bab ii tinjauan umum tentang istinba
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA<T} HUKUM ISLAM DAN
MAQA<S{ID AL-SHARI<’AH
A. Ijtihad dan Permasalahannya
1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti “menggerakkan segenap
kemampuan untuk mewujudkan sesuatu”.1 Karena itu ijtihad menurut bahasa
ialah kerja keras dan bersungguh-sungguh,2 atau kerja keras untuk mendapatkan
sesuatu.3 Pengertian ijtihad menurut bahasa ini erat kaitannya dengan pengertian
menurut terminologi (istilah). Salah satu pendapat menyatakan bahwa pengertian
ijtihad secara istilah adalah segala upaya yang dilakukan oleh mujtahid dalam
bermacam-macam ilmu, termasuk bidang teologi, filsafat, dan tasawuf.
Dengan demikian, lapangan ijtihad tidak hanya terbatas dalam masalah
fikih saja.4 Selama ini berkembang pemahaman di kalangan umat Islam,
khususnya yang fikih oriented bahwa ijtihad hanya terjadi dalam bidang fikih
semata.
Secara definisi, pengertian ijtihad sesungguhnya sangat beragam.
Keragaman pendapat itu disebabkan oleh perbedaan sudut pandang yang
digunakan. Bagi ulama yang berpandangan holistik dan integral seperti Ibnu
Taymi>yah (w 728 H) misalnya, mengatakan sebenarnya kaum sufi adalah 1 Wahbah al-Zuh>}aili>, Al-Wa>sit} fi-Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi> (Damaskus: Da>r al-Kita>b, 1978), 480. 2 Dede Rosyada, Metode Ijtihad Dewan Hisbah Persis (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 19. Pendapat lain mengatakan bahwa ijtihad ialah usaha yang optimal dan menanggung beban. Baca Louis Ma’lu>f, Al-Munjid fi al-Lughat (Beiru>t: Da>r al-Masyriq, 1996), 105–106. 3 Muh}ammad Musa Tuwana, Al-Ijtiha>d: Madha Haja>tina ilaihi fi Hadha al-’As}r (Beiru>t: Da>r al-Kutu>b al-Hadi>thah, 1972), 97. 4 Harun Nasution, “Ijtihad: Sumber Ketiga Ajaran Islam”, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (eds.), Ijtihad dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1988), 112.
59
mujtahid dalam masalah kepatuhan sebagaimana mujtahid yang lain.5 Di pihak
lain, ahli us}u>l fikih mengatakan bahwa ijtihad hanya terbatas dalam hukum
shara’. Ulama yang berpendapat semacam ini di antaranya al-Amidi6 dan al-
Ghazali7
Sebenarnya kedua pendapat ini dapat dikompromikan. Ulama us}u>l fikih
menganggap bahwa ijtihad yang dilakukan oleh ahli us}u>l fikih adalah ijtihad
dalam bidang hukum yang bersifat praktis (amali). Sedangkan ijtihad yang
dilakukan oleh non fukaha adalah ijtihad yang berhubungan dengan masalah
yang bersifat teoritis, tidak secara langsung berkaitan dengan tingkah laku orang
mukallaf.8 Ima>m al-Syawkani> (w 1250 H) sebagai seorang ulama us}u>l fikih
mengakui adanya ijtihad yang dilakukan oleh ahli ilmu kalam, namun hasil
ijtihadnya digolongkan sebagai al-h}ukm al-’ilmi>,9 bukan hukum yang bersifat
praktis (amali).
Rumusan ijtihad menurut ahli us}u>l fikih adalah mencurahkan segenap
kemampuan dalam mencari hukum-hukum shar‘i yang bersifat z}anni.10 Dengan
demikian ijtihad bermakna usaha-usaha maksimal yang dilakukan para ulama
fikih untuk merumuskan pemikiran-pemikiran fikih, baik berupa hasil
pemahaman terhadap teks lafal al-Qur’an dan sunnah maupun hasil analisis
5 Ibid, 108–109. Lihat pula pendapat Muh}ammad al-Ruwaihi yang dikutip oleh Amir Mu’allim dan Yusdani yang menyatakan bahwa pendapat-pendapat orang Islam itu merupakan ijtihad, baik secara perorangan maupun kolektif. Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer (Yogyakarta: UII Press, 2005), 13. 6 Al-Amidi, Al-Ih}ka>m Fi> Us}u>l al-Ah}ka>m, Juz IV (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1996), 309. 7 Al-Ghaza>li>, Al-Mustas}fa> min Ilm al-Us}u>l (Kairo: Sayyid al-H{usai>n, t,th), 478. 8 Abdul Wahha>b Khalla>f, Ilmu Us}u>l Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib (Semarang: Toha Putra Group, 1994), 2. 9 Al-Shawkani>, Irsha>d al-Fuh}u>l ‘ala Tah}qi>q al-H{aq min Ilmi al-Us}u>l (Kairo: Da>r al-Sala>m, 2006), Jilid 2, 715. 10 Sementara Zakariya> al-Ans}ari> berpendapat bahwa ijtihad adalah usaha maksimal ulama fikih dalam melakukan kajian untuk memperoleh ketentuan hukum yang bersifat z}anni. Baca: Zakariya al-Ans}ari, Ghayat al-Wus}u>l (Singapura: al-H{aramain, t,th), 147.
60
terhadap persoalan-persoalan aktual yang mereka hadapi. Namun hasil ijtihad
tersebut terbatas pada mengeluarkan hukum shara’ yang bersifat praktis dalam
peringkat z}anni, yakni punya peluang benar dan salah, dengan dugaan terkuat
pada “benarnya”, bukan pada “salahnya”.11 Pendapat ini sesuai dengan
pernyataan al-Ghaza>li> bahwa “hasil ijtihad itu harus diyakini kebenarannya, baik
oleh mujtahidnya sendiri maupun orang-orang yang mengikuti pendapatnya”.12
Hasil ijtihad itu sifatnya z}anni dan kesimpulan tersebut diakui oleh para ulama.
Jika seorang mujtahid sudah mengambil suatu kesimpulan lewat kajian
ijtihadnya, maka dia harus meyakini bahwa hasil ijtihadnya yang paling benar di
antara hasil ijtihad lainya.
2. Lapangan Ijtihad
Para ulama us}u>l fikih sepakat bahwa bidang yang bisa menjadi obyek
ijtihad adalah teks nas (al-Qur’an dan hadis) yang pengertiannya bersifat z}anni
dan hukum yang tidak ada nasnya serta persoalan yang sebelumnya belum
diijma‘kan oleh para mujtahid.13 Apabila ditelusuri tentang ijtihad ulama fikih
pada masa lalu, ternyata mereka tidak melakukan ijtihad pada persoalan yang
sudah diatur secara jelas oleh al-Qur’an dan hadis. Jika Umar bin Khat}ab sering 11 Dede Rosyada, Metode Ijtihad, 19. Pendapat yang lain mengatakan bahwa z}anni adalah sesuatu yang mendekati kebenaran menurut pandangan mujtahid. Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muh}ammadiyah (Jakarta: Logos, 1995), 13. 12 Al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa>, Jilid II, 101. 13 Abdul wahha>b Khalla>f, Masa>diru Tashri>‘i al- Isla>m fi> Ma> la> Nas}a fi>h (Kuwait: Da>r al-Qalam, 1973), 7; Rakhmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh Untuk IAIN, STAIN, PTAIS (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 107; Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009), 250–251. Sementara T.M. Hasbie Ash Shiddieqy menjelaskan bahwa hukum Islam yang bisa menjadi obyek ijtihad itu ada empat macam, yaitu: (1) nas yang z}anni thubut-nya dan dalalah-nya. Nas} seperti ini ialah hadis. Ijtihad ditujukan pada petunjuk nas, umum atau khusus. (2) nas qat}‘i thubut-nya dan z}anni dalalah-nya. Nas ini terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Ijtihad di sini ialah menanggapi maksudnya. (3) nas yang z}anni thubut-nya, qat’i dalalah-nya. Nas ini terdapat dalam hadis. Ijtihad dalam hal ini ialah mengetahui sanadnya, sahih dan tidaknya hadis. (4) hukum yang tidak terdapat nas, ijma’ dan tidak diketahui hukumnya dengan mudah, yaitu yang harus diijtihadkan dengan menggunakan qiya>s, istinbat}, ‘urf dan lain-lain. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam (Jakarta: Tinta Mas, 1975), 38.
61
dianggap sebagai orang yang melakukan ijtihad pada persoalan tersebut,
sesungguhnya beliau tidak melakukan ijtihad istinba>t}i, melainkan ijtihad tat}bi>qi.
Dalam ijtihad tat}bi>qi dimungkinkan untuk tidak memberlakukan nas
tertentu dikarenakan adanya nas lain yang menghendaki demikian. Contohnya,
Umar bin Khat}ab melarang laki-laki muslim menikah dengan wanita ahl al-kitab
dengan alasan kawatir akan menimbulkan fitnah bagi wanita muslimah,
walaupun nas al-Qur’an membolehkannya.14 Sedangkan pelaksanaan penggunaan
metode takwil 15 dalam berijtihad terhadap teks nas yang z}anni dala>lah-nya,
tentunya harus berdasarkan ketentuan umum yang telah ditetapkan.16
Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ijtihad dalam
ilmu fikih meliputi persoalan-persoalan yang secara eksplisit tidak terdapat
dalam al-Qur’an dan hadis dan persoalan-persoalan yang terdapat dalam dua
sumber tersebut, tetapi termasuk kategori yang z}anni al-dala>lat. Baik persoalan
yang masuk kategori pertama maupun yang kedua, semuanya perlu dilakukan
dengan cara merujuk kepada sumber utama ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan
hadis dan kemudian menginterpretasikannya sesuai dengan persoalan yang
sedang diselesaikan.
Interpretasi itu dilakukan dengan memperhatikan arti lafal zahir yang
kuat yang terdapat dalam teks al-Qur’an dan hadis dan tidak boleh mengamalkan
14 Penjelasan persoalan ini dapat dilihat dalam Fat}i al-Daraini, Al-Mana>hij al-Us}u>liyyat fi al-Ijtiha>d bi al-Ra’yi fi al-Tashri>‘ al-Isla>mi (Damaskus: al-Shari>kat al-Muttahidat, 1985), 11. 15 Takwil adalah mengeluarkan lafaz} dari makna z}ahirnya kepada makna lain (yang memungkinkan), tetapi bukan z}ahirnya. Baca: Rachmat Shafi’i>, Ilmu Us}hul, 171. 16 Cara mengistinbat}kan hukum dari nas} dengan menggunakan takwil adalah: (1) jika nas} itu qat}’i, maka tidak boleh ditakwilkan dengan akal. (2) Jika arti nas} yang z}ahir itu berarti umum, atau berarti z}anni yang tidak pasti, wajib mengamalkan sesuai maknanya. (3) Dibolehkan mengubah arti dari z}anni kepada arti lain sepanjang berdasarkan dalil, bahkan diwajibkan untuk mengkompromikan berbagai nas} yang saling bertentangan. Ibid., 176.
62
berdasarkan yang lainnya yang dipandang lemah, atau dengan cara takwil kecuali
berdasarkan dalil dan memenuhi syarat-syarat takwil.
Dalam melakukan ijtihad seringkali terjadi perbedaan pendapat di antara
para ulama. Jika dilacak lebih jauh, ada beberapa sebab sehingga terjadi
perbedaan pendapat di kalangan mujtahid dalam persoalan yang bersifat
ijtihadiyah. Pertama, berbeda dalam memahami dan mengartikan kata dan
istilah, baik dalam al-Qur’an maupun hadis, seperti lafal mushtarak, makna
hakikat (sesungguhnya) atau majas dan lain-lain. Kedua, berbeda tanggapan
terhadap hadis. Ada hadis yang sampai kepada sebagian ulama, tetapi tidak
sampai pada ulama yang lain. Ketiga, berbeda dalam menanggapi kaidah-kaidah
us}u>l, misalnya ada ulama yang berpendapat bahwa lafal ‘a>m yang sudah ditakhsis
bisa dijadikan hujah. Keempat, berbeda tanggapan dengan ta’arud (pertentangan
antara dalil) dan tarji>h} (menguatkan) satu dalil ke dalil yang lain. Kelima,
berbeda pendapat dalam menetapkan dalil yang bersifat ijtiha>diyah.17
3. Syarat-Syarat Mujtahid
Para ulama pada umumnya membagi syarat mujtahid menjadi tiga bagian.
Pertama, al-shuru>t} al-‘a>mmah (persyaratan umum) seperti Islam, baligh, dan
berakal. Kedua, al-shuru>t} al-ahliyyah (persyaratan untuk menjadi seorang ahli).
Ketiga, al-shuru>t} al-takmi>liyyah (persyaratan penyempurna).18 Dari ketiga syarat
mujtahid tersebut di atas yang perlu mendapatkan perhatian dan penjelasan lebih
lanjut adalah syarat keahlian (al-shuru>t} al-ahliyyah ) karena syarat pertama yaitu
17A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Pengalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), 118. 18 Al-Amidi, Al-Ih}ka>m Fi> Us}u>l al-Ah}ka>m, (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1996), 309-311.Baca: Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid Shariah Menurut Asy Syatibi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 112.
63
syarat umum merupakan syarat yang lazim dan antara seorang mujtahid dengan
orang biasa tidak ada bedanya. Lebih dari itu, persyaratan Islam misalnya,
menunjukkan bahwa hasil pemikiran hukum dari orang yang tidak beragama
Islam atau orientalis tidak dapat diterima sebagai hasil ijtihad dalam Islam,
apalagi diamalkan.
