bab iii hasil penelitian dan analisarepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4019/4/t1...kabupaten...
TRANSCRIPT
23
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA
3.1 Gambaran Umum
Dalam bab ini, penulis akan menggambarkan hasil penelitian di GKS Jemaat Nggongi
meliputi, (1) deskripsi umum GKS Jemaat Nggongi, (2) pemahaman Gereja dan Pelayan
GKS tentang makna pendampingan pastoral bagi jemaat dan (3) pemahaman Gereja dan
Pelayan GKS tentang penyelesaian konflik bagi Jemaat.
3.1.1 Sejarah Gereja
Gereja Kristen Sumba Nggongi berdiri pada tanggal 24 Oktober 1958. Gereja ini
merupakan pemekaran dari Gereja GKS Kananggar. Pada mulanya Gereja GKS Nggongi
merupakan pos PI dari Gereja GKS Kananggar. Pendeta K. Manudjawa dengan tekun
mempersiapkan Nggongi untuk mekar dari Kananggar setelah Sinode GKS menyetujui
pemekaran semua pos di Karera menjadi jemaat GKS Nggongi karena dilihat dari
keadaan khas jemaat di Nggongi ini sudah dinilai mampu membayar gaji pendeta.
Pendeta pertama di jemaat GKS Nggongi adalah pendeta Ngguli Kemarak.
Sampai saat ini Pendeta yang pernah melayani sebagai pimpinan jemaat di GKS Nggongi
mencapai 7 orang Pendeta. Jemaat GKS Nggongi memiliki 6 cabang. Pendeta yang
melayani sampai saat ini adalah Pendeta Pieter Mutu Romu, S.Th.
Gambar 3.1.a Gedung Gereja GKS Nggongi
24
Komentar Peneliti : Gedung Gereja GKS Nggongi yang terletak desa Nggongi.
Merupakan gereja yang memiliki warga jemaat terbanyak dari beberapa denominasi
gereja yang ada di Ngonggi. Dengan jumlah warga jemaat yang banyak, justru
pelayanan yang dilakukan oleh gereja kurang maksimal sehingga sebagian warganya
pindah ke Gereja bebas Hosen, Gereja Bethel Indonesia, Gereja Bethel Taber Nakel,
Gereja Sidang Jemaat Allah Lembah Damai dan Gereja Reformasi.
3.1.2 Letak Geografis
Gambar 3.1.b Peta Sumba Timur
Kabupaten Sumba Timur terletak di bagian selatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, diapit oleh dua pulau kecil di bagian selatan yang berpenghuni yaitu Pulau
Salura dan Pulau Mangkudu. Bagian timur dengan Pulau Nuha (belum berpenghuni) yang
secara administrasi pemerintahan masuk dalam wilayah Desa Kabaru Kecamatan Rindi.
Disamping itu terdapat 98 pulau tidak berpenghuni dimana 97 pulau tersebut belum
bernama. Secara astronomis, Kabupaten Sumba Timur terletak diantara 119’ 45 – 120’ 52
25
Bujur Timur (BT) disebelah timur dan 9’ 16 – 10’ 20 Lintang Selatan (LS).1 Daerah
paling selatan yakni Nggongi, kecamatan Karera tempat dimana peneliti melakukan
penelitian. Dengan luas desa Nggongi 99,0 Km²2
a. Batas Wilayah
Utara : dengan Gunung Wanggameti
Selatan : dengan laut Indonesia
Timur : dengan desa Tandula Jangga
Barat : dengan desa Ananjaki
b. Iklim
Kabupaten Sumba Timur beriklim kering (Semi arid) yang dipengaruhi oleh
angin muson. Musim penghujan sangat pendek dan terjadi antara bulan november
sampai bulan maret, sedangkan musim Kemarau panjang dan kering terjadi pada
bulan april sampai dengan bulan oktober. Tipe iklim daerah ini adalah tipe B sampai
F (pembagian menurut Smidt dan Ferguson) dengan penyebaran paling luas adalah
tipe iklim E (46,34%); F (27,37%); D (22,93%); B (2,30%) dan C (1,05%). Curah
hujan berkisar antara 697 - 2.737 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata tiap
tahun antara 44 sampai 61 hari. Suhu maksimum rata-rata 33,2°C dan suhu minimum
rata-rata 21,7°C. Kelembaban nisbi terendah terjadi pada musim timur tenggara (63-
76%) yaitu bulan juni sampai november dan kelembaban tertinggi pada musim barat
daya (82-88%) yaitu bulan desember sampai bulan mei. Kecepatan angin rata-rata
pada bulan nopember sampai april 03-05 knot dan angin musim timor tenggara terjadi
1 http://www. sumbaisland.com/budaya-picu-kemiskinan-di-sumba-timur. Sabtu 12 Agustus 2012, pukul 14.00
2 http://infonusatenggaratimur.blogspot.com/2011/02/kabupaten-sumba-timur.html. di unduh pada 26 November
2012, pukul 22:37
26
pada bulan mei sampai dengan oktober dengan kecepatan dapat mencapai 06-10 Knot
(apabila ditunjang angin permukaan).
c. Penduduk
Penduduk Nggongi tidak lagi memiliki bentuk pemerintahan kerajaan, akan
tetapi tingkat kepatuhan masyarakat terhadap rajanya masih cukup tinggi. Menurut
sejarah, di daerah ini dahulu berdiri sebuah kerajaan bernama Kerajaan Karera.
Jumlah Penduduk Nggongi adalah ± 7.000 jiwa. Laki-laki berjumlah ± 3000 orang
sedangkan perempuan berjumlah ± 4000 orang. Masyarakat Nggongi masih memiliki
strata sosial yang sangat tinggi. Rata-rata penduduknya berpendidikan maksimal SD.
Bahasa sehari-hari yang digunakan yaitu bahasa Sumba. Di Nggongi terdapat
beberapa denominasi Gereja lain, antara lain: Gereja bebas Hosen, Gereja Bethel
Indonesia, Gereja Bethel Taber Nakel, Gereja Sidang Jemaat Allah Lembah Damai
dan Gereja Reformasi.
d. Keadaan Jemaat GKS Nggongi
Jumlah Jemaat
Berdasarkan data jemaat yang ditulis oleh sekretaris Gereja, tercatat bahwa
GKS Nggongi mempunyai 1 Pendeta, 1 vicaris, 105 Majelis jemaat (73 penatua dan
32 diaken) dan 2 Guru injil, memiliki 6 cabang, 2 Pos PI serta seratus tujuh puluh
sembilan (179 KK) Kepala Keluarga3. Jumlah jemaat GKS Nggongi ialah 2000 jiwa,
dengan memiliki 770 KK.
Keadaan Ekonomi
Melalui wawancara dengan salah satu anggota Gereja GKS Nggongi bapak
ketua RT STA, diketahui perekonomian masyarakat atau jemaat yang ada di GKS
3 E S, Sekretaris GKS Nggongi Senin 14 agustus, Pukul 16:00. Nggongi
27
Nggongi dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya. Mata pencaharian jemaat GKS
Nggongi pada umumnya adalah bertani baik di ladang, kebun maupun di sawah.
Selain bertani sebagian jemaat juga berternak dan sedangkan yang lain terdiri dari
nelayan, wiraswasta, guru SD maupun SMP, Pegawai, dan tenaga Medis. Dengan
keadaan alam yang baik membuat jemaat bisa bertahan disaat musim paceklik.
Keadaan Sosial Budaya
Jemaat GKS Nggongi adalah jemaat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai
budaya dan kekerabatan. Selain itu juga strata sosial antara golongan raja dan
golongan hamba masih sangat terasa. Sehingga dalam menjalani suatu hubungan
dalam kemasyarakatan ada jarak antara golongan raja dan golongan hamba. Akan
tetapi karena keadaan sosial jemaat GKS Nggongi merupakan bagian dari masyarakat
Sumba yang hidup secara teratur dan bersatu didalam suatu kelompok, sehingga
setiap anggotanya saling mengenal satu dengan yang lain, saling mendukung dan
menolong. Dapat disimpulkan bahwa keadaan sosial budaya jemaat GKS Nggongi
yang masih menjunjung tinggi nilai budaya dan kekerabatan, tidaklah menjadi suatu
masalah yang menghambat pelayanan Gereja, sebaliknya nilai-nilai budaya itu
menjadi motivasi bagi pelayanan Gereja untuk mempersatukan umat sebagai tubuh
Kristus.
