bab ii tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/41662/3/jiptummpp-gdl-zatilaqmar-48850...sebesar 27,5%...

32
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obesitas 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Obesitas Kegemukan dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi abnormal atau kondisi kelebihan lemak yang berisiko bagi kesehatan. Ukuran yang digunakan untuk memperkirakan populasi obesitas adalah dengan pengukuran indeks massa tubuh (IMT), berat badan seseorang (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat dari tinggi badannya (dalam meter). Seseorang dengan IMT 30 atau lebih umumnya dianggap obesitas. Seseorang dengan IMT sama atau lebih dari 25 dianggap kelebihan berat badan atau overweight (WHO-Overweight and Obesity, 2011). Pengukuran menggunakan IMT menghasilkan berat badan yang standar untuk tinggi badan masing-masing individu, sehingga memungkinkan individu yang memiliki ketinggian yang berbeda untuk dibandingkan. IMT adalah ukuran yang paling umum digunakan untuk memantau prevalensi overweight dan obesitas pada tingkat populasi. Ini juga cara yang paling umum digunakan untuk memperkirakan apakah seorang individu kelebihan berat badan atau obesitas (National Obesity Observatory, 2009). Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut: IMT = BERAT BADAN (KG) / TINGGI (m) 2 Untuk orang dewasa berusia 20 tahun atau lebih, IMT ditafsirkan menggunakan kategori status berat badan standar. Kategori-kategori ini adalah sama untuk pria dan wanita dari semua jenis tubuh dan usia. Kategori status berat

Upload: others

Post on 23-Oct-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Obesitas

    2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Obesitas

    Kegemukan dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi abnormal atau

    kondisi kelebihan lemak yang berisiko bagi kesehatan. Ukuran yang digunakan

    untuk memperkirakan populasi obesitas adalah dengan pengukuran indeks massa

    tubuh (IMT), berat badan seseorang (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat dari

    tinggi badannya (dalam meter). Seseorang dengan IMT 30 atau lebih umumnya

    dianggap obesitas. Seseorang dengan IMT sama atau lebih dari 25 dianggap

    kelebihan berat badan atau overweight (WHO-Overweight and Obesity, 2011).

    Pengukuran menggunakan IMT menghasilkan berat badan yang standar

    untuk tinggi badan masing-masing individu, sehingga memungkinkan individu

    yang memiliki ketinggian yang berbeda untuk dibandingkan. IMT adalah ukuran

    yang paling umum digunakan untuk memantau prevalensi overweight dan

    obesitas pada tingkat populasi. Ini juga cara yang paling umum digunakan untuk

    memperkirakan apakah seorang individu kelebihan berat badan atau obesitas

    (National Obesity Observatory, 2009).

    Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

    IMT = BERAT BADAN (KG) / TINGGI (m)2

    Untuk orang dewasa berusia 20 tahun atau lebih, IMT ditafsirkan

    menggunakan kategori status berat badan standar. Kategori-kategori ini adalah

    sama untuk pria dan wanita dari semua jenis tubuh dan usia. Kategori status berat

  • 6

    badan standar yang terkait dengan IMT berkisar untuk orang dewasa ditunjukkan

    pada tabel berikut:

    Tabel 2.1 Interpretasi IMT

    IMT Status berat badan

    < 18.5 Underweight

    18.5 – 24.9 Normal

    25.0 – 29.9 Overweight

    > 30.0 Obese

    (CDC, 2015)

    Tabel 2.2 Interpretasi IMT menurit FDA (Food and Drug Administration)

    Status Berat Badan Obesity Class IMT (kg/m2)

    Underweight < 18.5

    Normal 18.5 – 24.9

    Overweight 25.0 – 29.9

    Obesity I 30.0 – 34,9

    Obesity II 35.0 – 39.9

    Extreme Obesity III 40

    (Clinical Guidelines on the Identification, Evaluation, and Treatment of Overweight and

    Obesity in Adults dikutp dari FDA (Food and Drug Administration), 2015)

    Kegemukan dan obesitas merupakan faktor risiko utama untuk sejumlah

    penyakit kronis. Tidak hanya di negara-negara berpenghasilan tinggi, kelebihan

    berat badan dan obesitas sekarang secara dramatis juga meningkat di negara-

    negara berpenghasilan rendah dan menengah, khususnya di perkotaan.

    http://www.nhlbi.nih.gov/files/docs/guidelines/ob_gdlns.pdfhttp://www.nhlbi.nih.gov/files/docs/guidelines/ob_gdlns.pdf

  • 7

    Kegemukan dan obesitas merupakan hasil dari ketidakseimbangan energi yang

    terjadi akibat asupan kalori yang terlalu banyak dan kurangnya aktivitas fisik

    untuk membakar kalori tersebut. Perubahan pola makan dan aktivitas fisik ini

    dihasilkan dari lingkungan dan sosial (WHO-Overweight and Obesity, 2011).

    2.1.2 Epidemiologi Obesitas

    Secara global, prevalensi total overweight dan obesitas telah meningkat

    sebesar 27,5% untuk orang dewasa dan 47,1% untuk anak-anak antara tahun

    1980 dan 2013. Jumlah overweight dan obesitas telah meningkat dari 921 juta

    pada tahun 1980 menjadi 2,1 miliar pada 2013. Secara global, proporsi orang

    dewasa dengan IMT 25 atau lebih meningkat dari 28,8% (28,4-29,3) di 1.980-

    36,9% (36,3-37,4) pada tahun 2013 untuk pria dan dari 29,8% (29,3-30,2) ke

    38,0% (37,5-38,5) untuk wanita. Peningkatan yang diamati di negara-negara

    maju dan berkembang, tetapi dengan pola seks yang berbeda. Di negara maju,

    pria memiliki tingkat lebih tinggi dari kelebihan berat badan dan obesitas,

    sementara di negara-negara berkembang, perempuan menunjukkan tingkat yang

    lebih tinggi dan hubungan ini berlanjut dari waktu ke waktu (Gakidou, 2014).

