bab ii tinjauan umum tentang anak, anak yang …repository.unpas.ac.id/45009/4/bab ii (2).pdf ·...
TRANSCRIPT
49
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK, ANAK YANG BERKONFLIK
DENGAN HUKUM, SISTEM PEMIDANAAN, SISTEM PEMIDANAAN,
PIDANA, SISTEM PEMIDANAAN DAN PERBANDINGAN HUKUM
PIDANA
A. Pengertian Anak
1. Pengertian Anak Menurut Para Ahli
Anak dan generasi muda adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan,
karena anak merupakan bagian dari generasi muda. Untuk memudahkan
memahami temtang pengertian anak dan menghindari salah penerapan
kadar penilaian orang dewesa terhadap anak, maka perlu dketahui
bagaimana pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak dalam pengertian
umum tidak saja mendapat perhatian dalam bidang ilmu pengetahuan,
tetapi dapat juga ditelaah dari sisi pandang kehidupan, seperti Agama,
hukum dan sosiologisnya yang menjadikan penhertian anak semakin
rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. Dalam masyarakat,
kedudukan anak memiliki makna dari susistem hukum yang ada dalam
lingkungan perundangundangan dan subsistem sosial kemasyarakatan
universal. Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian
kedudukan anak dari pandangan sistem hukum sebagai subjek hukum.
50
Merujuk dari Kamus Umum bahasa Indonesia mengenai pengertian
anak menyebutkan bahwa :45
“Secara etimologis diartikan dengan manusia yang masih
kecil ataupun manusia yang belum dewasa.”
R.A. Kosnan menjelaskan pengertian anak, yakni :46
“Anak-anak yaitu manusia muda dalam umur muda dalam
jiwa dan perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh
untuk keadaan sekitarnya”.
Arif Gosita menyebutkan bahwa :47
“Oleh karna itu anak-anak perlu diperhatikan secara
sungguhsungguh. Akan tetapi, sebagai makhluk social yang
paling rentan dan lemah, ironisnya anak-anak justru sering
kalidi tempatkan dalam posisi yang paling di rugikan,
tidakmemiliki hak untuk bersuara, dan bahkan mereka sering
menjadi korban tindak kekerasa dan pelanggaran terhadap
hak-haknya.”
Menurut Sugiri mengatakan bahwa :48
"Selama di tubuhnya masih berjalan proses pertumbuhan dan
perkembangan, anak itu masih menjadi anak dan baru
menjadi dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan
itu selesai, jadi batas umur anak-anak adalah sama dengan
permulaan menjadi dewasa, yaitu 18 (delapan belas) tahun
untuk wanita dan 21 (dua puluh) tahun untuk laki-laki."
Menurut Bisma Siregar, dalam bukunya menyatakan bahwa :49
“Dalam masyarakat yang sudah mempunyai hokum tertulis
diterapkan batasan umur yaitu 16 tahun atau 18 tahun
45 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Amirko, 1984, hlm 25. 46 R.A. Koesnan, Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia, Sumur, Bandung, 2005, hlm 113. 47 Arif Gosita, Masalah perlindungan Anak, Jakarta, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hlm 28. 48 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Cetakan Kedua, P.T.Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm 32. 49 Bisma Siregar, Keadilan Hukum dalam Berbagai aspek Hukum Nasional, Rajawali, Jakarta, 1986, hlm 105.
51
ataupun usia tertentu yang menurut perhitungan pada usia
itulah si anak bukan lagi termasuk atau tergolong anak tetapi
sudah dewasa.”
Hanafi mengemukakan bahwa :50
“Pengertian anak dalam berbagai disiplin ilmu berbeda-beda
dan penulis hanya memaparkan pengertian anak dari segi
hukum islam maupun hukum positif. Hukum Islam telah
menetapkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah
seorang manusia yang telah mencapai umur tujuh tahun dan
belum balligh, sedang menurut kesepakatan para ulama,
manusia dianggap balligh apabila mereka telah mencapai usia
15 tahun.”
Kata balligh berasal dari fiil madi balagha, yablugu, bulughan yang
berarti sampai, menyampaikan, mendapat, balligh, masak.51
Pendapat para ahli fiqh mengenai kedudukan anak berbeda-beda
menurut bahasa yang dilaluinya , yaitu :52
a. Masa tidak adanya kemampuan berpikir. Masa ini dimulai sejak
lahir sampai usia 7 tahun, perbuatan pidana yang dilakukannya
tidak dikenai hukuman;
b. Masa kemampuan berfikir lemah. Masa ini dimulai sejak anak
berusia 7 tahun sampai usia 15 tahun. Pada masa tersebut mereka
dijatuhi pengajaran. Pengajaran ini meskipun sebenarnya
hukuman namun tetap dianggap sebagai hukuman mendidikan
bukan hukuman pidana; dan
50 A.hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, Pt Rineka Cipta, Jakarta, 1994. hlm 369. 51 Mahmaud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Penafsiran Al-Qur‟an, Jakarta, 1973, hlm 71. 52 Sudarsono, Kenakalan Remaja,cet. ke-2, Rineka Cipta, Jakarta, 1991,hlm 10.
52
c. Masa kemampuan berfikir penuh. Masa ini dimulai sejak anak
mencapai usia kecerdasan yang pada umumnya telah mencapai
usia 15 tahun atau 18 tahun. Pada masa ini telah dikenakan
pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan.
Dapat dipahami bahwa kedewasaan menurut Islam adalah dengan
ikhtilam namun terjadi perselisihan mengenai batas umurnya. Dari dasar
ayat al-Qur‟an dan Hadiş serta dari berbagai pendapat tersebut di atas
dapat dipahami bahwa kedewasaan menurut islam adalah dengan ikhtilam
namun terjadi perselisihan mengenai batas umurnya. Hal ini disebabkan
karena adanya perbedaan iklim, suhu, temperamen, dan tabiat seseorang
serta lingkungan sekitarnya.
Kemudian kapan seorang anak dapat dikatakan telah mencapai
dewasa? Untuk menjawab hal ini dapat dilihat dari pendapat Imam
Syafi‟I, sebagaimana yang telah dikutp oleh Chairuman dan Suhrawardi
dalam bukunya hukum perjanjian dan hukum Islam. Imam Syafi‟I
mengungkapkan apabila telah sempurna umur 15 tahun baik laki-laki
maupun perempuan, kecuali bagi laki-laki yang telah ikhtilan atau
perempuan yang sudah haid sebelum mencapai umur 15 tahun maka sudah
dianggap dewasa.
Menurut Hilman Hadikusuma dalam buku yang sama
merumuskannya dengan :53
"Menarik batas antara sudah dewasa dengan belum dewasa,
tidak perlu di permasalahkan karena pada kenyataannya
53 Op, Cit, Bisma Siregar, 1986.
53
walaupun orang belum dewasa namun ia telah dapat
melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum
dewasa telah melakukan jual beli, berdagang, dam
sebagainya, walaupun ia belum berenang kawin."
M. Nasir Djamil dalam bukunya yang berjudul Anak Bukan Untuk
Di Hukum menyebutkan bahwa :54
“Anak menurut bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil
antara hubungan pria dan wanita. Dalam konsideran Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak,
dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karuni Tuhan
Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya.”
M. Nasir Djamil dalam bukunya yang berjudul Anak Bukan Untuk
DiHukum juga mengemukakan bahwa :55
“Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi,
dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa,
memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus
yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara
pada masa depan. Oleh karena itu agar setiap anak kelak
mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu
mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial,
dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan
serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta
adanya perlakuan tanpa diskriminasi.”
Abu Huraerah juga menyebutkan bahwa :56
“Anak merupakan seseorang yang dilahirkan dari sebuah
hubungan antara pria dan wanita. Hubungan antara pria dan
wanita ini jika terikat dalam suatu ikatan perkawinan
lazimnya disebut sebagai suami istri.”
54 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm 8. 55 Ibid. 56 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Nuansa, Bandung, 2006, hlm 36.
54
Anak (jamak: anak-anak) adalah seorang lelaki atau perempuan yang
belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga
merupakan keturunan kedua, di mana kata "anak" merujuk pada lawan
dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua mereka, meskipun
mereka telah dewasa.57
UNICEF juga menyebutkan bahwa :58
“Anak adalah periode pekembangan yang merentang dari
masa bayi hingga usia lima atau enam tahun, periode ini
biasanya disebut dengan periode prasekolah, kemudian
berkembang setara dengan tahun tahun sekolah dasar.”
