( Landasan Teori )

C. Kemiringan Melintang (Superelevasi)

Komponen berat kendaraan untuk mengimbangi gaya sentrifugal diperoleh

dengan membuat kemiringan melintang jalan. Kemiringan melintang jalan pada

lengkung horisontal yang bertujuan untuk memperoleh komponen berat kendaraan

guna mengimbangi gaya sentrifugal biasanya disebut superelevasi. Semakin besar

superelevasi semakin besar pula komponen berat kendaraan yang diperoleh.

C.1 Kemiringan melintang normal (Superelevasi normal)

Pada jalan lurus kendaraan bergerak tanpa membutuhkan kemiringan

melintang jalan. Tetapi agar air hujan yang jatuh di atas permukaan jalan cepat

mengalir ke samping dan masuk ke selokan samping, maka dibuatkan kemiringan

melintang jalan yang umum disebut sebagai kemiringan melintang normal

(superelevasi normal). Besarnya kemiringan melintang normal sangat tergantung dari

jenis lapis permukaan yang digunakan. Semakin kedap air muka jalan tersebut

semakin landai kemiringan melintang jalan yang dibutuhkan, sebaliknya lapis

permukaan yang mudah dirembesi oleh air harus mempunyai kemiringan melintang

jalan yang cukup besar, sehingga kerusakan konstruksi perkerasan dapat dihindari.

Besarnya kemiringan melintang (en) berkisar antara 2 – 4 %.

Bentuk kemiringan melintang normal pada jalan 2 lajur 2 arah umumnya

berbentuk :

3 - 15

Page 16: BAB III ( Landasan Teori )

Gambar 3.5 Kemiringan Melintang Normal

C.2 Kemiringan melintang maksimum (Superelevasi maksimum)

Kemiringan melintang maksimum yang dapat dipergunakan pada suatu jalan

angkut tambang dibatasi oleh beberapa kondisi seperti :

Keadaan cuaca, seperti sering turun hujan, berkabut. Di daerah yang memiliki

4 musim , superelevasi maksimum yang dipilih dipengaruhi juga oleh sering

dan banyaknya salju yang turun.

Jalan yang berada di daerah yang sering turun hujan, berkabut, atau sering

turun salju, superelevasi maksimum lebih rendah daripada jalan yang berada

di daerah yang selalu bercuaca baik.

Keadaan medan, seperti datar, berbukit-bukit atau pegunungan. Di daerah

datar superelevasi maksimum dapat dipilh lebih tinggi daripada di daerah

berbukit-bukit, atau di daerah pegunungan. Dalam hal ini batasan superelevasi

maksimum yang dipilih lebih ditentukan dari kesukaran yang dialami dalam

hal pembuatan dan pelaksanaan dari jalan dengan superelevasi maksimum

yang besar.

Dasar penetapan superelevasi maksimum untuk jalan angkut tambang dapat

diambil dari American Association of State Thecnical Highway Officials (AASTHO)

yaitu superelevasi maksimum yang dianjurkan adalah 0,04; 0,06; 0,08; 0,10; dan

3 - 16

Page 17: BAB III ( Landasan Teori )

0,12. Syncrude canada Ltd. tidak menggunakan superelevasi maksimum mencapai 6

% pada setiap jalan. Superelevasi maksimum yang digunakan mencapai 4 % - 5 %.

Penetapan nilai tersebut bertujuan untuk meminimalkan terjadinya pengaruh buruk

oleh air pada permukaan jalan angkut tambang selama hujan atau pada kondisi basah.

C.3 Kemiringan Melintang Runout (Superelevasi runout)

Kemiringan melintang runout (Superelevasi runout) adalah transisi sepanjang

antara kemiringan melintang normal (en) dengan kemiringan melintang maksimum

(emax) yang bertujuan untuk membantu pengemudi dalam memanuver kendaraannya

memasuki pelengkungan (tikungan) jalan angkut tambang. Kaufman & Ault 1977 dan

AASTHO merekomendasikan pembagian panjang runout pada segment tikungan

dimana 1/3 bagian panjang runout ditempatkan pada pelengkungan (kurva) dan 2/3

bagian panjang runout ditempatkan pada bagian lurus (tangent).