    Menurut analisis sistematis dalam jurnal Lancet yang dipublikasikan pada 30

    Agustus 2014 Indonesia berada di peringkat 10 dalam daftar negara-negara

    dengan tingkat obesitas tertinggi di dunia.

    Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia 2013 menunjukkan

    gambaran status gizi pada kelompok umur dewasa >18 tahun berdasarkan

    indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) didominasi dengan masalah obesitas, dan

  • 8

    prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7%,

    lebih tinggi dari tahun 2007. Pada tahun 2013, prevalensi obesitas perempuan

    dewasa 32,9%, naik 18,1% dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5% dari tahun 2010

    (15,5%). Prevalensi nasional obesitas tipe pear shaped (usia >15 tahun) di

    Indonesia sebesar 19,1% (8,8% overweight dan 10,3% obesitas) dan prevalensi

    obesitas tipe apple shaped sebesar 26,6%, lebih tinggi dari prevalensi pada tahun

    2007 (18,8%). Kelompok dengan karakteristik obesitas tipe apple shaped

    tertinggi di Indonesia berada dalam rentang umur 40-54 tahun sebanyak 27,4%.

    Kegemukan dan obesitas menyebabkan efek metabolik buruk pada tekanan

    darah, kolesterol, trigliserida dan resistensi insulin. Risiko penyakit jantung

    koroner, stroke iskemik dan diabetes mellitus tipe 2 meningkat terus dengan

    meningkatnya indeks massa tubuh (IMT) yaitu ukuran relatif berat badan

    terhadap tinggi badan. Agar tercapai kesehatan optimal, IMT rata-rata untuk

    populasi orang dewasa harus dalam kisaran 21 sampai 23 kg/m2, sedangkan

    target bagi individu harus menjaga indeks massa tubuh dalam kisaran 18,5

    sampai 24,9 kg/m2. Pada indeks massa tubuh 25,0-29,9 terdapat peningkatan

    risiko penyakit penyerta, dan untuk indeks massa tubuh 30 atau lebih berisiko

    sedang sampai tinggi untuk terjadi;nya penyakit penyerta. Pada tahun 2014, 39%

    dari orang dewasa berusia lebih dari 18 tahun mengalami overweight (IMT ≥ 25

    kg / m2) (39% laki-laki dan 40% perempuan) dan 13% mengalami obesitas (IMT

    ≥30 kg / m2) (11% laki-laki dan 15% wanita). Dengan demikian, hampir 2 miliar

    orang dewasa di seluruh dunia mengalami overweight dan lebih dari setengah

  • 9

    miliar mengalami obesitas (WHO data Global Health Observatory (GHO),

    2016).

    2.1.3 Penyebab Obesitas

    Etiologi obesitas bersifat kompleks dan masih belum sepenuhnya

    dipahami. Faktor yang berperan adalah faktor genetik, lingkungan, dan

    psikologis. Namun, secara sederhana obesitas adalah gangguan keseimbangan

    energi. Kedua sisi persamaan energi, asupan dan pengeluaran, dikendalikan

    secara cermat oleh mekanisme neural dan hormonal sehingga berat badan

    dipertahankan dalam rentang sempit selama bertahun-tahun. Tampaknya

    keseimbangan yang baik ini dipertahankan oleh suatu titik patokan (set point)

    intemal, atau "lipostat", yang dapat mendeteksi jumlah simpanan energi (jaringan

    adiposa) dan mengatur asupan makanan serta pengeluaran energi agar sesuai

    (Kumar, 2012).

    Obesitas terjadi jika dalam suatu periode waktu, lebih banyak kilokalori

    yang masuk melalui makanan daripada yang digunakan untuk menunjang

    kebutuhan energi tubuh, dengan kelebihan energi tersebut disimpan sebagai

    trigliserida di jaringan lemak (Sherwood, 2012). Menurut Fauci, (2009), obesitas

    dapat disebabkan oleh peningkatan masukan energi, penurunan pengeluaran

    energi, atau kombinasi keduanya. Obesitas disebabkan oleh banyak faktor, antara

    lain genetik, lingkungan, psikis, kesehatan, obat-obatan, perkembangan dan

    aktivitas fisik (Sherwood, 2012).

  • 10

    2.1.4 Patofisilogi Obesitas

    Saat awal pembentukan obesitas, sel-sel lemak yang sudah ada membesar.

    Seorang dewasa rata-rata memiliki sekitar 40 milyar sampai 50 milyar adiposit.

    Setiap sel lemak dapat menyimpan maksimal sekitar 1,2 pg trigliserida. Jika sel-

    sel lemak yang sudah ada terisi penuh, maka jika yang bersangkutan terus

    mengonsumsi lebih banyak kalori daripada yang dikeluarkan, maka akan

    terbentuk lebih banyak adiposit (Sherwood, 2012).