Andy Lesmana dalam Blog-nya, menyebutkan bahwa :59
“Anak adalah seorang yang dilahirkan dari perkawinan anatar
seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tidak
menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita
meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap
dikatakan anak.”
Andy Lesmana dalam Blog-nya, juga menyebutkan bahwa :60
“Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi
baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa
dan sumber daya manusia bagi pembangunan Nasional.Anak
adalah asset bangsa.Masa depan bangsa dan Negara dimasa
yang akan datang berada ditangan anak sekarang.Semakin
baik keperibadian anak sekarang maka semakin baik pula
kehidupan masa depan bangsa.Begitu pula sebaliknya,
57 Wikipedia, Pengertian Anak, https://id.wikipedia.org/wiki/Anak, diakses pada tanggal 26 Juni 2019. 58 Ibid. 59 Andy Lesmana, Definisi Anak, https://www.kompasiana.com/alesmana/55107a56813311573bbc6520/definisi-anak?page=all, diakses pada tanggal 26 Juni 2019. 60 Ibid.
55
Apabila keperibadian anak tersebut buruk maka akan bobrok
pula kehidupan bangsa yang akan datang.”
Secara agama, memberikan pengertian bahwa :61
“Dalam sudut pandang yang dibangun oleh agama khususnya
dalam hal ini adalah agama islam, anak merupakan makhluk
yang dhaif dan mulia, yang keberadaannya adalah
kewenangan dari kehendak Allah SWT dengan melalui
proses penciptaan. Oleh karena anak mempunyai kehidupan
yang mulia dalam pandangan agama islam, maka anak harus
diperlakukan secara manusiawi seperti dioberi nafkah baik
lahir maupun batin, sehingga kelak anak tersebut tumbuh
menjadi anak yang berakhlak mulia seperti dapat
bertanggung jawab dalam mensosialisasikan dirinya untuk
mencapai kebutuhan hidupnya dimasa mendatang. Dalam
pengertian Islam,anak adalah titipan Allah SWT kepada
kedua orang tua, masyarakat bangsa dan negara yang kelak
akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lila’lamin dan
sebagai pewaris ajaran islam pengertian ini mengandung arti
bahwa setiap anak yang dilahirkan harus diakui, diyakini, dan
diamankan sebagai implementasi amalan yang diterima oleh
akan dari orang tua, masyarakat , bangsa dan negara.”
Dalam pengertian ekonom, juga mengemukakan bahwa :62
“Anak dikelompokan pada golongan non produktif.Apabila
terdapat kemampuan yang persuasive pada kelompok anak,
hal itu disebabkan karena anak mengalami transpormasi
financial sebagai akibat terjadinya interaksi dalam
lingkungan keluarga yang didasarkan nilai kemanusiaan.
Fakta-fakta yang timbul dimasyarakat anak sering diproses
untuk melakukan kegiatan ekonomi atau produktivitas yang
dapat menghasilkan nilai-nilai ekonomi. Kelompok
pengertian anak dalam bidang ekonomi mengarah pada
konsepsi kesejahteraan anak sebagaimana yang ditetapkan
oleh UU no.4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yaitu
anak berhak atas kepeliharaan dan perlingdungan, baik
semasa dalam kendungan , dalam lingkungan masyarakat
yang dapat menghambat atau membahayakan
perkembanganya, sehingga anak tidak lagui menjadi korban
dari ketidakmampuan ekonomi keluarga dan masyarakat.”
Dalam aspek sosiologis anak diartikan :63
61 Ibid. 62 Ibid.
56
“Sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang senan tiasa
berinteraksi dalam lingkungan masyarakat bangsa dan
negara.Dalam hal ini anak diposisikan sebagai kelompok
social yang mempunyai setatus social yang lebih rendah dari
masyarakat dilingkungan tempat berinteraksi. Makna anak
dalam aspek sosial ini lebih mengarah pada perlindungan
kodrati anak itu sendiri. Hal ini dikarenakan adanya
keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh sang anak
sebagai wujud untuk berekspresi sebagaimana orang dewasa,
misalnya terbatasnya kemajuan anak karena anak tersebut
berada pada proses pertumbuhan, proses belajar dan proses
sosialisasi dari akibat usia yang belum dewasa.”
Hukum adat tidak ada menentukan siapa yang dikatakan anak-anak
dan siapa yang dikatakan orang dewasa. Akan tetapi dalam hukum adat
ukuran anak dapat dikatakan dewasa tidak berdasarkan usia tetapi pada ciri
tertentu yang nyata.
2. Pengertian Anak Menurut Hukum Positif Indonesia
Sholeh Soeaidy dan Zulkhair menyebutkan bahwa :64
“Ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata
hukum positif di Indonesia lazim diartikan sebagai orang
yang belum dewasa (minderjaring atau person under age),
orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur
(minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut
sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarige
onvervoodij).”
Di Indonesia sendiri terdapat beberapa pengertian tentang anak
menurut peraturan perundang- undangan, begitu juga menurut para pakar
ahli. Namun di antara beberapa pengertian tidak ada kesamaan mengenai
pengertian anak tersebut, karna di latar belakangi dari maksud dan tujuan
63 Ibid. 64 Sholeh Soeaidy dan Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2001, Hlm 5.
57
masing-masing undangundang maupun para ahli. Pengertian anak menurut
peraturan perundangundangan dapat dilihat sebagai berikut :
a. Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan;
b. Di jelaskan dalam Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, mengatakan orang belum dewasa adalah mereka yang
belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah
kawin. Jadi anak adalah setiap orang yang belum berusia 21
tahun dan belum meniakah. Seandainya seorang anak telah
menikah sebalum umur 21 tahun kemudian bercerai atau
ditinggal mati oleh suaminya sebelum genap umur 21 tahun,
maka ia tetap dianggap sebagai orang yang telah dewasa bukan
anak-anak;
c. Anak dalam Pasal 45 KUHPidana adalah anak yang umurnya
belum mencapai 16 (enam belas) tahun. Pengertian anak yang
terdapat dalam Pasal 45 Kitab Undang - Undang Hukum Pidana
(selanjutnya disingkat dengan KUHP) yaitu jika seseorang yang
belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya
ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh
memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang
tuanya, walinya, atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan
58
suatu hukuman atau memerintahkan supaya si tersalah
diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu
hukuman. Dalam sistem hukum pidana Indonesia pengertian
anak berada dalam penafsiran hukum negatif. Sebagai subjek
hukum, anak memiliki tanggungjawab terhadap tindak pidana
yang dilakukan, namun karena statusnya di bawah umur, anak
memiliki hak-hak khusus, hak untuk memperoleh normalisasi
dari perilakunya yang menyimpang sekaligus tetap
mengupayakan agar anak memperoleh hak atas kesejahteraan
layak dan masa depan lebih cerah. Pengertian anak dalam hukum
pidana di Indonesia mencakup pengertian bahwa anak dinilai
belum mampu untuk mempertanggungjawabkan tindak pidana
yang dilakukannya dan anak berhak atas pengembalian hak-
haknya melalui proses substitusi hak-hak anak yang timbul dari
aspek hukum perdata dan tata negara untuk mensejahterakan
anak dan berlangsungnya rehabilitasi mental-spiritual si anak
akibat tindakan hukum pidana yang dilakukan serta hak untuk
memperoleh pelayanan, asuhan dan hak-hak lainnya dalam
proses hukum acara pidana Peradilan bagi anak yang melakukan
penyimpangan bukan untuk menghukum tapi bertujuan untuk
memberikan kepentingan yang terbaik kepada anak (the best
interests of the child). Hal ini merupakan prinsip yang
59
seharusnya melandasi dalam setiap kebijakan dan tindakan yang
dilakukan oleh siapapun;
d. Menurut Undang-undang No 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah
kawin (Pasal 1 butir 2);
e. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, dalam Pasal 1 Ayat (3) Anak adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur
18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana;
f. Menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia adalah sebagai berikut anak adalah
setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun
dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya;
g. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak, anak adalah
setiap manusia yang berusia dibawah delapan belas tahun kecuali
berdasarkan undang-undang lain yang berlaku bagi anak-anak
ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal;
h. Pengertian Anak Menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974. UU
No.1 1974 tidak mengatur secara langsung tolak ukur kapan
seseorang digolongkan sebagai anak, akan tetapi hal tersebut
60
tersirat dalam pasal 6 ayat (2) yang memuat ketentuan
syaratperkawinan bagi orang yang belum mencapai umur 21
tahun mendapati izin kedua orang tua. Pasal 7 ayat (1) UU
memuat batasan minimum usia untuk dapat kawin bagui pria
adalah 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enambelas)
tahun;
i. Dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak, diakui bahwa anak adalah bagian dari
generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang
merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang
memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus,
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka
menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan
sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang, namun nyatanya
banyak anak-anak dizalimi secara hukum. Proses hukum
terhadap anak tidak hanya untuk membuktikan kesalahannya dan
apa akibat dari kesalahannya; dan
j. Sementara Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
61
3. Pengertian Anak Menurut Hukum Positif Malaysia
Undang-undang mengenai perlindungan terhadap anak-anak di
Malaysia diatur dalam Akta Kanak-Kanak dan Orang Muda, Akta
Mahkamah Juvana 1947, dan Akta Perlindungan Wanita dan Gadis
1973Walau bagaimanapun, menyedari hakikat bahwa terdapat keperluan
untuk mengubah tujuan konsep perlindungan terhadap anak-anak dan juga
mengakui bahawa perlunya pembaharuan di dalam undang-undang sejajar
dengan perkembangan masa, maka satu akta yang khusus dan
komprehensif mengenai kanak-kanak telah digubal dan diluluskan iaitu
Akta Kanak-Kanak 2001 yang selanjutnya disebut selepas ini akan disebut
Akta 611 dan telah berkuat kuasa pada 1 Agustus 2002.