3.2 Faktor-faktor yang menyebabkan warga jemaat GKS Nggongi pindah Gereja.
3.2.1 Warga jemaat yang pindah karena ketidakpuasan terhadap pelayanan
a. Kasus Bapak YL
Dalam teknik untuk mencapai tujuan penelitian tentang faktor-faktor
penyebab jemaat pindah gereja maka peneliti mewawancarai YL. Menurut YL
awal mula ia memutuskan untuk pindah ke denominasi gereja lain (Karismatik)
28
adalah untuk memenuhi kebutuhannya terhadap pelayanan terutama pemberkatan
nikah dan baptisan. YL mengatakan mengatakan dalam penjelasannya :
“...Majelis jemaat GKS Nggongi menolak untuk melakukan pemberkatan nikah dan
baptisan dengan alasan urusan adat/belisnya belum selesai, sedangkan saya sangat
memiliki kerinduan membawa keluarga saya untuk dimateraikan dalam sebuah
pernikahan dan juga anak-anak kami dimateraikan menjadi milik Kristus dalam sebuah
baptisan. Ketika pihak Gereja menolak, saya sangat kecewa dan sakit hati. Saya menahan
diri untuk tidak hadir dalam persekutuan di jemaat GKS selama enam bulan. Selama
enam bulan itupun Gereja tidak datang mengunjungi saya untuk memberikan jalan keluar
kepada saya dan juga istri. Saya sangat kecewa karena itu saya bersama istri akhirnya
memutuskan untuk pindah ke Gereja GBI Kahembi pada bulan November 2011. 4
Setelah mewawancarai YL peneliti mendapatkan informasi nama-nama
dari jemaat lain yang juga pindah menyusul setelah YL pindah.
b. Kasus bapak HB
Hari berikutnya peneliti mewawancarai HB yang juga merupakan jemaat
yang pindah ke GBI Kahambi. HB mengatakan perasaannya sebagai berikut:
“....Saya merasa sangat kecewa saat saya sakit dirumah tidak ada satu orang majelis
jemaatpun yang datang untuk mendoakan saya, sedangkan saat pendeta dari GBI
mendengar saya sakit beliau langsung datang untuk mendoakan saya. Sedangkan waktu
itu saya masih menjadi anggota jemaat GKS. Mengapa pendeta dari Gereja lain datang
mendoakan dan peduli dengan saya tapi pendeta dari Gereja asal saya tidak datang untuk
mendoakan saya. Saya menahan diri selama sembilan bulan dari persekutuan dengan
jemaat. Dan selama itu juga Gereja tidak melakukan pendekatan kepada saya dan istri
untuk menyelesaikan masalah tersebut. Saya rasa lebih baik, saya dan keluarga pindah
saja ke GBI dari pada saya harus bertahan di GKS.5
c. Kasus Bapak BN
Wawancara dilakukan kepada bapak BN. Beliau mengungkap-kan alasan
dan penyebab ia memilih untuk pindah ke GBT. Dalam penjelasannya beliau
mengungkapkan :
“...Saya merasa selama bergereja di GKS iman saya tidak tumbuh dan juga GKS terlalu
terikat dengan aturan tata Gereja sehingga terkesan sangat kaku, alasan lainnya karena
ketika ada permasalahan yang terjadi di jemaat, GKS sangat lamban dalam melakukan
penanganan serta ketika saya minta Gereja untuk menghadiri dan memimpin ibadah
syukuran karena anak saya yang ketiga lulus dari teologia GBT, majelis jemaat tidak
hadir. Saya kecewa karena saya merasa pelayanan Gereja pilih kasih. Saya menahan diri
dari peresekutuan dengan jemaat dan selama menahan diripun tidak ada perkunjungan
ataupun pendekatan yang dilakukan oleh Gereja agar dapat menyelesaikan masalah yang
4 Wawancara, Rabu 5 september 2012, pukul 14.00 di rumah
5 Wawancara, Kamis 6 september 2011 pukul 12.00 di Rumah.
29
ada. Melihat tidak ada tanggapan dari Gereja, saya bersama istri memutuskan untuk
pindah ke GBT. Setelah pindah baru adanya pendekatan dalam bentuk tim yang di
lakukan oleh GKS kepada saya. Bagi saya kedatangan tim dari GKS sudah terlambat
karena saya sudah merasa nyaman dan iman saya pun tumbuh saat menjadi bagian dari
jemaat GBT. Saya sudah menemukan apa yang selama ini saya cari.6
d. Kasus Ibu EH
Wawancara kepada ibu EH salah satu warga jemaat yang pindah ke GBT.
Ibu E H mengatakan alasan yang mendasar sehingga beliau pindah ke GBT :
“...Saat saya datang kepada Gereja GKS untuk minta dilakukan pemberkatan nikah
permintaan itu di tolak oleh Gereja dengan alasan karena calon suami saya masih
berstatus suami orang. Menurut saya tidak ada salahnya ketika saya ingin di berkati
dalam sebuah pernikahan karena istri calon suami sudah menyetujui hubungan kami.
Saya kecewa GKS terlalu terpaku pada tata aturan Gereja sehingga saya tidak di beri
kesempatan untuk membawa keluarga saya di hadapan Tuhan untuk dimateraikan. Saya
tidak pernah merasa ada pendekatan yang di lakukan oleh GKS saat saya mengalami
masalah ini. Saya merasa seperti domba yang kehilangan arah tanpa dicari dan dilindungi.
Saya memutuskan untuk pindak ke GBT dan melakukan pemberkatan nikah di Gereja
tersebut.7
e. Kasus Bapak EN
Peneliti mewawancarai Bapak EN yang juga telah pidah ke GBT. Bapak
EN menjelaskan:
“...Keputusan untuk pindak ke GBT bermula saat saya mencalonkan diri menjadi anggota
majelis jemaat. Dan melalui rapat dewan lengkap saya telah mendapat persetujuan untuk
menjadi calon majelis jemaat, pada saat yang sama sebelum nama-nama calon majelis
jemaat di umumkan, saya bertikai dengan ayah saya, melihat hal itu Gereja melakukan
mediasi antara saya dengan sang ayah, namun hal itu belum mendapat titik terang untuk
berdamai karena saat itu kami masih dalam suasana yang sangat tidak memungkinkan
untuk berdamai. Ayah saya tidak mempermasalahkan pencalonan saya sebagai majelis
jemaat karena masalah yang ada antara kami berdua adalah masalah pribadi dan tidak ada
sangkut paut dengan pencalonan saya sebagai majelis jemaat.Yang buat saya sangat sakit
hati majelis jemaat langsung mencopot nama saya saya tanpa pemberitahuan seolah-olah
saya difonis bersalah. Dan setelah itu mereka tidak datang berkunjung untuk memberikan
penjelasan kepada saya mengapa nama saya di copot. Yang tragisnya lagi majelis jemaat
mengangkat salah seorang jemaat untuk menggantikan saya dengan alasan mengisi
kekosongan, sedangkan jemaat tersebut tidak tidak mengikuti prosedur pencalonan. Saya
merasa majelis jemaat sudah menyimpang dari tata aturan Gereja tentang pencalonan
majelis jemaat. Saya bersama istri memutuskan untuk pindah ke GBT.8
f. Kasus Bapak R K
6 Wawancara, Kamis 6 september 2012 pukul 16.00 di rumah.
7 Wawancara, Kamis 6 september 2012 pukul 19.00 di rumah.
8 Wawancara, Jumat 7 september 2012, pukul 16.00 di rumah
30
Pada hari berikutnya peneliti melakukan wawancara terhadap R K. Dalam
wawancara yang dilakukan, R K menjelaskan bahwa :
“...Saat saya meminta kepada Gereja GKS untuk memberkati anak saya dalam sebuah
pemberkatan nikah, Gereja menolak dengan alasan urusan adat/ belis belum selesai
sehingga Gereja tidak dapat melakukan pemberkatan. Saya juga merasa tidak
mendapatkan keadilan oleh pihak Gereja karena anak saya yang belum menikah
mengapa saya yang harus dikenakan siasat (tidak boleh ikut perjamuan kudus)?. Saya
sangat kecewa dengan cara Gereja yang seperti ini. Akhirnya saya menulis surat kepada
Gereja bahwa saya mengundurkan diri dari jemaat, saya pindah ke Gereja lain. Surat saya
itu sudah di bawa ke rapat dewan lengkap tapi tidak ada respon dari Gereja untuk
mengidahkan permohonan saya itu. Saya merasa saya sudah pantas untuk pindah karena
saya sudah menulis surat, di respon atau tidak sudah tidak menjadi urusan saya lagi.
Bersama 10 kepala keluarga yang semuanya adalah keluarga saya, memutuskan untuk
pindah ke GBT. Tidak ada paksaan kepada mereka untuk bergabung bersama saya di
GBT akan tetapi niat dari hati mereka sendiri dan karena kekecewaan mereka terhadap
pelayanan yang dilakukan oleh Gereja serta lambannya penanganan serta penyelesaian
masalah oleh Gereja. Dan setelah kami telah menjadi bagian GBT barulah tim yang di
bentuk oleh GKS yang telah di bahas dalam dewan lengkap datang dan mengunjungi
kami. Akan tetapi keputusan kami sudah bulat sehingga kami tidak ingin kembali lagi ke
GKS.9
Analisa
Dari seluruh hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap
informan kunci, dapat dikatakan bahwa terjadi perpindahan warga jemaat GKS
Nggongi ke gereja lain, hal tersebut disebabkan karena adanya peraturan dari GKS
Nggongi yang menyatakan, warga jemaat tidak dapat mengikuti acara pemberkatan
nikah di gereja jika dalam kehidupan sosialnya belum melakukan upacara pernikahan
adat (belis). Pada umumnya pemberkatan nikah di gereja dapat di lakukan terlebih
dahulu sebelum pelaksanaan pernikahan adat. Berdasarkan peraturan yang di buat
oleh GKS Nggongi, maka hal tersebut juga berimbas pada anak-anak dari keluarga
tersebut sehingga tidak bisa mendapatkan sakramen Baptisan Kudus, seperti contoh
kasus pada bapak YL :
“...Majelis jemaat GKS Nggongi menolak untuk melakukan pemberkatan nikah dan baptisan
dengan alasan urusan adat/belisnya belum selesai, sedangkan saya sangat memiliki kerinduan
membawa keluarga saya untuk dimateraikan dalam sebuah pernikahan dan juga anak-anak
kami dimateraikan menjadi milik Kristus dalam sebuah baptisan. Ketika pihak Gereja
menolak, saya sangat kecewa dan sakit hati. Saya menahan diri untuk tidak hadir dalam
persekutuan di jemaat GKS selama enam bulan. Selama enam bulan itupun Gereja tidak
9 Wawancara, Sabtu 8 september 2012, pukul 10.00, 14.00 dan 16.00 di rumah.
31
datang mengunjungi saya untuk memberikan jalan keluar kepada saya dan juga istri. Saya
sangat kecewa karena itu saya bersama istri akhirnya memutuskan untuk pindah ke Gereja
GBI Kahembi pada bulan November 2011. 10
Peraturan tersebut yang menyebabkan terjadinya konflik antara pihak gereja
dan jemaat yang bersangkutan, sehingga berujung pada perpindahan warga jemaat ke
gereja lain dengan alasan tidak mendapatkan kepuasan pelayanan dari GKS Nggongi.
