bab ii.doc

48
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan tentang Apotek Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar ela!anan Ke"ar#asian di $potek bah%a $potek adalah suatu te#pat tertentu& te#pat dilakukan peker'aan ke"ar#asian dan pen!aluran sediaan "ar#asi (obat& bahan obat&obat asli Indonesia& alat kesehatan dan kos#etika)& perbekalan kesehatan lainn!a (s bahan selain obat dan peralatan !ang diperlukan untuk #en!elenggarakan up kesehatan) kepada #as!arakat. $potek #ela!ani resep dokter& dokter gigi& he%an& dan dokter lainn!a !ang telah #endapatkan i*in #enurut pe undangan !ang berlaku dala# pelaksanaan tugas sepenuhn!a ada dala# tanggu 'a%ab apoteker dibantu oleh seorang asisten apoteker. $dapun #enurut eraturan e#erintah Republik Indonesia No#or -ahun 200 pasal1& $potek adalahsaranapela!anan ke"ar#asian te#pat dilakukan praktek ke"ar#asian oleh $poteker. ela!anan ke"ar#asian suatupela!anan langsung dan dan bertanggung 'a%ab kepada pasien !ang berkaitan dengan Sediaan ar#asi dengan #aksud #en apai hasil !a untuk #eningkatkan #utu kehidupan pasien. ela!anan ke"ar#asian !ang dilakukan di apotek pada saat ini bergeser orientasin!a dari obat ke pasi #enga u pada pharmaceutical care dengan tu'uan #eningkatkan kualitas hid dari pasien& #eliputi pengenalan& pe#e ahan& dan pen egahan #asal berhubungan dengan obat ( Drug Related Problem). $potek bukanlah sarana distribusi obat !ang han!a #enekankan pada pen!a#paian produk ke konsu#en 5

Upload: diahindirapranegari

Post on 05-Nov-2015

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

54

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bahwa Apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi (obat, bahan obat, obat asli Indonesia, alat kesehatan dan kosmetika), perbekalan kesehatan lainnya (semua bahan selain obat dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan) kepada masyarakat. Apotek melayani resep dokter, dokter gigi, dokter hewan, dan dokter lainnya yang telah mendapatkan izin menurut perundang-undangan yang berlaku dalam pelaksanaan tugas sepenuhnya ada dalam tanggung jawab apoteker dibantu oleh seorang asisten apoteker.

Adapun menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 pasal 1, Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan kefarmasian yang dilakukan di apotek pada saat ini bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu pada pharmaceutical care dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup dari pasien, meliputi pengenalan, pemecahan, dan pencegahan masalah yang berhubungan dengan obat (Drug Related Problem). Apotek bukanlah sarana distribusi obat yang hanya menekankan pada penyampaian produk ke konsumen, tetapi juga menekankan pada penyampaian informasi dan layanan kefarmasian kepada pasien.2.1.1 Persyaratan Mendirikan Apotek

Adapun syarat syarat yang harus dipenuhi dalam mendirikan apotek berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 922 / Menkes / Per / X / 1993 tentang ketentuan dan tata cara pemberian izin Apotek adalah sebagai berikut :

1. Ada izin dari Departemen Kesehatan dan izin berlaku 5 tahun selama apotek yang bersangkutan masih aktif melakukan kegiatan dan Apoteker Pengelola Apotek dapat melaksanakan tugasnya dan masih memenuhi persyaratan.2. Mempunyai gedung atau tempat yang telah memenuhi persyaratan.3. Mempunyai perlengkapan untuk melakukan kegiatan apotek.4. Mempunyai perbekalan kesehatan sesuai dengan peraturan yang berlaku.5. Mempunyai tenaga ahli seperti Apoteker, Asisten Apoteker, Administrasi, dan lain lain.6. Mempunyai akte notaris pendirian yang jelas, perjanjian antara apoteker pengelola dengan pemilik.2.1.2 Tata Cara Pemberian Izin Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/MenKes/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/MenKes/SK/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik Pasal 4 (2) bahwa Menteri Kesehatan melimpahkan wewenang pemberian izin Apotik kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin Apotek sekali setahun kepada Menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Provinsi. Tata cara permohonn izin apotek tidak lagi didasarkan pada Permenkes No.922 tahun 1993, namun telah disesuaikan dengan pasal 7 Kepmenkes No.1332 tahun 2002, yaitu sebagai berikut :

1. Untuk mendapatkan ijin Apotek, Apoteker atau Apoteker yang bekerjasama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain. Permohonan Izin Apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-1, dan melampirkan:

a. Salinan/fotokopi Surat Izin Kerja Apoteker atau SP.b. Salinan/fotokopi Kartu Tanda Penduduk.c. Salinan/fotokopi denah bangunan.d. Surat yang mengatakan status bangunan dalam bentuk akte hak milik/sewa/kontrak.e. Daftar Asisten Apoteker dengan mencantumkan nama, alamat, tanggal lulus dan nomor surat izin kerja.f. Asli dan salinan/fotokopi daftar terperinci alat perlengkapan Apotek.g. Surat pernyataan dari Apoteker Pengelola Apotek bahwa tidak bekerja tetap pada perusahaan farmasi lain dan tidak menjadi Apoteker Pengelola Apotek di Apotek lain.h. Asli dan salinan/fotokopi surat izin atasan bagi pemohon pegawai negeri, anggota ABRI dan pegawai instansi pemerintah lainnya.i. Akte perjanjian kerjasama Apoteker Pengelola Apotek dengan Pemilik Sarana Apotek.j. Surat pernyataan pemilik sarana tidak terlibat pelanggaran peraturan perundangundangan di bidang obat.2. Dengan menggunakan Formulir APT-2, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja, setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan Apotek untuk melakukan kegiatan. Formulir APT-2 ini juga dibuat tembusannya kepada Menteri Kesehatan RI di Jakarta serta satu rangkap untuk arsip Apotek.3. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat dengan menggunakan contoh Formulir APT-3. Formulir APT-3 kemudian dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan dikirim kepada:

a. Kepala Dinas Kesehatan Provinsib. Permohonan satu rangkapc. Satu rangkap arsip.4. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) tidak dilaksanakan, maka Apoteker Pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi setempat dan Menteri Kesehatan RI di Jakarta dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-4.5. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (3), atau pernyataan dimaksud ayat (4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan Surat Izin Apotek dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-5. Formulir APT-5 ini dibuat tembusannya kepada Menteri Kesehatan RI di Jakarta dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat.6. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM dimaksud ayat (3) masih belum memenuhi syarat Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja mengeluarkan Surat Penundaan dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-6 yang juga dibuat tembusannya kepada Menteri Kesehatan RI di Jakarta dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat.7. Terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Penundaan.8. Terhadap permohonan izin Apotek yang ternyata tidak memenuhi persyaratan dimaksud pasal (5) dan atau pasal (6), atau lokasi Apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambatlambatnya 12 (dua belas) hari kerja wajib mengeluarkan Surat Penolakan disertai dengan alasanalasannya dengan mempergunakan contoh Formulir Model APT-7 yang dibuat tembusannya kepada Menteri Kesehatan RI di Jakarta dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat.2.1.3 Tugas dan Fungsi Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar pelayanan kefarmasian di Apotek, tugas dan fungsi apotek adalah:a) Sebagai tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dengan berinteraksi langsung terhadap pasien, meliputi pemberian informasi, monitoring penggunaan obat, serta menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan dalam proses pelayanan.b) Sebagai tempat penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.

2.1.4 Kewajiban ApotekMenurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.244/Menkes/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin, Kewajiban apotek adalah:

1) Apotek wajib dibuka untuk melayani masyarakat mulai pukul 08.00-22.00 (Pasal 14).2) Apotek wajib melayani resep dokter, dokter gigi, dokter hewan yang telah mempunyai izin dimana pelayanan resepnya merupakan tanggung jawab APA sepenuhnya (Pasal 15).3) Apotek wajib melakukan pengelolaan apotek yang meliputi: pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat serta pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan penyerahan perbekalan farmasi lain (Pasal 10).4) Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun (Pasal 18).5) Pelayanan informasi perbekalan farmasi meliputi:

a. Pelayanan informasi obat atau perbekalan lain kepada dokter, tenaga kesehatan dan masyarakat.b. Informasi khasiat, keamanan, bahaya dan mutu obat kepada konsumen agar tidak terjadi penyalahgunaan obat atau alat kesehatan.

