bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id ii.pdfdengan kata lain, apabila sarana dan tuntutan tugas...

27
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stres 2.2.1. Pengertian Stres Stres adalah salah satu masalah yang pasti akan dihadapi oleh setiap orang dalam kehidupannya. Para ahli menyatakan bahwa stres dapat timbul sebagai akibat tekanan atau ketegangan yang bersumber dari ketidakselarasan antara seseorang dengan lingkungan. Dengan kata lain, apabila sarana dan tuntutan tugas tidak selaras dengan kebutuhan dan kemampuan seseorang, ia akan mengalami stres (Siagian, 2015). Menurut Hager (1999) dalam Waluyo (2015), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Peristiwa yang memunculkan stres dapat saja positif atau negatif. Sesuatu didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang menekan (stresful event) atau tidak, bergantung pada respon yang diberikan oleh individu terhadapnya. Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Morgan dan King, 1986 dalam Waluyo 2015). Menurut Cooper (1994) dalam Potter & Perry (2005) stres didefinisikan sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subjek. Stres juga dapat diartikan sebagai ketidakmampuan mengatasi ancaman yang

Upload: danganh

Post on 09-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stres

2.2.1. Pengertian Stres

Stres adalah salah satu masalah yang pasti akan dihadapi oleh setiap orang

dalam kehidupannya. Para ahli menyatakan bahwa stres dapat timbul sebagai akibat

tekanan atau ketegangan yang bersumber dari ketidakselarasan antara seseorang

dengan lingkungan. Dengan kata lain, apabila sarana dan tuntutan tugas tidak selaras

dengan kebutuhan dan kemampuan seseorang, ia akan mengalami stres (Siagian,

2015).

Menurut Hager (1999) dalam Waluyo (2015), stres sangat bersifat individual

dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan

mental individu dengan beban yang dirasakannya. Peristiwa yang memunculkan stres

dapat saja positif atau negatif. Sesuatu didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang

menekan (stresful event) atau tidak, bergantung pada respon yang diberikan oleh

individu terhadapnya.

Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh

tuntutan fisik (badan), atau lingkungan dan situasi sosial, yang berpotensi merusak

dan tidak terkontrol (Morgan dan King, 1986 dalam Waluyo 2015).

Menurut Cooper (1994) dalam Potter & Perry (2005) stres didefinisikan

sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat

ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan

subjek. Stres juga dapat diartikan sebagai ketidakmampuan mengatasi ancaman yang

11

dihadapi oleh mental, fisik, emosional dan spiritual manusia, yang suatu saat dapat

mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut.

Sedangkan menurut Widyastuti (2004) stres merupakan persepsi manusia

terhadap situasi atau kondisi lingkungan. Dari beberapa pengertian stres tersebut

dapat disimpulkan bahwa stres adalah keadaan yang bersifat internal atau eksternal

dan persepsi terhadap situasi lingkungan berupa ketidakmampuan mengatasi

ancaman baik mental, fisik, emosional dan spiritual yang dapat mempengaruhi

kesehatan individu.

Persepsi atau pengalaman individu terhadap perubahan besar menimbulkan

stres. Stimuli yang mengawali atau mencetuskan perubahan disebut stresor. Stresor

secara umum dapat diklasifikasikan sebagai stresor internal (berasal dari dalam diri

seseorang) atau eksternal (berasal dari luar diri seseorang (Potter & Perry, 2005).

Sumber stres dapat berupa: biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Berhadapan

dengan suatu stresor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara

psikologis maupun fisiologis. Terjadinya stres yang mengakibatkan gangguan karena

stresor tersebut dirasakan dan dipersepsikan oleh individu sebagai suatu ancaman

sehingga menimbulkan kecemasan.

Widyastuti (2004) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu: eustres

dan distres. Eustres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat,

positif dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk

kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan

pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang

tinggi. Distres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat,

negatif dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi

individu dalam tahap lanjut seperti terjadinya penyakit kardiovaskuler juga

12

konsekuensi organisasi berupa tingkat ketidakhadiran (absenteisme) yang tinggi,

yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan kondisi fisik sampai dengan

kematian.

2.2.2. Sumber Stres

Potter & Perry (2005) mengklasifikasikan sumber stres secara umum yaitu

stresor internal dan eksternal. Stresor internal berasal dari dalam diri seseorang

(misalnya demam, kondisi kehamilan atau menopause, atau suatu keadaan emosi

seperti rasa bersalah) dan stresor eksternal yang berasal dari luar diri seseorang

(misalnya prubahan suhu lingkungan, pekerjaan, perubahan dalam peran keluarga

atau sosial, serta tekanan dari pasangan).

Suatu keadaan dapat menimbulkan stres pada seseorang tapi belum tentu

akan menimbulkan hal yang sama terhadap orang lain. Menurut Patton (1998) dalam

Tarwaka (2010) perbedaan reaksi antara individu tersebut sering disebabkan karena

faktor psikologis dan sosial yang dapat merubah dampak stresor bagi individu, faktor

faktor tersebut antara lain :

1) Kondisi individu seperti umur, jenis kelamin, temperamental, genetik,

intelegensia, pendidikan, kebudayaan, status pernikahan dan lain-lain.

2) Ciri kepribadian seperti introvert atau ekstrovert, tingkat emosional,

kepasrahan, kepercayaan diri, kecemasan dan lain-lain.

3) Sosial-kognitif seperti dukungan sosial, hubungan sosial dengan

lingkungan sekitarnya.

4) Strategi untuk menghadapi setiap stres yang muncul.