    2.1.4.1 Keseimbangan Energi didalam Tubuh

    Pada laki-laki dan wanita dewasa, lemak didalam tubuh diperkirakan

    mengisi sebanyak 21% sampai 37% dari berat badan. Pada individu yang obes,

    lebih banyak kalori dikonsumsi daripada yang dikeluarkan. Jumlah jaringan

    lemak diatur secara ketat melalui sinyal neuronal dan humoral yang disampaikan

    ke otak. Kegagalan sel-sel lemak mengirimkan sinyal yang adekuat atau

    kegagalan otak merespons sinyal yang sesuai dapat menyebabkan

    obesitas. Sistem regulasi keseimbangan energi yang efektif memerlukan

    beberapa mekanisme, antara lain: sensor terhadap simpanan energi didalam

    jaringan adiposa dan mekanisme penyampaian informasi ke pusat kendali di

    hipothalamus. Kedua proses ini berintegrasi untuk menentukan besarnya asupan

    makanan dan energi yang dikeluarkan (Panigrahi, 2009).

    Dalam tahun-tahun terakhir, telah berhasil diidentifikasi beberapa "gen

    obesitas". Seperti dapat diperkirakan, gen ini mengkode komponen molekular

    sistem fisiologis yang mengendalikan keseimbangan energi. Pemain kunci dalam

    homeostasis energi adalah gen Ob dan produknya, leptin. Leptin bekerja melalui

  • 11

    suatu jenjang kompleks jalur pemberi sinyal yang disebut sebagai sirkuit

    melanokortin sentral yang dikendalikan oleh leptin (leptin-regulated centrnl

    melnnocortin circuit) (Kumar, 2012).

    (Kumar, 2012)

    Gambar 2.1

    Sirkuit neurohumoral yang mengendalikan berat badan.

    Leptin merupakan hormon peptida yang disekresi terutama oleh jaringan

    adiposa dan bertugas mengirimkan sinyal ke otak tentang jumlah simpanan

    lemak. Pada subjek normal kadar leptin didalam sirkulasi, proporsional dengan

    simpanan lemak dan Indeks Massa Tubuh. Sekresinya bersifat pulsatif dan

    berhubungan terbalik dengan kadar hidrokortison. Pembentukan leptin

  • 12

    mengalami peningkatan akibat pengaruh glukokortikoid, estrogen serta insulin

    dan menurun karena pengaruh α-adrenergic agonist. Dari tempat penyimpanan

    lemak, leptin mencapai otak dan menuju hipothalamus. Mutasi leptin dan

    reseptor leptin telah ditemukan pada beberapa pasien obes (Panigrahi,

    2009). Setiap kelainan di leptin maupun reseptornya dapat menyebabkan

    seseorang mengalami obesitas (Limanan D, Prijanti AR, 2013).

    Interaksi leptin dengan reseptornya mengurangi asupan makanan dengan

    merangsang pembentukan α-MSH dan CART (anoreksigenik) dan menghambat

    sintesis NPY (Neuropeptida Y) dan AgRP (oreksigenik). Apabila simpanan

    lemak tubuh kurang memadai, yang terjadi adalah kebailikannya, sekresi leptin

    menurun dan asupan makanan meningkat. Pada orang dengan berat badan stabil,

    aktivitas jalur ini berada dalam keadaan seimbang (Kumar, 2012). Leptin dapat

    meningkatkan tekanan darah melalui perangsangan sistem simpatis. Selain itu

    leptin dapat meningkatkan pembentukan ROS di sel endotel pembuluh darah dan

    menstimulasi sekresi sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan IL-6; keduanya

    merupakan promotor terjadinya hipertensi dan aterosklerosis. Leptin juga

    meningkatkan pelepasan ET-1 yang merupakan vasokonstriktor yang dilepaskan

    terutama oleh sel endotel. Selain itu ET-1 juga disekresikan oleh makrofag,

    fibroblast, dan kardiomiosit, yang berfungsi melawan efek dari NO yang

    dihasilkan (Limanan D, Prijanti AR, 2013).

  • 13

    (Panigrahi, 2009)

    Gambar 2.2

    Keseimbangan Energi dan Etiologi Obesitas

    2.2 Hipertensi

    2.2.1 Definisi dan Klasifikasi Hipertensi

    Tekanan darah merupakan gaya yang diberikan darah terhadap dinding

    pembuluh darah dan ditimbulkan oleh desakan darah terhadap dinding arteri

    ketika darah tersebut dipompa dari jantung ke jaringan. Besar tekanan bervariasi

    tergantung pada pembuluh darah dan denyut jantung. Tekanan darah paling

    tinggi terjadi ketika ventrikel berkontraksi (tekanan sistolik) dan paling rendah

    ketika ventrikel berelaksasi (tekanan diastolik). Pada keadaan hipertensi, tekanan

    darah meningkat yang ditimbulkan karena darah dipompakan melalui pembuluh

    darah dengan kekuatan berlebih (WHO, 2011).

    Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi

    berbagai faktor risiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi

  • 14

    dibedakan menjadi yang tidak dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis

    kelamin, dan umur, serta faktor yang dapat dikontrol seperti obesitas, kurangnya

    aktivitas fisik, perilaku merokok, pola konsumsi makanan yang mengandung

    natrium dan lemak jenuh. Hipertensi yang tidak terkontrol akan meningkatkan

    angka mortalitas dan menimbulkan komplikasi ke beberapa organ vital seperti

    jantung (infark miokard, jantung koroner, gagal jantung kongestif), otak (stroke,

    enselopati hipertensif), ginjal (gagal ginjal kronis), mata (retinopati hipertensif)

    (Anggraini l, 2009).

