bab iii keberadaan makam botoputih dan sejarah …digilib.uinsby.ac.id/1190/5/bab 3.pdf ·...
TRANSCRIPT
46
BAB III
KEBERADAAN MAKAM BOTOPUTIH DAN SEJARAH
KYAI AGENG BRONDONG
A. Keberadaan Makam Botoputih Serta Dinamika Masyarakat
Makam Botoputih terletak didaerah pegirian bersebelahan dengan
kampung kebondalem sebelah timur kali dari perkampungan Ampel, didaerah
tersebut terdapat acara tradisional turun temurun yang berupa ziarah ke
makam Mbah Brondong. Ziarah ini dilakukan pada malam selasa paing ada
juga yang malam jum’at legi, walaupun pada hari biasa makam tersebut tetap
dikunjungi. Pada umumnya masyarakat atau para peziarah memilih hari
jum’at legi sebagai hari yang baik dan merupakan sesuatu yang sakral,
sehingga pada malam itu segala aktivitas lainnya dihentikan. Sebagian
masyarakat beranggapan dan meyakini bahwa ziarah ke makam Mbah
Brondong dapat memberikan keberkahan bahkan bukan hanya sekedar angan-
angan tetapi hal itu dapat dirasakan oleh sebagian dari mereka yang pernah
berziarah merasakan ketentraman dan mendapatkan rizki yang berlimpah-
limpah, merupakan suatu bukti nyata, bahwa makam Mbah Brondong,
mempunyai keistimewaan tersendiri, bahkan konon katanya sebelum
berziarah ke makam Sunan Ampel harus terlebih dahulu mampir (berziarah)
ke makam Mbah Brondong dulu karena Mbah Brondong merupakan orang
yang paling sepuh dari Sunan Ampel oleh karena itu merupakan suatu
47
penghormatan kepada Mbah Brondong bahkan juga dianggap makam yang
paling keramat dibanding makam lainnya.1
Berdasarkan fenomena yang demikian itu masalah dan hasil temuan di
lapangan menunjukkan bahwa makam tersebut sering diziarahi masyarakat
setempat bahkan dari berbagai pelosok daerah dan dari luar negeri,
masyarakat setempat meyakini dan menganggap sebagai makam keramat,
bahwa Mbah Brondong itu adalah seorang wali yang dianggap dekat dengan
Allah SWT, dan dengan berziarah ke makam tersebut dapat memberikan
keberkahan dan terpenuhi hajatnya.2
Sehingga makam tersebut sering diziarahi oleh orang-orang, peziarah
yang datang kemakam sangat bervariasi, karna kesemuanya itu menandakan
bahwa Mbah Brondong mempunyai keistimewaan dan kharisma tersendiri,
masyarakat Botoputih dan sebagian orang sangat menghormati makam
tersebut. Hal itu terbukti ketika ada orang yang ingin merubah tradisi seperti
itu maka dengan penuh kesiapan masyarakat setempat melawannya, tidak
hanya sejarah mengatakan adanya Kyai Ageng Brondong, melainkan juga
makamnya sudah nyata ada dan berabad-abad menjadi pusat ziarah para
keluarga dan keturunannya. Botoputih kini merupakan suatu makam
keluarga, akan tetapi “tanah” Botoputih sekarang sudah merupakan suatu
perkampungan yang padat penduduknya. Dengan kebondalem Botoputih
dijadikan tanah perdikan yang sifatnya ialah tanah wilayah (penguasa)
Pesarean Sentono Botoputih. Dari tempat kediamannya di Botoputih tadi 1 Liati, Wawancara, Surabaya, 24 Oktober 2012. 2 Mutmainnah, Wawancara, Surabaya, 24 Oktober 2012.
48
Kyai Ageng Brondong semasa hidupnya menyiarkan ajaran-ajaran Agama
Islam yang sifatnya mendidik kepada para santrinya, sehingga masyarakat
setempat sangat menghormati makam tersebut karena Botoputih adalah
tempat kediaman Mbah Brondong semenjak pindah dari sedayu sampai
menetap di daerah tersebut dan jenazahnya di kebumikan di Botoputih tempat
kediamannya.
1. Kuburan Sebagai Tempat Ngalap Berkah
Bertabarruk (mencari berkah) pada bekas-bekas (tempat-tempat,
kuburan dan sebagainya), di Botoputih terdapat makam orang terpandang
yang dianggap wali atau orang saleh seperti:3 Makam Mbah Brondong,
Mas Adipati, Habib Syaikh, disamping sebagai tempat tirakat bertawassul
juga diyakini masyarakat sebagai tempat ngalap (mencari) berkah, Pada
umumnya para peziarah kebanyakan datang pada malam jum’at legi dan
ada yang Selasa Pahing, selain itu mereka ada juga melakukan ziarah
berbeda-beda menurut kehendak selera hati masing-masing, bila peziarah
itu bermaksud dengan baik, bukan fokusnya meminta perlindungan kepada
yang ada dalam kubur, melainkan supaya bertambah iman juga lebih
bertambah ingat kepada Allah SWT. Dan supaya terhindar dari dosa besar
maupun dosa kecil.
Tirakat dilakukan ada yang satu, dua, tiga, empat hari, bahkan ada
juga yang sampai sepuluh dan empat puluh hari dan seterusnya (setiap
3 Syaikhul Isla>m Muhammad Bin Abdul Wahhab, “Masa>ilul Ja>hiliyyah al-Lati> Kho>lafa Fi>ha> Rasu>lullah SAW. Ahlal-Ja>hiliyyah” (Karakteristik Perihidup Ja>hiliyah Yang Ditentang Oleh Rasulullah SAW), terj, As’ad Yasin (Surabaya: pt. bina ilmu,1985), 229.