2.2.3. Tingkatan Stres

Setiap individu mempunyai persepsi dan respon yang berbeda-beda

terhadap stres. Persepsi seseorang didasarkan pada keyakinan dan norma,

13

pengalaman dan pola hidup, faktor lingkungan, struktur dan fungsi keluarga,

pengalaman masa lalu dengan stres dan mekanisme koping. Terganggu atau

tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang

dialaminya. Dengan kata lain bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh

bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa. Penilaian

kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada masing-

masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh persepsi dan respon yang

berbeda terhadap stres tersebut. Penilaian kognitif itu, bisa mengubah cara

pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang

yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stressfull. Sehingga

respon terhadap stresor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi

individu. Potter & Perry (2005) membagi tingkatan dalam stres menjadi tiga

bagian, antara lain :

1) Situasi Stres Ringan

Stres ringan merupakan stresor yang dihadapi setiap orang secara

teratur, seperti terlalu banyak tidur, kemacetan lalu lintas serta kritikan

dari atasan. Kondisi ini berlangsung selama beberapa menit sampai

beberapa jam. Stresor ini bukan resiko signifikan yang dapat

menimbulkan gejala yang muncul akibat stres. Akan tetapi, stresor ringan

dan banyak dalam waktu singkat dapat meningkatkan resiko penyakit.

2) Situasi Stres Sedang

Kondisi stres sedang berlangsung lebih lama, beberapa jam sampai

beberapa hari. Jenis stresor yang dihadapi misalnya perselisihan dengan

rekan kerja, anak yang sedang sakit, serta ketidakhadiran anggota keluarga

dalam waktu yang lama.

14

3) Situasi Stres Berat

Kondisi stres berat merupakan kondisi kronis yang belangsung lama,

durasinya mulai beberapa minggu sampai beberapa tahun. Jenis stresor

yang dihadapi misalnya, perselisihan perkawinan, kesulitan keuangan

yang berkepanjangan, serta penyakit kronis. Semakin sering dan semakin

lama situasi stres, makin tinggi resiko kesehatan yang ditimbulkan.

Menurut Amberg (1979) dalam Hawari (2001), bahwa tahapan stres

sebagai berikut (Sunaryo, 2004) :

1) Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan

nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan

pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki dan

penglihatan menjadi tajam.

2) Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun

pagi tidak segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore,

lekas lelah sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut

tidak nyaman (bowel discomfort), jantung berdebar, otot tengkuk, dan

punggung tegang. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak

memadai

3) Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti

defekasi tidak tertaur (kadang-kadang diare), otot semakin tegang,

emosional, insomnia, mudah terjaga dan sulit tidur kembali (middle

insomnia), bangun terlalu pagi dan sulit tidur kembali (late insomnia),

koordinasi tubuh terganggu dan mudah jatuh pingsan

4) Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak

mampu bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit

15

dan menjenuhkan, respon tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu,

gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya

ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan.

5) Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan

kelelahan fisik dan mental (physical and psychological exhaustion),

ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan

ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan

cemas, bingung dan panic.

6) Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-

tanda, seperti jantung berdebar keras, sesak nafas, badan gemetar,

dingin, dan banyak keluar keringat, loyo serta pingsan atau collaps.

2.3. Stres Kerja

2.3.1. Pengertian Stres Kerja

Lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stresor kerja. Stresor kerja

merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu

tuntutan dan dapat menimbulan stres kerja. Bila ia sanggup mengatasi stresor

kerja tersebut artinya tidak ada gangguan fungsi organ tubuh, maka dikatakan

yang bersangkutan tidak mengalami stres. Tetapi sebaliknya bila ternyata ia

mengalami gangguan pada satu atau lebih fungsi organ tubuh mengakibatkan

seseorang tidak lagi dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maka ia disebut

distres (Waluyo, 2015).

NIOSH (1999) dalam Tarwaka (2010) mendefinisikan stres akibat kerja

sebagai respon emosional dan fisik yang bersifat mengganggu atau merugikan

yang terjadi pada saat tuntutan tugas tidak sesuai kapabilitas, sumber daya atau

keinginan pekerja. Sedangkan Widyastuti (2004) mengatakan bahwa tidak ada

16

pekerjaan yang bebas dari stres, karena setiap pekerjaan memiliki beberapa tingkat

tantangan dan kesulitan sehingga seseorang yang mampu mempertahankan rasa

pengendalian diri dalam lingkungan kerja akan menerima setiap urusan dalam

pekerjaan sebagai tantangan dan bukan ancaman. Namun tidak semua orang

memiliki pengendalian diri seperti ini, sehingga setiap urusan dalam pekerjaan

dianggap sebagai ancaman dan bukan sebagai tantangan. Hal inilah yang

menyebabkan seseorang mengalami stres kerja.

2.3.2. Faktor-Faktor Penyebab Stres Kerja

Penyebab stres di tempat kerja terdiri dari tiga kategori yaitu stresor fisik,

psikofisik dan psikologis (Clark,1995 dan Wantoro, 1999 dalam Tarwaka, 2010).

Selanjutnya menurut Cartwright, et al (1995) dalam Tarwaka (2010) penyebab stres

akibat kerja dibedakan menjadi 6 kelompok penyebab, yaitu:

1) Faktor Intrinsik Pekerjaan

Faktor tersebut meliputi keadaan fisik lingkungan kerja yang tidak

nyaman, stasiun kerja yang tidak ergonomis, kerja shift, jam kerja yang

panjang, pekerjaan beresiko tinggi dan berbahaya, beban kerja berlebih, dan

lain-lain. Beban kerja berlebih dapat dipengaruhi karena faktor tuntutan

tugas yang bersifat fisik (misalnya kuantitas pekerjaan) maupun mental yang

lebih menitikberatkan pada pekerjaan otak dan ketrampilan yang dimiliki

serta irama pekerjaan.