    Hampir semua konsensus / pedoman utama baik dari dalam walaupun luar

    negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki

    tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90

    mmHg, pada pemeriksaan yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan

    pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi. Adapun

    pembagian derajat keparahan hipertensi pada seseorang merupakan salah satu

    dasar penentuan tatalaksana hipertensi (Soenarta AA, Erwinanto, Mumpuni

    ASS., et al, 2015).

  • 15

    Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Klasifikasi sistolik diastolik

    Optimal < 120 dan < 80

    Normal 120 – 129 dan/ atau 80 – 84

    Normal tinggi 130 – 139 dan/ atau 84 – 89

    Hipertensi derajat 1 140 – 159 dan/ atau 90 – 99

    Hipertensi derajat 2 160 – 179 dan/ atau 100 – 109

    Hipertensi derajat 3 ≥ 180 dan/ atau ≥ 110

    Hipertensi sistolik

    terisolasi ≥ 140 dan < 90

    (Soenarta, Erwinanto & Mumpuni et al, 2015)

    Klasifikasi Sistolik Diastolik

    Normal 100

    (JNC VII)

    Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua golongan

    yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi Primer/Hipertensi

    Esensial adalah hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik),

    walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak

    (inaktivitas) dan pola makan. Terjadi pada sekitar 90% penderita hipertensi.

    Hipertensi Sekunder/Hipertensi Non Esensial adalah hipertensi yang diketahui

    penyebabnya. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah

    penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau

    pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB) (Kementrian Kesehatan RI, 2014).

  • 16

    Berdasarkan bentuk Hipertensi dibagi menjadi hipertensi diastolik

    (diastolic hypertension), Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi),

    Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) (Kementrian Kesehatan RI,

    2014).

    2.2.2 Faktor Resiko Hipertensi

    Risiko relatif hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor

    risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor resiko

    hipertensi yang tidak dapat diubah/dikontrol adalah umur, jenis kelamin, riwayat

    keluarga, genetik (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Sedangkan faktor yang

    dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas dan nutrisi (Sharma S, 2008).

    Usia berpengaruh dalam pengembangan hipertensi. Setelah berumur 45

    tahun dinding arteri akan mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan

    zat kolagen pada lapisan otot sehingga pembuluh darah akan berangsur-angsur

    menyempit dan menjadi kaku. Tekanan darah sistolik meningkat karena

    kelunturan pembuluh darah besar yang berkurang pada penambahan umur

    sampai dekade ketujuh sedangkan tekanan darah sistolik meningkat sampai

    dekade kelima dan keenam kemudian menetap atau cenderung menurun.

    Peningkatan umur akan menyebabkan beberapa perubahan fisiologis pada usia

    lanjut. Terjadi peningkatan resistensi perifer dan aktivitas simpatis. Pengaturan

    tekanan darah yaitu refleks baroreseptor pada usia lanjut sensitivitasnya sudah

    berkurang, hal ini merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang yang

    bertambah usianya (Anggraini, 2009). Faktor risiko tertinggi hipertensi

    umumnya terdapat pada kelompok pria usia di atas 55 tahun, wanita di atas 65

  • 17

    tahun, merokok, dislipidemia (kadar kolestrol yang tidak normal), memiliki

    riwayat keluarga hipertensi, gula darah tinggi, dan obesitas (Ngantung, 2014).

    2.2.3 Patogenesis Hipertensi

    Penyebab-penyebab hipertensi ternyata sangat banyak. Tidak bisa

    diterangkan hanya dengan satu faktor penyebab. Memang betul pada akhirnya

    kesemuanya itu akan menyangkut kendali natrium (Na) di ginjal sehingga

    tekanan darah meningkat. Ada empat faktor yang mendominasi terjadinya

    hipertensi yaitu peran volume intravaskular, peran kendali saraf autonom, peran

    renin angiotensin aldosteron (RAA) dan peran dinding vaskular pembuluh darah

    (Yogiantoro, 2014).

    Tubuh memiliki 3 metode pengendalian tekanan darah. Pertama adalah

    reseptor tekanan di berbagai organ yang dapat mendeteksi perubahan kekuatan

    maupun kecepatan kontraksi jantung, serta resistensi total terhadap tekanan

    tersebut. Kedua adalah ginjal yang bertanggung jawab atas penyesuaian tekanan

    darah dalam jangka panjang melalui sistem renin-angiotensin yang melibatkan

    banyak senyawa kimia. Kemudian sebagai respons terhadap tingginya kadar

    kalium atau angiotensin, steroid aldosteron dilepaskan dari kelenjar adrenal, yang

    salah satunya berada dipuncak setiap ginjal, dan meningkatkan retensi

    (penahanan) natrium dalam tubuh (Kowalski, 2010).

    Darah yang mengalir ditentukan oleh volume darah yang dipompakan oleh

    ventrikel kiri setiap kontraksi dan kecepatan denyut jantung. Tahanan vaskuler

    perifer berkaitan dengan besarnya lumen pembuluh darah perifer. Makin sempit

    pembuluh darah, makin tinggi tahanan terhadap aliran darah, makin besar

  • 18

    dilatasinya makin tinggi kurang tahanan terhadap aliran darah. Jadi, semakin

    menyempit pembuluh darah, semakin meningkat tekanan darah. Dilatasi dan

    konstriksi pembuluh-pembuluh darah dikendalikan oleh sistem saraf simpatis dan

    sistem renin-angiotensin. Apabila sistem saraf simpatis dirangsang, katekolamin,

    seperti epinefrin dan norepinefrin akan dikeluarkan. Kedua zat kimia ini

    menyebabkan kontriksi pembuluh darah, meningkatnya curah jantung, dan

    kekuatan kontraksi ventrikel. Sama halnya pada sistem renin-angiotensin, yang

    apabila distimulasi juga menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh-pembuluh

    darah (Baradero, 2005).

    Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah

    secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan mempertahankan

    stabilitas tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan

    darah sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem reaksi cepat seperti

    refleks kardiovaskuler melalui sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon

    iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, dan arteri pulmonalis otot

    polos. Sedangkan sistem pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan

    antara sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormon

    angiotensin dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem poten dan berlangsung

    dalam jangka panjang yang dipertahankan oleh sistem pengaturan jumlah cairan

    tubuh yang melibatkan berbagai organ (Saleh, 2010). Jantung secara terus

    menerus bekerja memompakan darah ke seluruh organ tubuh. Jika tanpa

    gangguan, porsi tekanan yang dibutuhkan sesuai dengan mekanisme tubuh.

    Namun, akan meningkat begitu ada hambatan. Inilah yang menyebabkan tekanan

  • 19

    darah meninggi. Semakin besar hambatanya, tekanan darah akan semakin tinggi

    (Prapti, 2009).

    (Lang F, Silbernagl S, 2013)

    Gambar 2.3

    Prinsip Terjadinya Hipertensi

  • 20

    2.2.4 Diagnosis Hipertensi

    Dalam menegakan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan

    pemeriksaan yang harus dijalani sebelum menentukan terapi atau tatalaksana

    yang akan diambil. Algoritma diagnosis ini diadaptasi dari Canadian

    Hypertension Education Program. The Canadian Recommendation for The

    Management of Hypertension 2015.

  • 21

    (Dasgupta K, Quinn RR, Zarnke KB, et al 2014) Gambar 2.4

    Algoritma Diagnosis Hipertensi

    Diagnosis dilakukan mulai dari anamnesis. Kebanyakan pasien hipertensi

    bersifat asimtomatik Beberapa pasien mengalami sakit kepala rasa seperti

    berputar atau penglihatan kabur. Hal yang dapat menunjang kecurigaan ke

    hipertensi sekunder, antara lain penggunaan obat-obatan (kontrasepsi hormonal,

    kortikosteroid, dekongestan, OAINS); sakit kepala paroksismal berkeringat atau

    takikardi (feokromositoma); riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Mencari faktor

  • 22

    risiko kardiovaskular lainnya, seperti merokok, obesitas, inaktivitas fisik,

    dislipidemia, diabetes melitus, mikroalbuminuria dan laju filtrasi glomerulus

    < 60 mL/mnt, usia (laki-laki > 55 tahun, perempuan > 65 tahun), riwayat

    keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini (laki-laki < 55 tahun atau

    perempuan < 65 tahun).

    Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menilai tekanan darah diambil dari

    rerata 2 kali pengukuran pada setiap kali kunjungan ke dokter apabila tekanan

    darah ≥ 140 per 90 mmHg pada dua atau lebih kunjungan, hipertensi dapat

    ditegakkan. Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan dengan alat yang baik,

    ukuran dan posisi manset yang tepat (setingkat dengan jantung), serta teknik

    yang benar. Pemeriksaan penunjang ditujukan untuk memeriksa komplikasi yang

    telah atau sedang terjadi serta untuk memastikan hipertensi sekunder (Tanto,

    2014).

    2.3 Hubungan antara Obesitas dengan Hipertensi

    Obesitas merupakan salah satu faktor risiko hipertensi. Penderita obesitas

    mempunyai risiko mengalami hipertensi 2,2 kali lebih besar dibandingkan

    dengan subjek yang mempunyai IMT normal (Natalia, 2015). Hasil penelitian

    menemukan bahwa lebih dari separuh penderita hipertensi mengalami obesitas

    (56,6%) dan obesitas sentral (54,9%) (Sulastri, Elmatris, Ramadhani, 2012).

    Hubungan antara obesitas dan hipertensi telah lama diketahui namun mekanisme

    bagaimana terjadinya hipertensi akibat obesitas hingga saat ini belum jelas.

    Sebagian peneliti menitikberatkan patofisiologi tersebut pada tiga hal utama yaitu

  • 23

    adanya gangguan sistem autonom, resistensi insulin serta abnormalitas struktur

    dan fungsi pembuluh darah.

    Patogenesis obesitas sehingga mengakibatkan suatu hipertensi merupakan

    hal yang kompleks karena penyababnya multifaktor dan saling berhubungan.

    Leptin, asam lemak babas dan insulin serta obstructive sleep apnea yang

    meningkat pada anak obes akan menyebabkan konstriksi dan aktifitas sistem

    saraf simpatis. Resistensi insulin dan disfungsional endothelial juga

    menyebabkan vasokonstriksi. Peningkatan aktifitas saraf simpatis ginjal,

    resistensi insulin dan hiperaktifitas sistem renin angiotensi menjadikan reabsorbsi

    natrium pada ginjal meninggi. Semua faktor diatas akan mengakibatkan

    terjadinya hipertensi (Soetjningsih, Ranuh, 2014). Peningkatan obesitas disertai

    dengan peningkatan ko-morbiditas yang berpotensi menjadi penyakit degeneratif

    di kemudian hari misalnya penyakit jantung koroner, DM tipe 2 dan hipertensi

    (Lumoindong, 2013).