49
hari) bahkan ada yang menetap, kebanyakan hanya tiga hari sampai empat
hari dan biasanya dimulai pada hari selasa atau rabu hingga malam jum’at.
Mereka pada umumnya melakukan melekan (berjaga semalam suntuk)
dengan mengadakan wirid sambil berpuasa, membaca al-Qur’a>n dan
ibadah-ibadah lainnya. Ada juga yang melakukan wirid dan tirakat sampai
empat puluh hari hingga mendapatkan firasat akan keberhasilan apa yang
sedang dicarinya. Jadi ada yang membatasi tirakatnya itu sampai
mendaptkan firasat dan karenanya bila setelah sekian hari belum juga
mendapatkan firasat mereka ada yang mengulangi lagi tirakatnya sampai
berhari-hari itu mengharuskan untuk membawa bekal sendiri yang cukup,
kalau belum juga dikabulkan maka ada perasaan yang salah merasa dirinya
banyak dosanya.
Seseorang yang berziarah ke makam Botoputih ini mau mendoakan
kepadanya, mana orang yang didoakannya itu akan memperoleh sesuatu
kebaikan, semakin banyak orang yang mendoakan semakin penuh pula
kebaikan yang diperolehnya, seperti mengalirnya berkah orang yang saleh
kepada orang yang mendoakan, ibarat mengalirnya air yang diisikan oleh
orang secara terus menerus ke suatu tempat, karena penuhnya maka airnya
akan menumpah dan menyirami apa saja yang ada di sekitarnya.
Tumpahan inilah sebagai gambaran berkahnya orang yang saleh, dan
sekarang banyak dicari dan diharapakan oleh banyak orang yang berziarah
ke makam dan khususnya di Pegirian ini. Adapun berkah yang didapat
atau dapat dirasakan dari pengakuan peziarah adalah suatu keberhasilan
50
yang nyata dalam bidang ekonomi, ketenangan jiwa, jodoh dan lain
sebagainya.4
2. Dinamika Masyarakat
Dinamika adalah hal yang menunjukkan adanya gerak (maju),
berkekuatan, bertenaga.5 Sedangkan Masyarakat: Merupakan istilah dari
ilmu sosiologi, yang artinya suatu kelompok suku bangsa primitif yang
belum banyak, berhubungan dengan dunia sekitarnya. Tetapi sudah
membentuk suatu keseluruhan dan menunjukkan hubungan manusia serta
nilai-nilai sosial,6 secara umum masyarakat pegirian memiliki tradisi
ziarah kubur. Hal tersebut pada umumnya dikaitkan dengan hari-hari besar
Islam seperti hari raya Idul Fitri (Syawwal) dan Idul Adha atau waktu-
waktu tertentu yang dipandang memiliki kekhususan atau keistimewaan.
Misalnya tanggal 1 Muharram diperingati sebagai tanggal 1 syuro dalam
penanggalan Jawa, bulan Rajab, bulan Sya’ban ataupun menjelang
Ramadlan atau bulan puasa. Hari jum’at misalnya, sebagian besar
masyarakat ada yang memiliki tradisi ziarah kubur, khususnya pada malam
jum’at legi. Dalam kalender Jawa istilah legi adalah nama salah satu
pasaran atau weton yang berjumlah lima hari, yaitu: pon, wage, kliwon
legi dan pahing. Istilah pasaran pada umumnya dijawa masih sangat
dominan yang menjadi bahan pokok pertimbangan dalam mengambil suatu
4 Liati, Wawancara, Surabaya, 24 Oktober 2012. 5 Nur Kholit Hazim, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Terbit Terang, 2004) ), 173. 6 Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jild IV, (Jakarta: PT. Ichtiar baru Van hauve, 1983), 2166.
51
keputusan tentang sesuatu permasalahan yang dihadapinya. Pada
umumnya tradisi ziarah ini sangat mengutamakan hari jum’at, hari tersebut
lebih banyak dikunjungi dibandingkan pada hari-hari biasa ataupun
pasaran lainnya, juga termasuk menunaikan suatu hajat maupun nadhar
yang lainnya, seperti nyekar (tabur bunga), kirim doa, menghitankan,
tahlilan di perkuburan dan sebagainya. Hal itu merupakan indikasi bahwa
hari jum’at legi masyarakat pada umumnya berkeyakinan dapat
mendatangkan berkah atau keberuntungan lainya.
Adapun orang-orang yang datang ke kuburan orang yang saleh atau
berkeyakinan bahwa tempat itu adalah kuburan orang yang saleh atau wali
dan meminta pertolongannya, seperti meminta sesuatu misalnya minta
penglaris, sakti mandraguna, jodoh, naik pangkat, melunasi hutangnya,
membalaskan dendam terhadap musuhnya atau menyelamatkan dan
menyehatkan keluarganya dan sebagainya yang sebenarnya tidak ada yang
mampu melakukannya selain Allah, ini adalah kemusyrikan yang jelas,
sipelaku kalau tidak segera bertaubat maka dosanya tidak terampuni. Hal
tersebut bahwa tujuannya adalah meminta kepada si mati sebagai perantara
kepada Allah karena mereka (para peziarah) ada yang beranggapan si mati
lebih dekat kepada Allah dari pada peziarah, maka hal ini termasuk
perbuatan yang dianggap syirik oleh para ulama’ salaf. Ada sisi lain dari
aktivitas peziarah ke makam Botoputih ini. Bagi yang membuka warung
disekitarnya, juga penjual bunga atau kembang yang biasa dipakai untuk
52
ziarah (menaburkan ke makam), sudah barang tentu dari sisi ekonomi
mereka dapat memperoleh manfa’at dan keuntungan.