2) Faktor Peran Individu dalam Organisasi Kerja

Beban tugas yang bersifat mental dan tanggung jawab dari suatu

pekerjaan lebih memberikan stres yang tinggi dibanding dengan beban kerja

fisik. Karasek, et al (1988) dalam suatu penelitian tentang stres akibat kerja

menemukan bahwa karyawan yang mempunyai beban psikologis lebih tinggi

17

dan ditambah dengan keterbatasan wewenang untuk mengambil keputusan,

mempunyai resiko terkena penyakit jantung koroner dan tekanan darah yang

tinggi.

3) Faktor Hubungan Kerja

Kualitas hubungan yang kurang baik antara pekerja, atasan maupun

kolega di tempat kerja adalah faktor yang potensial sebagai penyebab

terjadinya stres. Kecurigaan antara pekerja, kurangnya komunikasi,

ketidaknyamanan dalam melakukan pekerjaan merupakan tanda-tanda

adanya stres akibat kerja.

4) Faktor Pengembangan Karir

Faktor pengembangan karir yang dapat memicu stres adalah

ketidakpastian pekerjaan seperti adanya reorganisasi perusahaan dan mutasi

kerja, promosi berlebihan atau kurang, promosi yang terlalu cepat atau tidak

sesuai dengan kemampuan individu.

5) Faktor Struktur Organisasi dan Suasana Kerja

Penyebab stres yang berhubungan dengan struktur organisasi dan model

manajemen yang dipergunakan. Beberapa faktor penyebabnya antara lain

kurangnya pendekatan paartisipatoris, konsultasi yang tidak efektif,

kurangnya komunikasi dan kebijaksanaan kantor. Selain itu seringkali

pemilihan dan penempatan pekerja pada posisi yang tidak tepat juga dapat

menyebabkan stres.

6) Faktor di Luar Pekerjaan

Faktor kepribadian seseorang (ekstrovert atau introvert) juga dapat

menyebabkan stres. Perselisihan antar anggota keluarga, lingkungan

tetangga dan komunitas juga merupakan faktor penyebab timbulnya stres

18

yang kemungkinan besar masih akan terbawa dalam lingkungan kerja.

Menurut Greenberg (2002) faktor-faktor yang menyebabkan stres kerja

meliputi kombinasi dari :

1) Faktor Pekerjaan yang Bersumber Pada Pekerjaan, terdiri dari :

a) Sumber intrinsik pekerjaan termasuk tuntutan fisik meliputi bising,

vibrasi, higiene. Sedangkan tuntutan tugas mencakup kerja

shift/kerja malam, beban kerja, kondisi kerja yang sedikit

menggunakan aktivitas fisik, waktu kerja yang menekan, dan

resiko pekerjaan yang berbahaya.

b) Peran dalam organisasi. Peran yang merupakan pembangkit stres,

meliputi peran yang ambigu, konflik peran, tanggung jawab

kepada orang lain, konflik batasan reorganisasi baik secara internal

maupun eksternal.

c) Perkembangan karir, terdiri dari promosi ke jenjang yang lebih

tinggi atau penurunan tingkat, tingkat keamanan kerja yang

kurang, ambisi perkembangan karir yang terhambat.

d) Hubungan interpersonal di tempat kerja. Meliputi kurangnya

hubungan interpersonal dengan pimpinan, tim kerja (dokter, rekan

sekerja, pasien dan keluarganya) atau dengan bawahan serta

kesulitan mendelegasikan tanggungjawab.

e) Pengawasan atasan. Kurangnya pengawasan dari supervisor,

kepala ruangan atau pengawasan dari managemen keperawatan

yang lebih tinggi dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya

stres perawat (NIOSH, 2008).

19

2) Faktor Stres Kerja yang Bersumber pada Individu

Diantaranya adalah tingkat kecemasan, toleransi terhadap hal yang

ambigu/ketidakjelasan, pola tingkah laku tipe A.

3) Faktor Stres Kerja yang Bersumber pada Individu di Luar Organisasi

Mencakup segala unsur kehidupan yang dapat berinteraksi dengan

peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja dalam suatu oraganisasi sehingga

memberi tekanan pada individu seperti masalah keluarga, kesulitan

finansial, peristiwa krisis dalam hidup.

2.3.3. Stres Perawat Psikiatri

Perawat dalam melaksanakan perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan,

selalu berhubungan langsung dengan pasien dengan berbagai macam keluhan, jenis

penyakit, karakter, budaya, latar belakang pendidikan dan sosial ekonomi yang

berbeda-beda sehingga dapat menyebabkan stres bagi perawat.

Beberapa studi meneliti bahwa stres perawat berbeda menurut sub

spesialisasinya, dan beberapa studi menggunakan instrumen penilaian stres (stres

assessment instrumen) yang valid digunakan pada perawat umum namun tidak valid

digunakan pada perawat psikiatri (Konstantinos & Christina, 2008). Menurut

penelitian Konstantinos & Christina, (2008), faktor penyebab stres kerja perawat

psikiatri adalah karakteristik negatif pasien, hubungan interpersonal baik dengan

atasan, dokter, maupun sesama perawat dan manajemen organisasi. Pasien dengan

resiko kekerasan merupakan penyebab stres yang paling sering pada perawat

psikiatri, pasien dapat bertindak agresif, mengancam atau bertindak kejam, serta

melakukan perilaku yang dapat menimbulkan cedera fisik atau psikologis pada orang

20

lain atau menimbulkan kerusakan harta benda selain itu kurangnya dukungan dari

manajemen juga merupakan sumber stres bagi perawat psikiatri.

Dawson, dkk (2005) juga yang mengungkapkan bahwa kekerasan merupakan

masalah yang sering terjadi diruang perawatan psikiatri akut dan intensif. Perawat

beresiko mengalami perilaku kekerasan yang dilakukan pasien baik berupa kekerasan

verbal, fisik dan pasif. Kekerasan verbal yang dialami dapat berupa ancaman, kata –

kata kasar, ejekan, hinaan ataupun makian, secara fisik berupa penyerangan dan

pemukulan, dan secara pasif seperti menolak minum obat, makan dan minum.