    Obesitas dikaitkan dengan peningkatan aliran darah, vasodilatasi, cardiac

    output, dan hipertensi. Meskipun indeks jantung (cardiac output dibagi dengan

    berat badan) tidak meningkat, curah jantung dan laju filtrasi glomerulus dapat

    meningkat. Faktor yang secara umum dianggap bertanggung jawab atas

    perubahan terkait obesitas pada kurva tekanan-natriuresis meliputi peningkatan

    pola simpatik, aktivasi sistem renin-angiotensin (RAS), hiperinsulinemia,

    perubahan struktur ginjal, dan elaborasi adipokines (hormon yang diproduksi

    oleh lemak itu sendiri) seperti leptin. Blokade simpatis (gabungan alpha dan beta

    blokade) mencegah hipertensi yang berhubungan dengan obesitas pada hewan

  • 24

    percobaan dan pada pasien. Demikian pula leptin, hormon yang diproduksi

    lemak yang menghasilkan rasa kenyang dan penurunan berat badan dengan

    mengurangi asupan kalori dan dengan mengaktifkan sistem saraf simpatik untuk

    meningkatkan thermogenesis, dapat menyebabkan hipertensi. hipertensi yang

    diinduksi oleh leptin atau yang disebut leptin-induced hypertension juga dicegah

    oleh blokade simpatik. Ini dan temuan lainnya sangat menyarankan bahwa leptin

    berkontribusi pada kejadian hipertensi obesitas terutama melalui aktivasi

    simpatik. Efek aktivasi simpatis pada hipertensi obesitas tampaknya terkait

    dengan aktivasi lalu persarafan ginjal dan perubahan selanjutnya dari hubungan

    tekanan-natriuresis, seperti denervasi renal mencegah perkembangan hipertensi

    pada beberapa model hewan hipertensi terkait obesitas. Juga, jalur hipotalamus

    leptin-melanocortin adalah modulator penting dari berat badan, dan stimulasi

    hyperleptinemia dari jalur hipotalamus proopiomelanocortin ini cenderung

    memberikan kontribusi untuk peningkatan aliran simpatis (Richard, 2009).

    2.4 Penetalaksanaan Hipertensi

    2.4.1 Tujuan Terapi

    Secara umum tujuan pengobatan hipertensi adalah :

    a. Penurunan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi.

    Mortalitas dan morbiditas ini berhubungan dengan kerusakan organ target (misal:

    kejadian kardiovaskular atau serebrovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal)

  • 25

    b. Mengurangi resiko merupakan tujuan utama terapi hipertensi, dan pilihan

    terapi obat dipengaruhi secara bermakna oleh bukti yang menunjukkan

    pengurangan resiko (Muchid A, Umar F, Chusun., et al, 2006)

    2.4.2 Target tekanan darah

    Menurut Joint National Commission (JNC) 7, rekomendasi target tekanan

    darah yang harus dicapai adalah < 140/90 mmHg dan target tekanan darah untuk

    pasien penyakit ginjal kronik dan diabetes adalah ≤ 130/80 mmHg. American

    Heart Association (AHA) merekomendasikan target tekanan darah yang harus

    dicapai, yaitu 140/90 mmHg, 130/80 mmHg untuk pasien dengan penyakit ginjal

    kronik, penyakit arteri kronik atau ekuivalen penyakit arteri kronik, dan ≤ 120/80

    mmHg untuk pasien dengan gagal jantung.

    2.4.3 Algoritma Pengobatan Hipertensi

    Algoritma penanganan hipertensi menurut JNC 7 (2003), dijelaskan pada

    skema dibawah ini

  • 26

    (JNC 7, 2003)

    Gamabar 2.5

    Algoritma Pengobatan Hipertensi

    Pilihan Obat Awal

    Perubahan Gaya Hidup

    Belum mencapai tekanan darah target (

  • 27

    2.4.4 Terapi Nonfarmakologi

    2.4.4.1 Modifikasi gaya hidup

    Terapi nonfarmakologis merupakan bagian penting pengobatan semua

    pasien hipertensi. Pada beberapa pasien hipertensi stadium 1, tekanan darah

    dapat cukup terkontrol dengan Modifikasi gaya hidup

    (Goodman dan Gilman's, 2011) . Modifikasi gaya hidup dapat dilakukan

    dengan membatasi asupan garam tidak lebih dari 1/4 – 1/2 sendok teh (6

    gram/hari), menurunkan berat badan, menghindari minuman berkafein,

    rokok, dan minuman beralkohol (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Menurut

    DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) merekomendasikan

    pasien hipertensi banyak mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran,

    meningkatkan konsumsi serat, dan minum banyak air (Heller, 2016). Olah

    raga juga dianjurkan bagi penderita hipertensi, dapat berupa jalan, lari,

    jogging, bersepeda selama 20-25 menit dengan frekuensi 3-5 x per minggu.

    Penting juga untuk cukup istirahat (6-8 jam) dan mengendalikan stress.

    Di Indonesia terdapat pergeseran pola makan, yang mengarah pada

    makanan cepat saji dan yang diawetkan yang kita ketahui mengandung

    garam tinggi, lemak jenuh, dan rendah serat mulai menjamur terutama di

    kota-kota besar di Indonesia. Dengan mengetahui gejala dan faktor risiko

    terjadinya hipertensi diharapkan penderita dapat melakukan pencegahan dan

    penatalaksanaan dengan modifikasi diet/gaya hidup ataupun obat-obatan

    sehingga komplikasi yang terjadi dapat dihindarkan (Kementrian Kesehatan

    RI, 2014).