(Pasal 11).2.1.5 Lokasi Pendirian Apotek

Dalam Permenkes RI No. 922/Menkes/Per.X/1993 mengenai Paket Deregulasi tentang Apotek, tidak menentukan lagi persyaratan jarak dan izin lokasi Apotek, seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 278/Menkes/SK/V/1981. Pemohon pendirian Apotek bebas memilih lokasi yang diinginkan untuk mendirikan Apotek tanpa perlu persetujuan lokasi terlebih dahulu. Seorang Apoteker harus mempertimbangkan aspek lokasi karena lokasi dapat menentukan kesuksesan sebuah Apotek. Oleh karena itu, Apoteker harus memilih lokasi yang tepat, kota yang tepat dan posisi yang strategis dalam daerah tersebut. Sebagai dasar pertimbangan, hendaklah diperhitungkan dulu:a. Dekat dengan sumber resep seperti Rumah Sakit, Puskesmas, Poliklinik atau sarana kesehatan yang lain dan praktek dokter.b. Jumlah dan jarak dengan tempat praktek dokter.c. Ada tidaknya Apotek atau toko obat lain di sekitar lokasi yang kita pilih.d. Mudah tidaknya pasien menjangkau lokasi dan memarkir kendaraannya.e. Jumlah penduduk di sekitar lokasi.f. Keadaan sosial ekonomi rakyat setempat untuk diketahui.2.2 Pengelolaan Apotek

1) Pengelolaan Sumber Daya Manusia

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027/Menkes/SK/IX/2004/15 September 2004, Bab II, sumber daya manusia di Apotek merupakan faktor penting yang menentukan kelangsungan Apotek tersebut. Dalam pengelolaan Apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multi disipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu memberikan pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian disebutkan bahwa pengertian Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.

a. Apoteker Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian merupakan pendidikan profesi setelah sarjana farmasi. Pendidikan profesi Apoteker hanya dapat dilakukan pada perguruan tinggi sesuai peraturan perundang-undangan. Standar pendidikan profesi Apoteker terdiri atas:

a. komponen kemampuan akademik; dan

b. kemampuan profesi dalam mengaplikasikan Pekerjaan Kefarmasian.

Standar pendidikan profesi Apoteker disusun dan diusulkan oleh Asosiasi di bidang pendidikan farmasi dan ditetapkan oleh Menteri. Peserta pendidikan profesi Apoteker yang telah lulus pendidikan profesi Apoteker berhak memperoleh ijazah Apoteker dari perguruan tinggi.

Setiap Tenaga Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi. Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud diperuntukkan bagi Apoteker berupa STRA (Surat Tanda Registrasi Apoteker). Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan:

a) memiliki ijazah Apoteker;

b) memiliki sertifikat kompetensi profesi;

c) mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;

d) mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik; dan

e) membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.STRA berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun apabila memenuhi syarat sebagaimana dimaksud diatas.

Berdasarkan PerMenKes RI No.889 Tahun 2011 tentang Registrasi, Izin Kerja dan Izin Praktek Tenaga Kefarmasian bahwa Surat Izin Praktik Apoteker, yang selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan praktik kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian. Surat Izin Kerja Apoteker, yang selanjutnya disebut SIKA adalah surat izin praktik yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas produksi atau fasilitas distribusi atau penyaluran.

Tata Cara Memperoleh SIPA dan SIKA menurut PerMenKes RI No.889 Tahun 2011 tentang Registrasi, Izin Kerja dan Izin Praktek Tenaga Kefarmasian adalah:

(1) Untuk memperoleh SIPA atau SIKA, Apoteker mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilaksanakan.

(2) Permohonan SIPA atau SIKA harus melampirkan:

a. fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN;

b. surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau surat keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan fasilitas produksi atau distribusi/penyaluran;

c. surat rekomendasi dari organisasi profesi; dan

d. pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4 sebanyak 2 (dua) lembar;

(3) Dalam mengajukan permohonan SIPA sebagai Apoteker pendamping harus dinyatakan secara tegas permintaan SIPA untuk tempat pekerjaan kefarmasian pertama, kedua, atau ketiga.

(4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIPA atau SIKA paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap.b. Tenaga Teknis Kefarmasian

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian bahwa setiap Tenaga Kefarmasian bahwa Tenaga Teknis kefarmasian sebagaimana dimaksud terdiri dari Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.

Standar pendidikan Tenaga Teknis Kefarmasian harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pendidikan. Peserta didik Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana dimaksud, untuk dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian harus memiliki ijazah dari institusi pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan. Untuk dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian sebagaimana dimaksud, peserta didik yang telah memiliki ijazah wajib memperoleh rekomendasi dari Apoteker yang memiliki STRA di tempat yang bersangkutan bekerja. Ijazah dan rekomendasi wajib diserahkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk memperoleh izin kerja.

Tata Cara Memperoleh SIPA dan SIKA menurut PerMenKes RI No.889 Tahun 2011 tentang Registrasi, Izin Kerja dan Izin Praktek Tenaga Kefarmasian, Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian, yang selanjutnya disingkat STRTTK adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah diregistrasi. Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian, yang selanjutnya disebut SIKTTK adalah surat izin praktik yang diberikan kepada Tenaga Teknis Kefarmasian untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.

Untuk memperoleh STRTTK, Tenaga Teknis Kefarmasian harus memenuhi persyaratan:

a. memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya;

b. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik;

c. memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki STRA, atau pimpinan institusi pendidikan lulusan, atau organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan

d. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika kefarmasian.Untuk memperoleh STRTTK, Tenaga Teknis Kefarmasian harus mengajukan permohonan kepada kepala dinas kesehatan provinsi. Surat permohonan STRTTK harus melampirkan:

a. fotokopi ijazah Sarjana Farmasi atau Ahli Madya Farmasi atau Analis Farmasi atau Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker;

b. surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik;c. surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika kefarmasian;d. surat rekomendasi kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki STRA, atau pimpinan institusi pendidikan lulusan, atau organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dane. pas foto terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan ukuran 2 x 3 cm sebanyak 2 (dua) lembar.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi harus menerbitkan STRTTK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap.

Tata cara memperoleh SIKTTK:

(1) Untuk memperoleh SIKTTK, Tenaga Teknis Kefarmasian mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian.

(2) Permohonan SIKTTK harus melampirkan:

a. fotokopi STRTTK;

b. surat pernyataan Apoteker atau pimpinan tempat pemohon melaksanakan pekerjaan kefarmasian;

c. surat rekomendasi dari organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan

d. pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4 sebanyak 2 (dua) lembar.

(3) Dalam mengajukan permohonan SIKTTK harus dinyatakan secara tegas permintaan SIKTTK untuk tempat pekerjaan kefarmasian pertama, kedua, atau ketiga.

(4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIKTTK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap.Adapun tugas dan kewajiban seorang Tenaga Teknis Kefarmasian berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/MENKES/SK/X/2002) adalah:a) Melayani masyarakat di bidang kesehatan mulai dari penerimaan resep sampai menyerahkan obat yang diperlukan, baik pelayanan langsung maupun melalui telepon/faximile.

b) Memeriksa kelengkapan dan kebenaran resep, meracik resep, memberi etiket, salinan resep dan bila perlu kuitansi.

c) Mengatur dan mengawasi kelengkapan obat-obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat, mengontrol barang di gudang dan menuliskan permintaan barang pada buku defecta. Apabila obat habis maka harus dengan segera dipesan.d) Menyusun obat-obat dan mencatat serta memeriksa keluar masuknya obat dengan menggunakan kartu stok. e) Memelihara kebersihan ruangan Apotek beserta alat-alatnya, lemari obat serta obat-obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat, agar lingkungan Apotek tetap higienis dan indah untuk dipandang.f) Mengatur dan mengawasi penyimpanan obat-obatan berdasarkan syarat teknis farmasi agar mudah dijangkau dan diawasi untuk kecepatan dan ketepatan dalam pelayanan.g) Mengerjakan pembuatan sediaan obat sehari-hari menyangkut peracikan obat, pengemasan obat, penulisan etiket dan pembuatan salinan resep.h) Memeriksa kembali resep-resep yang telah dilayani dan nota-nota penjualan obat bebas serta laporan-laporan obat yang harus ditandatanagani oleh APA.i) Menyusun dan merapikan obat-obatan berdasarkan penggolongannya.j) Mengatur daftar giliran dinas, pembagian tugas dan tanggung jawab.k) Menuliskan dan menyerahkan surat pemesanan kepada PBF yang sebelumnya telah mendapatkan persetujuan dan ditandatangani oleh Apoteker.c. Juru Resep