Dalam jurnal tentang tingkat stres perawat psikiatri (Yada, dkk, 2011)

disebutkan bahwa penyebab stres pada perawat psikiatri adalah kemampuan

interpersonal perawat, sikap pasien, sikap atasan, kolaborasi/komunikasi. Perilaku

kekerasan dari pasien merupakan penyebab stres paling sering bagi perawat psikiatri.

Penelitian yang dilakukan Ulfah (2011) yang berjudul tingkat stres kerja pada

perawat di unit rawat inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Tahun

2011 menunjukan bahwa didapati perawat dengan tidak ada stres kerja ada 18,8%,

perawat dengan stres kerja ringan ada 64, 1 % dan perawat dengan stres sedang ada

17, 1 %. Faktor-faktor penyebab stres kerja diantaranya jenis kelamin, usia, masa

kerja, beban kerja dan jumlah pasien dirawat perminggu

Penelitian Ratnaningrum (2012) mengenai tingkat stres perawat di ruang

psikiatri akut Rumah Sakit DR.H.Marzoeki Mahdi Bogor menyatakan bahwa 20 dari

30 perawat mengalami stres rendah dan sisanya mengalami stres sedang. Faktor-

faktor yang menyebabkan stres perawat adalah masalah dalam merawat pasien,

hubungan interpersonal, peran atasan, masalah dengan keluarga pasien dan masalah

manajemen rumah sakit.

21

Menurut penelitian yang dilakuakan Aiska (2014) mengenai faktor-faktor

yang berpengaruh pada tingkat stres kerja perawat di RS Jiwa Grhasia Yogyakarta

menunjukan rata-rata perawat mengalami stres kerja sedang sebanyak 63 orang (60,0

%) dan 40 % adalah stres ringan, dan faktor yang berpengaruh signifikan pada

tingkat stres kerja adalah faktor umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan

terakhir, masa kerja, dan beban kerja.

Berdasarkan beberapa penelitian diatas peneliti menyimpulkan bahwa

penyebab stres pada perawat di ruang psikiatri disebabkan karena beban kerja, resiko

pekerjaan (resiko kekerasan dari pasien), lingkungan kerja, hubungan interpersonal

baik dengan rekan kerja, atasan, dan kolega serta dikaitkan dengan karakteristik

demografi individu. Berikut akan dijelaskan masing-masing faktor :

1) Karakteristik Individu

a) Umur

Potter & Perry (2005), membagi masa dewasa menjadi masa dewasa

menjadi masa dewasa awal (20 - 34 tahun), dewasa tengah (35 – 65 tahun)

dan dewasa akhir (65 - 70 tahun sampai kematian). Usia 20 - 34 tahun

dikategorikan sebagai masa dewasa awal dan transisi dewasa tengah, dimana

pada usia dewasa awal seseorang mulai berpisah dengan keluarga, mulai

bekerja, masa transisi menjadi dewasa tengah ditandai lebih peduli dengan

perubahan yang berhubungan dengan reproduksi sehingga pada usia ini

biasanya seseorang telah menikah, bekerja dan memiliki anak.

Menurut teori yang dikemukakan Dessler (2004), usia produktif adalah

25- 30 tahun yang pada usia ini seseorang sedang memilih pekerjaan yang

sesuai dengan karir individu tersebut dan puncak karir dicapai pada usia 40

tahun. Pada masa ini seseorang dapat mengalami stres berkaitan dengan

22

masalah perkawinan, pekerjaan dan pengasuhan anak. Umur berhubungan

dengan tingkat pemahaman seseorang terhadap pemikiran yang matang.

Pekerja dengan umur lebih tua akan semakin mampu menunjukan

kematangan jiwa, dalam arti semakin bijaksana, semakin mampu berpikir

rasional, semakin mampu mengendalikan emosi, semakin toleran terhadap

pandangan dan perilaku yang berbeda darinya dan semakin dapat

menunjukan kematangan intelektual dan psikologinya.

Handoko (2014) juga menyatakan bahwa semakin tua umur karyawan,

maka kepuasan kerjanya akan semakin tinggi. Karyawan yang memperoleh

kepuasan kerja akan mencapai kematangan psikologis dan menurunkan

resiko terjadinya stres kerja. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian

Russeng, dkk (2007) menunjukan bahwa stres pada perawat yang berumur

dibawah 40 tahun lebih banyak mengalami stres daripada perawat yang

berumur ditas 40 tahun.

Penelitian Aiska (2014) menyatakan terdapat hubungan antara usia dan

stres kerja pada perawat dimana responden yang berusia 30-40 tahun lebih

rentan mengalami stres kerja.

b) Jenis Kelamin

Menurut Brizendine (2007) keadaan hormonal antara laki-laki dan

perempuan merupakan salah satu hal penting dalam penyesuaian diri pada

kondisi fisik dan psikis. Hormon testosteron dan progesteron diduga

mempengaruhi peningkatan agresifitas sehingga laki-laki cenderung stabil

ketika beraktivitas, sedangkan hormon estrogen diduga mempengaruhi psikis

dan perasaan perempuan pada kondisi tertentu. Kondisi tertentu ini akan

berpengaruh secara psikis terhadap perilaku perempuan dalam menyelesaikan

23

permasalahan yang dihadapi. Hal ini mempengaruhi kecenderungan stres

perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.

Menurut Russeng, dkk (2007) faktor individu jenis kelamin

menunjukan bahwa kecenderungan perempuan untuk mengalami stres kerja

lebih besar dari laki-laki. Tuntutan peran ganda umumnya dialami

perempuan yang melibatkan diri dalam lingkungan organisasi, yaitu

sebagai wanita karir dan ibu rumah tangga sehingga lebih rentan

mengalami stres. Tuntutan pekerjaan, rumah tangga dan ekonomi

berpotensi menyebabkan wanita karir rentan mengalami stres

(Anitawidanti, 2010).