  • 28

    2.4.5 Terapi Farmakologi

    Obat menurunkan tekanan darah dengan memengaruhi tahanan perifer,

    curah jantung, atau keduanya (Goodman dan Gilman's, 2011). Terdapat

    kecenderungan penurunan tekanan darah setelah penggunaan obat

    antihipertensi selama 1 bulan (Mutmainah dan Rahmawati, 2010). Secara

    umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien

    hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah

    > 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi

    derajat ≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu

    diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping,

    yaitu :

    a. Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal

    b. Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi

    biaya

    c. Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun )

    d. seperti pada usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor

    komorbid

    e. Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor

    (ACE-I) dengan angiotensin II receptor blockers (ARB)

    f. Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi

    farmakologi

    g. Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur

    (Soenarta AA, Erwinanto, Mumpuni ASS., et al, 2015).

  • 29

    2.4.5.1 Golongan obat

    Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik

    tiazid (misalnya bendroflumetiazid), β‐bloker, (misalnya propanolol,

    atenolol,) penghambat angiotensin converting enzymes (misalnya captopril,

    enalapril), Angiotensin receptor blocker (misalnya candesartan, losartan),

    calcium channel blocker (misalnya amlodipin, nifedipin) dan alphablocker

    (misalnya doksasozin). Yang lebih jarang digunakan adalah vasodilator dan

    antihipertensi kerja sentral dan yang jarang dipakai, guanetidin, yang

    diindikasikan untuk keadaan krisis hipertensi.

    1. Diuretik tiazid

    Semua obat diuretik oral efektif dalam mengobati hipertensi tetapi

    tiazid ternyata yang paling luas digunakan (Harvey, 2016). Diuretik tiazid

    adalah diuretik dengan potensi menengah yang menurunkan tekanan darah

    dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal

    ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga

    mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat

    mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada

    pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek diuretik

    tiazid terjadi dalam waktu 1‐2 jam setelah pemberian dan bertahan sampai

    12‐24 jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek

    antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis tidak

    memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis meningkat pada

  • 30

    dosis tinggi (Gormer, 2007). Diuretik tiazid menurunkan tekanan darah

    pada posisi baik terlentang maupun berdiri dan hipotensi postural jarang

    terjadi kecuali pada pasien lansia yang kehabisan volume obat ini tidak

    efektif pada pasien dengan fungsi ginjal tidak adekuat bersihan kreatinin ≤

    50 mL/ menit (Harvey, 2016). Penggunaan diuretik tiazid selama 8 minggu

    dapat menurunkan tekanan sistolik sebesar 9 poin dan tekanan diastolik

    sebesar 4 poin (Musini l, 2014).

    2. Beta-bloker

    Beta bloker memblok β‐adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan

    menjadi reseptor β‐1 dan β‐2. Reseptor β‐1 terutama terdapat pada jantung

    sedangkan reseptor β‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah

    perifer, dan otot lurik. Reseptor β‐2 juga dapat ditemukan di jantung,

    sedangkan reseptor β‐1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor β juga

    dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor β pada otak dan perifer akan

    memacu pelepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system

    saraf simpatis. Stimulasi reseptor β‐1 pada nodus sino‐atrial dan miokardiak

    meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta

    pada ginjal akan menyebabkan penglepasan renin, meningkatkan aktivitas

    system rennin angiotensin‐aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan

    cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang

    diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan β‐bloker akan

    mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan

    https://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKg

  • 31

    darah. β‐bloker (Gormer, 2007). Prototipe Beta bloker adalah propanolol

    yang bekerja pada reseptor β‐1 dan β‐2, penghambat selektif reseptor β‐1

    seperti metoprolol dan atenolol merupakan penghambat beta yang paling

    sering diresepkan. Pengobatan beta diberikan dengan hati-hati pada pasien

    yang juga mengalami asma, propanolol dikontraindikasikan akibat

    penghambatannya terhadap bronkodilatasi yang diperantarai β‐2. Beta bloker

    harus diberikan dengan hati-hati dalam terapi pasien yang mengalami gagal

    jantung akut atau penyakit vaskular perifer (Harvey, 2016). Beta bloker

    diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air

    atau lipid. Obat-obat yang diekskresikan melalui hati biasanya harus

    diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan melalui

    ginjal biasanya mempunyai waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat

    diberikan sekali dalam sehari. Beta bloker tidak boleh dihentikan mendadak

    melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina,

    karena dapat terjadi fenomena rebound (Gormer, 2007). Penggunaan

    diuretik tiazid yang dikombinasikan dengan beta bloker atau Calcium

    channel blocker yang dikombinasikan dengan beta bloker selama 8 minggu

    dapat menurunkan tekanan sistolik sebesar 8 poin dan tekanan diastolik

    sebesar 6 poin (Chen l, 2010).

    3. ACE inhibitor

    Secara umum ACE inhibitor dapat dibedakan atas yang bekerja langsung

    yakni captopril dan lisinopril dan yang bekerja tidak langsung (Nafrialdi,

    https://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKghttps://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKg

  • 32

    2007). Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I) menghambat secara

    kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang

    inaktif, yang terdapat pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar

    adrenal dan otak. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat yang

    memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan perifer.

    Penghambatan pembentukan angiotensin II ini akan menurunkan tekanan

    darah. Jika sistem renin-angiotensin-aldosteron teraktivasi (misalnya pada

    keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi

    ACE-I akan lebih besar. ACE juga bertanggungjawab terhadap degradasi

    kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi.