Selain itu juga kurang pekanya gereja terhadap masalah yang dialami oleh warga
jemaat contohnya kasus bapak HB yang mengeluh karna tidak mendapatkan perhatian
dari GKS Nggongi ketika beliau dalam keadan sakit sedangkan dari Gereja GBI
datang berkunjung dan mendoakannya. Berdasarkan kasus diatas dapat dilihat bahwa
para pelayan tidak memahami fungsi pastoral yang merupakan upaya untuk mencari
dan mengunjungi anggota jemaat terutama yang sedang bergumul dengan persoalan-
persoalan yang menghimpitnya dan pelayanan ditujukan kepada mereka yang
mengalami pergumulan hidup.11
Berdasarkan konflik yang terjadi dalam Gereja GKS Nggongi maka kasus ini
sangat mendukung teori yang katakan oleh Samiyono bahwa jika konfilk tidak
dikelola dengan baik maka akan menyebabkan terjadinya hal yang negatif12
. Di
antaranya pertama, kerugian berupa material dan spiritual. Bila di kaitkan dengan
keadaan di lapangan maka terlihat jelas bahwa konflik yang ada dalam tubuh jemaat
GKS Nggongi menimbulkan kerugian berupa material dengan berkurangnya
persembahan yang masuk dalam setiap ibadah minggu dan juga kerugian berupa
spritual yang mana banyak jemaat menjadikan konflik tersebut sebagai sebuah alasan
untuk tidak mengikuti ibadah dan bersekutu bersama dengan jemaat lainnya.
10
Wawancara, Rabu 5 september 2012, pukul 14.00 di rumah 11
Ibid. 12
David Samiyono:Pluralisme dan Pengelolaan Konflik, tanggal 28-29 di UKSW Salatiga.
32
Kedua, menggangu harmoni sosial. Bila dikaitkan dengan keadaan di jemaat
GKS Nggongi maka dengan adanya konflik yang terjadidalam tubuh jemaat dapat
mempengaruhi harmoni sosial yang selama ini terjalin dengan baik menjadi terpecah.
Jemaat yang berkonflik tidak lagi begitu bersimpati dengan kehidupan jemaat lainnya
dan terkesan saling menyalahkan satu dengan yang lain, merasa diri paling benar, dan
mempengaruhi orang lain untuk mengikuti keputusan yang di anggap benar olehnya
(jemaat yang pindah).
Ketiga, terjadi perpecahan kelompok. Bila dikaitkan dengan keadaan di
jemaat GKS Nggongi sangat jelas terlihat perpecahan yang terjadidalam kehidupan
jemaat GKS Nggongi. Jemaat tidak lagi bersatu membangun persekutuan yang indah
akan tetapi masing-masing jemaat mencari jalan yang menurut mereka benar dan
lebih menumbuhkan iman mereka dari pada tetap berkumpul bersama dalam
persekutuan di jemaat GKS Nggongi.
Melihat dari dampak negatif yang terjadi di jemaat GKS Nggongi, maka
gereja berusaha untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dengan melakukan
perkunjungan ke rumah jemaat. Perkunjungan tersebut dilakukan dengan membentuk
satu tim yang diputuskan dalam rapat dewan lengkap, namun perkunjungan tersebut
hanya dilakukan satu atau dua kali saja. Setelah perkunjungan tersebut maka pihak
gereja mengembalikan keputusan sepenuhnya kepada jemaat untuk memuntuskan
pindah gereja atau kembali ke gereja asal. Dalam pemikiran beberapa majelis selaku
pelayan, mereka sudah berusaha untuk melakukan pendekatan kepada jemaat yang
berkonflik namun keputusan sepenuhnya kembali kepada jemaat. Tetapi pada
kenyataannya, usaha yang dilakukan oleh pihak gereja tidak cukup berhasil, terbukti
bahwa semakin banyak warga jemaat yang memutuskan untuk pindah ke gereja lain.
33
Usaha yang dilakukan oleh pihak gereja ini dilakukan hanya semata-mata untuk
menjalankan tugas gereja. Contoh kasus seperti yang terjadi kepada bapak EN :
“...Keputusan untuk pindah ke GBT bermula saat saya mencalonkan diri menjadi anggota
majelis jemaat. Dan melalui rapat dewan lengkap saya telah mendapat persetujuan untuk
menjadi calon majelis jemaat, pada saat yang sama sebelum nama-nama calon majelis jemaat
di umumkan, saya bertikai dengan ayah saya, melihat hal itu Gereja melakukan mediasi antara
saya dengan sang ayah, namun hal itu belum mendapat titik terang untuk berdamai karena saat
itu kami masih dalam suasana yang sangat tidak memungkinkan untuk berdamai. Ayah saya
tidak mempermasalahkan pencalonan saya sebagai majelis jemaat karena masalah yang ada
antara kami berdua adalah masalah pribadi dan tidak ada sangkut paut dengan pencalonan
saya sebagai majelis jemaat.Yang buat saya sangat sakit hati majelis jemaat langsung
mencopot nama saya saya tanpa pemberitahuan seolah-olah saya divonis bersalah. Dan setelah
itu mereka tidak datang berkunjung untuk memberikan penjelasan kepada saya mengapa nama
saya di copot. Yang tragisnya lagi majelis jemaat mengangkat salah seorang jemaat untuk
menggantikan saya dengan alasan mengisi kekosongan, sedangkan jemaat tersebut tidak tidak
mengikuti prosedur pencalonan. Saya merasa sudah majelis jemaat sudah menyimpang dari
tata aturan Gereja tentang pencalonan majelis jemaat. Saya bersama istri memutuskan untuk
pindah ke GBT.13
Melihat usaha yang dilakukan oleh pihak gereja dalam penyelesaian konfik
seperti kasus yang dialami oleh bapak EN, maka usaha gereja tersebut termasuk
dalam salah satu dari kelima strategi penyelesaian realita konflik yang di usulkan oleh
Pruitt dan Rubin yaitu contending (pertandingan) yaitu mencoba menerapkan solusi
yang lebih disukai oleh satu pihak atas pihak lain. Strategi tersebut meliputi segala
macam usaha untuk menyelesaikan konflik sesuai dengan kemauan sendiri tanpa
mempedulikan kepentingan pihak lain14
. Dari strategi pertandingan tersebut tidak
dapat menyelesaikan konflik yang terjadi, karena itu peneliti merekomendasikan salah
satu dari lima stategi tersebut yaitu problem solving (pemecahan masalah). Hal
tersebut didasarkan pada pendapat peneliti bahwa mengunakan strategi pemecahan
masalah kedua pihak yang berkonflik dapat mencari alternatif yang memuaskan kedua
belah pihak dan berusaha mempertahankan aspirasinya sendiri, tetapi sekaligus
berusaha mendapatkan cara untuk melakukan rekonsiliasi dengan pihak lain dan
mencari solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Dengan demikian masalah
13
Wawancara, Jumat 7 september 2012, pukul 16.00 di rumah 14
Dean G. Pruitt dan Jefferey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004) hal 4-6
34
yang terjadi di jemaat GKS Nggongi dapat diselesaikan dengan baik tanpa merugikan
salah satu pihak.
Bila dikaitkan dengan data dan analisa diatas maka Gembala jemaat maupun
majelis jemaat rupanya mampu menjadi mediator yang baik, sehingga menjadi
penangah bagi warga jemaat yang memiliki konflik. Terutama konflik antara warga
jemaat dengan tata aturan Gereja dan juga adat istiadat yang berlaku, sehingga pihak-
pihak berkonfik menemukan penyelesaian yang mereka sepakati sejak dini. Hal ini
sebetulnya sesuai dengan langkah-langkah yang diungkapkan oleh Pruit dan Rubin
mengenai mengenai penyelesaian realita konflik.