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Aiska (2014) yang menunjukan

perawat perempuan memiliki tingkat stres lebih tinggi daripada perawat laki-

laki.

c) Masa Kerja

Cooper dalam Munandar (2014) yang mengatakan bahwa salah satu

faktor yang mempengaruhi stres kerja adalah masa kerja, baik masa kerja

yang sebentar ataupun lama dapat menjadi pemicu terjadinya stres dan

diperberat dengan adanya beban kerja yang besar.

Pekerja yang bekerja <5 tahun dapat mengalami stres kerja karena

belum bisa beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada. Selain itu

minimnya pengalaman dan menghadapi berbagai masalah pasien serta

ditambah dengan beban kerja yang besar maka mengakibatkan mereka

mengalami stres kerja. Sedangkan pekerja yang telah bekerja diatas 5 tahun

biasanya memiliki tingkat kejenuhan yang lebih daripada pekerja yang baru

24

bekerja. Sehingga dengan adanya tingkat kejenuhan tersebut dapat

menyebabkan stres dalam bekerja (Munandar, 2014).

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Gobel, dkk (2014) yang

menyatakan tidak ada hubungan antara masa kerja dengan stres kerja

perawat.

d) Tingkat Pendidikan

Dilihat dari faktor tingkat pendidikan, orang-orang dengan tingkat

pendidikan lebih tinggi mendapat jenjang karir yang lebih tinggi pula dan

cenderung lebih mendapat kepuasan kerja. Mereka bisa memperoleh

kompensasi lebih baik, kondisi kerja lebih nyaman, dan pekerjaan-pekerjaan

mereka memungkinkan penggunaan segala kemampuan yang mereka punyai.

Karyawan yang terampil cenderung memperoleh kepuasan kerja lebih besar

sehingga resiko mengalami stres akan lebih rendah. (Handoko, 2014).

Dalam penelitian Aiska (2014) perawat tingkat pendidikan D3 memiliki

tingkat stres yang lebih tinggi daripada yang berpendidikan S1. Perawat

dengan tingkat pendidikan diploma lebih mudah terpapar stres dibandingkan

perawat yang pendidikannya lebih tinggi (Golubic, dkk, 2009).

e) Status Pernikahan

Pekerja yang telah berstatus menikah terutama yang berjenis kelamin

perempuan akan memiliki peran ganda yaitu dalam pekerjaannya dan rumah

tangga. Sedangkan yang berjenis kelamin laki-laki akan memiliki beban dan

kewajiban yang lebih besar bila telah berkeluarga sehingga laki-laki dituntut

untuk bekerja lebih keras sehingga kecenderungan terjadinya stres semakin

besar (Russeng, dkk , 2007). Dalam Tarwaka (2010) juga disebutkan salah

25

satu pencetus stres adalah masalah dalam keluarga yang kemungkinan besar

akan terbawa ke lingkungan kerja.

Hal ini sesuai dengan penelitian Aiska (2014) yang menunjukan

perawat dengan status menikah memiliki tingkat stres lebih tinggi dibanding

yang belum menikah.

2) Faktor Intrinsik Pekerjaan

a) Beban Kerja

Secara umum beban kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

adalah kompleksitas pekerjaan atau tingkat kesulitan pekerjaan yang

mempengaruhi tingkat emosi pekerja, kuantitas pekerjaan, tanggungjawab

terhadap pekerjaan, pelimpahan tugas, waktu kerja dan irama kerja. Apabila

tidak ada tekanan atau ketegangan yang berlebihan baik secara fisik maupun

mental, maka tingkat intensitas pembebanan kerja optimum dapat dicapai.

Pembebanan kerja berlebih dapat memicu terjadinya stres kerja (Tarwaka,

2010).

NIOSH (2008) menyatakan bahwa beban kerja merupakan salah satu

tuntutan tugas yang menjadi stresor dalam pekerjaan. Pekerja yang

mendapatkan porsi pekerjaan terlalu sedikit atau ringan, dibandingkan

pekerja lain akan menyebabkan pekerja tersebut kurang memiliki tantangan

terhadap kemampuannya, maupun terhadap kepuasan dalam menyelesaikan

pekerjaan. Sebaliknya pekerja dengan beban kerja yang berlebihan baik dari

segi aspek jumlah atau tingkat kesulitan dalam pekerjaan tersebut akan

membebani kemampuannya dalam menyelesaikan pekerjaan (Munandar,

2014). Beban kerja berlebih dapat dipengaruhi karena faktor tuntutan tugas

26

yang bersifat fisik (misalnya kuantitas pekerjaan) maupun mental yang lebih

menitikberatkan pada pekerjaan otak dan ketrampilan yang dimiliki serta

irama pekerjaan. (Tarwaka, 2010).

Munandar (2014) juga menyebutkan bahwa salah satu faktor yang

mempengaruhi stres kerja adalah beban kerja. Dimana semakin berat beban

kerja sehingga melampaui kapasitas kerja akan menurunkan efisiensi dan

produktivitas kerja bahkan dapat menimbulkan gangguan kesehatan pekerja.

(Tarwaka, 2010).

Hal ini sejalan dengan penelitian Aiska (2014) menunjukan adanya

hubungan yang signifikan antara beban kerja dengan stres kerja perawat,

dimana semakin berat beban kerjanya maka stres kerja yang dialami semakin

meningkat.

b) Resiko Pekerjaan

Tarwaka (2010) menyebutkan bahwa pekerjaan yang beresiko tinggi

dan berbahaya merupakan salah satu faktor penyebab stres kerja. Perawat

jiwa beresiko mengalami perilaku kekerasan yang dilakukan pasien baik

berupa kekerasan verbal, fisik dan pasif. Kekerasan verbal yang dialami dapat

berupa ancaman, kata – kata kasar, ejekan, hinaan ataupun makian, secara

fisik berupa penyerangan dan pemukulan, dan secara pasif seperti menolak

minum obat, makan dan minum. Hal ini menjadi salah satu penyebab stres

paling sering pada perawat psikiatri (Dawson, dkk, 2005).