    Penghambatan degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang

    lebih kuat. Captopril cepat diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang

    pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan

    berespon baik pada pemberian ACE-I. Dosis pertama ACE-I harus diberikan

    pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin

    terjadi, efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah

    (Gormer, 2007).

    4. Angiotensin Receptor Blocker

    Angiotensin receptor blocker merupakan alternatif ACE inhibitor.

    Efek farmakologis obat ini serupa dengan efek farmakologis ACE inhibitor,

    yaitu menghasilkan dilatasi arteriol dan vena dan menghambat sekresi

    aldosteron sehingga menurunkan retensi garam beserta air (Harvey, 2016).

    Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya.

    https://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKg

  • 33

    Reseptor angiotensin II disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2.

    Reseptor AT1 memperantarai respon farmakologis angiotensin II, seperti

    vasokonstriksi dan penglepasan aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi

    target untuk terapi obat. Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas.

    Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II

    tanpa melalui ACE. Oleh karena itu memblok sistem renin-angitensin

    melalui jalur antagonis reseptor AT1 dengan pemberian antagonis reseptor

    angiotensin II mungkin bermanfaat. Karena efeknya pada ginjal, ACE-I dan

    AIIRA dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal bilateral dan pada

    stenosis arteri yang berat yang mensuplai ginjal yang hanya berfungsi satu

    (Gormer, 2007). Penggunaan Angiotensin receptor blocker selama 7 minggu

    dapat menurunkan tekanan sistolik sebesar 8 poin dan tekanan diastolik

    sebesar 5 poin (Heran l, 2008).

    5. Calcium Channel Blocker

    Semua Calcium Channel Blocker menurunkan tekanan darah dengan

    menghambat influks Ca2- melalui saluran kalsium tipe-L yang sensitif

    terhadap tegangan di otot polos arteriol, yang akhirnya menyebabkan

    relaksasi otot polos dan tahanan vaskular perifer yang menurun

    (Goodman dan Gilman's, 2011). Calcium Channel Blockers (CCB)

    menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem

    konduksi jantung, dan sel-sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan

    menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi

    impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi,

    https://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKg

  • 34

    interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas

    adalah proses yang bergantung pada ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB:

    dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin); fenilalkalamin

    (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat

    vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya, semua

    dihidropiridin memiliki afinitas yang lebih besar terhadap kanal Ca vaskular

    dibanding kanal Ca jantung, oleh sebab itu obat-obat ini terutama menarik

    dalam pengobatan hipertensi (Harvey, 2016), sedangkan verapamil dan

    diltiazem mempunyai efek kardiak dan dugunakan untuk menurunkan heart

    rate dan mencegah angina. Semua CCB dimetabolisme di hati (Gormer,

    2007). Agen-agen ini berguna dalam pengobatan pasien hipertnesi yang juga

    memiliki asma, diabetes, angina dan atau penyakit vaskular perifer (Harvey,

    2016). Penelitian yang dilakukan oleh Baharuddin, Kabo, Suwandi pada

    tahun 2013 menunjukkan efektivitas amlodipin lebih besar dibandingkan

    captopril dan hidroklortiazid. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan

    oleh Kristanti 2015 yang menunjukkan hasil serupa. Penggunaan

    dihydropyridine calcium channel blocker selama minimal tiga minggu dalam

    sebuah sistematik review menunjukkan penurunan tekanan darah sistolik

    antara 9,45 – 13,2 mmHg dan tekana darah diastolik antara 5,85 – 8,8 mmHg

    (Ghamami N, Chiang, Dormuth C et al, 2014). CCB sebagai terapi

    antihipertensi banyak digunakan baik sebagai monoterapi ataupun

    kombinasi dengan golongan antihipertensi lain, kombinasi yang sering

    https://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKghttps://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKg

  • 35

    digunakan yaitu golongan diuretik dengan CCB (Muchtar, Tjitrosantoso,

    Bodhi, 2015).

    6. Antagonis Alfa-1 Adrenergik

    Antagonis Alfa-1 Adrenergik memblok adrenoseptor alfa1 perifer,

    Antagonis resepror ar-adrenergik mula-mula mengurangi tahanan arteriol

    dan meningkatkan kapasitans vena; hal ini menyebabkan peningkatan refleks

    denyut jantung dan aktivitas renin plasma yang diperantarai saraf simpatik.

    Selama terapi kronis, vasodilatasi terus rerjadi, rerapi curah jantung, denyut

    jantung, dan aktivitas renin plasma kembali ke normal, dan aliran darah

    ginjal tidak berubah. Obat Antagonis Alfa-1 Adrenergik menyebabkan

    hipotensi postural secara beragam, bergantung pada volume plasma.

    Antagonis Alfa-1 Adrenergik tidak dianjurkan sebagai monoterapi untuk

    pasien hipertensi. Obat-obat ini lebih baik digunakan terurama bersama

    dengan diuretik, B-blokea dan obat antihipertensi lain, Antagonis resepror p

    meningkatkan efikasi Antagonis Alfa-1 Adrenergik (Goodman dan Gilman's,

    2011). Obat ini diindikasikan untuk hipertensi yang resisten (Gormer,

    2007).

    7. Golongan lain

    Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan

    tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah.

    Antihipertensi kerja sentral (misalnya klonidin, metildopa, monoksidin)

    bekerja pada adrenoseptor alfa2 atau reseptor lain pada batang otak,

    https://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKghttps://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKg

  • 36

    menurunkan aliran simpatetik ke jantung, pembuluh darah dan ginjal,

    sehingga efek ahirnya menurunkan tekanan darah (Gormer, 2007).

    https://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKg