bab iii kajian pustakadasun.desa.id/wp-content/uploads/sites/549/2019/02/3... · 2019. 2. 13. ·...
TRANSCRIPT
Bab. III. KAJIAN PUSTAKA
LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN MASTERPLAN DAN DED DESA DASUN, KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG TAHUN ANGGARAN 2017
III - 1
Bab III
KAJIAN PUSTAKA
III.1. PENGELOLAAN TINGGALAN BUDAYA BAWAH AIR DI INDONESIA
Sejak tahun 2005 hingga saat ini, melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
Nomor: PM.17/HK.01/MKP-2005, tertanggal 27 Mei, tinggalan budaya bawah air
ditangani tersendiri oleh satu instansi yaitu Direktorat Peninggalan Bawah Air (PBA)
yang berada di dalam lingkup Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata. Sebelumnya, penanganan temuan ini menjadi kewenangan
dari subdit perlindungan, pada direktorat yang menangani peninggalan purbakala.
Perluasan kewenangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari makin besar permasalahan
yang harus dipecahkan. Sehubungan dengan itu, maka penyiapan pengelolaannya
dalam berbagai aspek seperti regulasi, peningkatan sarana prasarana, sumber daya
manusia, dan anggaran, merupakan hal yang mutlak dilakukan dalam rangka
melestarikan peninggalan tersebut dan mengelolanya sebaik mungkin agar memberikan
manfaat besar bagi masyarakat luas.
Bab. III. KAJIAN PUSTAKA
LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN MASTERPLAN DAN DED DESA DASUN, KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG TAHUN ANGGARAN 2017
III - 2
Selain itu, karena berbagai aktivitas yang tercakup di dalam pengelolaan peninggalan
bawah air seperti survei, ekskavasi, pengolahan data, konservasi benda temuan,
maupun penyediaan tempat penyimpanan, maka sangat diperlukan penyediaan sarana
prasana yang memadai. Meskipun demikian, penyediaan sarana prasarana tersebut
tidak akan bermanfaat maksimal apabila tidak didukung oleh penyediaan sumber daya
manusia handal yang sesuai dengan bidang yang ditanganinya. Aktivitas yang
berlangsung di dalam penanganan peninggalan budaya bawah air ini termasuk yang
berisiko tinggi (high risk) dan juga membutuhkan biaya tinggi (high cost), terutama
terkait dengan pengadaan peralatan khusus, dan membutuhkan waktu yang relatif
cukup panjang–baik untuk pelaksanaan kegiatan di lapangan, pengolahan data,
penanganan temuan, dll– termasuk pembinaan sumber daya manusia.
Tahun 2010 telah terbit undang-undang cagar budaya nomor 11. Undang-undang ini
secara eksplisit mencantumkan pengaturan tentang tinggalan budaya bawah air, yang
tidak ditemukan dalam undang-undang cagar budaya sebelumnya. Dalam pasal 26
Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa:
1. Pemerintah berkewajiban melakukan pencarian benda, bangunan, struktur,
dan/atau lokasi yang diduga sebagai Cagar Budaya;
2. Pencarian cagar budaya atau yang diduga cagar budaya dapat dilakukan oleh
setiap orang dengan penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di darat
dan/atau di air;
3. Pencarian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) hanya dapat dilakukan
melalui penelitian dengan tetap memperhatikan hak kepemilikan dan/atau
penguasaan lokasi;
4. Setiap orang dilarang melakukan pencarian cagar budaya atau yang diduga
cagar budaya dengan penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di darat
dan/atau di air sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kecuali dengan izin
pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
5. Sementara itu pasal 27 menyebutkan bahwa ‘ketentuan lebih lanjut mengenai
pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya diatur dalam peraturan
pemerintah’.
III.2. KONSEP CITRA KAWASAN
Suatu kawasan wisata memerlukan suatu identitas dan karakter untuk membentuk
suatu citra diperlukan tanda-tanda, elemen spesifik bagian kota. Image terhadap
lingkungan tertentu secara keseluruhan sebenarnya lebih sekedar kesan visual. Suatu
kawasan mengandung banyak konotasi, kenangan iman, harapan, keramaian,
tempat-tempat bangunan, serta peristiwa bersejarah. Dari lingkungan yang spesifik
dapat memberi gambaran dari bagian kawasan wisata. Karena itu citra atau kesan-
kesan bersama dari sebuah kawasan wisata merupakan sebuah gambaran bersama
dari apa yang didasari dari realitas sebuah gambaran itu adalah "Citra Kawasan"
(Lynch 1960). Untuk membentuk citra suatu perlu dijaga kesinambungan visual, serta
Bab. III. KAJIAN PUSTAKA
LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN MASTERPLAN DAN DED DESA DASUN, KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG TAHUN ANGGARAN 2017
III - 3
karakter suatu kawasan sehingga dapat membentuk dan dijadikan identitas. Pada
skala kawasan, dibutuhkan juga adanya tanda-tanda yang secara implisit
mengandung makna tertentu seperti tanda-tanda (signage dan tetenger). Melalui
tanda-tanda komunikasi simbol, dapat pula dipakai untuk mencari makna dari suatu
lingkungan (Lynch 1981, 141).