Dawkins, et all , 1985 yang melakukan penelitian pada rumah sakit

jiwa, yang dikutip Konstantinos dan Christina (2008) menyatakan bahwa

ancaman kekerasan secara fisik merupakan situasi yang very stressfull bagi

perawat, pasien dapat bertindak agresif, mengancam atau bertindak kejam,

27

serta melakukan perilaku yang dapat menimbulkan cedera fisik atau

psikologis pada orang lain atau menimbulkan kerusakan harta benda.

Dalam jurnal tentang tingkat stres perawat psikiatri (Yada, dkk, 2011)

disebutkan bahwa penyebab stres pada perawat psikiatri adalah kemampuan

interpersonal perawat, sikap pasien, sikap atasan, kolaborasi/komunikasi.

Perilaku kekerasan dari pasien merupakan penyebab stres paling sering bagi

perawat psikiatri.

Hal ini sejalan dengan penelitian Ratnaningrum (2012) yang

menyatakan salah satu faktor yang menyebabkan stres kerja perawat adalah

masalah dalam merawat pasien karena mengalami resiko kekerasan.

c) Lingkungan Pekerjaan

Kondisi lingkungan kerja berpengaruh terhadap kenyamanan

seseorang dalam menjalankan pekerjaannya misalnya suhu udara,

kebisingan, kelengkapan fasilitas penunjang, karena beberapa orang

sangat sensitif terhadap kondisi lingkungannya. Kondisi lingkungan yang

kondusif dapat meningkatkan motivasi kerja dan menurunkan potensi

stres kerja (Tarwaka, 2010 dan Widyastuti, 2004)

Hal ini sesuai dengan penelitian Siringoringo (2014) yang menyatakan

perawat yang memiliki suasana lingkungan kerja yang tidak menunjang

cenderung mengalami stres kerja yang lebih berat.

3) Faktor Ekstrinsik Pekerjaan

a) Hubungan Interpersonal

Hubungan interpersonal yang buruk merupakan salah satu penyebab

terjadinya stres kerja pada perawat (NIOSH, 2008). Hubungan interpersonal

yang kurang baik dengan sesama perawat, tim kesehatan yang lain serta

28

dengan keluarga pasien dapat memicu timbulnya stres perawat, dan

sebaliknya hubungan yang baik antara ketiganya merupakan faktor

dukungan bagi perawat untuk melaksanakan tugas pelayanan dengan baik.

Penelitian Konstantinos dan Christina (2008) mengungkapkan bahwa

berbagai faktor yang mempengaruhi stres dan kepuasan kerja perawat

kesehatan mental diantaranya adalah kepemimpinan klinis, kualitas hubungan

antarprofesional, serta kolaborasi antara perawat dan dokter.

Dalam hubungan interpersonal komunikasi memiliki peranan yang

sangat penting. Komunikasi menjembatani interaksi antar individu. Interaksi

antar individu selalu melibatkan harapan-harapan dari tiap individu tersebut.

Melalui proses komunikasilah harapan tersebut disampaikan. Ide atau

gagasan tiap orang disampaikan juga melalui komunikasi. Komunikasi yang

baik akan mempermudah memahami harapan dan keinginan orang lain yang

pada akhirnya akan mencegah terjadinya kesalahpahaman dan konflik.

(Russeng, 2007)

b) Pengawasan Atasan

Dalam lingkungan kerja atasan sangat berperan dalam menciptakan

suasana di lingkungan pekerjaan. Atasan yang baik akan menciptakan

suasana yang kondusif sehingga staf dapat bekerja dengan optimal. Dalam

konteks organisasi ruang perawatan, kepala ruangan adalah manajer tingkat

pertama yang bertanggung jawab atas pencapaian tujuan yang ditetapkan

dalam suatu ruang rawat dengan memberdayakan staf perawat dibawah

tanggung jawabnya. Salah satu tugas manajerial kepala ruangan adalah

melakukan pengarahan untuk membimbing bawahan yang mengalami

29

kesulitan dalam melaksanakan tugasnya sehingga kesulitan dalam

pelaksanaan tugas dapat diminimalkan (Nursalam, 2011).

National Institute for Occupational Safety & Health menyebutkan

bahwa kurangnya kontrol dalam tugas (supervise) dari atasan (khususnya

pengawasan dari supervisor, kepala ruangan atau pengawasan dari

manajemen keperawatan yang lebih tinggi) dapat menjadi salah satu

penyebab dan memicu terjadinya stres kerja bagi perawat (NIOSH, 2008).

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Konstantinos dan

Christina (2008) yang menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi stres

dan kepuasan kerja perawat kesehatan mental di antaranya adalah

kepemimpinan klinis, yaitu kurangnya dukungan dari supervisor baik dalam

sikap maupun keterlibatan dalam perawatan pasien. Kurangnya reinforcement

atau support pada staf juga merupakan masalah dalam kepemimpinan klinis

ini yang dapat berakibat stres.

2.2.4. Dampak Stres Kerja

Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun

perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya

gairah kerja, kecemasan tinggi, frustasi dan sebagainya (Rice, 1999 dalam Waluyo,

2015).