Tugas dari juru resep adalah:

i. Membantu asisten apoteker dalam menyiapkan obat.

ii. Membantu dalam peracikan obat.

d. Tenaga Administrasi

Tugas dari tenaga administrasi adalah:

i. Mencatat pembelian tunai dan kredit.

ii. Mencatat penjualan tunai dan kredit.

iii. Membukukan penagihan penjualan kredit.

iv. Membantu tugas asisten apoteker dalam pengarsipan resep.

v. Membukukan faktur pembelian dan faktur penjualan.e. Kasir

Tugas kasir adalah:

i. Bertanggung jawab atas masuk keluarnya uang apotek.

ii. Mencatat jumlah pendapatan apotek setiap hari.

f. Bagian Umum

Tugas dari bagian umum adalah:

i. Bertanggung jawab atas kebersihan apotek.

ii. Mengantarkan obat ke alamat pasien bagi apotek yang menawarkan jasa antar obat ke rumah pasien.2) Pengelolaan Sarana dan Prasarana

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar pelayanan kefarmasian di Apotek, Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan.

Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling.(1) Bangunan Apotek

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/ Menkes/SK/X/2002 diatur tentang persyaratan bangunan Apotek sebagai berikut:

1. Sarana Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan dan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi.2. Bangunan Apotek sekurang-kurangnya memiliki ruangan khusus untuk:a. Ruang tunggu

b. Ruang peracikan dan penyerahan resep

c. Ruangan administrasi dan kamar kerja Apoteker

d. Ruang tempat pencucian alat dan kamar mandi atau WC

Bangunan Apotek harus memenuhi syarat:

a. Luas bangunan harus disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan kefarmasian.

b. Dinding harus kuat dan tahan air, permukaan sebelah dalam harus rata, tidak mudah mengelupas dan mudah dibersihkan.

c. Langit-langit harus terbuat dari bahan yang tidak mudah rusak dan permukaan sebelah dalam harus berwarna terang.

d. Atap tidak boleh bocor.

e. Lantai tidak boleh lembab.3. Kelengkapan bangunan calon Apotek yaitu:

a. Sumber air harus memenuhi persyaratan kesehatan.b. Penerangan harus cukup terang sehingga dapat menjamin pelaksanaan tugas dan fungsi Apotek.c. Alat pemadam kebakaran harus berfungsi dengan baik sekurang-kurangnya 2 buah.d. Ventilasi yang baik serta memenuhi persyaratan hygiene lainnya.e. Sanitasi harus baik serta memenuhi persyaratan hygiene lainnya.4. Papan nama

a) Berukuran minimal:

Panjang

: 60 cm Lebar

: 40 cm Tebal

: 5 cmb) Dengan tulisan:

Hitam di atas dasar putih

Tinggi huruf minimal: 5 cm

Tebal huruf

: 5 cm

Biasanya berisi nama Apotek, nama APA, Nomor SIK, Nomor SIA, alamat serta nomor telepon Apotek dan waktu praktek atau jam kerja.(2) Perlengkapan Apotek

Perlengkapan Apotek adalah semua peralatan yang dipergunakan untuk melaksanakan pengelolaan Apotek. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332/Menkes/SK/X/2002 maka persyaratan perlengkapan Apotek sebagai berikut:1. Alat pembuatan, pengolahan dan peracikan terdiri dari:

a. Timbangan miligram dengan anak timbangan yang sudah ditara minimal 1 set.b. Timbangan gram dengan anak timbangan yang sudah ditara minimal 1 set.c. Perlengkapan lain disesuaikan dengan kebutuhan seperti, alat-alat gelas laboratorium, mortir beserta stamper dan sudip, sendok tanduk/porselen, ayakan, spatel logam/tanduk/plastik, kompor atau alat pemanas yang sesuai dan rak tempat pengeringan alat.

2. Perlengkapan dan alat perbekalan farmasi terdiri dari:

a. Lemari dan rak untuk penyimpanan obat dengan jumlah sesuai kebutuhan.b. Lemari pendingin minimal 1 buah.c. Lemari penyimpanan narkotika dan psikotropika dengan jumlah sesuai kebutuhan.Berdasarkan Permenkes No.28/Menkes/Per/1978 Bab II pasal 5 ayat 2 tentang penyimpanan narkotika, disebutkan bahwa tempat khusus untuk penyimpanan narkotika harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat.b. Harus mempunyai kunci yang kuat.c. Dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan, bagian pertama digunakan untuk penyimpanan morfin, petidin dan garam-garamnya serta penyediaan narkotika, bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari.d. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40 x 80 x 100 cm, maka lemari tersebut harus dibuat menempel pada tembok atau lantai.

e. Lemari khusus tersebut tidak dipergunakan untuk menyimpan barang lain selain narkotika dan harus di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum. Anak kuncinya harus dikuasai oleh penanggung jawab atau pegawai lain yang dikuasakan.

c) Wadah pengemas dan pembungkus yang terdiri dari:

a. Etiket dengan ukuran, jenis dan jumlah sesuai dengan kebutuhan.

b. Wadah pengemas dan pembungkus untuk penyerahan obat sesuai dengan jenis, ukuran dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan.

d) Alat administrasi, terdiri dari:a. Blanko pesanan obat

b. Blanko kartu stok obat

c. Blanko salinan resep

d. Blanko faktur dan blanko nota penjualan

e. Buku pencatatan penggunaan narkotika dan psikotropika

f. Blanko pesanan obat narkotika dan psikotropika

g. Form laporan obat narkotika dan psikotropika

e) Buku standar yang diwajibkan adalah :

a. Farmakope Indonesia Edisi terbaru 1 buah. b. Kumpulan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

Apotek.

c. Buku-buku pendukung kegiatan Apotek lainnya, yaitu MIMS, ISO edisi terbaru 1 buah.3. Ruangan dan Penataan Apotek

Tata ruang Apotek sangat berpengaruh terhadap kenyamanan melayani resep, waktu pelayanan resep di mana secara keseluruhannya berdampak pada kemajuan Apotek tersebut. Ruangan Apotek harus diatur sedemikian rupa agar memudahkan dalam pelayanan, tidak membatasi ruang gerak sehingga pelaksanaan kegiatan di Apotek dapat berjalan dengan baik.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MenKes/SK/IX/2004/15

September 2004, Apotek harus memiliki :

1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.

2. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi informasi.3. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien.4. Ruang racikan.5. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien.Selain hal tersebut di atas, ruangan lain yang ada di Apotek adalah:

1. Ruang tempat cuci alat.

2. WC/kamar kecil.

3. Gudang.

3) Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya(1) Perencanaan

Dalam melakukan perencanaan pengadaan sesuai dengan KepMenkes No. 1027 tahun 2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek perlu dipehatikan hal-hal berikut:

a. pola penyakit yang sering timbul dimasyarakat sekitar apotek, sehingga dapat dipenuhi kebutuhan mesyarakat terkait obat-obatan untuk penyakit tersebut.

b. Tingkat perekonomian masyarakat. Jika apotek berada pada lingkungan ekonomi menengah kebawah, maka apotek perlu menyediakan obat-obatan dengan harga terjangkau misalnya dengan menyediakan obat-obat generik.

c. Budaya masyarakat , dimana pandangan masyarakat terhadap obat, pabrik obat, bahkan iklan dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan obat khususnya untuk obat-obatan tanpa resep dokter.