Demikian juga mereka yang berziarah secara fisik kehadiran tampak
memenuhi area makam Botoputih, tetapi semua niat dan aktivitas yang
berbeda-beda tidak bisa dinilai “pukul rata”, bahwa tempat itu dijadikan
sebagai media yang dapat menjadikan mereka musyrik sebagaimana
sebagian dari mereka yang sudah disebut di atas. Dari pengunjung makam
Botoputih ini yang bertujuan positif ternyata tidak sedikit. Menurut
pengakuan juru kuncinya juga banyak dari pengunjung itu datang untuk
melakukan penelitian atau sekedar mencari ketenangan batin sehingga
merasa tentram berada di area makam, ada yang sekedar jualan untuk
mencari tambahan penghasilan menawarkan barang dan jasa.7
B. Sejarah Kyai / Mbah Brondong
Pada suatu hari beberapa abad yang silam dituturkan ada sebuah cerita
tentang kehidupan seseorang, dari orang yang menjadi subyek dari cerita
tersebut. Hendaknya dikalangan masyarakat dapat memandang dan menilai,
pada umumnya dari tata cara hidup seseorang, pada masa cerita itu terjadi.
Faktor-faktor utama yang menentukan kemulyaan dan martabat seseorang,
pada awal perkembangan agama Islam di Indonesia, adalah keteguhan iman
dan ketertiban hidup menurut ajaran Islam. Konon katanya dituturkan
Pangeran Kedawung disebut juga Sunan Tawangalun adalah Raja di
7 Yanto, Wawancara, Surabaya, 24 Maret 2012.
53
Blambangan atau dikatakan juga Belumbangan. Ia memiliki lima anak dan
diantaranya ialah Pangeran Lanang Dangiran. Pada suatu hari menurut cerita
pada usia 18 tahun ia bertapa dilaut dan menghanyutkan dirinya diatas sebuah
papan kayu dan sebuah beronjong (alat penangkap ikan) tanpa makan dan
minum, dan ia terlempar oleh gelombang besar dan arus air laut disertai angin
taufan beserta bronjongnya dalam keadaan tidak sadarkan diri disebabkan
karena berbulan-bulan tidak makan dan minum hingga terbawa ke laut Jawa
dekat pantai sedayu. Seluruh badannya telah dilekati oleh karang, keong serta
karang-karang (remis), sehingga badan itu seolah-olah ditempeli dengan
bakaran jagung yang disebut dengan bahasa jawa “Brondong” dalam cerita
tersebut Pangeran Lanang Dangiran diketemukan oleh seorang Kyai yang
bernama Kyai Kendil Wesi.
Ia dirawat oleh Kyai Kendil Wesi beserta istrinya dengan penuh kasih
sayang sehingga sadar kembali dan menjadi sehat seperti sediakala. Setelah
Kyai Kendil Wesi memperoleh keterangan tentang asal-usulnya Pangeran
Lanang Dangiran. Maka Kyai itu menceritakan bahwa ia juga asal keturunan
dari Raja-raja di Blambangan yang bernama Menak Soemandi dan karenanya
ia masih satu keturunan dengan Lanang Dangiran, dan ia tinggal menetap
bersama dengan Kyai Kendil Wesi dan dianggap sebagai anaknya sendiri.
kemudian ia memeluk Agama Islam dan karena rajinnya dan keteguhan
imannya serta keluhuran budi dan kesucian hatinya. Maka tidak lama ia dapat
juga tampil kemuka sebagai guru agama Islam, ia nikah dengan seorang putri
54
Ki Bimotjili dari Penambahan di Cirebon. Kemudian ia terkenal sebagai Kyai
Brondong.8
Nama Brondong diperolehnya karena ia di ketemukan oleh Kyai Kendil
Wesi dan sebagian badannya dilekati dengan “Brondong”. Kyai Kendil Wesi
yang telah mengetahui tentang nasib seseorang dengan waspada, mengatakan:
kepada Lanang Dangiran yang sudah mendapat sebutan Kyai Ageng
Brondong dari masyarakat setempat dan sekitarnya, agar pergi ke Ampel
Dento Surabaya dan menetap di tempat ini serta meluaskan ajaran agama
Islam karena di Surabaya Kyai Brondong kelak akan mendapat kebahagiaan.
Keturunannya pun kelak akan timbul dan tumbuh menjadi orang-orang yang
mulya. Dengan istrinya serta beberapa orang anaknya yang masih kecil Kyai
Brondong pergi ke Surabaya dan Pada tahun 1595 menetap ditempat
disebrang timur kali Pegirian Ampel, ialah Dukuh Botoputih (Batuputih).
Juga ditempat baru ini Kyai Brondong dapat martabat yang tinggi dari
masyarakat karena keluhuran budinya. Pada waktu itu Kadipaten Surabaya
masih merdeka dan tidak dijajah oleh mataram. Yang memegang kekuasaan
pada waktu itu ialah Pangeran Pekik.9
Pada tahun 1625 Mataram dapat menaklukkan Surabaya dan mulai tahun
itulah Surabaya berada dalam kekuasaan Mataram: Pangeran Pekik masih
ditetapkan oleh Mataram sebagai Adipati di Surabaya dibawah kekuasaan
Hamangkurat I. Kyai Ageng Brondong (Pangeran Lanang Dangiran) wafat
8 R.P.A. Makmoer, Silsilah Pangeran Lanang Dangiran (Kyai Ageng Brondong), Cet ke2, (Surabaya: Sentono Botoputih, 1983), 1. 9 Ibid.