a. Akta Kanak-Kanak dan Orang Muda (Pekerjaan) (Pindaan) 2011
menyebutkan bahwa anak adalah orang yang berumur dibawah
15 tahun;
b. Akta Kanak-Kanak 2001 menyebutkan bahwa anak-anak ialah
mereka yang berumur dibawah 14 tahun, sedangkan yang berusia
di atas 14 tahun dan di bawah 18 tahun adalah orang muda;
c. Akta Mahkamah Juvana 1947 menyebutkan bahwa anak adalah
orang yang telah mencapai usia 10 tahun dan berada di bawah
usia 15 tahun; dan
d. Akta Perlindungan Wanita dan Gadis 1973 memberikan bahwa
pengertian Gadis (Anak Perempuan) adalah yang berusia di
bawah 21 tahun.
62
B. Pengertian Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dimaksud dengan anak yang
berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak
yang menjadi korban tindak pidana, dan saksi tindak pidana. Masalah anak
merupakan arus balik yang tidak diperhitungkan dari proses dan
perkembangan pembangunan bangsa-bangsa yang mempunyai cita-cita tinggi
dan masa depan cemerlang guna menyongsong dan menggantikan pemimpin-
pemimpin bangsa Indonesia. Terkait dengan hal itu paradigma pembangunan
haruslah pro anak.65
Harry E. Allen and Clifford E. Simmonsen menjelaskan bahwa ada 2
(dua) kategori perilaku anak yang membuat anak harus berhadapan dengan
hukum, yaitu :66
1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan,
seperti tidak menurut, membolos sekolah, atau kabur dari rumah;
dan
2. Juvenile Deliquence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran
hukum.
65 Muhammad Joni dan Zulchaina Z Tanamas, Aspek Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm.83. 66 Harry E. Allen and Clifford E. Simmonsen dalam Purniati, Mamik, Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, Correction in America An Introduction, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Jakarta, 2003, hlm.2.
63
Berdasarkan penjelasan diatas anak yang berhadapan dengan hukum
atau anak yang berkonflik dengan hukum adalah mereka yang berkaitan
langsung dengan tindak pidana, baik itu sebagai korban maupun saksi dalam
suatu tindak pidana. Ada juga perbedaan dari perilaku atau perbuatan melawan
hukum anak dan orang dewaa yang tidak bisa di samakan, dimana sebuah
perbuatan yang dilakukan anak bisa saja menjadi suatu perbuatan melawan
hukum, namun untuk orang dewasa itu bukan merupakan perbuatan melawan
hukum, maupun sebaliknya.
Tingkah laku menjurus kepada masalah Juvenile Deliquency itu
menurut Alder, adalah :67
1. Kebut-kebutan di jalan yang menganggu keamanan lalu lintas dan
membahayakan jiwa sendiri dan orang lain;
2. Perilaku ugal-ugalan, berandal, urakan yang mengacaukan
ketentraman lingkungan sekitarnya. Tingkah ini bersumber pada
kelebihan energi dan dorongan primitif yang tidak terkendali serta
kesukaan menteror lingkungan;
3. Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah, antar suku
(tawuran) sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa;
4. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan atau
bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan
eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan tindaka a-susila;
67 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Anak, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.31-33.
64
5. Kriminalitas anak, remaja, dan adolesens antara lain perbuatan
mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas,
menjambret, menyerang, merampok, menganggu, menggarong,
melakukan pembunuhan dengan menyembelih korbannya,
mencekik, meracun, tindak kekerasan dan pelanggaran lainnya;
6. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks
bebas, atau orgi (mabukmabukan yang menimbulkan kacau balau)
yang menganggu sekitarnya;
7. Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif
sosial, atau didorong oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari
perasaan inferior, menuntut pengakuan diri depresi, rasa kesunyian,
emosi, balas dendam, kekecewaan, ditolak cintanya oleh seorang
wanita dan lain-lain;
8. Kecanduan dan ketagihan Narkoba (obat bius, drug, opium, ganja)
yang erat kaitannya dengan kejahatan;
9. Tindakan-tindakan immoral seksual secara terang-terangan tanpa
tedeng aling-aling, tanpa malu dengan cara kasar. Ada seks dan
cinta bebas tanpa kendali (promiscuity) yang didorong oleh
hiperseksualitas, dorongan menuntut hak, dan usaha-usaha
kompensasi lainnya yang kriminal sifatnya;
10. Homoseksualitas, erotisme anak dan oral serta gangguan
seksualitas lainnya pada anak remaja disertai dengan tindakan-
tindakan sadis;
65
11. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan
sehingga menimbulkan akses kriminalitas;
12. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen
dan pembunuhan bayi-bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin;
13. Tindakan radikal dan ekstrem dengan jalan kekerasan, penculikan
dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja;
14. Perbuatan a-sosial yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada
anakanak dan remaja psikopatik, neurotic dan menderita gangguan
jiwa lainnya;
15. Tindak kejahatan disebabkan oleh penyakit tidur (encephalitics
lethargoical) dan ledakan meninngitis serta post-encephalitics juga
luka di kepala dengan kerusakan otak yang adakalanya
membuahkan kerusakan mental, sehingga orang yang bersangkutan
tidak mampu mengendalikan diri; dan
16. Penyimpangan tingkah laku yang disebabkan oleh kerusakan pada
karakter anak yang menuntut kompensasi, disebabkan adanya
organorgan yang imferior.
Menurut Romli Atmasasmita bentuk motivasi itu ada dua macam,
yaitu :68
“Berbicara tentang kenakalan anak tidak terlepas dari adanya
faktor-faktor yang mendorong dan yang memotivasi seorang
anak sehingga anak melakukan kenakalan, yang dimana
68 Romli Atmasasmita, Problematika Kenakalan Anak-Anak Remaja, Armico, Bandung, 1983, hlm.46.
66
nantinya akan menimbulkan reaksi dari anak untuk kenakalan
yang diperbuatnya yakni motivasi instrinstik dan ekstrenstik.”
Edwin H. Sutherland berhipotesis bahwa :69
“Perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi Edwin H.
Sutherland berhipotesis bahwa perilaku kriminal itu dipelajari
melalui asosiasi ang dilakukan dengan mereka yang melanggar
norma-norma masyarakat termasuk norma hukum. Proses yang
dipelajari tadi meliputi tidak hanya teknik kejahatan
sesungguhnya namun juga motif, dorongan sikap dan
rasionalisasi yang nyaman atau memuaskan bagi dilakukannya
perbuatan-perbuatan anti sosial.”
Teori Asosiasi Diferensial mengenai kejahatan menegaskan bahwa :70
1. Tingkah laku kriminal dipelajari;
2. Tingkah laku kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan
orang lain melalui suatu proses komunikasi;
3. Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal terjadi
dalam kelompok yang intim;
4. Mempelajari tingkah laku kriminal, termasuk didalamnya teknik
melakukan kejahatan dan motivasi/dorongan atau alasan pembenar;
5. Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atau
peraturan perundang-undangan: menyukai atau tidak menyukai;
6. Seseorang menjadi delinquent karena penghayatannya terhadap
peraturan perundang-undangan: lebih suka melanggar daripada
menaatinya;
69 Abintoro Prakoso, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Edisi Revisi, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2016, hlm. 42 70 Ibid.