Landmark sebagai elemen informasi secara fisik berfungsi sebagai orientasi dan tidak
lepas dari unsur unsur perencanaan kawasan wisata yang membentuk wujud fisik.
Landmark merupakan salah satu bentuk tanda fisik yang memberikan informasi bagi
pengamat dari suatu jarak. Jadi pengamat berada di luar lingkup obyek. (Lynch 1960).
Dari pengamatan diatas, dapat diperoleh tiga unsur penting dalam landmark, yaitu
tanda fisik, informasi dan jarak. Secara fisik bentuk dan tata Ietak bangunan dapat
menjadi landmark suatu kota tertentu. Pada keadaan yang berbeda ruang terbuka dan
preservasi dan konservasi bangunan dapat menjadi landmark. Untuk dapat menjadi
sebuah landmark, karya arsitektur atau tata ruang kawasan yang bersejarah atau
berbudaya harus bersifat wajar (tidak dapat dibuat-buat) dan dianggap alamiah,
selain itu juga dapat menjadi ciri dari kawsasn wisata dan lingkungannya untuk itu
bentuk dari karya arsitektur atau tata ruang ditentukan oleh kekuatan atau pelindung
(Patron). Dalam sebuah kawasan sistem signage (tanda-tanda) merupakan teknik
yang secara detail memberikan informasi kepada warga kota. Tanda-tanda di sini
merupakan segala sesuatu kepada masyarakat. Tanda-tanda dapat juga berfungsi
sebagai orientasi terhadap lingkungan. Oleh sebab itu di dalam perancangan kota
karya-karya arsitektur yang spesifik dan dapat mewakili lingkungan dapat dijadikan
obyek untuk berorientasi.
Karakter Kawasan Wisata lebih mengutamakan keadaan fasilitas bangunan dan alam,
sebagai pembentuk dari aktifitas manusia; kawasan wisata tergantung pada efesiensi
dan kenyamanan serta perilaku manusia. Di dalam kawasan wisata pelayanan utilitas
dan fasilitasnya berbeda-beda menurut fungsi. Christoper Alexander memandang
suatu kawasan, sebagai kumpulan suatu gambar atau pola yang setiap unsurnya
menghasilkan atau memberikan banyak aktifitas ataupun pengalaman terhadap
ruang uatu kawasan, tempat atau bagian kawasan. Cara yang penting untuk
mendesain suatu kawasan yaitu dengan melihat atau memahami pada suatu
kawasan, pada bagian-bagian tempat khusus secara spesifik (Alexander 1992, 3).
Beberapa bagian kawasan wisata mempunyai karakter, karena memerlukan
pengendalian khusus.
Dari pengamatan diatas, dapat diperoleh tiga unsur penting dalam landmark, yaitu
tanda fisik, informasi dan jarak. Secara fisik bentuk dan tata letak bangunan dapat
menjadi landmark suatu kawasan tertentu. Pada keadaan yang berbeda ruang terbuka
dan preservasi dan konservasi bangunan dapat menjadi landmark.
Bab. III. KAJIAN PUSTAKA
LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN MASTERPLAN DAN DED DESA DASUN, KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG TAHUN ANGGARAN 2017
III - 4
Gambar 3.1. Landmark dalam Kawasan
Untuk dapat menjadi sebuah landmark, karya arsitektur atau tata ruang kota harus
bersifat wajar (tidak dapat dibuat-buat) dan dianggap alamiah oleh warga kawasan,
selain itu juga dapat menjadi ciri dari kawasan dan lingkungannya untuk itu bentuk
dari karya arsitektur atau tata ruang ditentukan oleh kekuatan atau pelindung
(Patron). Dalam sebuah kota sistem signage (tanda-tanda) merupakan teknik yang
secara detail memberikan informasi kepada warga kota. Tanda-tanda dapat juga
berfungsi sebagai orientasi terhadap lingkungan. Oleh sebab itu di dalam perancangan
kota karya-karya arsitektur yang spesifik dan dapat mewakili lingkungan dapat
dijadikan obyek untuk berorientasi.
Salah satu cara untuk menganalisa struktur visual suatu kawasan telah diungkapkan
oleh Kevin Lynch (1960 ) berdasarkan atas pemahaman tentang gambaran atau hasil
pengamatan pada objek suatu kawasan. Kevin Lynch mengidentifikasi 5 elemen yang
membentuk gambaran atau persepsi suatu kota atau komponen kawasan. Kelima
komponen tersebut adalah :
Paths
Path adalah elemen pembentuk ruang kawasan yang berbentuk ruang Ilner
dapat berupa jalan setapak, koridor, jalan alteri.
Edges
adalah ujung tepian dan matrik kawasan, merupakan batas dari suasana yang
berbeda.
Lanmarks / Tetenger
Bab. III. KAJIAN PUSTAKA
LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN MASTERPLAN DAN DED DESA DASUN, KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG TAHUN ANGGARAN 2017
III - 5
Lanmark adalah elemen pembentuk kota yang bisa berupa bangunan fisik,
gubahan masa, space atau detail arsitektural yang sangat spesifik, terkadang
sangat kontestual terhadap kawasan.
Nodes / Nodal
Node adalah areal pusat aktivitas dalam bentuk spatial dimana orang-orang
dapat merasakan perubahan aktivitas dari suatu struktur ruang ke struktur
ruang yang lain.