Terry Beehr dan John Newman dalam Rice (1999) dalam Waluyo (2015)

menyimpulkan tiga gejala dari stres pada individu, yaitu :

1) Gejala Psikologis

Kecemasan, ketegangan, kebingungan, dan mudah tersinggung, perasaan

frustasi, rasa marah, dan dendam (kebencian), sensitif dan hiperaktivitas,

30

memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi, komunikasi yang tidak

efektif, perasaan terkucil dan terasing, kebosanan dan ketidakpuasan kerja,

kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual dan kehilangan konsentrasi,

kehilangan spontanitas dan kreativitas, menurunnya rasa percaya diri.

2) Gejala Fisiologis

Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan

mengalami penyakit kardiovaskular, meningkatnya sekresi dari hormon stres

(contoh : adrenalin dan nonadrenalin), gangguan gastrointestinal (misalnya

gangguan lambung), meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan,

kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom kelelahan yang

kronis (chronic fatigue syndrome), gangguan pernapasan, gangguan pada

kulit, sakit kepala, berkeringat, sakit pada punggung bagian bawah,

ketegangan otot, rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk resiko tinggi

kemungkinan terkena kanker.

3) Gejala Perilaku

Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan, menurunnya

prestasi (performance) dan produktivitas, kesulitan memberi ide yang kreatif

dan inovatif, meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan,

perilaku sabotase dalam pekerjaan, gangguan tidur, perilaku makan yang

tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan mengarah ke obesitas,

perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan

diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan berkombinasi

dengan tanda-tanda depresi, meningkatnya kecenderungan berperilaku

beresiko tinggi, seperti menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi,

meningkatnya agresivitas, vandalism, dan kriminalitas, menurunnya kualitas

31

hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman, kecenderungan untuk

melakukan bunuh diri.

Bagi perusahaan konsekuensi yang timbul dan bersifat tidak langsung adalah

meningkatnya absensi, menurunnya tingkat produktivitas dan secara psikologis dapat

menurunkan komitmen organisasi hingga turnover (Greenberg & Baron, 1993;

Quick & Quick, 1984; Robbins, 1993 dalam Waluyo, 2015)

Tidak dapat disangkal bahwa stres yang tidak teratasi pasti berpengaruh

terhadap prestasi kerja. Kemampuan mengatasi stres yang dihadapi tidak sama pada

semua orang. Ada orang yang memiliki daya tahan yang tinggi menghadapi stres dan

oleh karenanya mampu mengatasi sendiri stres tersebut. Sebaliknya tidak sedikit

orang yang daya tahan dan kemampuannya menghadapi stres rendah. Stres yang

tidak teratasi dapat berakibat pada apa yang dikenal dengan burnout, yaitu suatu

kondisi mental dan emosional serta kelelahan fisik karena stres yang berlanjut dan

tidak teratasi yang akan berdampak negatif pada prestasi kerja (Siagian, 2015). Stres

mempunyai potensi untuk mendorong atau mengganggu pelaksanaan kerja,

tergantung seberapa besar tingkat stres. Bila tidak ada stres, tantangan kerja juga

tidak ada dan prestasi kerja cenderung menurun tetapi bila stres menjadi terlalu besar

dapat mengganggu pelaksanaan pekerjaan sehingga prestasi kerja akan menurun

(Handoko, 2014).

Perawat yang mengalami stres akan mengalami konflik dalam dirinya,

ketidakmampuannya dalam mengatasi masalah itu bisa digambarkan dengan bolos

dari pekerjaan atau mangkir dan mengambil cuti secara mendadak. Kekerasan dan

pelecehan yang diarahkan pada perawat dari pasien dapat menyebabkan cedera fisik,

mempengaruhi emosional, sehingga akan menyebabkan stres, pasca trauma, kinerja

32

yang buruk, penurunan kepuasan kerja dan penghindaran terhadap pasien

(Konstantinos dan Christina, 2008).

Dampak dari perawat yang mengalami stres adalah tidak masuk kerja,

mengambil cuti yang tidak direncanakan yang hasil akhirnya akan meningkatkan

biaya kesehatan, penurunan produktivitas, penurunan semangat kerja dan penurunan

kualitas perawat pasien. Begitu besar dampak yang ditimbulkan dari stres yang

dialami oleh perawat melalui dari dampak terhadap individu yang dapat

mengakibatkan munculnya penyakit akibat stres, kerugian pada instansi tempat

bekerja, dan bagi konsumen yang dalam hal ini adalah pasien, sehingga akan lebih

baik mencegah atau mengurangi resiko terjadinya stres akibat kerja sehingga perawat

akan mempunyai kehidupan yang lebih sehat, instansi akan memperoleh

produktivitas kerja yang optimal dan pasien konsumen mendapatkan pelayanan yang

berkualitas.

2.2.5. Pengukuran Stres Kerja

Ivancevich, J.M dan Ganster, D.C (2014) mengemukakan beberapa teknik

pengukuran stres yang digolongkan sebagai berikut :

1) Self Report Measure

Mengukur stres kerja dengan menanyakan melalui kuesienor tentang

intensitas pengalaman psikologi, fisiologi dan perubahan fisik yang dialami

dalam peristiwa kehidupan seseorang (live event scale). Hal ini dapat

dilakukan dengan menanyakan seberapa sering individu mengalami situasi

yang menyebabkan stres dan apa yang dirasakannya ketika mengalami

kejadian yang membuat stres.

33

2) Performance Measure

Mengukur stres kerja dengan melihat atau mengobservasi perubahan

perilaku yang ditampilkan seseorang, misalnya perubahan prestasi kerja yang

menurun yang tampak dengan gejala cenderung berbuat salah, cepat lupa,

kurang perhatia terhadap detail dan meningkatkan waktu relaksasi.

3) Physiological Measure

Melihat perubahan yang terjadi pada fisik seperti tekanan darah,

ketegangan otot, bahu, leher pundak dan sebagainnya cara ini dianggap yang

paling tinggi reliabilitasnya namun kelemahannya adalah tergantung pada alat

ukur yang dipakai.