Perlu juga di pahami bahwa untuk menyelesaikan konflik yang ada, gereja
tidak hanya mampu menjadi mediator akan tetapi gereja dapat menjadi penyembuh
dan juga dapat memulihkan relasi yang telah rusak akibat konflik tersebut. Oleh
karena itu perlu ada pemahaman tentang pendampingan dalam relasi antara satu
dengan yang lainnya. Seorang gembala atau majelis dan orang-orang yang terlibat
dalam pendampingan pastoral harus belajar agama dengan baik, dalam hal ini Kristen,
sebagaimana agama itu berfungsi didalam dan melalui orang-orang yang terlibat
dalam pendampingan pastoral itu dalam relasinya satu sama lain.15
Dapat dikatakan bahwa setiap konflik yang ada dalam tubuh jemaat dapat di
selesaikan baik sehingga konflik yang ada tidak menjadi pemecah dalam persekutuan
jemaat akan tetapi dengan konflik yang ada dapat menolong, misalnya memberi
pelajaran, perasaan memiliki tujuan bersama, dan pertumbuhan ke arah hubungan
yang lebih baik. Melalui proses tawar menawar, konflik dapat membantu terciptanya
tatanan baru dalam interaksi sosial sesuai dengan kesepakatan bersama. Apabila
konflik dapat dikelola dengan baik sampai batas tertentu dapat juga dipakai sebagai
15
Ibid, hal. 6
35
alat perekat kehidupan bermasyarakat.16
Untuk itu, maka konflik bukanlah suatu hal
yang harus di hindari akan tetapi diselesaikan bersama agar mencapai pertumbuhan ke
arah yang lebih baik.
3.3 Warga jemaat pindah gereja karena faktor konflik internal dan masalah sosial
ekonomi.
Faktor-faktor yang menyebabkan warga jemaat pindah gereja antara lain faktor
konflik internal dan masalah ekonomi. Seperti yang dijelaskan oleh bapak MM yang
mengatakan bahwa:
“...yang menjadi faktor penyebab jemaat pindah Gereja ialah ketidakpuasan warga jemaat terhadap
pelayanan yang di lakukan oleh Gereja. Oleh karena itu, banyak jemaat yang pindah dan mencari
pelayanan yang menurut mereka dapat menumbuhkan iman mereka. Selaku pelayan kami
melakukan pendekatan kepada mereka, akan tetapi jika keputusan mereka sudah bulat untuk
pindah maka kami (Gereja) tidak dapat melakukan apa-apa. Harus diakui memang bahwa setiap
konflik yang terjadidalam kehidupan warga jemaat selalu menjadi pemicu perpindahan jemaat ini
terjadi. Baik konflik yang terjadi antara warga jemaat dengan keluarga maupun konflik antara
jemaat dengan pelayan.17
Demikian halnya dengan bapak AMM setuju dengan bapak MM yang mengatakan
bahwa:
“...adanya perpindahan jemaat yang terjadi didasari oleh dua faktor yakni Pertama kekecewaan
warga jemaat terhadap pelayanan yang dilakukan oleh gembala sidang. Karena setelah saya
menanyakan kepada beberapa warga baik yang pindah maupun yang tidak pindah mengatakan
bahwa mereka (warga jemaat) kecewa dan sakit hati dengan pelayanan yang lakukan oleh gembala
sidang (pendeta), yang sebenarnya gembala adalah tempat mencurahkan rasa saat mereka
mengalami pergumulan dan persoalan hidup, akan tetapi hal itu tidak mereka temukan. Dan kedua
adalah faktor ekonomi, yang mana keadaan ekonomi di jemaat nggongi sangat lemah. Sehingga
ketika ada tawaran-tawaran dan janji-janji yang di berikan oleh Gereja lain, mereka tergiur dan
akhirnya pindah Gereja. faktor yang tidak kalah penting adalah tingkat pemahaman warga jemaat
terhadap arti dari kekristenan masih sangat minim dan pemahaman tentang kepercayaan yang
mereka percayai itu masih sangat lemah sehingga dengan mudah warga jemaat itu memilih untuk
pindah Gereja. Pehamaham warga jemaat bahwa semua Gereja itu sama saja sehingga mereka
tidak menyesal dan merasa takut saat mereka memilih untuk pidah ke denominasi Gereja lain. 18
Bapak NMA mendukung pernyataan bapak A M M menjelaskan bahwa :
16
Agus Surata dan Tuhana Taufiq Andrianto, Atasi Konflik Etnis, (Yogyakarta : Global Pustaka Utama, 2001)
hal 1 17
Wawancara, Selasa 11 september 2012, pukul 10:00 di rumah 18
Wawancara, Kamis 13 september 2012, pukul 20.00 di tempat ibadah rumah tangga
36
“...yang menjadi faktor penyebab jemaat pindah Gereja ialah faktor ekonomi. Jemaat kami
memiliki tingkat pendapatan yang cukup rendah sehingga ketika ada masalah dan mereka
mendapatkan janji-janji dari denominasi Gereja lain, mereka langsung tergiur dan pindah. Jika ada
masalah antar angota keluarga maka mereka menjadikan Gereja sebagai sasaran. Mereka tidak
lagi mau bergereja dengan alasan mereka tidak damai sejahtera saat orang yang bermasalah itu
hadir juga dalam Gereja. Dan hal yang tidak kalah pentingnya yakni adanya kekurang kompakan
dalam tubuh majelis jemaat dalam melakukan pelayanan serta penanganan masalah. Hal ini juga
membuat warga jemaat merasa tidak di perhatikan dan memilih untuk mencari Gereja lain. 19
Sama halnya juga dengan bapak MM dan bapak AMM, bapak APM yang
mengatakan bahwa:
“...Yang menjadi faktor penyebab warga jemaat kami pidah Gereja adalah adanya kesalah
pahaman antara warga jemaat dengan pelayanan yang di lakukan oleh Gereja. Dalam artian saat
Gereja terlambat merespon permasalahan yang terjadidalam hidup warga jemaat maka jemaat
langsung memilih untuk mencari Gereja lain yang menurut mereka mampu menjawab dengan
cepat masalah yang mereka hadapi. Faktor lain, adanya masalah pribadi diantara keluarga warga
jemaat yang imbasnya kepada Gereja. Permasalahan yang ada dalam keluarga di sangkut pautkan
dengan Gereja, sehingga ketika ada masalah antara anggota keluarga maka Gerejalah yang harus
bertanggung jawab. Jika Gereja tidak menyelesaikan masalah mereka maka mereka langsung
memilih untuk pindah ke Gereja lain.20
Bapak NRD setuju dengan pernyataan beberapa penatua diatas, mengatakan
bahwa :
“...Yang menjadi alasan warga jemaat pindah Gereja ialah kekecewaan terhadap pelayanan kami
yang kurang maksimal. Akan tetapi menurut saya yang sebenarnya warga jemaat tidak mengerti
tata aturan Gereja sehingga ketika mereka minta dilakukan pemberkatan nikah, baptisan terhadap
keluarga dan anak mereka dan di tolak oleh kami selaku pekerja Gereja, mereka langsung marah
dan menahan diri untuk tidak bersekutu lagi bahkan ada juga yang langsung pindah. Mereka tidak
menerima kalau kami tidak dapat melakukan pemberkatan dan baptisan kalau mereka belum
memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Karena hal inilah maka banyak dari warga jemaat
kami yang pindah dan tidak mau kembali lagi sampai kami menyetujui untuk melakukan
pemberkatan nikah. Sebanarnya ini sangat salah ketika mereka menuntut demikian karena mereka
saja tidak bisa menaati peraturan Gereja yang sudah ada.21
Berbeda dengan beberapa Penatua diatas ibu Diaken MUH menjelaskan bahwa :
“...Yang menjadi alasan warga jemaat saya pindah Gereja yaitu karena masalah keluarga yang di
hadapi oleh jemaat tersebut dan akhirnya berimbas ke gerja dan kebetulan warga tersebut
merupakan salah seorang dari calon majelis yang akan di pilih oleh warga jemaat khususnya
cabang Lalindi. Warga jemaat tersebut memiliki masalah dengan ayahnya dan ketika kami pergi
untuk menyelesaikan masalah tersebut, agar mereka berdamai tapi tidak ada niat dari kedua belah
pihak yang bertikai untuk berdamai. Dan saat itu juga warga ini tidak bisa menjadi calon kalau
masih terbelit dalam masalah tersebut maka majelis jemaat bersepakat untuk menggantikannya
karena ada kekosongan pelayanan. Hal itu kami lakukan karena sesuai dengan tata aturan Gereja
terhadap calon majelis jemaat. Dari masalah terbut akhirnya warga jemaat ini pindah Gereja dan
19
Wawancara, Senin 17 september, pukul 16.00 di rumah 20
Wawancara, Rabu 12 september 2012, pukul 10.00 di rumah 21
Wawancara, Jumat 14 september, pukul 11.00 di rumah
37
ketika di kunjungi warga jemaat ini tidak mau kembali sebelum orang yang dipilih untuk
menggantikan dia harus di turunkan dari jabatan. Kami tidak bisa menurunkan orang dari jabatan
yang telah di tabiskan menjadi majelis jemaat hanya karena warga jemaat kami yang bermasalah
ini. 22
Bapak KMD mendukung pernyataan ibu MUH yang menegaskan pernyataan
tersebut bahwa :
“...Faktor utama warga jemaat pindah Gereja ialah konflik yang terjadi antara keluarga dan ketika
Gereja datang sebagai penengah dan ingin menyelesaikan konflik tersebut maka Gerejalah yang
kembali mendapat imbas dari persoalan itu. Warga jemaat yang bermasalah tersebut menahan diri
untuk tidak ikut ambil bagian dalam persekutuan dengan Tuhan dan jemaat. Dan ketika dilakukan
pendekatan warga jemaat tersebut tidak merespon pendekatan yang dilakukan oleh majelis jemaat.