Demikian pula persyaratan ketiga, yaitu syarat penyempurnaan (al-shuru>t}
al-takmi>liyah) dalam kaitannya dengan syarat keahlian (al-shuru>t} al-ahliyyah),
ulama us}u>l memberikan rumusan yang berbeda-beda, meskipun dapat dikatakan
mengandung substansi yang hampir sama. Al-Ghozali (w 505 H) membagi syarat
mujtahid menjadi dua kelompok. Pertama, syarat yang dikelompokkan sebagai
syarat utama, yang meliputi penguasaan terhadap materi hukum yang terdapat
dalam sumber utama ajaran Islam, berikut bahasa Arab sebagai alat untuk
memahami sumber tersebut. Kedua, syarat yang dikelompokkan sebagai syarat
pelengkap, yaitu mengetahui na>sikh-mansu>kh, baik untuk al-Qur’an maupun
untuk hadis, dan mengetahui cara untuk menyeleksi atau mengklasifikasikan
hadis sebagai sumber hukum.19 Sementara al-Syawka>ni> (w 1250 H) menekankan
pada adanya pengetahuan tentang ilmu us}u>l fikih dan na>sikh mansu>kh sebagai
syarat.20
Sedangkan al-Sha>t}ibi> (w 790 H) menambahkan syarat ijtihad lainnya,
yaitu keharusan mengetahui maksud disyariatkannya hukum dalam Islam
(maqa>shid al-shari>’ah).21 Namun demikian tidak berarti bahwa ahli us}u>l fikih
sebelum beliau tidak menyinggung sama sekali tentang persyaratan ini. Al-
19 Al-Ghozali, Al-Mustas}fa> min Ilm al-Us}u>l (Kairo: Sayyid al-H{usain, t.th ), 478. 20 Al-Shawkani>, Irsha>d al-Fukhu>l, II, 718-720. 21 Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t fi Us}u>l al-Ah}ka>m, Juz IV (Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.th.), 90.
64
Juwai>ni (w 478 H) membahas maqa>shid al-shari>‘ah dalam kaitannya dengan
pembahasan ‘illat dalam qiya>s.22 Begitu juga muridnya, al-Ghazali (w 505 H),
menempatkan maqa>shid al-shari>‘ah dalam kaitannya dengan qiya>s. 23Ada juga
ulama lain yang menjadikan ilmu kalam dan ilmu mantik sebagai syarat
berijtihad.24 Syarat yang terakhir ini dapat digolongkan sebagai pra-syarat (pre-
requisite) untuk berijtihad. Betapapun harus diakui bahwa kedua ilmu itu ada
pengaruhnya terhadap ilmu us}u>l fikih.
Persyaratan seperti yang disebutkan di atas harus dipenuhi oleh orang
yang akan melakukan ijtihad. Bahkan untuk saat sekarang ini, ilmu lainnya perlu
juga dimiliki oleh mujtahid. Beberapa ilmu lain yang penting juga untuk
dikuasai adalah sosiologi, antropologi, dan pengetahuan tentang masalah yang
akan ditetapkan hukumnya.25 Ilmu-ilmu ini menjadi penting artinya manakala
masalah yang ditetapkan hukumnya itu adalah masalah-masalah kontemporer
yang tidak ditunjuk secara jelas oleh teks al-Qur’an dan hadis. Jika yang akan
ditetapkan hukumnya itu adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu
kedokteran, maka mujtahid diharapkan dapat memahami ilmu itu, terutama yang
langsung berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas. Begitu pula halnya
dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan ekonomi dan lain-lain.
Memang disadari bahwa di satu sisi, berkat kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, mengetahui ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu lainnya akan
22 Al-Juwai>ni>, Al-Burha>n fi Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Da>r al-Ans}a>r, 1400 H), Juz I, 295 dan Juz II, 923-964. 23 Al-Ghozali, Shifa>’ al-Ghalil fi Baya>ni al-Shibhi wa al-Mukhi>l wa Masa>lik al-Tali>l (Baghdad: Mat}ba‘a>t al-Irsha>d, 1971), 159. Bandingkan dengan al-Mustas}fa>, ibid., Juz I, 286-291. 24 Yusu>f al-Qardawi, Al-Ijtihad fi al-Shari>‘at al-Isla>miyah ma‘a Naz}aratin Tahli>liyat fi al-Ijtiha>d al-Mu‘a>sir (Kuwait: Da>r al-Qala>m), 1985. 25 Abd al-Wahha>b Khalla>f, Masa>di>r al-Tashri>‘ al-Isla>mi fi ma> la> Nas}a fi>h (Kuwait: Da>r al-Qalam, 1972), 17.
65
semakin mudah. Namun demikian kondisi ini memiliki implikasi berupa semakin
ketatnya spesialisasi dalam berbagai disiplin ilmu. Banyaknya persyaratan
tersebut menjadikan ijtihad sulit untuk dilakukan.
Namun demikian bukan berarti ijtihad harus berhenti. Ada jalan keluar
yang dapat dilakukan, yakni ijtihad tidak lagi mengambil ijtihad perorangan
melainkan dalam bentuk ijtihad kolektif yang terdiri dari para ahli di bidangnya
masing-masing. Kelompok ini terdiri dari berbagai ahli bidang agama Islam,
dengan segala pembidangannya, dan berbagai ahli dalam ilmu lain yang erat
kaitannya dengan masalah yang sedang dibahas, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Itulah yang dimaksud dengan ijtihad jama>’i.26
Wujud konkrit dari lembaga ijtihad kolektif sebenarnya sudah banyak,
baik yang bersifat nasional, regional, bahkan internasional. Majma’ al-Buh}u>th al-
Isla>miyyah yang berkedudukan di Kairo adalah merupakan lembaga ijtihad yang
bersifat internasional. Sedangkan lembaga ijtihad yang bersifat nasional sudah
banyak bermunculan di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragam
Islam. Di Indonesia, di samping Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI),
juga terdapat organisasi-organisasi Islam dengan berbagai namanya. Jam’iyyah
Tarekat Nahd}iyyah termasuk organisasi Islam di Indonesia yang mempunyai
lembaga ijtihad kolektif ini. Lembaga itu dikenal dengan istilah Lajnah Bah}thul
Masa>’il Jamiyyah Ahl al-T{ari>qah al- Mu‘tabarah al-Nahd}iyyah.
4. Tingkatan mujtahid
Para ulama us}u>l fikih berbeda-beda dalam merumuskan peringkat atau
tingkatan-tingkatan mujtahid. Muh}ammad Abu> Zahrah (w 1394 H) misalnya,
26 Ali> H{asaballa>h, Us}u>l al-Tashri>‘ al-Isla>mi (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1964), 94.
66
membagi tingkatan mujtahid menjadi empat tingkatan. Pertama, al-mujtahi>du>n
al-mutaqilu>n fi> al-ijtiha>d (mujtahid mustaqil) atau al-mujtahidu>n fi> al-shar‘i>
(mujtahid hukum syar’i). Kedua, al-mujtahidu>n al-muntasibu>n (mujtahid
muntasib). Ketiga, al-mujtahidu>n fi> al-madhhab (mujtahid mazhab). Keempat, al-
mujtahidu>n al-murajih}u>n (mujtahid murajih).27 Sedangkan Sayyid Musa Towana
al-Afganistani mengklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu mujtahid mutlak,
mujtahid muqayad dan mujtahid dalam bidang-bidang tertentu.28
27 Al-Mujtahidu>n al-mustaqilu>n adalah orang yang memenuhi persyaratan untuk berijtihad. Mereka dapat mengeluarkan hukum dari al-Qur’an dan Sunah serta mampu mengunakan qiyas. Ia dapat berfatwa dengan mas}lah}ah, mampu mempergunakan istih}san, bisa mengaplikasikan sad al-dhari>‘ah, serta metode-metode istidla>l lainnya, dan tidak mengikatkan diri kepada siapa pun dalam berijtihad. Orang inilah yang pada dasarnya menjadi peletak kaidah-kaidah (mana>hij) us}u>l untuk dirinya sendiri. Sementara al-mujtahidu>n al-muntasibu>n adalah mujtahid yang membahas kaidah-kaidah us}u>l para imam tanpa terkait kepada kaidah seorang pun dalam berijtihad. Dalam menerapkan kaidah yang dipakainya, bisa jadi hasil yang bisa dicapainya akan berbeda dari furuk yang dihasilkan oleh imam yang punya kaidah itu. Sedangkan al-Mujtahidu>n fi al-Madhhab adalah mujtahid yang mengikuti seorang imam dalam us}u>l dan furuk, dan ia hanya berijtihad dalam persoalan-persoalan yang belum ada pendapat imamnya dalam bidang tertentu. Adapun al-Mujtahidun al-Murajih}u>n adalah orang yang tidak melakukan istinba>t} hukum pada lapangan furuk yang belum ada ketentuan dari seorang mujtahid pun, tetapi hanya melakukan tarjih} atas pendapat-pendapat yang ada tentang sesuatu permasalahan. Muh}ammad Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Da>r al-Fikr al-Arabi, t.th), 389 -397. 28 Pertama, Mujtahid mutlak adalah orang yang mengetahui syariat Islam, yakni kaidah-kaidah maqa>sid, illat-illat hukumnya, nas}-nas}nya serta ilmu-ilmu yang diperlukan untuk berijtihad, baik ilmu itu dihasilkannya sendiri atau dengan mengikuti kaidah (manhaj) mujtahid mutlak yang lain sehingga ia mampu mengeluarkan hukum yang bersifat far’iyyah dari dalil-dalilnya serta dapat pula mengaplikasikan kaidah itu dalam us}u>l yang dibangun oleh pendiri manhaj tersebut. Orang yang melakukan ijtihad mutlak itu ada dua tingkatan, yaitu mujtahid mutlak mustaqil, yakni orang yang mandiri dalam berijtihad tanpa bertaklid atau mengikuti kaidah yang dibangun orang lain serta dia sendiri yang melakukan istinba>t} hukum dari sumber-sumbernya dengan memakai kaidah-kaidah yang dibangunnya itu, dan mujtahid mutlak muntasib yakni orang yang melakukan ijtihad seperti mujtahid mustaqil dengan memakai kaidah-kaidah yang pernah dihasilkan ulama–ulama lain, tetapi ia tidak terikat kepada suatu madhhab atau kaidah imam-imam tertentu. Kedua, Mujtahid muqayyad adalah mujtahid yang menyandarkan diri kepada suatu madhhab tertentu. Secara pribadi mujtahid jenis ini mustaqil dalam menentukan metode imam fikih mana yang dia sukai dengan tetap konsisten mengikutinya. Ia menguasai fikih, us}u>l serta dalil-dalil imam yang diikutinya, masa>lik al-illah dan ma‘a>ninya, sempurna kemampuannya dalam bertakhrij dan beristinba>t} serta dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang tidak ditemui nas}nya atau tidak ada pula ada pendapat imamnya dalam bidang itu. Selain itu, ada pula mujtahid dalam bentuk ini yang hanya mengkhususkan diri dalam mazhab tertentu dengan tidak mau keluar dari kaidah suatu mazhab, meskipun ia mempunyai kemampuan sampai ke derajat seorang mujtahid, tetapi ia amat mengikatkan diri kepada suatu mazhab atau tanpa mau memakai metode dari Imam-Imam mazhab lain. Ketiga, mujtahid pada bidang-bidang tertentu dalam persoalan fikih adalah mujtahid yang hanya mengkhususkan diri pada bab-bab tertentu saja, yang dikenal pula dengan istilah tajziyat al-ijtiha>d. Orang ini tidak dapat dapat dikatakan tidak mengetahui
67
Adapun Wahbah al-Zuh}aili> mengelompokkan tingkatan mujtahid menjadi
lima tingkatan. Pertama, al-mujtahi>du>n al-mustaqilu>n yakni orang yang mampu
membangun dan menciptakan kaidah-kaidah us}u>l tersendiri, sehingga ia
menghasilkan fikih tersendiri yang tidak berpengaruh oleh kaidah-kaidah yang
telah ditetapkan imam yang lain.29 Meskipun yang populer sebagai mujtahid
mutlak mustaqil hanya empat imam mazhab, sebenarnya cukup banyak dalam
khazanah kesejarahan umat Islam, khususnya dari ulama generasi sahabat seperti
Umar bin al-Khat}t}ab, Zaid bin Thabit, ‘Ali> Ibn Abi T{ālib, Abdulla>h bin Umar
dan Ibnu Mas’u>d. Sedangkan dari generasi tabi’in, antara lain, Sa’id Ibnu
Musayyab (w 93 H) dan Ibra>hi>m al-Nakha>‘i (w 96 H).30 Persoalannya, produk-
produk pemikiran fikih mereka tidak tercatat dengan baik dan hanya ditentukan
dalam pembahasan yang sepotong-potong.
Kedua, mujtahid yang tidak mustaqil. Sebenarnya mujtahid yang masuk
dalam kategori ini memenuhi persyaratan sebagai seorang mujtahid yang
mustaqil, namun mereka tidak membangun kaidah-kaidah tersendiri tetapi
mengikuti metode-metode imam mazhab dalam berijtihad.
Dalam hal ini mujtahid tersebut adalah mutlak mustaqil dari satu sisi,
tetapi dari segi pemakaian metode mereka tidak mustaqil serta tidak muqayyad
kepada seseorang. Mereka tidak bertaklid kepada pendapat imamnya, tetapi
berbagai persoalan lain, tetapi ia akan lebih yakin akan ilmunya terhadap suatu bidang tertentu saja. Lihat: Sayyid Muh}ammad Musa Towana, Al-Ijtiha>d: Ma>dha Haja>tina Ilaih fi> Ha>dha al-’Ashr (Mesir: Da>r al-Kutu>b al-Hadi>thah, 1972), 336 -385. 29 Wahbah al-Zuh}aili>, Us}u>l al-Fiqh al-Islamy (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 2010), 1107 30 Muh}ammad Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’sum (et.al) (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 500.
68
memakai metode imamnya itu dalam berijtihad.31Jenis ini sama dengan mujtahid
muntasib yang dirumuskan Abu> Zahrah atau al-mujtahid al-mut}laq al-muntasi>b
yang dikemukakan oleh Sayyid Muh}ammad Musa di atas. Ketiga, al-mujtahid al-
muqayyad atau al-mujtahid al-mukharij, yakni mujtahid yang mengikatkan diri
kepada mazhab imamnya. Mereka mustaqil dalam memilih us}u>l dari salah
seorang imam, namun dalam penerapan kaidah tidak keluar dari us}u>l, dalil, dan
kaidah imam yang diikutinya itu.32
Keempat ialah mujtahid tarji>h}. Pada tingkatan ini seseorang tidak
mencapai derajat menerapkan kaidah ijtihad, tetapi hanya sampai ke tingkat
menguasai persoalan secara baik, menguasai mazhab imamnya, mengetahui dalil
setiap persoalan yang sudah ditetapkan. Dalam kerangka ini, kerjanya hanyalah
terbatas pada meneliti dan memilih mana pendapat yang terkuat dari sejumlah
pendapat tentang sesuatu persoalan. Boleh jadi dalam bidang tarji>h} dilakukan
antar pendapat para imam, atau antara pendapat imam dengan murid-muridnya,
atau antara berbagai pendapat dari kalangan yang berbeda imam. Perbedaannya
dengan mujtahid takhri>j adalah mujtahid takhri>j masih melakukan kajian-kajian
hukum untuk persoalan-persoalan baru, meskipun lebih banyak merujuk
pemikiran-pemikiran imamnya. Sementara mujtahid tarji>h} hanya menganalisis
pemikiran yang telah ada hasil kreativitas para ulama pendahulunya dan
pemikiran yang lebih kuat argumentasinya itulah yang mereka fatwakan sebagai
31 Misalnya Abu> Yusu>f, Muh}ammad dan Zufar bin H{uzail dari Mazhab H{anafi, Ibnu al-Qasi>m dan Ashhab dari Madhhab Ma>liki, Al-Buwaity, al-Za’fara>ny dan al-Muzani dari Mazhab Sha>fi’i>, Wahbah al-Zuh}aili>. Ibid., 108. 32 Ulama yang berada pada peringkat ini, antara lain H}asan bin Zayyad al-Kurakhi dan al-T}ah}awy dari Mazhab H{anafi, al-Abhuri dan Abu> Zai>d dari Mazhab Ma>liki, Abu> Is}h}a>qi al-Shairazy dan al-Maruzy dari Mazhab Sha>fi’i>. Ibid.
69
pemikiran yang mendekati kebenaran. Di antara ulama yang melakukan ijtihad
dalam kategori ini adalah al-Qunduri dan al-Marginani dari mazhab H{anafi>.33
Adapun tingkatan yang kelima ialah mujtahid al-futya>, yakni orang yang
menguasai, memelihara dan menukilkan pendapat mazhabnya dalam persoalan
yang al-wa>dih }a> dan yang al-mushkila>t. Orang yang tergolong dalam kelompok ini
memiliki kelemahan dalam menerapkan dalil-dalil imamnya atau kurang mampu
mengaplikasikan qiyas.34 Yusuf al-Qardawi> mengatakan bahwa mujtahid fatwa
ini adalah orang yang mendalami mazhab imamnya dan mampu memilih mana
pendapat yang kuat dan mana pendapat yang lemah yang dipergunakan oleh
sahabat-sahabat atau imam mazhabnya itu.35 Kelihatannya kelompok terakhir ini
termasuk ke dalam golongan al murajih}u>n dalam klasifikasi Abu> Zahrah.
Adanya perbedaan stratifikasi di kalangan para ulama sesungguhnya
bukanlah suatu hal yang harus dipersoalkan. Perbedaan tersebut pada dasarnya
tidak esensial melainkan pada hal-hal yang supervisial. Bila dilihat pada
pemakaian istilah ijtihad oleh ahli us}u>l fikih, konotasi kata itu dimaksudkannya
pada ijtihad mutlak, baik yang mustaqil ataupun yang muntasib, bukan ijtihad fi
al-madhhab atau ijtihad fatwa.36
Dengan demikian ijtihad mutlak itu lebih umum dari ijtihad mustaqil dan
muntasib. Sedangkan yang tidak tergolong kepada ijtihad mutlak adalah ijtihad
muqayyad, baik keterikatannya dalam bentuk ijtihad fi al-madhhab, dalam
bentuk pentarjihan, atau dalam bentuk fatwa.
33 Ibid, 1109 34 Ibid. 35 Muh}ammad Yusuf al-Qardawi. Ijtihad Dalam Shari’at Islami: Beberapa Pandangan Analisis tentang ijtihad kontemporer, terj. Achmad Syatori (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 96. 36 Ibid.
70
5. Taklid, Ittiba>’ dan Talfi>q
Kata taklid menurut ahli bahasa bermakna memasang kalung di leher,
seperti mengalungi leher kambing dengan kalung yang berbunyi, sehingga
rombongan kambing yang berada di belakangnya mengikuti arah yang paling
depan dengan isyarat bunyi kalungan tersebut. Kata tersebut kemudian
digunakan sebagai sebuah istilah dalam pembahasan ilmu us}u>l al-fiqh yang
bermakna “melakukan suatu perbuatan shar’i berdasar pada pernyataan orang
lain tanpa mengetahui argumentasinya”.37 Menurut al-Subki> (w 771 H), taklid
adalah “mengambil suatu pendapat tanpa mengetahui dalil-dalilnya”.38 Dengan
demikian, taklid adalah mengikuti pendapat atau pemikiran–pemikiran hukum
dari orang lain tanpa mengetahui argumentasi dari pemikiran hukumnya itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan ittiba’, menurut Wahbah al-Zuh}aili>,
adalah mengambil pemikiran-pemikiran hukum dari para ulama panutannya
dengan mengetahui dalil serta argumentasi dari pemikirannya itu”.39 Dengan
demikian, taklid dan ittiba>’ berbeda, baik dalam sikap maupun perilakunya.
Dalam taklid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedang dalam ittiba>’ ada unsur
kreativitas, yaitu studi dan pengkajian terhadap dalil yang menjadi dasar dari
sebuah pemikiran hukum. Pendapat lain mengatakan bahwa taklid adalah
mengikuti pendapat seorang mujtahid atau ulama tanpa mengetahui sumber dan
cara pengambilan pendapat tersebut. Sedangkan ittiba>’ adalah mengikuti
pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.40
Demikian pula dalam perilakunya, seorang muqallid sudah cukup puas dengan 37 Muh}ammad bin Ali al-Syaukani, Irshad al-Fukhu>l, 265. 38 Ta>j al-Di>n al-Subki>, Matan Jami’, jilid II, 392. 39 Wahbah al-Zuh}aili>, Al-Wa>sit} fi> Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi (Damaskus: Da>r al-Kitab, 1978), 480. 40 Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Us}u>l Fiqh (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), 129-133.
71
mengetahui pemikiran-pemikiran hukum untuk kemudian diikuti semua
pemikiran hukum tersebut tanpa kajian lebih lanjut untuk mengetahui dasa-dasar
pemikirannya itu. Sedang seorang muttabi’ berusaha mengetahui dasar–dasar
pemikiran hukum yang akan diamalkannya, hanya saja pemikiran dan
argumentasinya itu dia ambil dari pernyataan serta argumen ulama anutannya.
Dalam ijtihad terdapat unsur kemampuan keilmuan dan kreativitas
berfikir. Semakin tinggi kemampuaan keilmuan dan kualitas hasil-hasil
pemikirannya, maka semakin meningkat pula ijtihadnya itu. Dalam taklid tidak
ada unsur kreativitas berfikir sama sekali, sedang ittiba>’ masih ada unsur
kreativitas, yakni usaha untuk mengetahui dasar-dasar argumentasi dari
pemikiran imam anutannya, atau mengakses dalil melalui pernyataan-prnyataan
imam anutannya itu.
Dengan demikian bila dibandingkan dengan ijtihad fatwa, bobot
kreativitas pada ittiba>’ nyaris sama. Hanya saja, tidak semua muttabi’
memberikan fatwa kepada orang lain tapi semua mujtahid fatwa adalah muttabi’.
Oleh sebab itu, posisi mujtahid fatwa sama dengan muttabi’, yaitu sama-sama
mengetahui dalil-dalil dari pemikiran hukum yang dipeganginya. Dengan kata
lain, mujtahid fatwa adalah seorang muttabi’ yang memberikan fatwa hukum.
Adapun talfiq menurut arti bahasa adalah menyamakan atau menetapkan
dua tepi yang berbeda.41 Menurut istilah ulama us}u>l fikih, talfiq adalah
melakukan suatu perbuatan yang merupakan gabungan dari dua mazhab atau
lebih.42
41 Ibid, 131. 42 Wahbah al-Zuh}aili>, Us}u>l, 1170.
72
Pada dasarnya talfiq diperbolehkan dalam Islam selama tujuan
melaksanakannya semata-mata mengikuti pendapat yang lebih kuat
argumentasinya, yaitu setelah meneliti dalil-dalil dan analisis masing-masing
pendapat.43 Namun apabila talfiq dimaksudkan untuk mencari keringanan dan
mengumpulkannya dalam suatu perbuatan tertentu maka menurut jumhur ulama
tidak dibenarkan.44
Larangan ini dimaksudkan untuk kemurnian sebuah mazhab dan agar
tidak terjadi tatabbu‘ al-rukhsah (mencari yang gampang-gampang), tidak
memanjakan umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan saja atau bahkan
mempermainkan agama. Misalnya, seorang berwudu menurut mazhab Ima>m al-
Sha>fi’i> dengan mengusap sebagian kepala, kemudian dia menyentuh kulit wanita
ajnabiyyah (bukan muhrimnya), dan langsung salat dengan mengikuti mazhab
Ima>m Abu> H{anifah yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak
membatalkan wudu. Perbuatan ini disebut talfiq karena menggabungkan
pendapatnya Ima>m al-Shafi’i> dan Ima>m Abu H{anifah dalam masalah wudu, yang
pada akhirnya, kedua imam sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu
merupakan pendapatnya.45
43Talfiq tidak diperbolehkan menurut al-Sha>fi’i>, H{anafi dan H{anbali. Sedangkan Imam Ma>lik membolehkan talfiq hanya dalam masalah ibadah. Baca Muh}ammad Amin al-Kurdi, Tanwi>r al-Qulu>b fi Mu’a>malati ‘Alla>m al-Ghuyyu>b (Indonesia: Da>r Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, t,th), 397. 44 Ibid. 45 Muhyiddin Abdussomad, H{ujjah NU: Akidah-Amaliah Tradisi (Surabaya: Kalista, 2008), 58. Contoh lain adalah: (1) Seorang mentalak istrinya tiga kali, kemudian ia menikah dengan anak laki-laki berumur sembilan tahun untuk (istri) menjadi muhallil dengan taqlid pada madhhab Sya>fi’i> dalam sahnya nikah. Setelah melakukan hubungan suami istri, anak tersebut menjatuhkan talak dengan taqlid pada mazhab Hanbali dalam sahnya talak dan tidak adanya ’iddah sehingga mantan suami pertama bisa langsung menikahi wanita tersebut. (2) Seorang menyewa tempat yang diwakafkan selama sembilan puluh tahun atau lebih tanpa melihat lebih dahulu tempat yang disewanya. Ia taqlid mazhab al-Sha>fi’i> dan Hanbali mengenai lamanya waktu menyewa, dan taqlid mazhab Hanafi mengenai tidak melihatnya tempat wakaf supaya diperbolehkan. Wahbah al-Zuh}aili>, Us}u>l al-Fiqh, 1171–1172.
73
B. Perkembangan Ijtihad
Pembahasan mengenai perkembangan ijtihad penting untuk dilakukan
sebab dengan menelusuri jejak sejarah pelaksanaan ijtihad yang pernah terjadi di
masa yang lalu, dapat dijadikan sebagai tolak ukur dan perbandingan sekaligus
referensi yang berguna dalam rangka pelaksanaan dan pengembangan ijtihad di
masa yang sekarang dan akan datang.
Dalam hubungan itu akan dibahas ijtihad sejak permulaan Islam, yaitu:
pertama, ijtihad pada periode Nabi Muh}ammaad SAW (610 – 632 M /+ 13S.H-11
H). Pembicaraan mengenai ijtihad pada periode Nabi meliputi ijtihad yang
dilakukan Nabi,46 dan ijtihad yang dilakukan sahabat pada masa Nabi. Para
ulama berbeda pendapat tentang apakah Nabi pernah melakukan ijtihad dan
apakah Nabi boleh berijtihad.47
Secara historis, Nabi telah terbukti melakukan ijtihad dalam berbagai
masalah yang dihadapi yang belum ada ketentuan hukumnya secara pasti dalam
wahyu yang diterimanya. Adapun metode ijtihad yang dilakukan Nabi adalah
dengan cara mencari kesamaan dengan kasus yang telah ditentukan hukumnya
46 Keputusan-keputusan yang diambil oleh Nabi berdasarkan akal (ra’yu) itulah yang disebut ijtihad. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madhhhab (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 16. 47 Pertama, jumhur ulama berpendapat bahwa Nabi boleh dan mungkin saja berijtihad. Dasarnya adalah al-Qur’an, 59: 2, 8: 67, 9: 43. Amir Syarifudin, Us}u>l Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), jilid II, 230-231 dan sunnah Nabi :
)رواه أبوداوود(انما اقضى بینكم برأیى فیما لم ینزل على فیھ وحى “Sesungguhnya aku menetapkan suatu hukum di antara kamu berdasarkan pendapatku, selama wahyu belum turun kepadaku tentang masalah itu” (HR Abu Dawu>d). Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar, 18. Kedua, kalangan ulama kalam al-Asy‘ariyah dan kebanyakan Mu’tazilah, Abu Ali al-Jubba’i dan anaknya Hasyim, mereka berpendapat bahwa tidak boleh dan tidak pernah Nabi SAW melakukan ijtihad dalam bidang hukum shara‘. Dasarnya al-Qur’an, 53:3-4 وما ینطق عنى الھوى ان ھو اال وحیى یوحى (dan tiada ia berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapanya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya). Ketiga, golongan yang mengatakan bahwa Nabi dapat dan pernah melakukan ijtihad dalam urusan keduniaan, terutama dalam masalah perang, tetapi tidak berijtihad dalam urusan shara‘. Lihat Amir Syaifuddin, Us}u>l Fiqh, Jilid II, 233.
74
dalam wahyu atau sunnah yang telah berlangsung. Cara seperti ini dalam ijtihad
disebut qiyas.48
Demikian pula ditemukan sejumlah riwayat yang memberi isyarat atas
terjadinya ijtihad baik dalam kasus yang terjadi di tempat yang dekat dengan
Nabi dan para sahabat Nabi pada waktu Nabi masih hidup, sepengetahuan
Nabi,49 maupun di tempat yang jauh dari Nabi dan tidak sepengetahuan Nabi.50
48 Misalnya, pertama, hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya dari Ibnu Abbas menerangkan bahwa seorang perempuan dari Suku Juhainah datang kepada Nabi Muh{ammad SAW dan berkata, “Ibu saya bernazar untuk melakukan haji yang dinazarkan itu sampai ia meningal”. Perempuan tersebut bertanya, “Apakah saya boleh menghajikannya?” Nabi menjawab: “Ya, hajikanlah. Bagaimana jika Ibumu berhutang, apakah engkau membayarnya?. Bayarkanlah hutangnya kepada Allah, karena karena hutang kepada Allah lebih layak untuk dibayarkan”. Di sini Nabi dalam memutuskan perkara dengan memberi pertimbangan atas pendapatnya melalui qiyas. Kedua, hadis riwayat Abu> Dawu>d dalam Sunannya bahwa Umar bin Khat}t}ab mengadukan masalah pada Nabi karena ia telah mencium isterinya, padahal ia sedang berpuasa. Nabi berkata “Bagaimana pendapatmu seandaianya kamu berkumur-kumur dengan air”? Ucapan beliau ini berarti bahwa jika tidak batal puasa bila berkumur-kumur dengan air maka begitu pula tidak batal puasa bila mencium isteri. Ibid., 234. 49 Contohnya, Amr bin Ash bertayamum, padahal waktu itu ada air. Hal itu dilakukan karena ia merasa kuatir jika berwudu dengan air akan sakit sebab cuaca sangat dingin. Tindakan ini dilakukan Amr bin Ash karena ia menemukan kesukaran bewudu memakai air karena cuaca dingin sebagaimana kesukaran berwudu karena tidak ada air. Ia juga mengetahui ayat al-Qur’an yang menerangkan “bila tidak menemukan air bertayamumlah.” Apa yang dilakukan Amr bin Ash tersebut segera diketahui Nabi dan ternyata Nabi tidak melarang tindakannya itu. Ibid., 236. Contoh yang lain adalah Sa’ad bin Mu’ad yang pernah berijtihad mengenai Yahudi Bani Quraizah. Dalam ijtihadnya, Sa’ad menetapkan hukuman bunuh terhadap orang-orang Yahudi Bani Quraizah dengan qiyas, yaitu dengan menyamakan hukuman yang dilakukan kepada mereka dengan orang-orang yang memerangi Allah (Muh}a>rabah) yang disebutkan dalam al-Qur’an, al-Maidah: 53. Juga menyamakan mereka dengan tawanan-tawanan perang Badar. Adapun persamaanya ialah bahwa orang Yahudi Bani Quraizah terbukti telah membuat kerusuhan dan kekacauan karena mereka memihak kepada orang Quraisy dalam peperangan Ah}za>b. Tindakan mereka itu menyalahi janji mereka sendiri. Terhadap ijtihad Sa’ad ini, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya engkau telah menghukum dengan hukum Allah yang datang dari atas tujuh lapis langit.” Baca H{uzaimah Tahido Yanggo, Pengantar, 22. 50 Contohnya adalah dua orang sahabat melakukan penjalanan ketika waktu s}alat tiba. Mereka tidak mendapatkan air untuk berwudu. Keduanya kemudian bertayamum, lalu s}alat. Setelah s}alat selesai mereka mendapatkan air. Seorang sahabat berwudu dan s}alat kembali, sedangkan sahabat yang lain tidak. Keduanya kemudian datang pada Rasul SAW dan menceritakan pengalamannya. Rasul SAW bersabda: As}habata al-Sunnah, ”Engkau mengerjakan sesuai sunnah”. Sedangkan pada sahabat yang berwudu dan mengulangi s}alatnya, Rasul SAW bersabda “al-Ajru Marratain” ”Engkau mendapat pahala dua kali”. Baca Manna’ al-Qatta>n, al-Tashri>‘ al-Fiqhiyyah al-Isla>m: Ta>rikhan wa Minha>jan (Beiru>t: Da>r al-Ma’a>rif, 1989), 85. Contoh lainnya, suatu hari Nabi SAW berkunjung ke Bani Quraiz}ah. Kepada mereka, Nabi bersabda, ”Jangan melakukan s}alat asar kecuali di Bani Quraiz}ah. Sebelum sampai ke Bani Quraiz}ah, waktu asar hampir habis. Sebagian sahabat berijtihad dengan melakukan s}alat diperjalanan. Berdasarkan ijtihadnya perintah tersebut adalah supaya sahabat melakukan perjalanan secara cepat sehingga bisa sampai di Bani Quraiz}ah sebelum waktu s}alat asar habis. Sebagian sahabat lagi berpegang pada makna yang tersurat dari
75
Alasan sahabat berijtihad untuk kasus yang terjadi di tempat yang dekat dengan
Nabi adalah karena rasa aman dan apabila salah tentu akan segera dibetulkan
Nabi. Sedangkan alasan sahabat yang berijtihad untuk kasus yang terjadi jauh
dari Nabi adalah karena terpaksa untuk menetapkan ketentuan hukumnya sebab
untuk menghubungi dan meminta jawaban Nabi terlalu lama.
Berdasarkan beberapa riwayat tampaknya sulit dibantah bahwa ijtihad
sahabat terjadi pada waktu Rasul saw. masih hidup. Memang diakui bahwa para
sahabat kadangkala mengajukan berbagai pertanyaan kepada Rasulullah,
terutama berkenaan dengan persoalan yang mereka hadapi yang tidak ditemukan
dalam teks nas. Di samping itu Nabi juga memberi peluang bagi kemungkinan
adanya perbedaan pendapat dengan memberikan pengabsahan terhadap dua
tindakan yang berbeda dari situasi dan masalah yang sama, kecuali dalam
masalah-masalah yang bersifat fundamental. Dalam masalah yang bersifat
fundamental, Nabi tidak mengenal bentuk kompromi. Beliau tidak segan-segan
membetulkan dan kadang membatalkan pendapat dan perbuatan sahabat yang
keliru.51
Walaupun sahabat telah melakukan ijtihad pada waktu Nabi Muh}ammad
masih hidup, keputusannya tetap berada di tangan Nabi sebagai sumber hukum.
sabda Nabi tersebut sehingga mereka s}alat di Bani Quraiz}ah pada malam hari. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, mereka adalah ahl al-z}ahir (pertama) dan ahl al-ma‘na (kedua). Manna’ al- Qatta>n, al-Tashri, 84. Muh}ammad Salam Madkur menyatakan ketika berita ikhtilaf itu sampai kepada Nabi SAW., kemudian beliau membenarkan kedua tindakan sahabat tersebut. Baca Muh}ammad Salam Madkur, Mana>hij, 85. 51 Diriwayatkan bahwa Umar bin Khat}t}ab dan Ammar berhadas besar dalam perjalanan. Keduanya tidak menemukan air, sementara waktu s}alat sudah tiba. Lalu Ammar melumuri badannya dengan tanah sebagai ganti air untuk menghilangkan hadas besar. Ia mengqiyaskan penggunaan tanah dengan penggunaan air dalam menghilangkan hadas besar. Setelah itu ia langsung mengerjakan s}alat. Sedangkan Umar bin Khat}t}ab menunda s}alatnya sampai ia memperoleh air karena menurut pendapatnya tayamum itu untuk menghilangkan hadas kecil. Tatkala kedua sahabat ini melaporkan apa yang telah mereka lakukan, Rasulullah mengatakan bahwa dua pendapat itu adalah keliru. Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar, 24.
76
Ijtihad sahabat ketika itu baru dianggap sebagai dalil apabila telah mendapat
kepastian dan ketetapan dari Nabi karena para sahabat pada umumnya masih
bertempat tinggal di sekeliling Nabi.Oleh karena itu suatu pendapat atau
perbuatan, cepat atau lambat, masih ada kemungkinan untuk diketahui Nabi.
Atas dasar pengetahuan Nabi itulah ijtihad sahabat mempunyai kekuatan hukum
sebagai sunnah taqri>riyyah.52 yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya
yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau
dicegah oleh Nabi. Diamnya Nabi itu disampaikan oleh sahabat yang
menyaksikan kepada orang lain dengan ucapannya
Kedua, ijtihad pada periode sahabat (632-661 M/11– 40 H). Para ulama
sepakat tentang adanya ijtihad setelah Nabi wafat. Ijtihad terus berjalan dan para
sahabat mengeluarkan pendapat terhadap suatu masalah sesuai dengan ilmu
pengetahuan dan pemahaman mereka. Implikasinya, perbedaan pendapat di
antara mereka menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Islam tidak melarang
terjadinya perbedaan pendapat.
Perbedaan pendapat merupakan bagian dari dinamika kehidupan. Ia akan
selalu ada dan terjadi sepanjang sejarah. Jika perbedaan pendapat tersebut
dikelola secara baik untuk hal-hal yang membawa manfaat maka perbedaan
pendapat tersebut dapat menjadi rahmat.53Karena posisi sahabat begitu istimewa,
maka tidak mengherankan bila mazhab sahabat menjadi rujukan penting bagi
perkembangan fikih Islam sepanjang sejarah. 52 Baca Amir Syarifuddin, Us}u>l Fiqh I, 76. 53 Sebagaimana hadis Nabi إختال ف أمتى رحمة (Perbedaan pendapat umatku merupakan rahmat). Hadis ini menurut Ibnu Abidin diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan sanad yang munqati’ (terputus). Akan tetapi ada beberapa hadis lain yang senada dengan hadis ini walaupun lafalnya berbeda-beda. Ibnu Abidin, H}ashiyat Radd al-Muhkta>r ala al-Durral-al-Muhkta>r: Sharah Tanwi>r al-Abs}a>r, Juz I (t.tp: tp, t.th.), 68.
77
Ada cukup banyak sahabat yang melakukan ijtihad. Di antara sahabat
yang melakukan ijtihad sesudah Nabi wafat adalah Khulafa’ al-Ra>shidi>n, yaitu
Abu> Bakar al-S{iddi>q (w 13 H/634/M),54 Umar bin Khat}t}ab (w 23 H/644 M),55
Uthma>n bin Affa>n (35 H),56 dan Ali> bin Abi> T{a>lib (w 40 H/661M).57 Ijtihad yang
dilakukan oleh para pemimpin umat pengganti Nabi tersebut menarik untuk
dicermati karena metode yang mereka pakai dalam ijtihad dapat memberikan
pelajaran penting bagi pengembangan ijtihad pada masa-masa sesudahnya.
Ditinjau dari sisi metode, ijtihad yang dilakukan oleh sahabat Nabi
pertama kali adalah mencari hukum dalam al-Qur’an, kemudian dalam Sunnah
Nabi. Apabila dalam kedua sumber tersebut mereka mendapatkan nas yang s}ari>h}
(jelas), maka mereka mengambil dan mengamalkannya. Namun jika dalam kedua
54 Abu> Bakar ketika menjadi khalifah bertekad memerangi orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Dia bersumpah, ”Demi Allah, sekiranya mereka enggan mengeluarkan zakat kepadaku seutas tali yang pernah mereka tunaikan kepada Rasulullah SAW, aku akan memerangi mereka karena kemungkaranya itu”. Lihat Muh}ammad Musa Towana, Al-Ijtiha>d, 27. Pendapat Abu Bakar ini berbeda dengan pendapat Umar. Menurut Umar orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat tidak boleh diperangi selama masih beriman dan yang boleh diperangi adalah orang yang murtad. Lihat Imam Bukhari, Sah}ih} al-Bukhari (Singapura: Maktabah wa Mat}ba’ah Sulaiman Mary, t.th), Juz IV., 257. 55 Umar bin Khat}t}ab berijtihad tidak memberikan zakat kepada “al-Mu’alafah Qulu>buhum”, padahal pada zaman Nabi asnaf ini mendapatkan zakat. Alasan Umar, dahulu Rasulullah memberikan untuk melunakkan hati. Sekarang Allah telah meninggikan Islam dan melunakkan hati tidak diperlukan lagi. Baca: Rasyid Rida, Tafsir al-Mana>r, Juz X (Mesir: Mat}ba’ah al-Manar, 1928), 496. Contoh lain, Umar telah membebaskan hukuman potong tangan kepada pencuri laki-laki yang bernama ’Alamah al-H{atib bin Abi> Malta’ah karena dilakukan pada waktu musim kelaparan, sebagaimna ucapan Umar, “Tidak dipotong tangan seorang pencuri yang melakukan perbuatan pencurian terhadap sebiji kurma dan pada musim kelaparan”. Lihat Ibnu Qayyim, I’la>m al-Muwaqqi’i>n, Juz III (Mesir: Ida>rah Tilaba’ah Misriyyah, t,th), 8. 56 ‘Utsma>n bin Affa>n berijtihad mengenai pembukuan al-Qur’an dalam satu rasm. Para sahabat menyetujuinya, sebagaimana ucapan Zaid bin Sabit, “Demi Allah, ‘Utsma>n berbuat sangat bagus. Demi Allah, sangat bagus perbuatan ‘Utsma>n”. Baca Abu> al-H}asan Ali bin Ah}mad Al-Waludi al-Naisaburi, Ghara>ib al-Qur’an wa-Ragha>’ib al-Furq>an, tahqiq Ibra>him ‘Atwa’iwad (Mesir: Shirkah Maktabah wa Mat}ba’ah Mustafa al-Ba>bi al-Halaby, 1381), 27. Demikian pula ijtihad ‘Utsma>n mengenai berlakunya adzan jum’at sebanyak dua kali sebelum khatib naik mimbar. Lihat Amir Syarifuddin, Us}u>l, 240. 57 ‘Ali> Ibn Abī T{hālib berijtihad memberikan hukuman dera kepada peminum khamer 80 kali dera. Padahal sebelumnya peminum khamer hanya didera 40 kali. Pertimbangannya adalah apabila orang minum khamer sampai mabuk, ia akan hilang akalnya dan tidak terkontrol ucapannya sehingga akan menuduh orang berzina seenaknya. Untuk mencegah terjadinya hal itu dikenakan hukuman berat seperti yang dikemukakan kepada penuduh zina. Ibid., 241.
78
sumber tersebut tidak ditemui nas dalam persoalan yang mereka cari, maka
mereka mencari petunjuk-petunjuk yang dapat mengantarkannya kepada
pemahaman yang benar terhadap masalah tersebut. Terhadap masalah-masalah
yang tidak disebutkan hukumnya dengan nas mereka mengqiyaskan kepada
masalah yang ada nasnya, apabila hal itu mungkin dilakukan.58
Melihat metode yang dilakukan oleh sahabat dalam melakukan ijtihad,
terlihat bahwa belum banyak langkah-langkah metodologis yang dilakukan.
Mempertegas pendapat ini, Abu> Zahrah menyatakan bahwa ijtihad sebagian
sahabat masih terbatas pada menjelaskan dan menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah.
Hal ini menunjukkan bahwa ijtihad yang mereka lakukan tetap dalam bingkai al-
Qur’an dan Sunnah, dan belum banyak menggunakan rasio. Sementara sebagian
yang lain sudah menggunakan qiyas. Mereka yang sudah menggunakan qiyas, di
antaranya adalah Abdulla>h bin Mas’u>d (w 32 H) dan Ali> bin Abi> T{a>lib. Namun
demikian, hal menarik yang patut dicermati adalah bahwa ada juga sahabat yang
sudah sampai kepada penggunaan maslahat. Sahabat dalam kategori ini adalah
Umar bin Khat}t}ab.59
Analisis menarik diberikan oleh Ali> al-Sayis60 berkaitan dengan ijtihad
para sahabat. Para sahabat dalam melakukan ijtihad juga memperhatikan dala>la>t
nas dan mempergunakan rakyu. Mereka tidak hanya mencari nas semata, tetapi
menggunakan seluruh kemampuannya untuk mencari kebenaran.
Hasil pemikiran tersebut kemudian mereka hubungkan dengan dalil-dalil
dan petunjuk-petunjuk yang ada. Dengan demikian, para sahabat sudah 58 Muh}ammad Musa Towana al-Afganistani, Al-Ijtihad wama>dha> Hajatina, 38. 59 Abu> Zahrah, Ta>ri>kh al-Madha>hib al-Isla>miyah ( Kairo: Matba’ah al-Madani, t.th ), 22. 60 Muh}ammad Ali> al-Sayis, Ta>rikh al-Fiqh al-Isla>mi (Mesir: Maktabah wa Mat}ba‘ah Muh}ammad Ali> S}abih wa Awla>duh, t.th), 36.
79
melakukan ijtihad dengan qiyas, al-mas}lah}ah al-mursalah, al-bara>’ah al-as}liyah,
istih}sa>n dan sadd al-dhari>‘ah.
Contoh qiyas dalam ijtihad yang dilakukan sahabat adalah seperti yang
dilakukan oleh Ibn Mas’u>d. Menurut Ibn Mas’u>d, laki-laki muslim tidak
dibenarkan menikahi perempuan ahl al-kita>b. Landasannya adalah dengan
mengqiyaskannya kepada perempuan mushrikah. Perempuan mushrikah
diharamkan untuk dinikahi61. Dengan mengqiyaskan perempuan ahl al-kita>b
dengan perempuan mushrikah, maka hukum menikahi perempuan ahl al-kita>b
sama dengan menikahi perempuan mushrikah, yaitu haram. Apalagi, pengakuan
bahwasanya Isa sebagai Tuhan sebagaimana keyakinan golongan ahl al-kita>b,
menurut Ibn Mas’u>d, merupakan syirik yang paling besar. Lebih lanjut Ibn
Mas’u>d menafsirkan al-muh}s}ana>t yang tercantum dalam ayat المحصنات من الذین و
62أوتوا الكتاب dengan “al-muslima>t” (perempuan-perempuan muslimah).
Ijtihad dengan al-mas}lah}ah al-mursalah adalah seperti yang dilakukan
Umar bin Khat}t}a>b tentang perempuan dalam masa idah yang kawin dengan laki-
laki. Apabila terjadi persetubuhan dengan laki-laki tersebut, maka Umar
memfatwakan bahwa perempuan itu haram dikawini untuk selama-lamanya.
Fatwa Umar tersebut bertujuan untuk membatalkan keinginan perempuan itu
kawin dengan laki-laki tersebut dan sebagai hukuman baginya karena melanggar
ketentuan Allah (nikah dengan wanita pada masa idah). Fatwa itu jelas
didasarkan kepada al-mas}lah}ah al-mursalah.63 Sedangkan Ali> bin Abi> T{a>lib
mengeluarkan fatwa sebaliknya. Menurutnya, apabila masa idah habis,
61 Al-Qur’an, 2: 221. 62 Al-Qur’an, 5: 5. 63 Muh}ammad Ali> al-Sayis, Ta>ri>kh al-Fiqh, 36.
80
perempuan itu boleh kawin dengan laki-laki lain itu. Ijtihad ini didasarkan atas
al-bara>’ah al-as}liyyah64 karena pada asalnya seorang perempuan halal dikawini,
tetapi karena ia sedang menjalani masa idah, maka masa idah itu merupakan
penghalang (ma>ni’) baginya untuk kawin. Selesainya masa idah berarti ma>ni’ itu
tidak ada lagi. Dengan demikian, kondisi perempuan tersebut kembali pada sifat
hukum asalnya, yaitu halal dikawini.
Dalam kerangka penerapan istih}sa>n, apa yang telah dilakukan oleh
sahabat jelas berbeda dengan konsep istih}sa>n sekarang ini. Namun demikian,
penerapan istih}sa>n oleh para sahabat tersebut terdapat dalam pengertian umum
karena pengertian istih}sa>n adalah berpaling dari suatu dalil kepada dalil yang
lebih kuat atau kepada sesuatu yang di dalamnya ada kemaslahatan bagi umat
manusia atau kepada suatu pendapat (ra’yu) yang bersandar kepada shara’.
Menurut Muh}ammad Musa Towana, mustahil para sahabat tidak memperhatikan
hal-hal tersebut.65Selain mengembangkan ijtihad sebagaimana dipaparkan di
atas, para sahabat juga melakukan ijtihad yang didasarkan pada sad al-dhari>‘at.66
Sebagai contoh adalah kebijakan ‘Uthma>n membukukan al-Qur’an menjadi
mus}h}af dengan menggunakan satu macam huruf dengan huruf-huruf yang tujuh
(al-ah}ruf al-saba’at).67 Kebijakan ini dibuat oleh ‘Uthma>n dengan pertimbangan
agar tidak terjadi perbedaan huruf guna menutup kemungkinan timbulnya 64 Ibid., 47. Al-bara>’at al-ashliyyat artinya kebebasan asli atau kebebasan dasar. Maksudnya, asalnya perbuatan itu boleh dilakukan, akan tetapi karena ada suatu hal yang bersifat sementara yang timbul kemudian, maka perbuatan itu tidak boleh dilakukan karena hal yang timbul kemudian itu menjadi mani’ (penghalang) baginya. Akan tetapi setelah mani’ itu hilang, perbuatan itu kembali kepada hukum asalnya, yaitu boleh dilakukan. 65 Muh}ammad Musa Towana, Al-Ijtihad, 40. 66 Sadd al-dhahri>’ah berarti menutup jalan, maksudnya mencegah terjadinya sesuatu yang tidak baik dan tidak diinginkan oleh agama. 67 Ada tujuh macam huruf atau tujuh macam bacaan bagi ayat-ayat al-Qur’an yang dikenal dengan qira>’ah sab‘ah. ‘Utsma>n menyeragamkan bacaan ayat-ayat al-Qur’an dengan satu bacaan sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an sekarang ini.
81
perbedaan pendapat dalam al-Qur’an. Kebijakan ‘Uthma>n tersebut disepakati
oleh semua sahabat pada masanya.68Ijtihad yang terjadi pada masa sahabat
ternyata sudah kaya warna. Pada masa itu, para sahabat telah menggunakan
bermacam-macam metode ijtihad dalam rangka menentukan hukum terhadap
suatu masalah yang tidak disebutkan hukumnya oleh nas.
Hal itu menjadi bukti bahwa sejak zaman sahabat memang sudah banyak
timbul masalah baru yang tidak ada ketentuannya secara jelas dalam nas.
Berhadapan dengan kondisi yang semacam ini, ijtihad menjadi sesuatu yang
tidak bisa untuk dihindari, bahkan menjadi kebutuhan.
Ketiga, ijtihad pada periode tabi’in (661-699M/40-80 H). Setelah masa
sahabat berakhir,69 muncul masa tabi’in.70 Pada masa tabi’in, ijtihad semakin
banyak dilakukan. Hal ini disebabkan oleh jumlah periode kemajuan ijtihad,
sementara nas tidak bertambah. Selain itu, hal mendasar yang membedakan
antara periode sahabat dengan periode tabi’in adalah tentang eksistensi
musyawarah. Pada masa sahabat, musyawarah masih cukup kokoh, sementara
pada masa tabi’in, eksistensinya sudah mulai goyah. Dinamika persoalan yang
semakin rumit, kekuasaan Islam yang semakin luas, ditambah dengan
berpencarnya para ulama ke berbagai wilayah yang letaknya berjauhan satu sama
lain, berimplikasi pada semakin melemahnya musyawarah.
68 Ibnu Qayyim al-Jawziyah, I’lam al-Muwaqqi’i>n, 315. 69 Sahabat ialah orang yang bertemu dengan Nabi dalam keadaan mukmin dan meninggal dalam keadaan mukmin. Lihat Muh}ammad Adib S{alih, Lamh}a>t fi> Us}u>l al-Hadi>th (Mesir: Maktab al-Isla>mi, 1399 H), 24. Sahabat yang paling akhir meninggal adalah Abu> T}ufail, yaitu sekitar tahun 120 H, berarti sekitar 97 tahun setelah wafatnya Nabi Muh}ammad SAW. Oleh karena itu para ulama menganggap masa sahabat berakhir sampai tahun 100 hijriyah, dan sejak itu dimulai masa tabi’in. Muh}ammad Abu> Rayyah, Adwa>‘ ‘ala> al-Sunnah al-Muh}ammadiyyah (Mesir: Da>r al-Ma’a>rif, t.th), 243. 70 Tabi>’in ialah orang yang bertemu dengan sahabat dan meriwayatkan hadis dari padanya. Lihat Muh}ammad Adib S{alih, Lamha>t, 25.
82
Pada masa ini kedudukan ijtihad sebagai alat penggali hukum Islam
mendapat posisi yang kokoh. Para ahli sejarah menyebut periode tabi’in ini,
dengan periode kemajuan ijtihad dan masa keemasan fikih. Daerah kekuasaan
Islam semakin meluas yang meliputi berbagai lapisan umat dengan aneka macam
adat istiadat, cara hidup dan kepentingan masing-masing sehingga menimbulkan
daerah-daerah lokal dan regional yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh
besar dengan munculnya mazhab-mazhab.
Terkait dengan metode ijtihad, para ulama masa tabi’in mengikuti cara
yang sudah dirintis sebelumnya oleh sahabat. Ketika menemukan masalah,
mereka mencari ketentuannya dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang menjadi
rujukan utama. Jika dalam kedua sumber hukum yang pokok tersebut telah ada,
persoalan selesai. Tetapi jika tidak ada, mereka kembali kepada pendapat
sahabat. Apabila tidak ditemukan dalam ijma’, mereka berpedoman pada hasil
ijtihad pribadi dari sahabat yang mereka anggap kuat dalilnya. Jika pendapat
sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad.71
Dalam melakukan ijtihad, mereka sedapat mungkin menempuhnya
melalui qiyas apabila menemukan pedoman masalahnya dengan apa yang
terdapat dalam nas. Namun jika tidak mungkin, mereka menempatkan mas}lahat
umum72 sebagai bahan rujukan dalam berijtihad. Di kalangan para ulama masa
tabi’in sendiri terdapat perbedaan pendapat.
Perbedaan ini menyangkut berbagai hal. Secara sederhana, para fuqaha>‘’
zaman tabi’in dapat dibedakan menjadi dua mazhab (aliran).
71 Umar Sulaima>n Al-Ashqar, Ta>ri>kh al-Fiqh al-Isla>mi (Amman: Da>r al-Nafa>’is, 1991), 81. 72 Amir Syarifuddin, Us}u>l, 2, 245.
83
Pertama, aliran hadis, yaitu golongan fuqaha>‘ yang dalam menetapkan
hukum pertama-tama sangat terikat pada teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Apabila
dalam menetapkan hukum tidak ditemukan hukumnya dalam nas al-Qur’an dan
Sunnah, mereka berpaling pada praktik dan pendapat para sahabat. Mereka
menggunakan rakyu hanya dalam keadaan terpaksa.
Namun dalam hal-hal tidak ditemukan nas dan tidak pula terdapat
pendapat serta praktik sahabat, mereka sepakat untuk menggunakan ijtihad
dengan metode dan proporsi yang berbeda. Metode ijtihad banyak berkembang di
kalangan ulama Madinah dengan tokohnya yang paling kuat adalah al-fuqaha>‘>’
al-sab‘ah (fukaha tujuh).73 Kedua, aliran rakyu, yaitu golongan fukaha yang
dalam menetapkan hukum banyak terpengaruh dengan pola pemikiran Umar bin
Khat}t}ab, Ali> bin Abi> T{a>lib dan Ibnu Mas’ud. Ketiganya adalah sahabat Nabi
yang banyak menggunakan rakyu dalam menetapkan hukum. Pola pemikiran
mereka banyak dikembangkan oleh kebanyakan ulama yang bertempat tinggal di
Kufah.74Dengan memperhatikan penjelasan di atas, maka timbul anggapan
bahwa dalam periode tabi’in ini terdapat dua aliran yang berbeda, yaitu aliran
yang banyak menggunakan hadis dan sedikit menggunakan rakyu serta aliran
yang banyak menggunakan rakyu dan sedikit menggunakan hadis. Anggapan ini
sesungguhnya tidak benar karena aliran ahli hadis juga menggunakan rakyu
dalam penalaran mereka.
73 Yaitu Sa’ad Ibn al-Musayyab (w. 94 H), Urwah Ibn al-Zubai>r (w. 94 H), Abu> Bakar Ibn Abd Rah}man (w. 94 H), Ubaidillah Ibn Abdulla>h (w. 98 H), Kha>rijah Ibn Zaid Ibn Tsabit (w. 99 H), Al-Qasim Ibn Muh}amad Ibn Abi Bakar (w.107 H) dan Sulaima>n Ibnu Yasa>r (w. 107 H). Baca Umar Sulaima>n al-Ashqar, Ta>ri>kh, 85 – 86. 74 Yaitu Alqamah Ibn Qais al-Nakha>’i (w. 62 H), Al-Aswad Ibn Yazid al-Nakha>’i, Abu> Maisarah ‘Amr Ibn Syara>hil al-H{amdani, Masru>q Ibn al-Ajda al-H{amdani (w.63 H), Ubaidah al-Salmani> dan Shuraih Ibn H{arith al-Kindi> (w. 82 H). Ibid., 87.
84
Demikian juga aliran ahli rakyu sesungguhnya juga mengunakan hadis
dalam menetapkan hukum. Ima>m Ma>lik misalnya, meskipun merupakan seorang
ahli hadis, beliau sesungguhnya juga banyak menggunakan rakyu dalam kitabnya
al-Muwat}t}a’. Ima>m al-Shafi’i>> berkomentar terhadap gurunya tersebut sebagai ahl
al-’ilmi bi al-hadi>th wa al-ra’yu yang menunjukkan perpaduan antara hadis dan
rakyu. Istilah ini menunjukkan bahwa Ima>m Ma>lik tidak memberikan penekanan
pada hadis dan mengabaikan penggunaan nalar.
Lebih jauh, merupakan hal yang kurang tepat pula menyatakan bahwa ahli
hadis adalah orang Madinah, sedangkan ahli rakyu adalah orang Kufah atau
selain Madinah sebab tidak semua orang Madinah ahli hadis, dan tidak semua
orang Kufah ahli rakyu. Generalisasi semacam ini mengabaikan keragaman fakta
yang ada.
Keempat, ijtihad pada periode imam-imam mazhab (699-855 M/80-
241H). Periode ini dalam sejarah hukum Islam dikenal sebagai zaman keemasan
dan kesempurnaan.75 Penyebutan ini muncul karena pada periode inilah hukum
Islam mencapai puncak kejayaannya bersamaan dengan kemajuan dunia Islam
pada hampir semua bidang kehidupan. Periode yang sering disebut dengan
“periode kemajuan ijtihad dan keemasan hukum Islam” ditandai dengan
munculnya nama para mujtahid kenamaan. Mereka, antara lain, Abu> H{anifah,
Ma>lik bin Anas, Muh}ammad bin Idri>s al-Sha>fi’i>>, dan Ah}mad Ibn H{anbal.
Keempat mujtahid ini disebut dengan al-a’immah al-arba’ah (imam yang empat).
Mereka merupakan para pendiri mazhab fikih Islam terkenal yang mempunyai
75 TM Hasbi Ash Siddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam-Imam Madhhab dalam Membina Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 31-32.
85
banyak pengikut sampai sekarang ini. Abu> H{anifah (80-150 H) dan Ma>lik bin
Anas (93-179 H) merupakan mujtahid periode tabi’in, sedangkan al-Sha>fi’i>> (150-
204 H) dan Ah}mad Ibn H{anbal (164-241 H) dapat dikelompokkan ke dalam
periode atba’ ta>bi’i>n.
Selain empat serangkai imam mazhab tersebut, sejarah juga mencatat
mujtahid-mujtahid terkenal lainnya dalam periode ini. Beberapa nama yang dapat
disebut adalah Ima>m Zaid Ibn Ali> al-H{usayn (80-122 H), Ima>m Ja’far As-S{adi>q
(80-148 H), Ima>m Abdurrah}man Ibn Muh}ammad al-Awza’i (88-157 H), dan
Ima>m Dau>d Ibn Ali> Ibn Khalla>f al-Z}ahiri (224-330H). Dua nama yang pertama
adalah imam-imam mujtahid dalam mazhab Syi’ah, sedangkan tiga yang terakhir
adalah para imam dari al-madhahib al-ba’i>dah (mazhab-mazhab yang telah
punah). Berbeda dengan mazhab-mazhab fikih yang empat yang sampai sekarang
ini terbukukan dengan baik dan mempunyai banyak pengikut, mazhab Zahiri, al-
Awza’i, dan al-T}abari (w 310 H) fatwa-fatwanya nyaris telah ditinggalkan para
pengikutnya. Sementara catatan sejarah juga hampir melupakannya. Itulah
sebabnya mazhab-mazhab tersebut disebut al-madha>hib al-ba’i>dah.
C. Maqa>s}id al-Shari>’ah
1. Hakikat maqa>s}id al-shari>’ah
Maqa>s}id al-shari>’ah berarti tujuan Allah dan Rasulnya dalam
merumuskan seluruh hukum syarak.76 Para ulama berbeda pendapat dalam
menggunakan term yang dipakai penyebutan maqa>s}id al-shari>‘ah. Ada yang
menyebutkan dengan maqa>s}id al-shari>’ah, al-maqa>s}id al-shari>’iyah fi al-shari>’ah
dan maqa>s}id min shari>’at al-hukm. Meskipun sebutan yang digunakan para ulama
76 Wahbah al-Zuh}aili>, Us}u>l al-Fiqh al-Islam, jilid 2 (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1422H/2001M), 1045.
86
berbeda-beda, namun pada hakikatnya yang menjadi tema utama dalam
bahasannya adalah mengenai masalah h}ikmat dan ’illat ditetapkannya suatu
hukum.77
{Pembahasan mengenai maqa>s}id al-shari>’ah ini merupakan pembahasan
yang penting dalam bidang us}u>l fikih. Apalagi dalam perkembangan selanjutnya
pembahasan ini menjadi objek utama dalam filsafat hukum Islam sehingga Subhi
Mahmasani mengatakan bahwa istilah maqa>s}id al-shari>’ah identik dengan filsafat
hukum Islam.78Para mujtahid perlu mengetahui maqa>s}id al-shari>’ah ini dalam
rangka memberikan pemahaman dan kejelasan terhadap berbagai persoalan
hukum kontemporer yang tidak diatur secara jelas oleh al-Qur’an dan hadis. Di
samping itu perlu diketahui pula, apakah suatu masalah masih dapat diterapkan
ketentuan hukumnya atau karena adanya perubahan struktur sosial sehingga
hukum tidak dapat diterapkan lagi. Di sinilah, pengetahuan tentang maqa>sid al-
shari>’ah menjadi kunci keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya.79
Untuk mengatasi persoalan-persoalan fikih kontemporer, perlu terlebih
dahulu diteliti hakikat dari masalah tersebut, penelitian terhadap suatu kasus
yang akan diputuskan ketentuan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian
terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya.
Dalam menerapkan nas terhadap suatu kasus yang baru, kandungan nas
harus diteliti secara cermat, termasuk meneliti tujuan disyariatkan hukum
tersebut.80 Setelah itu baru dilakukan tah}qi>q al-mana>t} (studi kelayakan), apakah
77Ah}mad al-Raisuri, Naz}ariyyat al-Maqa>sid ‘inda al-Shati>bi (Rabat: Da>r al-Amar, 1991), 67. 78Subh}i Mah}masani, Falsafat al-Tashri’fi al-Isla>m (T.t: Da>r al-Kashhaf, 1952), 69. 79Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhamadiyyah (Jakarta: Logos Publishing House, 1995), 36. 80 Ibid, 37.
87
ayat atau hadis tertentu layak dijadikan dalil pada kasus baru tersebut. Mungkin
saja ada suatu kasus yang baru yang hampir sama dengan kasus hukum yang
terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Ternyata, setelah diadakan penelitian yang
seksama, kasus tersebut tidak dapat disamakan hukumnya dengan kasus hukum
yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Di sinilah letak pentingnya
pengetahuan tentang tujuan umum di syariatkan hukum dalam Islam (maqa>s}id al-
shari>’ah)81
Gagasan mengenai teori maqa>s}id al-shari>’ah banyak dilakukan oleh ulama
us}u>l fikih. Ima>m al-Juwai>ni (w 478 H), guru al-Gazali (w 505 H), dapat
dikatakan orang yang pertama kali mengajukan teori maqa>s}id al-Shari>‘ah. Al-
Juwai>ni dengan tegas menyatakan seseorang belum bisa dikatakan mampu
menetapkan hukum Islam sebelum ia dapat memahami dengan benar tujuan
Allah menetapkan perintah dan larangan-larangannya.82 Al-Juwai>ni menguraikan
gagasannya tentang teori maqa>s}id al-shari>‘ah dalam kaitanya dengan ’ilat pada
masalah qiyas.83 Pada dasarnya, al-Juwai>ni mengklasifikasikan maqa>s}id al-
shari>‘ah menjadi tiga jenis, yaitu d}aru>riyat, h}a>jjiyat dan makhamat atau dikenal
dengan istilah tah}si>niyat.
Pemikiran al-Juwai>ni kemudian dikembangkan oleh muridnya, al-Ghaza>li>,
yang menjelaskan maqa>s}id al-shari>‘ah dalam kaitanya dengan pembahasan al-
muna>sabat al-maslah}iyat dalam qiyas.84 Al-Ghaza>li> mengelompokkan maslah}at
81 Ibid. 82Abd al-Ma>lik Ibnu Yusu>f Abu> al-Ma’ali al-Juwaini, al-Burha>n fi Us}u>l al-Fiqh, Jilid I (Kairo: Da>r al-Ans}ar, 1400 H), 295. 83Ibid, Jilid II, 923-930. 84Abu> H}amid Ibnu Muh}ammad Ibnu Muh}ammad al-Ghaza>li>, Shifa’ al-Ghalil fi Bayuni al-Shibh wa al-Mukhil wa Masa>lil al-Ta’lil (Bagdad: Matba’at al-Irsyad, 1971), 159. Lihat juga al-Ghaza>li>, Al-Mustasfa, jilid I, 287-292
88
menjadi lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.85
Kemudian al-Ghaza>li> menjelaskan bahwa lima aspek maslahat tersebut harus
mempertimbangkan peringkat d}arurat, h}a>jat dan tah}sinat.86 Ulama berikutnya
yang mengajarkan gagasan yang sama tentang maqa>s}id al-shari>‘ah ialah al-
Sha>t}ibi>. Beliau mengatakan bahwa tujuan utama Allah SWT mensyariatkan
hukumnya adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.87 Ia
mengklasifikasikan maslah}at pada tiga tingkatan, yaitu d}aru>riyat, h}a>jiyat dan
tah}si>niyat. Peringkat ketiga menyempurnakan peringkat kedua.88
Sedangkan Izzu al-Di>n Ibn Abd al-Sala>m (w 660 H) dari mazhab al-
Sha>fi’i> dalam kajiannya tentang maqa>s}id al-shari>‘ah lebih banyak menguraikan
hakikat maslahat yang diwujudkan dalam bentuk da>r al-maqa>s}id wa jalbu al-
maslah}at dunyawiyat (menghindari maslahat dan menarik manfaat).89 Menurut
pandangannya, maslah}at dunyawiyat tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkatan,
yaitu d}aru>riyat, h}a>jiyat dan tatimat atau takmilat.90 Ia menyatakan bahwa taklif
mempertimbangkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.91Yang dimaksud
dengan d}aru>riyat adalah kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi
kehidupan manusia. Kebutuhan esensial tersebut adalah menjaga agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Jika kebutuhan-kebutuhan pokok tidak terpenuhi maka
akan berakibat pada terancamnya eksistensi kelima hal pokok tersebut.92
85Ibid, 251. 86Ibid. 87Yang dimaksud dengan kemaslahatan adalah memelihara lima aspek utama, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Ibid, Jilid II, 251. 88Ibid. 89Ibn Abd al-Salam, Qawa>’id al-Ahkam fi Masa>lih al-Anam (Kairo: al-Istianamat, t.th), Jilid I, 9. 90Ibid., jilid II, 60-62. 91Ibid., 62. 92Abu> Is}ha>q Ibra>hi>m al-Sya>t}ibi>, Al-Muwafaqat fi Us}u>l al-Ahkam, Juz II (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1341 H), 4.