67
7. Asosiasi diferensial ini bervariasi bergantung pada frekuensi,
durasi, proritas, dan intensitas;
8. Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui pergaulan
dengan pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua
mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar; dan
9. Sekalipun perilaku kriminal merupakan pencerminan dari
kebutuhan umum dan nilai-nilai, namun perilaku kriminal tersebut
tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan niali tadi
karena perilaku non kriminal merupakan pencerminan dari
kebutuhan umum dan nilai yang sama.
Teori kontrol sosial berangkat dari asumsi atau anggapan bahwa
individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama untuk menjadi
“baik” atau menjadi “jahat”. Baik atau jahatnya seseorang sepenuhnya
ditentukan oleh masyarakatnya. Perilaku kriminal merupakan kegagalan
kelompok sosial konvensional, seperti keluarga, sekolah, kawan sebaya untuk
mengikat atau terikat dengan individu. Mengingat semua orang dilahirkan
dengan kecenderungan alami untuk melanggar peraturan-peraturan di dalam
masyarakat, deliquent dipandang oleh para teorisi kontrol sosial sebagai
konsekuensi logis kegagalan seseorang untuk mengembangkan larangan-
larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum.71
Fokus perhatian dari faham ini ialah memandang kepatuhan atau
ketaatan sebagai problematik yang perlu dicari penjelasannya. Seseorang akan
71 Ibid.
68
patuh pada norma masyarakat karena adanya ikatan sosial (social bound).
Apabila seseorang terlepas atau putus dari ikatan sosial dengan masyarakat
maka ia bebas untuk berperilaku menyimpang. Ikatan sosial itu lalu
diterjemahkan menjadi 4 (empat) elemen yaitu attachment, coommitment,
involvement, dan beliefes.72
Menurut Kartini Kartono, menyebutkan bahwa :73
“Perbuatan yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa lebih
sering disebut dengan kenakalan. Tindakan yang tepat untuk
mengurangi kenakalan adalah dengan cara penanggulangan.
Menurut Kartini Kartono, upaya penanggulangan kenakalan anak
harus dilakukan secara terpadu, dengan tindakan preventif,
tindakan penghukuman, dan tindakan kuratif.”
C. Pengertian Pidana
Tri Andrisman dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana,
mengatakan bahwa :74
“Pidana ini merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan dalam hukum
pidana. Tujuannya agar dapat menjadi sarana pencegahan umum
maupun khusus bagi anggota masyarakat agar tidak melanggar hukum
pidana.Pengertian pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu.”
Muladi dan Barda Nawawi Arief menyatakan :75
“Istilah pidana dari kata hukuman (straf) tetapi kata hukuman merupakan
istilah yang umum dan konvensional juga mempunyai arti yang luas dan
72 Ibid. 73 Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 , Kenakalan Remaja, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm.94-97 74 Tri Andrisman, Hukum Pidana. Unila Press. Bandar Lampung. 2007. hlm. 7. 75 Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung. 1998. hlm. 2.
69
berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang
cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya digunakan dalam bidang hukum
tetapi juga dalam istilah moral, pendidikan, agama, dan sebagainya.
Sedangkan istilah pemidanaan berasal dari kata sentence yang artinya
pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.”
Menurut Sudarto juga memberikan penjelasan mengenai pengertian
pidana, yaitu :76
“Pidana adalah pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu.”
Sedangkan, menurut Roeslan Saleh (dalam Muladi dan Barda Nawawi
Arief) menyatakan :77
“Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang
dengan sengaja ditimpakan kepada pembuat delik itu.”
Selanjutnya Van Hamel (dalam P.A.F. lamintang mempertegas
pengertian pidana sebagai berikut :78
“Pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah
dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana
atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum
umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut
telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh
Negara.”
Berdasarkan definisi tersebut diatas menurut Muladi dan Barda Nawawi
Arief dapatlah diartikan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri
sebagi berikut :79
76 Sudarto. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto Fak. Hukum Undip. Semarang. 1990. Hlm. 9. 77 Op.Cit. Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1998. hlm. 2. 78 P.A.F. Lamintang. Hukum Penintensier Indonesia. Amrico. Bandung. 1984. hlm. 34. 79 Op.Cit. Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1998. hlm. 4.
70
1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan
atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan yang berwenang; dan
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah memenuhi syarat-
syarat tertentu.
Menurut Andi Hamzah, ahli hukum Indonesia membedakan istilah
hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah
straft, yaitu :80
“Istilah hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan untuk
semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata,
administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana
diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan
hukumpidana.”
Menurut Satochid Kartanegara, bahwa :81
“Hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang
oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang
yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-
undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan
keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang
dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu
harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran
yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan
oleh undang- undang.”
Notohamidjojo mendefinisikan bahwa :82
80 Andi Hamzah, Asas - Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, , Jakarta, 2008, hlm.27. 81 Ibid, hlm. 27 82 O. Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, 2011, hlm, 121
71
“Hukum adalah sebagai keseluruhan peraturan yang tertulis dan
tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa, untuk kelakuan
manusia dalam masyarakat negara (serta antar negara), yang
mengarah kepada keadilan, demi terwujudnya tata damai, dengan
tujuan memanusiakan manusia dalam masyarakat.”
Sedangkan menurut Soedarto pidana adalah :83
“Penderitaan yang sengaja di bebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.”
W.L.G Lemaire memberikan pengertian mengenai hukum pidana,
yaitu:84
“terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan
laranganlarangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah
dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu
penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga
dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem
norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang
mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan
dalam keadaaan-keadaan bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi
tindakan-tindakan tersebut.”
M. Ali juga memberika pengertian mengenai Pidana, yakni :85
“Dengan demikian Hukum Pidana diartikan sebagai suatu
ketentuan hukum/undang-undang yang menentukan perbuatan
yang dilarang/pantang untuk dilakukan dan ancaman sanksi
terhadap pelanggaran larangan tersebut. Banyak ahli berpendapat
bahwa Hukum Pidana menempati tempat tersendiri dalam
sistemik hukum, hal ini disebabkan karena hukum pidana tidak
menempatkan norma tersendiri, akan tetapi memperkuat norma-
norma di bidang hukum lain dengan menetapkan ancaman sanksi
atas pelanggaran norma-norma di bidang hukum lain tersebut.”
83 Op.Cit. Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1998. hlm. 2. 84 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm 1-2. 85 M. Ali Zaidan, Menuju Pembaruan HUKUM PIDANA, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 3.
72
Pengertian diatas sesuai dengan asas hukum pidana yang terkandung
dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP dimana hukum pidana bersumber pada peraturan
tertulis (undang-undang dalam arti luas) disebut juga sebagai asas legalitas.
Berlakunya asas legalitas memberikan sifat perlindungan pada undang-undang
pidana yang melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa
batas dari pemerintah.
Suharto dan Junaidi Efendi menyebutkan bahwa :86
“Karakteristik hukum adalah memaksa disertai dengan ancaman
dan sanksi. Tetapi hukum bukan dipaksa untuk membenarkan
persoalan yang salah, atau memaksa mereka yang tidak
berkedudukan dan tidak beruang. Agar peraturan-peraturan hidup
kemasyarakatan benar-benar dipatuhi dan ditaati sehingga
menjadi kaidah hukum, maka peraturan kemasyarakatan tersebut
harus dilengkapi dengan unsur memaksa. Dengan demikian,
hukum mempunyai sifat mengatur dan memaksa setiap orang
supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan
sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa saja yang
tidak mau mematuhinya.”
Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa :87
“Adanya aturan-aturan yang bersifat mengatur dan memaksa
anggota masyarakat untuk patuh dan menaatinya, akan
meyebabkan terjadinya keseimbangan dan kedamaian dalam
kehidupan mereka. Para pakar hukum pidana mengutarakan
bahwa tujuan hukum pidana adalah pertama, untuk menakut-
nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan
(preventif). Kedua, untuk mendidik atau memperbaiki orang-
orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar
menjadi orang yang baik tabi’atnya (represif).”
Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang
perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan hukum pidana di
86 Suharto dan Junaidi Efendi, Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara Pidana, Mulai Proses Penyelidikan Sampai Persidangan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010, hlm 25. 87 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 20.