Selain itu yang menjadi alasan lain ketika warga jemaat pidah ke denominasi Gereja lain yaitu
karena faktor ekonomi. Yang mana dari denominasi Gereja lain dapat memberikan sumbangan
bahkan beasiswa untuk warga dan anak-anak dari warga jemaat. sehingga merasa adanya jaminan
kehidupan yang di berikan dan juga warga jemaat merasa di perhatikan oleh Gereja-Gereja
tersebut.23
Ketika peneliti mewawancarai bapak Pdt. PMR24
selaku gembala sidang di
jemaat GKS Nggongi, ada beberapa alasan yang menyebabkan jemaat pindah gereja,
yaitu warga jemaat merasa tidak puas dengan pelayanan yang dilakukan oleh majelis dan
ada warga jemaat yang merasa tidak dilayani dengan PA. Faktor ekonomi juga
menyebabkan jemaat pindah gereja karena ada banyak janji-janji yang di tawarkan
kepada warga jemaat sehingga mereka dengan mudahnya pindah. Contohnya diberikan
mie instan, gula, minyak goreng dan juga beasiswa. Dari hal tersebut warga jemaat
merasa diperhatikan dan beralih ke gereja lain. Dapat dilihat pada salah satu contoh kasus
yang di ungkapkan oleh beliau dalam wawancara yang di lakukan penulis yakni:
“...Contohnya ipar kandung saya B N, anaknya U R sudah pindah ke GBT dan setelah lulus
SMA, UR dikirim diam-diam kuliah teologi ke Sumba Barat, setelah pulang UR bergereja di
Tabernakel. Dan ketika saya tahu hal itu sebagai keluarga saya datang untuk mendekati
mereka (NB dan keluarga) dan bertanya kenapa anak ini pindah Gereja dan alasan mereka
bahwa mereka tidak memiliki biaya sehingga saat ada beasiswa dari Tabernakel akhirnya
mereka mengijinkan untuk kuliah di teologi Tabernakel. Dan setelah itu saat U R ingin
melanjutkan lagi kuliahnya di Solo, mereka mengadakan syukuran dan mereka datang kepada
saya dan memberiahukan kepada saya yang akan pimpim ibadah pendeta dari Tabernakel. Dan
saya menyetujui itu karena saya U R sudah menjadi jemaat tabernakel. Seminggu setelah U R
berangkat. N B bersama keluarga pindah ke GBT, melihat hal itu majelis jemaat Ananjaki
langsung mengadakan pendekatan dan alasan mereka ialah mengikuti anak perempuan mereka
22
Wawancara, Sabtu 15 september, pukul 10.30 di rumah 23
Wawancara, selasa 11 september 2012, pukul 16.00 di rumah 24
Wawancara, Selasa 18 september, pukul 12.00 di pastori
38
E N yang juga pindah karena tidak diijinkan melakukan pemberkatan nikah di GKS karena
calon suaminya masih berstatus suami orang. Menurut aturan Gereja E N dikenakan siasat
karena E N melakukan perzinahan dengan suami orang. Majelis jemaat melakukan pendekatan
lagi untuk mengembalakan E N agar tidak pindah Gereja akan tetapi N B mendukung anaknya
untuk pindah karena ia sadar bahwa di GKS sangat keras dengan tata Gereja yang ada dan
sudah pasti E N tidak dapat melakukan pemberkatan nikah, karena sebenarnya istri sah dari
suami E N tidak merestui hubungan mereka.”25
Contoh diatas merupakan salah satu dari sekian banyak alasan yang
menyebabkan jemaat pindah gereja. Melihat hal ini maka gereja melakukan tim
pendekatan untuk mendekati warga jemaat yang pindah gereja. Hal tersebut bertujuan
untuk mendekati warga jemaat yang pindah agar dapat kembali berkumpul bersama
dalam sebuah perekutuan. Beliau juga menjelaskan bahwa masalah perpindahan jemaat
ini bukan hanya menjadi pergumulan jemaat GKS Nggongi saja, akan tetapi ini
merupakan pergumulan GKS secara keseluruhan dan telah dibahas dalam sidang Sinode
untuk mengurangi perpindahan jemaat dengan cara meningkatkan pengembalaan dan
strategi pelayanan yang produktif dan kreatif serta mewujudkan diakonia.
Berdasarkan wawancara dengan bapak A, B C,D maka dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor penyebab warga jemaat GKS Nggongi pindah gereja ialah ketidakpuasan
dan kekecewaan terhadap pelayanan yang dilakukan oleh gereja, keadaan ekonomi,
konflik internal yang terjadidalam kehidupan warga jemaat serta pemahaman warga
jemaat terhadap kekristenan yang masih sangat minim. Dengan banyaknya warga jemaat
GKS Nggongi yang pindah maka dampaknya cukup terasa dimana adanya ketegangan
antara warga jemaat yang pindah dengan majelis jemaat, tingat kehadiran dari warga
jemaat GKS Nggongi yang semakin menurun serta menjadi pemicu bagi warga jemaat
lainnya untuk pindah gereja ketika ada konflik diantara keluarga mereka. Saat GKS
Nggongi lamban menyelesaikan masalah-masalah yang ada maka dengan mudah warga
jemaat beralih ke Gereja lain.
25
Wawancara, Selasa 18 september, pukul 12.00 di pastori
39
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa yang menjadi pemicu warga
jemaat GKS Nggongi pindah Gereja tidak semata-mata hanya karena kelambanan dan
kekurangan dari mejelis jemaat dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi warga
jemaat, akan tetapi karena kebutuhan ekonomi jemaat yang akhirnya membuat mereka
berpaling ke denominasi Gereja lain karena janji-janji yang diberikan kepada mereka
serta kurangnya pemahaman warga jemaat GKS Nggongi terhadap kekristenan itu
sendiri.
Dari kasus diatas dapat dilihat dalam tubuh jemaat GKS Nggongi adanya sebuah
konflik yang di timbulkan karena ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang
ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungan dengan orang
lain.26
Oleh karena itu yang perlu dilakukan adalah mengelola konflik tersebut dan
melakukan resolusi konflik sehingga konflik tidak berkembang menjadi konflik yang
baru lagi.
GKS Nggongi membutuhkan resolusi yang tepat dari konflik-konflik yang ada.
Seperti yang diungkapkan oleh Fera Nugroho dkk27
dalam tulisannya tentang Konflik dan
kekerasan pada Aras Lokal maka resolusi konflik bertujuan menangani sebab-sebab
konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang lebih baik diantara kelompok-
kelompok yang berkonflik. Resolusi konflik juga mengacu pada strategi-strategi untuk
menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan
untuk mengakhiri konflik, tetapi juga mencapai suatu resolusi dari berbagai perbedaan
sasaran yang menjadi penyebabnya.
Berdasarkan masalah yang terjadi maka masalah ekonomi merupakan salah satu
tantangan bagi gereja karena itu gereja harus peka dan kreatif dalam menyelesaikan
masalah yang sedang dialami oleh warga jemaat, khususnya dalam bidang ekonomi
26
David Samiyono:Pluralisme dan Pengelolaan Konflik, tanggal 28-29 di UKSW Salatiga. 27
Fera Nugroho dkk, Konflik dan kekerasan pada Aras Lokal, (Salatiga: Pustaka Percik, 2004), hal 81
40
dengan mempersiapkan strategi-strategi untuk memenuhi kebutuhan warga jemaat dan
merupakan salah satu mediator untuk pemulihan hubungan antar warga jemaat dan
kebutuhan ekonomi serta hubungan warga jemaat dengan Gereja.
3.4 Warga Jemaat GKS Ngonggi yang tetap bertahan di jemaat memandang pindah
Gereja bukan solusi.