Districts / Kawasan
Distrik adalah areal spesifik pada kawasan perencanaan dengan batas-batas
yang dapat diidentifikasi secara fisikal. Citra distrik yang terbentuk akan
mempengaruhi citra kawasan secara keseluruhan.
III.3. ELEMEN FISIK PERENCANAAN KAWASAN WISATA
Perancangan Kawasan termasuk didalamnya Kawasan Wisata dan Kawasan Kota
(Urban Desain) adalah sebuah disiplin perancangan yang merupakan pertemuan dari
arsitektur dan perencanaan kawasan dan pembangunan kota. Para ahli perancang
sering terkonsentrasi pada perancangan bangunan sebagai sosok tunggal yang
terlepas dari kawasan, tidak merespon terhadap typologi/morfologi arsitektur dan
struktur fisik kawasan.
Menurut Hamid Shirvani (1985), ada beberapa elemen untuk perancangan kawasan
sebagai berikut :
Penggunaan lahan (Land Use)
Bentuk dan Massa Bangunan (Building Form and Massing)
Sirkulasi dan Parkir (Circulation and Parking)
Ruang Terbuka (Openspace)
Pedestrian (Pedestrian Ways)
Aktifitas (Activity Support)
Tanda-tanda Simbol (Signage/ Landmark)
Preservasi (Preservation)
3.1. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan diperoleh dari hasil RUTRK dan RDRK, yang akan
mengarahkan penggunaan lahan pada suatu lokasi / site. Penggunaan lahan
tersebut dapat secara horisontal maupun vertikal.
Dalam hal ini termasuk dalam penggunaan lahan pada elemen perancangan
kota antara lain :
Tipe Penggunaan dalam suatu area
Spesifikasi Fungsi dan keterkaitan antar fungsi dengan pusat kota
ketinggian bangunan
Bab. III. KAJIAN PUSTAKA
LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN MASTERPLAN DAN DED DESA DASUN, KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG TAHUN ANGGARAN 2017
III - 6
Skala fungsi
Gambar 3.2. Penggunaan Lahan pada Elemen Perancangan
1. Bentuk dan Massa Bangunan
Pada bentuk dan massa bangunan, menurut the Urban Design Plan of
San Fransisco (1970) berkaitan dengan Tinggi dan Besaran Bangunan,
Penampilan Bangunan dan Konfigurasi.
Tinggi dan besaran bangunan berkaitan erat dengan FAR.
Penampilan dan Konfigurasi bangunan meliputi : warna bangunan,
material, skala, proporsi, harmoni, tekstur dan bentuk penampilan
(Facade Form).
2. Sirkulasi dan Parkir
Sirkulasi yang dimaksud di sini adalah sirkulasi untuk kendaraan, baik
kendaraan bermotar maupun tidak bermotor. Sirkulasi tersebut meliputi
pencapaian, besaran, kapasitas dan arah sirkulasi.
Parkir dalam hal ini dibedakan menjadi parkir individu dan umum.
Untuk sirkulasi dan parkir sangat berpengaruh pada visual kota, besaran
bangunan, aktifitas dan "hidup"nya kota.
3. Ruang Terbuka
Ruang terbuka ada bermacam-macam pengertiannya, untuk Teori
Perancangan Kota disini Ruang Terbuka didefinisikan sebagai Landscape,
Hardscape (Jalan dan Pedestrian), Taman dan Rekreasi Terbuka.
4. Pedestrian
Pedestrian sengaja dipisahkan dengan Sirkulasi dan Parkir, mengingat
pedestrian mempunyai skala tersendiri yakni skala pejalan kaki.
Skala pejalan kaki berbeda dengan skala kendaraan, karena skala pejalan
kaki akan menjadikan lingkungan kota menjadi lebih "detail" meliputi :
Bab. III. KAJIAN PUSTAKA
LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN MASTERPLAN DAN DED DESA DASUN, KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG TAHUN ANGGARAN 2017
III - 7
pola aktifitas (retail), persyaratan lingkungan (udara, kebisingan, dsb)
dan keamanan sirkulasi terhadap kendaraan.
Pedestrian berkaitan dengan :
Aktifitas yang mendukung
Street furniture
Transporasi Umum
5. Papan lklan
Dalam kehidupan kota saat ini, iklan / advertensi merebak mengisi
ruang visual kota melalui papan iklan, spanduk, baliho umbul-umbul dan
sebagainya. Hal ini sangat mempengaruhi visualisasi kota, baik secara
makro maupun mikro, skala kendaraan maupun pejalan kaki.
6. Preservasi
Preservasi yang dimaksud dalam perancangan kota adalah perlindungan
terhadap lingkungan tempat tinggal (permukiman) yang ada dan Urban
Places (alun-alun, plasa, area perbelanjaan) yang ada dan mempunyai
ciri khas, seperti halnya perlindungan terhadap bangunan bersejarah.