55
pada tahun 1683 dalam usia+ 70 tahun dan meninggalkan 7 orang anak,
diantaranya 2 orang anak laki-laki: Honggodjojo dan Honggowongso. Setelah
Pangeran Pekik wafat karena dibunuh oleh Hamangkurat I, Honggowongso
ditetapkan menjadi Tumenggung di Surabaya sedang Honggodjojo sebagai
Tumenggung di Pasuruan sebagai penghargaan dari jasa-jasanya dalam
peperangan Troenodjojo. Kyai Ageng Brondong (Pangeran Lanang Dangiran)
dikebumikan di tempat kediamannya sendiri di Botoputih. Makamnya
dimulyakan oleh putra-putranya dan selanjutnya dihormati oleh keturunannya
hingga kini. Ada sebutan lain dari Kyai Ageng Brondong yaitu Mbah
Brondong, semoga pula Allah SWT memberikan kepada seluruh keturunan
Kyai Ageng Brondong kemulyaan, kesehatan dan kesejahteraan sebagaimana
ia senantiasa mendoakan selamanya.10
C. Fenomena Ziarah Kubur di Masyarakat Botoputih Surabaya
Tradisi Islam dalam fakta sejarah, ziarah kubur merupakan bagian dari
ritual ke agamaan. Seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia telah
melakukannya. Pada zaman permulaan Islam berkembang Nabi Muhammad
SAW melarang kaum muslimin menziarahi kuburan. Larangan ini lantaran
kekhawatiran terjadi kesyirikan dan pemujaan terhadap kuburan tersebut.
Apalagi bila yang mati itu adalah termasuk orang-orang yang saleh. Di
samping itu keimanan para sahabat masih lemah dan membutuhkan
pembinaan dari Rasulullah SAW. Peringatan tersebut tidak hanya ditujukan
kepada para sahabat saat itu, tetapi juga kepada umat sekarang ini sebagai 10 Ibid.
56
generasi berikutnya. Ternyata kalau kita perhatikan apa yang dikhawatirkan
Rasulullah SAW memang terjadi saat ini. Di zaman ini banyak kaum
muslimin yang salah dalam menerapkan ziarah kubur. Mereka melaksanakan
ziarah kubur hanya sekedar mengikuti adat dan tradisi daerah atau mengikuti
nenek moyang yang tidak mengetahui hal tersebut. Sehingga syariat Islam
bercampur tradisi yang sesat.11
Pada awalnya paganisme merupakan agama sesat yang dianut oleh
manusia, ketika mereka membutuhkan dan mengangkat pemimpin yang saleh
untuk dijadikan panutan sebagai pedoman hidup yang disegani, dicintai dan
dihormati. Penghormatan tersebut diwujudkan dengan pembuatan patung
sebagai simbol yang digunakan sebagai sesembahan dan penghormatan
tersebut tidak terbatas pada saat sang pemimpin masih hidup hingga
meninggal.12
Fenomena menyembah patung ini sudah mulai bergeser dari zaman
kezaman sampai sekarang. Sehingga terbentuk dan mengarah pada
pengkultusan, pengeramatan atau pengagungan makam tertentu sehingga
segala kebutuhan hidupnya meminta kepadanya. Dengan berkeyakinan
mengunjungi makam wali atau orang saleh mereka beranggapan dan
menyamakan sebagai pelaksanaan ibadah haji ke Baitulla>h al-H}ara>m (ka’bah)
sama dengan mendapatkan kenikmatan dunia dan akhirat, bahkan sebutan
11 Syaikh Ja’far Subhani, Kritik Atas Faham Wahabi, terj. Zahir, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989), 97. 12 Badruddin Hsubky, Bid’ah-Bid’ah di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), 145.
57
bagi mereka sebagai seorang kuburi (penyembah kuburan).13 Disinyalir
bahwa persepsi tentang ziarah kubur telah terjadi kesalah fahaman sehingga
banyak berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh para peziarah kubur.14
Ungkapkan bahwa saat ini kaum muslimin telah melakukan berbagai macam
bentuk kemusyrikan di kuburan, seperti mencium maisan, mengusap-usap
kuburan, ngalap berkah, bertawassul dengan wali atau orang saleh yang telah
meninggal dengan berdhikir, beristighosah kepada mereka. Sebagaimana
melihat faham wahabi sangat membenci kegiatan ziarah kubur.
Menurutnya:15
Pada tahun 1344 H, pada waktu keluarga Su’ud berhasil menguasai
kota Makkah dan Madinah serta daerah sekelilingnya dan tersebarnya fatwa
ini terjadilah keributan dikalangan Sunni-Shi’ah bahwa mereka tahu fatwa
dari 15 ulama’ Madinah dan Mekkah yang akan menghancurkan seluruh
perkuburan baqi’ dan peninggalan-peninggalan Ahlul-Bait dan sahabat
Rasulullah SAW serta merampas barang-barang mahal dari perkuburan dan
menjadikan barang rongsokan hingga orang takut melihatnya, pengikut
wahabiyah meratakan seluruh bangunan kuburan ini. Dan mereka berhasil
menyerbu dan menghancurkan kuburan. Kepercayaan Wahabiyah–tanpa ada
sumbang pemikiran lain dari komunitas Sunni dalam soal ini—memandang
13 Ibid, 146. 14 Syaikh Ja’far Subhani, Tawassul Tabarruk Ziarah Kubur Karamah Wali Termasuk Ajaran Islam>: Kritik Atas Faham Wahabi, terj. Zahir, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989), 7-8. 15 Ibid, 8.
58
ziarah secara umum sebagai “pemujaan terhadap orang suci”, yang mengarah
pada dosa syirik, yakni menyekutukan Tuhan dengan orang-orang suci ini.16
Banyak fakta kita jumpai hal serupa bahwa ziarah kubur telah menjadi
budaya yang sudah dilestarikan dan mungkin sulit untuk diluruskan.
