bab ii tinjauan pustaka profil wilayaheprints.mercubuana-yogya.ac.id/1065/2/bab ii.pdf · profil...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Profil Wilayah
Kecamatan Sumbergempol merupakan salah satu kecamatan yang ada
dibagian timur Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur. Luas Wilayah
Kecamatan Sumbergempol adalah 39,10 km2, dengan batas - batasnya yaitu
sebelah utara adalah Kecamatan Ngantru, sebelah timur Kecamatan Ngunut
sebelah selatan Kecamatan Kalidawir dan sebelah barat adalah Kecamatan
Boyolangu dan Kecamatan Kedungwaru.
Data kependudukan merupakan salah satu informasi yang diperlukan
dalam proses pembangunan. Penduduk Kecamatan Sumbergempol akhir tahun
2015 sebanyak 66.256 jiwa, yang terbagi atas laki-laki 31.776 jiwa dan
perempuan 34.480 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk rata-rata 1.694
jiwa/km2. Desa yang mempunyai jumlah penduduk terbanyak yaitu desa
Sumberdadi sebesar 62.369 jiwa, yang paling sedikit desa Sambidoplang
sebanyak 1.850 jiwa. Tingkat pemerataan penduduk belum terjadi di
Kecamatan Sumbergempol.
Pendidikan merupakan salah satu aspek untuk meningkatkan kualitas
SDM. Keberhasilan bidang pendidikan ditentukan oleh banyak faktor antara
lain, fasilitas pendidikan dan program - program pemerintah yang terkait
dengan pendidikan. Fasilitas pendidikan yang berada di wilayah kecamatan
Sumbergempol antara lain 27 sekolah Taman Kanak - kanak dengan jumlah
murid 898 orang yang dibimbing oleh 129 guru. Untuk pendidikan dasar ada 3
6
Sekolah Dasar Swasta dengan total murid sebanyak 5.024 orang dengan
jumlah guru 443 orang guru. Selain itu juga terdapat 8 sekolah Madrasah
Ibtidaiah dengan murid 1.272 orang dan 89 guru. Di kecamatan ini juga
tedapat 2 Sekolah Menengah Pertama Negeri, 2 Sekolah Menengah Pertama
Swasta, 3 Madrasah Tsanawiyah Swasta dan 3 Madrasah Aliyah Swasta
(Anonimus, 2016).
Kecamatan Sumbergempol merupakan salah satu kecamatan di
Kabupaten Tulungagung yang mempunyai potensi di bidang pertanian. Pada
tahun 2016, luas panen tanaman padi seluas 2490 Ha dengan produksi 66
Kw/Ha atau 17.012 Ton, luas panen tanaman jagung seluas 723 Ha dengan
produksi 64 Kw/Ha atau 4627 Ton, luas panen ketela pohon seluas 3 Ha
dengan produksi 1.75 Kw/Ha atau 52 Ton, luas panen kedelai seluas 144 Ha
dengan produksi 32 Kw/Ha atau 473 Ton dan luas panen kacang tanah seluas
19 Ha dengan produksi 23 Kw/Ha atau 44 Ton.
Untuk sub sektor peternakan di kecamatan ini terdapat 4.762 peternak
sapi dengan populasi sapi mencapai 11.796 ekor dan 3.242 orang peternak
kambing dengan populasi 10.694 ekor kambing. Jika dilihat perbandingan
jumlah peternak dan ternak yang diusahakan adalah 1 : 3 (Anonimus, 2016).
Sejarah Dan Perkembangan Ternak Sapi Potong
Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu,
tenaga kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50%
kebutuhan daging di dunia, 95% kebutuhan susu dan 85% kebutuhan kulit.
7
Sapi berasal dari famili bovidae seperti halnya bison, banteng, kerbau
(bubalus), kerbau Afrika (syncherus), dan anoa (Savitri, 2013).
Domestikasi sapi mulai dilakukan sekitar 400 tahun SM. Sapi
diperkirakan berasal dari Asia Tengah, kemudian menyebar ke Eropa, Afrika
dan seluruh wilayah Asia. Menjelang akhir abad ke-19, sapi Ongole dari
India dimasukkan ke pulau Sumba dan sejak saat itu pulau tersebut dijadikan
tempat pembiakan sapi Ongole murni.
Secara garis besar, bangsa-bangsa sapi (bos) yang terdapat didunia ada
dua, yaitu kelompok sapi zebu (bos indicus) atau jenis sapi yang berpunuk,
yang berasal dan tersebar di daerah tropis serta kelompok bos primigenius
sapi tanpa punuk, yang tersebar di daerah sub tropis atau dikenal bos taurus
(Savitri, 2013).
Seiring perkembangan teknologi sampai sekarang diperkirakan
terdapat lebih dari 300 bangsa sapi potong. Klasifikasi sapi secara zoologis
adalah Phylum : Chordata ; Clas : Mamalia ; Ordo : Artiodactyla ; Sub Ordo
: Ruminansia ; Family : Bovidae ; Genus : Bos dan Species : Bos Taurus dan
Bos indicus (Savitri, 2013).
Dalam menyediakan kebutuhan daging sapi secara nasional. Strategi
dan implementasi pola pengembangan sapi potong secara metodologi harus
memperhatikan karakteristik sistem produksi (Devendra, 2007; Sodiq dan
Setianto, 2007; King, 1997). Faktor kunci pengembangan peternakan sapi
potong adalah perbaikan sistem produksi yang telah ada (Sodiq dan Setianto,
8
2005a) berbasis kelembagaan kelompok yang memberdayakan ekonomi
peternak (Sodiq dan Setianto, 2005b).
Budidaya menurut bahasa peternakan dapat diartikan sebagai sektor
produksi hewan ternak. Aktivitas budidaya ternak dibutuhkan manajemen
pemeliharaan yang baik. Selain itu, ternak juga menjadi sumber pendapatan
petani ternak, lapangan kerja, tenaga kerja dan sumber devisa yang potensial
serta perbaikan kualitas tanah. Sapi potong mempunyai fungsi sosial yang
penting dimasyarakat sehingga merupakan komoditas yang sangat penting
untuk dikembangkan (Sumadi et al., 2004). Menurut Rustijarno dan
Sudaryanto (2006), kebijakan pengembangan ternak sapi potong ditempuh
melalui dua jalur. Pertama, ekstensifikasi usaha ternak sapi potong dengan
menitikberatkan pada peningkatan populasi ternak yang didukung oleh
pengadaan dan peningkatan mutu bibit serta penanggulangan parasit ternak,
peningkatan penyuluhan, bantuan perkreditan, pengadaan dan peningkatan
mutu pakan atau hijauan dan pemasaran. Kedua, intensifikasi atau
peningkatan produksi per satuan ternak melalui penggunaan bibit unggul,
pakan ternak, penerapan manajemen yang baik.
Bangsa – bangsa Sapi Potong
A. Bangsa Sapi Potong Tropis
Bangsa sapi potong tropis adalah bangsa sapi potong yang berasal dari
belahan dunia beriklim tropis. Bos indicus (sapi bangsa Zebu) merupakan
bangsa sapi potong berpunuk dari daerah tropis di Asia yang kita kenal
sekarang ini. Bangsa sapi potong tropis merupakan salah satu bangsa yang
9
menjadi bibit sapi potong. Bibit ternak merupakan salah satu faktor yang
harus diperhatikan dalam usaha peternakan sapi potong, selain faktor pakan,
perkandangan, penyakit, limbah dan penanganan panen (Sudarmono dan
Sugeng, 2008).
1. Sapi Bali
Sapi Bali adalah bangsa sapi potong lokal asli Indonesia yang
terbentuk dari banteng (bos banteng) yang telah dijinakkan berabad-abad
yang lalu. Sapi Bali mempunyai angka reproduksi yang tinggi, tingkat
adaptasi yang sangat baik terhadap kondisi pakan yang jelek dan lingkungan
yang panas serta mempunyai presentase karkas dan kualitas daging yang
baik. Kelemahan sapi Bali adalah rentan terhadap penyakit jembrana serta
tingkat kematian pedet pra sapih yang mencapai 15 - 20 %.
2. Sapi Ongole
Sapi Ongole merupakan sapi potong impor yang berasal dari India,
dibudidayakan di Indonesia secara murni di pulau Sumba, sapi ini dikenal
pula sebagai sapi Sumba Ongole. Pada perkembangannya selain di pulau
Sumba, saat ini sapi Ongole telah tersebar di Sulawesi Utara, Kalimantan dan
Jawa. Di pulau Jawa, sapi ini dikenal sebagai sapi Benggala. Bangsa sapi
yang dikenal di Eropa sebagai sapi Zebu ini memiliki keunggulan dan
performa produksi sebagai berikut : Pertambahan Berat Badan (PBB) bisa
mencapai 0,47 kg – 0,81 kg per hari, Berat Badan jantan dewasa rata-rata 550
kg – 600 kg dan betina 350 kg – 450 kg, tahan terhadap panas dan parasit,
10
daya hidup pedet sangat baik, daya produksi yang tetap baik meskipun dalam
kondisi yang buruk, dapat dimanfaatkan juga sebagai sapi pekerja dan jinak.
3. Sapi Peranakan Ongole
Sapi Peranakan Ongole atau sapi PO adalah sapi potong hasil grading-
up antara sapi lokal setempat dengan sapi Ongole. Pada perkembangannya
sapi ini banyak ditemukan di Grobogan, Wonogiri dan Gunung Kidul (Jawa
Tengah), di Magetan, Nganjuk dan Bojonegoro (Jawa Timur), serta di Aceh
dan Tapanuli Selatan. Bangsa sapi yang diyakini populasinya jauh lebih
banyak dibandingkan dengan sapi lokal lain ini memiliki keunggulan dan
performa produksi sebagai berikut : – BB dewasa mencapai 584 kg – 600 kg,
masa fattening 3 bulan – 5 bulan, PBB 0,8 kg – 1 kg, persentase karkas 45%,
tahan terhadap panas dan parasit, mampu berproduksi dengan baik meskipun
dalam kondisi yang buruk, daya hidup pedet sangat baik, dapat dimanfaatkan
juga sebagai sapi pekerja dan jinak.
4. Sapi Brahman
Sapi Brahman (sapi pedaging) impor, berasal dari India dan
berkembang dengan sangat baik di Amerika Serikat, sehingga dikenal pula
sebagai sapi American Brahman. Pada perkembangannya sapi Brahman telah
tersebar di daerah tropis dan subtropis termasuk Australia dan Indonesia.
Bangsa sapi yang termasuk sapi Zebu ini memiliki keunggulan dan performa
produksi sebagai berikut : masa fattening 3 bulan – 4 bulan, PBB bisa
mencapai 0,83 kg – 1,5 kg per hari, bahkan ada juga yang menyebut dapat
1,5 kg – 2 kg per hari, BB jantan dewasa mencapai 800 kg dan betina 550
11
kg, persentase karkas 48,6% – 54,2%, tingkat fertilitas yang tinggi, mampu
tumbuh sama baiknya di daerah tropis dan subtropis, mampu tumbuh cepat di
daerah yang kurang subur dengan pakan yang sederhana, tahan terhadap
panas dan parasit, bobot pasca sapih dan daya hidup pedet yang baik.
B. Bangsa Sapi Potong Sub Tropis
Bangsa sapi potong subtropis (bos taurus) adalah bangsa sapi potong
yang berasal dari kawasan beriklim subtropis.
1. Sapi Shorthorn
Sapi Shorthorn adalah sapi potong impor yang berasal dari Inggris,
namun berkembang dengan baik di Amerika Serikat sejak tahun 1873.
Bangsa sapi yang termasuk sapi terberat di antara bangsa sapi yang berasal
dari Inggris ini dapat mencapai bobot badan dewasa rata-rata 1.000 kg pada
jantan dan 750 kg – 770 kg pada betina. Sapi Shorthorn merupakan salah satu
bangsa sapi potong subtropis yang digunakan peternak Indonesia sebagai
bibit sapi potong.
2. Sapi Hereford
Sapi Hereford dikenal sebagai white face cattle adalah sapi potong
impor yang berasal dari Inggris, namun berkembang dengan baik di Amerika
Serikat sejak tahun 1840. Dalam perkembangannya, sapi Hereford banyak
dikembangkan di Amerika Latin, Kanada, Australia, Selandia Baru dan
Afrika Selatan. Bangsa sapi yang sangat baik jika digemukan dengan sistem
pastur atau padang penggembalaan karena cara merumputnya yang baik ini
memiliki keunggulan dan performa produksi sebagai berikut : 1) Mutu
12
daging sangat baik 2) Daya adaptasi tinggi terhadap suhu tinggi dan suhu
rendah 3) Pakan sederhana 4) BB jantan dewasa rata-rata 850 kg dan 650 kg
pada betina.
3. Sapi Charolais
Sapi Charolais adalah sapi potong import yang berasal dari Perancis,
namun berkembang dengan baik di Amerika Serikat. Bangsa sapi yang
didatangkan ke Amerika Serikat terutama untuk disilangkan dengan sapi
Brahman dan sapi lainnya ini memiliki bobot badan dewasa rata-rata 1.000
kg pada jantan dan 750 kg pada betina.
4. Sapi Aberdeen Angus
Sapi ini termasuk kedalam sapi potong dengan bentuk tubuh yang
panjang dan kompak, karkasnya menghasilkan daging yang sangat baik
mutunya dan terkenal terdapat marbling atau penyebaran lemak dalam
daging. Sapi Aberdeen Angus adalah sapi potong impor yang berasal dari
Skotlandia, namun berkembang dengan baik di Amerika Serikat sejak tahun
1873. Bangsa sapi potong ini didatangkan ke Indonesia sejak tahun 1973,
dengan memiliki keunggulan dan performa produksi sebagai berikut : 1)
Pertumbuhan cepat dan serasi 2) Mampu tumbuh dengan pakan yang
sederhana 3) Cepat mencapai dewasa kelamin (masak dini) 4) Karkas
bermutu tinggi dengan persentase yang tinggi jika dipotong pada umur 2,5
tahun 5) Daging tebal dan empuk pada umur 18 bulan 6) bobot badan dewasa
rata - rata 900 kg pada jantan dan 700 kg pada betina.
13
5. Sapi Simmental
Bangsa sapi simmental ini berasal dari negara Switzerland dan
merupakan salah satu bangsa sapi yang paling terkenal di Eropa, dengan ciri-
ciri sebagai berikut : 1) Sapi simmental ini berwarna merah dan bervariasi
mulai dari merah gelap sampai hampir kuning, totol-totol serta mukanya
berwarna putih. 2) Bentuk badan dari sapi simmental ini panjang, padat dan
kompak. 3) Sapi ini terkenal karena memiliki kemampuan menyusui anaknya
dengan baik serta pertumbuahan yang cepat dengan penimbunan lemak di
bawah kulit rendah. 4) Tergolong sapi yang berukuran berat, baik pada saat
kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa.dengan pertumbuhan
yang baik. 5) Berat badan dapat mencapai 800 kg untuk sapi yang betina
sedang untuk sapi yang jantan dapat mencapai 1150 kg. 6) Bangsa sapi
simmental ini di Indonesia dikembangkan di daerah Kabupaten Batang dan
hasil silangannya (keturunannya) memiliki ADG yang dapat mencapai
sebesar 1,0 kg/hari.
6. Sapi Limousin
Sapi Limousin dikembangkan di Perancis. Sapi ini digunakan sebagai
tenaga kerja dan sebagai sapi pedaging. Warna bulu merah coklat / coklat
hitam, kecuali pada ambingnya. Pada jantan tanduknya mencuat keluar dan
sedikit melengkung. Sapi ini termasuk sapi potong berkualitas baik, bentuk
tubuhnya panjang dan tingkat pertumbuhannya tinggi. Sapi Limousin
mempunyai perototan yang lebih baik dibandingkan Sapi Simmental. Secara
genetik Sapi Limousin berasal dari wilayah beriklim dingin, tipe besar,
14
volume rumen yang besar, voluntary intake (kemampuan menambah
konsumsi di luar kebutuhan yang sebenarnya) yang tinggi dan pertumbuhan
yang cepat, sehingga menuntut tata laksana pemeliharaan lebih teratur. Sapi
jenis limousin ini merupakan salah satu yang merajai pasar - pasar sapi di
Indonesia dan merupakan sapi primadona untuk penggemukan, karena
perkembangan tubuhnya termasuk cepat, bobot badannya bisa sampai 1,1
kg/hari saat masa pertumbuhannya (Khairdin, 2012).
Potensi Ternak Sapi Potong
Potensi sapi potong lokal sebagai penghasil daging belum
dimanfaatkan secara optimal melalui perbaikan manajemen pemeliharaan.
Sapi potong lokal memiliki beberapa kelebihan, yaitu daya adaptasi tinggi
terhadap lingkungan setempat, mampu memanfaatkan pakan berkualitas
rendah, dan mempunyai daya reproduksi yang baik (Suryana, 2009). Menurut
Priyanto (2011), kebutuhan akan daging sapi di Indonesia menunjukkan
kenaikan yang meningkat setiap tahunnya, demikian pula impor terus
bertambah dengan laju yang semakin tinggi, baik impor daging maupun
impor sapi bakalan. Kondisi yang demikian menuntut pemerintah untuk
segera menerapkan suatu pengembangan peternakan sapi potong nasional
untuk mengurangi ketergantungan pada impor, dan secara bertahap serta
berkelanjutan mampu berswasembada.
Beternak sapi potong merupakan kegiatan yang sudah tidak asing lagi
bagi masyarakat peternak di Indonesia. Usaha peternakan sapi ini sudah
dilakukan secara turun - temurun, namun masih sebagai usaha sampingan
15
yang dikelola secara tradisional dan bersifat ekstensif. Potensi
pengembangan ternak sapi di daerah - daerah masih cukup besar, topografi
yang mendukung, juga lahan kosong masih tersedia cukup luas atau dapat
pula memanfaatkan areal perkebunan yang banyak dikelola peternak sebagai
tempat penggembalaan dan sumber pakan ternak sapi (Alam et al., 2014).
Sistem Pemeliharaan Ternak Sapi Potong
Sistem pemeliharaan sapi potong dapat dibedakan menjadi 3, yaitu
sistem pemeliharaan ekstensif, semi intensif dan intensif. Sistem ekstensif
semua aktivitasnya dilakukan di padang penggembalaan yang sama. Sistem
semi intensif adalah memelihara sapi untuk digemukkan dengan cara
digembalakan dan pakan disediakan oleh peternak, atau gabungan dari sistem
ekstensif dan intensif. Sementara sistem intensif adalah sapi-sapi
dikandangkan dan seluruh pakan disediakan oleh peternak (Susilorini, 2008).
Perkandangan
Kandang dapat dibuat dalam bentuk ganda atau tunggal, tergantung
dari jumlah sapi yang dimiliki. Pada kandang tipe tunggal, penempatan sapi
dilakukan pada satu baris atau satu jajaran, sementara kandang yang bertipe
ganda penempatannya dilakukan pada dua jajaran yang saling berhadapan
atau saling bertolak belakang. Diantara kedua jajaran tersebut biasanya
dibuat jalur untuk jalan. Pembuatan kandang untuk tujuan penggemukan
(kereman) biasanya berbentuk tunggal apabila kapasitas ternak yang
dipelihara hanya sedikit.
16
Lantai kandang harus diusahakan tetap bersih guna mencegah
timbulnya berbagai penyakit. Lantai terbuat dari tanah padat atau semen, dan
mudah dibersihkan dari kotoran sapi. Lantai tanah dialasi dengan jerami
kering sebagai alas kandang yang hangat. Seluruh bagian kandang dan
peralatan yang pernah dipakai harus disterilkan terlebih dahulu dengan
desinfektan, seperti creolin, lysol, dan bahan lainnya. Ukuran kandang yang
dibuat untuk seekor sapi jantan dewasa adalah 1,5x2 m atau 2,5x2 m,
sedangkan untuk sapi betina dewasa adalah 1,8x2 m dan untuk anak sapi
cukup 1,5x1 m per ekor, dengan tinggi atas ± 2-2,5 m dari tanah. Temperatur
di sekitar kandang 25°C dan kelembaban 75%. Lokasi pemeliharaan dapat
dilakukan pada dataran rendah (100 - 500 m) hingga dataran tinggi (> 500 m)
(Ngadiyono, 2007).
Pakan Sapi Potong
Bahan pakan untuk sapi pada pokoknya bisa digolongkan menjadi tiga
yaitu pakan hijauan, pakan penguat, dan pakan tambahan.
Pakan hijauan adalah semua bahan pakan yang berasal dari tanaman
berupa daun - daunan termasuk batang, ranting dan bunga. Ditambahkan pula
oleh Ngadiyono (2007) bahwa yang termasuk kelompok pakan hijauan
adalah bangsa rumput (kolonjono, gajah, rumput lapangan, raja), legume atau
kacang – kacangan (turi, lamtoro, kaliandra, glirisidi), daun – daunan atau
ramban dan limbah pertanian (jerami padi, jerami kacang tanah, jerami
jagung). Semuanya bisa diberikan dalam dua macam bentuk yakni hijauan
segar atau kering. Yang termasuk hijauan segar adalah hijauan yang
17
diberikan dalam keadaan masih segar atau silase. Sedangkan hijauan kering
bisa berupa hay ataupun jerami kering. Hijauan sebagai bahan pakan tinggi
serat di Indonesia memegang peran yang sangat penting karena hijauan
mengandung hampir semua zat yang diperlukan hewan, sehingga bahan ini
diberikan dalam jumlah yang besar.
Jerami adalah hasil ikutan pertanian yang dikeringkan dan diberikan
pada ternak. Jerami merupakan salah satu bahan makanan ternak yang
mutunya rendah, karena zat-zat yang terkandung didalamnya seperti selulosa
terselubung oleh dinding yang keras yaitu silika dan lignin. Pemanfaatan
jerami padi sebagai pakan sangat terbatas karena hanya mampu
menggantikan tidak lebih dari 25% kebutuhan ternak akan hijauan, hal ini
disebabkan jerami merupakan produk pertanian yang hasil utamanya telah
diambil sehingga kadar gizinya rendah (Sudarmono dan Sugeng, 2008).
Penyebaran Ternak Sapi Potong
Permintaan daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan dari
tahun 2011 berkisar 1,87 kg menjadi 1,98 kg per kapita pada tahun 2012.
Namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi
yang memadai, hal ini juga sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk di
tahun 2011 berjumlah 241.940.857 jiwa, jika dibandingkan pada tahun 2012
berjumlah 245.234.132 jiwa, mengalami peningkatan sebanyak 3.293.275
jiwa (Susilo dan Nina, 2012).
Permintaan daging sapi diprediksi akan mengalami laju peningkatan
sebesar lima persen per tahun dan pada tahun 2010 meningkat menjadi
18
366.739 ton, sedangkan penawaran daging sapi domestik diperkirakan
mengalami penurunan (Ilham et al., 2001). Dinamika populasi sapi potong di
Indonesia selama 10 tahun terakhir relatif berfluktuaksi dan ada
kecenderungan menurun, terutama pada tahun 1997 disaat terjadi krisis
moneter (Anonimus, 2005).
Konsep Pengembangan Wilayah
Hasil penelitian di Blora yang dilaporkan oleh Sumarjono et al.,
(2008), bahwa pengembangan sapi potong dapat dilakukan melalui
peningkatan potensi lahan, sumber daya manusia, pakan dan pola pakan.
Hasil lain yang dilakukan di Rembang oleh Mukson et al., (2008), bahwa
faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan ternak sapi potong sebesar
92,3% dipengaruhi oleh luas lahan, ketersediaan hijauan pakan ternak, tenaga
kerja, dan modal. Hal ini menunjukkan bahwa luasnya ketersediaan lahan
dan potensi limbah pertanian yang dihasilkan merupakan peluang yang dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan usaha ternak sapi potong. Peternakan
merupakan salah satu penghasil utama protein hewani yang sangat
dibutuhkan masyarakat, yang dalam pembudidayaannya membutuhkan
tanah/lahan dan air. Penatagunaan tanah dan air untuk berbagai kegiatan
pembangunan, termasuk untuk kegiatan usaha peternakan, sangat diperlukan
agar dapat dicapai optimalisasi dalam pemanfaatan tanah/lahan dan air serta
mengurangi konflik dalam penggunaan tanah/lahan dan air untuk berbagai
kegiatan pembangunan (Sitorus et al., 1997).
19
Menurut Setyono (1995), konsep tata ruang dalam suatu usaha
peternakan adalah konsep pengelompokkan aktifitas usaha ternak dalam
ruang, sehingga setiap wilayah memiliki pusat - pusat usaha ternak yang
didukung oleh daerah - daerah sekitarnya. Pengelompokkan aktifitas
peternakan dalam suatu wilayah yang didukung oleh wilayah sekitarnya dan
partisipasi masyarakat dinamakan kawasan peternakan. Pengembangan
kawasan peternakan berbasis peternakan rakyat dapat meningkatkan
pendapatan peternak sehingga dapat memberi kontribusi terhadap pendapatan
asli daerah (PAD), menyerap tenaga kerja dan memeratakan pendapatan, dan
mengaplikasikan teknologi untuk meningkatkan produktivitas (Suyitman et
al., 2009).
Dalam rangka mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan
hewani secara berkelanjutan dengan sasaran meningkatkan kesejahteraan
peternak dan daya saing produk peternakan, Indonesia harus mampu
mengembangkan model yang sesuai dengan karakteritik sistem produksi dan
kondisi agroekosistem masing - masing wilayah. Untuk itu dibutuhkan
identifikasi dan strategi pengembangan kawasan wilayah peternakan agar
kawasan peternakan yang telah berkembang di daerah dapat dioptimalkan
pemanfaatannya, sehingga mampu menumbuhkan investasi baru untuk
budidaya sapi potong. Demikian pula, lahan sebagai basis ekologi pendukung
pakan dan lingkungan budidaya ternak harus dioptimalkan pemanfaatannya
untuk pengembangan kawasan peternakan (Sodiq dan Hidayat, 2014).
20
Usaha Ternak Sapi Potong
Menurut Saragih dalam Mersyah (2005), ada beberapa pertimbangan
perlunya mengembangkan usaha ternak sapi potong, yaitu: 1) budidaya sapi
potong relatif tidak bergantung pada ketersediaan lahan dan tenaga kerja
yang berkualitas tinggi, 2) memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang
luas, 3) produk sapi potong memiliki nilai elastisitas terhadap perubahan
pendapatan yang tinggi, dan 4) dapat membuka lapangan pekerjaan.
Menurut Fauziyah (2007), tenaga kerja dalam usaha ternak sapi potong
bekerja mencari rumput untuk pakan ternak, membersihkan kotoran,
memberikan minum, memandikan ternak dan mengawasi kesehatan dan
keamanan ternak. Keberadaan subsektor peternakan dapat memberikan
alternatif dalam penyerapan tenaga kerja. Menurut Firman (2007), terkait
dengan penyediaan lapangan kerja, sampai saat ini sektor pertanian masih
merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja yang cukup besar, yaitu
kurang lebih 40% tenaga kerja bisa terserap disektor ini. Hal ini
membuktikan bahwa Indonesia masih tergolong sebagai Negara agraris yang
menjadikan sektor pertanian sebagai basis pekerjaan sebagian besar
penduduk Indonesia. Namun bila dilihat dari tingkat output per tenaga kerja,
subsektor peternakan hanya memberikan kontribusi sebesar 4,69 juta
rupiah/orang. Artinya bahwa setiap tenaga kerja yang berada di sektor ini
memberikan sumbangan sebesar Rp. 4,69 juta pada tahun 2000. Nilai output
per tenaga kerja pada subsektor peternakan menempati urutan ketiga dari
seluruh subsektor pertanian (Firman, 2007).
21
Modal pertanian dapat berupa bibit, alat - alat pertanian, ternak dan
sebagainya. Modal yang demikian merupakan modal fisik atau modal
material. Modal tidak terlepas dari masalah kredit, karena kredit adalah
modal pertanian yang diperoleh dari pinjaman. Modal merupakan langkah
awal dalam suatu usaha termasuk peternakan. Satu - satunya modal milik
petani adalah tanah dan tenaga kerja (Hidayati, 2009).
Sumber Daya Manusia
SDM merupakan hal yang sangat mendukung terhadap keberhasilan
usaha apabila dikelola secara baik. Dalam meningkatkan SDM, khususnya
dalam peternakan dapat dilakukan melalui pembinaan berupa penyuluhan,
pelatihan dan cara lain yang dapat meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan peternak (Hidayati, 2009).
Pengelola tidak kalah penting sebagai pengawas dalam pembimbing
jalanya peternakan sapi. Kualitas sumber daya dicerminkan dari ilmu,
keterampilan yang dilengkapi dengan pengalaman dan belajar sendiri. Faktor
ransum makanan yang dikonversikan sebagai konsumsi makanan sehari -
hari untuk ternak, hendaknya harus benar - benar diperhatikan jangan sampai
mutu makanan menjadi rusak, kehilangan gizi dan terancam penyakit
(Mulyono,2007).
Menurut Fauziyah (2007), ketersediaan jumlah penduduk merupakan
sumber tenaga kerja yang dapat digunakan untuk menjalankan usaha ternak
sapi potong. Biasanya peternak memanfaatkan tenaga kerja dalam keluarga
22
karena mereka menganggap usaha tersebut dapat dikelola sendiri oleh
keluarga peternak.
Karakteristik adalah ciri - ciri atau sifat - sifat yang dimiliki oleh
seseorang yang ditampilkan melalui pola pikir, pola sikap dan pola tindakan
terhadap lingkungannya (Mislini, 2006). Setiap orang mempunyai
pandangan, tujuan, kebutuhan dan kemampuan yang berbeda satu sama lain.
Perbedaan ini akan terbawa ke dalam dunia kerja, yang akan menyebabkan
kepuasan satu orang dengan yang lain berbeda pula, meskipun bekerja
ditempat yang sama.
Ciri - ciri atau sifat - sifat yang dimiliki meliputi beberapa faktor atau
unsur - unsur yang melekat pada diri seseorang dapat dikatakan sebagai
karakteristik. Faktor karakteristik individu merupakan ciri yang dimiliki
peternak tersebut. Faktor karakteristik individu meliputi : umur, pendidikan,
pengalaman beternak, dan jumlah tanggungan keluarga.
a) Umur
Umur merupakan salah satu indikator yang menunjukan kemampuan
fisik seseorang. Orang yang memiliki umur yang lebih tua fisiknya lebih
lemah dibandingkan dengan orang yang berumur lebih muda. Umur seorang
peternak dapat berpengaruh pada produktifitas kerja mereka dalam kegiatan
usaha peternakan. Umur juga erat kaitannya dengan pola pikir peternak
dalam menentukan sistem manajemen yang akan diterapkan dalam kegiatan
usaha peternakan (Karmila, 2013).
23
Wahid (2012), menyatakan bahwa umur penduduk dikelompokkan
menjadi tiga yaitu (1) umur 0 - 14 tahun dinamakan usia muda / usia belum
produktif, (2) umur 15 - 64 tahun dinamakan usia dewasa / usia kerja / usia
produktif, dan (3) umur 65 tahun ke atas dinamakan usia tua / usia tak
produktif / usia jompo. Ditambahkan oleh Saediman (2011) bahwa tingkat
produktifitas kerja seseorang akan mengalami peningkatan sesuai dengan
pertambahan umur, kemudian akan menurun kembali menjelang usia tua.
b) Pendidikan
Menurut Murwanto (2008) bahwa tingkat pendidikan peternak
merupakan indikator kualitas penduduk dan merupakan kunci dalam
pengembangan sumber daya manusia. Dalam usaha peternakan faktor
pendidikan diharapkan dapat membantu masyarakat dalam upaya
peningkatan produksi dan produktifitas ternak yang dipelihara. Tingkat
pendidikan yang memadai akan berdampak pada peningkatan kinerja dan
kemampuan manajemen usaha peternakan yang dijalankan.
Tingkat pendidikan suatu penduduk atau masyarakat sangat penting
artinya, karena dengan tingkat pendidikan seseorang juga berpengaruh
terhadap kemampuan berfikir seseorang, dalam artian mengembangkan dan
meningkatkan taraf hidup melalui kreatifitas berfikir dan melihat setiap
peluang dan menciptakan suatu lapangan pekerjaan (Sari, 2014).
Tingkat tinggi rendahnya pendidikan petani akan menanamkan sikap
yang menuju penggunaan praktek pertanian yang lebih modern. Mengenai
24
tingkat pendidikan petani, dimana mereka yang berpendidikan tinggi relatif
lebih cepat dalam melaksanakan suatu usaha (Ibrahim et al., 2003).
Dalam usaha peternakan faktor pendidikan tentunya sangat diharapkan
dapat membantu masyarakat dalam upaya peningkatan produksi dan
produktifitas ternak yang dipelihara atau diternakkan. Tingkat pendidikan
yang memadai tentunya akan berdampak pada kemampuan manajemen usaha
peternakan yang digeluti (Citra, 2010).
c) Pengalaman Beternak
Pengalaman beternak sangat berperan dalam menentukan keberhasilan
peternak dalam meningkatkan pengembangan usaha ternak dan sekaligus
upaya peningkatan pendapatan peternak. Pengalaman beternak adalah guru
yang baik, dengan pengalaman beternak sapi yang cukup peternak akan lebih
cermat dalam berusaha dan dapat memperbaiki kekurangan di masa lalu
(Murwanto, 2008).
Pengalaman merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan
dari suatu usaha, dengan pengalamannya peternak akan memperoleh
pedoman yang sangat berharga untuk memperoleh kesuksesan usaha di masa
depan. Umur dan pengalaman beternak akan mempengaruhi kemampuan
peternak dalam menjalankan usaha, peternak yang mempunyai pengalaman
yang lebih banyak akan selalu hati - hati dalam bertindak dengan adanya
pengalaman buruk di masa lalu (Iskandar dan Arfa’i, 2007).
Umumnya pengalaman beternak diperoleh dari orang tuanya secara
turun - temurun. Pengalaman beternak yang cukup lama memberikan indikasi
25
bahwa pengetahuan dan keterampilan peternak terhadap manajemen
pemeliharaan ternak mempunyai kemampuan yang lebih baik. Pengalaman
beternak sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha. Semakin lama
seseorang memiliki pengalaman beternak akan semakin mudah peternak
mengatasi kesulitan - kesulitan yang dialaminya (Febrina dan Liana, 2008).
Wati dkk. (2010) menyatakan bahwa peternak yang memiliki
pengalaman beternak yang cukup lama umumnya memiliki pengetahuan
yang lebih banyak dibandingkan peternak yang baru saja menekuni usaha
peternakan. Sehingga pengalaman beternak menjadi salah satu ukuran
kemampuan seseorang dalam mengelola suatu usaha peternakan.
d) Jumlah Tanggungan Keluarga
Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi petani dalam
pengembangan usaha. Karena semakin banyak jumlah tanggungan keluarga
maka semakin banyak pula beban hidup yang harus dipikul oleh seorang
petani yang dapat mendorongnya untuk melakukan pengembangan usaha.
Jumlah tanggungan keluarga adalah salah satu faktor ekonomi yang perlu
diperhatikan dalam menentukan pendapatan dalam memenuhi kebutuhannya
(Sumbayak, 2006).
Tanggungan keluarga juga dapat menjadi beban hidup bagi
keluarganya apabila tidak bekerja. Kegagalan peternak dalam berusaha
sangat berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga. Semakin
banyak jumlah anggota keluarga merupakan beban disatu sisi, akan tetapi
26
dari sisi lain merupakan sumber tenaga kerja keluarganya (Soekartawati et
al., 1986).
Semakin banyaknya jumlah orang yang harus ditanggung
menyebabkan jumlah kebutuhan yang harus dipenuhi semakin banyak. Hal
ini akan berakibat pada makin tingginya jumlah pengeluaran, sehingga ada
tuntutan jumlah pemasukan yang semakin tinggi pula. Hal ini tidak bisa
dipenuhi jika individu bekerja disektor yang menawarkan tingkat upah yang
rendah. Individu akan cenderung mempertimbangkan besarnya pendapatan
yang bisa didapatkan dalam memilih pekerjaan untuk bisa memenuhi
kebutuhan (Afifah, 2014).
Sumber Daya Alam
Menurut Soeprapto dan Abidin (2006), suhu lingkungan yang ideal
untuk pertumbuhan dan perkembangan sapi potong di Indonesia adalah 17
sampai 270C. Suhu yang terlalu tinggi sepanjang hari akan berpengaruh
negatif bagi pertumbuhan sapi. Saat terjadi cekaman panas, sapi akan lebih
banyak minum daripada makan. Selain itu, energi yang seharusnya diubah
menjadi daging akan dialokasikan untuk mempertahankan suhu tubuh.
Menurut Tafal (2001), air sangat penting untuk mengatur suhu tubuh, untuk
distribusi zat - zat makanan keseluruhan jaringan tubuh, penguapan air dari
kulit dan paru - paru akan mengurangi panas badan.
Iklim merupakan faktor yang menentukan ciri khas dari seekor ternak.
Ternak yang hidup didaerah yang beriklim tropis berbeda dengan ternak yang
hidup yang beriklim subtropis. Selain itu berbeda dengan faktor lingkungan
27
yang lain seperti pakan dan kesehatan, iklim tidak dapat diatur atau dikuasai
sepenuhnya oleh manusia. Untuk memperoleh produktivitas ternak yang
efesien, manusia harus menyesuaikan dengan iklim setempat (Ora, 2014).
Suhu dapat mempengaruhi produksi ternak selain panas dari udara,
ternak juga menerima panas dari benda - benda sekitar seperti panas dari
permukaan tanah. Radiasi memanaskan tanah kering dengan cepat, pada
siang hari ternak – ternak yang merumput berkontak langsung dengan
permukaan tanah bersuhu 40ºC. Suhu ini menyebabkan permukaan tubuh
bagian bawah menyerap panas dalam jumlah yang signifikan, meskipun
tanah berangsur dingin saat matahari tenggelam. Keadaan ini memberi
kesempatan ternak untuk menghilangkan panas yang tersimpan secara cepat
melalui konduksi tanah (Ora, 2014).
Menurut Irawan (2005), lahan pertanian memiliki potensi yang cukup
besar sebagai sumber pakan. Oleh karena itu evaluasi hijauan pakan yang
ditunjukan untuk memprediksi potensi ternak di wilayah yang diteliti perlu
dilakukan untuk mendukung kapasitas peningkatan populasi ternak
ruminansia berkaitan dengan perencanaan pengembangan wilayah sesuai
dengan potensi. Salah satu faktor yang diperlukan untuk menganalisis
kapasitas tampung ternak ruminansia di suatu wilayah adalah dengan
menghitung potensi hijauan pakan.
28
Hijauan Makanan Ternak
Makanan hijauan merupakan semua bahan makanan yang berasal dari
tanaman dalam bentuk daun - daunan. Kelompok tanaman ini adalah rumput
(graminae), leguminosa dan tumbuh - tumbuhan lainnya. Kelompok hijauan
biasanya disebut makanan kasar. Hijauan yang diberikan ke ternak ada dalam
bentuk hijauan segar dan hijauan kering. Hijauan segar adalah makanan yang
berasal dari hijauan dan diberikan ke ternak dalam bentuk segar. Sedangkan
hijauan kering adalah hijauan yang diberikan ke ternak dalam bentuk kering
(hay) atau disebut juga jerami kering.
Hijauan merupakan sumber pakan utama untuk ternak ruminansia,
sehingga untuk meningkatkan produksi ternak ruminansia harus diikuti oleh
peningkatan penyediaan hijauan pakan yang cukup baik dalam jumlah
maupun kualitas. Hijauan pakan ternak yang umum diberikan untuk ternak
ruminansia adalah rumput - rumputan yang berasal dari padang
penggembalaan atau kebun rumput, tegalan, pematang serta pinggiran jalan.
Peranan hijauan sebagai pakan adalah :
1) Mengandung hampir semua zat yang diperlukan hewan;
2) Khususnya di Indonesia, bahan pakan hijauan memegang peranan sangat
penting, karena bahan tersebut diberikan dalam jumlah yang besar.
Masing - masing ternak ruminansia, setiap harinya membutuhan
konsumsi pokok berupa hijauan pakan ternak ± 10% dari bobot badannya.
Dalam ransum ternak ruminansia, rumput lebih banyak digunakan. Hal ini
29
dikarenakan selain harganya lebih murah juga untuk memperolehnya relatif
lebih mudah (Edo, 2012).
Limbah Pertanian
Limbah pertanian adalah bagian tanaman pertanian diatas tanah atau
bagian pucuk, batang yang tersisa setelah panen atau diambil hasil utamanya.
Berdasarkan artinya pengertian limbah pertanian dapat disimpulkan sebagai
bahan yang dibuang dari sektor pertanian. Beberapa contoh dari limbah
pertanian antara lain adalah; jerami padi, jerami jagung, jeramai kacang tanah
dan jerami kedelai dan lain sebagainya (Sasse et al., 1995).
Ramban
Ramban merupakan jenis lain hijauan pakan yaitu selain rumput dan
legum. Kelompok tumbuhan lain ini mencakup tumbuhan tahunan, serta
tumbuhan semak dan pohon berkayu. Suminar (2011) menyatakan bahwa
hijauan yang termasuk jenis ramban yaitu daun kedondong kecil (Spondias
lutea LINN.), daun kelor (Moringa oleifera LAMK.), daun singkong
(Manihot utilissima POHL.), daun jambu air (Eugenia aquena BURM.f.),
daun randu (Ceiba petandra GAERTN.), daun nangka (Artocarpus
heterophyllus LAMK.) dan daun mangga (Mangifera indica L.)
30
Carrying Capacity
Carrying Capacity (CC) adalah kemampuan untuk menampung ternak
per unit per satuan luas sehingga memberikan hasil yang optimum atau daya
tampung padang penggembalaan untuk mencukupi kebutuhan pakan hijauan
yang dihitung dalam animal unit (AU) (Winarto, 2009). Perhitungan
mengenai kapasitas tampung (Carrying Capacity) suatu lahan terhadap
jumlah ternak yang dipelihara adalah berdasarkan pada produksi hijauan
makanan ternak yang tersedia (Luthan, 2010).