Peneliti ingin menvalidasi data dilakukan dengan menggabungkan sumber data
yang lain untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas lagi mengenai faktor-faktor
penyebab jemaat pindah gereja, dalam hal ini peneliti menggunakan teknik wawancara
informan penting yang divalidasi dengan teknik Focus Group Discussion (FGD). Teknik
FGD dilakukan bersama keluarga: HH, TRN, NN, DNH, SBK, MRM, MMD, dan FNT28
selepas ibadah minggu. Dalam penggunaan teknik FGD, mereka memberi tanggapan
yang tidak jauh berbeda dengan teknik wawancara pada informan kunci. Menurut mereka
yang menjadi faktor penyebab warga jemaat pindah gereja ialah:
a. Kelambanan majelis jemaat dalam menyelesaikan masalah yang di hadapi jemaat dan
juga terhadap pelayanan yang dilakukan oleh gembala sidang (Pendeta), dapat
dikatakan pelayanan tersebut “pilih kasih”. Hal ini dapat dikatakan karena mereka
juga merasakan hal yang sama dengan warga jemaat lainnya yang telah pindah.
b. Selama menjadi anggota jemaat atau bergereja di GKS Nggongi, mereka belum
merasakan apa yang dinamakan dengan pendampingan pastoral. Bahkan ada beberapa
keluarga seperti MRM, MMD, FNT, dan NN, tidak mengerti apa yang dimaksudkan
dengan pendampingan pastoral sehingga peneliti harus menjelaskan lagi arti dan
contoh dari pendampingan pastoral tersebut.
c. Bagi mereka pelayanan yang dirasakan atau perkunjungan yang ada hanya sebatas
pelayanan rumah tangga dan ibadah pada hari minggu di gereja, sedangkan DNH,
28
Wawancar, Minggu 9 september, pukul 12.00 di Gereja
41
TNR, SBK dan H H cukup memahami apa yang dimaksudkan dengan pendampingan
pastoral sehingga peneliti tidak harus menjelaskan lagi lebih mendetail tentang
pendampingan pastoral tersebut. Sama halnya dengan empat reponden diatas mereka
setuju mengatakan bahwa pendampingan pastoral di jemaat GKS Nggongi tidak
sungguh-sungguh dilakukan oleh pihak gereja atau bisa dikatakan perkunjungan
pastoral tidak terprogram.
Dari beberapa faktor-faktor penyebab warga jemaat pindah gereja diatas, ternyata
warga jemaat GKS Nggongi tidak mendapatkan suatu jawaban terhadap kebutuhan setiap
orang akan kehangatan, perhatian penuh, dukungan, dan pendampingan.29
Hal inilah yang
menyebabkan jemaat memutuskan untuk pindah dan mencari sendiri perhatian penuh serta
pendampingan yang mereka butuhkan. Dalam pengertian warga jemaat yang pindah, ketika
mereka pindah ke gereja lain maka setiap kebutuhan rohani mereka akan terpenuhi dan
mereka dapat mengalami pertumbuhan iman yang selama ini tidak pernah mereka dapat dari
gereja asal yakni GKS Nggongi.
Dari hasil FGD yang dilakukan kepada HH, TRN, NN, DNH, SBK, MRM, MMD,
dan FNT maka dapat dikatakan bahwa warga jemaat yang tidak pindah merasa gereja tidak
menyelamatkan akan tetapi iman yang mampu menyelamatkan manusia. Sehingga mereka
tidak harus mencari gereja lain untuk masuk surga dan karena orang tua mereka adalah para
pendiri GKS Nggongi ini, sehingga mereka tetap ingin menjaga apa yang telah menjadi
warisan dan menghargai apa yang telah di lakukan oleh orang tua mereka. Alasan tersebut
yang membuat mereka terus bertahan walaupun banyak anggota jemaat yang memilih untuk
pindah ke Gereja lain. Meskipun mereka kecewa dengan pelayanan yang ada mereka lebih
memilih untuk mengalah dan tetap bersekutu dengan jemaat GKS Nggongi meskipun ada
konflik yang terjadi.
29
Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Kanasius, 2002) hal
59
42
Salah satu contoh kasus bapak DNH dan TRN yang merasa pelayanan yang dilakukan
oleh gembala sidang (pendeta) adalah pelayanan yang “pilih kasih”. Meskipun demikian
mereka tidak lantas mengikuti jemaat-jemaat lain yang sudah pindah, akan tetapi mereka
memilih untuk diam dan terus bertahan dalam persekutuan jemaat GKS Nggongi dengan
suatu harapan bahwa kedepannya mereka akan mendapatkan gembala sidang yang adil dan
setia terhadap pelayanan, sehingga mereka bisa mendapatkan pemerataan pelayanan tanpa
harus dilihat dari strata sosial yang ada dalam kehidupan jemaat.
Melihat kasus diatas ternyata jemaat yang tidak pindah gereja ini menggunakan
strategi Yielding (mengalah)30
yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima yang
tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Dalam strategi ini bukan berarti bahwa mengalah
dan menyerah secara total, tetapi mengalah dengan mencari alternatif pemecahan masalah
lain. Strategi ini adalah salah salah satu dari lima strategi yang bisa digunakan untuk
menyelesaikan realita konflik yang di usulkan oleh Pruitt dan Rubin.
Strategi ini dapat pakai oleh jemaat yang tidak pindah namun jika strategi ini terus di
pakai untuk menyelesaikan konflik yang ada, maka yang terjadi adalah jemaat akan terus
berada dalam bayang-bayang ketidakadilan. Hal ini akan menjadi bom waktu yang kapan saja
bisa meledak tanpa bisa dikendalikan. Dengan kata lain, ketika kenyataan tidak sesuai dengan
harapan mereka untuk mendapat pemimpin yang adil dalam melayani mereka, maka bukan
tidak mungkin suatu saat mereka juga akan pergi meninggalkan persekutuan jemaat. Ketika
hal itu terjadi maka relasi antara jemaat dan gereja serta relasi antara jemaat dan Allah akan
rusak.
Dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan jemaat GKS Nggongi pastoral merupakan
hal yang tidak di perhatikan, karena pelayanan yang seharusnya ditujukan kepada mereka
30
Dean G. Pruitt dan Jefferey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004) hal 4-6
43
yang mengalami pergumulan hidup31
tidak dilakukan secara maksimal. Bahkan banyak dari
jemaat yang merasa bahwa pelayanan yang dilakukan GKS Nggongi hanya sebatas ibadah
minggu dan ibadah rumah tangga.
3.5 Pendampingan pastoral terhadap jemaat yang pindah Gereja kurang ditangani
dengan sungguh-sungguh oleh majelis GKS Nggongi
Pada bagian sebelumnya, peneliti telah menggambarkan secara kongkrit faktor-
faktor penyebab jemaat pindah gereja. Dari deskripsi itu, peneliti bisa menarik sedikit
kesimpulan bahwa faktor-faktor penyebab warga jemaat pindah Gereja karena tidak puas
dengan pelayanan yang dilakukan oleh Gereja, faktor ekonomi dan juga lambatnya
penanganan masalah yang dilakukan oleh gereja.
Pada bagian ini peneliti akan mengkaji tentang pelaksanaan pendampingan
pastoral terhadap jemaat yang pindah gereja ternyata kurang ditangani dengan sungguh-
sungguh. Untuk lebih jelasnya, peneliti akan mendeskripsikan pelaksaan pendampingan
pastoral dengan mewawancarai para responden, seperti yang akan dijabarkan di bawah
ini.
Bapak Pendeta PMR yang di wawancarai tanggal 18 September 2012 memberikan
penjelasan sebagai berikut:
“...Tidak ada program pendampingan pastoral atau perkunjungan pastoral terstruktur yang kami
buat hanya saja ketika ada warga jemaat yang bermasalah maka kami akan membawa masalah itu
ke dalam rapat dewan untuk dibahas dan juga tidak ada tim khusus untuk melakukan
pendampingan pastoral. Akan tetapi kami memiliki trategi dimana dalam setiap lingkungan
memiliki majelis dan mereka (majelis lingkungan) yang selalu ada dan mengetahui apa yang
menjadi pergumulan warga jemaat. Dengan membawa persoalan yang dialami warga jemaat
kedalam rapat dewan maka kami berusaha untuk melakukan pendekatan kepada warga jemaat
yang pindah.32
Ibu Diaken cabang lalindi MUH yang dimintai tanggapan terhadap pelaksaan
pendampingan pastoral terhadap jemaat mengatakan:
31
Ibid. 32
Wawancara 18 september, pukul 12.00 di pastori
44
“... memang tidak ada pelaksaan perkunjungan pastoral secara terprogram tapi kami sebagai
majelis jemaat cabang Lalindi melakukan perkunjungan ketika jemaat bermasalah, kami hadir
untuk membantu warga jemaat menyelesaikan masalah mereka. Dan yang perlu diketahui masalah
yang sering dihadapi oleh warga jemaat di lingkungan saya yaitu masalah pribadi mereka dengan
keluarga. Dengan demikian kami (majelis jemaat) menjadi mediator untuk mendamaikan mereka
yang bertikai. Tidak hanya itu saja akan tetapi jika ada warga jemaat yang sakit kami mengunjungi
dan mendoakan mereka. Dan juga jika ada warga jemaat yang mengalami kedukaan, maka kami
akan hadir untuk memberikan penguatan dan penopangan kepada keluarga yang di tinggalkan.
Dengan beberapa hal diatas seperti yang telah saya uraikan tadi maka saya rasa kami telah
melakukan pendampingan pastoral terhadap warga jemaat khususnya cabang lalindi ini.33
Bapak MM setuju dengan bapak pdt. PMR dan Ibu MUH mengatakan bahwa:
“...Saya rasa mengenai perkunjungan pastoral itu ada walaupun tidak secara terprogram atau
terstruktur. Namun yang disayangkan adalah pendampingan pastoral ini tidak berjalan dengan baik
karena majelis jemaat kurang kompak dalam menyelesaikan masalah yang dialami jemaat dan
program kerja yang tidak berjalan dengan baik. Mungkin karena kesibukan atau alasan lainnya
kami selaku mejelis jemaat lalai dalam melihat setiap masalah dan persoalan yang ada, dan harus
diakui memang terkadang juga kami terlalu lamban untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
ada untuk itu banyak dari warga jemaat kami yang ketika mengalami masalah langsung memilih
pindah kedenominasi Gereja lain. Dan perkunjungan pastoral dapat berjalanan ketika ada warga
jemaat kami yang minta untuk di doakan dan di kunjungi.34
Bapak APM yang juga diwawancarai selaku majelis jemaat GKS cabang Lalindi
mengatakan:
“...Selama saya menjadi majelis jemaat, yang saya tahu ada perkunjungan pastoral melalui
kunjungan kepada jemaat dan melakukan pendekatan kepada jemaat yang bermasalah dengan
tujuan untuk mencapai solusi. Dan ketika kunjungan pastoral tersebut tidak efektif maka akan
dilakukan pembentukan tim yang di lakukan oleh majelis jemaat dalam rapat dewan lengkap yang
diselenggarakan selama 3 bulan sekali. Tim yang di bentuk ini akan pergi ke rumah jemaat yang
bermasalah dan melakukan pendekatan selama 3 bulan masa yang di tentukan untuk melakukan
perkunjungan pastoral tersebut sehingga bisa mendapatkan solusi yang baik terhadap masalah
tersebut. Dan jika selama 3 bulan itu tidak ada perkembangan yang baik maka akan dibawa lagi
dalam rapat dewan lengkap. Sehingga Dengan adanya pendampingan pastoral ini dapat
mengurangi perpindahan jemaat.35
Bapak KMD yang diwawancarai di rumahnya selaku Kaum awam cabang Lalindi
mengatakan :
“...Khususnya di cabang Lalindi ini kami membuat program perkunjungan pastoral dan hal
tersebut rutin dilakukan. Sehingga ketika ada warga jemaat kami yang bermasalah maka kami akan
langsung menyelesaikan masalah mereka. Dengan demikian masalah yang ada tidak berlarut-larut.
Hanya saja kemarin ada kasus dari salah satu warga jemaat kami yang mencalonkan diri sebagai
majelis dan karena masalah pribadinya dengan keluarga, yang akhirnya berimbas kepada Gereja.
kami telah melakukan pendekatan terhadap warga jemaat kami ini. Akan tetapi ia masih kukuh
dengan pendiriannya untuk pindah ke denominasi Gereja. kami telah melakukan pendekatan
terhadap warga jemaat kami ini akan tetapi belum ada hasil dan juga kami telah membahasnya
33
Wawancara M U H diaken cabang lalindi 15 september 2012, pukul 10.30 di rumah. 34
Wawancara M M majelis jemaat cabang lalindi, Selasa 11 september 2012, pukul 10:00 di rumah 35
Wawancara A P M majelis jemaat cabang lalindi, Rabu 19 september 2012, pukul 11.30 di rumah
45
dalam rapat dewan lengkap sehingga sudah di buat tim khusus untuk pergi ke rumah warga jemaat
kami ini, namun hal itu juga sampai saat ini belum mendapat hasil yang kami harapkan.36
Bapak AMM selaku Majelis Jemaat pusat yang diwawancarai selepas ibadah
keluarga, mengatakan bahwa :
“... Tidak ada program perkunjungan pastoral yang dibuat. Hanya saja jika ada warga jemaat yang
bermasalah maka akan dibuat sebuah tim untuk melakukan pendekatan agar dapat menemukan
masalah apa yang dihadapi warga jemaat dan mencari solusi sehingga warga jemaat mendapatkan
solusi dari masalah tersebut. Pembentukan tim ini dilakukan pada saat warga jemaat telah pindah
dan bergerja di jemaat lain. Dan ketika mendengar ada warga jemaat yang sakit, jujur saya katakan
bahwa sebanarnya kami (majelis jemaat) tidak langsung pergi mendoakan seperti yang dilakukan
oleh Gereja-Gereja lain. Hanya saja ketika kami diminta untuk mendoakan dan juga saat warga
yang sakit itu adalah keluarga kami maka dengan inisiatif sendiri kami mengunjungi dan
mendoakan warga tersebut.
Bapak TRN yang diwawancarai selepas ibadah minggu di Gereja mengatakan
bahwa:
“... Tidak ada perkunjungan pastoral yang dilakukan oleh Gereja ketika ada masalah dan persoalan
yang dihadapi warga jemaat. Dan saya tidak melihat seorang gembala menjalankan tugasnya untuk
membawa kembali domba yang tersesat. Yang ada malah sebaliknya bahwa gembala kami
mempunyai prinsip yaitu membiarkan warga jemaat pindah karena ia percaya bahwa suatu saat
mereka akan sadar dan kembali. Prinsip seperti inilah yang akhirnya membuat banyak warga
jemaat merasa tidak di perhatikan dan beralih ke denominasi Gereja lain. Kadang saya merasa
pelayanan yang dilakukan pilih kasih, karena jika pelayanan dilakukan kepada warga kaya atau
orang-orang yang berkedudukan maka pelayanan tersebut akan di pimpin langsung oleh pendeta
sedangkan jika pelayanan kepada kami warga yang biasa-biasa saja maka pemimpin ibadah akan
diwakilkan kepada majelis jemaat.37
Bapak HH yang dimintai tanggapannya selaku warga jemaat yang tidak pindah,
yang diwawancarai secara terspisah mengatakan:
“... selama saya bergereja di GKS Nggongi ini, saya tidak pernah menemukan atau melihat apa
yang dinamakan perkunjungan pastoral itu. saya sangat berharap kedepannya harus ada pogram
perkunjungan pastoral agar dapat mengurangi perpindahan jemaat yang ada dan juga mampu
menjawab apa yang menjadi pergumulan warga jemaat. Karena menurut pengamatan saya selama
ini ketika ada permasalahan yang dialami oleh warga jemaat baik itu yang sakit, masalah
pemberkatan nikah, baptisan dan masalah-masalah lainnya, gereja sangat lamban untuk menangani
masalah-masalah tersebut. Bahkan tidak jarang banyak warga jemaat yang merasa tidak di
perhatikan oleh Gereja, sehingga ketika beralih ke Gereja lain dan mendapat perhatian khusus dari
Gereja tersebut, mereka (yang pindah) merasa nyaman. Hal inilah yang membuat saya sangat
prihatin dan merasa sangat perlu adanya program pendampingan pastoral di Gereja saya.38
36
Wawancara, bapak K M D selaku kaum Awam cabang Lalindi, selasa 11 september 2012, pukul 16.00 di
rumah 37
Wawancara, Minggu 9 selaku warga yang tidak pindah Gerejaseptember, pukul 12.00 di Gereja 38
Wawancara H H warga jemaat yang tidak pindah , Minggu 9 september, pukul 12.00 di Gereja
46
Analisa
Berdasarkan ungkapakan para responden diatas (Pendeta, Diaken, Kaum Awam, dan
beberapa anggota warga jemaat), maka peneliti dapat meringkas dan menemukan dua poin
penting yang bisa dijadikan kesimpulan sementara. Kedua poin yang dimaksud itu adalah
pertama, terlepas dari tidak adanya program perkunjungan atau pendampingan pastoral yang
tidak dibuat, ternyata perkunjungan yang dilakukan oleh majelis jemaat dapat berjalan jika
diminta oleh warga jemaat. Kedua, tidak hanya warga jemaat yang telah pindah gereja saja
yang merasakan bahwa pelayanan perkunjungan pastoral tidak dilakukan dengan sunguh-
sungguh, akan tetapi warga jemaat yang tidak pindah pun merasakan hal yang sama, sehingga
pengaruhnya sangat besar bagi setiap warga jemaat yang mengalami masalah-masalah baik
dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan rumah tangga mereka. Perlu diketahui bahwa
peneliti memakai istilah perkunjungan pastoral karena jemaat GKS Nggongi sangat akrab
dengan istilah tersebut dan mereka lebih memahami ketika pendampingan pastoral di sebut
sebagai perkunjungan pastoral.
Pendampingan pastoral merupakan cara yang harus digunakan untuk melakukan
resolusi konflik dalam gereja. Pendekatan yang diberikan biasanya dari pihak gereja dengan
tujuan supaya pihak yang berkonflik dapat menyalurkan masalah yang sedang dihadapi dan
bersedia dibimbing untuk mencapai penyelesaian. Pendampingan tidak hanya sekedar
meringankan beban penderitaan, tetapi menempatkan orang dalam relasi dengan Allah dan
sesama, dalam pengertian menumbuhkan dan mengutuhkan orang dalam kehidupan
spritualnya untuk membangun dan membina hubungan dengan sesamanya, mengalami
penyembuhan dan pertumbuhan serta memulihkan orang dalam hubungan dengan Allah.39
Hal ini tidak terlihat dalam Gereja GKS Nggongi. Pendampingan pastoral menurut Clinebell
menjadi suatu jawaban terhadap kebutuhan setiap orang akan kehangatan, perhatian penuh,
39
J.Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral, (Salatiga: Tisara Grafika, 2007) hal 4
47
dukungan, dan pendampingan.40
Pelaksanaan pendampingan pastoral di jemaat GKS
Nggongi sangatlah memprihantinkan karena tidak sesuai dengan yang seharusnya.