Sementara salah satu pendorong yang mereka lakukan adalah kemusyrikan
yang terjadi di kuburan dikarenakan mengikuti para ulama su’ yang hanya
taklid kepada nenek moyangnya saja.17 Ritual keagamaan yang semula dinilai
sebagai ibadah disulap menjadi suatu kebid'ahan mereka menjadikan hari hari
tertentu yang seakan wajib untuk berziarah kekuburan, menentukan makam-
makam tertentu untuk diziarahi bahkan mereka ada yang menjadikan ziarah
kubur sebagai suatu bisnis. Munculnya berbagai penyimpangan di kuburan
setidaknya ada penyebabnya yaitu: Minimnya ilmu pengetahuan agama,
berbaurnya aneka ragam budaya dan peradaban, terpecahnya negara Islam,
fanatisme yang terlalu mengagungkan kepada sang tokoh, mengutamakan
akal di atas wahyu, tashabbuh (menyerupai) orang-orang kafir.18
Penelitian ini terfokus pada sebuah fenomena di seputar makam Kyai
Ageng Brondong makam para wali yang keturunan darah biru, di komplek
pemakaman Botoputih Surabaya. Para peziarah berdatangan setiap waktu di
makam ini, dan berlangsung terus-menerus dari hari ke hari. Pada saat-saat
tertentu, seperti malam Jum’at legi, atau pada saat diselenggarakan acara
16 Ibid. 17 Hamid al-Humaidi Abdullah, Bid'ah-Bid'ah Kubur. terj, Abdul Rosyad Shiddiq, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), 50. 18 Mamduh Farhan al-Buhairi, Kuburan Agung; Menyingkap Fenomena Ketergantungan Kepada Para Wali. terj A. Hasan Bashori, (Jakarta: Darul Haq, 2005), 25.
59
khaul untuk Kyai Ageng Brondong, jumlah peziarah makam membludak.
Langgar Sentono Botoputih dipinggir jalan raya Kota Surabaya dipenuhi
dengan kendaraan dan lautan manusia, sehingga peneliti perlu mengetahui
kepada para peziarah terhadap pertanyaan “kenapa mereka perlu berziarah?”
Kegiatan ziarah dilakukan begitu saja sebagai proses yang alami. Ritual yang
dilakukan para peziarah cukup beragam. Namun secara umum ritual ini
berupa bacaan atau doa yang dipanjatkan pada saat ziarah kubur seperti
bacaan ayat-ayat al-Qur’a>n, dhikir dan pembacaan doa untuk para ahli kubur
khususnya yang sedang diziarahi. Segala aktivitas yang dilakukan seperti
ziarah kubur ini tetap memelihara makna dari karakter individual meskipun
makna itu telah terpengaruh dengan karakter rutin dalam studi pengetahuan
umum. Dan membantu manusia dari beban-beban pilihan untuk diputuskan,
menyediakan pilihan yang tertentu saja, berbagai bacaan dan doa yang
dipanjatkan para peziarah di makam Kyai Ageng Brondong ini umumnya
terangkum dalam rangkaian dhikir, doa, tahlil dan bacaan al-Qur’a>n.
Penelitian ini juga mencatat ada banyak makam wali di daerah Surabaya yang
selalu dikunjungi para peziarah, salah satunya makam Kyai Ageng Brondong,
Mas Adipati, Habib Syaikh / Habib Muhammad.
Ada juga makam-makam lain yang dianggap sebagai wali oleh sebagian
warga Surabaya seperti makam Sunan Ampel. Namun makam Kyai Ageng
Brondong adalah yang dianggap paling istijabah dan keramat kalau berziarah
dan berdoa akan terpenuhi atau terkabul hajatnya, meskipun keberadaannya
terbilang paling angker dibanding makam wali-wali sebelumnya, terletak
60
pada posisi makam yang berada cukup strategis, yakni di komplek makam
Langgar Sentono Botoputih, yang terletak di depan gang makam Sunan
Ampel kota surabaya atau tepat di tengah-tengah kota. Jumlah peziarah di
makam Kyai Ageng Brondong mengalami peningkatan yang cukup pesat
pada malam Jum’at. wawancara dengan bapak Joko juru kunci makam
“peziarah sebelum datang ke makam Sunan Ampel harus terlebih dahulu
mampir ke makam Kyai Ageng Brondong karena dianggap yang paling sepuh
dari Sunan Ampel, menurut keterangan cucunya Kyai Ageng Brondong
dinikahi Sunan Ampel” namun peneliti menemukan beberapa referensi
tentang kisah Wali Songo terutama Sunan Ampel, ternyata beberapa referensi
yang peneliti peroleh dan hanya mengambil satu referensi saja yaitu; Sunan
Ampel lebih dahulu lahir dari pada Kyai Ageng Brondong berarti lebih tua
Sunan Ampel, karena Sunan Ampel diperkirakan lahir pada tahun 1420
karena ketika berada di palembang pada tahun 1440 sebuah sumber
menyebutnya berusia 20 tahun, dan meninggal pada tahun 1478 M.
Sedangkan Kyai Ageng Brondong belum diketahui kapan lahirnya karena
pada waktu pergi dan menetap di Surabaya pada tahun 1595 dengan
membawa anaknya yang masih kecil, dan wafat pada tahun 1683 lihat di bab
sebelumnya tentang sejarah Mbah Brondong,19 berarti menurut beberapa
sumber atau referensi lebih menguatkan bahwa Sunan Ampel lebih tua dari
Kyai Ageng Brondong.20
19 Labib MZ, Kisah Kehidupan Wali Songo Penyebar Agama Isla>m Di Tanah Jawa, (Surabaya: Sinar Kemala, “t.th”), 23-24, 31. Lihat Majalah Muzakki. (Jakarta: Dunia Grafindo, 2011), 13. 20 Disampaikan dalam waktu ujian Proposal tim penguji oleh Porf. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, MA.