Manfaat dari preservasi tersebut antara lain :
Peningkatan Nilai Tanah
Peningkatan Nilai Lingkungan
Menghindarkan dari Pengalihan Bentuk dan Fungsi karena aspek
komersial
Peningkatan pendapatan dari Pajak dan Retribusi
Untuk itu perlu perlindungan dengan peraturan yang memadai, antara
lain :
Standar Design
Perijinan yang menyangkut Arsitektur Bangunan
Review jenis preservasi (restorasi, rehabifitasi, demolisi)
Prosedur untuk perlindungan terhadap Tetenger (Landmark)
III.4. KONSEP PENGHIJAUAN DAN RUANG TERBUKA
Hijau (lansekap kota) terdiri dari vegetasi, bentang alam, seting lingkungan terkait
dengan pola ruang terbuka kota. Ruang terbuka didefinisikan sebagai landscape,
hardskape taman-taman umum dan rekreasi di area perkotaan. Ruang terbuka (open
scape) menjembatani maksud yang berlainan, dari penggunaan yang berbeda. Dalam
hal ini open scape didenitifkasikan sebagai landsecape, hardscape, parkir dan area
rekreasi dalam area kota.
Ruang terbuka selalu menjadi inti dari elemen urban design, juga area yang penting.
Pada masa lalu ruang terbuka selalu dinomorduakan dari pemecahan arsitektur kota.
Open Space adalah ruang terbuka kota, peran keberadaannya ditentukan oleh
bangunan-bangunan yang melingkupinya, sehingga berbentuk urban space (ruang
Bab. III. KAJIAN PUSTAKA
LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN MASTERPLAN DAN DED DESA DASUN, KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG TAHUN ANGGARAN 2017
III - 8
kota). Kualitas bangunan yang melingkupinya berpengaruh terhadap kualitas space
tersebut.
Menurut Shivani, ruang terbuka merupakan elemen-elemen perancangan kota yang
lain yang tata guna lahan, massa bangunan, sirkulasi dan parkir, ruang terbuka, jalan
setapak (pedestrian ways).
Elemen-elemen dasar lingkungan fisik merupakan bidang-bidang yang mempunyai
tekstur. Hubungan urban desain dengan bidang jalan lingkungan dapat digunakan
untuk menghasilkan pola-pola perilaku dan efek-efek. Sehingga di dalam perancangan
kota tata hijau dan ruang terbuka kota, memiliki pengaruh besar, khususnya bagi
kota-kota tropis, antara lain :
Secara Ekologis, mampu menyaring dan mengendalikan pencemaran,
mengatur tata air, pelindung, mencegah erosi perbukitan
Secara Fungsional, mampu sebagai media ruang interaksi komunikasi sosial,
budaya dan rekreasi, serta terjalinnya hubungan habitat flora dan fauna
Secara Ekonomis, mampu menyaring konflik lingkungan tercipta daur ulang,
ekonomi, energi alam, dan kesehatan lingkungan.
Secara Estetis Kota, mampu memperindah, membuat asri, sejuk, nyaman,
pemandangan suatu kota
Menurut Hamid Shirvani (1985), ada beberapa elemen untuk perencanaan wisata
sebagai berikut :
Penggunaan lahan (Land Use)
Bentuk dan Massa Bangunan (Building Form and Massing)
Sirkulasi dan Parkir (Circulation and Parking)
Ruang Terbuka (Openspace)
Pedestrian (Pedestrian Ways)
Aktifitas (Activity Support)
Tanda-tanda Simbol (Signage / Landmark)
Preservasi (Preservation)
4.1 Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan diperoleh dari hasil RUTRK dan RDRK, yang akan mengarahkan
penggunaan lahan pada suatu lokasi/ site. Penggunaan lahan tersebut dapat
secara horisontal maupun vertikal. Dalam hal ini termasuk dalam penggunaan
lahan pada elemen perancangan kota antara lain :
Tipe Penggunaan dalam suatu area
Spesifikasi Fungsi dan keterkaitan antar fungsi dengan pusat kota
Skala fungsi
Bab. III. KAJIAN PUSTAKA
LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN MASTERPLAN DAN DED DESA DASUN, KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG TAHUN ANGGARAN 2017
III - 9
4.2 Bentuk dan Massa Bangunan
Pada bentuk dan massa bangunan, menurut the Urban Design Plan of San
Fransisco (1970) berkaitan dengan penampilan dan konfigurasi bangunan
meliputi : warna bangunan, material, skala, proporsi, harmoni, tekstur dan
bentuk penampilan (Facade Form).
4.3 Sirkulasi dan Parkir
Sirkulasi tersebut meliputi pencapaian, besaran, kapasitas dan arah sirkulasi.
Sirkulasi dan parkir sangat berpengaruh pada visual kota, besaran bangunan,
aktifitas dan "hidup"nya kota.
4.4 Ruang Terbuka
Ruang terbuka ada bermacam-macam pengertiannya, untuk Teori Perancangan
Kota dan Kawasan disini Ruang Terbuka didefinisikan sebagai Landscape,
Hardscape (Jalan dan Pedestrian), Taman dan Rekreasi Terbuka.
4.5 Pedestrian
Skala pejalan kaki berbeda dengan skala kendaraan, karena skala pejalan kaki
akan menjadikan lingkungan wisata menjadi lebih "detail" meliputi : pola aktifitas
(retail), persyaratan lingkungan (udara, kebisingan, dsb) dan keamanan sirkulasi
terhadap kendaraan. Pedestrian berkaitan dengan aktifitas yang mendukung,
street furniture, transporasi umum
4.6. Preservasi
Preservasi yang dimaksud dalam perencanaan kawasan wisata adalah perlindungan
terhadap lingkungan tempat tinggal (permukiman) yang ada, tempat tempat yang
mempunyai ciri khas yang mempunyai nilai sejarah, seperti halnya perlindungan
terhadap bangunan bersejarah.
Manfaat dari preservasi tersebut antara lain :
Peningkatan Nilai Tanah
Peningkatan Nilai Lingkungan
Pengalihan Bentuk dan Fungsi karena aspek komersial
Peningkatan pendapatan dari Pajak dan Retribusi
Untuk itu perlu perlindungan dengan peraturan yang memadai, antara lain :
Standar Design
Arsitektur Bangunan
Prosedur untuk perlindungan terhadap Tetenger (Landmark)
III.5. KAJIAN KONSERVASI BANGUNAN DAN LINGKUNGAN
Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang
dikandungnya terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan
Bab. III. KAJIAN PUSTAKA
LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN MASTERPLAN DAN DED DESA DASUN, KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG TAHUN ANGGARAN 2017
III - 10
pemeliharaan dan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Adapun teori dalam
penataan kawasan adalah:
1. Adaptasi/ revitalisasi adalah merubah tempat agar dapat digunakan yang
lebih sesuai. Yang dimaksud dengan fungsi yang lebih sesuai adalah
kegunaan yang tidak menuntut perubahan drastis atau yang hanya menuntut
sedikit dampak minimal.
2. Rekonstruksi adalah mengembalikan suatu tempat semirip mungkin dengan
keadaan semula, dengan menggunakan bahan lama maupun bahan baru.
3. Preservasi adalah pelestarian suatu tempat persis seperti keadaan aslinya
tanpa ada perubahan, termasuk upaya mencegah kehancuran.
4. Restorasi adalah upaya memasang / mengembalikan unsur-unsur awal yang
terdapat pada suatu bangunan/ linkungan dan menghilangkan unsur-unsur
tambahan yang baru.
5. Rehabilitasi adalah mengembalikan kondisi suatu bangunan atau unsur-unsur
kawasan kota yang telah mengalami kerusakan, kemunduran, ataru degradasi
kepada kondisi aslinya sehingga dapat berfungsi kembali sebagaimana
mestinya.
Mengingat hal itu dalam usaha konservasi perlu digariskan sasaran yang tepat antara
lain:
1. Mengembalikan wajah dari obyek pelestarian.
2. Memanfaatkan peninggalan obyek pelestarian yang ada untuk menunjang
kehidupan masa kini.
3. Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan
perkembangan perencanaan masa lalu yang tercermin dari obyek pelestarian
tersebut.
4. Menampilkan sejarah pertumbuhan kota/ lingkungan dalam ujud fisik tiga
dimensi.
Di dalam menentukan arah pembangunan suatu kawasan atau bangunan, perlu
memiliki motivasi-motivasi:
1. Motivasi untuk mempertahankan warisan budaya atau warisan sejarah.
2. Motivasi untuk menjamin terwujudnya variasi dalam bangunan perkotaan
sebagai tuntutan aspek estetis dan variasi budaya masyarakat.
3. Motivasi ekonomis yang menganggap bangunan-bangunan yang dilestarikan
tersebut dapat meningkatkan nilainya apabila dipelihara sehingga memiliki nilai
komersial yang lebih tinggi.
4. Motivasi simbolis dimana bangunan-bangunan yang merupakan manifestasi
fisik dan identitas suatu kelompok masyarakat tertentu yang pernah menjadi
bagian dari kota.
Adapun nilai-nilai dalam konservasi bangunan ialah sebagai berikut:
1. Aesthetic, terkait dengan nilai keindahan yang luas, meliputi seluruh aspek
persepsi sensori: bentuk, skala, warna, tekstur, material, bau dan suara.
Bab. III. KAJIAN PUSTAKA
LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN MASTERPLAN DAN DED DESA DASUN, KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG TAHUN ANGGARAN 2017
III - 11
2. Scenic and Panoramic, pemandangan yang ditawarkan dari area yang
dimaksud ke lingkungan di sekitarnya.
3. Architectural/ technological, menyangkut inovasi, pengembangan dan mungkin
prestasi termasuk kerajinan lokal.
4. Historical, memiliki makna yang kuat untuk menghubungkan masa lalu dan
masa kini.
5. Associational, terkait dengan kejadian atau tokoh tertentu.
6. Archeological, memiliki kelengkapan dan representasi. Menyimpan evolusi fisik
sebagai ekspresi dari perkembangan tata nilai.
7. Economic, mampu menjadi pembangkit kegiatan bernilai ekonomis.
8. Educational, memiliki kemampuan untuk memberikan pendidikan dalam
berbagai aspek kepada masyarakat.