Untuk menentukan panjang runout sepanjang superelevasi runout berdasarkan pada

tabel 3.1 yang merupakan standar maksimum perubahan cross slope untuk setiap 30

m dengan kecepatan rencana (Vr). Pendekatan formulasi yang digunakan untuk

menentukan panjang runout berdasarkan afterKaufman & Ault 1977 sebagai berikut :

Panjang runout (Ls’) = x 30 m ………………..(11)

Dimana;

Ls’ = Panjang runout (m)

en = Superelevasi normal (%)

3 - 17

Page 18: BAB III ( Landasan Teori )

emax = Superelevasi maksimum (%)

cs = Perubahan cross slope (%)

Tabel 3.1after Kaufman & Ault 1977

Kec. RencanaPerubahan maks. Cross slope

pada jarak 30 m(km/hr) (%)

   16 8,00024 8,00032 8,00033 7,87534 7,75036 7,50037 7,37539 7,12540 7,000

   

Tabel 3.2

Sumber : Caterpillar Perfomance Handbook edition 33 Hal 26-3

Superelevasi kurva dalam % grade (caterpillar 1999)

Radius belokan kecepatan kendaraan

(m)16

km/hr24

km/hr32

km/hr 40

km/hr48

km/hr56

km/hr64

km/hr72

km/hr                 

15.2 13%              30,5 7% 15%            45,7 4% 10%            61,0 3% 8% 13%          91,5 2% 5% 9% 14%        152,4 1% 3% 5% 8% 12% 16%    213,4 1% 2% 4% 6% 9% 12% 15%  304,9 1% 2% 3% 4% 6% 8% 11% 14%

                 

3 - 18

Page 19: BAB III ( Landasan Teori )

C.4 Diagram kemiringan melintang ( superelevasi )

Diagram superelevasi menggambarkan pencapaian superelevasi dari lereng

normal ke superelevasi penuh, sehingga dengan mempergunakan diagram

superelevasi dapat ditentukan bentuk penampang melintang pada setiap titik di suatu

lengkung horisontal yang direncanakan. Diagram superelevasi digambar berdasarkan

elevasi sumbu jalan sebagai garis nol. Elevasi tepi perkerasan diberi tanda posistf atau

negatif ditinjau dari ketinggian sumbu jalan.

Pendekatan formulasi yang digunakan untuk menentukan besarnya perubahan dari

superelevasi normal sampai mencapai superelevasi maksimum sebagai berikut :

2/3 Ls’ 1/3 Ls’ Dari gambar disamping diperoleh pers. :

x en emax

x = …...

(12)

Dimana;

Ls’ = lengkung peralihan fiktif (runout length) (m)

en = Superelevasi normal (%)

emax = Superelevasi maksimum (%)

3 - 19

Page 20: BAB III ( Landasan Teori )

x = Superelevasi yang dicari (%)

D. Jarak henti (Stopping distance) dan jarak pandang (Sight distance) yang

aman pada lengkung horisontal

Jarak pandangan pengemudi kendaraan yang bergerak pada lajur tepi sebelah

dalam seringkali dihalangi oleh hutan-hutan kayu, tebing galian dan lain sebagainya.

Demi menjaga keamanan pengguna jalan angkut tambang, panjang sepanjang jarak

henti dan jarak pandang minimum harus terpenuhi di sepanjang lengkung horisontal.

Banyaknya penghalang-penghalang yang mungkin terjadi dan sifat-sifat yang berbeda

dari masing-masing penghalang mengakibatkan sebaiknya setiap faktor yang

menimbulkan halangan tersebut ditinjau sendiri-sendiri.

Penentuan batas minimum jarak antara sumbu lajur sebelah dalam ke penghalangan

ditentukan berdasarkan dua kondisi yaitu :

D.1 Kondisi dimana jarak pandang dan jarak henti berada di dalam

pelengkungan ( S < L ) dengan pendekatan formulasi sebagai berikut :

SD = x x R; ………………………(13)

ShD = ………(14)

Dimana;

= derajat pelengkungan ()

3 - 20

Page 21: BAB III ( Landasan Teori )

R = Radius kurva (m)

= ½ derajat pelengkungan ()

SD = Stopping Distance (m)

ShD = Sight Distance (m)

D.2 Kondisi dimana jarak pandang dan jarak henti berada di luar

pelengkungan ( S > L ) dengan pendekatan formulasi sebagai berikut :

SD = 0,01744 x x R; …………………….(15)

ShD = …. …………(16)

Dimana;

= derajat pelengkungan ()

R = Radius kurva (m)

= ½ derajat pelengkungan ()

SD = Stopping Distance (m)

ShD = Sight Distance (m)

3.3 Volume Galian Dan Timbunan

Berdasarkan data gambaran tentang bentuk alinyemen vertikal terhadap

permukaan tanah asli dari profil memanjang akan diketahui ketinggian permukaan

rencana jalannya. Informasi ini selanjutnya digambarkan dalam bentuk profil

melintang setiap station. Dari gambaran ini selanjutnya dapat dihitung volume galian

dan timbunan. Untuk ketelitian data sebaiknya menggunakan Peta sekurang-

3 - 21

Page 22: BAB III ( Landasan Teori )

kurangnya berskala 1 : 1000. Perhitungan volume galian dan timbunan dapat dihitung

berdasarkan persamaan:

V = L X d …………… ( 17 )

Dimana ;

V = Volume ( m3 )

L = Luas ( m2 )

d = Lebar Jalan rencana ( m )

L ( luas ) dapat dihitung berdasarkan bentuk setiap segmen jalan pada profil

melintang, digunakan beberapa metode antara lain;

Metode Segitiga,

L = ,

………………( 18 )

s = ………………. ……………..( 19 )

Dimana ; a, b, c = Panjang sisi segitiga

Metode Segi Empat

L = Panjang X Lebar …………. ……………..…( 20 )

Metode Jajaran Genjang

L = Alas X Tinggi …………………………….…( 21 )

Metode Trapesium

3 - 22

Page 23: BAB III ( Landasan Teori )

L = d ………….…( 22 )

3.4 Pembongkaran Batu Gamping

3.4.1 Pemboran ( Drilling )

Kegiatan pemboran merupakan awal dari kegiatan pembongkaran material

karena material batugamping tidak dapat dilakukan oleh alat mekanis secara

langsung. Diperlukan kegiatan pemboran untuk membuat lubang tembak (Blast Hole)

ledakan pada daerah penambangan dan daerah rintisan. Pemilihan jenis alat bor yang

digunakan dipengaruhi oleh kondisi batuan yang akan di bor serta hal-hal lain yang

mendukung dalam keberhasilan pemboran dan peledakan nantinya. Untuk

menghasilkan produksi peledakan yang baik maka perlu dilakukan upaya untuk

menentukan pola pemboran yang digunakan, pedoman pelaksanaan dan hal-hal

penting yang menghambat kegiatan pemboran.

3.4.1.1. Pola Pemboran

Pola pemboran merupakan pengaturan jarak antara lubang-lubang bor yang

sejajar bidang bebas (Spacing) atau jarak antara lubang-lubang bor dengan bidang

bebas (Burden). Pola pemboran yang biasa diterapkan adalah pola sejajar persegi

panjang, pola bujur sangkar dan kadang-kadang digunakan pola zig-zag (Staggered

Pattern) lihat Gambar 3.6.

3 - 23

Page 24: BAB III ( Landasan Teori )

Gambar 3.6

Pola Pemboran Sejajar ( A ) dan Pola Zig-Zag ( B )

3.4.1.2 Produktifitas Pemboran

a. Cycle Time Pemboran

Cycle Time pemboran merupakan waktu siklus alat bor dalam satu kali

membor sampai pindah ke lubang yang lainnya dalam waktu tertentu.

Cycle Time pemboran satu siklus adalah sebagai berikut :

- Waktu membor ( Wb )

- Waktu melepas dan sambung rod ( Wm )

- Waktu cabut / menaikkan rod ( Wc )

- Waktu pindah posisi ( Wp )

3 - 24

Free Face

Burden

Spacing

Pola Bujur Sangkar

Pola Sejajar ( A )Free Face

Burden

Spacing

Pola Persegi Panjang

B BS

S

Pola Zig-Zag ( B ) Free Face

Burden

Spacing

B

½ S

S

½ S

Page 25: BAB III ( Landasan Teori )

Total Cycle time = Wb + Wm + Wc + Wp …………………( 23 )

b. Kecepatan Pemboran

Kecepatan pemboran atau penetration rate adalah kedalaman yang dapat

dicapai oleh suatu alat bor dalam waktu tertentu. Kecepatan pemboran dapat di

ketahui apabila kedalaman pemboran , dan waktu membor di ketahui secara pasti.

Kecepatan pemboran dapat di rumuskan sebagai berikut :

Kec. Pemboran ( Vp ) = ( m/mnt )…………( 24 )

c. Effesiensi Kerja alat bor

Yang dimaksud dengan effisiensi kerja alat bor adalah perbandingan antara

waktu yang digunakan oleh alat untuk produksi dengan waktu yang tersedia di kali

seratus persen, sehingga dinyatakan dalam %. Utuk lebih jelasnya dapat dirumuskan

sebagai berikut :

Eff = x 100 % ………………………………( 25 )

Dimana :

Eff = Effisiensi kerja ( % )

We = Waktu kerja efektif ( jam )

T = Total waktu yang tersedia ( jam )

Untuk mengetahui keadaan alat dalam penggunaannya dapat di tulis melalui

persamaan sebagai berikut :

3.4.1.3 Kemampuan Produksi lubang pemboran ( Pb )

3 - 25

Page 26: BAB III ( Landasan Teori )

Pb = …………………………( 26)

Dimana :

Pb = Produksi lubang / jam

Eff = Effesiensi kerja alat bor

T = Waktu kerja yang tersedia

3.4.2 Peledakan ( Blasting )

Peledakan merupakan tindak lanjut dari kegiatan pemboran, dimana

tujuannya adalah untuk melepaskan batuan dari batuan induknya agar menjadi

fragmen-fragmen yang berukuran lebih kecil sehingga memudahkan dalam

pendorongan, pemuatan, pengangkutan, dan konsumsi material pada crusher yang

terpasang.

Metode peledakan yang diterapkan oleh PT. Semen Tonasa adalah peledakan

secara listrik, dimana penempatan lubang bor diatur sedemikian rupa dan di ledakkan

dengan pola tertentu yang di sebut dengan pola peledakkan.

3.4.2.1 Geometri Peledakan

Untuk mencapai produksi peledakan batugamping Yang diinginkan, maka

hal yang perlu diperhatikan adalah parameter dari geometri peledakan yang terdiri

atas burden, spacing, sub drilling, dan kedalaman lubang bor.

Untuk menentukan Geometri peledakkan pada PT. Semen Tonasa maka

pendekatan teori yang digunakan adalah “Anderson Formula”. Hal ini dilakukan

3 - 26

Page 27: BAB III ( Landasan Teori )

untuk menguji keefektipan dalam mengurangi fragmentasi, dan upaya peningkatan

produksi.

a. Burden

Burden merupakan jarak dari muatan tegak lurus terhadap free face terdekat dan

arah dimana pelemparan akan terjadi.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan burden :

Karakteristik batuan yaitu sifat yang dimiliki oleh batuan seperti adanya

bidang-bidang lemah seperti retakan atau rekahan (discontinue ).

Jenis bahan peledak yang digunakan yaitu bahan peledak yang berupa ANFO

dengan karakteristik menghasilkan banyak gas adalah cocok digunakan untuk

jenis batuan yang memiliki retakan untuk memindahkan material.

Untuk memperkirakan burden maka dapat di tentukan dengan pendekatan

teori “ Anderson “ yang merupakan teori empiris yang sesuai dengan kondisi bahan

galian baik kekerasannya maupun struktur geologi yang ada didalamnya sehingga di

harapkan dapat menghasilkan nilai peledakan yang bagus sesuai target kuantitas dan

kualitas yang di inginkan.

Nilai Burden menurut teori “Anderson “ di nyatakan dengan rumus sebagai berikut :

B = 0,11 …………………( 27 )

Dimana :

De = Diameter lubang bor ( mm )

H = Kedalam lubang ( m )

3 - 27

Page 28: BAB III ( Landasan Teori )

Gambar 3.7

Geometri Peledakan

Keterangan :

B = Burden

S = Spacing

H = Kedalaman lubang tembak

L = Tinggi jenjang

PC = Tinggi isian bahan peledak

J = Sub drilling

T = Stemming

b. Kedalaman Lubang Ledak

3 - 28

L

T

J

PCC

B

B

S

S

H

FREE FACE

Page 29: BAB III ( Landasan Teori )

Secara teoritis kedalaman lubang ledak tidak boleh lebih kecil dari burden. Hal

ini untuk menghindari terjadinya “ over break “ atau “ createring “. Nilai hole depth

ratio ( Kh ) ditentukan melalui persamaan sebagai berikut

Kh = …………………( 28 )

Dimana ;

Kh = Hole depth ratio = 1,5 – 4,0

H = Kedalaman lubang ledak ( m )

B = Burden ( m )

Pengaruh nilai burden terlalu kecil dapat menyebabkan fly rock ( gambar 3.8)

Gambar 3.8Penyebab Pengaruh Burden Terlalu Kecil

c. Spacing ( S )

3 - 29

Batu-BatuMelayang Stemming

Burden

Page 30: BAB III ( Landasan Teori )

Spacing adalah jarak antara lubang-lubang bor dirangkai dalam satu baris (row)

dan diukur sejajar terhadap pit wall, biasanya spacing tergantung pada burden,

kedalaman lubang bor, letak primer, dan delay. Besarnya spacing dapat digunakan

persamaan sebagai berikut :

S = 1,25 B …………………( 29 )

Besarnya spacing ratio ( Ks ) menurut waktu delay yang dipergunakan adalah

sebagai berikut :

- Long interval delay Ks = 1

- Short periode Ks = 1 – 2

- Normal Ks = 1,25 – 1,8

Prinsip dasar penentuan spacing adalah sebagai berikut :

Apabila lubang-lubang bor dalam satu baris (row) diledakan secara sequence

delay maka Ks =1, maka S = B

Apabila lubang-lubang bor dalam satu baris (row) diledakan secara simultan

(serentak), maka Ks = 2 jadi S = 2B

Apabila dalam banyak baris (multiple row) lubang-lubang bor dalam satu baris

diledakan secara sequence delay dan lubang-lubang bor dalam arah lateral dari

baris yang berlainan di ledakan secara simultan maka pemborannya harus

dibuat squard arregement.

Apabila dalam multiple row lubang-lubang bor dalam satu baris yang satu

dengan yang lainnya di delay, maka harus digunakan staggered pattern.

d. Sub drilling

3 - 30

Page 31: BAB III ( Landasan Teori )

Sub drilling adalah bagian dari lubang tembak di bawah permukaan jenjang

(bench). Penggunaan sub drilling adalah dimaksudkan agar batuan terbungkar secara

full face sebagaimana yang diterapkan. Apabila batuan tidak terbongkar secara full

face akan mengakibatkan lantai yang tidak rata atau adanya tonjolan-tonjolan yang

akan menyulitkan kegiatan pemuatan dan pengangkutan. Biasanya sub drilling ratio

(Kj) dipakai 0,3 untuk batuan massive.

3.4.2.2 Pola Peledakan

Pola peledakan di lakukan untuk mengefektifkan hasil peledakan. Secara

garis besar pola peledakan yang biasa digunakan dalam pembongkaran adalah pola

peledakan dengan arah lemparan ke depan yang sejajar bidang bebas, pengaturan

delay menyerupai hurup V lihat gambar 3.10 dan pola peledakan dengan arah

lemparan ke arah pojok (Pola Corner Cut), pola peledakan yang menyerupai bentuk

kotak (Box Cut) yang dilakukan dengan cara pengaturan nomor delay detonator dan

sistem penembakan secara beruntun (delay) dan secara serentak (simultan). Pola

peledakan disesuaikan dengan bentuk pola pemboran yang sudah ada, dan untuk

menghasilkan arah lemparan yang teratur dilakukan pengaturan nomor delay

detonator yang tepat. Pola pemboran zig-zag lebih sering digunakan dimaksudkan

agar dalam peledakan energi bahan peledak dapat di distribusikan secara optimum

untuk mencapai fragmentasi yang dikehendaki, akan tetapi hal ini di sesuaikan

dengan kondisi lapangan, kemampuan alat bor dalam pindah posisi, dan kebiasaan

3 - 31

Page 32: BAB III ( Landasan Teori )

Pola Sejajar Pola Zig-Zag

A

B

C

A = Daerah Penyebab Energi Bahan PeledakB = Lubang LedakC = Daerah Yang Tidak Dihancurkan Energi Bahan Peledak

skill yang dimiliki oleh operator alat. Distribusi penyebaran energi bahan peledak

dapat di lihat pada Gambar 3.9.

Gambar 3.9

Distribusi Relatif Energi Bahan Peledak

Detonator yang digunakan adalah detonator listrik jenis tunda dimana arus

listrik berfungsi sebagai sumber energi. Pengaturan nomor delay detonator dapat

disusun atau di atur sesuai nomor delay detonator, dengan interval delay yang terkecil

3 - 32

Page 33: BAB III ( Landasan Teori )

ke interval delay yang besar. Hal ini dimaksudkan agar dalam peledakan terdapat

bidang-bidang bebas. Pengaturan nomor delay detonator ini dapat dibuat berdasarkan

profil tumpukan material hasil peledakan yang di inginkan. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat seperti pada gamar di bawah ini.

