bab ii tinjauan pustaka revisi

39
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kecepatan Psikomotor 1. Definisi Kecepatan psikomotorik merupakan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk memproses sebuah stimulus motorik, mempersiapkan respon yang akan diberikan, sampai dengan melaksanakan respon tersebut. Proses psikomotorik membutuhkan koordinasi antara saraf dan otot. Oleh karena itu, para peneliti menganggap bahwa kecepatan psikomotor menggambarkan kualitas pengelolaan informasi sehingga mampu mencerminkan integritas sistem saraf pusat (Departemen Pendidikan Nasional, 2008; Whitbourne, 2011). 2. Aspek-Aspek Kompetensi Pembelajaran Proses penilaian suatu kompetensi pembelajaran pada dasarnya melibatkan tiga aspek penting, yang tediri dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Akan tetapi, ketiga hal tersebut

Upload: edy-ground

Post on 29-Dec-2015

85 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sd

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecepatan Psikomotor

1. Definisi

Kecepatan psikomotorik merupakan jumlah waktu yang dibutuhkan

untuk memproses sebuah stimulus motorik, mempersiapkan respon yang

akan diberikan, sampai dengan melaksanakan respon tersebut. Proses

psikomotorik membutuhkan koordinasi antara saraf dan otot. Oleh karena

itu, para peneliti menganggap bahwa kecepatan psikomotor

menggambarkan kualitas pengelolaan informasi sehingga mampu

mencerminkan integritas sistem saraf pusat (Departemen Pendidikan

Nasional, 2008; Whitbourne, 2011).

2. Aspek-Aspek Kompetensi Pembelajaran

Proses penilaian suatu kompetensi pembelajaran pada dasarnya

melibatkan tiga aspek penting, yang tediri dari aspek kognitif, afektif, dan

psikomotor. Akan tetapi, ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu

sama lain secara tegas (Departemen Pendidikan Nasional, 2008).

Aspek kognitif merupakan suatu aspek yang berhubungan dengan

kemampuan berpikir, yang di dalamnya terdiri pula atas kemampuan

menghafal, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis serta

mengevaluasi. Aspek afektif merupakan aspek yang mengandung watak

perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Aspek psikomotor

merupakan aspek yang behubungan dengan keterampilan memanipulasi

Page 2: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

6

yang membutuhkan keterlibatan otot dan kekuatan fisik sehingga lebih

berorientasi pada gerakan dan menekankan pada reaksi-reaksi fisik. Aspek

psikomotorik meliputi kemampuan fisik seperti kekuatan fisik, kecepatan

gerak, ketelitian dan ketepatan, koordinasi dan keluwesan anggota tubuh

(Departemen Pendidikan Nasional, 2008).

Mardapi (2003) mengatakan bahwa keterampilan psikomotor ada

enam tahap, yaitu: gerakan refleks, gerakan dasar, kemampuan perseptual,

gerakan fisik, gerakan terampil, dan komunikasi nondiskursif. Gerakan

refleks adalah respons motorik atau gerak tanpa sadar yang muncul ketika

bayi lahir. Gerakan dasar adalah gerakan yang mengarah pada

keterampilan komplek yang khusus. Kemampuan perseptual adalah

kombinasi kemampuan kognitif dan motorik atau gerak. Kemampuan fisik

adalah kemampuan untuk mengembangkan gerakan terampil. Gerakan

terampil adalah gerakan yang memerlukan belajar, seperti keterampilan

dalam olah raga. Komunikasi nondiskursif adalah kemampuan

berkomunikasi dengan menggunakan gerakan.

Buttler (1972) membagi hasil belajar psikomotor menjadi tiga,

yaitu: specific responding, motor chaining, dan rule using. Tahapan

specific responding menggambarkan seseorang mampu merespons hal-hal

yang sifatnya fisik, (yang dapat didengar, dilihat, atau diraba), atau

melakukan keterampilan yang sifatnya tunggal, misalnya memegang raket,

memegang bed untuk tenis meja. Seseorang dikatakan sudah mencapai

tahap motor chaining apabila sudah mampu menggabungkan lebih dari

dua keterampilan dasar menjadi satu keterampilan gabungan, misalnya

Page 3: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

7

memukul bola, menggergaji, menggunakan jangka sorong, dan

sebagainya. Tahapan rule using menggambarkan seseorang sudah dapat

menggunakan pengalamannya untuk melakukan keterampilan yang

komplek, misalnya bagaimana memukul bola secara tepat agar dengan

tenaga yang sama hasilnya lebih baik.

Dave (1967) dalam penjelasannya mengatakan bahwa hasil belajar

psikomotor dapat dibedakan menjadi lima tahap, yaitu: imitasi,

manipulasi, presisi, artikulasi, dan naturalisasi. Imitasi adalah kemampuan

melakukan kegiatan-kegiatan sederhana dan sama persis dengan yang

dilihat atau diperhatikan sebelumnya. Misalnya, seseorang mencoba

mengendarai sepeda setelah mengamati orang lain melakukan hal tersebut.