III.6. KONSEP LANSKAP
Lanskap merupakan wajah atau karakter bahan atau tapak bagian muka bumi dengan
segala kehidupan dan apa saja yang ada di dalamnya, baik yang bersifat alami maupun
buatan manusia yang merupakan bagian atau total lingkungan hidup manusia beserta
makhluk hidup lainnya, sejauh mata memandang, sejauh segenap indera kita dapat
menangkap dan sejauh imajinasi kita dapat membayangkan. Sedangkan arsitektur
lanskap adalah Ilmu dan seni yang mempelajari pengorganisasian ruang dan massa,
dengan mengkomposisikan elemen-elemen lanskap alami dan buatan, sehingga tercipta
keselarasan lingkungan hidup dalam suatu ekosistem, secara fungsional berguna,
secara estetis indah dan memberi kenyamanan aktivitas. Tata hijau sebagai salah satu
elemen pembentuk kota, memiliki peran dalam menciptakan sebuah kesan melalui
pandangan dan perasaan ruang yang terbentuk oleh keberadaannya. Pada suatu
kawasan perkotaan tata hijau diharapkan dapat meningkatkan kualitas lingkungan
dimana fungsinya sebagai kontrol pandangan, pembatas fisik, pengendali iklim dan nilai
estetis.
Menurut Norman (1983), vegetasi tidak hanya digunakan untuk dekorasi dan ornamen
semata. Namun dalam penilaian landscape dan visual quality, vegetasi dapat
membentuk ruang (space or out door room) sebagai pengerah pergerakan penyatu
visualitas kelompok bangunan dan pengaruh sinar matahari dan angin. Vegetasi dapat
dikelompokkan menjadi tiga fungsi utama yaitu: sebagai environmental, structural dan
visual. Keberadaaan vegetasi memberikan perlindungan terhadap tiupan angin yang
kuat. Pengaturan vegetasi dapat berkesan menciptakan massa sebagai penyatu
diantara ruang-ruang sehingga menciptakan kemenerusan visual.
Sebagai elemen struktural, vegetasi dapat berkesan seperti dinding, celling dan lantai
dari landscape melalui pengaturan ruang, mempengaruhi pandangan dan pergerakan.
Pertimbangan penting penggunaan vegetasi sebagai elemen structural adalah size form
solidity dan opaqueness. Penempatan vegetasi sebagai pembentuk ruang tidak akan
efektif, jika lebat dan tinggi vegetasi itu terlalu rendah/kecil. Sehingga semakin tinggi
Bab. III. KAJIAN PUSTAKA
LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN MASTERPLAN DAN DED DESA DASUN, KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG TAHUN ANGGARAN 2017
III - 12
lebar vegetasi maka akan dapat memberikan kesan ruang yang lebih kuat. Sebagai
elemen visual vegetasi dapat menjadi dominan vocal point dan visual connector.
Pengamatan visual menggunakan elemen vegetasi salah satunya bertujuan untuk
memperlihatkan secara bertahap sehingga membangkitkan suatu rasa pendugaan dan
membuat pengamat memahami ruang selangkah demi selangkah, sehingga dapat
menciptakan ruang yang dapat tidak membosankan. Sedangkan untuk mempererat
pemandangan dan memberi ruang tersebut. Pepohonan atau penghijauan yang diatur
dalam pola penjajaran dapat memperjelas batas dari jalan. Jika vegetasi ini
dipararelkan/ disejajarkan dengan bangunan maka akan dapat memberikan kesan
kesatuan visual yang lebih kuat (Berry,1980).
Ruang yang terbentuk dari komposisi vegetasi ini memberikan kontribusi besar untuk
memperjelas kedudukan dan orientasi kawasan serta penampilan dan bentuk bangunan
disamping sebagai peneduh (Jeffry, 1990). Semua elemen pembentuk karakter
kawasan tersebut di atas saling memiliki keterkaitan dengan kegiatan yang berlangsung
di dalamnya, karena pertumbuhan dan perubahan fisik suatu kawasan urban tidak bisa
lepas dari perkembangan kegiatan yang berlaku di dalamnya dengan suatu kesatuan
proses secara menyeluruh.
Dasar Pemikiran Perencanaan Lanskap
1. Design with Nature (Ian Mc Harg), yaitu perencanaan dengan konsep
mempertimbangkan keselarasan dengan alam. Mengikutsertakan konsep alam
dalam berencana. Merancang bersama alam. Alam menjadi bagian dalam
perencanaan. Alam tidak membutuhkan manusia, manusia membutuhkan
alam. Konsep alam menjadi bagian dari kehidupan manusia dan makhluk hidup
lain. Alam terkembang menjadi guru. Menciptakan kota menjadi Alam Kota
(Lanskap Kota) dengan Perencanaan Lanskap berbasis ekologi. Ciri khas Alam
Kota (Alam buatan manusia) dengan menyimak ciri khas Alam Original.
2. Ecological basic (J O Simonds) yaitu Keutuhan ekosistem merupakan bagian
penting dari perencanaan lanskap untuk mencapai keseimbangan alam dan
mengurangi dampak lingkungan. Dasar untuk mengenal karakter alam /
lanskap. Syarat utama dalam perencanaan lanskap yaitu dengan
mengidentifikasi komponen ekosistem dalam lanskap, hubungan antar
komponen dalam suatu rantai makanan kehidupan. Makin tinggi nilai ekosistem
makin tinggi kualitas lingkungannya.