4) Biochemical Measure

Pengukuran stres dengan melihat respon biokimia melalui perubahan

hormon katakolamin dan kortikostreroid setelah pemberian stimulasi. Cara ini

dianggap mempunyai reliabilitas yang paling tinggi, namun kelemahan

adalah jika responden adalah perokok, minum alkohol dan kopi, karena akan

meningkatkan kedua hormon tersebut.

2.3. Kerangka Teori

Penelitian ini menggunakan kerangka teori yang diadaptasi dan

dikembangkan dari berbagai teori mengenai stres kerja. Di tempat kerja terdapat

berbagai faktor penyebab stres kerja yang dibedakan mejadi faktor instrinsik,

ekstrinsik dan individu. Ketika terjadi stres kerja maka akan memperlihatkan

beberapa gejala stres yakni gejala fisik, emosi dan perilaku. Stres yang diakibatkan

oleh pekerjaan dapat diukur menggunakan instrument pengukuran stres kerja yang

terdiri dari self report measure, performance measure, physiological measure, dan

34

biochemical measure sehingga dapat melihat tingkat stres kerja yang dialami yakni

stres ringan, stres sedang, stres berat.

(Sumber : diadaptasi dari Tarwaka (2010),Perry &Potter (2005),Greenberg (2002),

Ivancevich, J.M dan Ganster,D.C (2014),Waluyo (2015),NIOSH (2008) “telah diolah

kembali”)

Gambar 2.1. Kerangka Teori

Faktor intrinsik pekerjaan

Keadaan lingkungan kerja

Beban kerja & rutinitas kerja

Resiko pekerjaan

Faktor ekstrinsik pekerjaan

a. Faktor peran individu dalam

organisasi kerja.

Peran yang ambigu

Konflik peran

Partisipasi yang rendah dalam

pengambilan keputusan

b. Faktor hubungan interpersonal

Hubungan yang kurang baik antara

pekerja, atasan, kolega

c. Faktor pengembangan karier

Promosi berlebihan

Promosi yang kurang

Ketidakpastian pekerjaan

d. Faktor struktur organisasi dan suasana

kerja

Pengawasan atasan

Kebijakan perusahaan

Efektifitas konsultasi yang buruk

Gejala Stres Kerja

Gejala Fisik

Gejala Emosi

Gejala Perilaku

Pengukuran Stres Kerja

Self Report Measure

Performance Measure

Physiological Measure

Biochemical Measure

Stres Kerja

Ringan

Sedang

Berat

Faktor Individual

Karakteristik demografi individu

(Umur, jenis kelamin, pendidikan,

status pernikahan, masa kerja)

Tingkat kecemasan

Toleransi ambiguitas

Pola prilaku tipe A

Masalah keluarga

Krisis

Kesulitan keuangan,dll

35

2.4. Gambaran Tingkat Stres Kerja Perawat dari Berbagai Penelitian

Penelitian tentang tingkat stres kerja perawat IGD dan ruang rawat inap di

RSJ Provinsi Bali belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Penelitian yang

berhubungan yang dapat menunjang penelitian ini antara lain penelitian yang

dilakukan Aiska (2014) yang berjudul “Analisis faktor-faktor yang berpengaruh pada

tingkat stres kerja perawat di RS Jiwa Grhasia Yogyakarta”. Sampel yang diambil

adalah perawat pelaksana dengan menggunakan rancangan crosssectional, analisis

data univariat dan bivariat. Hasilnya adalah sebanyak 60 % perawat mengalami stres

sedang dan faktor yang paling berpengaruh terhadap stres perawat adalah beban

kerja.

Penelitian Ratnaningrum (2012) yang berjudul “Tingkat stres pada perawat

di ruang psikiatri akut Rumah Sakit DR.H.Marzoeki Mahdi Bogor. Sampel penelitian

ini adalah perawat pelaksana di ruang psikiatri akut dengan menggunakan rancangan

deskriptif crossectional. Hasilnya adalah perawat mengalami stres kerja yang rendah

sebanyak 66,6 % dan digambarkan tingkat stres perawat berdasarkan faktor

penyebab stres yang berasal dari aktivitas merawat pasien, hubungan interpersonal,

masalah dengan keluarga pasien, pengawsan atasan dan peran organisasi.

Penelitian Muthmainah (2012) yang berjudul “Faktor-faktor penyebab stres

kerja di ruangan ICU pelayanan jantung terpadu Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta”.

Sampel penelitian ini adalah perawat pelaksana di ruangan ICU pelayanan jantung

terpadu dengan menggunakan rancangan deskriptif crosssectional. Hasilnya adalah

perawat yang mengalami stres kerja ringan sebanyak 60,7% dan yang mengalami

stres kerja sedang sebanyak 39,3 %. Hasilnya juga menggambarkan faktor-faktor

penyebab stres kerja yang berasal dari intrinsik pekerjaan (Beban kerja, rutinitas

pekerjaan dan suasana lingkungan kerja), ekstrinsik pekerjaan (hubungan

36

interpersonal perawat, pengembangan karir, peran dalam organisasi dan pengawasan

atasan), dan faktor individu (Masalah keluarga, masalah ekonomi dan tipe

kepribadian).

Penelitian Ulfah (2011) yang berjudul “Tingkat stres kerja pada perawat di

Unit Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Tahun 2011.

Sampel penelitian ini adalah perawat pelaksana di Unit Rawat Inap Rumah Sakit

Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara dengan rancangan deskriptif cross sectional.

Hasilnya adalah perawat mengalami stres ringan sebanyak 64,1 % dan stres sedang

sebanyak 17,1 %. Hasil juga menggambarkan tingkat stres kerja perawat di Unit

Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara berdasarkan jenis

kelamin, usia perawat, masa kerja, beban kerja, jumlah pasien yang dirawat

perminggu.