73
Indonesia harus sesuai dengan falsafah Pancasila yang mampu membawa
kepentingan yang adil bagi seluruh warga negara. Dengan demikian hukum
pidana di Indonesia adalah mengayomi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan
hukum pidana dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :88
1. Tujuan hukum pidana sebagai hukum Sanksi.
Tujuan ini bersifat konseptual atau filsafati yang bertujuan
member dasar adanya sanksi pidana. Jenis bentuk dan sanksi pidana
dan sekaligus sebagai parameter dalam menyelesaikan pelanggaran
pidana. Tujuan ini biasanya tidak tertulis dalam pasal hukum pidana
tapi bisa dibaca dari semua ketentuan hukum pidana atau dalam
penjelasan umum.
2. Tujuan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap orang yang
melanggar hukum pidana.
Tujuan ini bercorak pragmatik dengan ukuran yang jelas dan
konkret yang relevan dengan problem yang muncul akibat adanya
pelanggaran hukum pidana dan orang yang melakukan pelanggaran
hukum pidana. Tujuan ini merupakan perwujudan dari tujuan
pertama.
Berikut ini disebutkan pula beberapa pendapat yang dikemukakan oleh
Sudarto, bahwa fungsi hukum pidana itu dapat dibedakan sebagai berikut :89
1. Fungsi yang umum
88 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Press, Jakarta, 2010, hlm. 7. 89 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, Hlm 9.
74
Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh
karena itu fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum
pada umumnya, yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau
untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat.
2. Fungsi yang khusus
Fungsi khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi
kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak
memperkosanya (rechtsguterschutz) dengan sanksi yang berupa
pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi
yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Dalam sanksi pidana itu
terdapat suatu tragic (suatu yang menyedihkan) sehingga hukum
pidana dikatakan sebagai „mengiris dagingnya sendiri‟ atau sebagai
„pedang bermata dua‟, yang bermakna bahwa hukum pidana
bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan hukum
(misalnya: nyawa, harta benda, kemerdekaan, kehormatan), namun
jika terjadi pelanggaran terhadap larangan dan perintahnya justru
mengenakan perlukaan (menyakiti) kepentingan (benda) hukum si
pelanggar. Dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi
aturan-aturan untuk menaggulangi perbuatan jahat. Dalam hal ini
perlu diingat pula, bahwa sebagai alat social control fungsi hukum
pidana adalah subsidair,artinya hukum pidana hendaknya baru
diadakan (dipergunakan) apabila usaha-usaha lain kurang memadai.
75
Selain daripada itu dijelaskan pula sumber hukum yang merupakan asal
atau tempat untuk mencari dan menemukan hukum. Tempat untuk
menemukan hukum, disebut dengan sumber hukum dalam arti formil.
Menurut Sudarto sumber hukum pidana Indonesia adalah sebagai berikut :90
1. Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah hukum yang tertulis
Induk peraturan hukum pidana positif adalah KUHP, yang nama
aslinya adalah Wetboek van Strafrecht voor nederlandsch indie
(W.v.S), sebuah Titah Raja (Koninklijk Besluit) tanggal 15 Oktober
1915 No. 33 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. KUHP
atau W.v.S.v.N.I. ini merupakan copie (turunan) dari Wetboek van
Strafrecht Negeri Belanda, yang selesai dibuat tahun 1881 dan mulai
berlaku pada tahun 1886 tidak seratus persen sama, melainkan
diadakan penyimpangan-penyimpangan menurut kebutuhan dan
keadaan tanah jajahan Hindia Belanda dulu, akan tetapi asas-asas
dan dasar filsafatnya tetap sama. KUHP yang sekarang berlaku di
Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17-8-1945
mendapat perubahan-perubahan yang penting berdasarkan Undang-
undang No. 1 Tahun 1942 (Undang-undang Pemerintah RI,
Yogyakarta), Pasal 1 berbunyi: “Dengan menyimpang seperlunya
dari Peraturan Presiden RI tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2
menetapkan, bahwa peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku
ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8
90 Ibid., Hlm, 15-19.
76
Maret 1942”. Ini berarti bahwa teks resmi (yang sah) untuk KUHP
kita adalah Bahasa Belanda. Sementara itu Pemerintah Hindia
Belanda yang pada tahun 1945 kembali lagi ke Indonesia, setelah
mengungsi selama zaman pendudukan Jepang (1942-1945) juga
mengadakan perubahan-perubahan terhadap W.v.S. v.N.I. (KUHP),
misalnya dengan Staat-blad 1945 No. 135 tentang ketentuan-
ketentuan sementara yang luar biasa mengenai hukum pidana Pasal
570. Sudah tentu perubahanperubahan yang dilakukan oleh kedua
pemerintahan yang saling bermusuhan itu tidak sama, sehingga hal
ini seolah-olah atau pada hakekatnya telah menimbulkan dua buah
KUHP yang masingmasing mempunyai ruang berlakunya sendiri-
sendiri. Jadi boleh dikatakan ada dualisme dalam KUHP (peraturan
hukum pidana). Guna melenyapkan keadaan yang ganjil ini, maka
dikeluarkan UU No. 73 Tahun 1958 (L.N. 1958 No. 127) yang antara
lain menyatakan bahwa UU R.I. No. 1 Tahun 1946 itu berlaku untuk
seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian perubahan-perubahan
yang diadakan oleh Pemerintah Belanda sesudah tanggal 8 Maret
1942 dianggap tidak ada. KUHP itu merupakan kodifikasi dari
hukum pidana dan berlaku untuk semua golongan penduduk, dengan
demikian di dalam lapangan hukum pidana telah ada unifikasi.
Sumber hukum pidana yang tertulis lainnya adalah peraturan-
peraturan pidana yang diatur di luar KUHP, yaitu peraturan-
77
peraturan pidana yang tidak dikodifikasikan, yang tersebar dalam
peraturan perundangundangan hukum pidana lainnya.
2. Hukum pidana adat mengatakan bahwa Di daerah-daerah tertentu
dan untuk orang-orang tertentu hukum pidana yang tidak tertulis juga
dapat menjadi sumber hukum pidana. Hukum adat yang masih hidup
sebagai delik adat masih dimungkinkan menjadi salah satu sumber
hukum pidana, hal ini didasarkan kepada Undang-undang Darurat
No. 1 Tahun 1951 (L.N. 1951-9) Pasal 5 ayat 3 sub b. Dengan masih
berlakunya hukum pidana adat (meskipun untuk orang dan daerah
tertentu saja) maka sebenarnya dalam hukum pidana pun masih ada
dualisme. Namun harus disadari bahwa hukum pidana tertulis tetap
mempunyai peranan yang utama sebagai sumber hukum. Hal ini
sesuai dengan asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 KUHP.
3. Memorie van Toelichting (Memori Penjelasan) adalah penjelasan
atas rencana undang-undang pidana, yang diserahkan oleh Menteri
Kehakiman Belanda bersama dengan Rencana Undang-undang itu
kepada Parlemen Belanda. RUU ini pada tahun 1881 disahkan
menjadi UU dan pada tanggal 1 September 1886 mulai berlaku.
M.v.T. masih disebut-sebut dalam pembicaraan KUHP karena
KUHP ini adalah sebutan lain dari W.v.S. untuk Hindia Belanda.
W.v.S. Hindia Belanda (W.v.S.N.I.) ini yang mulai berlaku tanggal 1
Januari 1918 itu adalah copy dari W.v.s. Belanda tahun 1886. Oleh
karena itu M.v.T. dari W.v.S. Belanda tahun 1886 dapat digunakan
78
pula untuk memperoleh penjelasan dari pasal-pasal yang tersebut di
dalam KUHP yang sekarang berlaku.
D. Sistem Pemidanaan
Secara singkat sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai sistem
pemberian atau penjatuhan pidana. Sistem pemberian/penjatuhan pidana
(sistem pemidanaan) itu dapat dilihat dari dua sudut yaitu :
1. Sudut Fungsional
Sistem pemidanaan dari sudut bekerjanya/ berfungsinya/
prosesnya, dapat diartikan sebagai :91
a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk
fungsionalisasi/ operasionalisasi/ konkretisasi pidana; dan
b. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang
mengatur bagaimana hukum pidana ditegakan atau
dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang
dijatuhi sanksi (hukum) pidana.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka sistem pemidanaan
identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari
subsistem hukum pidana materil/ substantif, subsistem pidana
formal, dan subsistem hukum pelaksanaan pidana.
Ketiga subsistem merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan
karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/ ditegakkan
secara konkret hanya dengan salah satu subsistem itu. Pengertian
91 Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.. CitraAadtya Bakti . Bandung. 2005. hlm. 261.
79
sistem pemidanaan yang demikian itu dapat disebut dengan sistem
pemidanaan fungsional atau sistem pemidanaan dalam arti luas.
2. Sudut Norma-Substantif
Hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif,
sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai :92
a. Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel
untuk pemidanaan; dan
b. Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel
untuk pemberian/ penjatuhan dan pelaksanaan hukum
pidana.
Berdasarkan uraian di atas, maka keseluruhan peraturan
perundang-undangan yang ada di dalam KUHP maupun undang-
undang diluar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu-kesatuan
sistem pemidanaan, yang terdiri dari aturan umum dan aturan
khusus. Aturan umum terdapat didalam Buku I KUHP dan aturan
khusus terdapat di dalam buku II dan Buku III KUHP maupun di
dalam undang-undang khusus diluar KUHP.
Berdasarkan dimensi sesuai konteks di atas maka dapat
dikonklusikan bahwa semua aturan perundang-undangan mengenai
Hukum Pidana Materiel/Substantif, Hukum Pidana Formal dan
Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan
sistem pemidanaan. Konkretnya, sistem pemidanaan terdiri dari
92 Ibid, hlm. 262.
80
subsistem hukum pidana substantif, subsistem hukum pidana formal,
dan subsistem hukum pelaksanaan/eksekusi pidana.
E. Perbandingan Hukum Pidana
Istilah perbandingan hukum menurut Barda Nawawi Arief dalam bahasa
asing, diterjemahkan sebagai berikut :93
1. Comparative law (bahasa Inggris);
2. Vergleihende rechstlehre (bahasa Belanda); dan
3. Droit compare (bahasa Perancis).
Istilah ini, dalam pendidikan tinggi hukum di Amerika Serikat, sering
diterjemahkan lain, yaitu sebagai conflict law atau dialih bahasakan, menjadi
hukum perselisihan, yang artinya menjadi lain bagi pendidikan hukum di
indonesia. Istilah yang dipergunakan dalam penelitian hukum ini, adalah
perbandingan hukum pidana. Istilah ini sudah memasyarakat di kalangan
teoritikus hukum di indonesia, dan sudah sejalan dengan istilah yang
dipergunakan untuk hal yang sama dibidang hukum pidana, yaitu
perbandingan hukum pidana.
Menurut Barda Nawawi Arief dalam bukunya mengutip beberapa
pendapat para ahli hukum mengenai istilah perbandingan hukum, antara lain:94
1. Rudolf B. Schlesinger mengatakan bahwa, perbandingan hukum
merupakan metoda penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh
penetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu.
Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas
93 Op. Cit, Barda Nawawi Arief, 1990. Hlm 3. 94 Ibid, hlm 4.
81
hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik
untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum;
2. Winterton mengemukakan, bahwa perbandingan hukum adalah suatu
metoda yaitu perbandingan suatu sistem-sistem hukum dan
perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang
dibandingkan;
3. Gutteridge menyatakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu
metoda yaitu metoda perbandingan yang dapat digunakan dalam
semua cabang hukum. Gutteridge membedakan antara comparatif
law dan foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang pertama
untuk membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan
pengertian istilah yang kedua, adalah mempelajari hukum asing
tanpa secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang
lain;
4. Perbandingan hukum adalah metoda umum dari suatu perbandingan
dan penelitian perbandingan yang dapat diterapkan dalam bidang
hukum. Para pakar hukum ini adalah: Frederik Pollock, Gutteridge,
Rene David, dan George Winterton;
5. Lemaire mengemukakan, perbaningan hukum sebagai cadang ilmu
pengetahuan (yang juga mempergunakan metoda perbandingan)
mempunyai lingkup (isi) dari kaidah-kaidah hukum, persamaan dan
perbedaannya, sebabsebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya;
82
6. Ole Lando mengemukakan antara lain bahwa perbandingan hukum
mencakup “analysis and comparison of the laws”. Pendapat tersebut
sudah menunjukkan kecenderungan untuk mengakui perbandingan
sebgai cabang ilmu hukum;
7. Definisi lain mengenai kedudukan perbandingan hukum
dikemukakan oleh Zwiegert dan kort yaitu :”comporative law is the
comparable legal institutions of the solution of comparable legal
problems in different system”. (perbandingan hukum adalah
perbandingan dari jiwa dan gaya dari sistem hukum yang berbeda-
beda atau lembaga-lembaga hukum yang berbeda-beda atau
penyelesaian masalah hukum yang dapat diperbandingkan dalam
sistem hukum yang berbeda-beda)
8. Barda Nawawi Arief yang berpendapat perbandingan hukum adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari secar sistematis hukum (pidana)
dari dua atau labih sistem hukum dengan mempergunakan metoda
perbandingan.
Holland mendefinisikan istilah tersebut sebagai :95
“Metode perbandingan dilakukan dengan mengumpulkan,
menganalisa, menguraikan gagasan-gagasan, doktrin, peraturan
dan pelembagaan yang ditemukan di setiap sistem hukum yang
berkembang, atau setidaknya pada hampir keseluruhan sistem,
dengan memberikan perhatian mengenai persamaan atau
perbedaan dan mencari cara untuk membangun suatu sistem
secara alamiah, sebab hal tersebut mencakup apa yang
masyarakat tidak inginkan namun telah disetujui dalam konteks
hal-hal yang dianggap perlu dan filosofis sebab hal ini membawa
95 Muazin, S.H.I, Makalah Perbandingan Hukum, dikutip dari http://makalah2107.blogspot.com/2016/07/makalah-perbandingan-hukum.html, pada tanggal 11 Juli 2019, pukul 13:38 WIB.
83
di bawah kata-kata dan nama-nama dan mendapatkan identitas
dari subtansi di bawah perbedaan deskripsi dan bermanfaat,
karena perbedaan tersebut menunjukan secara khusus pengertian
akhir bahwa seluruh atau sebagian besar sistem mengejar untuk
menerapkan sistem terbaik yang pernah dicapai.”
Seorang Penulis Jerman, Bernhoft, mengemukakan :96
“Perbandingan hukum menunjukkan bagaimana masyarakat dari
keadaan awal dan umum telah mengembangkan secara bebas
konsepsi mengenai hukum tradisional; bagaimana seseorang
memodifikasi lembaga yang diwariskan secara turun-temurun
berdasarkan sudut pandangnya masing-masing; hingga
bagaimana, tanpa adanya hubungan material, sistem hukum dari
bangsa yang berbeda-beda berkembang berdasarkan prinsip-
prinsip umum evolusioner. Secara singkat, perbandingan hukum
berusaha untuk menemukan ide hukum dalam bermacam sistem
hukum yang ada.”
Menurut Levy Ullman :97
“Perbandingan hukum telah didefinisikan sebagai cabang dari
ilmu hukum di mana tujuannya yaitu untuk membentuk
hubungan erat yang terusun secara sistematis antara lembaga-
lembaga hukum dari berbagai negara.”
Perbandingan hukum merupakan kegiatan memperbandingkan sistem
hukum yang satu dengan yang lain baik antar bangsa,negara,bahkan
agama,dengan maksud mencari dan mensinyalir perbedaan-perbedaan serta
persamaan-persamaan dengan memberi penjelasannya dan meneliti bagaimana
berfungsinya hukum dan bagaimana pemecahan yuridisnya di dalam praktek
serta faktor-faktor non hukum yang mana saja yang
mempengaruhinya.penjelasannya hanya dapat di ketahui dalam sejarah
96 Ibid. 97 Ibid.
84
hukumnya, sehingga perbandingan hukum yang ilmiah memerlukan
perbandingan sejarah hukum.98
Jadi, memperbandingkan hukum bukanlah sekedar menumpulkan
peraturan perundang-undangan dan mencari perbedaan serta persamaannya
saja.perhatian akan perbandingkan hukum di tujukan kepada pertanyaan
sampai berapa jauh peraturan perundang-undangan suatu kaedah tidak tertulis
itu di laksanakn dalam masyarakat,maka dari itu di carilah persamaan dan
perbedaan.
Sejarah perbandingan hukum :99
1. (430-470 SM) Plato melakukan kegiatan memperbandingkan
hukum, dalam karyanya “politeia (negara) plato membandingkan
bentuk-bentuk negara;
2. (384-322 SM) Aristoteles dalam politiknya membandingkan
peraturan-peraturan dari berbagai negara;
3. (372-287 SM) Theoprastos memperbandingkan hukum yang berkitan
dengan jual beli di berbagai negara;
4. Dalam Collatio (mosaicurium et romanium legum collatio),suatu
karya yang penulisnya tidak di kenal,di perbandingkan antar undang-
undang mozes (pelateuch) dengan ketentuan-ketentuan yang mirip
dari hukum romawi;
5. (1930) Study perbandingan antar organisasi negara dari inggris
dengan prancis di lakukan oleh Forteuscue;
98 Ibid. 99 Ibid.
85
6. (1687-1755) Montequie dalam L’esprit De Lois (1748)
memperbandingkan organisasi negara dari Inggris dan Perancis;
7. (1687-1716) Leibniz menulis suatu uraian tentang semua sistem hum
seluruh dunia,ia yakin dengan cara itu dapat menemukan semua
dasar hukum; dan
8. (1900) Paris di adakan kongres dunia pertama yang memikirkan
tentang metode dan tujuan perbandingan hukum.di putuskan bahwa
perbandingan hukum harus di pusatkan pada hukum yang nyata-
nyata berlaku (law in action) dan tidak semata-mata pada bunyi
undang-undang saja.
Setiap subjek hukum berhubungan dengan satu bagian khusus
dalam sistem hukum, hukum pidana membahas aturan-aturan mengenai
kejahatan, hukum acara membahas aturan-aturan tentang proses-proses
beracara di pengadilan. Sebagian ilmu hukum mempunyai sifat yang
berbeda karena berhubungan dengan beberapa masalah menyeluruh yang
mempengaruhi seluruh atau hampir seluruh sistem hukum. Yang termasuk
kelompok ini adalah subjek-subjek teoritis, antara lainsejarah hukum,
sosiologi hukum, yurisprudensi serta perbandingan hukum atau hukum
komparatif (comparative law). Istilah perbandingan hukum dalam bahasa
asing antara lain: Comparative Law, Comparative Jurisprudence, Foreign
Law, Droit Compare, Rechtsgelijking. Dalam Blacks Law Dictionary
dikemukakan bahwa, Comparative Jurisprudence ialah suatu studi
86
mengenai prinsip ilmu hukum dengan melakukan perbandingan berbagai
macam sistem hukum.
Menurut Konrad Zwegert dan kurt Siehr, studi comparative hukum
ataupun perbandingan hukum modern menggunakan metode kritis,
realistis dan tidak dogmatis :
“Kritis karena studi komparatif ataupun perbandingan hukum
sekarang tidak mementingkan perbedaan-perbedaan ataupun
persamaan-persamaan dari berbagai tata hukum (legal orders) semat-
mata sebagi fakta, akan tetapi yang dipentingkan ialah apakah
penyelesaian secara hukum ataupun sesuatu masalah relevan, dapat
dipraktekkan. Adil dan kenapa penyelesaian demikian.”
Soedarto berpendapat bahwa kegunaan studi komparatif hukum
mencakup beberapa hal, yakni :100
1. Unifikasi hukum;
2. Harmonisasi hukum;
3. Mencegah adanya chauvisme hukum nasional;
4. Memahami hukum asing; dan
5. Pembaharuan hukum
Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa :101
“Terdapat berbagai istilah asing mengenai perbandingan hukum ini,
antara lain: comparative law, comparative jurisprudence, foreign law
(istilah Inggris); droit compare (istilah Perancis); rechtsgelijking (istilah
100 Ramli atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Fikahati Aneska, Bandung, 1996, hlm. 16 101 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hlm, 3.
87
Belanda) dan rechverleichung atau vergleichende rechlehre (istilah
Jerman).”
Di dalam black`s law dictionary dikemukakan, bahwa comparative
jurisprudence ialah suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan
melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum (the study of
principles of legal science by the comparison of various system of law). Ada
pendapat yang membedakan antara comparative law dengan foreign law,
yaitu :102
1. Comparative law
Mempelajari berbagai sistem hukum asing dengan maksud
untuk membandingkannya.
2. Foreign law
Mempelajari hukum asing dengan maksud semata-mata
mengetahui sistem hukum asing itu sendiri dengan tidak secara nyata
bermaksud untuk membandingkannya dengan sistem hukum yang
lain.
Munir Fuady mengatakan bahwa :103
“Akibat dari pengaruh globalisasi dunia, dengan perkembangan
pergaulan Internasional yang pesat dan perkembangan teknologi
informasi, maka kebutuhan untuk mengetahui hukum dari sistem
hukum lain di dunia ini semakin terasa, sehingga akhir-akhir ini
perkembangan pengetahuan tentang perbandingan hukum sangat
cepat. Bahkan dalam kurikulum-kurikulum fakultas hukum
sudah lama diajarkan tentang perbandingan hukum ini sebagai
suatu mata kuliah. Hal ini memang perlu untuk memperluas
102 Ibid. 103 Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, PT Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 6.
88
cakrawala berpikir dari para mahasiswa fakultas hukum tersebut.
Hal yang sama juga diperlukan terhadap pengetahuan tentang
sejarah hukum. Sebagaimana diketahui bahwa di zaman
Romawi, ahli hukum Romawi kurang tertarik dengan sistem
hukum selain dari hukum Romawi. Menurut mereka, tidak ada
satupun hukum di dunia ini yang dapat dibandingkan dengan
hukum Romawi. Dan anggapan seperti itu kelihatannya memang
benar adanya. Hal yang sama juga terdapat dalam pendapat
orang-orang Inggris terhadap hukum Inggris. Di Romawi, Cicero
pernah mengatakan bahwa semua sistem hukum di luar sistem
hukum Romawi adalah membingungkan dan banyak yang aneh-
aneh.”
Hanya setelah era klasik di zaman Romawi, yakni sekitar abad III atau
IV Masehi, ada kajian komparatif dari para yuris di Romawi, yang
memperbandingkan dengan mempertentangkan antara hukum Romawi dengan
hukum Yahudi seperti yang diajarkan oleh Nabi Musa. Kajian seperti itu
terdapat dalam buku dengan judul Collatio Legum Mosaicarum et
Romanarum. Dalam hal ini dengan buku tersebut, yang ditunjukkan bahwa
hukum Romawi berbeda dengan hukum Yahudi, tetapi tidak terlalu berbeda
dengan sistem hukum kristiani (biblical law).104
Perkembangan ilmu dan pikiran tentang perbandingan hukum
mengalami kemunduran di abad pertengahan. Karena, di abad pertengahan,
pemikiran tentang hukum (terutama hukum yang sekuler) tidak berkembang.
Karena itu, pemikiran terhadap perbandingan hukum karenanya juga tidak
berkembang di Eropa daratan. Kemudian di Inggris seorang ahli hukum yaitu
104 Ibid.
89
Fortescue (yang meninggal ditahun 1485) pernah menulis dua buku yang
berkaitan dengan perbandingan hukum dengan judul sebagai berikut :105
1. De laudibus legum angliae; dan
2. The governance of england. Sayangnya, kedua buku tersebut tidak
ditulis secara objektif, melainkan hanya semata-mata untuk
menunjukkan bahwa hukum Inggris lebih superior dari hukum
Perancis.
Mengenai perbandingan hukum sebagai metode penelitian, Prof. Dr.
Soerjono Soekanto menegaskan, bahwa dalam penelitian hukum normatif
perbandingan hukum merupakan suatu metode. Dijelaskan selanjutnya :106
1. Di dalam ilmu hukum dan praktek hukum metode perbandingan
sering diterapkan. Namun, dalam penelitian yang dilakukan oleh
ahli-ahli hukum yang tidak mempelajari ilmu-ilmu sosial lainnya,
metode perbandingan dilakukan tanpa sistematik atau pola tertentu;
2. Oleh karena itu, penelitian-penelitian hukum yang mempergunakan
metode perbandingan biasanya merupakan penelitian sosiologi
hukum, antropologi hukum, psikologi hukum dan sebagainya yang
merupakan penelitian hukum empiris;
3. Walaupun belum ada kesepakatan, namun ada beberapa model atau
paradigma tertentu mengenai penerapan metode perbandingan
hukum, salah satunya yaitu : Constantinesco, ia mempelajari proses
perbandingan hukum dalam tiga fase. Fase pertama, mempelajari
105 Ibid. 106 Op.Cit, Arief, Perbandingan Hukum Pidana, hlm 9.
90
konsep-konsep (yang diperbandingkan) dan menerangkannya
menurut sumber aslinya (studying the concepts and examining them
at their original source), serta mempelajari konsep-konsep itu di
dalam kompleksitas dan totalitas dari sumber-sumber hukum dengan
pertimbangan yang sungguh-sungguh, yaitu dengan melihat hirarki
sumber hukum itu dan menafsirkannya dengan menggunakan metode
yang tepat atau sesuai dengan tata hukum yang bersangkutan
(studying the concepts in the complexity and the totality of the source
of law under consideration, looking at the hierarchy of the sources of
law and interpreting the concepts to be compared using the method
proper to that legal order). Fase kedua, memahami konsep-konsep
yang diperbandingkan, yang berarti, mengintegrasikan konsep-
konsep itu ke dalam tata hukum mereka sendiri, dengan memahami
pengaruh- pengaruh yang dilakukan terhadap konsep-konsep itu
dengan menentukan unsur-unsur dari sistem dan faktor di luar
hukum, serta mempelajari sumber- sumber sosial dari hukum positif.