III.7. KONSEP EKOWISATA
Rumusan 'ecotourism', eko wisata sebenarnya sudah ada sejak 1987 yang dikemukakan
oleh Hector Ceballos-Lascurain yaitu sbb: "Nature or ecotourism can be defined as
tourism that consist in travelling to relatively undisturbed or uncontaminated natural
areas with the specific objectives of studying, admiring, and enjoying the scenery and
its wild plantas and animals, as well as any existing cultural manifestations (both past
Bab. III. KAJIAN PUSTAKA
LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN MASTERPLAN DAN DED DESA DASUN, KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG TAHUN ANGGARAN 2017
III - 13
and present) found in the areas.". "Wisata alam atau pariwisata ekologis adalah
perjalanan ketempat-tempat alami yang relatif masih belum terganggu atau
terkontaminasi (tercemari) dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan
menikmati pemandangan, tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, serta bentuk-bentuk
manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini."
Rumusan di atas hanyalah penggambaran tentang kegiatan wisata alam biasa.
Rumusan ini kemudian disempurnakan oleh The International Ecotourism Society (TIES)
pada awal tahun 1990 yaitu sebagai berikut: "Ecotourism is responsible travel to natural
areas which conserved the environment and improves the welfare of local people."
Ekowisata adalah perjalanan yang bertanggung jawab ketempat-tempat yang alami
dengan menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahtraan penduduk
setempat”.
Secara konseptul ekowisata dapat didefinisikan sebagai suatu konsep pengembangan
pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian
lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat.
Sementara ditinjau dari segi pengelolaanya, ekowisata dapat didifinisikan sebagai
penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan
atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam dan secara ekonomi
berkelanjutan yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya)
dan meningkatnkan kesejahtraan masyarakat setempat. Definisi ini sebenarnya hampir
sama dengan yang diberikan oleh Hector Ceballos-Lascurain yaitu sama-sama
menggambarkan kegiatan wisata di alam terbuka, hanya saja menurut TIES dalam
kegiatan ekowisata terkandung unsur-unsur kepedulian, tanggung jawab dan komitmen
terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahtraan penduduk setempat. Ekowisata
merupakan upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan pontensi sumber-
sumber alam dan budaya untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang
berkesinambungan. Dengan kata lain ekowisata adalah kegiatan wisata alam plus plus.
Definisi di atas telah telah diterima luas oleh para pelaku ekowisata. Adanya unsur plus
di atas yaitu kepudulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap kelestarian
lingkungan dan peningkatan kesejahtraan masyarakat setempat ditimbulkan oleh:
a. Kekuatiran akan makin rusaknya lingkungan oleh pembangunan yang bersifat
eksploatatif terhadap sumber daya alam.
b. Asumsi bahwa pariwisata membutuhkan lingkungan yang baik dan sehat.
c. Kelestarian lingkungan tidak mungkin dijaga tanpa partisipasi aktif masyarakat
setempat.
d. Partisipasi masyarakat lokal akan timbul jika mereka dapat memperoleh manfaat
ekonomi ('economical benefit') dari lingkungan yang lestari.
e. Kehadiran wisatawan (khususnya ekowisatawan) ke tempat-tempat yang masih
alami itu memberikan peluas bagi penduduk setempat untuk mendapatkan
Bab. III. KAJIAN PUSTAKA
LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN MASTERPLAN DAN DED DESA DASUN, KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG TAHUN ANGGARAN 2017
III - 14
penghasilan alternatif dengan menjadi pemandu wisata, porter, membuka
homestay, pondok ekowisata (ecolodge), warung dan usaha-usaha lain yang
berkaitan dengan ekowisata, sehingga dapat meningkatkan kesejahtraan
mereka atau meningkatkan kualitas hidpu penduduk lokal, baik secara materiil,
spirituil, kulturil maupun intelektual.
Sedangkan pengertian Ekowisata Berbasis Komunitas (community-based
ecotourism) merupakan usaha ekowisata yang dimiliki, dikelola dan diawasi
oleh masyarakat setempat. Masyarakat berperan aktif dalam kegiatan
pengembangan ekowisata dari mulai perencanaan, implementasi, monitoring
dan evaluasi. Hasil kegiatan ekowisata sebanyak mungkin dinikmati oleh
masyarakat setempat. Jadi dalam hal ini masyarakat memiliki wewenang yang
memadai untuk mengendalikan kegiatan ekowisata.
7.1. Pedoman Ekowisata
Indonesia memiliki potensi sumber daya alam dan peninggalan sejarah, seni dan
budaya yang sangat besar sebagai daya tarik pariwisata dunia. Ahli
biokonservasi memprediksi bahwa Indonesia yang tergolong negara
'megadiversity' dalam hal keaneka ragaman hayati akan mampu menggeser
Brasil sebagai negara tertinggi akan keaneka jenis, jika para ahli biokonservasi
terus giat melakukan pengkajian ilmiah terhadap kawasan yang belum
tersentuh. Bayangkan saja bahwa Indonesia memiliki 10% jenis tumbuhan
berbunga yang ada di dunia, 12% binatang menyusui, 16% reptilia and amfibia,
17% burung, 25% ikan, dan 15% serangga, walaupun luas daratan Indonesia
hanya 1,32% seluruh luas daratan yang ada di dunia (BAPPENAS, 1993).
Di dunia hewan, Indonesia juga memiliki kedudukan yang istimewa di dunia.