Adapun beberapa analisa yang yang digunakan sebagai dasar perencanaan mengelola persediaan antara lain:1. Analisis ABC

Analisa ABC merupakan analisa yang digunakan untuk melakukan pengendalian terhadap persediaaan, pengaturan, penyimpanan, dan pengawasan. Analisa ini memiliki keuntungan yaitu mengendalikan barang yang selektif, misalnya jumlah jenis barang yang sedikit tetapi memiliki nilai yang besar. Dengan jumlah obat-obatan yang termasuk golongan A dapat dikatakan sudah melakukan pengendalian yang membawa hasil yang besar terhadap persediaan dalam waktu yang singkat. Barang-barang yang kecil dan murah tidak perlu dilakukan pengawasan secara ketat karena nantinya biaya pengawasan akan lebih besar dibanding nilai barang. Sedangkan untuk obat-obatan yang memeilki nilai yang besar perlu dilakukan pengawasan walaupun jumlah barangnya sedikit ( hukum pareto). Dala penerapan anilisa ini, apotek dapat melakukan klasifikasi pemakaian kelompok A, B, C, yaitu:

a. Pareto A merupakan barang/obat-obatan dalam jumlah jenis berkisar 20%, tetapi memeliki nilai uang 80% dari investasi total per periode dalam persediaan atau pemakian. Golongan ini merupakan obat-obat yang mahal.b. Pareto B merupakan barang/obat-obatan dalam jumlah jenis 30%-40% dengan nilai uang 10%-30% dari investasi total per periode dalam persediaan/pemakaian.c. Pareto C merupakan barang/obat-obatan dalam jumlah jenis 50%-70% dengan nilai uang 10%-20% dari investasi total per periode dalam persediaan/pemakaian.Adapun cara-cara untuk melaukan klasifikasi ABC adalah sebagai berikut:

1. Buat daftar obat-obatan yang tersedia diapotek beseta jumlah persediaan dan permintaan per satu periode dan harga satuannya (apabila pembeliannya dilakukan beberapa kali dalam satu periode bisa digunakan harga rata-rata tertimbang, FIFO, FEFO)2. Hitung total harga perjenis obat dengan mengalikan jumlah perjenis dengan harga satuan.3. Jenis obat diurutkan kembali berdasarkan total nilai uang per jenis barang mulai dari yang tertinggi dan seterusnya. 4. Beri nomor urut baru 5. Hitung jumlah kumulatif dan persen kumulatif dari item barang dan nilainya. Selanjutnya kelompokkan sesuai ketentuan klasifikasi ABC.

1. Analisis Penjualan Bandingkan dengan kenyataan, lalu melakukan rencana pengadaan, dan tentukan stock level dari barang yang laku.

2. Analisis Konsumen terhadap ProdukMengevaluasi kinerja produk dari suplayer, meliputi: reputasi suplayer, ketepatan waktu kirim, kualitas barang, sales history, bantuan kegiatan promosi, peluang menaikkan harga.(2) Pengadaan

Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti apotek memperoleh obat dari PBF atau apotek lain dalam keadaan tertentu.(3) Penyimpanan

Di dalam penyimpanan, obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan tanggal kadaluarsa. Selain hal tersebut, semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan.Bagan ringkas pengelolaan barang apotek :

4) Pengelolaan Administrasi

Berdasarkan Keputusan Menteri KesehatanNomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar pelayanan kefarmasian di Apotek, Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di Apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi administrasi umum dan administrasi pelayanan. Administrasi umum meliputi: pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Administrasi pelayanan meliputi: pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.2.3 Pelayanan Resep

Pelayanan di apotek Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1027/MENKES/SK/IX/2004 Bab III, meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

2.3.1.Pelayanan Resep1. Skrining resep, meliputi:a.Persyaratan Administratif

i. Nama, SIP dan alamat dokter

ii. Tanggal penulisan resep

iii. Tanda tangan/paraf dokter penulis resep

iv. Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien

v. Cara pemakaian yang jelas

vi. Informasi lainnya

b.Kesesuaian farmasetik (Farmakodinamika) : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

c.Pertimbangan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian, (dosis, durasi, jumlah obat, dan lain-lain).

Adapun menurut Ernst Mutschler dalam buku Dinamika Obat berdasarkan :

1. Farmakokinetika :a. Jalan masuk obat

b. Disolusi obat

c. Distribusi obat

d. Metabolisme obat

e. Sekresi dan Ekskresi obat

2. Stabilitas obat

3. Efek samping

4. Interaksi obatd. Drug Related Problem (DRP)

Menurut Cipolle, RJ., LM Strand, PC Morley dalam buku Pharmaceutical Care Practice dan Strand, LM., PC Morley, RJ Cipolle dalam Drug-related Problems: Their structure and function. DICP Ann Pharmacother 1990; 24:1093-1097 menyatakan bahwa Drug Related Problems (DRP) atau Drug Therapy Problems (DTP) didefinisikan sebagai kejadian tidak diinginkan yang menimpa pasien yang berhubungan dengan terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh terhadap perkembangan pasien yang diinginkan.

Suatu kejadian dapat disebut DRP bila memenuhi dua komponen berikut:

i. Kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien.

Kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosis, penyakit, ketidakmampuan (disability), atau sindrom; dapat merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultural, atau ekonomi.

ii. Ada hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat.

Bentuknya hubungan ini dapat berupa konsekuensi dari terapi obat, maupun kejadian yang memerlukan terapi obat sebagai solusi maupun preventif.Sebagai pengemban tugas pelayanan kefarmasian, seorang farmasis memiliki tanggung jawab terhadap adanya DRP yaitu dalam hal:1. Mengidentifikasi masalah,2. Menyelesaikan masalah, dan

3. Melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya DRP DRP dapat diklasifikasikan berdasarkan hubungannya dengan hal-hal yang menjadi pokok perhatian dan harapan pasien sebagai berikut: 1. Indikasi

a. Pasien memerlukan obat tambahan.b. Pasien menerima obat yang tidak diperlukan.

2. Efektivitas

a. Pasien menerima obat yang salah.

b. Pasien menerima obat yang benar tetapi dosisnya terlalu rendah.

3. Keamanan

a. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan.

b. Pasien menerima dosis yang terlalu tinggi.

4. Kepatuhan

a. Pasien tidak patuh terhadap regimen pengobatan.2. Penyiapan obatMenurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1027/MENKES/SK/IX/2004 Bab III sebagai berikut:a. Peracikan

Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket obat yang benar.

b. Etiket

Etiket harus jelas dan dapat dibaca.

c. Kemasan obat yang diserahkan

Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.

d. Penyerahan obat

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh Apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.

e. Informasi obat

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya, meliputi: cara pakai obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas yang harus dihindari selama terapi, makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

f. Konseling

Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya, Apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.

g. Monitoring penggunaan obat

Setelah penyerahan obat kepada pasien, Apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya.

2.3.2.Promosi dan Edukasi

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.

2.3.3.Pelayanan Residensial (Home care)Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication report).2.4 KIE (KOMUNIKASI, INFORMASI, EDUKASI)

2.4.1. Pengertian KIE

Pelayanan KIE merupakan kegiatan pelayanan apotek yang harus dilakukan oleh Apoteker. KIE merupakan suatu rangkaian kegiatan komunikasi antara Apoteker dengan pasien, pemberian informasi yang penting tentang obat dan cara penggunaan obat, pemberian edukasi untuk obat-obat tertentu.

Komunikasi dengan pasien dilakukan dengan menggunakan bahasa yang jelas, sederhana dan mudah dimengerti oleh pasien. Informasi obat yang diberikan pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi, dan efek samping obat yang perlu diketahui.

KIE perlu diberikan karena penggunaan obat di masyarakat semakin meluas seiring dengan semakin banyaknya jumlah obat yang diproduksi oleh industri farmasi, biaya pengobatan yang semakin mahal, kurangnya informasi mengenai obat dan semakin gencarnya promosi obat di berbagai media dapat mendorong seseorang untuk melakukan pengobatan sendiri (self medication) menyebabkan semakin pentingnya peran apoteker untuk melakukan komunikasi, memberi informasi, dan edukasi kepada pasien agar pasien tidak salah memilih obat dan dapat menggunakan obat yang benar.2.4.2. Alasan Pemberian KIEAlasan KIE diberikan pada pasien adalah:

a. Adanya respon / tanggapan yang tidak sama oleh pasien terhadap :

i. Obat dan kesehatan

ii. Informasi (lisan dan tulisan)

b. Pengaruh informasi terhadap pengetahuan pasien yaitu dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan dan hasil terapeutik.

2.4.3. Tujuan Pemberian KIE

1. Memaksimalkan efek terapeutik, yang mencakup:

a. Ketepatan indikasi

b. Ketepatan pemilihan obat

c. Ketepatan pengolahan dosis sesuai dengan kebutuhan kondisi pasien

2.Meminimalkan resiko

a.Memastikan resiko yang sekecil mungkin bagi pasien.

b.Meminimalkan masalah ketidakamanan pemakaian obat meliputi efek samping, dosis, interaksi dan kontra indikasi.

3.Meminimalkan biaya

Pemilihan obat yang rasional dan sesuai dengan kemampuan pasien.