89
Sedangkan peringkat h}a>jiyat tidak termasuk kebutuhan yang esensial melainkan
kebutuhan yang dapat dihindarkan manusia dari kesulitan hidupnya.93 Tidak
terpeliharanya ha>jiyat ini tidak akan mengancam eksistensi kelima aspek pokok
tersebut tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi marh}alah. Adapun
kebutuhan dalam kelompok tah}si>niyat adalah kebutuhan yang menunjang
peningkatan martabat individu dalam hidupnya, baik dalam kaitannya dengan
sesama manusia maupun dalam kaitannya dengan Tuhan sesuai dengan
kepatutan.94 Maksudnya, kelompok tiga ini adalah kebutuhan yang sifatnya
sebagai penyempurna dan tidak akan mempersulit, apalagi mengancam eksistensi
kelima unsur pokok tersebut.
Apabila dicermati, penentuan peringkat d}aru>riyat, ha>jiya>t dan tah}si>niyat
adalah dimaksudkan untuk memudahkan mewujudkan kelima aspek pokok
tersebut dengan mempertimbangkan tingkat kepentingan yang berbeda satu sama
lain. Kebutuhan dalam tingkatan d}aru>riyat dapat disebut sebagai kebutuhan
primer dan apabila diabaikan maka akan berakibat terancamnya kelima kelompok
tersebut. Kebutuhan dalam tingkatan h}a>jiyat dapat disebut sebagai kebutuhan
sekunder, jika diabaikan, tidak akan mengancam eksistensinya, melainkan akan
mempersulit dan menggangu kehidupan manusia. Sedangkan kebutuhan dalam
tingkat tah}si>niyat erat kaitannya dengan upaya menjaga moral sesuai dengan
kepatutan dan tidak akan mempersulit dan mengancam eksistensi kelima pokok
tersebut. Dengan kata lain, kebutuhan dalam tingkatan tah}si>niyat lebih bersifat
pelengkap. 93Ibid., 5. 94Muh}ammad Sa’id Ramadhan al-Buti, Dawa>bit al-Maslah}at fi al-Shari’at al-Islamiyyat (Beiru>t: Muassat al-Tisalat, t.th), 249-254; al-Sya>t}ibi>, Al-Muwafaqat, Jilid II, 4-15; Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Us}u>l Fiqh, terj. Moh Zuhri (Semarang: Dinautama, 1994), 322-324.
90
2. Lima Unsur Pokok Maqa>s}id al-Shari>’at
Syariat Islam diberlakukan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Kemaslahatan manusia dapat diwujudkan apabila kelima unsur pokok—agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta berdasarkan kepada tingkat kepentingan dan
kebutuhan masing-masing dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Secara
terperinci, kelima unsur pokok itu adalah: pertama, memelihara agama (hifz} al-
di>n), yaitu menjaga atau memelihara agama berdasarkan kepentingannya.
Memelihara agama ini dapat dibedakan menjadi tiga peringkat, yaitu: (1)
memelihara agama dalam tingkat d}aru>riyat, yaitu memelihara dan melaksanakan
kewajiban keagamaan yang masuk peringka primer, seperti salat lima waktu. (2)
memeihara dalam tingkat h}a>jiyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama dengan
menghindari kesulitan, seperti salat jama’ dan qasar bagi orang yang sedang
bepergian. Jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan menggangu
eksistensi agama, akan tetapi akan menimbulkan kesulitan bagi orang yang
melakukannya. (3) memelihara agama dalam peringkat tah}si>niyat, yaitu
mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus
melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan. Misalnya, menutup aurat,
membersihkan badan, pakaian dan tempat tingggal. Pelaksanaan ketentuan ini
erat kaitannya dengan akhlak mulia. Apabila ia tidak ditunaikan karena tidak
memungkinkan maka tidak akan menggangu eksistensi agama dan tidak pula
akan menyulitkan orang yang melakukannya.
Kedua, memelihara jiwa (hifz} al-nafs) berdasarkan tingkat
kepentingannya, dapat dibedakan mejadi tiga, yaitu: (1) memelihara jiwa dalam
tingkat d}aruriyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk
91
mempertahankan hidup. Apabila kebutuhan pokok itu diabaikan maka akan
berakibat terganggunya eksistensi jiwa manusia. (2) memelihara dalam peringkat
h}a>jiyat, seperti diperbolehkannya berburu binatang untuk menikmati makan yang
halal dan lezat. Kalau ketentuan ini diabaikan maka tidak akan mengakibatkan
kesulitan hidupnya. (3) memelihara jiwa dalam peringkat tah}si>niyat, seperti
diterapkannya tata cara makan dan minum yang menyangkut kesopanan dan
etika. Apabila diabaikan maka tidak akan menggangu eksistensi jiwa manusia,
ataupun berakibat mempersulit kehidupan manusia.
Ketiga, memelihra akal (hifz} al-aql), dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat, yaitu: (1) memelihara akal dalam peringkat d}aru>riyat, seperti
diharamkannya minum-minuman keras. Apabila aturan ini tidak dilaksanakan
maka akan mengakibatkan terancamnya eksistensi akal. (2) memelihara akal
dalam peringkat ha>jiyyat, seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan.
Jika kegiatan ini tidak dilaksanakan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan
mempersulit diri seseorang, apalagi dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu
pengetahuan. (3) memelihara akal dalam peringkat tah}si>niyat, seperti
menghindarkan diri dari mengkhayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak
berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika dan tidak akan mengancam
eksistensi akal secara langsung.
Keempat, memelihara keturunan (hifz} al-nasl) yang dapat dibedakan
menjadi tiga peringkat, yaitu: (1) memelihara keturunan dalam peringkat
d}aru>riyat, seperti disyariatkannya nikah dan larangan zina. Kalau aturan ini tidak
dilaksanakan maka eksistensi keturunan akan terancam. (2) peringkat h}a>jiyat,
seperti ditetapkannya ketentuan menyebut mahar bagi suami pada waktu akad
92
nikah dan diberikannya hak talak kepadanya. Apabila mahar tidak disebutkan
pada waktu akad nikah maka suami akan mengalami kesulitan karena ia harus
membayar mahar mithil sedangkan dalam masalah talak suami akan mengalami
kesulitan, kalau suami tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi dan
kondisi rumah tangga sudah tidak harmonis. (3) peringkat tah}si>niyat, seperti
disyariatkannya khit}bah atau walimah dalam perkawinan. Kegiatan ini
dilaksanakan dalam rangka menyempurnakan pelaksanaan perkawinan. Jika tidak
dilaksanakan tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula
mengakibatkan kesulitan orang yang akan melangsungkan keturunan. Ia hanya
berkaitan dengan etika dan manfaat seseorang.
Kelima, memelihara harta (hifz} al-ma>l) yang dapat dibedakan menjadi
tiga peringkat, yaitu: (1) memelihara harta dalam peringkat d}aru>riyat, seperti
syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang
lain dengan cara yang tidak sah. Jika aturan itu dilarang maka akan berakibat
terancamnya eksistensi harta. (2) memelihara harta dalam peringkat h}a>jiyat,
seperti syariat tentang jual beli dengan cara salam. Apabila ketentuan ini tidak
digunakan maka tidak akan mengancam eksistensi harta, akan tetapi dapat
mempersulit seseorang yang memerlukan modal. (3) Peringkat tah}si>niyat, seperti
menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini terkait dengan etika
bermu’amalah dan berpengaruh terhadap sah tidaknya mu’amalah atau jual beli
tersebut, karena pada tingkatan ketiga ini juga merupakan syarat adanya
tingkatan kedua dan pertama.
93
Dalam setiap peringkat dari tiga tingkatan teori maqa>s}id al-shari>’ah,95
terdapat hal-hal yang bersifat penyempurnaan. Dalam peringkat pertama,
d}aru>riyyat yaitu maqa>s}id al-shari>’ah yang pasti diperlukan dan tidak dapat
dilalaikan. Oleh karena itu seseorang dibolehkan mengkonsumsi makanan yang
diharamkan demi melindungi nyawanya dari kematian. Kedua peringkat h}a>jiyat,
maksudnya perbuatan itu diperlukan untuk menghilangkan kesempitan dan
menghindarkan seseorang dari kewajiban yang sangat memberatkan. Andaikata
tidak diatasi maka seseorang akan menanggung beban yang menyakitkan
(mashaqah).
Meskipun demikian tidak adanya maqa>s}id al-shari>‘ah dalam peringkat ini
tidak sampai mengganggu kemaslahatan umum, juga tidak akan membawa
kepada kerusakan seperti yang terdapat dalam peringkat d}aru>riyat. Sebagai
contoh adalah ditetapkannya khiya>r dalam jual beli untuk memelihara harta atau
ditetapkan adanya kafa’at dalam perkawinan untuk memelihara keturunan.
Ketiga, peringkat tah}si>niyat. Maksudnya, melakukan adat kebiasaan yang
baik dan menjauhi hal-hal yang dapat diterima oleh akal sehat. Misalnya,
ditetapkannya tata cara t}aharah dalam rangka pelaksanaan salat untuk memenuhi
perintah agama.96
Urutan kemaslahatan tersebut di atas sangat penting diketahui oleh para
mujtahid untuk dijadikan pertimbangan dalam menentukan skala prioritas jika
terjadi pertentangan antara kemaslahatan yang satu dengan kemaslahatan yang
lain. Dalam konteks ini, peringkat d}aru>riyat (pertama) harus didahulukan dari
95Abu> Is}h}}a>q Ibra>him al-Sha>t}ibi>, Al- Muwafaqat, Jilid II, 9. 96Muh}ammad Sa’id Ramadhan al-Buti>, Dawabit al-Maslah}at, 250-251.
94
pada peringkat h}a>jiyat (kedua) dan peringkat tah}si>niyat (ketiga). Dengan kata
lain, aturan ini menunjukkan bahwa diperbolehkan meninggalkan kasus yang
termasuk peringkat kedua dan ketiga apabila kemaslahatan yang termasuk
peringkat pertama terancam eksistensinya. Misalnya, seseorang diwajibkan
memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan kehidupan
dengan makanan yang halal.
Apabila pada suatu saat ia tidak mendapatkan makanan yang halal,
padahal ia akan mati kalau tidak makan, maka ia diperbolehkan memakan
makanan yang diharamkan untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Makan dalam
hal ini termasuk memelihara jiwa dalam peringkat d}aru>riyat yang harus
didahulukan daripada memelihara jiwa dalam peringkat h}a>jiyat yaitu makan
makanan yang halal. Demikian pula apabila peringkat tah}si>niyat bertentangan
dengan peringkat h}a>jiyat, maka peringkat h}a>jiyat harus didahulukan dari pada
peringkat tah}si>niyat. Misalnya, melaksanakan salat berjama’ah termasuk
peringkat h}a>jiyat, sedangkan imam syaratnya orang saleh, bukan orang fasik,
termasuk tingkat tah}si>niyat. Apabila dalam suatu kelompok umat Islam tidak
mendapatkan imam yang memenuhi persyaratannya, maka diperbolehkan
makmum pada imam yang fasik untuk melaksanakan salat berjama’ah yang
bersifat h}a>jiyat itu.
Persoalan yang dilakukan di atas adalah terbatas pada masalah yang
berbeda peringkat. Sedangkan dalam kasus yang peringkatnya sama, misalnya
peringkat d}aru>riyat dengan peringkat h}a>jiyat, dan begitu seterusnya, maka
ketentuannya adalah: (1) apabila pertentangan itu terjadi dalam urutan yang
berbeda dari lima pokok kemaslahatan tersebut, maka dasar pertimbangannya
95
adalah mengikuti urutan kemaslahatan yang sudah baku, yaitu kemaslahatan
dalam rangka memelihara agama (hifz} al-di>n) harus didahulukan dari pada
kemaslahatan dalam rangka memelihara jiwa (hifz} al-nafs) dan begitu seterusnya.