Fase ketiga, melakukan penjajaran (menempatkan secara
berdampingan) konsep-konsep itu untuk diperbandingkan (the
juxtapositian of the concepts to be compared). Fase ketiga ini
merupakan fase yang agak rumit di mana metode-metode
perbandingan hukum yang sesungguhnya digunakan. Metode-
metode ini ialah melakukan deskripsi, analisa dan eksplanasi yang
harus memenuhi kriteria- kriteria/bersifat kritis, sistematis dan
91
membuat generalisasi dan harus cukup luas meliputi
pengidentifikasian hubungan-hubungan dan sebab-sebab dari
hubungan-hubungan itu.
Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa :107
1. Memberikan pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan antara
berbagai bidang tata hukum dan pengertian- pengertian dasarnya;
2. Pengetahuan tentang persamaan tersebut pada nomor 1 akan
mempermudah mengadakan :
a. keseragaman hukum (unifikasi);
b. kepastian hukum; dan
c. kesederhanaan hukum;
3. Pengetahuan tentang perbedaan yang ada memberikan pegangan atau
pedoman yang lebih mantap, bahwa dalam hal-hal tertentu
keanekawarnaan hukum merupakan kenyataan dan hal yang harus
diterapkan;
4. Perbandingan hukum (PH) akan dapat memberikan bahan-bahan
tentang faktor-faktor hukum apakah yang perlu dikembangkan atau
dihapuskan secara berangsur-angsur demi integritas masyarakat,
terutama pada masyarakat majemuk seperti Indonesia;
5. Perbandingan hukum memberikan bahan-bahan untuk
pengembangan hukum antar tata hukum pada bidang-bidang di mana
kodifikasi dan unifikasi terlalu sulit untuk diwujudkan;
107 Ibid.
92
6. Dengan pengembangan perbandingan hukum, maka yang menjadi
tujuan akhir bukan lagi menemukan persamaan dan/atau perbedaan,
akan tetapi justru pemecahan masalah-masalah hukum secara adil
dan tepat;
7. Mengetahui motif-motif politis, ekonomis, sosial dan psikologis
yang menjadi latar belakang dari perundang- undangan,
yurisprudensi, hukum kebiasaan, traktat dan doktrin yang berlaku di
suatu negara;
8. Perbandingan hukum tidak terikat pada kekakuan dogma;
9. Penting untuk melaksanakan pembaharuan hukum;
10. Di bidang penelitian, penting untuk lebih mempertajam dan
mengarahkan proses penelitian hukum; dan
11. Di bidang pendidikan hukum, memperluas kemampuan untuk
memahami sistem- sistem hukum yang ada serta penegakannya yang
tapat dan adil.
Selain manfaat perbandingan hukum yang sudah djelaskan seperti di
atas, perbandingan hukum memberikan faedah-faedah sebagai berikut :108
1. Faedah untuk bidang kultural
Mempelajari ilmu perbandingan hukum membawa faedah
untuk bidang kultural karena bagi seorang yang mempelajari ilmu
perbandingan hukum, berarti dia telah memiliki pemahaman tentang
108 Ibid.
93
hukum diberbagai negara, sehingga dia dapat lebih luas dan kritis
dalam memahami hukum di negaranya sendiri.
2. Faedah untuk bidang profesional
Dengan faedah untuk bidang profesional, yang dimaksudkan
adalah bahwa pemahaman tentang hukum dari negara lain dapat
membantu pihak-pihak profesional dalam menjalankan tugasnya.
3. Faedah untuk bidang keilmuan
Dengan faedah untuk bidang keilmuan, dimaksudkan adalah
bahwa untuk mendapatkan prinsip-prinsip umum dari berbagai
sistem hukum yang ada, sehingga hal tersebut berguna bagi
pengembangan ilmu hukum untuk mencari suatu yang baik, atau
untuk dapat dilakukan harmonisasi hukum, atau bahkan untuk
mendapati suatu unifikasi dari berbagai sistem hukum yang ada.
4. Faedah untuk bidang internasional
Faedah Internasional dari ilmu perbandingan hukum adalah
mempelajari perbandingan hukum dalam rangka dapat merumuskan
berbagai kebijaksanaan atau naskah Internasional.
5. Faedah untuk bidang transnasional
Yang dimaksudkan adalah manfaat bagi pihak-pihak yang
harus memberlakukan hukum asing, seperti jika terjadi penanaman
modal asing, jika arbitrase atau pengadilan harus menerapkan hukum
asing, atau jika terjadi perbuatan hukum lainnya yang tergolong ke
94
dalam wilayah hukum perdata Internasional, atau hukum pidana
Internasional.
Pada dasarnya penelitian perbandingan hukum dapat dibedakan dalam
dua kelompok, yaitu penelitian perbandingan hukum fungsional dan penelitian
perbandingan hukum struktural.
1. Penelitian perbandingan hukum fungsional
Penelitian ini tugasnya adalah mencari cara bagaimana suatu
peraturan atau pranata hukum dapat menyelesaikan suatu masalah
sosial atau ekonomi, atau bagaimana suatu pranata hukum atau
pengaturan suatu pranata sosial atau ekonomi dapat menghasilkan
perilaku yang diinginkan. Oleh karena itu, menurut FW. Grosheide
da FJ., van der Velden metode penelitian perbandingan hukum
fungsional digunakan untuk mencari jawaban mengenai bagaimana
hukum mengatur suatu hubungan atau masalah sosial. Apabila
penelitian perbandingan hukum menggunakan metode penelitian
fungsional, ia juga akan memerlukan dan menggunakan metode-
metode penelitian yang digunakan oleh peneliti di bidang sosiologi
hukum. Hanya saja baginya penelitian sosiologi hukum dan metode
penelitian sosialnya hanya merupakan alat atau unsur pembantu
saja.109
2. Penelitian perbandingan hukum struktural
109 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Penerbit Alumni, Bandung, 1994, hlm. 171-172.
95
Penelitian perbandingan hukum struktural atau sistematik
terutama berusaha untuk menyusun suatu sistem tertentu yang
digunakan sebagai referensi dalam mengadakan perbandingan-
perbandingan. Sistem termasuk dapat saja berupa sistem yang
konkrit, abstrak, konseptual, terbuka maupun tertutup. Konsep
(Inggris : concept, Latin : conceptus dari concipere (yang berarti
memahami, menerima, menangkap) merupakan gabungan dari kata
con (bersama) dan capere (menangkap, menjinakkan). Konsep
memiliki banyak pengertian. Konsep dalam pengertian yang relevan
adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena
dalam suatu bidang studi yang kadangkala menunjuk pada hal-hal
yang universal yang diabstraksikan dari hal-hal yang partikular.
Salah satu fungsi logis dari konsep ialah memunculkan, objek-objek
yang menarik perhatian dari sudut pandangan praktis dan sudut
pengetahuan dalam pikiran dan atribut- atribut tertentu. Berkat fungsi
tersebut, konsep-konsep berhasil menggabungkan kata-kata dengan
objek-objek tertentu. Penggabungan itu memungkinkan
ditentukannya arti kata-kata secara tepat dan menggunakannya dalam
proses pikiran.110
Penelitian jenis ini digunakan oleh mereka yang menganggap bahwa
tidaklah mungkin membandingkan dua atau lebih sistem hukum dari
masyarakat yang berbeda ideologi sosial-ekonominya. Oleh karenanya,
110 Ibid, hlm 173.
96
menurut Banakas yang dinukilkan oleh Sunaryati Hartono dalam bukunya
yang berjudul Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, untuk
itu diperlukan suatu pendekatan sistemik yang memperhatikan interaksi antara
hukum dan kondisi sosial ekonomi setempat. Pendekatan semacam ini pada
akhirnya melihat sistem hukum sebagai suatu subsistem dari sistem yang lebih
luas, yaitu sistem sosial politik.111
111 Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, Bandung, 1994, hlm, 173-174.