Dari 500-600 jenis mamalia besar (36% endemik), 35 jenis primata (25%
endemik), 78 jenis paruh bengkok (40% endemik) dan 121 jenis kupu-kupu
(44% endemik) (McNeely et.al. 1990, Supriatna 1996). Sekitar 59% dari luas
daratan Indonesia merupakan hutan hujan tropis atau sekitar 10% dari luas
hutan yang ada di dunia (Stone, 1994). Sekitar 100 juta hektar diantaranya
diklasifikasikan sebagai hutan lindung, yang 18,7 juta hektarnya telah ditetapkan
sebagai kawasan konservasi.
Namun Demikian sampai saat ini kita harus menanggung beban berat sebagai
negara terkaya keaneka ragaman hayati di kawasan yang sangat sensitif, karena
biota Indonesia tersebar di lebih dari 17,000 pulau. Oleh karena itu bukan saja
jumlah populasi setiap individu tidak besar tetapi juga distribusinya sangat
terbatas. Ini harus disadari oleh pemerintah, sehingga Indonesia harus
merumuskan suatu kebijakan dan membuat pendekatan yang berbeda di dalam
pengembangan sistem pemanfaatan keaneka ragaman hayatinya, terutama
Bab. III. KAJIAN PUSTAKA
LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN MASTERPLAN DAN DED DESA DASUN, KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG TAHUN ANGGARAN 2017
III - 15
kebijakan dalam pengembangan pariwisata yang secara langsung
memanfaatkan sumber daya alam sebagai aset. Pengembangan sumber daya
alam yang non-ekstraktif, non-konsumtif dan berkelanjutan perlu diprioritaskan
dan dalam bidang Pariwisata pengembangan seperti eko wisata harus menjadi
pilihan utama.
7.2. Visi Eko Wisata Indonesia
Melihat potensi yang dimiliki Indonesia, maka Visi Ekowisata Indonesia adalah
untuk menciptakan pengembangan pariwisata melalui penyelenggaraan yang
mendukung upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya), melibatkan dan
menguntungkan masyarakat setempat, serta menguntungkan secara komersial.
Dengan visi ini Ekowisata memberikan peluang yang sangat besar, untuk
mempromosikan pelestarian keaneka-ragaman hayati Indonesia di tingkat
internasional, nasional, regional maupun lokal.
Penetapan Visi Ekowisata di atas di dasarkan pada beberapa unsur utama:
a. Ekowisata sangat tergantung pada kualitas sumber daya alam,
peninggalan sejarah dan budaya. Kekayaan keaneka-ragaman hayati
merupakan daya tarik utama bagi pangsa pasar ekowisata, sehingga
kualitas, keberlanjutan dan pelestarian sumber daya alam, peninggalan
sejarah dan budaya menjadi sangat penting untuk ekowisata.
Pengembangan ekowisata juga memberikan peluang yang sangat besar,
untuk mempromosikan pelestarian keaneka-ragaman hayati Indonesia di
tingkat internasional, nasional, regional dan lokal.
b. Pelibatan Masyarakat Lokal Mulai Dari Tingkat Perencanaan Hingga pada
Tingkat Pengelolaan. Pada dasarnya pengetahuan tentang alam dan
budaya serta kawasan daya tarik wisata, dimiliki oleh masyarakat
setempat. Oleh karena itu pelibatan masyarakat menjadi mutlak, mulai dari
tingkat perencanaan hingga pada tingkat pengelolaan.
c. Ekowisata meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai
peninggalan sejarah dan budaya. Ekowisata memberikan nilai tambah
kepada pengunjung dan masyarakat setempat dalam bentuk pengetahuan
dan pengalaman. Nilai tambah ini mempengaruhi perubahan perilaku dari
pengunjung, masyarakat dan pengembang pariwisata agar sadar dan lebih
menghargai alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya.
d. Pertumbuhan pasar ekowisata di tingkat internasional dan nasional.
Kenyataan memperlihatkan kecendrungan meningkatnya permintaan
terhadap produk ekowisata baik ditingkat internasional maupun nasional.
Hal ini disebabkan meningkatnya promosi yang mendorong orang untuk
berprilaku positif terhadap alam dan berkeinginan untuk mengunjungi
kawasan-kawasan yang masih alami agar dapat meningkatkan kesadaran,
Bab. III. KAJIAN PUSTAKA
LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN MASTERPLAN DAN DED DESA DASUN, KECAMATAN LASEM, KABUPATEN REMBANG TAHUN ANGGARAN 2017
III - 16
penghargaan dan kepeduliannya terhadap alam, nilai-nilai peninggalan
sejarah dan budaya setempat.
e. Ekowisata sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Ekowisata
memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi penyelenggara,
pemerintah dan masyarakat setempat, melalui kegiatan-kegiatan yang
non-ekstraktif dan non-konsumtif sehingga meningkatkan perekonomian
daerah setempat. Penyelenggaraan yang memperhatikan kaidah-kaidah
ekowisata, mewujudkan ekonomi berkelanjutan.
Tujuan Ekowisata Indonesia adalah untuk (1) Mewujudkan penyelenggaraan
wisata yang bertanggung jawab, yang mendukung upaya-upaya pelestarian
lingkungan alam, peninggalan sejarah dan budaya; (2) Meningkatkan partisipasi
masyararakat dan memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat;
(3) Menjadi model bagi pengembangan pariwisata lainnya, melalui penerapan
kaidah-kaidah ekowisata.