bab iii kronologi dan proses terjadinya sengketa … · birokrasi beserta implementasi kebijakan...

41
42 BAB III KRONOLOGI DAN PROSES TERJADINYA SENGKETA AGRARIA AKIBAT PROYEK RAWASRAGI DI KECAMATAN PALAS KABUPATEN LAMPUNG SELATAN TAHUN 1983-2000 A. Latar Belakang Terjadinya Sengketa Agraria Proyek Rawasragi di Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan Berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya dalam suatu lingkungan masyarakat, terdapat berbagai faktor yang mungkin menjadi penyebab munculnya suatu mobilitas sosial. Pertanian dalam lingkungan masyarakat agraris merupakan jaminan hidup bagi mereka dan tanah merupakan faktor utama sekaligus lambang kekuasaan dan prestise bagi seseorang sehingga tanah dapat memicu konflik di masyarakat. Di Indonesia, menurut catatan yang ada pada Konsorium Pembaharuan Agraria (KPA) mengungkapkan bahwa konflik agraria pada umumnya memiliki 6 corak penyebab yang semuanya berhubungan dengan model pembangunan yang dianut pemerintah Orde Baru yaitu : 1) Sengketa tanah yang disebabkan penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi serta beragam tanaman dan hasil di atasnya sebagai sumber yang dieksploitasi secara massif,

Upload: lycong

Post on 17-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

42

BAB III

KRONOLOGI DAN PROSES TERJADINYA SENGKETA

AGRARIA AKIBAT PROYEK RAWASRAGI DI

KECAMATAN PALAS KABUPATEN LAMPUNG

SELATAN TAHUN 1983-2000

A. Latar Belakang Terjadinya Sengketa Agraria Proyek Rawasragi

di Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan

Berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya dalam suatu

lingkungan masyarakat, terdapat berbagai faktor yang mungkin menjadi

penyebab munculnya suatu mobilitas sosial. Pertanian dalam lingkungan

masyarakat agraris merupakan jaminan hidup bagi mereka dan tanah

merupakan faktor utama sekaligus lambang kekuasaan dan prestise bagi

seseorang sehingga tanah dapat memicu konflik di masyarakat.

Di Indonesia, menurut catatan yang ada pada Konsorium

Pembaharuan Agraria (KPA) mengungkapkan bahwa konflik agraria pada

umumnya memiliki 6 corak penyebab yang semuanya berhubungan dengan

model pembangunan yang dianut pemerintah Orde Baru yaitu :

1) Sengketa tanah yang disebabkan penetapan fungsi tanah dan

kandungan hasil bumi serta beragam tanaman dan hasil di atasnya

sebagai sumber yang dieksploitasi secara massif,

43

2) Sengketa tanah akibat program swasembada beras yang prakteknya

terjadi penguasaan tanah terkonsentrasi di satu tangan dan

membengkaknya jumlah petani tak bertanah,

3) Sengketa tanah di areal perkebunan, baik karena pengalihan dan

penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) maupun karena Perkebunan Inti

Rakyat (PIR) atau program sejenisnya,

4) Sengketa akibat penggusuran tanah untuk industri pariwisata, real

estate, kawasan industri dan lain-lain,

5) Sengketa akibat penggusuran-penggusuran dan pengambilalihan

pembangunan sarana-sarana yang dinyatakan sebagai kepentingan

rakyat untuk kepentingan keamanan,

6) Sengketa akibat pencabutan hak atas tanah karena pembangunan

taman nasional atau hutan lindung dan sebagainya yang

mengatasnamakan kelestarian lingkungan.

Berdasarkan enam corak penyebab munculnya konflik agraria menurut

KPA, maka aksi sengketa masyarakat Kecamatan Palas termasuk dalam

sengketa tanah yang disebabkan penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil

bumi serta beragam tanaman dan hasil di atasnya sebagai sumber yang

dieksploitasi secara massif. Adapun faktor lain yang menyebabkan munculnya

aksi sengketa agraria di Kecamatan Palas ini antara lain :

1. Faktor Historis

44

Menurut sejarahnya, lahan yang menjadi objek sengketa, dahulu

merupakan hutan dan rawa yang ditumbuhi kayu renggas dan jati. Pembukaan

lahan tersebut dimulai tahun 1971. Masyarakat mulai membuka lahan ini

untuk dijadikan lahan pertanian. Masyarakat memanfaatkan lahan yang

mereka buka untuk ditanami padi. Kepemilikan atas tanah didasarkan pada

luas lahan yang mereka buka. Bukti-bukti kepemilikan atas lahan dikeluarkan

oleh kepala-kepala kampung yang batas-batas lahan masih berupa lahan

garapan milik orang lain, pohon, ataupun batu.1

Pembukaan lahan ini kemudian mulai ditertibkan oleh pemerintah

pada tahun 1981. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.

208/Mentan/1981 menyebutkan bahwa lahan tersebut disetujui untuk

digunakan pelaksanaan Proyek Rawasragi. Proyek Rawasragi merupakan

proyek pembukaan lahan yang melibatkan masyarakat atas bantuan dari

pemerintah Belanda melalui program IGGI.2

Pemerintah Indonesia yang mendapat bantuan dari pemerintah

Belanda lewat IGGI, kemudian melaksanakan Proyek Rawasragi. Proyek

Rawasragi merupakan program pembukaan lahan yang melibatkan

masyarakat untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Pemerintah

kemudian membentuk tim yang bertugas atas Proyek Rawasragi yang

melibatkan BPN dan Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan.

1 Wawancara dengan Darmawan sebagai Perangkat Kecamatan, Pada

Tanggal 22 Juni 2015 2 Wawancara dengan Sudarto sebagai Petani, Pada Tanggal 7 Agustus

2015

45

Program ini terdiri dari dua bagian, yakni Rawasragi I yang meliputi

6.400 hektare berdasarkan SK Gubernur No. 56/DJA/1983 tanggal 8 April

1982, dan Rawasragi II yang meliputi areal seluas 15.600 hektare berdasarkan

SK Gubernur No. 27/DJA/1983 tanggal 19 Desember 1983 (seluas 5.026

hektare) dan SK No 133/DJA/1983 tanggal 29 Juni 1983 seluas 10.574

hektare. Proyek Rawasragi diawali dengan pengeringan air di rawa yang

kemudian akan dicetak menjadi sawah. Pemerintah juga membangun saluran

irigasi dan tanggul penangkis dari sungai. Saluran-saluran irigasi dibagi

menjadi saluran primer dan sekunder. Saluran primer adalah saluran utama,

sedangkan saluran sekunder merupakan saluran cabang. Saluran cabang inilah

yang mengairi sawah-sawah yang sudah dicetak.

Gambar 1

Saluran Irigasi Primer di Kecamatan Palas

Sumber : Dokumentasi Pribadi

46

Gambar.2

Sungai Way Sekampung Sebagai Sumber Utama Aliran Irigasi

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Rawa yang sudah dikeringkan dan dicetak menjadi sawah tersebut,

kemudian dilakukan pendataan oleh tim proyek rawasragi. Pendataan itu

bertujuan untuk mengatur lahan yang diperuntukkan petani pembuka dan

penggarap pertama yang sudah menguasai sejak tahun 1978. Pembagian tanah

yang dilakukan pemerintah melibatkan pamong desa hingga pegawai

kecamatan. Seleksi didasarkan dari daftar pemilu yang didapatkan dari

kecamatan. Nama-nama yang terdaftar, akan mendapatkan lahan sawah

tersebut. Penyeleksian yang didasarkan oleh nama-nama yang ada di daftar

pemilu merupakan kebijakan tim seleksi. Hal ini dilakukan untuk benar-benar

mendapatkan data yang valid tentang penduduk awal yang membuka lahan

tersebut. 3

3 Wawancara dengan Rusnal Effendi Sebagai Seksi Pengendalian dan

Pemberdayaan Masyarakat BPN Lampung Selatan, Tanggal 6 Agustus 2015

47

Gambar. 3

Lahan Pertanian Proyek Rawasragi

Sumber : Dokumentasi Badan Pertanian Kecamatan Palas

Aturan pembagian lahan didasarkan pada peraturan pemerintah.

Masing-masing akan mendapatkan minimal 1 hektare dan maksimal 2

hektare. Meskipun petani pembuka lahan pertama menggarap lahan yang

dibukanya seluas lebih dari 2 hektare, tetap hanya akan diberikan 2 hektare.

Begitupun petani pembuka lahan yang menggarap kurang dari 1 hektare, tetap

akan mendapatkan lahan minimal 1 hektare. Keputusan pembagian lahan

tersebut didasarkan pada surat keputusan Gubernur No 114 Tahun 1982.4

Tahun 1984, tim agraria mengeluarkan kartu hijau sebagai tanda

bahwa petani boleh menggarap, masing-masing petani 1 hektare. Tim yang

sama juga mengeluarkan kartu kuning bagi petani yang tidak terdaftar untuk

menunggu atau nantinya akan ditingkatkan menjadi kartu hijau. Proses seleksi

berakhir ketika tim pembebasan lahan mengumumkan siapa saja yang berhak

mendapatkan lahan. Masyarakat yang dinyatakan lulus seleksi mendapatkan

4 Data diolah dari hasil berbagai wawancara pihak BPN Tanggal 6

Agustus 2015

48

kartu bewarna hijau. Mereka kemudian ditunjukkan lahan yang menjadi hak

mereka. Masyarakat yang belum mendapatkan tanah, tetapi dinilai berhak,

diberi kartu bewarna kuning sebagai tanda mereka akan masuk ke daftar

tunggu. Masyarakat yang masuk ke daftar tunggu, akan diberi lahan hasil

kelanjutan dari proyek Rawasragi I yaitu Rawasragi II.

Setelah proses pendataan yang dilakukan oleh pemerintah selesai,

pemerintah mengumumkan nama-nama yang berhak untuk mendapatkan

lahan yang siap untuk digarap. Proses pengumuman itu dilanjutkan dengan

mengantarkan masyarakat yang dianggap memenuhi persyaratan untuk

mendapatkan lahan garapan ke lokasi lahan mereka. Akibat adanya penataan

lahan oleh pemerintah membuat lahan yang selama ini digarap warga

mengalami pergeseran.

Pembagian tanah kepada warga yang dilakukan oleh Pemerintah

membuat sebagian warga merasa tidak puas. Sebagian masyarakat

beranggapan bahwa lahan yang selama ini mereka garap sebelum adanya

penataan oleh pemerintah, lebih subur atau lebih strategis. Akibat banyaknya

warga yang merasa belum puas dengan hasil penataan, pemerintah

mendirikan posko keluhan yang didirikan di Kecamatan Palas. Posko keluhan

ini menerima semua keluhan warga termasuk warga yang merasa berhak

mendapatkan tanah.

Pembagian lahan pertanian kepada masyarakat yang dianggap berhak

atas lahan yang mencakup 8000 Ha sejumlah 2470 penduduk. Masyarakat

yang mendapatkan lahan seluas 1 Ha berjumlah 2470 sedangkan masyarakat

49

yang berhak atas lahan seluas 2 Ha berjumlah 2765 penduduk. Masyarakat

yang mendapatkan lahan pertanian seluruhnya berjumlah 5235 penduduk.

Mereka mendapatkan kartu bewarna hijau, sedangkan 750 penduduk

diberikan kartu bewarna hijau.5

Masyarakat yang menerima kartu berwarna hijau adalah masyarakat

yang secara resmi dinyatakan berhak mendapatkan bagian lahan pertanian.

Masyarakat yang belum mendapatkan lahan padahal mereka sebenarnya

berhak mendapatkan lahan mendapatkan kartu kuning sebagai tanda antrian

untuk diberikan tanah oleh pemerintah. Setelah proses pembagian kartu hijau,

pemilik kartu hijau akan dibuatkan sertifikat tanah oleh pemerintah. Selama

proses pembuatan sertifikat oleh pemerintah, pemegang kartu tidak boleh

memperjualbelikan tanah. Bahkan setelah sertifikat tanah diterbitkan, mereka

dilarang melakukan jual beli selama kurang lebih 5 tahun.

Penataan area pertanian yang dilakukan pemerintah membuat proses

perubahan hak penguasaan tanah. Proses perubahan hak penguasaan tanah

terjadi dikarenakan adanya SK Gubernur KDH Tingkat I Lampung No :

6/008/P.A/HK/1977 tanggal 28 Juni tentang pencabutan surat izin/surat-surat

keterangan atas tanah yang pernah dikeluarkan oleh kepala-kepala negeri dan

kepala-kepala kampung. Mulai tahun 1978-1979 hingga tahun 1983, petani

menggarap hasil tebangannya untuk ditanami padi, palawija, dan sayur-

mayur. Tahun 1983 dilakukan pendataan oleh kantor agraria berdasarkan

5 Wawancara dengan Rusnal Effendi Seksi Pengendalian dan

Pemberdayaan Masyarakat BPN Lampung Selatan, 9 Desember 2015

50

Surat Keputusan Gubernur No: AG. 100/DA 4488/Lr/1983 tanggal 7

Desember 1983.

2. Faktor Struktural

Diantara berbagai faktor penyebab munculnya perlawanan petani,

faktor yang paling mendasar dari penyebab konflik bersumber dari struktur

kekuasaan. Struktur ini menyangkut perilaku politik aparatur, mekanisme

birokrasi beserta implementasi kebijakan dalam proyek pembangunan,

toleransi parsipatoris dari keuasaan yang minim, yang diberikan penguasa

kepada rakyat dalam hal mekanisme penyaluran aspirasi tentang penguasaan

tanah.

Proses pengambilalihan tanah oleh pemerintah secara struktural adalah

benar. Benar dalam artian sesuai dengan prosedur yang berlaku. Namun

munculnya sengketa di Palas merupakan implementasi dari sebuah prosedur

pengambilalihan tanah yang dianggap benar namun ternyata terdapat

kepincangan yang ditekan dengan intervensi dari aparat dan birokrat atau

pamong praja. Intervensi yang dilakukan dianggap mampu meredakan atau

bahkan menghilangkan sengketa yang mungkin terjadi, namun ternyata hal ini

justru menimbulkan bahaya laten.6

Sengketa yang terus terjadi pada akhirnya hanya melibatkan antar

sesama masyarakat. Pada masa pemerintahan Orde Baru, kekuatan militer

yang begitu dominan membuat sengketa yang terjadi antara masyarakat dan

6 Nasikun, Sistem Sosial Indonesia. (Jakarta : Raja Grafindo Persada.

1993), hlm.18

51

pemerintah dapat diredam. Pada masa perubahan (reformasi) yang ditandai

dengan jatuhnya Rezim Orde Baru, masyarakat mulai menyadari akan hak-

haknya yang telah lama hilang, sehingga hal tersebut terakumulasi sebuah

tuntutan dan berakibat munculnya gejolak-gejolak masyarakat yang menuntut

pengembalian hak-hak mereka.

Masyarakat menuntut dilakukan pengembalian hak tanah garapan dan

kepemilikan tanah mereka. Tuntutan tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa

faktor antara lain sosial ekonomi, dan sejarah kepemilikan. Perkembangan

masyarakat pedesaan mengalami perubahan dengan semakin sadarnya

masyarakat akan pentingnya pendidikan membuat masyarakat menjadi

terbuka dalam berpikir. Hal ini berimbas pada semakin terstrukturnya

gerakan-gerakan petani yang memperjuangkan haknya.

B. Perjalanan Aksi Sengketa Agraria Proyek Rawasragi di

Kecamatan Palas Kabupaten Lampung Selatan

Memasuki akhir abad ke-20, masalah pertanahan menjadi isu sentral

dengan munculnya gerakan-gerakan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh

kurang atau lemahnya pengakuan hukum terhadap pengaturan dan pemilikan

tanah sehingga konflik agraria semakin marak di masyarakat. Selain itu,

perubahan-perubahan struktur politik dan ekonomi Indonesia yang begitu

cepat membuat masalah pertanahan ini semakin mengkhawatirkan. Kondisi

yang demikian itu sekaligus menjadi bukti bahwa tidaklah benar jika kaum

tani tidak memainkan peran apa-apa dalam sejarah Indonesia. Mereka

bukanlah sekelompok masyarakat yang bersikap masa bodoh, selalu penurut

52

dan pasrah kepada nasib. Hura-hura dan pemberontakan-pemberontakan

petani yang terjadi berulang-ulang merupakan wabah sosial dalam sejarah

Jawa, sekaligus bukti tentang peranan historis yang telah dimainkan oleh

kaum tani.7

Petani merupakan kelas sosial yang mampu memainkan peran kunci

dalam sejarah masyarakat tertentu. Peran ini disandang ketika mereka

melakukan gerakan pergolakan atau perlawanan sosial. Gerakan ini bukan

saja berdasarkan pada ketidakpuasan individual yang massif sifatnya,

melainkan merupakan protes yang diorganisasikan sebagai suatu bahan

sejarah sektor pedesaan dibanyak masyarakat.8

Gerakan sosial atau Social Movement yang terjadi di Indonesia pada

umumnya bersifat endemis yang timbul sejak masyarakat tradisional

mengalami berbagai perubahan sosial sebagai akibat penetrasi pemerintah

yang semakin kuat. Hal ini dapat dilihat dengan masuknya uang dalam sistem

ekonomi, serta faktor lain seperti tanah dan tenaga buruh. Perkembangan

perdagangan dan industri pertanian menimbulkan perubahan struktur dalam

masyarakat dengan semakin meluasnya sistem administrasi yang bersifat legal

rasional, lembaga-lembaga politik tradisional semakin terdesak. Pendek kata,

proses modernisasi dan birokratisasi, ditambah lagi dengan komunikasi dan

7 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta :

PT. Dunia Pustaka Jaya, 1984), hlm16-17 8 Henry A. Landsberger dan Yu G. Alexandrov, Pergolakan Petani

dan Perubahan Sosial. Jakarta : CV. Rajawali, Hlm 1.

53

edukasi semakin menambah keberanian mengemukakan pendapat untuk

memprotes kebijakan pemerintah atau penguasa.9

Sengketa agraria akibat Proyek Rawasragi di Kecamatan Palas dibagi

dalam dua kurun waktu, hal ini dikarenakan faktor-faktor seperti lingkungan,

tingkat pendidikan masyarakat yang semakin tinggi dan faktor perpolitikan

pada era tersebut.

1. Sengketa Agraria yang Terjadi Tahun 1984-1998

Kasus sengketa lahan pertanian yang terjadi di Kecamatan Palas

merupakan sengketa antara pihak pemerintah dengan masyarakat yang

menuntut pembagian lahan secara adil. Tanah yang disengketakan merupakan

tanah proyek pertanian Rawasragi yang dilaksanakan oleh pemerintah.

Program pemerintah ini dalam rangka menyukseskan cita-cita Negara yaitu

swasembada beras.

Tahun 1983 dilakukan pendataan oleh kantor agraria berdasarkan

Surat Keputusan Gubernur No : AG. 100/D.A 4488/Lr/1983 tanggal 7

Desember 1983 masyarakat yang memiliki lahan garapan mendapatkan kartu

kuning dari kepala desa sebagai tanda telah terdaftar sebagai pemilik.

Meskipun demikian, terdapat warga yang tidak terdaftar walaupun memiliki

tebangan, jumlahnya mencapai 250 KK. Warga yang tidak terdaftar kemudian

9 Sartono Kartodirjo, “Dialog”, Majalah Prisma No.1 Tahun I, 1

Januari, hlm. 28

54

mengajukan permohonan langsung ke kantor agraria.10

Warga yang masih

menunggu diprosesnya laporan mereka, tetap menggarap lahan yang sudah

mereka buka. Mereka menanami padi, palawija dan sayur-sayuran untuk

memenuhi kebutuhan hidup masing-masing.

Menanggapi banyaknya laporan warga yang tidak terdaftar, akhir

tahun 1983 melalui program Program Nasional Agraria (Prona) yang terdiri

dari bupati, camat, kepala desa dan pihak BPN mengadakan pendataan ulang

terhadap tanah yang dibuka oleh masyarakat setempat. Selama pendataan ini,

masyarakat tetap mengusahakan lahannya karena pendataan hanya berupa

pengecekan data dari peserta pemilu tahun 1971 dan pengecekan data dari

kartu kuning yang telah dikeluarkan kepala desa setempat. Hasil dari

pendataan yang dilakukan oleh tim Prona akan diserahkan kepada tim agraria

untuk ditindaklanjuti. 11

Tahun 1984 tim agraria mengeluarkan kartu hijau sebagai tanda bahwa

petani boleh menggarap masing-masing 1 hektare lahan. Tim yang sama juga

mengeluarkan kartu kuning bagi petani yang tidak terdaftar untuk menunggu

atau nantinya akan ditingkatkan menjadi kartu hijau. Namun demikian, dari

daftar awal hanya kurang lebih 10 KK yang mendapatkan kartu hijau.

Sepuluh KK tersebut bahkan masih ada yang tumpang tindih dengan adanya 2

kartu hijau atas 1 hektare lahan yang sama. Masih kacaunya sistem

10

Wawancara dengan Badarudin, sebagai Petani, Tanggal 7 Agustus

2015 11

Wawancara dengan Rusnal Effendi sebagai Seksi Pengendalian dan

Pemberdayaan Masyarakat BPN Lampung Selatan, Tanggal 8 Agustus 2015

55

pembagian tanah membuat pimpinan-pimpinan desa mengadakan rapat untuk

membahas permasalahan ini.12

Tanggal 12 November 1984, Musyawarah pimpinan daerah (Muspida)

Kecamatan Palas mengeluarkan berita tentang permasalahan yang timbul

sebagai akibat pembagian tanah sawah proyek Rawasragi di dalam

masyarakat. Berita tentang permasalahan itu berisi tentang kronologis

kejadian Rawasragi dimulai dari pembukaan oleh warga, pemberian kartu

kuning dari kepala desa, hingga yang terakhir adalah pembagian lahan yang

dilakukan tim agraria. Muspida Kecamatan Palas juga menuliskan saran-saran

dari hasil musyawarah mereka untuk mengusahakan agar penerima kartu

kuning disegerakan menerima kartu bewarna hijau.13

Tahun 1985 tim agraria mulai menerapkan pembagian tanah sesuai

dengan nomor kapling yang telah ditentukan oleh tim agraria. Petani

penggarap yang sejak awal tidak mendapatkan kartu hijau padahal ikut

membuka lahan hingga sempat mengusahakan lahannya tidak mau

meninggalkan lahan mereka meskipun lahan itu sudah jatuh kepada warga

yang memegang kartu hijau. Mereka tetap bertahan karena mereka merasa

berhak atas lahan yang sudah mereka buka dan mereka usahakan. Warga yang

memilih mempertahankan lahannya membuat proses pembagian tanah

pertanian menjadi terhambat. Tim agraria tanpa melakukan perundingan,

langsung menurunkan aparat militer ke masing-masing lahan yang belum bisa

12

Wawancara dengan Darmawan sebagai Perangkat Kecamatan,

Tanggal 20 Juli 2015 13

Wawancara dengan Fatno Wahid sebagai Petani, Pada Tanggal 8

Agustus 2015

56

disalurkan. Warga yang tetap bertahan dipaksa untuk meninggalkan lahan

pertanian yang diperebutkan. Mereka yang masih bersikeras menerima

tindakan kekerasan berupa dimandikan dengan lumpur dan ditendang.14

Setelah menurunkan tim militer ke lahan-lahan yang diperebutkan,

secara sepihak tim agraria melakukan seleksi kembali terhadap kartu hijau

yang telah diterima masyarakat. Tim agraria melakukan hal ini dengan alasan

banyak terjadinya keributan antara masyarakat yang sudah menerima kartu

hijau dengan masyarakat yang merasa memiliki lahan pertanian karena sudah

membuka lahan tersebut. Pendataan ulang ini banyak menyita kartu-kartu

hijau milik masyarakat. Jumlahnya tidak diketahui dengan jelas, dan alasan

penyitaan kartu hijau tidak dikemukakan oleh tim agraria. Tim agraria hanya

mengemukakan bahwa kartu hijau yang disita tidak memenuhi syarat.15

Ketidakjelasan penyitaan ini kemudian menimbulkan rasa curiga dari

masyarakat kepada tim agraria.

Masyarakat yang kartu hijaunya disita kemudian mempertanyakan

kepada tim agraria tentang jalan keluar permasalahan ini. Tim agraria

kemudian mengganti kartu hijau masyarakat menjadi kartu kuning dengan

alasan menunggu untuk dibukakan lahan di proyek selanjutnya.16

Setelah

pendataan tersebut, warga yang sempat mendapatkan kartu kuning kemudian

mendapatkan kartu hijau sebagai tanda hak garap sambil menunggu keluarnya

14

Tim Pussbik, Tanah Lampung,Sengketa Pertanahan dan

Perjuangan Rakyat Tani Lampung (Lampung: Pussbik, 2002), Hlm.26 15

Wawancara dengan Fatno Wahid sebagai Petani, Pada Tanggal 20

Juli 2015 16

Tim Pussbik, Tanah Lampung, Sengketa Pertanahan dan

Perjuangan Rakyat Tani Lampung (Lampung: Pussbik, 2002), Hlm.26

57

sertifikat. Tidak semua warga mendapatkan ganti kartu kuning menjadi kartu

hijau. Hal ini kembali menimbulkan banyak pertanyaan dan konflik di

kalangan masyarakat. Dalam kenyataannya, beberapa sertifikat tanah justru

diberikan kepada orang-orang atau pihak-pihak yang selama ini tidak ikut

membuka lahan, termasuk diantaranya adalah para pejabat dan mantan

pejabat setempat.

Tanah-tanah yang dimiliki pejabat atau mantan pejabat tersebut telah

terlebih dahulu digarap oleh masyarakat setempat sehingga mengakibatkan

sengketa yang bersifat horizontal. Perlawanan masyarakat masih bersifat

sederhana seperti melaporkan kepada pihak BPN atau pihak Kecamatan.

Namun semua usaha pelaporan itu bersifat nihil dikarenakan sertifikat yang

sudah keluar merupakan bukti yang sangat kuat dimata hukum. Warga yang

tidak memiliki dokumen apapun tidak bisa lebih lama lagi bertahan diatas

lahan pertanian mereka. Pada akhirnya petani yang membuka lahan pertanian

terpaksa haris meninggalkan lahan yang sudah mereka usahakan.

Petani yang sudah memiliki sertifikat diberi peraturan tidak boleh

menjual lahan pertanian mereka sekurang-kurangnya 5 tahun. Hal ini diatur

oleh tim agraria untuk mencegah terjadinya sengketa lanjutan. Meskipun

begitu, masih ada petani yang menjual sertifikat tersebut dikarenakan mereka

akan berpindah tempat tinggal, kebutuhan ekonomi dan menjualnya kepada

pembuka pertama untuk menghindari sengketa antar sesama petani.

Petani-petani yang sudah kehilangan lahan kemudian beralih profesi

menjadi buruh tani dengan menggarap lahan-lahan milik orang lain. Hal ini

58

berlangsung secara turun temurun. Sengketa agraria di Kecamatan Palas

kemudian mereda dikarenakan petani pembuka sudah tidak ingin

memperjuangkan lahan pertanian mereka yang tidak kunjung mendapatkan

jalan keluar.17

2. Sengketa Tanah yang Melibatkan antar Petani Tahun 1998-2000

Sejak jatuhnya rezim orde baru, rakyat seolah mendapatkan

momentum untuk melakukan kembali perlawanan demi memperjuangkan dan

memperebutkan hak-haknya kembali. Bertahun-tahun petani yang

terpinggirkan dari tanahnya berjuang dan melakukan perlawanan untuk

mempertahankan haknya, bahkan melalui jalan hukum. Saat reformasi

bergulir, petani tidak membiarkan kesempatan untuk melakukan kembali

perjuangan yang sempat tertunda.

Kebijakan kapitalistik di bidang pertanahan tidak dipungkiri telah

melahirkan rasa ketidakadilan yang harus ditanggung rakyat selama bertahun-

tahun. Negara yang secara konstitusional memiliki kewajiban untuk

menyejahterakan dan memberikan keadilan kepada seluruh rakyatnya ternyata

justru menggunakan otoritasnya untuk secara sengaja menjadikan hanya

sekelompok orang saja yang menguasai sumberdaya agraria melebihi batas

yang diperkenankan oleh undang-undang. Tindakan pemerintah yang tidak

17

Data diolah dari Wawancara Penduduk Kecamatan Palas 8 Agustus

2015

59

berpihak pada warganya, terutama yang miskin sesungguhnya adalah bentuk

yang paling nyata dari tindakan kekerasan negara terhadap rakyat.18

Euforia reformasi membangkitkan kembali semangat juang untuk

mendapatkan lagi hak atas lahan pertanian mereka. Sengketa yang sempat

padam kembali memanas dikarenakan petani-petani maupun keturunan para

pembuka lahan meminta kembali hak atas lahan mereka. Tahun 1998 menjadi

babak baru bagi sengketa pertanian di Kecamatan Palas akibat dari adanya

proyek pertanian Rawasragi. Petani-petani yang membuka lahan mendatangi

lahan-lahan pertanian yang sudah berpindah hak milik. Mereka menuntut

petani pemilik sertifikat untuk memberikan hak atas lahan pertanian mereka.

Tuntutan mereka didasarkan pada pembagian lahan pertanian antara petani

pemilik sertifikat dan petani pembuka lahan.

Tidak memiliki cukup bukti tentang kepemilikan tanah membuat

petani yang melakukan pembukaan atas lahan tidak menuntut petani pemilik

sertifikat lewat jalur hukum. Mereka bergerak berdasarkan rasa kebersamaan

antara petani yang membuka lahan namun tidak mendapatkan lahan yang

diredistribusi oleh tim agraria.19

Tindakan-tindakan yang mereka lakukan

antara lain mendatangi lahan-lahan pertanian yang mereka anggap merupakan

hak mereka dan mengganggu petani-petani yang sedang mengolah sawah.

Mereka menebar ancaman-ancaman kepada petani yang sedang menggarap

18

Mochammad Tauchid, Masalah Agraria: Sebagai Masalah

Penghidupan dan Kemakmuran Rakjat Indonesia II, (Jakarta:

Tjakrawala,1952), hlm 17. 19

Wawancara dengan Lehan sebagai Petani, Pada Tanggal 8 Agustus

2015.

60

sawah mereka jika permintaan mereka untuk membagi lahan tidak dipenuhi.

Upaya reclaiming lahan pertanian ini tidak hanya berlangsung di lapangan,

petani-petani pembuka lahan mendatangi rumah-rumah petani pemilik

sertifikat untuk mengemukakan tuntutan mereka.

Tindakan reclaiming ini membuat petani-petani pemilik sertifikat

merasa terganggu ketika menggarap lahan pertanian mereka. Semakin

seringnya intensitas petani pembuka lahan mendatangi lahan pertanian

membuat petani pemilik sertifikat akhirnya melaporkan masalah ini ke BPN

Tingkat II daerah Lampung Selatan. Tahun 1999, petani pemilik sertifikat

berbondong-bondong mendatangi kantor BPN Tingkat II Lampung Selatan

untuk melaporkan permasalahan yang terjadi. Pihak BPN yang menerima

laporan dari masyarakat segera berkoordinasi dengan pihak Pemerintah

Daerah Lampung Selatan untuk membahas tindak lanjut atas laporan

masyarakat Kecamatan Palas. Tindakan yang diambil pihak BPN dan

Pemerintah Daerah Lampung Selatan adalah membentuk tim penyelesaian

sengketa yang terdiri dari pihak Badan Pertanahan Nasional Tingkat II

Kabupaten Lampung Selatan dan Pihak Pemerintah Daerah Lampung

Selatan.20

Tim penyelesaian sengketa diketuai oleh Sugiarto, SH dari Pemerintah

Daerah Kabupaten Lampung Selatan dan langsung bekerja untuk mencarikan

solusi guna menyelesaikan sengketa yang terjadi di Kecamatan Palas,

Kabupaten Lampung Selatan. Langkah pertama yang dilakukan oleh tim

20

Wawancara dengan Rusnal Effendi sebagai Seksi Pengendalian dan

Pemberdayaan Masyarakat BPN Lampung Selatan, Tanggal 8 Agustus 2015

61

sengketa lahan adalah memanggil secara bergantian pihak-pihak yang terlibat

sengketa. Dalam hal ini tim penyelesaian sengketa memanggil perwakilan

dari petani pemilik sertifikat dan petani yang merasa membuka lahan

pertanian awal secara bergantian dan terpisah. Tahap pertama merupakan

mendengarkan pendapat dari masing-masing pihak dan mencatat tuntutan-

tuntutan mereka.

Tahap kedua, tim sengketa lahan mengumpulkan data-data tentang

peredistribusian lahan yang dilakukan tim agraria tahun 1983. Namun, tim

agraria pada saat peredistribusian lahan Proyek Rawasragi tidak

meninggalkan banyak data yang jelas sehingga tim penyelesaian sengketa

kesulitan untuk mengetahui proses peredistribusian lahan yang

mengakibatkan sengketa ini terjadi dan tidak kunjung menemukan

penyelesaian. Keterbatasan data ini menyebabkan kinerja tim penyelesaian

sengketa mengalami hambatan.

Selama proses penyelesaian sengketa ini berlangsung, petani pemilik

sertifikat tetap mengusahakan lahan pertanian mereka meskipun masih

disertai gangguan-gangguan dari petani pembuka lahan.21

Memasuki tahun

2000, tim penyelesaian sengketa mempertemukan kedua belah pihak dalam

satu ruangan. Tim sengketa lahan memanggil masing-masing lima perwakilan

dari pihak petani pembuka lahan dan petani pemilik sertifikat. Pertemuan

tersebut berlangsung di kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung

21

Wawancara dengan Fatno Wahid sebagai Petani, Pada Tanggal 20

Juli 2015

62

Selatan. Pertemuan ini tujuannya adalah untuk menyelesaikan sengketa secara

kekeluargaan.

Pertemuan ini kemudian menghasilkan berita acara yang diputuskan

oleh ketua tim sengketa lahan. Berita acara tersebut terdiri dari beberapa poin,

diantaranya adalah tim penyelesaian sengketa akan turun langsung ke lokasi

lahan Rawasrgai tanggal 20 Januari 2000. Dua hari sebelumnya, tim

penyelesaian sengketa akan bertemu dengan tokoh masyarakat dan pelaku

sejarah di Balai Desa Bumi Restu. Poin dari berita acara yang paling krusial

adalah poin yang menuliskan bahwa tim penyelesaian sengketa akan

berkoordinasi agar petani pembuka lahan pertama mendapatkan separuh dari

luas tanah milik petani yang memiliki sertifikat secara sah sambil menunggu

keputusan selanjutnya.22

Poin terakhir dari berita acara tersebut membuat

petani pemilik sertifikat merasa dirugikan. Pasalnya, mereka beranggapan

bahwa mereka adalah pemilik yang sah dibuktikan dengan memegang

sertifikat dan tidak mau membagi lahan mereka. Tim penyelesaian sengketa

mengambil keputusan ini dilatarbelakangi kecurigaan tim sengketa lahan atas

sertifikat yang mereka dapatkan berasal dari penyelewengan yang dilakukan

tim agraria pada tahun 1983.

Poin yang dirasa merugikan petani pemilik sertifikat sebaliknya

membuat petani pembuka lahan merasa diuntungkan. Poin terakhir dari berita

acara tersebut dijadikan dasar bagi petani pembuka lahan untuk menuntut

pembagian lahan kepada petani pemilik sertifikat. Petani-petani pembuka

22

Wawancara dengan Nicholas sebagai Pegawai BPN Lampung

Selatan, Pada Tanggal 8 Agustus 2015.

63

lahan mendatangi lahan pertanian dan mengusir petani pemilik sertifkat dari

lahan pertanian mereka sendiri.23

Petani pemilik sertifikat yang semakin

terganggu akhirnya mengadakan pertemuan antar sesama petani pemilik

sertifikat yang lahannya disengketakan. Perundingan-perundingan tersebut

akhirnya menghasilkan kesepakatan bahwa mereka akan menggelar aksi

demo menuntut pencabutan berita acara yang dikeluarkan oleh tim

penyelesaian sengketa.

Tanggal 10 Februari 2000, petani-petani pemilik sertifikat melakukan

unjuk rasa di depan Kantor Pemerintahan Daerah Kabupaten Lampung

Selatan. Mereka datang ke Kantor Pemerintahan Daerah dengan menumpang

10 truk, 7 pick up dan 6 angkutan pedesaan. Tuntutan mereka adalah tim

sengketa lahan mencabut atau menghapus poin yang mengatakan harus

membagi lahan yang disengketakan dengan petani pembuka lahan. Pada

pukul 11.15 para petani berkumpul di depan halaman kantor Pemerintahan

Daerah Lampung Selatan. Tak lama kemudian ketua tim penyelesaian

sengketa mengajak perwakilan dari petani untuk berdialog dan mendengarkan

tuntutan mereka. Dialog dengan ketua tim penyelesaian sengketa

memunculkan anggapan dari pihak petani pemilik sertifikat bahwa ketika

membuat berita acara tersebut, ketua tim penyelesaian sengketa berada di

bawah tekanan.24

Hal ini mengindikasi bahwa telah terjadi penekanan berupa

ancaman dari petani pembuka lahan. Ketua tim penyelesaian sengketa juga

menyampaikan bahwa mereka hanya mengadakan mediasi dan tidak membuat

23

Data diolah dari Wawancara Masyarakat Palas 20 Juli 2015 24

Wawancara dengan Fatno Wahid sebagai Petani, Pada Tanggal 8

Agustus 2015.

64

keputusan, mereka hanya memberikan rekomendasi tanpa mempolitisasi

permasalahan ini.

Aksi demo di depan kantor Pemerintahan Daerah Lampung Selatan

berdampak semakin tegangnya konflik antara petani penggarap dengan petani

pemilik sertifikat. Salah satu desa yang mengalami ketegangan konflik adalah

Desa Rejomulyo. Sebagian penduduk dari desa tersebut adalah petani pemilik

sertifikat. Bulan Maret tahun 2000, ketegangan mencapai puncaknya ketika

petani pembuka lahan semakin berani mendatangi lahan dengan

mengandalkan berita acara yang belum dihapuskan oleh tim sengketa lahan.

Sengketa yang terjadi secara horizontal ini terbawa hingga pada konflik yang

menyentuh isu SARA.25

Pihak yang menginginkan tanah pertanian atau pihak

dari petani pembuka lahan mayoritas bersuku bangsa bali dan mendiami Desa

Bali Agung, sedangkan petani yang memiliki sertifikat mayoritas bersuku

bangsa Jawa yang mendiami desa Rejomulyo.

Kedua kubu yang terlibat sengketa ini tinggal secara berkelompok di

dua desa yang terpisah. Hal ini membuat dua kelompok petani yang sama-

sama menginginkan lahan pertanian merasa harus membela sesamanya.

Suasana antara perkampungan perkampungan Jawa dan Bali semakin tegang.

Bila malam tiba, mereka bergantian menjaga sekitar perkampungan

dikarenakan ketakutan apabila suatu saat mereka akan diserang. Banyak

penduduk wanita dan anak-anak diungsikan sementara ke rumah sanak

25

Wawancara dengan Dulhawi sebagai Petani, Pada Tanggal 8

Agustus 2015.

65

saudara di luar Kecamatan karena dikhawatirkan akan terjadi kericuhan-

kericuhan yang membahayakan.26

Sejak dikeluarkannya berita acara oleh tim sengketa lahan pada bulan

Januari tahun 2000, lahan pertanian yang disengketakan tidak diusahakan oleh

petani pemilik sertifikat. Mereka menunda mengusahakan lahan pertanian

tersebut sebelum kasus sengketa tersebut selesai. Hal ini berpengaruh

terhadap penghasilan penduduk yang menurun dikarenakan profesi petani

merupakan profesi utama mereka. Hubungan sosial penduduk juga diwarnai

oleh saling curiga terutama antar warga masyarakat yang memiliki sertifikat

dengan petani pembuka lahan.

Ketegangan-ketegangan yang berlangsung hingga pertengahan tahun

2000 itu membuat aparat desa mendatangkan Dalmas sebanyak 10 kali dari

Polres Lampung Selatan dan juga membuat posko-posko keamanan di desa.

Mereka mempertemukan pihak masyarakat yang bertikai baik dari pihak

pemilik sertifikat maupun petani pembuka lahan. Camat dan tokoh-tokoh

masyarakat juga melakukan upaya perundingan damai namun tidak

membuahkan hasil karena masing-masing pihak yang bertikai merasa benar.

Terjadinya pertemuan-pertemuan antar warga yang bersengketa

dengan berbagai pihak seperti BPN dan Pemerintah Daerah Lampung Selatan

merupakan cara-cara penyelesaian sengketa agraria akibar Proyek Rawasragi

Tahun 1983-2000. Masyarakat yang merasa menjadi korban telah menempuh

berbagai cara untuk kembali mendapatkan haknya. Kerusuhan-kerusuhan

26

Wawancara dengan Fatno Wahid sebagai Petani, Pada Tanggal 10

Juni 2015

66

yang terjadi sepanjang sengketa ini membuat rakyat semakin gerah dengan

sengketa yang terjadi diantara mereka.

Sengketa yang awalnya melibatkan pemerintah dan rakyat, pemerintah

sebagai pemeran utama terjadinya konflik ini, justru tidak menuntaskan

permasalahan ini sampai selesai. Pemerintah lepas tangan atas konflik yang

terjadi dengan berdalih bahwa semua pelaksanaan sudah sesuai dengan

prosedur. Lepas tangannya pemerintah pada akhirnya menyisakan sengketa

antara petani yang tidak mendapat bagian dengan petani yang sudah

mendapatkan sertifikat.27

Gesekan-gesekan antar sesama petani yang sama-sama menjadi korban

atas kebijakan pemerintah ini membuat kehidupan bermasyarakat di

Kecamatan Palas menjadi renggang. Puncaknya, pada tahun 1999-2000,

banyak petani yang menggelar aksi damai di kantor Pemerintah Daerah

Lampung Selatan hingga menghasilkan poin-poin berita acara yang

dikemudian hari menjadi sumber konflik yang lain.

Rumitnya konflik yang terjadi membuat sebagian petani mulai

menyerah dan akhirnya mundur perlahan. Hal ini terjadi di kedua pihak, baik

yang menuntut kembalinya tanah meskipun mereka tidak memiliki bukti yang

kuat, atau dari petani yang memiliki bukti yang kuat. Pihak petani yang

menuntut kembalinya tanah mereka, satu persatu mulai mundur meskipun

tidak semua dari mereka menyerah. Ada sebagian lain yang tetap bersikeras

dengan berlandaskan poin berita acara yang ditanda tangani oleh ketua tim

27

Wawancara dengan Darrusalam sebagai Petani, Pada Tanggal 8

Agustus 2015.

67

sengketa lahan masih berusaha mendapatkan lahan pertanian mereka

meskipun tidak sepenuhnya mendapatkan, melainkan hanya separuh dari

lahan yang disengketakan.28

Pihak yang lain yaitu petani yang memiliki sertifikat, mulai merasa

gerah dengan tekanan-tekanan dari pihak lawannya. Mereka merasa tidak

aman untuk pergi mengolah sawah mereka dikarenakan sering terjadinya

gesekan-gesekan dan ancaman-ancaman yang terjadi di area persawahan. Hal

ini kemudian melatarbelakangi sebagian dari mereka untuk melepaskan

separuh bahkan seluruh area persawahan yang menjadi sengketa kepada pihak

lawannya.29

Menurut Miall et al (2000), satu kebiasaan khas dalam sebuah konflik

atau sengketa adalah memberi prioritas yang tinggi guna mempertahankan

kepentingan pihaknya sendiri. Jika kepentingan pihak A bertentangan dengan

kepentingan Pihak B, maka A cendeung mengabaikan kepentingan B, atau

secara aktif menghancurkannya. Para pemimpin negara diharapkan

mempertahankan kepentingan nasional dengan mengalahkan kepentingan

pihak lain jika mereka terpaksa masuk ke dalam konflik. Terdapat lima

pendekatan terhadap konflik, dibedakan oleh apakah perhatian bagi diri

sendiri atau perhatian bagi orang lain adalah tinggi ataukah rendah. Satu pihak

yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kepentingannya sendiri dan

kepedulian yang rendah terhadap kepentingan pihak lain akan menghasilkan

28

Data diolah dari hasil wawancara warga Kecamatan Palas pada Juli

2015 29

Wawancara dengan Fatno Wahid sebagai Petani, Pada Tanggal 10

Juli 2015.

68

respon pertikaian atau menaklukan. Alternatif lain adalah untuk mengalah: ini

mengimplikasi perhatian yang lebih terhadap kepentingan pihak lain

dibandingkan kepentingan diri sendiri. Pilihan yang lain adalah menghindari

konflik dan mengundurkan diri. Kemudian pilihan selanjutnya adalah mencari

jalan untuk berkompromi dan mengakomodasi kepentingan kedua belah

pihak. Alternatif terakhir dilihat sebagai satu tindakan yang direkomendasikan

bila memungkinkan penghargaan yang tinggi bagi kepentingan diri sendiri

dan kepentingan pihak lain. Ini mengimplikasikan penegasan yang kuat

terhadap kepentingan sendiri, tetapi juga menyadari aspirasi dan kebutuhan

pihak lain.30

Pada kasus sengketa lahan pertanian Rawasragi, pilihan

menyelesaikan sengketa pada akhirnya jatuh pada pilihan mengalah untuk

menghindari sengketa yang lebih berkepanjangan. Tidak jelasnya sistem

penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh tim penyelesaian sengketa yang

terdiri dari pihak Badan Pertanahan Nasional Tingkat II Kabupaten Lampung

Selatan dengan pihak dari Pemerintah Daerah Lampung Selatan membuat

petani pembuka lahan dan petani pemegang sertifikat merasa terganggu

dengan sengketa yang terjadi. Pihak petani pemegang sertifikat tidak bisa

mengolah lahan pertaniannya dikarenakan pihak petani pembuka lahan yang

hendak mengambil alih lagi lahan pertanian yang sudah mereka buka tetap

tidak mau melepaskan lahan tersebut.

30 Tim Pussbik, Tanah Lampung,Sengketa Pertanahan dan

Perjuangan Rakyat Tani Lampung (Lampung: Pussbik, 2002), Hlm.84-85

69

Pihak petani pembuka lahan juga tidak bisa sepenuhnya menguasai

lahan pertanian dikarenakan pihak petani pemegang sertifikat sama-sama

bersikeras tidakingin membagi lahannya. Ketidakjelasan ini pada akhirnya

memunculkan rasa menyerah dalam perjuangan mendapatkan lahan.

Penyelesaian sengketa ini pada akhirnya berujung dengan bertemunya petani

pemilik sertifikat dengan petani pembuka lahan. Mereka bertemu secara

sendiri-sendiri dan menyelesaikan permasalahan sengketa ini sesuai dengan

kesepakatan masing-masing petani.

Petani pembuka lahan sebagian memperoleh kembali lahannya dengan

cuma-cuma dikarenakan petani pemilik sertifikat tidak ingin terus larut dalam

sengketa yang berkepanjangan tanpa adanya kejelasan dari pihak tim

penyelesaian sengketa. Mereka yang melepaskan lahannya dengan cuma-

cuma dilatarbelakangi oleh ketakutan akan ancaman-ancaman yang diberikan

oleh pihak petani pembuka lahan. Di lain pihak, petani pembuka lahan

mendapatkan lahannya kembali dengan sistem membeli lahan. Petani pemilik

sertifikat menjual lahan pertanian yang disengketakan beserta sertifikat lahan

kepada petani pembuka lahan meskipun dengan harga dibawah rata-rata

penjualan tanah.

Tidak semua petani pembuka lahan berhasil mendapatkan lahan

pertaniannya lagi. Ada sebagian dari mereka yang tetap tidak berhasil

dikarenakan petani pemilik sertifikat tetap tidak mau memberikan lahan

pertanian mereka dengan cuma-cuma ataupun dengan diperjual belikan.

Petani pemilik sertifikat yang tetap mempertahankan lahannya merupakan

petani yang memiliki kondisi keuangan yang berlebih sehingga bisa

70

memperkarakan kasus ini ke tahap persidangan jika petani pembuka lahan

tetap bersikeras dengan keinginan mereka untuk mendapatkan lahan pertanian

mereka kembali.

C. Penyelesaian Sengketa Agraria Proyek Rawasragi di Kecamatan

Palas Kabupaten Lampung Selatan

Masalah pertanahan di Indonesia tidak bisa ditangani dan diselesaikan

dengan menggunakan pendekatan hukum saja, melainkan dengan pendekatan

komperhensif seperti politik, sosial, budaya, ekonomi (kesejahteraan) dan

ekologi. Yang tidak kalah penting adalah penanganan dan penyelesaian yang

kuat dan berwibawa, koordinasi antar instansi pemerintah yang efektif,

administrasi pertanahan yang berbasis teknologi dan penerapan prinsip-

prinsip good goverment good governance, manajemen konflik yang efektif

efisien, strategi penanganan dan penyelesaian yang cepat, tepat dan efektif

ditopang sumber daya manusia yang handal dengan kemampuan terlatih, baik

di pusat maupun di daerah.31

Gerakan sosial atau Social Movement yang terjadi di Indonesia pada

umumnya bersifat endemis32

, yang timbul sejak masyarakat tradisional

mengalami berbagai perubahan sosial sebagai akibat penetrasi pemerintah

31

Arif Budiman, Fungsi Tanah dan Kapitalis (Jakarta: Sinar

Grafika,1996), hlm.69 32

Endemis adalah istilah dalam ilmu kesehatan yang berarti gejala

penyakit, sedangkan yang dimaksud disini adalah gejala sosial yang

menimbulkan insiden konstan dalam suatu komunitas/daerah tertentu yang

bisa timbul setiap waktu. Gejala ini dapat berubah menjadi keadaan yang

mencakup wilayah yang lebih luas atau kawasan atau yang disebut dengan

Epidemis, lihat Departemen Pendidikan dan Kebudapaan, Ensiklopedia

Indonesia. Jakarta : PT Ikhtisar Baru – Van Hoeve, 1991, hlm. 928

71

yang semakin kuat. Hal ini dapat dilihat dengan masuknya uang dalam sistem

ekonomi, serta faktor lain seperti tanah dan tenaga buruh. Perkembangan

perdagangan dan industri pertanian menimbulkan perubahan struktur dalam

masyarakat dengan semakin meluasnya sistem administrasi yang bersifat legal

rasional, lembaga-lembaga politik tradisional semakin terdesak. Pendek kata,

proses modernisasi dan birokratisasi, ditambah lagi dengan komunikasi dan

edukasi semakin menambah keberanian mengemukakan pendapat untuk

memperotes kebijakan pemerintah atau penguasa.33

Sengketa pertanahan menjadi persoalan yang mendesak untuk segera

dicarikan solusi, sebab penundaan penyelesaian akan berakibat pada

lemahnya proses penegakan hukum dan kondisi sosial yang semakin tidak

menentu. Sengketa pertanahan adalah sebuah konflik yang melibatkan dua

kelompok atau bahkan beberapa pihak masyarakat. Berbagai sengketa

pertanahan banyak dikibatkan oleh sejumlah ketimpangan soal struktur

kepemilikan tanah, ketimpangan dalam penggunaan tanah dan ketimpangan

dalam persepsi serta konsepsi mengenai kepemilikan tanah.

Pada dasarnya, konflik yang melibatkan berbagai tindak kekerasan

ataupun pemaksaan kehendak tidaklah terjadi secara tiba-tiba. Konflik apapun

jenis dan bentuknya, selalu bermula dari kekecewaan salah satu pihak ataupun

kedua belah pihak secara berangsur-angsur dan proses tersebut secara

akumulatif pada gilirannya menimbulkan ledakan kekerasan di kemudian hari.

Secara teoritik suatu konflik akan melewati tahapan-tahapan tertentu.

33

Sartono Kartodirdjo, “Dialog”, Majalah Prisma No. 1 Tahun I, 1

Januari 1977, hlm.28

72

Bloomfield et al (dalam Harris dan Reilly, 2000) menyebutkan bahwa konflik

terbagi dalam 4 tahapam yaitu :

a. Tahapan diskusi, dalam tahapan ini terdapat perpedaan pendapat

antara pihak-pihak namun masih cukup dekat untuk bekerja sama.

Komunikasi diharapkan berupa perdebatan langsung dan diskusi

antara kedua elah pihak diwarnai dengan kepercayaan dan saling

menghargai. Isu-isu yang ditekankan dalam pertikaian adalah isu

substantif dan obyektif. Kemungkinan hasilnya diasumsikan mampu

memuaskan kedua belah pihak : solusi sama-sama menang (win-win

solution)

b. Tahap polarisasi, kedua belah pihak mulai mengambil jarak, menarik

diri dan menjauh satu sama lain. Karena jarak tersebut, komunikasi

mulai tidak langsung dan bergantung pada intepretasi. Persepsi

mengenai pihak lainnya mengeras menjadi stereotip yang kaku, karena

tidak ada tantangan dari fakta yang muncul dari interaksi langsung.

Hubungan memburuk dari yang tadinya saling menghormati menjadi

lebih dingin ketika semua pihak tidak lagi memandang pihak lain

sebagai pihak yang penting, melainkan sebagai pihak yang tidak dapat

diandalkan. Isu-isu yang ditekankan bukan lagi elemen yang obyektif,

namun bergeser ke kecemasan psikologis mengenai hubungan itu.

Hasil yang mungkin bukan lagi kemenangan kedua belah pihak,

namun harus terdapat kompromi untuk memenangkan sebagian dan

kehilangan yang lainnya.

73

c. Tahap segregasi, kedua belah pihak saling menjauh dari pihak

lawannya. Komunikasi terbatas ancaman. Persepsi telah menguat

menjadi gambaran “kita sebagai yang baik dan mereka sebagai yang

jahat”. Hubungan diwarnai ketidakpercayaan dan saling tidak

menghargai. Isu yang ditekankan dalam pertikaian adalah kepentingan

dan nilai utama setiap kelompok, taruhannya ditingkatkan dalam tahap

ini. Hasilnya dianggap sebagai perhitungan zero zum : situasi kalah

dan menang secara sederhana. Metode yang dipilih untuk mengelola

situasi adalah kompetisi defensif, ketika masing-masing pihak

berusaha melindungi kepentingannya sendiri sejauh mungkin, sambil

berusaha untuk lebih cerdik daripada lawannya.

d. Tahap destruksi, ini merupakan tahap permusuhan yang sepenuhnya.

Komunikasi kini hanya terdiri dari kekerasan langsung atau sama

sekali tanpa hubungan. Untuk menjustifikasi kekerasan, persepsi

mengenai pihak lain menjadi penjelasan yang memojokkan mengenai

pihak lawan sebagai bukan manusia, psikopat atau lainnya. Hubungan

antara kedua belah pihak dianggap berada dalam kondisi tanpa

harapan. Isu yang ditekankan kini hanyalah keselamatan suatu pihak

terhadap agresi pihak lainnya. Kemungkinan hasil yang dipersepsikan

bagi semuanya adalah sama-sama kalah: situasinya sedemikan buruk

sehingga keduanya akan harus membayar mahal. Metode yang dipilih

untuk mengelola konflik pada tahap ini adalah usaha untuk

74

menghancurkan pihak lawan: suatu keadaan perang yang memenuhi

dunia ini.34

Analisis di atas menyiratkan bahwa intensitas konflik semakin meningkat

dalam tiap tahapan konflik. Konflik dengan demikian bergerak secara linier

dan mekanis menuju konflik terbuka masing-masing pihak melakukan

tindakan destruktif terhadap kelompok yang dianggap sebagai lawannya.

Penyelesaian kasus sengketa tanah diperlukan pendekatan-pendekatan

yang lebih bersifat dialogis. Pendekatan keamanan yang dijalankan selama ini

terbukti tidak pernah menyelesaikan masalah, justru menimbulkan konflik

baru yang berdimensi lebih luas. Proses dialog dan perundingan perlu pula

diperhatikan keterlibatan penuh seluruh warga yang bersangkutan. Sistem

representasi (perwakilan) warga yang selama ini dilakukan dalam

penyelesaian kasus konflik tanah terkadang menimbulkan bias terutama

dalam hal arah kepentingan yang berujung pada konflik horizontal.

Penyelesaian kasus tanah selama ini ditempuh dengan jalur formal

yaitu melalui lembaga peradilan dan penyelesaian jalur non formal yaitu

dengan perundingan atau musyawarah.

1. Penyelesaian dengan Jalur Formal

34

Tim Pussbik, Tanah Lampung,Sengketa Pertanahan dan

Perjuangan Rakyat Tani Lampung (Lampung: Pussbik, 2002), Hlm.89

75

Penyelesaian sengketa dengan jalur formal tidak banyak dilakukan

oleh masyarakat karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga

peradilan, masyarakat merasa tidak punya bukti formal yang kuat ketika pihak

pengadilan meminta pembuktian yang diinginkan. Biaya yang dibutuhkan

dalam mengajukan perkara sangat besar menurut ukuran masyarakat yang

bersengketa dan kecenderungan masyarakat seringkali dikalahkan karena

tidak ada bukti formal yang dimiliki petani yang banyak dimotori oleh para

mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Tanah-tanah yang

disengketakan petani umumnya tidak memiliki kelengkapan surat menyurat

sebagai bukti kepemilikan, sehingga tanah-tanah tersebut gampang dianggap

sebagai tanah negara.

Secara nyata masyarakat terus menuntut hak mereka atas lahan

pertanian yang sudah mereka buka dan mereka usahakan. Usaha penyelesaian

sengketa terlihat sejak tahun 1983 ketika proses peredistribusian lahan

pertanian oleh pemerintah mulai dilakukan. Petani pembuka lahan banyak

yang tidak mendapatkan kartu kuning atau kartu hijau. Cara yang ditempuh

masyarakat adalah melaporkan hal ini kepada musyawarah pimpinan daerah

Kecamatan Palas. Mereka juga mendatangi posko yang didirikan oleh tim

agraria yang fungsinya untuk menerima aspirasi dari masyarakat.

Mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa memiliki

ruang lingkup utama berupa wilayah privat/perdata. Sengketa-sengketa

perdata berupa sengketa keluarga, waris, kekayaan, kontrak, perbankan,

bisnis, lingkungan hidup dan berbagai jenis sengketa perdata lainnya dapat

diselesaikan melalui jalur mediasi. Penyelesaian sengketa melalui jalur

76

mediasi dapat ditempuh di pengadilan maupun di luar pengadilan. Mediasi

yang dijalankan di pengadilan merupakan bagian dari rentetan proses hukum

di pengadilan, sedangkan bila mediasi dilakukan di luar pengadilan, maka

proses mediasi tersebut merupakan bagian tersendiri yang terlepas dari

prosedur hukum acara pengadilan.

Mediasi merupakan tahap penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh

tim penyelesaian sengketa guna mempertemukan kedua belah pihak antara

petani pembuka lahan dengan petani pemilik sertifikat. Mediasi dilaksanakan

tahun 2000 di kantor Pemerintahan Daerah Lampung Selatan. Mediasi ini

fasilitasi oleh tim penyelesaian sengketa agraria sebagai follow up dari usaha-

usaha yang dilakukan sebelumnya mulai dari terjun ke lahan pertanian

langsung hingga berbicara dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Mediasi

ini mempertemukan perwakilan-perwakilan petani pembuka lahan dengan

petani pemilik sertifikat. Mediasi ini bertujuan untuk mendengarkan pendapat

masing-masing pihak eserta keinginan dan membahas penyelesaiannya.

Konflik pertanahan merupakan bentuk ekstrim dan keras dari

persaingan. Konflik agraria adalah proses interaksi dua (atau lebih) atau

kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atas obyek

yang sama yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.

2. Penyelesaian Jalur Non Formal

Penyelesaian jalur non formal dilakukan dengan adanya musyawarah

untuk mencapai kata mufakat atau bisa dikatakan dengan perundingan atau

negoisasi. Penyelesaian seperti ini dianggap alternative penyelesaian yang

77

lebih cepat, singkat dan dengan biaya yang murah, serta menjamin jalan

kompromi terhadap pihak-pihak yang bersengketa.

Persoalan sengketa lahan pertanian proyek Rawasragi melibatkan dua

komponen yaitu rakyat dan pemerintah. Rakyat menuntut redistribusi lahan

pertanian disesuaikan oleh pembuka lahan pertama kali, sesuai dengan SK

Menteri Pertanian No 208/Mentan/1981 yang menyebutkan bahwa lahan

pertanian tersebut merupakan lahan yang disetujui untuk digunakan

pelaksanaan proyek Rawasragi yang melibatkan masyarakat sekitar sebagai

pembuka lahan. Pada kenyataannya hanya sebagian dari mereka yang

mendapatkan lahan pertanian dan sebagian lainnya terpaksa tersisihkan dari

lahan yang sudah mereka buka dikarenakan tidak mendapatkan kartu hijau

bahkan sertifikat dari panitia agraria.

Penyelesaian dengan jalur non formal ditempuh oleh masyarakat yang

melaporkan bahwa mereka tidak mendapatkan lahan pertanian kepada

pimpinan desa setempat. Pimpinan-pimpinan desa setempat kemudian

melakukan musyawarah hingga mencapai kesepakatan bahwa mereka

mengeluarkan berita tentang kronologis hingga usulan-usulan penyelesaian

sengketa lahan pada tanggal 12 November 1984. Usulan-usulan hasil

musyawarah tersebut kemudian disampaikan kepada tim agraria namun tidak

membuahkan hasil. Kekuatan rezim orde baru yang didukung oleh militer

membuat jalur penyelesaian non formal tidak menemui titik temu. Pemerintah

tetap melaksanakan proses redistribusi lahan tanpa mempertimbangkan petani

pembuka lahan yang tidak mendapatkan lahan pertanian yang menjadi hak

mereka.

78

D. Pihak-pihak yang Terlibat Sengketa Agraria Proyek Rawasragi di

Kecamatan Palas Kabupaten Lampung Selatan

Masyarakat petani adalah kelompok mayoritas yang harus

diberdayakan secara ekonomi. Petani merupakan kelas sosial yang mampu

memainkan peranan kunci dalam sejarah masyarakat tertentu. Peran ini

disandang ketika mereka melakukan gerakan pergolakan/perlawanan sosial.

Gerakan ini bukan saja berdasarkan pada ketidakpuasan individual yang

massif sifatnya, melainkan merupakan protes yang diorganisasikan sebagai

suatu bahan sejaah sektor pedesaan dibanyak masyarakat.35

Aksi sengketa agraria dalam proyek rawasragi ini merupakan sebuah

konflik vertikal antara rakyat dan pemerintah, namun pada akhirnya menjadi

konflik horizontal yang menyisakan konflik antar sesama petani. Aksi

sengketa ini merupakan sebuah perlawanan sehari-hari dan pengaduan-

pengaduan kepada instansi-instansi yang terkait. Diantara instansi-instansi

tersebut adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN, pusat maupun daerah),

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan Pemerintah Daerah Kabupaten

Lampung Selatan.

Perjuangan warga dalam upaya mendapatkan hak atas lahan mereka

sangat membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan kelas lain

terhadap aksi sengketa ini turut memegang peranan. Dukungan dari kelas

sosial lain (selain petani) ini bersifat sekunder dalam artian bukan dukungan

sebagai aktor gerakan yang subjektif, namun pendampingan sosial untuk

35

Henry A. Landsberger dan Yu G. Alexandrov, Pergolakan Petani

dan Pembaharuan Sosial, Jakarta : CV. Rajawali, hlm 1

79

mengarahkan jalannya sebuah aksi yang sesuai dengan prosedur. Adapun

kelas lain yang berperan di aksi sengketa ini antara lain : Lembaga Swadaya

Masyarakat Serikat Tani Nasional, Muspida Kecamatan Palas, dan

Mahasiswa.

1. Lembaga Swadaya Masyarakat Serikat Tani Nasional (LSM STN)

Serikat Tani Nasional merupakan LSM dibawah bendera PRD. LSM

ini ikut mengawal peristiwa sengketa agraria dalam Proyek Rawasragi di

Kecamatan Palas Lampung Selatan. Diketuai oleh Nurbaiti, LSM ini berusaha

memperjuangkan apa yang menjadi hak petani penggarap. STN sempat

mendirikan posko pengaduan yang sifatnya mengadvokasi pengaduan-

pengaduan dari masyarakat terkait sengketa lahan ini.

Mereka membuat pernyataan sikap STN terhadap sengketa yang

tengah terjadi. Pernyataan ini berisi 8 poin diantaranya :

a. Menolak segala berita yang menyatakan bahwa para petani yang bernaung

di bawah organisasi STN Kecamatan Palas melakukan penyerobotan tanah.

Justru petani itulah yang merupakan para petani penggarap asli yang

membuka lahan sejak tahun 1978, dan sejak tahun 1984 karena kebijakan

para aparat Pemda, BPN, dan ABRI korup yang tergabung dalam TIM

Landreform bentukan sesuai SK. Menteri dalam negeri dan Gubernur

Lampung, maka para petani tersingkirkan dari lahan asli meeka akibat jual-

beli tanah melalui kartu hijau yang dijual kepada banyak penduduk dari

luar/sekita obyek landreform. Ribuan petani diiming-imingi tanah oleh

80

anggota Tim landreform yang korup untuk membeli sertifikat aspal dengan

membayar Rp. 200.000 kepada para anggota tim.

b. Menuntut kepada Pemerintah Republik Indonesia Presiden Abdurrahman

Wahid dan Megawati Soekarno Putri agar mengeluarkan kebijakan

pertanahan yang berpihak kepada rakyat yang sebenarnya. Khususnya di

kasus Palas yang telah menyengsarakan petani penggarap asli yang telah

membuka lahan sejak tahun 1978.

c. Menuntut kepada Pemerintah Daerah c.q Pemda Lampung Selatan dan

BPN Tk. II Lampung Selatan untuk menindaklanjuti hasil kesepakatan

berbagai pertemuan sejak tanggal 9 Februari 1999 di kantor gubernur

Lampung hingga pertemuan tanggal 17 Januari 2000 di kantor BPN

Lampung Selatan.

d. Adili para anggota Tim Landreform Rawasragi 1984 agar kasus ini dapat

tuntas setuntasnya, juga tangkap aparat Pemda dan militer yang melakukan

penyiksaan, pemenjaraan, dan intimidasi paska Landreform 1984 yang

penuh dengan manipulasi dan tipu daya

e. Kepada petani yang tertipu rayuan Tim Landreform 1984, mari kita

bersama-sama menuntut kepada pemerintah agar mengembalikan apa yang

menjadi hak milik kita. Jangan mau kita di adu domba oleh oknum aparat

Pemda dan Militer yang hendak lari dari tanggung jawab mereka atas

kasus tanah Landreform Rawasragi.

f. Turunkan harga pupuk, tanah dan traktor untuk penggarap.

81

g. Tolak kenaikan BBM dan TDL, turunkan harga, naikkan upah buruh 100%.

h. Petani, buruh dan mahasiswa, kaum miskin kota bersatulah melawan

penindasan modal yang dijaga oleh kekuatan bersenjata (kapitalisme

militeristik), berikan dukungan anda dengan melakukan aksi solidaritas

atau layangkan surat tekanan anda kepada Gubernur Lampung, c.q Pemda

Tk. II Lampung Selatan Sekretariat wilayah atau daerah Jl. Indra

Bangsawan Kalianda Lampung Selatan Telp. (0721) 2070, 2068, 2069,

2300, fax. 2334.36

Keterlibatan LSM STN ini tidak sepenuhnya diterima oleh

masyarakat Palas. Advokasi yang mereka lakukan di Kecamatan Palas tidak

membuat masyarakat merasa dimudahkan dalam mencari titik temu

penyelesaian sengketa agraria akibat proyek Rawasragi. Pendekatan-

pendekatan yang dilakukan pihak STN dinilai tidak merakyat sehingga

masyarakat tidak tertarik untuk bergabung dan mencari jalur penyelesaian

dengan didampingi pihak STN.

2. Muspida Kecamatan Palas

Musyawarah pimpinan daerah Palas atau Muspida merupakan

kumpulan pimpinan-pimpinan tertinggi desa yang ikut berperan di sengketa

ini. Muspida sempat mengeluarkan berita tentang kronologis terjadinya

sengketa agraria di Kecamatan Palas ini. Berita ini juga berisi tentang

permasalahan yang timbul sebagai akibat redistribusi tanah sawah proyek

36

Diakses dari www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/01/2148.html

Tanggal 12 Juni 2015

82

Rawasragi di masyarakat, serta langkah-langkah yang ditempuh Muspida dan

saran-saran yang diberikan Muspida agar semua kartu kuning diusahakan

menjadi kartu hijau.

3. Mahasiswa

Mahasiswa adalah salah satu kelas sosial di masyarakat yang turut

beperan di aksi sengketa agraria ini. Peran ini merupakan wujud solidaritas

mahasiswa yang mulai muncul kembali sebagai kesatuan massa yang ditandai

dengan maraknya komite-komite solidaritas mahasiswa di berbagai kota pada

akhir 1960-an. Komite-komite ini bahkan di berbagai aksinya melakukan

sejumlah terobosan-terobosan tekhnik aksi-aksi seperti long march (unjuk

rasa) dan penghidupan kembali aksi-aksi reli yang sempat tenggelam dan

menghilang dari khasanah aksi massa di awal tahun 1980-an.37

Peran

mahasiswa di kasus ini adalah terlibat sebagai bagian dari aktivitas LSM.

Selain itu, mahasiswa juga berfungsi sebagai kekuatan pendukung ketika

membantu kelompok masyarakat.

37

Anton Lucas dalam Tanah dan Pembangunan, Risalah dari

konferensi INFID ke-10 Canberra – Australia. Penyunting Noer Fauzi, Jakarta

: Sinar harapan, 1991, hlm.87.