4.Menghormati pasien

a.Keterlibatan pasien dalam setiap proses pengobatan ikut menentukan keberhasilan terapi.

b.Hak pasien harus diakui dan diterima semua pihak.

c.Kerahasiaan pasien senantiasa dijaga.2.4.4. Manfaat Pemberian KIE

KIE yang diberikan dapat bermanfaat bagi pasien maupun apoteker itu sendiri sebagai farmasis.

a. Bagi Pasien :i. Meningkatkan kepatuhan pasienii. Menurunkan kecemasan pasieniii. Meningkatkan kepuasan pasieniv. Meningkatkan tercapainya hasil terapi yang optimalv. Menghemat biaya pengobatanb. Bagi Apoteker :a. Meningkatkan status/peran apoteker di apotek

b. Memperluas wawasan dan kepatuhannya

c. Meningkatkan citra apoteker

d. Menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap apoteker

e. Meningkatkan kepuasan kerja/kebanggaan diri

f. Lebih banyak pasien mengenal praktek kefarmasian.2.4.5. Peran Farmasis dalam melayani Obat Non Resep

Pelayanan non resep adalah pelayanan terhadap pasien tanpa resep dokter dan biasanya mereka datang berbekal keluhan dan gejala penyakit yang diderita. KIE untuk pelayanan obat non resep dapat digunakan metode WWHAM, dengan tujuan untuk mengumpulkan informasi guna mendapatkan gambaran yang jelas dan lengkap tentang gejala yang dikeluhkan pasien.

Tahapan dalam menanggapi gejala penyakit:

1. Mendengarkan keluhan pasien dan bertanya kepada pasien tentang keluhan tersebut menggunakan metode WWHAM. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan informasi sehingga mendapatkan gambaran lengkap tentang gejala yang dikeluhkan. Penjabaran metode WWHAM adalah sebagai berikut:

a. W = Who the patient? / Siapa Pasiennya?

i. Farmasis harus tanyakan siapa yang sakit, karena yang datang ke apotek belum tentu pasien.

ii. Usia pasien perlu ditanyakan karena berkaitan dengan penentuan dosis dan pemilihan obat. Tidak semua obat dilisensikan untuk anak-anak dan orang tua. Dosis untuk anak-anak , orang dewasa dan geriatri akan berbeda.

iii. Penampilan pasien dapat diguankan sebagai indikator penyakit ringan ataukah gejala penyakit berat. Jika pasien terlihat sangat sakit, pucat, berkeringat sangat banyak maka sebaiknya dirujuk ke dokter.b. W= What are the symptom? / Apa gejalanya?

i. Farmasis harus mendapatkan gambaran lengkap tentang gejala penyakit, tidak hanya menerima self-diagnosis dari pasien. Dilihat apakah gejala tunggal atau ganda.

ii. Perhatikan gejala-gejala yang perlu diwaspadai, jika merupakan indikasi dari suatu masalah yang serius maka segera dirujuk ke dokter

c. H = How long have the symptoms been present? / Berapa lama gejala tersebut muncul?

i. Farmasis harus bertanya sudah berapa lama gejala tersebut terjadi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keparahan dari penyakit tersebut. Jika penyakit ringan biasanya bersifat self-limiting dan harus berakhir dalam beberapa hari. Jika gejala tidak sembuh dalam jangka waktu yang lama maka segera rujuk ke dokter.

ii. Perlu juga diketahui perkembangan kondisi pasien, apakah semakin baik atau semakin buruk. Riwayat dari gejala yang saat ini muncul perlu ditelusuri.

d. A= Action taken : what medicines tried? Tindakan yang telah diambili. Jika pasien sudah pernah ke dokter, maka cek kepatuhan pasien terhadap terapi.

ii. Perlu ditanyakan pada pasien apakah pasien telah menggunakan obat sebelum ke apotek. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya interaksi obat yang potensial terjadi, efek samping obat dan duplikasi obat.e. M= Medication they are taking? Obat apa yang sudah digunakan

i. Ditanyakan obat yang sudah digunakan untuk mengatasi keluhan, meliputi obat bebas / bebas terbatas, obat yang diresepkan, maupun obat tradisional.

ii. Ditanyakan apakah pasien juga minum obat untuk penyakit lain.2. Dalam pengambilan keputusan kita harus berpedoman pada 6 hal yaitu:

a. Gejala terjadi dalam waktu yang lama

b. Gejala yang kambuh atau memburuk

c. Rasa sakit yang sangat

d. Penggunaan satu atau lebih macam obat yang tepat, namun tidak ada perbaikan kondisi pasien

e. Dugaan efek samping obat

f. Gejala yang harus diwaspadai

Jika hal-hal tersebut diatas terjadi, maka segeralah rujuk ke dokter.

3. Pemilihan pengobatan kepada pasien sebaiknya menilai terapi secara obyektif berdasarkan informasi klinis dan ilmiah, track record dari obat tersebut, pengalaman profesional, pilihan dan keinginan pasien, informasi pada pasien sesuaikan dengan kondisi pasien. Pemberian informasi pada pasien meliputi indikasi, efek samping, kontra indikasi, cara penyimpanan, cara penggunaan, dan interaksi obat. Selain pemberian informasi, juga perlu disertai dengan edukasi, misalnya merubah pola hidup pasien seperti: makan teratur, jangan merokok, berolah raga teratur, diet rendah garam, mencuci tangan sebelum makan, istirahat yang cukup, dan sebagainya.

Peran Farmasis dalam Melayani Obat dengan Resep Dokter

Peran farmasis dalam melayani obat dengan resep dokter terkait dengan pemantauan resep (keabsahan resep, DRP) serta penyerahan obat kepada pasien dan konsultasi. Dalam memberikan konsultasi, hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain:

a. Lokasi yang private untuk menjaga kerahasiaan pasien (penyakit dan obatnya)

b. Jarak yang cukup dekat dengan pasien

c. Mendengarkan secara aktif (menunjukkan rasa empati)

d. Bahasa tubuh yang baik, meliputi kontak mata, posisi tubuh dan nada suara.Perbedaan antara konseling dan kosultasi adalah sebagai berikut:

KonselingKonsultasi

Tidak terstrukturTerstruktur

Memberikan pasien apa yang harus dilakukanMenilai kebutuhan pasien

Memberi informasi sebanyak mungkinMemberi informasi sesuai dengan kebutuhan pasien

Tahap-tahap konsultasi yang dilakukan:

1. Pembukaan

a. Mengidentifikasi pasien dengan melakukan pengecekan resep, misalnya:

i. Pasien yang menerima obat dengan penggunaan khusus, seperti obat tetes mata, salep mata, suppositoria.

ii. Pasien yang menerima obat lebih dari 5 (polifarmasi)

iii. Pasien kelompok khusus (anak-anak, wanita hamil, wanita menyusui, lanjut usia).

iv. Pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes mellitus, asma, hipertensi.

b. Berkenalan dengan pasien, dengan bersikap sopan profesional untuk membangun relasi yang baik.2. Pelaksanaan

a. Menjelaskan pada pasien mengapa perlu konsultasi, sehingga pasien mengetahui tujuan diberikan konsultasi.

b. Melakukan konsultasi dengan pendekatan terstruktur.

Resep baru (tiga pertanyaan utama)

i. Apa yang dikatakan dokter tentang kegunaan pengobatan Anda?

ii. Bagaimana yang dikatakan dokter tentang cara pakai obat Anda?

iii. Apa yang dikatakan dokter tentang harapan terhadap pengobatan Anda?Verifikasi akhirPerlu dilakukan untuk sekedar meyakinkan bahwa pasien telah mengerti apa yang telah dijelaskan, dapat bertanya seperti Sekedar untuk meyakinkan supaya tidak ada yang kelupaan, silahkan diulangi bagaimana Anda menggunakan obat Anda.

Resep ulang (tunjukan dan katakan)

a. Gangguan / penyakit apa yang sedang dialami?

b. Kegunaan pengobatan?

c. Bagaimana menggunakannya?

d. Keluhan selama pengobatan?

3. Penutup

a. Mengakhiri interaksi, berterima kasih pada pasien

b. Melakukan dokumentasi

Dokumentasi untuk farmasis : database pasien, resep/obatnya, dan informasi yang diberikan.