61
Pada umumnya aktivitas ziarah kubur sudah dimulai pada kamis sore,
para peziarah telah tampak mulai berdatangan dan berlalu-lalang di jalan raya
kota Surabaya. Mereka berkeliling dari satu makam wali ke makam wali
lainnya, yang menjadi tujuan utamanya adalah makam wali-wali yang ada di
sekitar wilayah Surabaya, terutama makam Kyai Ageng Brondong di
Botoputih yang menjadi fokus penelitian ini. Kesibukan ini berlangsung
sepanjang malam, hingga memasuki waktu subuh. Di lihat dari padatnya para
peziarah tradisi ziarah berpuncak pada malam jum’at legi, hari jum’at
mempunyai nilai yang lebih dibanding dengan hari-hari lain. Hari jum’at
disebut sebagai sayyid al-ayya >m (tuannya hari-hari dalam seminggu) karena
hari atau malam tersebut menjadi pilihan favoritnya, dan diyakini mempunyai
keramat tersendiri dan hanya ada dalam tradisi Jawa. Tempat-tempat parkir di
alun-alun kota Surabaya atau di depan Langgar Sentono Botoputih mulai
penuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat, mengenai hari-hari
atau saat-saat yang diyakini paling tepat untuk berziarah ke makam Kyai
Ageng Brondong adalah hari selasa paing karena hari tersebut makamnya
telah di buka untuk umum, kalau selain hari selasa makamnya di tutup dan
juru kuncinya tidak bisa menerima tamu pada waktu hari selasa memang itu
semua sudah aturannya.
Berbagai bentuk prilaku peziarah antara satu dengan yang lainnya
berbeda-beda semua itu hanya masih sebatas yang wajar. Ada kecenderungan
dalam memaknai arti dari aktivitas ziarah adalah untuk mengintegrasikan
berdasarkan pada suatu kebutuhan psikologis. Mereka tergerak untuk
62
berziarah secara berkelompok atau berombongan maupun sendirian, dengan
melaksanakan ritual-ritual serta tata cara ziarah kubur sebagaimana biasanya
dengan dikoordinir oleh panitia ziarah, terutama untuk tempat atau lokasi
ziarah yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka (peziarah) sehingga
memudahkan para peziarah yang belum mengetahui tahu rute perjalanan
ziarah.
Serta mengadakan perjalanan ke beberapa makam wali di Surabaya
rombongan ini biasa di temui pada hari kamis / malam jum’at legi, karena
ziarah secara berkelompok ini dapat meringankan biaya. Kebanyakan
kelompok peziarah berasal dari organisasi keagamaan atau kelompok tertentu
seperti: jamaah pengajian, jamaah masjid, anggota tarekat atau masyarakat
umum dan anak-anak sekolah secara berombongan yang dikoordinir oleh
gurunya masing-masing atau organisasi sosial keagamaan di satu desa atau
wilayahnya. Para peziarah begitu bersemangat mendatangi makam-makam
untuk berziarah dan berdoa, dalam hal ini peneliti mendapatkan jawaban yang
berbeda-beda di antara para peziarah. Semangat para peziarah untuk datang
ke makam Kyai Ageng Brondong memang hampir tidak didasarkan pada
suatu argument tertentu, karena berdasarkan pengalaman-pengalaman
spiritual mereka dalam setiap melakukan ziarah, bahkan lebih banyak juga
disebabkan karena cerita-cerita keramat yang berkembang di antara peziarah
mengenai “keberkahan” makam Kyai Ageng Brondong, pengelola makam
Kyai Ageng Brondong menerapkan beberapa ketentuan bagi mereka karena
peziarah terus mengalir, namun ketentuan yang diberlakukan tidak terkait
63
dengan ritual yang dilakukan saat berada di makam, hanya terkait dengan tata
cara ziarah yang berlaku umum dalam tradisi Islam. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya namun di pihak lain banyak sesuatu yang dinilai tidak
relevan menurut standar tertentu. Dengan simbol-simbol tertentu dan bebeda-
beda peneliti menemukan banyak peziarah di makam Kyai Ageng Brondong
yang memakai baju takwa dilengkapi dengan sarung, jubah surban, celana
panjang atau sedang memakai baju dinas, berjaket, atau mengenakan seragam
sekolah, mengenai ritual yang harus dilakukan oleh para peziarah meskipun
tidak ada ketentuan, namun ritual yang dilakukan di makam Kyai Ageng
Brondong dapat dikatakan hampir berseragam. Umumnya para peziarah
membaca doa-doa, tahlil, dhikir, istighosah, menghatamkan al-Qur’a>n di
makam, atau dhikir-dhikir tertentu khusus yang diwarisi dari guru-guru
spiritual atau orang saleh yang sedang diziarahi. Semua ritual yang
berlangsung hanya seputar doa dan bacaan al-Qur’a >n. Dan kebenaran cerita-
cerita tentang karamah Kyai Ageng Brondong itu diterima begitu saja, ngalap
(mencari) berkah di kuburan wali, kyai dan selainnya. Sudah menjadi hal
yang umum dan membudaya dimasyarakat, dan bahkan dianggap ibadah yang
sangat afdhal bahwa pada hari-hari / bulan-bulan tertentu tetapi yang
terpenting adalah sebelum awal puasa dalam bulan Ramadlan, setelah Hari
Raya (Syawwal), Maulud (Rabiul awal), dan lain sebagainya, pada waktu
nyadran makam-makam dibersihkan dan ditaburi bunga-bunga yang dilanjut
dengan pembacaan doa, ada yang sambil membakar kemenyan / dupa, ada
yang menawarkan jasa untuk membersihkan makam dengan upah sekedarnya,
64
makam juga dikunjungi untuk memohon doa restu (pangestu) kepada orang
tua/nenek moyang yang sudah meninggal terutama bila seseorang
menghadapi problem atau tugas berat, akan bepergian jauh, atau bila ada hajat
yang sangat besar untuk memperoleh suatu hal.21 Dan banyak orang yang
mendatangi kuburan kyai, orang-orang yang dianggap wali, atau kuburan
orang saleh. Mereka datang dari tempat yang cukup jauh dengan
mencurahkan tenaga, waktu, pikiran, dan harta, dengan melakukan ritual
ziarah ke kuburan, wali / kyai dari tempat yang jauh, maka itu sudah
merupakan suatu pelanggaran terhadap konsekwensi hadith diatas, kalau
ternyata tujuan dari ziarah kubur itu menyimpang dari tuntunan syari'at Islam
yang suci ini, seperti: Mencari berkah, meminta-minta kepada penghuni
kuburan itu, atau mencari syafa'at, mencari kesaktian lewat amalan, kebal
terhadap senjata tajam, peluru dan tahan bacok, dhikir atau ritual tertentu.
Ungkapan dan hasil temuan Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot,
tentang tradisi ziarah dan wali di berbagai penjuru dunia muslim menemukan
bahwa para peziarah ada yang beranggapan bahwa makam merupakan
“tempat kebebasan” mereka. Dibandingkan masjid, makam waliyullah atau
orang saleh adalah sosok suri tauladan yang dicintai Allah, di tengah
keramaian dunia orang merasa bebas dari berbagai paksaan dan tekanan, serta
tempat yang tepat untuk merenungi diri seakan merasa damai lebih nyaman
tentram, tempat pelarian untuk mengungkap semua curahan hati. Dan
21 Koncaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), 364.
65
berharap mendapatkan berkah untuk mengatasi berbagai problem hidup yang
mereka hadapi.22
Ada beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya seperti Clifford
Geertz, Mark R Woodward dan Nur Syam. Geertz dalam penelitian
antropologisnya di Jawa mengungkapkan bahwa ritual- ritual yang diperbuat
oleh sekelompok yang menyebut dirinya Islam itu sebenarnya bukan Islam,
namun sinkretisme, perpaduan antara Islam dan ritual agama sebelumnya.
Kesimpulan ini didapatkan oleh Geertz setelah melakukan serangkaian
pengamatan,23 termasuk berkaitan dengan ritual ziarah kubur. Sedangkan
Woodward meskipun mengkritik Geertz dengan mengatakan bahwa ritual
yang dilakukan dalam hal ini oleh para peziarah adalah Islam itu sendiri, ia
menyebutnya dengan istilah ‘Islam Jawa’ (kebatinan), sejajar dengan ‘Islam
India’ atau varian Islam lainnya.24
Dalam paparan hasil penelitiannya ia mengilustrasikan banyak hal
tentang beberapa ritual Islam Jawa yang diamatinya di Yogyakarta,
cenderung sinkretik dan kejawen, kepercayaan masyarakat Jawa pra Islam.25
Pandangan Geertz dikritik oleh Woodward bahwa tindakan dan prilaku
sosialnya merupakan sumber akhir kepercayaan, yang pada gilirannya
membentuk kualitas kehidupan sosial. Woodward mengatakan orientasi
22 Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Isla>m, (Jakarta: Serambi Ilmu, 2007), 14. 23 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), xi-xii . 24 Mark R Woodward, Isla>m Jawa: Kesalehan Normatif Vs Kebatinan, (Yogyakarta: LKiS, Cet II, 2004), 373. 25 Mark R Woodward, Jalan Baru Isla>m: Memetakan Paradigma Mutakhir Isla>m Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), 143.
66
teoritis Geertz yang seperti ini, mengakibatkan Geertz kurang memperhatikan
kitab-kitab suci dan tradisi besar Agama Islam (Islamic great tradition) yang
terkait dengan semua hal itu.26 Nur Syam dalam penelitiannya tentang tradisi
Islam di daerah pesisir Jawa mencatat juga “bahwa berkah tidak hanya
berurusan dengan persoalan spiritual, tetapi juga bisa difisikkan atau
dimaterialisasikan. Masyarakat lebih cenderung menginginkan berkah itu
dalam bentuk kekayaan materi, kesehatan fisik, jodoh, atau keselamatan dari
marabahaya”.27
Di antara mereka fenomena sosial tersebut dapat ditinjau dari proses
interaksi simbolik. Dengan menggunakan pendekatan interaksi simbolik
sebagai suatu pendekatan komunikasi dapat digunakan untuk menjelaskan
bagaimana sesama peziarah dapat berinterkasi, dan dengan para kuncen (juru
kunci makam) dan mungkin berinteraksi dengan “yang ada di dalam kubur”.
Secara psikologis pendekatan interaksi simbolik tidak hanya menganalisis
kehadiran manusia di antara sesamanya, tetapi juga sikap, motif, dan nilai
yang mereka anut.
Seperti menurut pengakuan peziarah terhadap kekeramatan Kyai
Brondong diekspresikan melalui rutinitas dan ritual makam. Berbagai motif
yang melatar belakangi keinginan para peziarah, namun secara umum
keinginan berziarah ke makam Kyai Ageng Brondong adalah salah satu cara
untuk mengekspresikan pengakuan mereka terhadap kekeramatannya. Di
makam Kyai Brondong peziarah melakukan ritual sendiri-sendiri sesuai 26 Mark R Woodward, Isla>m Jawa:., 373. 27 Nur Syam, Isla>m Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005), 271.
