bab ii tinjauan umum tentang istinba

44
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA< T} HUKUM ISLAM DAN MAQA< S{ ID AL-SHARI< ’AH A. Ijtihad dan Permasalahannya 1. Pengertian Ijtihad Ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti “menggerakkan segenap kemampuan untuk mewujudkan sesuatu”. 1 Karena itu ijtihad menurut bahasa ialah kerja keras dan bersungguh-sungguh, 2 atau kerja keras untuk mendapatkan sesuatu. 3 Pengertian ijtihad menurut bahasa ini erat kaitannya dengan pengertian menurut terminologi (istilah). Salah satu pendapat menyatakan bahwa pengertian ijtihad secara istilah adalah segala upaya yang dilakukan oleh mujtahid dalam bermacam-macam ilmu, termasuk bidang teologi, filsafat, dan tasawuf. Dengan demikian, lapangan ijtihad tidak hanya terbatas dalam masalah fikih saja. 4 Selama ini berkembang pemahaman di kalangan umat Islam, khususnya yang fikih oriented bahwa ijtihad hanya terjadi dalam bidang fikih semata. Secara definisi, pengertian ijtihad sesungguhnya sangat beragam. Keragaman pendapat itu disebabkan oleh perbedaan sudut pandang yang digunakan. Bagi ulama yang berpandangan holistik dan integral seperti Ibnu Taymi> yah (w 728 H) misalnya, mengatakan sebenarnya kaum sufi adalah 1 Wahbah al-Zuh> } aili > , Al-Wa> sit} fi-Us} u> l al-Fiqh al-Isla> mi > (Damaskus: Da> r al-Kita> b, 1978), 480. 2 Dede Rosyada, Metode Ijtihad Dewan Hisbah Persis (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 19. Pendapat lain mengatakan bahwa ijtihad ialah usaha yang optimal dan menanggung beban. Baca Louis Ma’lu> f, Al-Munjid fi al-Lughat (Beiru> t: Da> r al-Masyriq, 1996), 105–106. 3 Muh} ammad Musa Tuwana, Al-Ijtiha> d: Madha Haja> tina ilaihi fi Hadha al-’As} r (Beiru> t: Da> r al- Kutu> b al-Hadi > thah, 1972), 97. 4 Harun Nasution, “Ijtihad: Sumber Ketiga Ajaran Islam”, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (eds.), Ijtihad dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1988), 112.

Upload: trinhdien

Post on 22-Aug-2019

241 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA<T} HUKUM ISLAM DAN

MAQA<S{ID AL-SHARI<’AH

A. Ijtihad dan Permasalahannya

1. Pengertian Ijtihad

Ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti “menggerakkan segenap

kemampuan untuk mewujudkan sesuatu”.1 Karena itu ijtihad menurut bahasa

ialah kerja keras dan bersungguh-sungguh,2 atau kerja keras untuk mendapatkan

sesuatu.3 Pengertian ijtihad menurut bahasa ini erat kaitannya dengan pengertian

menurut terminologi (istilah). Salah satu pendapat menyatakan bahwa pengertian

ijtihad secara istilah adalah segala upaya yang dilakukan oleh mujtahid dalam

bermacam-macam ilmu, termasuk bidang teologi, filsafat, dan tasawuf.

Dengan demikian, lapangan ijtihad tidak hanya terbatas dalam masalah

fikih saja.4 Selama ini berkembang pemahaman di kalangan umat Islam,

khususnya yang fikih oriented bahwa ijtihad hanya terjadi dalam bidang fikih

semata.

Secara definisi, pengertian ijtihad sesungguhnya sangat beragam.

Keragaman pendapat itu disebabkan oleh perbedaan sudut pandang yang

digunakan. Bagi ulama yang berpandangan holistik dan integral seperti Ibnu

Taymi>yah (w 728 H) misalnya, mengatakan sebenarnya kaum sufi adalah 1 Wahbah al-Zuh>}aili>, Al-Wa>sit} fi-Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi> (Damaskus: Da>r al-Kita>b, 1978), 480. 2 Dede Rosyada, Metode Ijtihad Dewan Hisbah Persis (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 19. Pendapat lain mengatakan bahwa ijtihad ialah usaha yang optimal dan menanggung beban. Baca Louis Ma’lu>f, Al-Munjid fi al-Lughat (Beiru>t: Da>r al-Masyriq, 1996), 105–106. 3 Muh}ammad Musa Tuwana, Al-Ijtiha>d: Madha Haja>tina ilaihi fi Hadha al-’As}r (Beiru>t: Da>r al-Kutu>b al-Hadi>thah, 1972), 97. 4 Harun Nasution, “Ijtihad: Sumber Ketiga Ajaran Islam”, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (eds.), Ijtihad dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1988), 112.

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

59

mujtahid dalam masalah kepatuhan sebagaimana mujtahid yang lain.5 Di pihak

lain, ahli us}u>l fikih mengatakan bahwa ijtihad hanya terbatas dalam hukum

shara’. Ulama yang berpendapat semacam ini di antaranya al-Amidi6 dan al-

Ghazali7

Sebenarnya kedua pendapat ini dapat dikompromikan. Ulama us}u>l fikih

menganggap bahwa ijtihad yang dilakukan oleh ahli us}u>l fikih adalah ijtihad

dalam bidang hukum yang bersifat praktis (amali). Sedangkan ijtihad yang

dilakukan oleh non fukaha adalah ijtihad yang berhubungan dengan masalah

yang bersifat teoritis, tidak secara langsung berkaitan dengan tingkah laku orang

mukallaf.8 Ima>m al-Syawkani> (w 1250 H) sebagai seorang ulama us}u>l fikih

mengakui adanya ijtihad yang dilakukan oleh ahli ilmu kalam, namun hasil

ijtihadnya digolongkan sebagai al-h}ukm al-’ilmi>,9 bukan hukum yang bersifat

praktis (amali).

Rumusan ijtihad menurut ahli us}u>l fikih adalah mencurahkan segenap

kemampuan dalam mencari hukum-hukum shar‘i yang bersifat z}anni.10 Dengan

demikian ijtihad bermakna usaha-usaha maksimal yang dilakukan para ulama

fikih untuk merumuskan pemikiran-pemikiran fikih, baik berupa hasil

pemahaman terhadap teks lafal al-Qur’an dan sunnah maupun hasil analisis

5 Ibid, 108–109. Lihat pula pendapat Muh}ammad al-Ruwaihi yang dikutip oleh Amir Mu’allim dan Yusdani yang menyatakan bahwa pendapat-pendapat orang Islam itu merupakan ijtihad, baik secara perorangan maupun kolektif. Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer (Yogyakarta: UII Press, 2005), 13. 6 Al-Amidi, Al-Ih}ka>m Fi> Us}u>l al-Ah}ka>m, Juz IV (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1996), 309. 7 Al-Ghaza>li>, Al-Mustas}fa> min Ilm al-Us}u>l (Kairo: Sayyid al-H{usai>n, t,th), 478. 8 Abdul Wahha>b Khalla>f, Ilmu Us}u>l Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib (Semarang: Toha Putra Group, 1994), 2. 9 Al-Shawkani>, Irsha>d al-Fuh}u>l ‘ala Tah}qi>q al-H{aq min Ilmi al-Us}u>l (Kairo: Da>r al-Sala>m, 2006), Jilid 2, 715. 10 Sementara Zakariya> al-Ans}ari> berpendapat bahwa ijtihad adalah usaha maksimal ulama fikih dalam melakukan kajian untuk memperoleh ketentuan hukum yang bersifat z}anni. Baca: Zakariya al-Ans}ari, Ghayat al-Wus}u>l (Singapura: al-H{aramain, t,th), 147.

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

60

terhadap persoalan-persoalan aktual yang mereka hadapi. Namun hasil ijtihad

tersebut terbatas pada mengeluarkan hukum shara’ yang bersifat praktis dalam

peringkat z}anni, yakni punya peluang benar dan salah, dengan dugaan terkuat

pada “benarnya”, bukan pada “salahnya”.11 Pendapat ini sesuai dengan

pernyataan al-Ghaza>li> bahwa “hasil ijtihad itu harus diyakini kebenarannya, baik

oleh mujtahidnya sendiri maupun orang-orang yang mengikuti pendapatnya”.12

Hasil ijtihad itu sifatnya z}anni dan kesimpulan tersebut diakui oleh para ulama.

Jika seorang mujtahid sudah mengambil suatu kesimpulan lewat kajian

ijtihadnya, maka dia harus meyakini bahwa hasil ijtihadnya yang paling benar di

antara hasil ijtihad lainya.

2. Lapangan Ijtihad

Para ulama us}u>l fikih sepakat bahwa bidang yang bisa menjadi obyek

ijtihad adalah teks nas (al-Qur’an dan hadis) yang pengertiannya bersifat z}anni

dan hukum yang tidak ada nasnya serta persoalan yang sebelumnya belum

diijma‘kan oleh para mujtahid.13 Apabila ditelusuri tentang ijtihad ulama fikih

pada masa lalu, ternyata mereka tidak melakukan ijtihad pada persoalan yang

sudah diatur secara jelas oleh al-Qur’an dan hadis. Jika Umar bin Khat}ab sering 11 Dede Rosyada, Metode Ijtihad, 19. Pendapat yang lain mengatakan bahwa z}anni adalah sesuatu yang mendekati kebenaran menurut pandangan mujtahid. Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muh}ammadiyah (Jakarta: Logos, 1995), 13. 12 Al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa>, Jilid II, 101. 13 Abdul wahha>b Khalla>f, Masa>diru Tashri>‘i al- Isla>m fi> Ma> la> Nas}a fi>h (Kuwait: Da>r al-Qalam, 1973), 7; Rakhmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh Untuk IAIN, STAIN, PTAIS (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 107; Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009), 250–251. Sementara T.M. Hasbie Ash Shiddieqy menjelaskan bahwa hukum Islam yang bisa menjadi obyek ijtihad itu ada empat macam, yaitu: (1) nas yang z}anni thubut-nya dan dalalah-nya. Nas} seperti ini ialah hadis. Ijtihad ditujukan pada petunjuk nas, umum atau khusus. (2) nas qat}‘i thubut-nya dan z}anni dalalah-nya. Nas ini terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Ijtihad di sini ialah menanggapi maksudnya. (3) nas yang z}anni thubut-nya, qat’i dalalah-nya. Nas ini terdapat dalam hadis. Ijtihad dalam hal ini ialah mengetahui sanadnya, sahih dan tidaknya hadis. (4) hukum yang tidak terdapat nas, ijma’ dan tidak diketahui hukumnya dengan mudah, yaitu yang harus diijtihadkan dengan menggunakan qiya>s, istinbat}, ‘urf dan lain-lain. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam (Jakarta: Tinta Mas, 1975), 38.

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

61

dianggap sebagai orang yang melakukan ijtihad pada persoalan tersebut,

sesungguhnya beliau tidak melakukan ijtihad istinba>t}i, melainkan ijtihad tat}bi>qi.

Dalam ijtihad tat}bi>qi dimungkinkan untuk tidak memberlakukan nas

tertentu dikarenakan adanya nas lain yang menghendaki demikian. Contohnya,

Umar bin Khat}ab melarang laki-laki muslim menikah dengan wanita ahl al-kitab

dengan alasan kawatir akan menimbulkan fitnah bagi wanita muslimah,

walaupun nas al-Qur’an membolehkannya.14 Sedangkan pelaksanaan penggunaan

metode takwil 15 dalam berijtihad terhadap teks nas yang z}anni dala>lah-nya,

tentunya harus berdasarkan ketentuan umum yang telah ditetapkan.16

Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ijtihad dalam

ilmu fikih meliputi persoalan-persoalan yang secara eksplisit tidak terdapat

dalam al-Qur’an dan hadis dan persoalan-persoalan yang terdapat dalam dua

sumber tersebut, tetapi termasuk kategori yang z}anni al-dala>lat. Baik persoalan

yang masuk kategori pertama maupun yang kedua, semuanya perlu dilakukan

dengan cara merujuk kepada sumber utama ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan

hadis dan kemudian menginterpretasikannya sesuai dengan persoalan yang

sedang diselesaikan.

Interpretasi itu dilakukan dengan memperhatikan arti lafal zahir yang

kuat yang terdapat dalam teks al-Qur’an dan hadis dan tidak boleh mengamalkan

14 Penjelasan persoalan ini dapat dilihat dalam Fat}i al-Daraini, Al-Mana>hij al-Us}u>liyyat fi al-Ijtiha>d bi al-Ra’yi fi al-Tashri>‘ al-Isla>mi (Damaskus: al-Shari>kat al-Muttahidat, 1985), 11. 15 Takwil adalah mengeluarkan lafaz} dari makna z}ahirnya kepada makna lain (yang memungkinkan), tetapi bukan z}ahirnya. Baca: Rachmat Shafi’i>, Ilmu Us}hul, 171. 16 Cara mengistinbat}kan hukum dari nas} dengan menggunakan takwil adalah: (1) jika nas} itu qat}’i, maka tidak boleh ditakwilkan dengan akal. (2) Jika arti nas} yang z}ahir itu berarti umum, atau berarti z}anni yang tidak pasti, wajib mengamalkan sesuai maknanya. (3) Dibolehkan mengubah arti dari z}anni kepada arti lain sepanjang berdasarkan dalil, bahkan diwajibkan untuk mengkompromikan berbagai nas} yang saling bertentangan. Ibid., 176.

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

62

berdasarkan yang lainnya yang dipandang lemah, atau dengan cara takwil kecuali

berdasarkan dalil dan memenuhi syarat-syarat takwil.

Dalam melakukan ijtihad seringkali terjadi perbedaan pendapat di antara

para ulama. Jika dilacak lebih jauh, ada beberapa sebab sehingga terjadi

perbedaan pendapat di kalangan mujtahid dalam persoalan yang bersifat

ijtihadiyah. Pertama, berbeda dalam memahami dan mengartikan kata dan

istilah, baik dalam al-Qur’an maupun hadis, seperti lafal mushtarak, makna

hakikat (sesungguhnya) atau majas dan lain-lain. Kedua, berbeda tanggapan

terhadap hadis. Ada hadis yang sampai kepada sebagian ulama, tetapi tidak

sampai pada ulama yang lain. Ketiga, berbeda dalam menanggapi kaidah-kaidah

us}u>l, misalnya ada ulama yang berpendapat bahwa lafal ‘a>m yang sudah ditakhsis

bisa dijadikan hujah. Keempat, berbeda tanggapan dengan ta’arud (pertentangan

antara dalil) dan tarji>h} (menguatkan) satu dalil ke dalil yang lain. Kelima,

berbeda pendapat dalam menetapkan dalil yang bersifat ijtiha>diyah.17

3. Syarat-Syarat Mujtahid

Para ulama pada umumnya membagi syarat mujtahid menjadi tiga bagian.

Pertama, al-shuru>t} al-‘a>mmah (persyaratan umum) seperti Islam, baligh, dan

berakal. Kedua, al-shuru>t} al-ahliyyah (persyaratan untuk menjadi seorang ahli).

Ketiga, al-shuru>t} al-takmi>liyyah (persyaratan penyempurna).18 Dari ketiga syarat

mujtahid tersebut di atas yang perlu mendapatkan perhatian dan penjelasan lebih

lanjut adalah syarat keahlian (al-shuru>t} al-ahliyyah ) karena syarat pertama yaitu

17A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Pengalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), 118. 18 Al-Amidi, Al-Ih}ka>m Fi> Us}u>l al-Ah}ka>m, (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1996), 309-311.Baca: Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid Shariah Menurut Asy Syatibi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 112.

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

63

syarat umum merupakan syarat yang lazim dan antara seorang mujtahid dengan

orang biasa tidak ada bedanya. Lebih dari itu, persyaratan Islam misalnya,

menunjukkan bahwa hasil pemikiran hukum dari orang yang tidak beragama

Islam atau orientalis tidak dapat diterima sebagai hasil ijtihad dalam Islam,

apalagi diamalkan.

Demikian pula persyaratan ketiga, yaitu syarat penyempurnaan (al-shuru>t}

al-takmi>liyah) dalam kaitannya dengan syarat keahlian (al-shuru>t} al-ahliyyah),

ulama us}u>l memberikan rumusan yang berbeda-beda, meskipun dapat dikatakan

mengandung substansi yang hampir sama. Al-Ghozali (w 505 H) membagi syarat

mujtahid menjadi dua kelompok. Pertama, syarat yang dikelompokkan sebagai

syarat utama, yang meliputi penguasaan terhadap materi hukum yang terdapat

dalam sumber utama ajaran Islam, berikut bahasa Arab sebagai alat untuk

memahami sumber tersebut. Kedua, syarat yang dikelompokkan sebagai syarat

pelengkap, yaitu mengetahui na>sikh-mansu>kh, baik untuk al-Qur’an maupun

untuk hadis, dan mengetahui cara untuk menyeleksi atau mengklasifikasikan

hadis sebagai sumber hukum.19 Sementara al-Syawka>ni> (w 1250 H) menekankan

pada adanya pengetahuan tentang ilmu us}u>l fikih dan na>sikh mansu>kh sebagai

syarat.20

Sedangkan al-Sha>t}ibi> (w 790 H) menambahkan syarat ijtihad lainnya,

yaitu keharusan mengetahui maksud disyariatkannya hukum dalam Islam

(maqa>shid al-shari>’ah).21 Namun demikian tidak berarti bahwa ahli us}u>l fikih

sebelum beliau tidak menyinggung sama sekali tentang persyaratan ini. Al-

19 Al-Ghozali, Al-Mustas}fa> min Ilm al-Us}u>l (Kairo: Sayyid al-H{usain, t.th ), 478. 20 Al-Shawkani>, Irsha>d al-Fukhu>l, II, 718-720. 21 Al-Sha>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t fi Us}u>l al-Ah}ka>m, Juz IV (Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.th.), 90.

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

64

Juwai>ni (w 478 H) membahas maqa>shid al-shari>‘ah dalam kaitannya dengan

pembahasan ‘illat dalam qiya>s.22 Begitu juga muridnya, al-Ghazali (w 505 H),

menempatkan maqa>shid al-shari>‘ah dalam kaitannya dengan qiya>s. 23Ada juga

ulama lain yang menjadikan ilmu kalam dan ilmu mantik sebagai syarat

berijtihad.24 Syarat yang terakhir ini dapat digolongkan sebagai pra-syarat (pre-

requisite) untuk berijtihad. Betapapun harus diakui bahwa kedua ilmu itu ada

pengaruhnya terhadap ilmu us}u>l fikih.

Persyaratan seperti yang disebutkan di atas harus dipenuhi oleh orang

yang akan melakukan ijtihad. Bahkan untuk saat sekarang ini, ilmu lainnya perlu

juga dimiliki oleh mujtahid. Beberapa ilmu lain yang penting juga untuk

dikuasai adalah sosiologi, antropologi, dan pengetahuan tentang masalah yang

akan ditetapkan hukumnya.25 Ilmu-ilmu ini menjadi penting artinya manakala

masalah yang ditetapkan hukumnya itu adalah masalah-masalah kontemporer

yang tidak ditunjuk secara jelas oleh teks al-Qur’an dan hadis. Jika yang akan

ditetapkan hukumnya itu adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu

kedokteran, maka mujtahid diharapkan dapat memahami ilmu itu, terutama yang

langsung berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas. Begitu pula halnya

dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan ekonomi dan lain-lain.

Memang disadari bahwa di satu sisi, berkat kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi, mengetahui ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu lainnya akan

22 Al-Juwai>ni>, Al-Burha>n fi Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Da>r al-Ans}a>r, 1400 H), Juz I, 295 dan Juz II, 923-964. 23 Al-Ghozali, Shifa>’ al-Ghalil fi Baya>ni al-Shibhi wa al-Mukhi>l wa Masa>lik al-Tali>l (Baghdad: Mat}ba‘a>t al-Irsha>d, 1971), 159. Bandingkan dengan al-Mustas}fa>, ibid., Juz I, 286-291. 24 Yusu>f al-Qardawi, Al-Ijtihad fi al-Shari>‘at al-Isla>miyah ma‘a Naz}aratin Tahli>liyat fi al-Ijtiha>d al-Mu‘a>sir (Kuwait: Da>r al-Qala>m), 1985. 25 Abd al-Wahha>b Khalla>f, Masa>di>r al-Tashri>‘ al-Isla>mi fi ma> la> Nas}a fi>h (Kuwait: Da>r al-Qalam, 1972), 17.

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

65

semakin mudah. Namun demikian kondisi ini memiliki implikasi berupa semakin

ketatnya spesialisasi dalam berbagai disiplin ilmu. Banyaknya persyaratan

tersebut menjadikan ijtihad sulit untuk dilakukan.

Namun demikian bukan berarti ijtihad harus berhenti. Ada jalan keluar

yang dapat dilakukan, yakni ijtihad tidak lagi mengambil ijtihad perorangan

melainkan dalam bentuk ijtihad kolektif yang terdiri dari para ahli di bidangnya

masing-masing. Kelompok ini terdiri dari berbagai ahli bidang agama Islam,

dengan segala pembidangannya, dan berbagai ahli dalam ilmu lain yang erat

kaitannya dengan masalah yang sedang dibahas, baik secara langsung maupun

tidak langsung. Itulah yang dimaksud dengan ijtihad jama>’i.26

Wujud konkrit dari lembaga ijtihad kolektif sebenarnya sudah banyak,

baik yang bersifat nasional, regional, bahkan internasional. Majma’ al-Buh}u>th al-

Isla>miyyah yang berkedudukan di Kairo adalah merupakan lembaga ijtihad yang

bersifat internasional. Sedangkan lembaga ijtihad yang bersifat nasional sudah

banyak bermunculan di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragam

Islam. Di Indonesia, di samping Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI),

juga terdapat organisasi-organisasi Islam dengan berbagai namanya. Jam’iyyah

Tarekat Nahd}iyyah termasuk organisasi Islam di Indonesia yang mempunyai

lembaga ijtihad kolektif ini. Lembaga itu dikenal dengan istilah Lajnah Bah}thul

Masa>’il Jamiyyah Ahl al-T{ari>qah al- Mu‘tabarah al-Nahd}iyyah.

4. Tingkatan mujtahid

Para ulama us}u>l fikih berbeda-beda dalam merumuskan peringkat atau

tingkatan-tingkatan mujtahid. Muh}ammad Abu> Zahrah (w 1394 H) misalnya,

26 Ali> H{asaballa>h, Us}u>l al-Tashri>‘ al-Isla>mi (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1964), 94.

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

66

membagi tingkatan mujtahid menjadi empat tingkatan. Pertama, al-mujtahi>du>n

al-mutaqilu>n fi> al-ijtiha>d (mujtahid mustaqil) atau al-mujtahidu>n fi> al-shar‘i>

(mujtahid hukum syar’i). Kedua, al-mujtahidu>n al-muntasibu>n (mujtahid

muntasib). Ketiga, al-mujtahidu>n fi> al-madhhab (mujtahid mazhab). Keempat, al-

mujtahidu>n al-murajih}u>n (mujtahid murajih).27 Sedangkan Sayyid Musa Towana

al-Afganistani mengklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu mujtahid mutlak,

mujtahid muqayad dan mujtahid dalam bidang-bidang tertentu.28

27 Al-Mujtahidu>n al-mustaqilu>n adalah orang yang memenuhi persyaratan untuk berijtihad. Mereka dapat mengeluarkan hukum dari al-Qur’an dan Sunah serta mampu mengunakan qiyas. Ia dapat berfatwa dengan mas}lah}ah, mampu mempergunakan istih}san, bisa mengaplikasikan sad al-dhari>‘ah, serta metode-metode istidla>l lainnya, dan tidak mengikatkan diri kepada siapa pun dalam berijtihad. Orang inilah yang pada dasarnya menjadi peletak kaidah-kaidah (mana>hij) us}u>l untuk dirinya sendiri. Sementara al-mujtahidu>n al-muntasibu>n adalah mujtahid yang membahas kaidah-kaidah us}u>l para imam tanpa terkait kepada kaidah seorang pun dalam berijtihad. Dalam menerapkan kaidah yang dipakainya, bisa jadi hasil yang bisa dicapainya akan berbeda dari furuk yang dihasilkan oleh imam yang punya kaidah itu. Sedangkan al-Mujtahidu>n fi al-Madhhab adalah mujtahid yang mengikuti seorang imam dalam us}u>l dan furuk, dan ia hanya berijtihad dalam persoalan-persoalan yang belum ada pendapat imamnya dalam bidang tertentu. Adapun al-Mujtahidun al-Murajih}u>n adalah orang yang tidak melakukan istinba>t} hukum pada lapangan furuk yang belum ada ketentuan dari seorang mujtahid pun, tetapi hanya melakukan tarjih} atas pendapat-pendapat yang ada tentang sesuatu permasalahan. Muh}ammad Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Da>r al-Fikr al-Arabi, t.th), 389 -397. 28 Pertama, Mujtahid mutlak adalah orang yang mengetahui syariat Islam, yakni kaidah-kaidah maqa>sid, illat-illat hukumnya, nas}-nas}nya serta ilmu-ilmu yang diperlukan untuk berijtihad, baik ilmu itu dihasilkannya sendiri atau dengan mengikuti kaidah (manhaj) mujtahid mutlak yang lain sehingga ia mampu mengeluarkan hukum yang bersifat far’iyyah dari dalil-dalilnya serta dapat pula mengaplikasikan kaidah itu dalam us}u>l yang dibangun oleh pendiri manhaj tersebut. Orang yang melakukan ijtihad mutlak itu ada dua tingkatan, yaitu mujtahid mutlak mustaqil, yakni orang yang mandiri dalam berijtihad tanpa bertaklid atau mengikuti kaidah yang dibangun orang lain serta dia sendiri yang melakukan istinba>t} hukum dari sumber-sumbernya dengan memakai kaidah-kaidah yang dibangunnya itu, dan mujtahid mutlak muntasib yakni orang yang melakukan ijtihad seperti mujtahid mustaqil dengan memakai kaidah-kaidah yang pernah dihasilkan ulama–ulama lain, tetapi ia tidak terikat kepada suatu madhhab atau kaidah imam-imam tertentu. Kedua, Mujtahid muqayyad adalah mujtahid yang menyandarkan diri kepada suatu madhhab tertentu. Secara pribadi mujtahid jenis ini mustaqil dalam menentukan metode imam fikih mana yang dia sukai dengan tetap konsisten mengikutinya. Ia menguasai fikih, us}u>l serta dalil-dalil imam yang diikutinya, masa>lik al-illah dan ma‘a>ninya, sempurna kemampuannya dalam bertakhrij dan beristinba>t} serta dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang tidak ditemui nas}nya atau tidak ada pula ada pendapat imamnya dalam bidang itu. Selain itu, ada pula mujtahid dalam bentuk ini yang hanya mengkhususkan diri dalam mazhab tertentu dengan tidak mau keluar dari kaidah suatu mazhab, meskipun ia mempunyai kemampuan sampai ke derajat seorang mujtahid, tetapi ia amat mengikatkan diri kepada suatu mazhab atau tanpa mau memakai metode dari Imam-Imam mazhab lain. Ketiga, mujtahid pada bidang-bidang tertentu dalam persoalan fikih adalah mujtahid yang hanya mengkhususkan diri pada bab-bab tertentu saja, yang dikenal pula dengan istilah tajziyat al-ijtiha>d. Orang ini tidak dapat dapat dikatakan tidak mengetahui

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

67

Adapun Wahbah al-Zuh}aili> mengelompokkan tingkatan mujtahid menjadi

lima tingkatan. Pertama, al-mujtahi>du>n al-mustaqilu>n yakni orang yang mampu

membangun dan menciptakan kaidah-kaidah us}u>l tersendiri, sehingga ia

menghasilkan fikih tersendiri yang tidak berpengaruh oleh kaidah-kaidah yang

telah ditetapkan imam yang lain.29 Meskipun yang populer sebagai mujtahid

mutlak mustaqil hanya empat imam mazhab, sebenarnya cukup banyak dalam

khazanah kesejarahan umat Islam, khususnya dari ulama generasi sahabat seperti

Umar bin al-Khat}t}ab, Zaid bin Thabit, ‘Ali> Ibn Abi T{ālib, Abdulla>h bin Umar

dan Ibnu Mas’u>d. Sedangkan dari generasi tabi’in, antara lain, Sa’id Ibnu

Musayyab (w 93 H) dan Ibra>hi>m al-Nakha>‘i (w 96 H).30 Persoalannya, produk-

produk pemikiran fikih mereka tidak tercatat dengan baik dan hanya ditentukan

dalam pembahasan yang sepotong-potong.

Kedua, mujtahid yang tidak mustaqil. Sebenarnya mujtahid yang masuk

dalam kategori ini memenuhi persyaratan sebagai seorang mujtahid yang

mustaqil, namun mereka tidak membangun kaidah-kaidah tersendiri tetapi

mengikuti metode-metode imam mazhab dalam berijtihad.

Dalam hal ini mujtahid tersebut adalah mutlak mustaqil dari satu sisi,

tetapi dari segi pemakaian metode mereka tidak mustaqil serta tidak muqayyad

kepada seseorang. Mereka tidak bertaklid kepada pendapat imamnya, tetapi

berbagai persoalan lain, tetapi ia akan lebih yakin akan ilmunya terhadap suatu bidang tertentu saja. Lihat: Sayyid Muh}ammad Musa Towana, Al-Ijtiha>d: Ma>dha Haja>tina Ilaih fi> Ha>dha al-’Ashr (Mesir: Da>r al-Kutu>b al-Hadi>thah, 1972), 336 -385. 29 Wahbah al-Zuh}aili>, Us}u>l al-Fiqh al-Islamy (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 2010), 1107 30 Muh}ammad Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’sum (et.al) (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 500.

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

68

memakai metode imamnya itu dalam berijtihad.31Jenis ini sama dengan mujtahid

muntasib yang dirumuskan Abu> Zahrah atau al-mujtahid al-mut}laq al-muntasi>b

yang dikemukakan oleh Sayyid Muh}ammad Musa di atas. Ketiga, al-mujtahid al-

muqayyad atau al-mujtahid al-mukharij, yakni mujtahid yang mengikatkan diri

kepada mazhab imamnya. Mereka mustaqil dalam memilih us}u>l dari salah

seorang imam, namun dalam penerapan kaidah tidak keluar dari us}u>l, dalil, dan

kaidah imam yang diikutinya itu.32

Keempat ialah mujtahid tarji>h}. Pada tingkatan ini seseorang tidak

mencapai derajat menerapkan kaidah ijtihad, tetapi hanya sampai ke tingkat

menguasai persoalan secara baik, menguasai mazhab imamnya, mengetahui dalil

setiap persoalan yang sudah ditetapkan. Dalam kerangka ini, kerjanya hanyalah

terbatas pada meneliti dan memilih mana pendapat yang terkuat dari sejumlah

pendapat tentang sesuatu persoalan. Boleh jadi dalam bidang tarji>h} dilakukan

antar pendapat para imam, atau antara pendapat imam dengan murid-muridnya,

atau antara berbagai pendapat dari kalangan yang berbeda imam. Perbedaannya

dengan mujtahid takhri>j adalah mujtahid takhri>j masih melakukan kajian-kajian

hukum untuk persoalan-persoalan baru, meskipun lebih banyak merujuk

pemikiran-pemikiran imamnya. Sementara mujtahid tarji>h} hanya menganalisis

pemikiran yang telah ada hasil kreativitas para ulama pendahulunya dan

pemikiran yang lebih kuat argumentasinya itulah yang mereka fatwakan sebagai

31 Misalnya Abu> Yusu>f, Muh}ammad dan Zufar bin H{uzail dari Mazhab H{anafi, Ibnu al-Qasi>m dan Ashhab dari Madhhab Ma>liki, Al-Buwaity, al-Za’fara>ny dan al-Muzani dari Mazhab Sha>fi’i>, Wahbah al-Zuh}aili>. Ibid., 108. 32 Ulama yang berada pada peringkat ini, antara lain H}asan bin Zayyad al-Kurakhi dan al-T}ah}awy dari Mazhab H{anafi, al-Abhuri dan Abu> Zai>d dari Mazhab Ma>liki, Abu> Is}h}a>qi al-Shairazy dan al-Maruzy dari Mazhab Sha>fi’i>. Ibid.

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

69

pemikiran yang mendekati kebenaran. Di antara ulama yang melakukan ijtihad

dalam kategori ini adalah al-Qunduri dan al-Marginani dari mazhab H{anafi>.33

Adapun tingkatan yang kelima ialah mujtahid al-futya>, yakni orang yang

menguasai, memelihara dan menukilkan pendapat mazhabnya dalam persoalan

yang al-wa>dih }a> dan yang al-mushkila>t. Orang yang tergolong dalam kelompok ini

memiliki kelemahan dalam menerapkan dalil-dalil imamnya atau kurang mampu

mengaplikasikan qiyas.34 Yusuf al-Qardawi> mengatakan bahwa mujtahid fatwa

ini adalah orang yang mendalami mazhab imamnya dan mampu memilih mana

pendapat yang kuat dan mana pendapat yang lemah yang dipergunakan oleh

sahabat-sahabat atau imam mazhabnya itu.35 Kelihatannya kelompok terakhir ini

termasuk ke dalam golongan al murajih}u>n dalam klasifikasi Abu> Zahrah.

Adanya perbedaan stratifikasi di kalangan para ulama sesungguhnya

bukanlah suatu hal yang harus dipersoalkan. Perbedaan tersebut pada dasarnya

tidak esensial melainkan pada hal-hal yang supervisial. Bila dilihat pada

pemakaian istilah ijtihad oleh ahli us}u>l fikih, konotasi kata itu dimaksudkannya

pada ijtihad mutlak, baik yang mustaqil ataupun yang muntasib, bukan ijtihad fi

al-madhhab atau ijtihad fatwa.36

Dengan demikian ijtihad mutlak itu lebih umum dari ijtihad mustaqil dan

muntasib. Sedangkan yang tidak tergolong kepada ijtihad mutlak adalah ijtihad

muqayyad, baik keterikatannya dalam bentuk ijtihad fi al-madhhab, dalam

bentuk pentarjihan, atau dalam bentuk fatwa.

33 Ibid, 1109 34 Ibid. 35 Muh}ammad Yusuf al-Qardawi. Ijtihad Dalam Shari’at Islami: Beberapa Pandangan Analisis tentang ijtihad kontemporer, terj. Achmad Syatori (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 96. 36 Ibid.

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

70

5. Taklid, Ittiba>’ dan Talfi>q

Kata taklid menurut ahli bahasa bermakna memasang kalung di leher,

seperti mengalungi leher kambing dengan kalung yang berbunyi, sehingga

rombongan kambing yang berada di belakangnya mengikuti arah yang paling

depan dengan isyarat bunyi kalungan tersebut. Kata tersebut kemudian

digunakan sebagai sebuah istilah dalam pembahasan ilmu us}u>l al-fiqh yang

bermakna “melakukan suatu perbuatan shar’i berdasar pada pernyataan orang

lain tanpa mengetahui argumentasinya”.37 Menurut al-Subki> (w 771 H), taklid

adalah “mengambil suatu pendapat tanpa mengetahui dalil-dalilnya”.38 Dengan

demikian, taklid adalah mengikuti pendapat atau pemikiran–pemikiran hukum

dari orang lain tanpa mengetahui argumentasi dari pemikiran hukumnya itu.

Sedangkan yang dimaksud dengan ittiba’, menurut Wahbah al-Zuh}aili>,

adalah mengambil pemikiran-pemikiran hukum dari para ulama panutannya

dengan mengetahui dalil serta argumentasi dari pemikirannya itu”.39 Dengan

demikian, taklid dan ittiba>’ berbeda, baik dalam sikap maupun perilakunya.

Dalam taklid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedang dalam ittiba>’ ada unsur

kreativitas, yaitu studi dan pengkajian terhadap dalil yang menjadi dasar dari

sebuah pemikiran hukum. Pendapat lain mengatakan bahwa taklid adalah

mengikuti pendapat seorang mujtahid atau ulama tanpa mengetahui sumber dan

cara pengambilan pendapat tersebut. Sedangkan ittiba>’ adalah mengikuti

pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.40

Demikian pula dalam perilakunya, seorang muqallid sudah cukup puas dengan 37 Muh}ammad bin Ali al-Syaukani, Irshad al-Fukhu>l, 265. 38 Ta>j al-Di>n al-Subki>, Matan Jami’, jilid II, 392. 39 Wahbah al-Zuh}aili>, Al-Wa>sit} fi> Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi (Damaskus: Da>r al-Kitab, 1978), 480. 40 Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Us}u>l Fiqh (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), 129-133.

Page 14: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

71

mengetahui pemikiran-pemikiran hukum untuk kemudian diikuti semua

pemikiran hukum tersebut tanpa kajian lebih lanjut untuk mengetahui dasa-dasar

pemikirannya itu. Sedang seorang muttabi’ berusaha mengetahui dasar–dasar

pemikiran hukum yang akan diamalkannya, hanya saja pemikiran dan

argumentasinya itu dia ambil dari pernyataan serta argumen ulama anutannya.

Dalam ijtihad terdapat unsur kemampuan keilmuan dan kreativitas

berfikir. Semakin tinggi kemampuaan keilmuan dan kualitas hasil-hasil

pemikirannya, maka semakin meningkat pula ijtihadnya itu. Dalam taklid tidak

ada unsur kreativitas berfikir sama sekali, sedang ittiba>’ masih ada unsur

kreativitas, yakni usaha untuk mengetahui dasar-dasar argumentasi dari

pemikiran imam anutannya, atau mengakses dalil melalui pernyataan-prnyataan

imam anutannya itu.

Dengan demikian bila dibandingkan dengan ijtihad fatwa, bobot

kreativitas pada ittiba>’ nyaris sama. Hanya saja, tidak semua muttabi’

memberikan fatwa kepada orang lain tapi semua mujtahid fatwa adalah muttabi’.

Oleh sebab itu, posisi mujtahid fatwa sama dengan muttabi’, yaitu sama-sama

mengetahui dalil-dalil dari pemikiran hukum yang dipeganginya. Dengan kata

lain, mujtahid fatwa adalah seorang muttabi’ yang memberikan fatwa hukum.

Adapun talfiq menurut arti bahasa adalah menyamakan atau menetapkan

dua tepi yang berbeda.41 Menurut istilah ulama us}u>l fikih, talfiq adalah

melakukan suatu perbuatan yang merupakan gabungan dari dua mazhab atau

lebih.42

41 Ibid, 131. 42 Wahbah al-Zuh}aili>, Us}u>l, 1170.

Page 15: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

72

Pada dasarnya talfiq diperbolehkan dalam Islam selama tujuan

melaksanakannya semata-mata mengikuti pendapat yang lebih kuat

argumentasinya, yaitu setelah meneliti dalil-dalil dan analisis masing-masing

pendapat.43 Namun apabila talfiq dimaksudkan untuk mencari keringanan dan

mengumpulkannya dalam suatu perbuatan tertentu maka menurut jumhur ulama

tidak dibenarkan.44

Larangan ini dimaksudkan untuk kemurnian sebuah mazhab dan agar

tidak terjadi tatabbu‘ al-rukhsah (mencari yang gampang-gampang), tidak

memanjakan umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan saja atau bahkan

mempermainkan agama. Misalnya, seorang berwudu menurut mazhab Ima>m al-

Sha>fi’i> dengan mengusap sebagian kepala, kemudian dia menyentuh kulit wanita

ajnabiyyah (bukan muhrimnya), dan langsung salat dengan mengikuti mazhab

Ima>m Abu> H{anifah yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak

membatalkan wudu. Perbuatan ini disebut talfiq karena menggabungkan

pendapatnya Ima>m al-Shafi’i> dan Ima>m Abu H{anifah dalam masalah wudu, yang

pada akhirnya, kedua imam sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu

merupakan pendapatnya.45

43Talfiq tidak diperbolehkan menurut al-Sha>fi’i>, H{anafi dan H{anbali. Sedangkan Imam Ma>lik membolehkan talfiq hanya dalam masalah ibadah. Baca Muh}ammad Amin al-Kurdi, Tanwi>r al-Qulu>b fi Mu’a>malati ‘Alla>m al-Ghuyyu>b (Indonesia: Da>r Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, t,th), 397. 44 Ibid. 45 Muhyiddin Abdussomad, H{ujjah NU: Akidah-Amaliah Tradisi (Surabaya: Kalista, 2008), 58. Contoh lain adalah: (1) Seorang mentalak istrinya tiga kali, kemudian ia menikah dengan anak laki-laki berumur sembilan tahun untuk (istri) menjadi muhallil dengan taqlid pada madhhab Sya>fi’i> dalam sahnya nikah. Setelah melakukan hubungan suami istri, anak tersebut menjatuhkan talak dengan taqlid pada mazhab Hanbali dalam sahnya talak dan tidak adanya ’iddah sehingga mantan suami pertama bisa langsung menikahi wanita tersebut. (2) Seorang menyewa tempat yang diwakafkan selama sembilan puluh tahun atau lebih tanpa melihat lebih dahulu tempat yang disewanya. Ia taqlid mazhab al-Sha>fi’i> dan Hanbali mengenai lamanya waktu menyewa, dan taqlid mazhab Hanafi mengenai tidak melihatnya tempat wakaf supaya diperbolehkan. Wahbah al-Zuh}aili>, Us}u>l al-Fiqh, 1171–1172.

Page 16: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

73

B. Perkembangan Ijtihad

Pembahasan mengenai perkembangan ijtihad penting untuk dilakukan

sebab dengan menelusuri jejak sejarah pelaksanaan ijtihad yang pernah terjadi di

masa yang lalu, dapat dijadikan sebagai tolak ukur dan perbandingan sekaligus

referensi yang berguna dalam rangka pelaksanaan dan pengembangan ijtihad di

masa yang sekarang dan akan datang.

Dalam hubungan itu akan dibahas ijtihad sejak permulaan Islam, yaitu:

pertama, ijtihad pada periode Nabi Muh}ammaad SAW (610 – 632 M /+ 13S.H-11

H). Pembicaraan mengenai ijtihad pada periode Nabi meliputi ijtihad yang

dilakukan Nabi,46 dan ijtihad yang dilakukan sahabat pada masa Nabi. Para

ulama berbeda pendapat tentang apakah Nabi pernah melakukan ijtihad dan

apakah Nabi boleh berijtihad.47

Secara historis, Nabi telah terbukti melakukan ijtihad dalam berbagai

masalah yang dihadapi yang belum ada ketentuan hukumnya secara pasti dalam

wahyu yang diterimanya. Adapun metode ijtihad yang dilakukan Nabi adalah

dengan cara mencari kesamaan dengan kasus yang telah ditentukan hukumnya

46 Keputusan-keputusan yang diambil oleh Nabi berdasarkan akal (ra’yu) itulah yang disebut ijtihad. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madhhhab (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 16. 47 Pertama, jumhur ulama berpendapat bahwa Nabi boleh dan mungkin saja berijtihad. Dasarnya adalah al-Qur’an, 59: 2, 8: 67, 9: 43. Amir Syarifudin, Us}u>l Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), jilid II, 230-231 dan sunnah Nabi :

)رواه أبوداوود(انما اقضى بینكم برأیى فیما لم ینزل على فیھ وحى “Sesungguhnya aku menetapkan suatu hukum di antara kamu berdasarkan pendapatku, selama wahyu belum turun kepadaku tentang masalah itu” (HR Abu Dawu>d). Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar, 18. Kedua, kalangan ulama kalam al-Asy‘ariyah dan kebanyakan Mu’tazilah, Abu Ali al-Jubba’i dan anaknya Hasyim, mereka berpendapat bahwa tidak boleh dan tidak pernah Nabi SAW melakukan ijtihad dalam bidang hukum shara‘. Dasarnya al-Qur’an, 53:3-4 وما ینطق عنى الھوى ان ھو اال وحیى یوحى (dan tiada ia berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapanya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya). Ketiga, golongan yang mengatakan bahwa Nabi dapat dan pernah melakukan ijtihad dalam urusan keduniaan, terutama dalam masalah perang, tetapi tidak berijtihad dalam urusan shara‘. Lihat Amir Syaifuddin, Us}u>l Fiqh, Jilid II, 233.

Page 17: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

74

dalam wahyu atau sunnah yang telah berlangsung. Cara seperti ini dalam ijtihad

disebut qiyas.48

Demikian pula ditemukan sejumlah riwayat yang memberi isyarat atas

terjadinya ijtihad baik dalam kasus yang terjadi di tempat yang dekat dengan

Nabi dan para sahabat Nabi pada waktu Nabi masih hidup, sepengetahuan

Nabi,49 maupun di tempat yang jauh dari Nabi dan tidak sepengetahuan Nabi.50

48 Misalnya, pertama, hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya dari Ibnu Abbas menerangkan bahwa seorang perempuan dari Suku Juhainah datang kepada Nabi Muh{ammad SAW dan berkata, “Ibu saya bernazar untuk melakukan haji yang dinazarkan itu sampai ia meningal”. Perempuan tersebut bertanya, “Apakah saya boleh menghajikannya?” Nabi menjawab: “Ya, hajikanlah. Bagaimana jika Ibumu berhutang, apakah engkau membayarnya?. Bayarkanlah hutangnya kepada Allah, karena karena hutang kepada Allah lebih layak untuk dibayarkan”. Di sini Nabi dalam memutuskan perkara dengan memberi pertimbangan atas pendapatnya melalui qiyas. Kedua, hadis riwayat Abu> Dawu>d dalam Sunannya bahwa Umar bin Khat}t}ab mengadukan masalah pada Nabi karena ia telah mencium isterinya, padahal ia sedang berpuasa. Nabi berkata “Bagaimana pendapatmu seandaianya kamu berkumur-kumur dengan air”? Ucapan beliau ini berarti bahwa jika tidak batal puasa bila berkumur-kumur dengan air maka begitu pula tidak batal puasa bila mencium isteri. Ibid., 234. 49 Contohnya, Amr bin Ash bertayamum, padahal waktu itu ada air. Hal itu dilakukan karena ia merasa kuatir jika berwudu dengan air akan sakit sebab cuaca sangat dingin. Tindakan ini dilakukan Amr bin Ash karena ia menemukan kesukaran bewudu memakai air karena cuaca dingin sebagaimana kesukaran berwudu karena tidak ada air. Ia juga mengetahui ayat al-Qur’an yang menerangkan “bila tidak menemukan air bertayamumlah.” Apa yang dilakukan Amr bin Ash tersebut segera diketahui Nabi dan ternyata Nabi tidak melarang tindakannya itu. Ibid., 236. Contoh yang lain adalah Sa’ad bin Mu’ad yang pernah berijtihad mengenai Yahudi Bani Quraizah. Dalam ijtihadnya, Sa’ad menetapkan hukuman bunuh terhadap orang-orang Yahudi Bani Quraizah dengan qiyas, yaitu dengan menyamakan hukuman yang dilakukan kepada mereka dengan orang-orang yang memerangi Allah (Muh}a>rabah) yang disebutkan dalam al-Qur’an, al-Maidah: 53. Juga menyamakan mereka dengan tawanan-tawanan perang Badar. Adapun persamaanya ialah bahwa orang Yahudi Bani Quraizah terbukti telah membuat kerusuhan dan kekacauan karena mereka memihak kepada orang Quraisy dalam peperangan Ah}za>b. Tindakan mereka itu menyalahi janji mereka sendiri. Terhadap ijtihad Sa’ad ini, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya engkau telah menghukum dengan hukum Allah yang datang dari atas tujuh lapis langit.” Baca H{uzaimah Tahido Yanggo, Pengantar, 22. 50 Contohnya adalah dua orang sahabat melakukan penjalanan ketika waktu s}alat tiba. Mereka tidak mendapatkan air untuk berwudu. Keduanya kemudian bertayamum, lalu s}alat. Setelah s}alat selesai mereka mendapatkan air. Seorang sahabat berwudu dan s}alat kembali, sedangkan sahabat yang lain tidak. Keduanya kemudian datang pada Rasul SAW dan menceritakan pengalamannya. Rasul SAW bersabda: As}habata al-Sunnah, ”Engkau mengerjakan sesuai sunnah”. Sedangkan pada sahabat yang berwudu dan mengulangi s}alatnya, Rasul SAW bersabda “al-Ajru Marratain” ”Engkau mendapat pahala dua kali”. Baca Manna’ al-Qatta>n, al-Tashri>‘ al-Fiqhiyyah al-Isla>m: Ta>rikhan wa Minha>jan (Beiru>t: Da>r al-Ma’a>rif, 1989), 85. Contoh lainnya, suatu hari Nabi SAW berkunjung ke Bani Quraiz}ah. Kepada mereka, Nabi bersabda, ”Jangan melakukan s}alat asar kecuali di Bani Quraiz}ah. Sebelum sampai ke Bani Quraiz}ah, waktu asar hampir habis. Sebagian sahabat berijtihad dengan melakukan s}alat diperjalanan. Berdasarkan ijtihadnya perintah tersebut adalah supaya sahabat melakukan perjalanan secara cepat sehingga bisa sampai di Bani Quraiz}ah sebelum waktu s}alat asar habis. Sebagian sahabat lagi berpegang pada makna yang tersurat dari

Page 18: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

75

Alasan sahabat berijtihad untuk kasus yang terjadi di tempat yang dekat dengan

Nabi adalah karena rasa aman dan apabila salah tentu akan segera dibetulkan

Nabi. Sedangkan alasan sahabat yang berijtihad untuk kasus yang terjadi jauh

dari Nabi adalah karena terpaksa untuk menetapkan ketentuan hukumnya sebab

untuk menghubungi dan meminta jawaban Nabi terlalu lama.

Berdasarkan beberapa riwayat tampaknya sulit dibantah bahwa ijtihad

sahabat terjadi pada waktu Rasul saw. masih hidup. Memang diakui bahwa para

sahabat kadangkala mengajukan berbagai pertanyaan kepada Rasulullah,

terutama berkenaan dengan persoalan yang mereka hadapi yang tidak ditemukan

dalam teks nas. Di samping itu Nabi juga memberi peluang bagi kemungkinan

adanya perbedaan pendapat dengan memberikan pengabsahan terhadap dua

tindakan yang berbeda dari situasi dan masalah yang sama, kecuali dalam

masalah-masalah yang bersifat fundamental. Dalam masalah yang bersifat

fundamental, Nabi tidak mengenal bentuk kompromi. Beliau tidak segan-segan

membetulkan dan kadang membatalkan pendapat dan perbuatan sahabat yang

keliru.51

Walaupun sahabat telah melakukan ijtihad pada waktu Nabi Muh}ammad

masih hidup, keputusannya tetap berada di tangan Nabi sebagai sumber hukum.

sabda Nabi tersebut sehingga mereka s}alat di Bani Quraiz}ah pada malam hari. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, mereka adalah ahl al-z}ahir (pertama) dan ahl al-ma‘na (kedua). Manna’ al- Qatta>n, al-Tashri, 84. Muh}ammad Salam Madkur menyatakan ketika berita ikhtilaf itu sampai kepada Nabi SAW., kemudian beliau membenarkan kedua tindakan sahabat tersebut. Baca Muh}ammad Salam Madkur, Mana>hij, 85. 51 Diriwayatkan bahwa Umar bin Khat}t}ab dan Ammar berhadas besar dalam perjalanan. Keduanya tidak menemukan air, sementara waktu s}alat sudah tiba. Lalu Ammar melumuri badannya dengan tanah sebagai ganti air untuk menghilangkan hadas besar. Ia mengqiyaskan penggunaan tanah dengan penggunaan air dalam menghilangkan hadas besar. Setelah itu ia langsung mengerjakan s}alat. Sedangkan Umar bin Khat}t}ab menunda s}alatnya sampai ia memperoleh air karena menurut pendapatnya tayamum itu untuk menghilangkan hadas kecil. Tatkala kedua sahabat ini melaporkan apa yang telah mereka lakukan, Rasulullah mengatakan bahwa dua pendapat itu adalah keliru. Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar, 24.

Page 19: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

76

Ijtihad sahabat ketika itu baru dianggap sebagai dalil apabila telah mendapat

kepastian dan ketetapan dari Nabi karena para sahabat pada umumnya masih

bertempat tinggal di sekeliling Nabi.Oleh karena itu suatu pendapat atau

perbuatan, cepat atau lambat, masih ada kemungkinan untuk diketahui Nabi.

Atas dasar pengetahuan Nabi itulah ijtihad sahabat mempunyai kekuatan hukum

sebagai sunnah taqri>riyyah.52 yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya

yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau

dicegah oleh Nabi. Diamnya Nabi itu disampaikan oleh sahabat yang

menyaksikan kepada orang lain dengan ucapannya

Kedua, ijtihad pada periode sahabat (632-661 M/11– 40 H). Para ulama

sepakat tentang adanya ijtihad setelah Nabi wafat. Ijtihad terus berjalan dan para

sahabat mengeluarkan pendapat terhadap suatu masalah sesuai dengan ilmu

pengetahuan dan pemahaman mereka. Implikasinya, perbedaan pendapat di

antara mereka menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Islam tidak melarang

terjadinya perbedaan pendapat.

Perbedaan pendapat merupakan bagian dari dinamika kehidupan. Ia akan

selalu ada dan terjadi sepanjang sejarah. Jika perbedaan pendapat tersebut

dikelola secara baik untuk hal-hal yang membawa manfaat maka perbedaan

pendapat tersebut dapat menjadi rahmat.53Karena posisi sahabat begitu istimewa,

maka tidak mengherankan bila mazhab sahabat menjadi rujukan penting bagi

perkembangan fikih Islam sepanjang sejarah. 52 Baca Amir Syarifuddin, Us}u>l Fiqh I, 76. 53 Sebagaimana hadis Nabi إختال ف أمتى رحمة (Perbedaan pendapat umatku merupakan rahmat). Hadis ini menurut Ibnu Abidin diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan sanad yang munqati’ (terputus). Akan tetapi ada beberapa hadis lain yang senada dengan hadis ini walaupun lafalnya berbeda-beda. Ibnu Abidin, H}ashiyat Radd al-Muhkta>r ala al-Durral-al-Muhkta>r: Sharah Tanwi>r al-Abs}a>r, Juz I (t.tp: tp, t.th.), 68.

Page 20: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

77

Ada cukup banyak sahabat yang melakukan ijtihad. Di antara sahabat

yang melakukan ijtihad sesudah Nabi wafat adalah Khulafa’ al-Ra>shidi>n, yaitu

Abu> Bakar al-S{iddi>q (w 13 H/634/M),54 Umar bin Khat}t}ab (w 23 H/644 M),55

Uthma>n bin Affa>n (35 H),56 dan Ali> bin Abi> T{a>lib (w 40 H/661M).57 Ijtihad yang

dilakukan oleh para pemimpin umat pengganti Nabi tersebut menarik untuk

dicermati karena metode yang mereka pakai dalam ijtihad dapat memberikan

pelajaran penting bagi pengembangan ijtihad pada masa-masa sesudahnya.

Ditinjau dari sisi metode, ijtihad yang dilakukan oleh sahabat Nabi

pertama kali adalah mencari hukum dalam al-Qur’an, kemudian dalam Sunnah

Nabi. Apabila dalam kedua sumber tersebut mereka mendapatkan nas yang s}ari>h}

(jelas), maka mereka mengambil dan mengamalkannya. Namun jika dalam kedua

54 Abu> Bakar ketika menjadi khalifah bertekad memerangi orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Dia bersumpah, ”Demi Allah, sekiranya mereka enggan mengeluarkan zakat kepadaku seutas tali yang pernah mereka tunaikan kepada Rasulullah SAW, aku akan memerangi mereka karena kemungkaranya itu”. Lihat Muh}ammad Musa Towana, Al-Ijtiha>d, 27. Pendapat Abu Bakar ini berbeda dengan pendapat Umar. Menurut Umar orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat tidak boleh diperangi selama masih beriman dan yang boleh diperangi adalah orang yang murtad. Lihat Imam Bukhari, Sah}ih} al-Bukhari (Singapura: Maktabah wa Mat}ba’ah Sulaiman Mary, t.th), Juz IV., 257. 55 Umar bin Khat}t}ab berijtihad tidak memberikan zakat kepada “al-Mu’alafah Qulu>buhum”, padahal pada zaman Nabi asnaf ini mendapatkan zakat. Alasan Umar, dahulu Rasulullah memberikan untuk melunakkan hati. Sekarang Allah telah meninggikan Islam dan melunakkan hati tidak diperlukan lagi. Baca: Rasyid Rida, Tafsir al-Mana>r, Juz X (Mesir: Mat}ba’ah al-Manar, 1928), 496. Contoh lain, Umar telah membebaskan hukuman potong tangan kepada pencuri laki-laki yang bernama ’Alamah al-H{atib bin Abi> Malta’ah karena dilakukan pada waktu musim kelaparan, sebagaimna ucapan Umar, “Tidak dipotong tangan seorang pencuri yang melakukan perbuatan pencurian terhadap sebiji kurma dan pada musim kelaparan”. Lihat Ibnu Qayyim, I’la>m al-Muwaqqi’i>n, Juz III (Mesir: Ida>rah Tilaba’ah Misriyyah, t,th), 8. 56 ‘Utsma>n bin Affa>n berijtihad mengenai pembukuan al-Qur’an dalam satu rasm. Para sahabat menyetujuinya, sebagaimana ucapan Zaid bin Sabit, “Demi Allah, ‘Utsma>n berbuat sangat bagus. Demi Allah, sangat bagus perbuatan ‘Utsma>n”. Baca Abu> al-H}asan Ali bin Ah}mad Al-Waludi al-Naisaburi, Ghara>ib al-Qur’an wa-Ragha>’ib al-Furq>an, tahqiq Ibra>him ‘Atwa’iwad (Mesir: Shirkah Maktabah wa Mat}ba’ah Mustafa al-Ba>bi al-Halaby, 1381), 27. Demikian pula ijtihad ‘Utsma>n mengenai berlakunya adzan jum’at sebanyak dua kali sebelum khatib naik mimbar. Lihat Amir Syarifuddin, Us}u>l, 240. 57 ‘Ali> Ibn Abī T{hālib berijtihad memberikan hukuman dera kepada peminum khamer 80 kali dera. Padahal sebelumnya peminum khamer hanya didera 40 kali. Pertimbangannya adalah apabila orang minum khamer sampai mabuk, ia akan hilang akalnya dan tidak terkontrol ucapannya sehingga akan menuduh orang berzina seenaknya. Untuk mencegah terjadinya hal itu dikenakan hukuman berat seperti yang dikemukakan kepada penuduh zina. Ibid., 241.

Page 21: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

78

sumber tersebut tidak ditemui nas dalam persoalan yang mereka cari, maka

mereka mencari petunjuk-petunjuk yang dapat mengantarkannya kepada

pemahaman yang benar terhadap masalah tersebut. Terhadap masalah-masalah

yang tidak disebutkan hukumnya dengan nas mereka mengqiyaskan kepada

masalah yang ada nasnya, apabila hal itu mungkin dilakukan.58

Melihat metode yang dilakukan oleh sahabat dalam melakukan ijtihad,

terlihat bahwa belum banyak langkah-langkah metodologis yang dilakukan.

Mempertegas pendapat ini, Abu> Zahrah menyatakan bahwa ijtihad sebagian

sahabat masih terbatas pada menjelaskan dan menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah.

Hal ini menunjukkan bahwa ijtihad yang mereka lakukan tetap dalam bingkai al-

Qur’an dan Sunnah, dan belum banyak menggunakan rasio. Sementara sebagian

yang lain sudah menggunakan qiyas. Mereka yang sudah menggunakan qiyas, di

antaranya adalah Abdulla>h bin Mas’u>d (w 32 H) dan Ali> bin Abi> T{a>lib. Namun

demikian, hal menarik yang patut dicermati adalah bahwa ada juga sahabat yang

sudah sampai kepada penggunaan maslahat. Sahabat dalam kategori ini adalah

Umar bin Khat}t}ab.59

Analisis menarik diberikan oleh Ali> al-Sayis60 berkaitan dengan ijtihad

para sahabat. Para sahabat dalam melakukan ijtihad juga memperhatikan dala>la>t

nas dan mempergunakan rakyu. Mereka tidak hanya mencari nas semata, tetapi

menggunakan seluruh kemampuannya untuk mencari kebenaran.

Hasil pemikiran tersebut kemudian mereka hubungkan dengan dalil-dalil

dan petunjuk-petunjuk yang ada. Dengan demikian, para sahabat sudah 58 Muh}ammad Musa Towana al-Afganistani, Al-Ijtihad wama>dha> Hajatina, 38. 59 Abu> Zahrah, Ta>ri>kh al-Madha>hib al-Isla>miyah ( Kairo: Matba’ah al-Madani, t.th ), 22. 60 Muh}ammad Ali> al-Sayis, Ta>rikh al-Fiqh al-Isla>mi (Mesir: Maktabah wa Mat}ba‘ah Muh}ammad Ali> S}abih wa Awla>duh, t.th), 36.

Page 22: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

79

melakukan ijtihad dengan qiyas, al-mas}lah}ah al-mursalah, al-bara>’ah al-as}liyah,

istih}sa>n dan sadd al-dhari>‘ah.

Contoh qiyas dalam ijtihad yang dilakukan sahabat adalah seperti yang

dilakukan oleh Ibn Mas’u>d. Menurut Ibn Mas’u>d, laki-laki muslim tidak

dibenarkan menikahi perempuan ahl al-kita>b. Landasannya adalah dengan

mengqiyaskannya kepada perempuan mushrikah. Perempuan mushrikah

diharamkan untuk dinikahi61. Dengan mengqiyaskan perempuan ahl al-kita>b

dengan perempuan mushrikah, maka hukum menikahi perempuan ahl al-kita>b

sama dengan menikahi perempuan mushrikah, yaitu haram. Apalagi, pengakuan

bahwasanya Isa sebagai Tuhan sebagaimana keyakinan golongan ahl al-kita>b,

menurut Ibn Mas’u>d, merupakan syirik yang paling besar. Lebih lanjut Ibn

Mas’u>d menafsirkan al-muh}s}ana>t yang tercantum dalam ayat المحصنات من الذین و

62أوتوا الكتاب dengan “al-muslima>t” (perempuan-perempuan muslimah).

Ijtihad dengan al-mas}lah}ah al-mursalah adalah seperti yang dilakukan

Umar bin Khat}t}a>b tentang perempuan dalam masa idah yang kawin dengan laki-

laki. Apabila terjadi persetubuhan dengan laki-laki tersebut, maka Umar

memfatwakan bahwa perempuan itu haram dikawini untuk selama-lamanya.

Fatwa Umar tersebut bertujuan untuk membatalkan keinginan perempuan itu

kawin dengan laki-laki tersebut dan sebagai hukuman baginya karena melanggar

ketentuan Allah (nikah dengan wanita pada masa idah). Fatwa itu jelas

didasarkan kepada al-mas}lah}ah al-mursalah.63 Sedangkan Ali> bin Abi> T{a>lib

mengeluarkan fatwa sebaliknya. Menurutnya, apabila masa idah habis,

61 Al-Qur’an, 2: 221. 62 Al-Qur’an, 5: 5. 63 Muh}ammad Ali> al-Sayis, Ta>ri>kh al-Fiqh, 36.

Page 23: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

80

perempuan itu boleh kawin dengan laki-laki lain itu. Ijtihad ini didasarkan atas

al-bara>’ah al-as}liyyah64 karena pada asalnya seorang perempuan halal dikawini,

tetapi karena ia sedang menjalani masa idah, maka masa idah itu merupakan

penghalang (ma>ni’) baginya untuk kawin. Selesainya masa idah berarti ma>ni’ itu

tidak ada lagi. Dengan demikian, kondisi perempuan tersebut kembali pada sifat

hukum asalnya, yaitu halal dikawini.

Dalam kerangka penerapan istih}sa>n, apa yang telah dilakukan oleh

sahabat jelas berbeda dengan konsep istih}sa>n sekarang ini. Namun demikian,

penerapan istih}sa>n oleh para sahabat tersebut terdapat dalam pengertian umum

karena pengertian istih}sa>n adalah berpaling dari suatu dalil kepada dalil yang

lebih kuat atau kepada sesuatu yang di dalamnya ada kemaslahatan bagi umat

manusia atau kepada suatu pendapat (ra’yu) yang bersandar kepada shara’.

Menurut Muh}ammad Musa Towana, mustahil para sahabat tidak memperhatikan

hal-hal tersebut.65Selain mengembangkan ijtihad sebagaimana dipaparkan di

atas, para sahabat juga melakukan ijtihad yang didasarkan pada sad al-dhari>‘at.66

Sebagai contoh adalah kebijakan ‘Uthma>n membukukan al-Qur’an menjadi

mus}h}af dengan menggunakan satu macam huruf dengan huruf-huruf yang tujuh

(al-ah}ruf al-saba’at).67 Kebijakan ini dibuat oleh ‘Uthma>n dengan pertimbangan

agar tidak terjadi perbedaan huruf guna menutup kemungkinan timbulnya 64 Ibid., 47. Al-bara>’at al-ashliyyat artinya kebebasan asli atau kebebasan dasar. Maksudnya, asalnya perbuatan itu boleh dilakukan, akan tetapi karena ada suatu hal yang bersifat sementara yang timbul kemudian, maka perbuatan itu tidak boleh dilakukan karena hal yang timbul kemudian itu menjadi mani’ (penghalang) baginya. Akan tetapi setelah mani’ itu hilang, perbuatan itu kembali kepada hukum asalnya, yaitu boleh dilakukan. 65 Muh}ammad Musa Towana, Al-Ijtihad, 40. 66 Sadd al-dhahri>’ah berarti menutup jalan, maksudnya mencegah terjadinya sesuatu yang tidak baik dan tidak diinginkan oleh agama. 67 Ada tujuh macam huruf atau tujuh macam bacaan bagi ayat-ayat al-Qur’an yang dikenal dengan qira>’ah sab‘ah. ‘Utsma>n menyeragamkan bacaan ayat-ayat al-Qur’an dengan satu bacaan sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an sekarang ini.

Page 24: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

81

perbedaan pendapat dalam al-Qur’an. Kebijakan ‘Uthma>n tersebut disepakati

oleh semua sahabat pada masanya.68Ijtihad yang terjadi pada masa sahabat

ternyata sudah kaya warna. Pada masa itu, para sahabat telah menggunakan

bermacam-macam metode ijtihad dalam rangka menentukan hukum terhadap

suatu masalah yang tidak disebutkan hukumnya oleh nas.

Hal itu menjadi bukti bahwa sejak zaman sahabat memang sudah banyak

timbul masalah baru yang tidak ada ketentuannya secara jelas dalam nas.

Berhadapan dengan kondisi yang semacam ini, ijtihad menjadi sesuatu yang

tidak bisa untuk dihindari, bahkan menjadi kebutuhan.

Ketiga, ijtihad pada periode tabi’in (661-699M/40-80 H). Setelah masa

sahabat berakhir,69 muncul masa tabi’in.70 Pada masa tabi’in, ijtihad semakin

banyak dilakukan. Hal ini disebabkan oleh jumlah periode kemajuan ijtihad,

sementara nas tidak bertambah. Selain itu, hal mendasar yang membedakan

antara periode sahabat dengan periode tabi’in adalah tentang eksistensi

musyawarah. Pada masa sahabat, musyawarah masih cukup kokoh, sementara

pada masa tabi’in, eksistensinya sudah mulai goyah. Dinamika persoalan yang

semakin rumit, kekuasaan Islam yang semakin luas, ditambah dengan

berpencarnya para ulama ke berbagai wilayah yang letaknya berjauhan satu sama

lain, berimplikasi pada semakin melemahnya musyawarah.

68 Ibnu Qayyim al-Jawziyah, I’lam al-Muwaqqi’i>n, 315. 69 Sahabat ialah orang yang bertemu dengan Nabi dalam keadaan mukmin dan meninggal dalam keadaan mukmin. Lihat Muh}ammad Adib S{alih, Lamh}a>t fi> Us}u>l al-Hadi>th (Mesir: Maktab al-Isla>mi, 1399 H), 24. Sahabat yang paling akhir meninggal adalah Abu> T}ufail, yaitu sekitar tahun 120 H, berarti sekitar 97 tahun setelah wafatnya Nabi Muh}ammad SAW. Oleh karena itu para ulama menganggap masa sahabat berakhir sampai tahun 100 hijriyah, dan sejak itu dimulai masa tabi’in. Muh}ammad Abu> Rayyah, Adwa>‘ ‘ala> al-Sunnah al-Muh}ammadiyyah (Mesir: Da>r al-Ma’a>rif, t.th), 243. 70 Tabi>’in ialah orang yang bertemu dengan sahabat dan meriwayatkan hadis dari padanya. Lihat Muh}ammad Adib S{alih, Lamha>t, 25.

Page 25: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

82

Pada masa ini kedudukan ijtihad sebagai alat penggali hukum Islam

mendapat posisi yang kokoh. Para ahli sejarah menyebut periode tabi’in ini,

dengan periode kemajuan ijtihad dan masa keemasan fikih. Daerah kekuasaan

Islam semakin meluas yang meliputi berbagai lapisan umat dengan aneka macam

adat istiadat, cara hidup dan kepentingan masing-masing sehingga menimbulkan

daerah-daerah lokal dan regional yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh

besar dengan munculnya mazhab-mazhab.

Terkait dengan metode ijtihad, para ulama masa tabi’in mengikuti cara

yang sudah dirintis sebelumnya oleh sahabat. Ketika menemukan masalah,

mereka mencari ketentuannya dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang menjadi

rujukan utama. Jika dalam kedua sumber hukum yang pokok tersebut telah ada,

persoalan selesai. Tetapi jika tidak ada, mereka kembali kepada pendapat

sahabat. Apabila tidak ditemukan dalam ijma’, mereka berpedoman pada hasil

ijtihad pribadi dari sahabat yang mereka anggap kuat dalilnya. Jika pendapat

sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad.71

Dalam melakukan ijtihad, mereka sedapat mungkin menempuhnya

melalui qiyas apabila menemukan pedoman masalahnya dengan apa yang

terdapat dalam nas. Namun jika tidak mungkin, mereka menempatkan mas}lahat

umum72 sebagai bahan rujukan dalam berijtihad. Di kalangan para ulama masa

tabi’in sendiri terdapat perbedaan pendapat.

Perbedaan ini menyangkut berbagai hal. Secara sederhana, para fuqaha>‘’

zaman tabi’in dapat dibedakan menjadi dua mazhab (aliran).

71 Umar Sulaima>n Al-Ashqar, Ta>ri>kh al-Fiqh al-Isla>mi (Amman: Da>r al-Nafa>’is, 1991), 81. 72 Amir Syarifuddin, Us}u>l, 2, 245.

Page 26: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

83

Pertama, aliran hadis, yaitu golongan fuqaha>‘ yang dalam menetapkan

hukum pertama-tama sangat terikat pada teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Apabila

dalam menetapkan hukum tidak ditemukan hukumnya dalam nas al-Qur’an dan

Sunnah, mereka berpaling pada praktik dan pendapat para sahabat. Mereka

menggunakan rakyu hanya dalam keadaan terpaksa.

Namun dalam hal-hal tidak ditemukan nas dan tidak pula terdapat

pendapat serta praktik sahabat, mereka sepakat untuk menggunakan ijtihad

dengan metode dan proporsi yang berbeda. Metode ijtihad banyak berkembang di

kalangan ulama Madinah dengan tokohnya yang paling kuat adalah al-fuqaha>‘>’

al-sab‘ah (fukaha tujuh).73 Kedua, aliran rakyu, yaitu golongan fukaha yang

dalam menetapkan hukum banyak terpengaruh dengan pola pemikiran Umar bin

Khat}t}ab, Ali> bin Abi> T{a>lib dan Ibnu Mas’ud. Ketiganya adalah sahabat Nabi

yang banyak menggunakan rakyu dalam menetapkan hukum. Pola pemikiran

mereka banyak dikembangkan oleh kebanyakan ulama yang bertempat tinggal di

Kufah.74Dengan memperhatikan penjelasan di atas, maka timbul anggapan

bahwa dalam periode tabi’in ini terdapat dua aliran yang berbeda, yaitu aliran

yang banyak menggunakan hadis dan sedikit menggunakan rakyu serta aliran

yang banyak menggunakan rakyu dan sedikit menggunakan hadis. Anggapan ini

sesungguhnya tidak benar karena aliran ahli hadis juga menggunakan rakyu

dalam penalaran mereka.

73 Yaitu Sa’ad Ibn al-Musayyab (w. 94 H), Urwah Ibn al-Zubai>r (w. 94 H), Abu> Bakar Ibn Abd Rah}man (w. 94 H), Ubaidillah Ibn Abdulla>h (w. 98 H), Kha>rijah Ibn Zaid Ibn Tsabit (w. 99 H), Al-Qasim Ibn Muh}amad Ibn Abi Bakar (w.107 H) dan Sulaima>n Ibnu Yasa>r (w. 107 H). Baca Umar Sulaima>n al-Ashqar, Ta>ri>kh, 85 – 86. 74 Yaitu Alqamah Ibn Qais al-Nakha>’i (w. 62 H), Al-Aswad Ibn Yazid al-Nakha>’i, Abu> Maisarah ‘Amr Ibn Syara>hil al-H{amdani, Masru>q Ibn al-Ajda al-H{amdani (w.63 H), Ubaidah al-Salmani> dan Shuraih Ibn H{arith al-Kindi> (w. 82 H). Ibid., 87.

Page 27: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

84

Demikian juga aliran ahli rakyu sesungguhnya juga mengunakan hadis

dalam menetapkan hukum. Ima>m Ma>lik misalnya, meskipun merupakan seorang

ahli hadis, beliau sesungguhnya juga banyak menggunakan rakyu dalam kitabnya

al-Muwat}t}a’. Ima>m al-Shafi’i>> berkomentar terhadap gurunya tersebut sebagai ahl

al-’ilmi bi al-hadi>th wa al-ra’yu yang menunjukkan perpaduan antara hadis dan

rakyu. Istilah ini menunjukkan bahwa Ima>m Ma>lik tidak memberikan penekanan

pada hadis dan mengabaikan penggunaan nalar.

Lebih jauh, merupakan hal yang kurang tepat pula menyatakan bahwa ahli

hadis adalah orang Madinah, sedangkan ahli rakyu adalah orang Kufah atau

selain Madinah sebab tidak semua orang Madinah ahli hadis, dan tidak semua

orang Kufah ahli rakyu. Generalisasi semacam ini mengabaikan keragaman fakta

yang ada.

Keempat, ijtihad pada periode imam-imam mazhab (699-855 M/80-

241H). Periode ini dalam sejarah hukum Islam dikenal sebagai zaman keemasan

dan kesempurnaan.75 Penyebutan ini muncul karena pada periode inilah hukum

Islam mencapai puncak kejayaannya bersamaan dengan kemajuan dunia Islam

pada hampir semua bidang kehidupan. Periode yang sering disebut dengan

“periode kemajuan ijtihad dan keemasan hukum Islam” ditandai dengan

munculnya nama para mujtahid kenamaan. Mereka, antara lain, Abu> H{anifah,

Ma>lik bin Anas, Muh}ammad bin Idri>s al-Sha>fi’i>>, dan Ah}mad Ibn H{anbal.

Keempat mujtahid ini disebut dengan al-a’immah al-arba’ah (imam yang empat).

Mereka merupakan para pendiri mazhab fikih Islam terkenal yang mempunyai

75 TM Hasbi Ash Siddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam-Imam Madhhab dalam Membina Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 31-32.

Page 28: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

85

banyak pengikut sampai sekarang ini. Abu> H{anifah (80-150 H) dan Ma>lik bin

Anas (93-179 H) merupakan mujtahid periode tabi’in, sedangkan al-Sha>fi’i>> (150-

204 H) dan Ah}mad Ibn H{anbal (164-241 H) dapat dikelompokkan ke dalam

periode atba’ ta>bi’i>n.

Selain empat serangkai imam mazhab tersebut, sejarah juga mencatat

mujtahid-mujtahid terkenal lainnya dalam periode ini. Beberapa nama yang dapat

disebut adalah Ima>m Zaid Ibn Ali> al-H{usayn (80-122 H), Ima>m Ja’far As-S{adi>q

(80-148 H), Ima>m Abdurrah}man Ibn Muh}ammad al-Awza’i (88-157 H), dan

Ima>m Dau>d Ibn Ali> Ibn Khalla>f al-Z}ahiri (224-330H). Dua nama yang pertama

adalah imam-imam mujtahid dalam mazhab Syi’ah, sedangkan tiga yang terakhir

adalah para imam dari al-madhahib al-ba’i>dah (mazhab-mazhab yang telah

punah). Berbeda dengan mazhab-mazhab fikih yang empat yang sampai sekarang

ini terbukukan dengan baik dan mempunyai banyak pengikut, mazhab Zahiri, al-

Awza’i, dan al-T}abari (w 310 H) fatwa-fatwanya nyaris telah ditinggalkan para

pengikutnya. Sementara catatan sejarah juga hampir melupakannya. Itulah

sebabnya mazhab-mazhab tersebut disebut al-madha>hib al-ba’i>dah.

C. Maqa>s}id al-Shari>’ah

1. Hakikat maqa>s}id al-shari>’ah

Maqa>s}id al-shari>’ah berarti tujuan Allah dan Rasulnya dalam

merumuskan seluruh hukum syarak.76 Para ulama berbeda pendapat dalam

menggunakan term yang dipakai penyebutan maqa>s}id al-shari>‘ah. Ada yang

menyebutkan dengan maqa>s}id al-shari>’ah, al-maqa>s}id al-shari>’iyah fi al-shari>’ah

dan maqa>s}id min shari>’at al-hukm. Meskipun sebutan yang digunakan para ulama

76 Wahbah al-Zuh}aili>, Us}u>l al-Fiqh al-Islam, jilid 2 (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1422H/2001M), 1045.

Page 29: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

86

berbeda-beda, namun pada hakikatnya yang menjadi tema utama dalam

bahasannya adalah mengenai masalah h}ikmat dan ’illat ditetapkannya suatu

hukum.77

{Pembahasan mengenai maqa>s}id al-shari>’ah ini merupakan pembahasan

yang penting dalam bidang us}u>l fikih. Apalagi dalam perkembangan selanjutnya

pembahasan ini menjadi objek utama dalam filsafat hukum Islam sehingga Subhi

Mahmasani mengatakan bahwa istilah maqa>s}id al-shari>’ah identik dengan filsafat

hukum Islam.78Para mujtahid perlu mengetahui maqa>s}id al-shari>’ah ini dalam

rangka memberikan pemahaman dan kejelasan terhadap berbagai persoalan

hukum kontemporer yang tidak diatur secara jelas oleh al-Qur’an dan hadis. Di

samping itu perlu diketahui pula, apakah suatu masalah masih dapat diterapkan

ketentuan hukumnya atau karena adanya perubahan struktur sosial sehingga

hukum tidak dapat diterapkan lagi. Di sinilah, pengetahuan tentang maqa>sid al-

shari>’ah menjadi kunci keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya.79

Untuk mengatasi persoalan-persoalan fikih kontemporer, perlu terlebih

dahulu diteliti hakikat dari masalah tersebut, penelitian terhadap suatu kasus

yang akan diputuskan ketentuan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian

terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya.

Dalam menerapkan nas terhadap suatu kasus yang baru, kandungan nas

harus diteliti secara cermat, termasuk meneliti tujuan disyariatkan hukum

tersebut.80 Setelah itu baru dilakukan tah}qi>q al-mana>t} (studi kelayakan), apakah

77Ah}mad al-Raisuri, Naz}ariyyat al-Maqa>sid ‘inda al-Shati>bi (Rabat: Da>r al-Amar, 1991), 67. 78Subh}i Mah}masani, Falsafat al-Tashri’fi al-Isla>m (T.t: Da>r al-Kashhaf, 1952), 69. 79Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhamadiyyah (Jakarta: Logos Publishing House, 1995), 36. 80 Ibid, 37.

Page 30: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

87

ayat atau hadis tertentu layak dijadikan dalil pada kasus baru tersebut. Mungkin

saja ada suatu kasus yang baru yang hampir sama dengan kasus hukum yang

terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Ternyata, setelah diadakan penelitian yang

seksama, kasus tersebut tidak dapat disamakan hukumnya dengan kasus hukum

yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Di sinilah letak pentingnya

pengetahuan tentang tujuan umum di syariatkan hukum dalam Islam (maqa>s}id al-

shari>’ah)81

Gagasan mengenai teori maqa>s}id al-shari>’ah banyak dilakukan oleh ulama

us}u>l fikih. Ima>m al-Juwai>ni (w 478 H), guru al-Gazali (w 505 H), dapat

dikatakan orang yang pertama kali mengajukan teori maqa>s}id al-Shari>‘ah. Al-

Juwai>ni dengan tegas menyatakan seseorang belum bisa dikatakan mampu

menetapkan hukum Islam sebelum ia dapat memahami dengan benar tujuan

Allah menetapkan perintah dan larangan-larangannya.82 Al-Juwai>ni menguraikan

gagasannya tentang teori maqa>s}id al-shari>‘ah dalam kaitanya dengan ’ilat pada

masalah qiyas.83 Pada dasarnya, al-Juwai>ni mengklasifikasikan maqa>s}id al-

shari>‘ah menjadi tiga jenis, yaitu d}aru>riyat, h}a>jjiyat dan makhamat atau dikenal

dengan istilah tah}si>niyat.

Pemikiran al-Juwai>ni kemudian dikembangkan oleh muridnya, al-Ghaza>li>,

yang menjelaskan maqa>s}id al-shari>‘ah dalam kaitanya dengan pembahasan al-

muna>sabat al-maslah}iyat dalam qiyas.84 Al-Ghaza>li> mengelompokkan maslah}at

81 Ibid. 82Abd al-Ma>lik Ibnu Yusu>f Abu> al-Ma’ali al-Juwaini, al-Burha>n fi Us}u>l al-Fiqh, Jilid I (Kairo: Da>r al-Ans}ar, 1400 H), 295. 83Ibid, Jilid II, 923-930. 84Abu> H}amid Ibnu Muh}ammad Ibnu Muh}ammad al-Ghaza>li>, Shifa’ al-Ghalil fi Bayuni al-Shibh wa al-Mukhil wa Masa>lil al-Ta’lil (Bagdad: Matba’at al-Irsyad, 1971), 159. Lihat juga al-Ghaza>li>, Al-Mustasfa, jilid I, 287-292

Page 31: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

88

menjadi lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.85

Kemudian al-Ghaza>li> menjelaskan bahwa lima aspek maslahat tersebut harus

mempertimbangkan peringkat d}arurat, h}a>jat dan tah}sinat.86 Ulama berikutnya

yang mengajarkan gagasan yang sama tentang maqa>s}id al-shari>‘ah ialah al-

Sha>t}ibi>. Beliau mengatakan bahwa tujuan utama Allah SWT mensyariatkan

hukumnya adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.87 Ia

mengklasifikasikan maslah}at pada tiga tingkatan, yaitu d}aru>riyat, h}a>jiyat dan

tah}si>niyat. Peringkat ketiga menyempurnakan peringkat kedua.88

Sedangkan Izzu al-Di>n Ibn Abd al-Sala>m (w 660 H) dari mazhab al-

Sha>fi’i> dalam kajiannya tentang maqa>s}id al-shari>‘ah lebih banyak menguraikan

hakikat maslahat yang diwujudkan dalam bentuk da>r al-maqa>s}id wa jalbu al-

maslah}at dunyawiyat (menghindari maslahat dan menarik manfaat).89 Menurut

pandangannya, maslah}at dunyawiyat tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkatan,

yaitu d}aru>riyat, h}a>jiyat dan tatimat atau takmilat.90 Ia menyatakan bahwa taklif

mempertimbangkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.91Yang dimaksud

dengan d}aru>riyat adalah kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi

kehidupan manusia. Kebutuhan esensial tersebut adalah menjaga agama, jiwa,

akal, keturunan dan harta. Jika kebutuhan-kebutuhan pokok tidak terpenuhi maka

akan berakibat pada terancamnya eksistensi kelima hal pokok tersebut.92

85Ibid, 251. 86Ibid. 87Yang dimaksud dengan kemaslahatan adalah memelihara lima aspek utama, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Ibid, Jilid II, 251. 88Ibid. 89Ibn Abd al-Salam, Qawa>’id al-Ahkam fi Masa>lih al-Anam (Kairo: al-Istianamat, t.th), Jilid I, 9. 90Ibid., jilid II, 60-62. 91Ibid., 62. 92Abu> Is}ha>q Ibra>hi>m al-Sya>t}ibi>, Al-Muwafaqat fi Us}u>l al-Ahkam, Juz II (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1341 H), 4.

Page 32: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

89

Sedangkan peringkat h}a>jiyat tidak termasuk kebutuhan yang esensial melainkan

kebutuhan yang dapat dihindarkan manusia dari kesulitan hidupnya.93 Tidak

terpeliharanya ha>jiyat ini tidak akan mengancam eksistensi kelima aspek pokok

tersebut tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi marh}alah. Adapun

kebutuhan dalam kelompok tah}si>niyat adalah kebutuhan yang menunjang

peningkatan martabat individu dalam hidupnya, baik dalam kaitannya dengan

sesama manusia maupun dalam kaitannya dengan Tuhan sesuai dengan

kepatutan.94 Maksudnya, kelompok tiga ini adalah kebutuhan yang sifatnya

sebagai penyempurna dan tidak akan mempersulit, apalagi mengancam eksistensi

kelima unsur pokok tersebut.

Apabila dicermati, penentuan peringkat d}aru>riyat, ha>jiya>t dan tah}si>niyat

adalah dimaksudkan untuk memudahkan mewujudkan kelima aspek pokok

tersebut dengan mempertimbangkan tingkat kepentingan yang berbeda satu sama

lain. Kebutuhan dalam tingkatan d}aru>riyat dapat disebut sebagai kebutuhan

primer dan apabila diabaikan maka akan berakibat terancamnya kelima kelompok

tersebut. Kebutuhan dalam tingkatan h}a>jiyat dapat disebut sebagai kebutuhan

sekunder, jika diabaikan, tidak akan mengancam eksistensinya, melainkan akan

mempersulit dan menggangu kehidupan manusia. Sedangkan kebutuhan dalam

tingkat tah}si>niyat erat kaitannya dengan upaya menjaga moral sesuai dengan

kepatutan dan tidak akan mempersulit dan mengancam eksistensi kelima pokok

tersebut. Dengan kata lain, kebutuhan dalam tingkatan tah}si>niyat lebih bersifat

pelengkap. 93Ibid., 5. 94Muh}ammad Sa’id Ramadhan al-Buti, Dawa>bit al-Maslah}at fi al-Shari’at al-Islamiyyat (Beiru>t: Muassat al-Tisalat, t.th), 249-254; al-Sya>t}ibi>, Al-Muwafaqat, Jilid II, 4-15; Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Us}u>l Fiqh, terj. Moh Zuhri (Semarang: Dinautama, 1994), 322-324.

Page 33: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

90

2. Lima Unsur Pokok Maqa>s}id al-Shari>’at

Syariat Islam diberlakukan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.

Kemaslahatan manusia dapat diwujudkan apabila kelima unsur pokok—agama,

jiwa, akal, keturunan, dan harta berdasarkan kepada tingkat kepentingan dan

kebutuhan masing-masing dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Secara

terperinci, kelima unsur pokok itu adalah: pertama, memelihara agama (hifz} al-

di>n), yaitu menjaga atau memelihara agama berdasarkan kepentingannya.

Memelihara agama ini dapat dibedakan menjadi tiga peringkat, yaitu: (1)

memelihara agama dalam tingkat d}aru>riyat, yaitu memelihara dan melaksanakan

kewajiban keagamaan yang masuk peringka primer, seperti salat lima waktu. (2)

memeihara dalam tingkat h}a>jiyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama dengan

menghindari kesulitan, seperti salat jama’ dan qasar bagi orang yang sedang

bepergian. Jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan menggangu

eksistensi agama, akan tetapi akan menimbulkan kesulitan bagi orang yang

melakukannya. (3) memelihara agama dalam peringkat tah}si>niyat, yaitu

mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus

melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan. Misalnya, menutup aurat,

membersihkan badan, pakaian dan tempat tingggal. Pelaksanaan ketentuan ini

erat kaitannya dengan akhlak mulia. Apabila ia tidak ditunaikan karena tidak

memungkinkan maka tidak akan menggangu eksistensi agama dan tidak pula

akan menyulitkan orang yang melakukannya.

Kedua, memelihara jiwa (hifz} al-nafs) berdasarkan tingkat

kepentingannya, dapat dibedakan mejadi tiga, yaitu: (1) memelihara jiwa dalam

tingkat d}aruriyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk

Page 34: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

91

mempertahankan hidup. Apabila kebutuhan pokok itu diabaikan maka akan

berakibat terganggunya eksistensi jiwa manusia. (2) memelihara dalam peringkat

h}a>jiyat, seperti diperbolehkannya berburu binatang untuk menikmati makan yang

halal dan lezat. Kalau ketentuan ini diabaikan maka tidak akan mengakibatkan

kesulitan hidupnya. (3) memelihara jiwa dalam peringkat tah}si>niyat, seperti

diterapkannya tata cara makan dan minum yang menyangkut kesopanan dan

etika. Apabila diabaikan maka tidak akan menggangu eksistensi jiwa manusia,

ataupun berakibat mempersulit kehidupan manusia.

Ketiga, memelihra akal (hifz} al-aql), dapat dibedakan menjadi tiga

peringkat, yaitu: (1) memelihara akal dalam peringkat d}aru>riyat, seperti

diharamkannya minum-minuman keras. Apabila aturan ini tidak dilaksanakan

maka akan mengakibatkan terancamnya eksistensi akal. (2) memelihara akal

dalam peringkat ha>jiyyat, seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan.

Jika kegiatan ini tidak dilaksanakan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan

mempersulit diri seseorang, apalagi dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu

pengetahuan. (3) memelihara akal dalam peringkat tah}si>niyat, seperti

menghindarkan diri dari mengkhayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak

berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika dan tidak akan mengancam

eksistensi akal secara langsung.

Keempat, memelihara keturunan (hifz} al-nasl) yang dapat dibedakan

menjadi tiga peringkat, yaitu: (1) memelihara keturunan dalam peringkat

d}aru>riyat, seperti disyariatkannya nikah dan larangan zina. Kalau aturan ini tidak

dilaksanakan maka eksistensi keturunan akan terancam. (2) peringkat h}a>jiyat,

seperti ditetapkannya ketentuan menyebut mahar bagi suami pada waktu akad

Page 35: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

92

nikah dan diberikannya hak talak kepadanya. Apabila mahar tidak disebutkan

pada waktu akad nikah maka suami akan mengalami kesulitan karena ia harus

membayar mahar mithil sedangkan dalam masalah talak suami akan mengalami

kesulitan, kalau suami tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi dan

kondisi rumah tangga sudah tidak harmonis. (3) peringkat tah}si>niyat, seperti

disyariatkannya khit}bah atau walimah dalam perkawinan. Kegiatan ini

dilaksanakan dalam rangka menyempurnakan pelaksanaan perkawinan. Jika tidak

dilaksanakan tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula

mengakibatkan kesulitan orang yang akan melangsungkan keturunan. Ia hanya

berkaitan dengan etika dan manfaat seseorang.

Kelima, memelihara harta (hifz} al-ma>l) yang dapat dibedakan menjadi

tiga peringkat, yaitu: (1) memelihara harta dalam peringkat d}aru>riyat, seperti

syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang

lain dengan cara yang tidak sah. Jika aturan itu dilarang maka akan berakibat

terancamnya eksistensi harta. (2) memelihara harta dalam peringkat h}a>jiyat,

seperti syariat tentang jual beli dengan cara salam. Apabila ketentuan ini tidak

digunakan maka tidak akan mengancam eksistensi harta, akan tetapi dapat

mempersulit seseorang yang memerlukan modal. (3) Peringkat tah}si>niyat, seperti

menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini terkait dengan etika

bermu’amalah dan berpengaruh terhadap sah tidaknya mu’amalah atau jual beli

tersebut, karena pada tingkatan ketiga ini juga merupakan syarat adanya

tingkatan kedua dan pertama.

Page 36: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

93

Dalam setiap peringkat dari tiga tingkatan teori maqa>s}id al-shari>’ah,95

terdapat hal-hal yang bersifat penyempurnaan. Dalam peringkat pertama,

d}aru>riyyat yaitu maqa>s}id al-shari>’ah yang pasti diperlukan dan tidak dapat

dilalaikan. Oleh karena itu seseorang dibolehkan mengkonsumsi makanan yang

diharamkan demi melindungi nyawanya dari kematian. Kedua peringkat h}a>jiyat,

maksudnya perbuatan itu diperlukan untuk menghilangkan kesempitan dan

menghindarkan seseorang dari kewajiban yang sangat memberatkan. Andaikata

tidak diatasi maka seseorang akan menanggung beban yang menyakitkan

(mashaqah).

Meskipun demikian tidak adanya maqa>s}id al-shari>‘ah dalam peringkat ini

tidak sampai mengganggu kemaslahatan umum, juga tidak akan membawa

kepada kerusakan seperti yang terdapat dalam peringkat d}aru>riyat. Sebagai

contoh adalah ditetapkannya khiya>r dalam jual beli untuk memelihara harta atau

ditetapkan adanya kafa’at dalam perkawinan untuk memelihara keturunan.

Ketiga, peringkat tah}si>niyat. Maksudnya, melakukan adat kebiasaan yang

baik dan menjauhi hal-hal yang dapat diterima oleh akal sehat. Misalnya,

ditetapkannya tata cara t}aharah dalam rangka pelaksanaan salat untuk memenuhi

perintah agama.96

Urutan kemaslahatan tersebut di atas sangat penting diketahui oleh para

mujtahid untuk dijadikan pertimbangan dalam menentukan skala prioritas jika

terjadi pertentangan antara kemaslahatan yang satu dengan kemaslahatan yang

lain. Dalam konteks ini, peringkat d}aru>riyat (pertama) harus didahulukan dari

95Abu> Is}h}}a>q Ibra>him al-Sha>t}ibi>, Al- Muwafaqat, Jilid II, 9. 96Muh}ammad Sa’id Ramadhan al-Buti>, Dawabit al-Maslah}at, 250-251.

Page 37: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

94

pada peringkat h}a>jiyat (kedua) dan peringkat tah}si>niyat (ketiga). Dengan kata

lain, aturan ini menunjukkan bahwa diperbolehkan meninggalkan kasus yang

termasuk peringkat kedua dan ketiga apabila kemaslahatan yang termasuk

peringkat pertama terancam eksistensinya. Misalnya, seseorang diwajibkan

memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan kehidupan

dengan makanan yang halal.

Apabila pada suatu saat ia tidak mendapatkan makanan yang halal,

padahal ia akan mati kalau tidak makan, maka ia diperbolehkan memakan

makanan yang diharamkan untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Makan dalam

hal ini termasuk memelihara jiwa dalam peringkat d}aru>riyat yang harus

didahulukan daripada memelihara jiwa dalam peringkat h}a>jiyat yaitu makan

makanan yang halal. Demikian pula apabila peringkat tah}si>niyat bertentangan

dengan peringkat h}a>jiyat, maka peringkat h}a>jiyat harus didahulukan dari pada

peringkat tah}si>niyat. Misalnya, melaksanakan salat berjama’ah termasuk

peringkat h}a>jiyat, sedangkan imam syaratnya orang saleh, bukan orang fasik,

termasuk tingkat tah}si>niyat. Apabila dalam suatu kelompok umat Islam tidak

mendapatkan imam yang memenuhi persyaratannya, maka diperbolehkan

makmum pada imam yang fasik untuk melaksanakan salat berjama’ah yang

bersifat h}a>jiyat itu.

Persoalan yang dilakukan di atas adalah terbatas pada masalah yang

berbeda peringkat. Sedangkan dalam kasus yang peringkatnya sama, misalnya

peringkat d}aru>riyat dengan peringkat h}a>jiyat, dan begitu seterusnya, maka

ketentuannya adalah: (1) apabila pertentangan itu terjadi dalam urutan yang

berbeda dari lima pokok kemaslahatan tersebut, maka dasar pertimbangannya

Page 38: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

95

adalah mengikuti urutan kemaslahatan yang sudah baku, yaitu kemaslahatan

dalam rangka memelihara agama (hifz} al-di>n) harus didahulukan dari pada

kemaslahatan dalam rangka memelihara jiwa (hifz} al-nafs) dan begitu seterusnya.

Misalnya, jihad di jalan Allah termasuk dalam peringkat d}aru>riyat jika

dihubungkan dengan memelihara eksistensi agama. Dalam batas terancam

eksistensinya, memelihara agama adalah d}aru>riyat, dan untuk itu disyariatkannya

jihad yang dapat juga membawa korban manusia. Dalam hal ini, memelihara

agama dengan jihad harus didahulukan dari pada memelihara akal. Contoh

lainnya adalah seseorang diperbolehkan minum-minuman keras yang pada

dasarnya akan merusak akal apabila ia tidak minum minuman itu. Dalam hal ini

memelihara jiwa harus didahulukan dari pada memelihara akal.97 (2) Apabila

pertentangan itu terjadi dalam peringkat dan urutan yang sama, misalnya sama-

sama menjaga harta atau menjaga jiwa dalam peringkat h}a>jiyat, maka mujtahid

harus mendahulukan kemaslahatan yang paling penting (besar) contoh :

pembuatan sungai untuk pengairan dan menanggulangi banjir, bisa juga hal ini

berbenturan dengan hak milik seseorang yang harus direlakan demi kepentingan

orang banyak. Dalam hal ini kepentingan orang banyak harus didahulukan dari

pada kepentingan perorangan. Kedua kemaslahatan ini berada pada peringkat

h}a>jiyat, dalam rangka memelihara harta.98

3. Hubungan Ijtihad dengan Maqa>s}id al-Shari>’ah

Tujuan utama disyariatkan hukum adalah untuk memelihara

kemaslahatan dan sekaligus menghindarkan kemafsadatan, baik di dunia maupun

97Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad, 46. 98Ibid., 47.

Page 39: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

96

diakhirat. Dalam kasus hukum yang secara eksplisit dijelaskan dalam al-Qur’an

dan hadis, kemaslahatan dapat ditelusuri melalui teks yang ada. Jika ternyata

kemaslahatan itu dijelaskan, maka kemaslahatan itu dijadikan titik tolak

penetapan hukumnya. Kemaslahatan seperti ini dalam us}u>l fi\kih digolongkan

kepada al-maslah}at al-mu’tabarah99. Berbeda halnya jika kemaslahatan itu tidak

dijelaskan secara eksplisit kedalam dua sumber itu. Dalam hal ini peran mujtahid

sangat penting untuk menggali dan menemukan maslahah yang terkandung

dalam penetapan hukum. Pada dasarnya hasil penelitian ini dapat diterima,

selama tidak bertentangan dengan maslahat yang telah ditetapkan dalam kedua

sumber tersebut. Jika ternyata terjadi pertentangan, maka maslahah ini

digolongkan menjadi al-maslah}ah al-mulghah100

Usaha para ahli us}u>l fikih dalam mencari maslahat itu diwujudkan dalam

bentuk metode ijtihad. Berbagai istilah telah mereka gunakan untuk menyebut

metode penemuan hukum. Namun pada dasarnya, semua metode itu bermuara

pada upaya penemuan maslahah, dan menjadikannya sebagai alat untuk

menetapkan hukum yang kasusnya tidak disebutkan secara eksplisit baik dalam

al-Qur’an maupun hadis. Atas dasar ini maka dapat dikatakan, bahwa setiap

99Al-Maslah}at al-mu’tabarah yaitu maslahah yang ada petunjuk dari shari’, baik langsung maupun tidak langsung, yang memberikan petunjukkan adannya maslahah yang menjadi alasan dalam menetapkan hukum. Baca Wahbah al-Zuh}aili>, Us}u>l Fiqh, Jilid II, 752. Amir Syarifuddin, Us}u>l Fiqh, Jilid 2, 329. 100Maslah}ah mulghah adalah maslahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syarak dan ada petunjuk syarak melaluinya. Contohnya adalah raja atau orang kaya mencampuri istrinya di siang hari di bulan Ramadhan. Untuk orang ini sangsi yang baik adalah puasa dua bulan berturut-turut karena cara inilah yang diperkenakan akan membuat jera dalam melakukan pelanggaran. Pertimbangan ini memang baik dan masuk akal, bahkan sejalan dengan tujuan syarak dalam menetapkan hukum yaitu menjerakan orang yang melakukan pelanggaran. Namun apa yang dianggap baik oleh akal ini ternyata tidak diumumkan menurut syarak bahkan ia menetapkan hukum yang berbeda dengan itu, yaitu memerdekakan hamba sahaya, meskipun sangsi ini bagi orang kaya atau raja dinilai kurang relevan untuk membuatnya jera. Baca Wahbah al-Zuh}aili>, ibid., 753-754; Amir Syarifuddin, ibid., 331.

Page 40: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

97

metode penetapan hukum yang dipakai oleh para ahli us}u>l fikih bermuara pada

maqa>s}id al-shari>‘ah.

Dalam melaksanakan ijtihad tat}bi>qi, ijtihad istinba>t}i memegang peranan

yang sangat penting, karena pengetahuan tentang esensi dan maksud umum suatu

nas tetap menjadi tolak ukur penetapan hukum kesalahan dalam memahami

maksud nas akan melahirkan kesalahan pula dalam menilai persoalan-persoalan

baru dan penerapan hukumnya, apalagi jika hal itu berupa suatu kekeliruan maka

lebih fatal lagi akibatnya. Oleh karenanya ijtihad tat}bi>qi dalam bentuk tah}qi>q al-

mana>t}101 harus dikaitkan dengan takhri>j al-mana>t} 102 dan tanqi>h} al-mana>t} 103

sebagai ijtihad istinba>t}i104 Mekanisme keterkaitan antara dua bentuk ijtihad

tersebut dapat dilihat dalam firman Allah:

وى عدل منكم وأشھد واذ

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu”105

Ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang dapat menjadi saksi adalah

orang yang bersifat adil. Kata adil dalam ayat tersebut merupakan kata kunci.

Dalam melakukan ijtihad, seseorang harus mengetahui dengan teliti sifat adil

yang dimaksud oleh nas al-Qur’an. Usaha mengetahui kriteria adil dapat disebut

ijtihad istinba>t}i .

101 Berijtihad untuk mengetahui adanya ilat dalam beberapa permasalahan hukum setelah mujtahid mengetrahuinya dengan dirinya sendiri. Baca: Ala’udin al-Mardawi, Al Tah}bi >r Sharh al-Tah}ri>r fi Us}u >l al-Fiqh, juz 7( Riyad: Al-Rushdi, 2000), 3331. 102 Berijtihad untuk mengeluarkan ‘ilat hukum yang sudah dijelaskan oleh nas atau ijmak untuk menjelaskan ilat asal tanpa adanya pertentangan. Baca: Badrudin As Zarkashy, Al-Bah}ru al- Muh}i>t} fi Us}u>l al-Fiqh, juz 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), 228. 103 Ijtihad ulama dalam menentukan ilat yang mengikat suatu hukum sehingga ada ilat yang dibuang dan ada ilat yang ditetapkan.Baca: Abu al-Abbas al-Qarafi, Sharh Tanqi>h} al-Fus}u>l ( Beirut: Al-Faniyah al-Mutahidah, t.th), 398. 104Ibid., 49-54; Lihat pula Syahrin Harahap, Islam Dinamis: Menegakkan Nilai–nilai al-Qur’an dalam Kehidupan Modern di Indonesia (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), 80-86. 105al-Qur’an, 62: 2.

Page 41: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

98

Tahapan berikutnya seorang mujtahid harus meneliti siapa sifat adil yang

dimaksud oleh nas al-Qur’an ini merupakan upaya ijtihad tat}bi>qi. Kecocokan

kriteria sifat adil yang dipahami dari al-Qur’an dengan sifat adil yang terdapat

dalam diri seseorang perlu diketahui secara teliti, sehingga al-Qur’an sebagai

sumber hukum dapat diterapkan. Apabila dicermati lebih lanjut mekanisme

ijtihad dengan contoh di atas, tampak bahwa ijtihad istinba>t}i mempunyai

hubungan yang erat dengan keharusan pemahaman maqa>s}id tersebut merupakan

upaya menggali maksud hukum yang terkandung dalam nas al-Qur’an dan hadis

yang merupakan khit}ab al-shar’i.

Dengan demikian antara ijtihad istinba>t}i dan ijtihad tat}bi>qi mempunyai

hubungan yang saling memerlukan. Hal ini mengisyaratkan adannya hubungan

antara ijtihad tat}bi>qi dan maqa>s}id al-shari>‘ah. Untuk melihat urgensi maqa>s}id al-

shari>‘ah dalam ijtihad, harus diteliti kembali pengertian istilah ijtihad itu

sendiri. Sebagaimana pendapat al-Sha>t}ibi> yang menyatakan bahwa ijtihad adalah

upaya penggalian hukum syarak secara optimal. Di mana upaya penggalian

hukum syarak ini berhasil apabila seorang mujtahid dapat memahami maqa>s}id

al-shari>‘ah.

Dalam kaitanya dengan hal ini, al-Syha>t}ibi> menyatakan bahwa derajat

ijtihad bisa dicapai apabila seseorang, untuk melihat urgensi maqasid al-shari>‘ah

dalam ijtihad penggalian hukum syarak dapat secara optimal, maka apabila

seseorang mujtahid memiliki dua kriteria.106

Pertama, dapat memahami maqa>s}id al-shari>’ah secara sempurna. Apabila

seseorang mampu memahami maqa>s}id al-shari>’ah dalam segala persoalan dengan

106al-Sha>t}ibi>, al-Muwafaqat, Jilid IV, 56-62.

Page 42: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

99

rinciannya, berarti ia telah sampai pada tingkatan pemahaman khalifah-khalifah

Nabi dalam mengajar, berfatwa dan menetapkan hukum sesuai dengan hukum

yang diturunkan Allah SWT. Kedua, kemampuan menarik kandungan hukum

atas dasar pengetahuan dan pemahaman maqa>s}id al-shari>’ah itu adalah dengan

bantuan bahasa Arab, al-Qur’an dan Sunnah.

Kedua kriteria tersebut saling berkait. Kriteria kedua merupakan alat

bantu bagi kriteria pertama yang merupakan tujuan. Artinya, kriteria kedua

merupakan perantara bagi kriteria pertama sebagai tujuan. Dengan kata lain,

ijtihad dapat dilakukan dan berhasil apabila seseorang dapat memahami maqa>s}id

al-shari>’ah dengan sempurna. Maqa>s}id al-shari>’ah dapat dipahami apabila

seseorang memiliki kemampuan menguasai bahasa Arab, al-Qur’an dan sunah.

Kalangan ulama selain al-Sha>t}ibi> tidak menyebut pengetahuan maqa>s}id al-

shari>’ah sebagai syarat bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad dan

sampainya seseorang pada tingkat mujtahid. Dalam hal ini diperlukan

pembahasan yang lebih mendalam untuk menemukan penjelasan dan menentukan

apakah mereka benar-benar demikian keberadaannya.107

Dalam kaitannya dengan yang terakhir ini, ada beberapa pandangan di

kalangan ulama. Pertama, ulama yang tidak memasukkan syarat mengenai

mampu memahami maqa>s}id al-shari>’ah sebagai syarat mutlak ijtihad. Ada

kemungkinan mereka memasukkan syarat ini ke dalam syarat mengetahui dan

memahami al-Qur’an dan sunah. Artinya, apabila seseorang telah dapat

memahami al-Qur’an dan sunah secara umum, diharapkan ia dapat mengetahui

107Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Shari>‘ah menurut al-Sha>tibi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 130.

Page 43: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

100

dan memahami maqa>s}id al-shari>’ah terkandung di dalam al-Qur’an dan sunah

tersebut.

Kedua, kemungkinan lain adalah bahwa ulama yang tidak mau

menyebutkan istilah maqa>s}id al-shari>’ah mengharuskan seseorang yang akan

melakukan ijtihad mengetahui qawa>’id al-kulliyyah (kaidah-kaidah umum). Al-

Ghaza>li> misalnya, mengharuskan seseorang yang ingin berijtihad melakukan

penelitian lebih dahulu terhadap kaidah-kaidah umum serta memprioritaskannya

dari hukum-hukum yang khusus (juz’iyyah).

Dari dua pandangan di kalangan ulama terhadap maqa>s}id al-Shari>‘ah di

atas dapat dikatakan bahwa para ulama pada umumnya tidak menjadikan

maqa>s}id al-shari>’ah sebagai syarat yang menentukan. Menurut mereka, maqa>shid

al-shari>’ah dengan sendirinya termasuk dalam persyaratan umum memahami al-

Qur’an, sunah dan pemahaman kaidah kulliyyah. Oleh karenanya mereka

menempatkan pertimbangan maqa>s}id al-shari>’ah sebagai syarat al-takmi>liyyah

(menyempurna atau pelengkap). Pandangan ini sangat berbeda dengan pandangan

al-Sha>t}ibi> yang menempatkan maqa>s}id al-shari>’ah sebagai syarat yang sangat

menentukan keberhasilan sebuah ijtihad.

Pengetahuan dan pemahaman tentang maqa>s}id al-shari>’ah merupakan

aspek penting dalam melakukan ijtihad. Seseorang yang hanya berhenti pada

z}ahir lafaz} atau pendekatan lafz}iyyah dan terikat dengan nas yang juz’iyyah,

serta mengabaikan maksud-maksud pensyariatan hukum akan berhadapan pada

kekeliruan-kekeliruan dalam ijtihad. Dengan demikian, maqa>s}id al-shari>’ah

menjadi kunci bagi keberhasilan seorang mujtahid dalam ijtihadnya. Hal ini

disebabkan karena kepada landasan tujuan hukum itulah setiap persoalan dalam

Page 44: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ISTINBA

101

kehidupan manusia dikembalikan, baik terhadap masalah-masalah baru yang

belum ada secara harfiah dalam wahyu maupun dalam kepentingan untuk

mengetahui apakah suatu kasus masih dapat diterapkan suatu ketentuan hukum

atau tidak, karena terjadinya pergeseran-pergeseran nilai akibat perubahan-

perubahan sosial.