bab iii-iv lapsus tht-fix
DESCRIPTION
lapsus THTTRANSCRIPT
BAB III
KASUS
3.1 Identitas
Nama : Tn. J
Usia : 21 thn
Alamat : Jl. Anggrek 1 no. 114
Agama : Islam
Tanggal MRS : 25/05/2015
3.2 Anamnesis
Pasien sulit menelan sejak kurang lebih tiga hari yang lalu sebelum masuk rumah
sakit. Pasien merasakan seperti ada sesuatu yang menganjal saat menelan, kadang-kadang
disertai rasa nyeri, dan kesulitan untuk berbicara. Keluhan dirasakan semakin memberat sejak
satu hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluh ada demam kurang lebih satu
hari sebelum masuk rumah sakit. Demam dirasakan tidak terlalu tinggi tanpa disertai
menggigil. Tidak ada keluhan keluar darah dari mulut dan hidung, tidak ada sensasi asin-asin
di mulut, tidak ada perubahan suara pasien ketika keluhan nyeri dirasakan. Riwayat sulit
menelan sering dirasakan hilang timbul semenjak pasien usia kanak-kanak, dan sering bolak
balik ke dokter untuk berobat dengan diagnosa amandel. Sebelum keluhan sulit menelan
dirasakan, pasien mengonsumsi makanan dan minuman seperti biasa, tidak ada riwayat
makan makanan pedas atau minuman dingin. Riwayat mengonsumsi obat-obatan disangkal.
Dan pada keluarga tidak didapati riwayat penyakit serupa.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang dengan
kesadaran compos mentis. Tanda-tanda vital pasien meliputi tekanan darah 100/70 mmHg,
nadi 88x/menit, laju pernafasan 22x/menit dan suhu tubuh 37,9 oC. Hasil pemeriksaan status
generalis didapatkan semua dalam batas normal.
Hasil status lokalis pada regio orofaring pasien didapatkan bibir, mukosa mulut, lidah
dan gigi geligi dalam batas normal. Palatum mole, uvula, arkus faring, tonsil dan dinding
faring tampak hiperemis. Tonsil tampak membesar T4 – T3, hiperemis, permukaan tonsil
tampak tidak rata, dan kriptae melebar. Didapatkan detritus pada kedua tonsil, dan tampak
abses di tonsil kiri. Tonsil kiri tampak edema dan lebih hiperemis dibandingkan tonsil kanan.
Didaerah peritonsiler tidak ditemukan abses, namun tampak hiperemis.
Gambar 3.1 Abses pada tonsil kiri pasien.
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit 14.720/uL; Hb 13,6 g/dL;
eritrosit 4,75 juta/uL; trombosit 247.000/uL; GDS 86 mg/d; dan antigen HbSAg negatif.
3.5 Diagnosis
Tonsilitis Kronis Folikularis dengan Eksaserbasi Akut.
3.6 Rencana Terapi
Hospitalisasi
- IVFD RL : D5% 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gram (IV) ST
- Inj. Ketorolac 3 x 1 ampul (IV)
- Inj. Ranitidin 2 x 1 ampul (IV)
3.7 Follow Up
Tanggal Hasil Follow Up
26 Mei 2015 Pemeriksaan subjektif Pada tanggal 26 mei 2015 keluhan nyeri
menelan berkurang, pasien sudah bisa makan dan minum. Adanya
keluhan mata bengkak setelah pemberian obat ketorolac intravena.
Pemeriksaan objektif pada pasien didapatkan tekanan darah
110/70mmHg, nadi 72x/menit, respirasi 18x/menit, suhu 37°C . pada
pemeriksaan kepala : konjungtiva anemis negatif, sklera ikterik
negatif, pembesaran kelenjar getah bening tidak ada, pemeriksaan
thorak, perut dan akral dalam batas normal. Untuk pemeriksaan
faring didapatkan tonsil membesar T4 (kanan), T3 (kiri), disertasi
kripta yang melebar, adanya detritus, dan tampak hiperemis. Untuk
tatalaksana diberikan infus D5:RL 1:1 20 tpm, injeksi ceftriaxone
2x1gram, ranitidin 2x1 IV, dan Norages®. Sedangkan injeksi
ketorolac dihentikan, karna diduga sebagai penyebab terjadinya alergi
pada pasien.
27 Mei 2015 Pemeriksaan subjektif Pada tanggal 27 mei 2015 keluhan nyeri
menelan tidak ada, pasien sudah bisa makan dan minum.
Pemeriksaan objektif pada pasien didapatkan tekanan darah
110/80mmHg, nadi 76x/menit, respirasi 18x/menit, suhu 36,7°C .
Pada pemeriksaan kepala : konjungtiva anemis negatif, sklera ikterik
negatif, pembesaran kelenjar getah bening tidak ada, pemeriksaan
thorak, perut dan akral dalam batas normal. Untuk pemeriksaan
faring didapatkan tonsil membesar T3 (kanan), T2 (kiri), disertasi
kripta yang melebar, adanya detritus yang berkurang, dan hiperemis
berkurang. Untuk tatalaksana diberikan infus D5:RL 1:1 20 tpm,
injeksi ceftriaxone 2x1gram dan ranitidin 2x1 IV. Rencana cek
Laboratorim : darah lengkap, hitung jenis, dan laju endap darah.