Pemberian KIE dalam pelayanan obat resep terutama diberikan kepada penderita dengan kriteria sebgai berikut :

1. Penggunaan lima macam obat atau lebih.

Penggunaan obat lebih dari lima macam pada umumnya digunakan oleh pasien dengan penyakit menahun/kronis

2. Mendapatkah lebih dari 3 masalah pengobatan

Pengobatan pada pasien yang mengidap beberapa penyakit atau penyakit komplikasi perlu mendapat informasi yang tentang penggunaanya. Hal ini dilakukan unutk menghindari adanya efek samping dan interaksi obat yang tidak diinginkan.

3. Obat dengan indeks terapi sempit

Obat-obat yang dengan indeks terapi sempit seperti golongan digitalis, fenitoin, teofilin dan gentamisin sangat perlu untuk mendapatkan KIE. Hal ini disebabkan karena kelebihan dosis akan menyebabkan efek toksik dan sebaliknya jika kekurangan dosis menyebabkan obat tersebut tidak memberikan efek karena kadar obat dibawah rentang terapi.

4. Cara penggunaan obat yang khusus

Cara penggunaan obat khusus seperti penggunaan inhaler, tetes mata, suppositoria, ovula, tablet hisap, dan lain-lain. Hal ini perlu dijelaskan bagaimana cara penggunaannya agar tidak terjadi kesalahan penggunaan sehingga efek terapi optimal tercapai.

5. Obat dengan efek samping yang perlu mendapatkan perhatian khusus

Obat dengan efek samping teretntu perlu dijelaskan pada pasien, dengan tujuan agar pasien mengerti bahwa efek lain yang timbul karena penggunaan tersebut adalah hal yang wajar dan tidak menimbulkan kecemasan bagi pasien.

6. Penderita pediatrik/anak-anak

Penanganan pada kelompok penderita ini harus berhati-hati. Hal ini disebabkan karena tidak semua obat dilisensikan untuk anak-anak dan respon terhadap obat berbeda dengan orang dewasa.

7. Penderita geriatri/lanjut usia

Penggunaan obat pada penderita geriatri memerlukan perhatian khusus. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu:

a. Biasanya kelompok geriatri menderita banyak penyakit dan menerima banyak obat sehingga dalam pemilihan obat kita harus berhati-hati dan perhatikan adanya interaksi obat.

b. Fungsi organ tubuh seperti hepar dan ginjal sudah menurun sehingga pemberian obat harus hati-hati karena berpotensi terjadi akumulasi dalam tubuh.

c. Daya ingat dan penglihatan sudah berkurang, sehingga dalam penyampaian KIE dibutuhkan pemberian catatan tentang informasi obat yang digunakan untuk diserahkan pada keluarganya. Dan juga perlu dilakukan penulisan dengan etiket dengan huruf besar dan terang untuk memudahkan dalam membaca pada pasien geriatri

8. Ibu hamil dan menyusui

Ibu hamil dan menyusui merupakan golongan yang beresiko dalam mengkonsumsi obat. Hal ini disebabkan karena obat dapat mempengaruhi keadaan janin yang dikandung ataupun anak yang disusui oleh ibunya. Jadi harus dipilih obat yang benar-benar telah terbukti keamanannya.9. Penderita penyakit kronis

Pada penderita penyakit kronis seperti diabetes, kolesterol, hipertensi, penbyakit jantung, asma dll yang perlu kita informasikan adalah kepatuhan dalam mengkonsumsi obatnya. Dan juga perlu kita informasikan mengenai gaya hidup (life style) yang harus dijalaninya, misalnya sebagai penderita diabetes untuk mengurangi konsumsi gula, bagi penderita hipertensi untuk mengurangi konsumsi garam, olahraga secara teratur, hindari makanan berlemak dll.

2.5 SOP (STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR)

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 1, Standar Prosedur Operasional adalah prosedur tertulis berupa petunjuk operasional tentang pekerjaan kefarmasian.

Sebagai upaya agar para apoteker pengelola apotek dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian yang profesional, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Adapun tujuan dikeluarkan standar tersebut adalah sebagai pedoman praktek apoteker dalam menjalankan profesi, melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, serta melindungi profesi dalam menjalankan praktek. Contoh prosedur tetap menurut Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SK nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004) antara lain :

PROSEDUR TETAP PENYIMPANAN SEDIAAN FARMASI DAN PERBEKALAN KESEHATAN1. Memeriksa kesesuaian nama dan jumlah sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang tertera pada faktur, kondisi fisik serta tanggal kadaluwarsa.

2. Memberi paraf dan stempel pada faktur penerimaan barang.

3. Menulis tanggal kadaluwarsa sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan pada kartu stok.

4. Menyimpan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan pada rak yang sesuai, secara alfabetis menurut bentuk sediaan danmemperhatikan sistem FIFO (first in first out) maupun FEFO (first expired first out).

5. Memasukkan bahan baku obat ke dalam wadah yang sesuai, memberi etiket yang memuat nama obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.

6. Menyimpan bahan obat pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin stabilitasnya pada rak secara alfabetis.

7. Mengisi kartu stock setiap penambahan dan pengambilan.

8. Menjumlahkan setiap penerimaan dan pengeluaran pada akhir bulan.

9. Menyimpan secara terpisah dan mendokumentasikan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang rusak/kadaluwarsa untuk ditindaklanjuti.PROSEDUR TETAP PEMUSNAHAN SEDIAAN FARMASI DAN PERBEKALAN KESEHATAN1. Melaksanakan inventarisasi terhadap sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang akan dimusnahkan.

2. Menyiapkan administrasi (berupa laporan dan berita acara pemusnahan)

3. Mengkoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada pihak terkait.

4. Menyiapkan tempat pemusnahan.

5. Melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan.

6. Membuat laporan pemusnahan obat dan perbekalan kesehatan, sekurang-kurangnya memuat:

a) Waktu dan tempat pelaksanaan pemusnahan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan.

b) Nama dan jumlah sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan.

c) Nama apoteker pelaksana pemusnahan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan.

d) Nama saksi dalam pelaksanaan pemusnahan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan.

7. Laporan pemusnahan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan ditanda tangani oleh apoteker dan saksi dalam pelaksanaan pemusnahan (berita acara terlampir).

PROSEDUR TETAP PENGELOLAAN RESEP1. Resep asli dikumpulkan berdasarkan tanggal yang sama dan diurutkan sesuai nomor resep.

2. Resep yang berisi narkotika dipisahkan atau digaris bawah dengan tinta merah.

3. Resep yang berisi psikotropika digaris bawah dengan tinta biru.

4. Resep dibendel sesuai dengan kelompoknya.

5. Bendel resep ditulis tanggal, bulan dan tahun yang mudah dibaca dan disimpan di tempat yang telah ditentukan.

6. Penyimpanan bendel resep dilakukan secara berurutan dan teratur sehingga memudahkan untuk penelusuran resep.

7. Resep yang diambil dari bendel pada saat penelusuran harus dikembalikan pada bendel semula tanpa merubah urutan.

8. Resep yang telah disimpan selama lebih dari tiga tahun dapat dimusnahkan sesuai tata cara pemusnahan.

PROSEDUR TETAP PELAYANAN RESEP

A. Skrining Resep

1. Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu nama dokter, nomor ijin praktek, alamat, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf dokter serta nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.

2. Melakukan pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu : bentuk sediaan, dosis, frekuensi, kekuatan, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian obat.

3. Mengkaji aspek klinis yaitu : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat, dan kondisi khusus lainnya). Membuatkan kartu pengobatan pasien (medication record).

4. Mengkonsultasikan ke dokter tentang masalah resep apabila diperlukan.

B. Penyiapan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan

1. Menyiapkan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan sesuai dengan permintaan pada resep.

2. Menghitung kesesuaian dosis dan tidak melebihi dosis maksimum.

3. Mengambil obat dengan menggunakan sarung tangan / alat / spatula / sendok.

4. Menutup kembali wadah obat setelah pengambilan dan mengambalikan ke tempat semula.

5. Meracik obat (timbang, campur, kemas).

6. Mengencerkan sirup kering sesuai takaran dengan air yang layak minum.

7. Menyiapkan etiket (warna putih untuk obat dalam, warna biru untuk obat luar dan etiket lainnya seperti label kocok dahulu untuk sediaan cair).

8. Menulis nama dan cara pemakaian obat pada etiket sesuai dengan permintaan dalam resep.

C. Penyerahan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan.

1. Melakukan pemeriksaan akhir sebelum dilakukan penyerahan (kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep).

2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien.

3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.

4. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat.

5. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh apoteker.

6. Menyimpan resep pada tempatnya dan mendokumentasikannya.

PROSEDUR TETAP PELAYANAN RESEP NARKOTIK

A. Skrining resep

1. Melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan administrasi.

2. Melakukan pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

3. Mengkaji pertimbangan klinis yaitu : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, dursi, jumlah obat dan lain-lain).

4. Narkotik hanya dapat diserahkan atas dasar resep asli rumah sakit, puskesmas, apotek lainnya, balai pengobatan, dokter. Salinan resep narkotika dalam tulisan iter tidak boleh dilayani sama sekali.

5. Salinan resep narkotik yang baru dilayani sebagian atau yang belum dilayani oleh apotek yang menyimpan resep asli.

6. Mengkonsultasikan ke dokter tentang masalah resep apabila diperlukan.

B. Penyiapan resep

1. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan pada resep.

2. Untuk obat racikan apoteker menyiapkan obat jadi yang mengandung narkotika atau menimbang bahan baku narkotika.

3. Menutup dan mengembalikan wadah obat pada tempatnya.

4. Menulis nama dan cara pemakaian obat pada etiket sesuai dengan permintaan dalam resep.

5. Obat diberi wadah yang sesuai dan diperiksa kembali jenis dan jumlah obat sesuai permintaan dalam resep.

C. Penyerahan obat

1. Melakukan pemeriksaan akhir kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep sebelum dilakukan penyerahan.

2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien.

3. Mengecek identitas dan alamat pasien yang berhak menerima.

4. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat.

5. Menanyakan dan menuliskan alamat / nomor telepon pasien dibalik resep.

6. Menyimpan resep pada tempatnya dan mendokumentasikannya.

PROSEDUR TETAP PEMUSNAHAN RESEP

1. Memusnahkan resep yang telah disimpan tiga tahun atau lebih.

2. Tata cara pemusnahan :

a. Resep narkotika dihitung lembarannya.

b. Resep lain ditimbang

c. Resep dihancurkan, lalu dikubur atau dibakar.

3. Membuka berita acara pemusnahan sesuai dengan format terlampir.

PROSEDUR TETAP SWAMEDIKASI

1. Mendengarkan keluhan penyakit pasien yang ingin melakukan swamedikasi

2. Menggali informasi dari pasien meliputi :

a) Tempat timbulnya gejala penyakit

b) Seperti apa rasanya gejala penyakit

c) Kapan mulai timbul gejala dan apa yang menjadi pencetusnya

d) Sudah berapa lama gejala dirasakan

e) Ada tidaknya gejala penyerta

f) Pengobatan yang sebelumnya sudah dilakukan

3. Memilihkan obat sesuai dengan kerasionalan dan kemampuan ekonomi pasien dengan menggunakan obat bebas, bebas terbatas, dan obat wajib apotek.

4. Memberikan informasi tentang obat yang diberikan kepada pasien meliputi : nama obat, tujuan pengobatan, cara pakai, lamanya pengobatan, efek samping yang mungkin timbul, serta hal-hal lain yang harus dilakukan maupun yang harus dihindari oleh pasien dalam menunjang pengobatan. Bila sakit berlanjut/ lebih dari 3 hari hubungi dokter.

5. Mendokumentasikan data pelayanan swamedikasi yang telah dilakukan.

PROSEDUR TETAP KONSELING

1. Melakukan konseling sesuai dengan kondisi penyakit pasien.

2. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien / keluarga pasien.

3. Menanyakan tiga pertanyaan kunci menyangkut obat yang dikatakan oleh dokter kepada pasien dengan metode open-ended question :

a. Apa yang telah dokter katakan mengenai obat ini

b. Cara pemakaian, bagaimana dokter menerangkan cara pemakaian

c. Apa yang diharapkan dalam pengobatan ini.

4. Memperagakan dan menjelaskan mengenai pemakaian obat-obat tertentu (inhaler, suppositoria, dll)

5. Melakukan pencatatan konseling yang dilakukan pada kartu pengobatan.

2.6 Perbekalan Apotek

Menurut KepMenKes No.1332/MenKes/SK/X/2002 Bab I Pasal 1, Perbekalan farmasi adalah obat, bahan obat, obat asli Indonesia, alat kesehatan dan kosmetika. Dari keseluruhan perbekalan farmasi tersebut, akan dibahas lebih dalam lagi mengenai obat, karena sebagian besar barang yang terdapat di Apotek adalah berupa obat.

Definisi obat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.193/KabB.VII/71 adalah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia.

Pertama kali mendirikan Apotek, obat-obatan yang harus ada di Apotek adalah obatobat yang terdapat pada daftar obat essensial. Seiring berjalannya waktu, macam dan jumlah obat yang dijual akan semakin banyak dan akan dikenal adanya obat fast moving (obat-obat yang cepat laku terjual) dan slow moving (obat-obat yang lama terjual). Untuk obat-obat fast moving, persediaan obat tersebut dalam Apotek harus tetap ada dan pemesanan harus dilakukan secara berkelanjutan dan cukup banyak. Sebaliknya untuk obat-obat yang slow moving, persediaan jangan terlalu banyak dan pemesanan dilakukan dalam periode yang lama, agar tidak terjadi over stock. Obatobat yang tersedia dalam Apotek terdiri dari beberapa golongan yaitu:2.6.1 Obat Bebas

Obat Bebas adalah obat yang dapat diperoleh oleh masyarakat tanpa harus menggunakan resep dokter, biasanya dijual bebas dan dapat dibeli di Apotek, toko obat, supermarket atau toko yang menyediakannya. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 2380/A/SK/VI/83 tanggal 15 Juni 1983, obat bebas harus diberi tanda khusus berupa lingkaran dengan diameter 1,5 cm atau disesuaikan dengan kemasannya. Pada kemasan obat bebas terdapat tanda khusus, warna hijau di dalam lingkaran warna hitam (Anief, 2003).

Gambar 2.1 Tanda Obat Bebas2.6.2 Obat Bebas Terbatas atau Obat Daftar W (Waarschuwing)

Obat Bebas Terbatas adalah obat yang dapat dijual kepada masyarakat tanpa resep dokter dengan jumlah tertentu. Pembatasan ini disebabkan karena efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat ini lebih besar jika dibandingkan Obat Bebas (jadi dalam menggunakan obat ini ada batasan-batasannya). Obat ini dapat dibeli di Apotek atau toko obat. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 2380/A/SK/VI/83 tanggal 15 Juni 1983, obat bebas terbatas diberi tanda khusus berupa lingkaran hitam diameter 1,5 cm atau disesuaikan dengan kemasannya dengan warna biru di dalam lingkaran warna hitam.

Gambar 2.2 Tanda Obat Bebas Terbatas

Khusus untuk Golongan Obat Bebas Terbatas, selain terdapat tanda khusus lingkaran biru, diberi pula tanda peringatan untuk aturan pakai obat. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 6355/DirJen/SK/69 tanggal 28 Oktober 1969, tanda peringatan berwarna hitam dengan ukuran panjang 5 cm dan lebar 2 cm atau disesuaikan dengan kemasannya dan memuat pemberitahuan dengan huruf berwarna putih.

Sesuai dengan obatnya, pemberitahuan tersebut adalah sebagai berikut :

Gambar 2.3 Tanda Peringatan pada Obat Bebas Terbatas

Apabila menggunakan obat-obatan Golongan Obat Bebas dan Golongan Obat Bebas Terbatas, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:

1.

Meyakini bahwa obat tersebut telah memiliki izin edar dengan pencantuman nomor registrasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Departemen Kesehatan.

2. Kondisi obat apakah masih baik atau sudah rusak, perhatikan tanggal kadaluwarsa (masa berlaku) obat.

3. Membaca dan mengikuti keterangan atau informasi yang tercantum pada kemasan obat atau pada brosur/selebaran yang menyertai obat yang berisi tentang:

a. Indikasi (merupakan petunjuk kegunaan obat dalam pengobatan)

b. Kontra Indikasi (petunjuk penggunaan obat yang tidak diperbolehkan)

c. Efek samping (efek yang timbul, bukan efek yang diinginkan)

d. Dosis obat (takaran pemakaian obat)

e. Cara penyimpanan obat

f. Informasi tentang interaksi obat dengan obat lain yang digunakan dan dengan makanan yang dimakan. 2.6.3 Obat Keras atau Obat Daftar G (Gevaarlijk = berbahaya)

Obat Keras adalah obat yang boleh diserahkan kepada seseorang berdasarkan resep dokter, kecuali untuk Obat Wajib Apotek dapat dijual tanpa resep dokter tetapi harus diserahkan oleh Apoteker dengan pemberian Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE). Wadah dan kemasan Obat Keras diberi tanda khusus berupa huruf K tercetak tebal berwarna hitam di atas lingkaran merah tua dengan garis tepi hitam. Pada kemasan Obat Keras, industri farmasi harus mencantumkan tulisan yang menyatakan bahwa obat tersebut hanya boleh diserahkan dengan resep dokter.

Obat-obat yang umumnya masuk ke dalam golongan ini antara lain obat jantung, obat darah tinggi/antihipertensi, obat antidiabetes, hormon, antibiotika dan beberapa obat ulkus lambung. Obat golongan ini hanya dapat diperoleh di Apotek dengan resep dokter.

Gambar 2.4 Tanda Obat Keras

2.6.4 Obat Wajib Apotek (OWA)

Menurut KepMenKes Nomor 347/MenKes/SK/VII/1990, Obat Wajib Apotek adalah Obat Keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker kepada pasien di Apotek tanpa resep dokter. Peraturan mengenai Obat Wajib Apotek tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 347/MenKes/SK/VII/1990; Peraturan Menteri Kesehatan No. 924/MenKes/Per/X/1993; Peraturan Menteri Kesehatan No. 925/MenKes/Per/X/1993 dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1176/ MenKes/SK/X/1999. Tugas Apoteker di Apotek dalam melayani pasien yang memerlukan Obat Wajib Apotek adalah:

a. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam Obat Wajib Apotek yang bersangkutan.

b. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.

c. Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.

Kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter adalah obat-obat yang sesuai dengan PerMenKes No. 919/MenKes/Per/X/1993, yaitu:

1. Tidak dikontraindikasikan penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.

2. Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit.

3. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.

4. Penggunaannya digunakan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.

5. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

Pertimbangan Pemerintah dalam pelayanan OWA adalah peningkatan kemampuan masyarakat dalam pengobatan sendiri untuk mengatasi masalah kesehatan secara tepat, aman dan rasional.2.6.5 Obat Narkotika atau Obat Bius (Obat Daftar O=Opium)

Obat-obat yang termasuk ke dalam golongan ini bekerja dengan mempengaruhi susunan saraf pusat. Obat golongan ini dapat memberikan efek depresi, misalnya morfin dan opium atau dapat memberikan efek stimulan, seperti kokain. Menurut Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Penggunaannya pada Apotik harus dilaporkan setiap bulan (selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya) ke Dinas Kesehatan Kota Surabaya dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Subdin Farmakmin, BPOM Provinsi dan arsip Apotik.

Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika digolongkan menjadi 3 golongan yaitu:a. Narkotika golongan I

Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

b. Narkotika golongan II

Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

c. Narkotika golongan III

Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan menyebabkan ketergantungan.

Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika ayat 2, Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada: Rumah sakit; Puskesmas; Apotek lainnya; Balai pengobatan; Dokter; Pasien. Sesuai dengan Pasal 39 ayat 3 Undang-Undang No.35 Tahun 2009, maka penyerahan narkotika kepada pasien harus berdasarkan resep dokter.

Pemusnahan narkotika berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Pasal 61 dilaksanakan oleh Pemerintah, orang atau badan yang bertanggung jawab atas produksi dan/atau peredaran narkotika, sarana kesehatan tertentu, serta lembaga ilmu pengetahuan tertentu dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan. Pemusnahan dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:

a. Nama, jenis, sifat, dan jumlah

b. Keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan pemusnahan, danc. Tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana an pejabat yang menyaksikan pemusnahan.

Gambar 2.5 Tanda Obat Narkotika2.6.6 Obat Psikotropika

Menurut Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1997 Bab 1 Pasal 1, Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoatif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang dapat menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Berdasarkan Undang-Undang RI No. 5 tahun 1997 psikotropika digolongkan menjadi 4 golongan yaitu:

a. Psikotropika golongan I

Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.

b. Psikotropika golongan II

Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.

c. Psikotropika golongan III

Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.

d. Psikotropika golongan IV

Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Penyerahan psikotropika dilakukan berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1997 Pasal 14, yaitu bahwa Penyerahan psikotropika oleh Apotek hanya dilakukan kepada Apotek lainnya, Rumah Sakit, Puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pasien. Obat golongan psikotropika hanya boleh diserahkan kepada seseorang dengan resep dokter dan tidak boleh diulang serta Apotek diwajibkan melaporkan jumlah dan jenisnya setiap bulan ke Dinas Kesehatan Kota setempat dengan tembusan kepada Dinas Kesehatan Provinsi setempat dan BPOM (selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya). Tanda obat psikotropika sama dengan obat keras, yaitu pada kemasan terdapat lingkaran dengan huruf K di dalamnya dengan warna hitam dan dasar merah, tepi lingkaran berwarna hitam.

Gambar 2.6 Tanda Obat Psikotropika

2.6.7 Obat Generik

Obat Generik adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan Farmakope Indonesia dan INN (International Non Propietary Name) WHO untuk setiap zat berkhasiat yang dikandungnya. Sesuai dengan PerMenKes Nomor 085/MenKes/Per/I/1989, Apotik wajib menyediakan obat essensial dengan nama generik. Dengan adanya Obat Generik, maka diharapkan harga obat lebih terjangkau oleh masyarakat.2.6.8 Obat Generik Berlogo (OGB) Obat generik berlogo adalah obat generik yang menyandang logo sebagai lambang yang menyatakan bahwa obat generik tersebut diproduksi oleh pabrik obat yang sudah mendapat sertifikat CPOB. Logo dijadikan jaminan mutu pabrik obat terhadap obat generik yang dihasilkan. Obat generik berlogo setaraf khasiatnya dibandingkan khasiat paten. Logo yang digunakan pada OGB adalah lingkaran warna hijau dengan tulisan generik. 2.6.9 Obat Paten

Obat Paten adalah obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas nama si pembuat yang dikuasakannya dan dijual dalam bungkus asli dari pabrik yang memproduksinya, telah dipatenkan oleh suatu pabrik dan biasanya memiliki harga yang lebih mahal jika dibandingkan dengan Obat Generik.2.6.10 Obat Tradisional

Obat tradisional yang beredar di Indonesia dikategorikan menjadi 3 golongan, yaitu jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka.

Jamu Obat Herbal Terstandar Fitofarmaka

Gambar 2.7 Penandaan pada Obat Tradisional

Sesuai dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.HK.00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia; jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Jamu:

a. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

b. Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris.

c. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.2. Obat herbal terstandar:

a. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

b. Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/praklinik.

c. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.

d. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. 3. Fitofarmaka:

a. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

b. Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan uji klinik.c. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.d. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Selain obat, di Apotek dapat dijual alat kesehatan (termometer, tensimeter, timbangan berat badan, kapas, perban, masker), kosmetik (bedak, sabun, tabir surya, deodorant) dan perbekalan keasehatan rumah tangga (pembalut, obat nyamuk, pembersih lantai).

Perbekalan farmasi dalam suatu Apotek perlu dikelola agar tercipta keseimbangan antara persediaan dan permintaan. Hal ini harus dilakukan dengan cermat untuk menghindari terjadinya penumpukan atau kekosongan obat atau non obat sehingga menimbulkan kerugian.2.6.11 Pencabutan Izin Apotek

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek pasal 25 bahwa Kepala kantor wilayah dapat mencabut izin apotek apabila:

a. Apoteker sudah tidak lagi memenhi ketentuan yang telah ditetapkan seperti ijazah yang tidak terdaftar pada Dinas Kesehatan, melanggar sumpah/janji sebagai apoteker, tidak lagi memenuhi persyaratan fisik dan mental dalam menjalankan tugasnya, bekerja sebagai penanggung jawab pada apotek atau industri farmasi lainnya.

b. Apoteker tidak menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu dan terjamin keabsahannya.

c. Apoteker tidak menjalankan tugasnya dengan baik seperti dalam hal melayani resep, memberikan informasi, yang berkaitan dengan penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional.

d. Bila apoteker berhalangan melakukan tugasnya lebih dari duat tahun secara terus-menerus.

e. Bila apoteker melanggar perundang-undangan narkotika, obat keras dan ketentuan lainnya.

f. SIK APA dicabut.

g. Pemilik Sarana Apotek terbukti terlibat pelanggaran perundang-undangan dibidang obat.

h. Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

54