Manipulasi adalah kemampuan melakukan kegiatan sederhana yang belum

pernah dilihat tetapi berdasarkan pada pedoman atau petunjuk saja.

Sebagai contoh, seseorang mampu mengendarai sepeda dengan beberapa

gerakan yang terbatas hanya berdasarkan pada instruksi yang diberikan.

Kemampuan tingkat presisi adalah kemampuan melakukan kegiatan-

kegiatan yang akurat sehingga mampu menghasilkan produk kerja yang

tepat. Sebagai contoh, seseorang mampu mengendarai sepeda dengan jalan

lurus tanpa bergoyang. Kemampuan pada tingkat artikulasi adalah

kemampuan merangkai beberapa gerakan secara berkelanjutan dan

terintegrasi. Sebagai contoh, seseorang mampu mengendarai sepeda

dengan lancar. Kemampuan pada tingkat naturalisasi adalah kemampuan

melakukan gerakan secara wajar dan efisien serta telah menjadikan

gerakan tersebut sebagai bagian dari kebiasaannya. Sebagai contoh,

Page 4: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

8

seseorang dapat mengendarai sepeda dengan baik tanpa berpikir tentang

hal tersebut.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Psikomotor

Terdapat banyak hal yang dapat mempengaruhi kecepatan

psikomotor, antara lain:

a. Usia

Usia subjek menunjukan tingkat kematangan berkaitan dengan

tingkat pengalaman dan belajarnya (latihan). Semakin bertambahnya

usia, kecepatan psikomotor meningkat seiring dengan berkembangnya

fungsi saraf, tulang, dan otot. Akan tetapi, kecepatan psikomotor justru

akan menurun setelah melewati titik maksimum perkembangan fisik,

yaitu sekitar usia 30 tahun (Anindya, 2009).

b. Tingkat pendidikan

Sebuah teori menjelaskan tentang synaptic reserve hypothesis,

dimana orang yang berpendidikan tinggi mempunyai lebih banyak

synaps di otak bila dibandingkan dengan orang yang berpendidikan

rendah. Ketika sinaps tersebut rusak karena ada proses degeneratif,

maka sinaps yang lain akan menggantikan sinaps yang rusak tersebut.

Teori ini berhubungan dengan cognitive reserve hypothesis dimana

orang yang beredukasi memiliki lebih banyak sinaps pada otak dan

mampu memberikan kompenssasi yang baik terhadap hilangnya suatu

kemampuan dengan menggunakan strategi alternatif yang diperoleh

Page 5: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

9

selama pelatihan dalam kegiatan pendidikan (Dash & Villemarette-

Pittman, 2005).

c. Jenis Kelamin

Pria memiliki kecepatan yang sedikit lebih cepat dibandingkan

wanita, tetapi perbedaan ini sangat kecil. Hal ini kemungkinan

disebabkan oleh perbedaan aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dan

perempuan. Laki-laki cenderung memiliki aktivitas yang lebih berat

dan membutuhkan kecepatan yang lebih bila dibandingkan dengan

perempuan (Anindya, 2009).

d. Latihan fisik

Latihan fisik mampu mempengaruhi banyak aspek fungsi

kognitif, psikomotorik, dan memiliki banyak efek terhadap kesehatan

mental secara umum. Selain itu, latihan fisik mampu meningkatkan

fungsi eksekutif, seperti fungsi koordinasi, perencanaan, dan memori.

Akan tetapi, seseorang yang melakukan latihan fisik berat justru akan

menunjukkan penurunan kecepatan psikomotor bila dibandingkan

dengan seseorang yang melakukan latihan fisik sedang (Sibley &

Etnier, 2003; Gligoroska et al., 2010).

e. Asupan Makanan

Konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh dan

kolesterol diketahui mampu meningkatkan resiko penurunan fungsi

kognitif. Sebaliknya, pembatasan konsumsi kalori justru akan

membantu peningkatan kemampuan belajar, neurogenesis, dan kadar

neurotrophin (van Praag, 2009).

Page 6: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

10

4. Pengukuran Kecepatan Psikomotor

Kecepatan psikomotor seseorang dapat dinilai berdasarkan berbagai

macam tes, salah satunya adalah Trail Making Test (TMT) yang

merupakan suatu tes untuk menilai konsep visual dan memori visuomotor.

Awalnya, tes tersebut merupakan bagian dari Army Individual Test Battery

(1994) yang kemudian digabungkan ke dalam tes neuropsikologi di

Halstead-Reitan Battery (Strauss et al., 2006). Trail Making Test

memberikan evaluasi mengenai kecepatan pengolahan informasi,

kemampuan pembacaan sekilas, integrasi fungsi visual dan motorik,

pengenalan dan pengurutan huruf dan angka, serta kemampuan untuk

memelihara pemikiran dua deretan yang berbeda (Gligoroska et al., 2010).

Tes ini memiliki dua bagian, yaitu bagian A dan bagian B. Bagian A

merupakan bagian paling sederhana dari tes tersebut. Bagian ini meminta

partisipan untuk secepat mungkin membuat garis pengubung dari angka 1

sampai dengan 25 dengan pola bertingkat yang dilingkari dan tersebar

dalam selembar kertas. Bagian A dapat menilai pembacaan cepat,

identifikasi, pengenalan angka, pengurutan angka, dan kecepatan motorik.

Bagian B merupakan bagian yang lebih kompleks bila dibandingkan

dengan bagian sebelumnya. Bagian ini mengharuskan partisipan untuk

menggambar garis penghubung angka dan huruf alfabet dalam pola

berselang, yaitu dengan cara menghubungkan antara angka pertama ke

huruf alfabet pertama, kemudian dilanjutkan dengan menghubungkan

pasangan angka dan huruf selanjutnya hingga pasangan terakhir, yaitu

angka 12 dan huruf L (sebagai contoh, 1, A, 2, B, 3, C, dan seterusnya).

Page 7: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

11

Bagian B berhubungan erat dengan pengujian proses mental, fungsi

eksekutif, dan fleksibilitas mental untuk menyelesaikan dua tipe

rangsangan, yaitu angka dan huruf alfabet (Reitan et al., 1992).

Cara penilaian TMT adalah dengan mengukur total waktu yang

digunakan untuk menyelesaikan masing-masing bagiannya secepat

mungkin. Untuk dewasa, skor waktu lebih dari 40 detik untuk bagian A

dan 91 detik untuk bagian B mengindikasikan adanya penurunan fungsi

otak. Penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa skor TMT tergantung

oleh beberapa faktor, yaitu tingkat pendidikan dan usia (Gligoroska et al.,

2010).

B. Latihan Fisik

1. Definisi

Latihan fisik merupakan aktivitas fisik yang terencana, terstruktur

dan berulang, serta bertujuan untuk meningkatkan atau mempertahankan

satu atau beberapa komponen dari kebugaran fisik (World Health

Organization, 2010). Latihan fisik merupakan suatu kegiatan fisik yang

dapat meningkatkan kesehatan jasmani, sebab latihan fisik tidak hanya

melibatkan sistem muskuloskeletal saja, namun juga mengikutsertakan

sistem lain dalam tubuh, seperti sistem kardiovaskuler, sistem respirasi,

sistem endokrin, sistem saraf, dan sebagainya. Aktivitas fisik yang

kurang telah diidentifikasi sebagai faktor resiko mortalitas di dunia dan

menempati urutan ke empat (6%) setelah hipertensi (13%), merokok

(9%) dan glukosa darah tinggi (6%).

Page 8: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

12

2. Manfaat

Apabila seseorang telah melakukan latihan fisik secara teratur

sesuai dengan kebutuhan, maka akan diperoleh beberapa efek positif

terhadap sistem tubuh, antara lain :

a. Sistem saraf dan kesehatan mental

1) Meningkatkan kemampuan kognitif (Winter, et al., 2007;

Tomporowski et al., 2008)

2) Mencegah penurunan memori terkait usia (van Praag, 2008)

3) Memperlambat onset penyakit-penyakit neurodegeneratif (Radak

et al., 2007)

4) Membantu penyembuhan kerusakan otak akibat trauma (van

Praag, 2008)

5) Membantu proses penyembuhan demensia (Woods et al., 2009)

b. Sistem kardiovaskuler

Meningkatkan kerja dan fungsi jantung serta pembuluh darah yang

ditandai dengan :

1) Denyut nadi istirahat menurun

2) Volume sekuncup jantung bertambah

3) Penurunan penimbunan asam laktat

4) Meningkatkan pembuluh darah kolateral

5) Meningkatkan kadar kolesterol HDL

6) Mengurangi aterosklerosis

7) Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik pada penderita

hipertensi (Syatria, 2006).

Page 9: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

13

c. Sistem respirasi

Meningkatkan kemampuan fungsi paru, yang ditandai dengan

peningkatan kapasitas ventilasi paru serta konsumsi oksigen

maksimal (VO2 max) (Maqsalmina, 2007).

d. Sistem endokrin dan metabolik

1) Meningkatkan metabolisme tubuh untuk mencegah terjadinya

obesitas dan mempertahankan berat badan ideal.

2) Memperbaiki resistensi insulin pada penderita diabetes mellitus

serta meningkatkan metabolisme glukosa (Ristow et al., 2009).

e. Sistem muskuloskeletal

1) Meningkatkan kelenturan (fleksibilitas) tubuh, sehingga dapat

membantu mengurangi terjadinya resiko cedera.

2) Meningkatkan kekuatan otot dan kepadatan tulang untuk

pengoptimalan pertumbuhan anak-anak.

3) Pada orang dewasa dapat dimanfaatkan uuk memperkuat massa

tulang, mengurangi nyeri sendi kronis pada daerah-daerah

tertentu serta mencegah terjadinya osteoporosis (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

f. Sistem imunitas

Meningkatkan aktivitas sistem imun terhadap berbagai macam

penyakit melalui peningkatan pengaturan kekebalan tubuh

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006; Woods et al.,

2009).

Page 10: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

14

3. Rekomendasi Global

Latihan fisik akan memiliki manfaat yang maksimal bagi tubuh

apabila seseorang melakukannya secara teratur selama enam minggu

dengan takaran yang sesuai, yaitu meliputi durasi, frekuensi, intensitas

dan tipe (World Health Organization, 2010; Tseng, Gau, & Lou, 2011).

a. Durasi adalah seberapa lama seseorang melakukan latihan fisik.

Secara umum, durasi digambarkan dalam hitungan menit. Penelitian

terdahulu menyatakan bahwa durasi latihan fisik yang efektif untuk

memperoleh manfaat kesehatan adalah 30 – 60 menit setiap kali

latihan (Colcombe et al., 2006; Kwak et al., 2008; Marmeleira et al.,

2009; Tseng, Gau, & Lou, 2011).

b. Frekuensi adalah seberapa sering seseorang melakukan latihan fisik.

Frekuensi digambarkan dalam sesi atau episode. Penelitian terdahulu

menyatakan bahwa frekuensi latihan fisik yang efektif untuk

memperoleh manfaat kesehatan adalah minimal tiga kali per minggu

(Colcombe et al., 2006; Kwak et al., 2008; Marmeleira et al., 2009;

Tseng, Gau, & Lou, 2011).

c. Intensitas adalah seberapa berat upaya seseorang melakukan latihan

fisik. Intensitas latihan fisik dapat ditentukan oleh denyut nadi dan

usia seseorang sehingga secara keseluruhan dapat dibagi menjadi tiga

jenis, yaitu intensitas ringan, sedang dan berat.

1) Intensitas ringan, bila target denyut nadi latihan seseorang kurang

dari 50% dari denyut nadi maksimum.

Denyut nadi maksimum (DNM) : 220 – usia sekarang

Page 11: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

15

Denyut nadi latihan (DNL) : kurang dari 50% × DNM

2) Intensitas sedang, bila target denyut nadi latihan seseorang

berkisar antara 50% sampai dengan 70% dari denyut nadi

maksimum.

Denyut nadi maksimum (DNM) : 220 – usia sekarang

Denyut nadi latihan (DNL) : 50% × DNM sampai dengan

70% × DNM

3) Intensitas berat, bila target denyut nadi latihan seseorang berkisar

antara 70% sampai dengan 85% dari denyut nadi maksimum.

Denyut nadi maksimum (DNM) : 220 – usia sekarang

Denyut nadi latihan (DNL) : 70% × DNM sampai dengan

85% × DNM

Penelitian terdahulu menyatakan bahwa intensitas latihan fisik

yang efektif untuk memperoleh manfaat kesehatan adalah intensitas

sedang dan berat (Colcombe et al., 2006; Kwak et al., 2008;

Marmeleira et al., 2009; Tseng, Gau, & Lou, 2011).

d. Tipe

Terdapat berbagai macam bentuk pembagian jenis latihan fisik.

Salah satu pembagian tersebut adalah berdasarkan konsumsi oksigen

atau sistem energi dominan yang digunakan dalam suatu latihan, yaitu

latihan fisik aerobik dan anaerobik.

a. Latihan fisik aerobik merupakan latihan fisik yang bergantung

terhadap ketersediaan oksigen untuk membantu proses

pembakaran sumber energi sehingga juga akan bergantung

Page 12: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

16

terhadap kerja optimal dari organ-organ tubuh seperti jantung,

paru-paru dan juga pembuluh darah untuk dapat mengangkut

oksigen agar proses pembakaran sumber energi dapat berjalan

dengan sempurna (Irawan, 2007). Latihan fisik ini biasanya

merupakan aktivitas latihan fisik dengan intensitas rendah-sedang

yang dapat dilakukan secara kontinu dalam waktu yang cukup

lama seperti jalan kaki, bersepeda atau juga jogging.

Latihan fisik aerobik diklasifikasikan menjadi 3 kelompok

menurut Heyward (2002), yaitu :

1) Kelompok 1 : Kelompok aktivitas yang memiliki intensitas

relatif konstan dan tidak membutuhkan

keterampilan, misalnya berjalan, jogging,

treadmill, lari, dan bersepeda.

2) Kelompok 2 : Kelompok aktivitas yang memiliki intensitas

konstan atau bervariasi dan membutuhkan

keterampilan, misalnya senam, dansa, dan

renang.

3) Kelompok 3 : Kelompok aktivitas yang memiliki intensitas

bervariasi dan sangat membutuhkan

keterampilan, misalnya sepak bola, basket, voli,

tenis lapangan, dan tenis meja.

b. Latihan fisik anaerobik merupakan latihan fisik dengan intensitas

tinggi yang membutuhkan energi secara cepat dalam waktu yang

singkat namun tidak dapat dilakukan secara kontinu untuk durasi

Page 13: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

17

waktu yang lama (Irawan, 2007). Latihan ini biasanya juga akan

membutuhkan interval istirahat agar ATP dapat diregenerasi

sehingga kegiatannya dapat dilanjutkan kembali. Contoh dari

kegiatan atau jenis latihan fisik yang memiliki aktivitas anaerobik

dominan adalah lari cepat (sprint), push-up, body building,

gimnastik atau juga loncat jauh. Dalam beberapa jenis latihan fisik

beregu atau juga individual akan terdapat pula

gerakan-gerakan/aktivitas sepeti meloncat, mengoper, melempar,

menendang bola, memukul bola atau juga mengejar bola dengan

cepat yang bersifat anaerobik. Oleh sebab itu maka beberapa

cabang latihan fisik seperti sepakbola, bola basket atau juga tenis

lapangan disebutkan merupakan kegiatan latihan fisik dengan

kombinasi antara aktivitas aerobik dan anaerobik.

4. Metabolisme Energi Selama Latihan Fisik

Prinsip seluruh proses metabolisme energi di dalam tubuh adalah

untuk meresintesis molekul ATP, yang prosesnya dapat berjalan secara

aerobik maupun anearobik. Proses hidrolisis ATP yang akan

menghasilkan energi ini dapat dituliskan melalui persamaan reaksi kimia

sederhana sebagai berikut:

ATP + H2O ADP + H+ + Pi -31 kJ per 1 mol ATP

Dalam jaringan otot, hidrolisis 1 mol ATP akan menghasilkan energi

sebesar 31 kJ (7.3 kkal) serta akan menghasilkan produk lain berupa

ADP (adenosine diphospate) dan Pi (inorganik fosfat). Saat melakukan

Page 14: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

18

latihan fisik, terdapat 3 jalur metabolisme energi yang dapat digunakan

oleh tubuh untuk menghasilkan ATP yaitu hidrolisis phosphocreatine

(PCr), glikolisis anaerobik serta glikolisis aerobik.

Kegiatan latihan fisik dengan aktivitas aerobik yang dominan,

metabolisme energi untuk memproduksi ATP (adenosine triphospate)

akan berjalan melalui glikolisis aerobik berupa pembakaran simpanan

karbohidrat, lemak dan sebagian kecil dari pemecahan simpanan protein

yang terdapat di dalam tubuh. Proses metabolisme ketiga sumber energi

ini akan berjalan dengan ketersediaan oksigen (O2) yang diperoleh

melalui proses pernafasan. Lain halnya dengan aktivitas anaerobik yang

membutuhkan energi secara cepat. Aktivitas ini memperoleh energi

melalui hidrolisis phosphocreatine (PCr) serta melalui glikolisis glukosa

secara anaerobik. Proses metabolisme energi secara anaerobik ini dapat

berjalan tanpa ketersediaan oksigen (O2). Proses metabolisme energi

secara anaerobik dapat menghasilkan ATP dengan laju yang lebih cepat

jika dibandingkan dengan metabolisme energi secara aerobik. Sehingga

untuk gerakan-gerakan dalam latihan fisik yang membutuhkan tenaga

yang besar dalam waktu yang singkat, proses metabolisme energi secara

anaerobik dapat menyediakan ATP dengan cepat namun hanya untuk

waktu yang terbatas yaitu hanya sekitar ±90 detik. Walaupun prosesnya

dapat berjalan secara cepat, namun metabolisme energi secara anaerobik

ini hanya menghasilkan molekul ATP yang lebih sedikit jika

dibandingkan dengan metabolisme energi secara aerobik (2 ATP vs 36

ATP per 1 molekul glukosa) (Irawan, 2007).

Page 15: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

19

Proses metabolisme energi secara aerobik juga dikatakan

merupakan proses yang bersih karena selain akan menghasilkan energi,

proses tersebut hanya akan menghasilkan produk samping berupa

karbondioksida (CO2) dan air (H2O). Hal ini berbeda dengan proses

metabolisme secara anaerobik, sebab selain menghasilkan CO2 dan H2O

juga akan menghasilkan produk sampingan berupa asam laktat. Asam

laktat yang terakumulasi dalam tubuh dapat menghambat kontraksi otot

dan menyebabkan rasa nyeri pada otot. Hal inilah yang menyebabkan

mengapa gerakan-gerakan bertenaga saat latihan fisik tidak dapat

dilakukan secara kontinu dalam waktu yang panjang dan harus diselingi

dengan interval istirahat (Irawan, 2007).

Proses metabolisme energi secara aerobik merupakan proses

metabolisme yang membutuhkan kehadiran oksigen (O2) agar prosesnya

dapat berjalan dengan sempurna untuk menghasilkan ATP. Saat latihan

fisik, kedua simpanan energi tubuh yaitu simpanan karbohidrat (glukosa

darah, glikogen otot dan hati) serta simpanan lemak dalam bentuk

trigeliserida akan memberikan kontribusi terhadap laju produksi energi

secara aerobik di dalam tubuh. Kedua simpanan energi ini dapat

memberikan jumlah kontribusi yang berbeda tergantung pada intensitas

latihan fisik yang dilakukan (Irawan, 2007).

Page 16: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

LEMAK KARBOHIDRAT PROTEIN

Asam Lemak dan Gliserol

Glikogen / Glukosa Asam Amino

GlikolisisDeaminasi

atau Transaminasi

Asam Piruvat

Asetil-KoA

Asam Laktat

ß-oksidasi

Siklus Asam Sitrat

20

Gambar 2.1 Metabolisme energi secara aerobik

Secara singkat proses metabolisme energi secara aerobik seperti

yang ditunjukan pada gambar 2.1. Berdasarkan gambar tersebut dapat

dilihat bahwa untuk meregenerasi ATP, akan digunakan tiga simpanan

energi tubuh yaitu simpanan karbohidrat (glukosa,glikogen), lemak dan

juga protein. Di antara ketiganya, simpanan karbohidrat dan lemak

merupakan sumber energi utama saat melakukan latihan fisik (Irawan,

2007).

Page 17: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

21

5. Respon Kardiovaskuler pada Orang yang Melakukan Latihan fisik

Selama latihan fisik berlangsung, terjadi berbagai metabolisme di

dalam organ-organ tubuh. Semakin besar metabolisme dalam suatu organ,

maka semakin besar kebutuhan darahnya (Guyton & Hall, 2007). Hal ini

akan dikompensasi jantung dengan terjadinya perubahan pada sistem

kardiovaskuler berupa peningkatan curah jantung dan redistribusi darah

dari organ yang kurang aktif ke organ yang aktif. Peningkatan curah

jantung ini dilakukan dengan meningkatkan isi sekuncup dan denyut

jantung (Elly, 2006). Isi sekuncup akan meningkat seiring dengan

peningkatan aliran balik vena melalui mekanisme Frank-Starling dan

peningkatan kontraktilitas miokardium yang distimulasi oleh saraf

simpatis. Peningkatan denyut jantung selama melakukan latihan fisik

terjadi akibat peningkatan aktivitas simpatis dan penurunan aktivitas

parasimpatis pada nodus sinoatrial (SA) (Sherwood, 2001).

Latihan fisik yang teratur selain menyebabkan hipertrofi pada otot

rangka ternyata juga menyebabkan hipertrofi pada miokardium sehingga

ruang jantung juga akan membesar. Hal tersebut akan menyebabkan

peningkatan kapasitas pompa jantung yang mempengaruhi peningkatan

isi sekuncup. Walaupun jantung pada orang yang terlatih lebih besar dari

orang normal, curah jantungnya selama istirahat ternyata hampir sama

dengan orang normal. Curah jantung seseorang setara dengan isi

sekuncup dikalikan dengan denyut jantung. Oleh karena itu, untuk

memperoleh curah jantung yang sama dengan orang normal pada

peningkatan isi sekuncup, maka frekuensi denyut nadi istirahat pada

Page 18: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

22

orang yang terlatih akan menjadi lebih lambat bila dibandingkan dengan

orang normal. Hal inilah yang biasa disebut dengan efisiensi kerja jantung

oleh miokardium (Guyton & Hall, 2007). Perubahan denyut nadi sering

dipakai sebagai dasar untuk physical fitness test, dimana perubahan yang

sedikit menunjukkan baiknya pengaturan sistem sirkulasi, sedangkan

peningkatan yang sangat signifikan menjadi pertanda kurang baiknya

penyesuaian dalam sistem ini (Price & Wilson, 1995).

C. Masa Dewasa Muda

1. Definisi

Dewasa (adult) berasal dari bahasa Latin adolescene – adolescere

yang memiliki arti “tumbuh menjadi kedewasaan”. Istilah adult sendiri

berasal dari bentuk lampau partisipel dari kata kerja adultus yang

mempunyari arti “telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang

sempurna” atau “telah menjadi dewasa”. Berdasarkan istilah-istilah

tersebut, dapat pula disimpulkan bahwa orang dewasa adalah individu

yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima

kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya

(Hurlock, 1999).

Masa dewasa dini atau muda dimulai pada usia 18 tahun sampai

sekitar 40 tahun, saat terjadi perubahan-perubahan dari sisi fisik dan

psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif

(Hurlock, 1999).

Page 19: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

23

2. Perkembangan Psikomotor Pada Masa Dewasa Muda

Masa dewasa muda merupakan periode adaptasi individu terhadap

pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Tidak hanya

itu, orang dewasa muda diharapkan mulai memainkan peran baru seperti

peran suami/isteri, orang tua, dan pencari nafkah. Proses adaptasi yang

harus dijalani oleh orang dewasa muda menjadi periode yang terberat

dari rentang hidup seseorang. Selain itu, sesorang pada usia dewasa muda

memiliki tugas perkembangan,seperti belajar, bekerja dan membina

hubungan sosial yang sehat. Kegagalan dalam menguasai tugas-tugas

perkembangan ini menyebabkan kegagalan dalam memenuhi harapan

sosial, yang dalam beberapa aspek dapat mempengaruhi penyesuaian

pribadi dan sosial individu (Hurlock, 1999).

Masa dewasa muda merupakan masa puncak dari perkembangan

fisik seorang manusia sekaligus permulaan penurunan kemampuan

tersebut. Seseorang yang berusia sekitar 19-26 tahun mengalami puncak

pertumbuhan tulang dan otot. Selain itu, ketahanan fisik, kesehatan dan

kekuatan umumnya dalam kondisi terbaik. Kecepatan respons dan

kemampuan belajar keterampilan motorik yang baru mencapai tingkat

maksimal cenderung menyebabkan seseorang pada usia dewasa muda

mengerjakan sesuatu secara berlebihan secara fisik untuk mencapai

kemapanan kerja atau finansial. Akan tetapi, sekitar usia 30 tahun, mulai

muncul tanda-tanda penurunan kekuatan dan kesehatan otot yang akan

mempengaruhi aktivitas individu (Santrock, 2002).

Page 20: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

24

D. Hubungan Antara Latihan fisik Dengan Kecepatan Psikomotor

Berdasarkan penelitian terdahulu, terdapat beberapa mekanisme yang

memediasi efek latihan fisik terhadap otak.

1. Neurogenesis

Secara alamiah, manusia dan mamalia memproduksi neuron-

neuron baru di bulbus olfaktorius dan gyrus dentatus pada hipokampus

otak selama hidupnya (van Praag et al., 2009). Proses produksi neuron-

neuron baru memiliki peranan penting dalam proses pembelajaran dan

memori yang berhubungan dengan fungsi kognitif. Sedangkan, ablasi sel-

sel baru justru akan menyebabkan defisit pada memori spasial (Imayoshi

et al., 2008). Penelitian pada hewan rodent menunjukkan adanya efek

latihan fisik terhadap peningkatan jumlah lipatan gyrus dentatus pada

hipokampus yang mengindikasikan adanya peningkatan produksi dan

kelangsungan hidup neuron-neuron baru (van Praag, 2008). Hal tersebut

mampu mempengaruhi peningkatan kecepatan psikomotor melalui

keterlibatan proses kognitif.

2. Plastisitas sinaps

Latihan fisik memberikan efek terhadap perubahan struktur di

otak berupa peningkatan plastisitas sinaps. Penelitian terhadap berbagai

hewan coba menggambarkan adanya penambahan jaringan di gyrus

dentatus yang berdampak pada peningkatan plastisitas sinaps (van Praag,

2009). Plastisitas sinaps akan mampu mempengaruhi fungsi kognitif

yang mengarah pada proses psikomotorik seseorang.

Page 21: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

25

3. Peningkatan aliran darah otak, angiogenesis, dan faktor pertumbuhan

vaskuler

Struktur di otak yang juga mendapatkan pengaruh latihan fisik

adalah pembuluh darah. Selama latihan fisik, metabolisme di otak akan

meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan oksigen untuk

metabolisme aerobik, sehingga akan terjadi peningkatan aliran darah otak

(Secher, Seifert, & Van Lieshout, 2008; Ogoh & Ainslie, 2009).

Pergerakan yang dinamis berhubungan erat dengan aktivasi kortikal dan

peningkatan aliran darah ke area motorik tambahan dan area

sensorimotor primer, sehingga mampu melatih proses koordinasi dalam

pembentukan suatu gerakan pada kemampuan psikomotorik seseorang

(Orgogozo & Larsen, 1979).

Tidak hanya itu, latihan fisik juga mampu meningkatkan

proliferasi sel-sel endotel dan angiogenesis pembuluh darah otak. Efek

angiogenik dan neurogenik akibat latihan fisik diperankan oleh faktor-

faktor pertumbuhan seperti insulin-like growth factor (IGF) dan vascular

endothelial growth factor (VEGF). Beberapa jenis latihan fisik seperti

berlari, diketahui mampu menyebabkan peningkatan ekspresi gen IGF di

hipokampus serta peningkatan kadar IGF dan VEGF serum (Carro et al.,

2000; Fabel et al., 2003; Cao et al., 2004). Selain efeknya pada otot,

tulang dan hati, IGF-1 juga telah diketahui memiliki peranan dalam

sistem saraf pusat, antara lain mendukung proses regenerasi selama masa

perkembangan, menjaga plastisitas sinaps pada dewasa, memperbaiki

kognisi setelah trauma otak, serta mengurangi defisit kognisi yang

Page 22: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

26

berhubungan dengan proses degeneratif (Pinilla et al., 2008). Fungsi

kognitif yang meningkat tersebut turut meningkatkan kecepatan

psikomotorik melalui proses koordinasi.

4. Neurotransmitter dan faktor pertumbuhan

Neurotransmitter merupakan zat kimia yang berkomunikasi dan

memberi informasi dari satu sel ke sel yang lain. Saat ini terdapat lebih

dari 100 berbagai neurotransmitter yang telah dikenali. Dari penelitian

ditemukan bahwa neurotransmitter yang ditemukan berbeda dalam

bagian atau daerah otak yang berbeda. Aktivitas latihan fisik ternyata

mampu meningkatkan sistem glutamatergik yang berperan utama dalam

regulasi psikomotor. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peningkatan

salah satu reseptor glutamat, yaitu reseptor NMDA (N-methyl-D-

aspartate) subtipe NR2A dan NR2B yang banyak ditemukan pada

neuron-neuron imatur hasil neurogenesis. Selain itu, peningkatan

penarikan reseptor AMPA (α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-

isoxazolepropionic acid) ke sinaps juga terjadi selama latihan fisik

berlangsung. Reseptor tersebut merupakan salah satu reseptor glutamat

tipe non-NMDA yang memediasi percepatan transmisi sinaps pada

sistem saraf pusat (van Praag, 2009).

Aktivitas fisik juga diketahui mampu mengaktivasi sistem

monoamin dan mempercepat penyembuhan depresi. Efek antidepresan

dari latihan fisik ternyata sama potensialnya dengan efek pengobatan

serotonergik. Latihan fisik mampu meningkatkan tryptophan hydroxylase

yang merupakan salah satu enzim yang berfungsi mensintesis serotonin

Page 23: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

27

pada raphe nuclei di batang otak (Chaouloff, 1989). Raphe nuclei

tersebut berfungsi melepaskan serotonin otak yang memiliki berbagai

fungsi, termasuk regulasi suasana hati, selera makan, tidur, kontraksi

otot, dan beberapa fungsi kognitif, termasuk memori dan belajar. Gyrus

dentatus pada hipokampus mengandung banyak sekali reseptor 5-

hydroxytryptamine 5-HT1A yang menerima input serotonergik dari raphe

nuclei yang memicu proliferasi sel dalam proses neurogenesis (Radley &

Jacobs, 2002).

Aktivasi reseptor serotonin meningkatkan ekspresi BDNF (Brain

Derived Neurotrophic Factor) pada sel-sel hipokampus. BDNF sebagai

metabotrophin berperan dalam proses metabolisme di hipokampus

dimana metabolisme yang terjadi tersebut dapat menjadi mediator utama

dari neurogenesis, pertumbuhan neuron, ketahanan neuron, efikasi

sinaptik, penghubungan neuron dan plastisitas sinaps (Pinilla et al.,

2008). Hal tersebut nantinya akan mempengaruhi kinerja neuron yang

bertanggung jawab atas kerja otot dalam kemampuan psikomotorik.

5. Mekanisme epigenetik

Mekanisme epigenetik terdiri atas modifikasi DNA post-

translational dan protein histone dalam struktur kromatin. Modifikasi

kromatin spesifik tersebut diduga terlibat dalam respon ekspresi gen yang

mengarah pada penyesuaian neuron-neuron baik secara fisiologi maupun

fungsional yang nantinya akan berperan dalam proses kognisi terhadap

kejadian-kejadian yang penuh tekanan. Berdasarkan penelitian oleh

Collins, et al (2009), tikus yang melakukan latihan fisik dapat mengambil

Page 24: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

Kecepatan Psikomotor

Usia Jenis Kelamin

Asupan Makanan Tingkat Pendidikan

28

strategi penyelesaian masalah yang berbeda dibandingkan dengan hewan

kontrol yang tidak melakukan latihan fisik. Hal tersebut menunjukkan

bahwa tikus yang melakukan latihan fisik memiliki peningkatan

kemampuan penyelesaian masalah psikologis terhadap tantangan yang

penuh tekanan. Peningkatan kemampuan beradaptasi tersebut diduga

merupakan konsekuensi dari peningkatan kemampuan kognitif dan

penurunan tingkat kecemasan pada subyek yang melakukan latihan fisik.

Kemampuan adaptasi tersebut berpengaruh pada kemampuan

pengelolaan informasi serta integrasi fungsi visual dan motorik yang

berperan dalam proses psikomotorik individu.

E. Kerangka Teori

Gambar 2.2 Kerangka teori

Latihan Fisik

D urasi

Sistem saraf

dan

kesehatan mental

Neurogenesis

Plastisitas sinaps

Angiogenesis

Neurotransmitter

Mekanisme epigenetik

Sistem respirasi

Sistem kardiovaskuler

Sistem endokrin dan metabolisme

Sistem muskulo skeletal

Sistem imunologi

Frekuensi T ipe Intensitas

Page 25: Bab II Tinjauan Pustaka Revisi

29

F. Kerangka Konsep

Gambar 2.3 Kerangka konsep

G. Hipotesis

Terdapat hubungan antara latihan fisik dengan kecepatan psikomotor

pada masa dewasa muda.

Kecepatan PsikomotorLatihan fisik :

a. Terlatihb. Tidak Terlatih