Warga jemaat GKS Nggongi membutuhkan kehadiran seorang gembala dan juga
majelis jemaat dalam setiap pergumulan hidup mereka. Jadi sangat tepat usulan
Wiryasaputra, yang mengungkapkan :
“...Ketika berada bersama dengan mereka yang sedang bergumul, dengan persoalan hidup berarti kita
sebagai pendamping harus berkonsentrasi pada keunikan individu yang berada di hadapan kita, yang
tidak bisa digantikan oleh siapapun. Kehadiran dan kepedulian kita dapat meyakinkan mereka bahwa
mereka tidak sendirian, sehingga tercipta relasi yang hangat, baik dan ramah. Dan dengan demikian
maka akan tumbuh rasa saling percaya antara kita dengan mereka yang sedang bergumul tersebut.
Dengan kata lain dapat di artikan bahwa, sepanjang ada komunitas maka keberadaan seseorang akan
selalu dinantikan demi sebuah sentuhan manusiawi, bagi mereka yang mengalami Krisis
Kehidupan.41
Jemaat GKS Nggongi sebenarnya membutuhkan konseling pastoral terutama fungi-
fungsi pastoral. Bila fungsi-fungsi pastoral di urai dapat di indentifikasi sesuai dengan
pendapat Clebsch dan Jaekle42
didalam bukunya yang berjudul Pastoral Care in Historical
Perspective. Penjabarannya sebagai berikut :
1. Penyembuhan adalah salah satu fungsi pastoral yang bertujuan untuk mengatasi beberapa
kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan dan menuntun dia
ke arah yang lebih baik daripada kondisi sebelumnya. Kita perlu mengerti bahwa kasih
sayang dan perhatian juga dapat menyembuhkan. Tentulah hal ini bukan dalam
pengertian secara fisik, akan tetapi dalam segi mental dan spritual. Jikalau pendamping
sungguh-sungguh mendengarkan keluhan dari mereka yang bermasalah maka akan
mempercepat kesembuhan secara emosional. Dalam konteks GKS Nggongi sangat
membutuhkan penyembuhan karena dari konflik yang selama ini terjadi dalam kehidupan
jemaat telah menimbulkan rasa sakit hati dan kekecewaan yang luar biasa bagi jemaat.
40
Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Kanasius, 2002) hal
59
41
Totok S. Wiryasaputra, Pendampingan Pastoral Orang Sakit, (Yogyakarta: Pusat Pastoral, 2004) hal 5 42
Ibid, hal. 10
48
Oleh karena itu warga jemaat GKS Nggongi perlu di bantu untuk menyembuhkan rasa
kecewa dan sakit hati yang ada sehingga mereka bisa berdamai dengan keadaan yang ada
serta mampu menyelesaikan konflik yang ada.
2. Penopangan berarti, menolong orang yang “terluka” untuk bertahan dan melewati suatu
keadaan yang terjadi pada waktu lampau, yang didalamnya pemulihan kepada kondisi
semula atau penyembuhan dari penyakitnya tidak mungkin atau tipis kemungkinannya.
Bila dikaitkan dengan kenyataan yang ada di jemaat GKS Nggongi maka warga jemaat
belum membutuhkan penopangan karena masalah tersebut masih dalam konteks. Jika
warga jemaat telah menemukan solusi dari konflik yang ada maka dibutuhkan sebuah
penopangan sehingga warga jemaat bisa melewati masalah demi masalah yang ada
dengan tegar.
3. Pembimbingan berarti membantu orang-orang yang kebingungan untuk menentukan
pilihan-pilihan yang pasti diantara berbagai pikiran dan tindakan alternatif, jika pilihan-
pilihan demikian dipandang sebagai yang mempengaruhi keadaan jiwanya sekarang dan
yang akan datang. Ketika seseorang berada dalam kebingungan, mereka biasanya sulit
untuk berpikir dengan baik. Hal ini sangat mempengaruhi seseorang dalam mengambil
sebuah keputusan. Disaat inilah seorang pendamping hadir untuk membantu orang yang
berada dalam kebingungan mengambil keputusan yang jelas yang dipandang
mempengaruhi keadaan jiwa mereka sekarang dan pada waktu yang akan datang. Dalam
konteks GKS Nggongi warga jemaat perlu di bimbing karena mereka masih butuh
bimbingan dalam mengambil keputusan. Agar keputusan yang di ambil warga jemaat
merupakan keputusan yang benar dan tepat dalam menghadapi masalah dan konflik yang
ada.
4. Pendamaian berupaya membangun ulang relasi manusia dengan sesamanya, dan antara
manusia dengan Allah. Secara tradisi sejarah, pendamaian menggunakan dua bentuk,
49
pengampunan dan displin Gereja, tentunya dengan didahului oleh pengakuan. Dalam
konteks GKS Nggongi sangat penting suatu pendamaian karena dalam kehidupan jemaat
terdapat banyak konflik yang terjadi sehingga warga jemaat perlu didamaikan dengan
Allah, dengan diri sendiri dan dengan lingkungannya. Dengan demikian warga jemaat
dapat menyelesaikan konflik yang ada dengan sebuah pengambilan keputusan yang
benar.
Bila di kaji, GKS Nggongi saat ini sangat membutuhkan penyembuhan karena
konflik yang ada selama ini disebabkan oleh sakit hati dan kekecewaan warga jemaat
terhadap pelayanan yang dilakukan oleh gereja, karena itu sangatlah dibutuhkan
penyembuhan dan pemulihan dari rasa kecewa dan sakit hati tersebut sehingga warga jemaat
dapat berdamai dengan diri sendiri, dengan Allah dan juga dengan lingkungan yang ada.
Maka setiap konflik yang ada dapat di selesaikaan dengan baik tanpa adanya sebuah
perpecahan. Selanjutnya GKS Nggongi membutuhkan bimbingan dengan kata lain setelah
warga jemaat sembuh dan bisa berdamai dengan diri sendiri, Allah dan lingkungannya, maka
perlu warga jemaat dibimbing sehingga dengan adanya bimbingan setiap keputusan yang
akan di ambil dalam penyelesaian konflik tersebut membantu warga jemaat menemukan
solusi yang tepat dari permasalahan tersebut. Akhirnya penopangan dibutuhkan warga jemaat
setelah berhasil melewati penyembuhan, perdamaian dan bimbingan.
Pada dasarnya kehadiran dan kepedulian kita dapat meyakinkan mereka bahwa
mereka tidak sendirian, sehingga tercipta relasi yang hangat, baik dan ramah. Dengan
demikian maka akan tumbuh rasa saling percaya antara kita dengan mereka yang sedang
bergumul tersebut. Dengan kata lain dapat di artikan bahwa, sepanjang ada komunitas maka
keberadaan seseorang akan selalu dinantikan demi sebuah sentuhan manusiawi, bagi mereka
yang mengalami Krisis Kehidupan.43
43
Totok S. Wiryasaputra, Pendampingan Pastoral Orang Sakit, (Yogyakarta: Pusat Pastoral, 2004) hal 5
50
Rangkuman
Seorang gembala dapat menjadi penyembuh bagi warga jemaatnya untuk kembali
pada keutuhan dan menuntun mereka kearah yang lebih baik dari pada kondisi sebelumnya.
Juga menolong warga jemaat yang mengalami persoalan untuk bertahan dan melewati
persoalan yang mereka hadapi, serta bisa menjadi pendamai bagi warga jemaat yang
memiliki konflik dengan sesama maupun dengan disiplin gereja melalui pengakuan. Dengan
demikian warga jemaat tidak lagi merasa bahwa hanya mereka sendiri yang menanggung
persoalan tersebut akan tetapi ada yang selalu mendampingi dan menopang mereka.
Menurut peneliti dengan menerapkan fungsi pastoral seperti diatas maka konflik yang
ada dalam tubuh jemaat GKS Nggongi dapat terselesaikan dengan baik dan menyatukan
kembali jemaat yang telah pindah. Perlu di perhatikan bagi seorang pelayan ialah ketekunan
melakukan tugas dan panggilan sebagai seorang hamba dan Pelayan Tuhan, agar apa yang
telah menjadi janji dan sumpah di hadapan Tuhan dan jemaat dapat dilaksanakan dengan
baik. Perlunya kepekaan terhadap persoalan yang dialami oleh warga jemaat sehingga
masalah yang ada tidak dibiarkan berlarut-larut akan tetapi di tangani dengan serius.
Berdasarkan masalah yang dipaparkan diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa
pendampingan pastoral sangat dibutuhkan dalam kehidupan bergereja, karena dengan adanya
pendampingan pastoral maka setiap masalah dan konflik yang terjadi dalam tubuh jemaat
dapat terselesaikan dengan baik. Dibutuhkan pula pekerja-pekerja Gereja yang benar-benar
memahami makna pendampingan pastoral sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan
bergereja dengan tepat dan benar. Dengan adanya pemahaman fungsi pastoral yang baik
maka bisa dikatakan pula bahwa dengan adanya masalah-masalah yang terjadi dalam
kehidupan jemaat tidak lagi menjadi sebuah perpecahan dalam tubuh jemaat melainkan
51
dengan masalah yang muncul dalam tubuh gereja dapat menumbuhkan iman dan
kebersamaan dalam sebuah persekutuan jemaat.