28 Mei 2015 Pemeriksaan subjektif Pada tanggal 28 mei 2015 keluhan nyeri
menelan tidak ada, pasien sudah bisa makan dan minum, keadaan
umum pasien baik. Pemeriksaan objektif pada pasien didapatkan
tekanan darah 110/70mmHg, nadi 76x/menit, respirasi 19x/menit,
suhu 36,6°C . Pada pemeriksaan kepala : konjungtiva anemis negatif,
sklera ikterik negatif, pembesaran kelenjar getah bening tidak ada ,
pemeriksaan thorak, perut dan akral dalam batas normal. Untuk
pemeriksaan faring didapatkan tonsil membesar T3 (kanan), T2 (kiri),
disertasi kripta yang mulai mengecil, adanya detritus yang berkurang,
dan hiperemis juga berkurang. Hasil dari pemeriksaan laboratorium
didapatkan yaitu leukosit 8.000/mm3, laju endap darah 19mm, dan
hitung jenis dalam batas normal. Pengobatan intravena dihentikan
dan pasien diizinkan untuk rawat jalan.
3.8 Perjalanan Penyakit
Gambar 3.2 Bagan Perjalanan Penyakit Tn J.
Saat usia anak-anak, OS mengeluh sering susah
menelan kadang disertai nyeri
Os dibawa berobat ke dokter dengan di
diagnosa amandel
keluhan sering berulang tapi tidak
pernah dirawat di RS
1 tahun terakhir Os sudah 3x mengeluh
keluhan serupa
3 hari SMRS, Os merasakan keluhan semakin memberat
1 hari SMRS pasien mengeluh demam,
menggigil (-), berkeringat (-).
Os datang ke IGD
Os datang dengan nyeri dan sulit menelan,
disertai nyeri, sulit bicara
pada pemeriksaan fisik tonsilT4 – T3, hiperemis, permukaan tidak rata, detritus (+) , dan
kriptae melebar.
pada OS dilakukan pemeriksaan penunjang
dan di tatalaksana
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang laki-laki 20 tahun, datang dengan keluhan sulit menelan sejak tiga hari
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan sulit menelan disertai dengan nyeri dan merasakan
seperti ada sesuatu yang mengganjal saat menelan, kadang-kadang disertai rasa nyeri, dan
kesulitan untuk berbicara. Menurut Smeltzer dan Bare, pasien tonsilitis datang dengan
keluhan sulit menelan, sakit tenggorok, demam, gangguan bicara. Pada pasien ini terdapat
keluhan yang sesuai dengan penyakit tonsilitis.
Pasien mengeluh adanya demam ketika keluhan sulit menelan dirasakan. Hal ini
disebabkan oleh proses inflmasi yang terjadi pada tonsil. Pada pemeriksaan penunjang,
apabila didapati demam, dapat terjadi peningkatan sel darah putih sebagai mekanisme
perlindungan tubuh. Profil demam yang dirasakan pasien tidak spesifik ke arah penyakit lain,
sehingga pada pasien tidak ada kecurigaan infeksi yang bersumber dari penyakit lain
misalnya demam berdarah ataupun malaria, sehingga tidak dimasukan ke dalam diagnosa
banding.
Berdasarkan hasil anamnesa, didapati riwayat sakit serupa sudah sejak lama dan terus
berulang. Meskipun pasien mengaku sering bolak balik ke dokter untuk berobat, tetapi
keluhan sering kambuh dan menganggu aktivitas pasien. Hal ini menandakan proses
inflamasi dan infeksi pada tonsil masih terus terjadi dan sudah bersifat kronis, disebabkan
oleh paparan alergen atau mikroorganisme penyebab secara terus-menerus ataupun
pengobatan tonsilitis yang tidak adekuat. Bakteri ataupun virus yang masuk ke tubuh melalui
mulut atau hidung harus melewati tonsil sebagai salah satu lini pertahanan tubuh, namun
apabila terjadi paparan terus menerus, tonsil tentunya tidak akan mampu untuk
mempertahankan tubuh sehingga bisa terjadi infeksi didalamnya.
Pada pemeriksaan fisik pasien ini ditemukan gejala konstitusi yaitu pasien dalam
keadaan demam (suhu 37,9 oC) sejak 1 hari SMRS. Tonsil tampak membesar T4 – T3,
hiperemis, permukaan tonsil tampak tidak rata, detritus, dan kriptae melebar. Hal ini sesuai
dengan kepustakaan bahwa tonsilitis kronis eksasebasi akut umumnya ditemukan tonsil
tampak hiperemis, kriptae melebar, ada detritus dan perlengketan. Sedangkan tonsilitis kronis
yang tidak mengalami eksaserbasi, tonsil ditemukan membesar/mengecil namun tidak tampak
hiperemis, kriptae juga nampak melebar, detritus dan perlengketan, namun tidak tampak ada
tanda-tanda peradangan seperti pada tonsilitis kronis eksaserbasi akut. Hasil pemeriksaan
laboratorium ditemukan leukositosis (leukosit 14.720/uL) yang merupakan salah satu tanda
infeksi pada pasien ini.