Gambar 3.10

Pengaturan Nomor Delay Detonator

Interval delay yang terlalu singkat antara lubang dalam satu baris dan

antara baris dapat menyebabkan over break < 25 milli second yang berlebihan.

Jika delay antar lubang peledakan pada baris belakang (Back Row) kurang dari

42 milli second (ms), bahan peledak dapat bereaksi bersama-sama untuk

menghancurkan dinding belakang (Back Wall). Interval delay antara baris yang

3 - 33

4 3 2 1 0 1 2 3 4

7 6 5 5 6 7

4 43 32 21 10

5 56 67 7

FREE FACE

Page 34: BAB III ( Landasan Teori )

terlalu singkat < 35 milli second (ms) dapat menyebabkan terjadinya back

break.

Pada setiap detonator listrik type delay tercantum nomor delaynya. Misalnya

untuk merek “Himeji “ tertera nomor delay yaitu selang peledakannya nol

detik, nomor 1 selang waktu peledakan 1 x 0,025 milli econd. Demikian nomor

delay selanjutnya. Peledakan banyak baris ( > 4 baris ) penggunaan interval

delay yang semakin lama di baris belakang akan mengakibatkan terbentuknya

bidang bebas.

3.4.2.3 Produktivitas Hasil Peledakan

a. Massa Ledakan ( W )

Massa ledakan suatu material merupakan perkalian antara volume ledakan di

kalikan dengan density batuan yang ada. Massa ledakan material dapat di nyatakan

dalam rumus matematis sebagai berikut :

Massa Ledakan ( W ) = Volume ledakan x Density batuan ………( 30 )

b. Produksi Peledakan ( P )

Produksi peledakan adalah jumlah material yang akan terbongkar apabila di

lakukan peledakan. Produksi batuan yang terbongkar dapat di nyatakan dalam rumus

sebagai berikut :

P = W x x 60 menit / jam x jam kerja/ hari

…………………( 31 )

3 - 34

Page 35: BAB III ( Landasan Teori )

Dimana ;

W = Massa ledakan ( ton / lubang )

P = Produksi ( Ton / unit alat )

Eff = Effisiensi kerja alat bor ( % )

CT = Cycle time ( menit )

3.4.3 Alat penggali/ pendorong (dozing)

Alat ini berfungsi untuk menggali dan mendorong material hasil peledakan,

maka digunakan Bulldozer Cat. D9N dan Bulldozer Cat. D10N dengan jenis bilah

(blade) “universal”. Kapasitas produksi Bulldozer dapat diperkirakan dengan

menggunakan persamaan :

P Bulldozer = ………… ( 32 )

Dimana ;P Buldozer : Produksi Bulldozer ( LCM/h )

C blade : kapasitas bilah , m3

F koreksi : faktor koreksi blade, %

CT : waktu edar, menit

EU : Efisiensi Kerja

Sf : Swell Factor

Faktor koreksi menurut CAT Hand Book, yaitu faktor koreksi yang

mempengaruhi produksi Bulldozer seperti : kondisi kerja, keahlian operator, efisiensi

3 - 35

Page 36: BAB III ( Landasan Teori )

kerja, dan sebagainya (lihat tabel). Faktor teoritis ini merupakan faktor koreksi

teoritis.

KONDISI KERJA CRAWLER FACTOR WHEEL LOADER

1. Jenis material Tanah lepas Keras untuk digali Batuan hasil peledakan

Tanpa silinder jungkit 2. Operator

Baik

Sedang

Buruk 3. Sistem Dozing

Slot dozing Side by side dozing

4. Cuaca Gelap, berdebu, hujan

5. Efisiensi kerja 50 menit/ jam 40 menit/ jam

6. Direct drive transmission

1,200,80

0,6 – 0,80,70

1,000.750,601,20

1,15 – 1,25

0,80

0,830,670,80

1,200,75

--

1,000,600,501,20

1,15 – 1,25

0,70

0,830,67

-

Tabel. 3.3 Faktor Koreksi Bulldozer

3.5 Lama Pembuatan Jalan Tambang

Waktu pembuatan Jalan tergantung pada Tonase material galian, timbunan

dan kemampuan produksi alat.

Lama Pembuatan Jalan = ……….. ( 33

)

3 - 36