67
keinginannya, beberapa peziarah meyakini bahwa makam Kyai Ageng
Brondong adalah tempat yang mustaja>bah atau tempat yang cocok untuk
mengajukan segala keinginannya sebagai tempat bersandar dan berkeluh
kesah kepada Allah SWT. Hj Maimunah (55) adalah seorang peziarah dari
sampang madura. Seorang Ibu rumah tangga yang sudah lama ditinggal mati
suaminya ini mengaku sering berziarah ke makam Kyai Ageng Brondong
untuk ‘curhat’ kepada Allah SWT. Semua beban hidupnya “disampaikan”
kepada Allah SWT sambil mengharapkan kebaikan dari-Nya dan mencari
ketenangan batin begitu juga dengan dagangannya semoga diberi kelancaran,
semua itu dapat dibuktikan dengan rutin ziarah ke makam kyai Ageng
Brondong dan apabila tidak berziarah katanya ada perasaan yang salah dan
berdosa merasa hatinya tidak tenang. Ibu Liati mempunyai anak perempuan
yang berumur 25 tahun belum mendapatkan jodoh setelah rutin ziarah ke
makam Kyai Ageng Brondong terutama yang paling fokus makam khusus
jodoh adalah makam Mas Adipati yang konon katanya dipercayai makam
cepat dapat jodoh dan sekarang telah mendapatkan jodoh, begitu juga
pengakuan dari Maftuhah (30) dari surabaya rutin ziarah ke makam Kyai
Ageng Brondong setelah beberapa tahun kemudian mendapatkan jodoh. Ibu
Mutmainnah (45) sudah sepuluh tahun rutin ziarah ke makam kyai Ageng
Brondong sampai sekarang masih tetap melakukan rutinitas ziarah setelah
berkeluh kesah dan curhat mengenai kesulitan ekonomi dan berumah tangga
sudah 20 tahun belum diberi keturunan setelah rutin ziarah ke makam Kyai
Ageng Brondong hajatnya terkabulkan seperti bisa membangun rumah yang
68
semula rumahnya mau roboh banyak yang bocor setelah rumahnya jadi
Alhamdulillah sudah diberi keturunan 2 orang anak yang masih kecil cewek
semua pertama umur 3 tahun dan yang terakhir 1 tahun. Hj Sutini (60) dari
Tuban pernah bertapa bertahun-tahun di makam Kyai Ageng Brondong ingin
mendapatkan ilmu dari Allah SWT setelah mendapatkan apa yang di inginkan
yaitu mendapatkan keris dari pertapaannya sehingga menjadi orang yang
disegani dikampungnya dan banyak orang yang mendatanginya meminta
pertolongan dalam bebagai kesulitan.28 Kirana peziarah dari Rusia juga
berkunjung ke makam Mbah Brondong yang sebelumya berziarah ke makam
Sunan Ampel hanya ingin mengetahui sejarah para wali peneliti temui waktu
salat di masjid Sunan Ampel dengan dialog bahasa Indonesia walaupun
tersendat-sendat tidak fasih bahasanya.29 Peneliti juga pernah mengalami
kejadian gaib waktu berjalan menuju makam Kyai Ageng Brondong tiba-tiba
telinga kanan saya terasa sakit serasa ada yang meniup dan mengeluarkan
kepulan asap putih sepontan kaget dan merinding semua bulu kuduk ini dan
juga teman saya melihat kejadian tersebut tercengang heran, katanya padahal
tidak ada orang disekitar area makam hanya berdua saja dengan teman saya
yang bernama kholila dan dilanjutkan ke makam Habib Syaikh/Habib
Ahmad, dan juga mengalami kejadian aneh tiba-tiba terasa ada getaran
kencang yang mengelilingi saya setelah menoleh kekanan dan kekiri tidak
ada siapa-siapa kemudian berlanjut ke makam disebelah Habib Syaikh
28 Para peziarah makam Mbah Brondong di Botoputih, Wawancara, Surabaya, 14 juni, 24 Oktober 2013. 29 Kirana, Wawancara, Surabaya, 2 September 2013.
69
sengaja peneliti datangi karena ingin mengetahui makam tersebut tapi tidak
tahu makam siapa yang ada dipojok karena dikunci seperti sebuah rumah
tidak berpenghuni ternyata didalamnya terdapat beberapa makam, dan juga
terasa sesak nafas ini dan berat rasanya kaki ini untuk melangkah, setelah
saya begegas cepat-cepat meninggalkan makam itu dan ingin bertemu dengan
juru kuncinya ingin mengutarakan apa yang saya alaminya dan setelah saya
ceritakan semuanya, menurut juru kunci memang tempat ini angker dan
keramat terutama makam yang dipojok terkenal sangat angker walaupun
diberi lampu apa saja keesokan harinya mesti pecah seperti tidak mau diberi
lampu dan penerang apapun, konon katanya tidak semua orang bisa
merasakan kejadian-kejadian aneh hanya orang-orang tertentu saja yang bisa
merasakan semua itu. Dan juga penulis sering menemukan beberapa bunga
kamboja yang berkelopak enam, tujuh dan empat yang umumnya bunga
kamboja hanya berkelopak 5, kalau empat bisa cepat pintar ngaji, enam dan
tujuh bisa cepat dapat jodoh, penglaris dan apa saja yang di yakini menurut
peziarah, semua bunga yang saya temukan jadi rebutan beberapa teman dan
peziarah lainnya, dan mereka heran mengapa begitu mudahnya
menemukannya sedangkan peziarah lainnya mencari-cari sampai beberapa
hari/berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tidak pernah menemukan bunga
kamboja yang dimaksud, ya sudah bunga tersebut saya berikan kepada
peziarah yang membutuhkannya. Begitulah fenomena yang penulis temukan
dan masih banyak yang belum dipaparkan seperti kejadian-kejadian gaib yang
dialami peziarah hanya beberapa saja seperti yang telah dijelaskan diatas,
70
menurut hemat penulis hanya kepada Allah tempat memohon dan meminta.
Tetapi apabila kita meminta pertolongan kepada selain Allah atau orang yang
telah mati maka perbuatan itu tidak diperkenankan oleh syariat Islam. Seperti
halnya, tradisi yang dilakukan peziarah ke makam Mbah Brondong dan dalam
bab sebelumnya sudah di jelaskan.