Pasien dianjurkan untuk hospitalisasi karena pasien mengeluh tidak bisa makan
selama 3 hari akibat keluhan sulit menelan yang dirasakan. Penatalaksaan awal pada pasien
ini diberikan terapi cairan berupa Ringer Laktat : D5% sebanyak 20 tpm; injeksi antibiotik
(ceftriaxone 2 x 1 gram); injeksi analgetik (ketorolac 3 x 1 ampul); dan pasien diberikan
injeksi ranitidine 2 x 1 ampul. Ranitidine merupakan antagonist reseptor H2 yang dibekerja
dengan cara menekan sekresi asam lambung. Diberikan obat antagonist reseptor H2 dengan
pertimbangan pasien tidak bisa makan selama 3 hari, sehingga tidak ada makanan yang
dicerna oleh lambung, dan bisa terjadi peningkatan asam lambung. Pemberian injeksi
ketorolac diberikan untuk mengurangi rasa nyeri saat menelan.
Menurut kepustakaan, penatalaksaan tonsilitis kronis terdiri atas terapi
medikamentosa dan operatif. Terapi medikamentosa ditujukan pada hygiene mulut dengan
cara berkumur atau obat isap, pemberian antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat
irigasi gigi atau oral. Pemberian antibiotika pada penderita tonsilitis kronis eksaserbasi akut
berupa cephaleksin (golongan sefalosporin generasi pertama) ditambah metronidazole,
klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam
klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis). Pada pasien ini berikan antibiotik
golongan sefalosporin generasi kedua yaitu ceftriaxone. Ceftriaxone bekerja untuk bakteri
gram positif dan bakteri gram negatif. Tidak sama dengan kepustakaan, pada pasien ini tidak
mendapat terapi tambahan berupa metronidazole dan klindamisin, hanya mendapat satu terapi
antibiotik yaitu ceftriaxone.
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman
patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme
patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang
inadekuat. Oleh karena itu, sebaiknya pada pasien dilakukan kultur tonsil untuk mengetahui
secara pasti bakteri penyebab infeksi agar pasien dapat diberikan antibiotik yang tepat.
Menurut kepustakaan, gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil.
Umumnya kuman terbanyak yang ditemukan yaitu Streptokokus β hemolitikus diikuti
Stafilokokus aureus.
Pada follow up hari pertama (26 Mei 2015), keluhan nyeri menelan pasien sudah
berkurang, tidak demam, dan bisa makan-minum dengan baik. Adanya keluhan mata bengkak
setelah pemberian obat ketorolac intravena saat pasien diantar dari IGD ke ruangan rawat
inap. Diduga pasien mengalami alergi. Hasil pemeriksaan faring didapatkan pembesaran
tonsil masih tetap sama, besar tonsil T4 (kanan), T3 (kiri), disertai kriptae yang melebar,
adanya detritus, dan sedikit hiperemis. Untuk tatalaksana tetap dilanjutkan terapi sebelumnya
yaitu diberikan infus D5%:RL 1:1 24 tpm, injeksi ceftriaxone 2x1gram (hasil skin test
negatif), ranitidin 2x1 IV, dan Norages® (analgetik-anti inflamasi). Pada pasien ini injeksi
ketorolac dihentikan, karena diduga sebagai penyebab terjadinya alergi pada pasien.
Pada follow up hari kedua (27 mei 2015), keluhan nyeri menelan sudah menghilang,
pasien sudah bisa makan-minum dengan baik. Hasil pemeriksaan faring didapatkan tonsil
sudah mengecil. Besar tonsil T3 (kanan), T2 (kiri), disertai kripta yang melebar, adanya
detritus yang lebih berkurang, dan hiperemis hampir menghilang. Untuk tatalaksana masih
dilanjutkan terapi sebelumnya yaitu diberikan infus D5%:RL 1:1 20 tpm, injeksi ceftriaxone
2x1gram dan ranitidin 2x1 IV. Rencana cek Laboratorium yaitu darah lengkap, hitung jenis,
dan laju endap darah. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit sudah berkurang
yaitu 8.000/uL; laju endap darah 19 mm (meningkat dari nilai normal) dan hitung jenis dalam
batas normal. Leukosit sudah dalam batas normal, menandakan sudah tidak terdapat tanda
infeksi.
Follow up hari ketiga (28 Mei 2015), keadaan umum pasien sudah membaik. Pasien
sudah diperbolehkan untuk pulang. Hasil follow up menunjukan keluhan pasien sudah
berkurang dibandingkan pada saat pertama kali masuk rumah sakit. Pada pasien ini,
disarankan untuk dilakukan tonsilektomi karena telah memenuhi kriteria keluhan yang
berulang lebih dari tiga kali. Tonsilektomi adalah tindakan yang dilakukan apabila tonsil
yang meradang semakin membesar dan terapi medikamentosa tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Menurut kepustakaan, indikasi tonsilektomi dibagi menjadi kriteria absolut dan
kriteria relatif.