Misalnya, jihad di jalan Allah termasuk dalam peringkat d}aru>riyat jika
dihubungkan dengan memelihara eksistensi agama. Dalam batas terancam
eksistensinya, memelihara agama adalah d}aru>riyat, dan untuk itu disyariatkannya
jihad yang dapat juga membawa korban manusia. Dalam hal ini, memelihara
agama dengan jihad harus didahulukan dari pada memelihara akal. Contoh
lainnya adalah seseorang diperbolehkan minum-minuman keras yang pada
dasarnya akan merusak akal apabila ia tidak minum minuman itu. Dalam hal ini
memelihara jiwa harus didahulukan dari pada memelihara akal.97 (2) Apabila
pertentangan itu terjadi dalam peringkat dan urutan yang sama, misalnya sama-
sama menjaga harta atau menjaga jiwa dalam peringkat h}a>jiyat, maka mujtahid
harus mendahulukan kemaslahatan yang paling penting (besar) contoh :
pembuatan sungai untuk pengairan dan menanggulangi banjir, bisa juga hal ini
berbenturan dengan hak milik seseorang yang harus direlakan demi kepentingan
orang banyak. Dalam hal ini kepentingan orang banyak harus didahulukan dari
pada kepentingan perorangan. Kedua kemaslahatan ini berada pada peringkat
h}a>jiyat, dalam rangka memelihara harta.98
3. Hubungan Ijtihad dengan Maqa>s}id al-Shari>’ah
Tujuan utama disyariatkan hukum adalah untuk memelihara
kemaslahatan dan sekaligus menghindarkan kemafsadatan, baik di dunia maupun
97Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad, 46. 98Ibid., 47.
96
diakhirat. Dalam kasus hukum yang secara eksplisit dijelaskan dalam al-Qur’an
dan hadis, kemaslahatan dapat ditelusuri melalui teks yang ada. Jika ternyata
kemaslahatan itu dijelaskan, maka kemaslahatan itu dijadikan titik tolak
penetapan hukumnya. Kemaslahatan seperti ini dalam us}u>l fi\kih digolongkan
kepada al-maslah}at al-mu’tabarah99. Berbeda halnya jika kemaslahatan itu tidak
dijelaskan secara eksplisit kedalam dua sumber itu. Dalam hal ini peran mujtahid
sangat penting untuk menggali dan menemukan maslahah yang terkandung
dalam penetapan hukum. Pada dasarnya hasil penelitian ini dapat diterima,
selama tidak bertentangan dengan maslahat yang telah ditetapkan dalam kedua
sumber tersebut. Jika ternyata terjadi pertentangan, maka maslahah ini
digolongkan menjadi al-maslah}ah al-mulghah100
Usaha para ahli us}u>l fikih dalam mencari maslahat itu diwujudkan dalam
bentuk metode ijtihad. Berbagai istilah telah mereka gunakan untuk menyebut
metode penemuan hukum. Namun pada dasarnya, semua metode itu bermuara
pada upaya penemuan maslahah, dan menjadikannya sebagai alat untuk
menetapkan hukum yang kasusnya tidak disebutkan secara eksplisit baik dalam
al-Qur’an maupun hadis. Atas dasar ini maka dapat dikatakan, bahwa setiap
99Al-Maslah}at al-mu’tabarah yaitu maslahah yang ada petunjuk dari shari’, baik langsung maupun tidak langsung, yang memberikan petunjukkan adannya maslahah yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum. Baca Wahbah al-Zuh}aili>, Us}u>l Fiqh, Jilid II, 752. Amir Syarifuddin, Us}u>l Fiqh, Jilid 2, 329. 100Maslah}ah mulghah adalah maslahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syarak dan ada petunjuk syarak melaluinya. Contohnya adalah raja atau orang kaya mencampuri istrinya di siang hari di bulan Ramadhan. Untuk orang ini sangsi yang baik adalah puasa dua bulan berturut-turut karena cara inilah yang diperkenakan akan membuat jera dalam melakukan pelanggaran. Pertimbangan ini memang baik dan masuk akal, bahkan sejalan dengan tujuan syarak dalam menetapkan hukum yaitu menjerakan orang yang melakukan pelanggaran. Namun apa yang dianggap baik oleh akal ini ternyata tidak diumumkan menurut syarak bahkan ia menetapkan hukum yang berbeda dengan itu, yaitu memerdekakan hamba sahaya, meskipun sangsi ini bagi orang kaya atau raja dinilai kurang relevan untuk membuatnya jera. Baca Wahbah al-Zuh}aili>, ibid., 753-754; Amir Syarifuddin, ibid., 331.
97
metode penetapan hukum yang dipakai oleh para ahli us}u>l fikih bermuara pada
maqa>s}id al-shari>‘ah.
Dalam melaksanakan ijtihad tat}bi>qi, ijtihad istinba>t}i memegang peranan
yang sangat penting, karena pengetahuan tentang esensi dan maksud umum suatu
nas tetap menjadi tolak ukur penetapan hukum kesalahan dalam memahami
maksud nas akan melahirkan kesalahan pula dalam menilai persoalan-persoalan
baru dan penerapan hukumnya, apalagi jika hal itu berupa suatu kekeliruan maka
lebih fatal lagi akibatnya. Oleh karenanya ijtihad tat}bi>qi dalam bentuk tah}qi>q al-
mana>t}101 harus dikaitkan dengan takhri>j al-mana>t} 102 dan tanqi>h} al-mana>t} 103
sebagai ijtihad istinba>t}i104 Mekanisme keterkaitan antara dua bentuk ijtihad
tersebut dapat dilihat dalam firman Allah:
وى عدل منكم وأشھد واذ
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu”105
Ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang dapat menjadi saksi adalah
orang yang bersifat adil. Kata adil dalam ayat tersebut merupakan kata kunci.
Dalam melakukan ijtihad, seseorang harus mengetahui dengan teliti sifat adil
yang dimaksud oleh nas al-Qur’an. Usaha mengetahui kriteria adil dapat disebut
ijtihad istinba>t}i .
101 Berijtihad untuk mengetahui adanya ilat dalam beberapa permasalahan hukum setelah mujtahid mengetrahuinya dengan dirinya sendiri. Baca: Ala’udin al-Mardawi, Al Tah}bi >r Sharh al-Tah}ri>r fi Us}u >l al-Fiqh, juz 7( Riyad: Al-Rushdi, 2000), 3331. 102 Berijtihad untuk mengeluarkan ‘ilat hukum yang sudah dijelaskan oleh nas atau ijmak untuk menjelaskan ilat asal tanpa adanya pertentangan. Baca: Badrudin As Zarkashy, Al-Bah}ru al- Muh}i>t} fi Us}u>l al-Fiqh, juz 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), 228. 103 Ijtihad ulama dalam menentukan ilat yang mengikat suatu hukum sehingga ada ilat yang dibuang dan ada ilat yang ditetapkan.Baca: Abu al-Abbas al-Qarafi, Sharh Tanqi>h} al-Fus}u>l ( Beirut: Al-Faniyah al-Mutahidah, t.th), 398. 104Ibid., 49-54; Lihat pula Syahrin Harahap, Islam Dinamis: Menegakkan Nilai–nilai al-Qur’an dalam Kehidupan Modern di Indonesia (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), 80-86. 105al-Qur’an, 62: 2.
98
Tahapan berikutnya seorang mujtahid harus meneliti siapa sifat adil yang
dimaksud oleh nas al-Qur’an ini merupakan upaya ijtihad tat}bi>qi. Kecocokan
kriteria sifat adil yang dipahami dari al-Qur’an dengan sifat adil yang terdapat
dalam diri seseorang perlu diketahui secara teliti, sehingga al-Qur’an sebagai
sumber hukum dapat diterapkan. Apabila dicermati lebih lanjut mekanisme
ijtihad dengan contoh di atas, tampak bahwa ijtihad istinba>t}i mempunyai
hubungan yang erat dengan keharusan pemahaman maqa>s}id tersebut merupakan
upaya menggali maksud hukum yang terkandung dalam nas al-Qur’an dan hadis
yang merupakan khit}ab al-shar’i.
Dengan demikian antara ijtihad istinba>t}i dan ijtihad tat}bi>qi mempunyai
hubungan yang saling memerlukan. Hal ini mengisyaratkan adannya hubungan
antara ijtihad tat}bi>qi dan maqa>s}id al-shari>‘ah. Untuk melihat urgensi maqa>s}id al-
shari>‘ah dalam ijtihad, harus diteliti kembali pengertian istilah ijtihad itu
sendiri. Sebagaimana pendapat al-Sha>t}ibi> yang menyatakan bahwa ijtihad adalah
upaya penggalian hukum syarak secara optimal. Di mana upaya penggalian
hukum syarak ini berhasil apabila seorang mujtahid dapat memahami maqa>s}id
al-shari>‘ah.
Dalam kaitanya dengan hal ini, al-Syha>t}ibi> menyatakan bahwa derajat
ijtihad bisa dicapai apabila seseorang, untuk melihat urgensi maqasid al-shari>‘ah
dalam ijtihad penggalian hukum syarak dapat secara optimal, maka apabila
seseorang mujtahid memiliki dua kriteria.106
Pertama, dapat memahami maqa>s}id al-shari>’ah secara sempurna. Apabila
seseorang mampu memahami maqa>s}id al-shari>’ah dalam segala persoalan dengan
106al-Sha>t}ibi>, al-Muwafaqat, Jilid IV, 56-62.
99
rinciannya, berarti ia telah sampai pada tingkatan pemahaman khalifah-khalifah
Nabi dalam mengajar, berfatwa dan menetapkan hukum sesuai dengan hukum
yang diturunkan Allah SWT. Kedua, kemampuan menarik kandungan hukum
atas dasar pengetahuan dan pemahaman maqa>s}id al-shari>’ah itu adalah dengan
bantuan bahasa Arab, al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua kriteria tersebut saling berkait. Kriteria kedua merupakan alat
bantu bagi kriteria pertama yang merupakan tujuan. Artinya, kriteria kedua
merupakan perantara bagi kriteria pertama sebagai tujuan. Dengan kata lain,
ijtihad dapat dilakukan dan berhasil apabila seseorang dapat memahami maqa>s}id
al-shari>’ah dengan sempurna. Maqa>s}id al-shari>’ah dapat dipahami apabila
seseorang memiliki kemampuan menguasai bahasa Arab, al-Qur’an dan sunah.
Kalangan ulama selain al-Sha>t}ibi> tidak menyebut pengetahuan maqa>s}id al-
shari>’ah sebagai syarat bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad dan
sampainya seseorang pada tingkat mujtahid. Dalam hal ini diperlukan
pembahasan yang lebih mendalam untuk menemukan penjelasan dan menentukan
apakah mereka benar-benar demikian keberadaannya.107
Dalam kaitannya dengan yang terakhir ini, ada beberapa pandangan di
kalangan ulama. Pertama, ulama yang tidak memasukkan syarat mengenai
mampu memahami maqa>s}id al-shari>’ah sebagai syarat mutlak ijtihad. Ada
kemungkinan mereka memasukkan syarat ini ke dalam syarat mengetahui dan
memahami al-Qur’an dan sunah. Artinya, apabila seseorang telah dapat
memahami al-Qur’an dan sunah secara umum, diharapkan ia dapat mengetahui
107Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Shari>‘ah menurut al-Sha>tibi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 130.
100
dan memahami maqa>s}id al-shari>’ah terkandung di dalam al-Qur’an dan sunah
tersebut.
Kedua, kemungkinan lain adalah bahwa ulama yang tidak mau
menyebutkan istilah maqa>s}id al-shari>’ah mengharuskan seseorang yang akan
melakukan ijtihad mengetahui qawa>’id al-kulliyyah (kaidah-kaidah umum). Al-
Ghaza>li> misalnya, mengharuskan seseorang yang ingin berijtihad melakukan
penelitian lebih dahulu terhadap kaidah-kaidah umum serta memprioritaskannya
dari hukum-hukum yang khusus (juz’iyyah).
Dari dua pandangan di kalangan ulama terhadap maqa>s}id al-Shari>‘ah di
atas dapat dikatakan bahwa para ulama pada umumnya tidak menjadikan
maqa>s}id al-shari>’ah sebagai syarat yang menentukan. Menurut mereka, maqa>shid
al-shari>’ah dengan sendirinya termasuk dalam persyaratan umum memahami al-
Qur’an, sunah dan pemahaman kaidah kulliyyah. Oleh karenanya mereka
menempatkan pertimbangan maqa>s}id al-shari>’ah sebagai syarat al-takmi>liyyah
(menyempurna atau pelengkap). Pandangan ini sangat berbeda dengan pandangan
al-Sha>t}ibi> yang menempatkan maqa>s}id al-shari>’ah sebagai syarat yang sangat
menentukan keberhasilan sebuah ijtihad.
Pengetahuan dan pemahaman tentang maqa>s}id al-shari>’ah merupakan
aspek penting dalam melakukan ijtihad. Seseorang yang hanya berhenti pada
z}ahir lafaz} atau pendekatan lafz}iyyah dan terikat dengan nas yang juz’iyyah,
serta mengabaikan maksud-maksud pensyariatan hukum akan berhadapan pada
kekeliruan-kekeliruan dalam ijtihad. Dengan demikian, maqa>s}id al-shari>’ah
menjadi kunci bagi keberhasilan seorang mujtahid dalam ijtihadnya. Hal ini
disebabkan karena kepada landasan tujuan hukum itulah setiap persoalan dalam
101
kehidupan manusia dikembalikan, baik terhadap masalah-masalah baru yang
belum ada secara harfiah dalam wahyu maupun dalam kepentingan untuk
mengetahui apakah suatu kasus masih dapat diterapkan suatu ketentuan hukum
atau tidak, karena terjadinya pergeseran-pergeseran nilai akibat perubahan-
perubahan sosial.