bab ii tinjauan pustaka & pembahasan...2) pihak-pihak dalam perjanjian asuransi atau pertanggungan...

92
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA & PEMBAHASAN A. Tinjauan Pustaka 1. Asuransi a. Pengertian Asuransi Asuransi dalam sudut pandang hukum dan ekonomi merupakan bentuk manajemen risiko utama yang digunakan untuk menghindari kemungkinan terjdinya kerugian yang tidak tentu. Asuransi didefinisikan sebagai transfer yang wajar (adil) atas risiko kerugian, dari suatu entitas ke entitas lain. Dengan kata lain, asuransi adalah suatu sistem yang diciptakan untuk melindungi orang, kelompok, atau aktivitas usaha terhadap risiko kerugian finansial dengan cara membagi atau menyebarkan risiko melalui pembayaran premi. 8 Berdasarkan ketentuan Pasal 246 KUHD menjelaskan bahwa “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu. Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian, asuransi atau pertanggungan adalah “Perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung 8 Mulhadi.2017. Dasar-Dasar Hukum Asuransi, Raja Grafindo Persada, Depok. hlm. 1

Upload: others

Post on 09-Feb-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 11

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA & PEMBAHASAN

    A. Tinjauan Pustaka

    1. Asuransi

    a. Pengertian Asuransi

    Asuransi dalam sudut pandang hukum dan ekonomi merupakan bentuk

    manajemen risiko utama yang digunakan untuk menghindari kemungkinan

    terjdinya kerugian yang tidak tentu. Asuransi didefinisikan sebagai transfer yang

    wajar (adil) atas risiko kerugian, dari suatu entitas ke entitas lain. Dengan kata lain,

    asuransi adalah suatu sistem yang diciptakan untuk melindungi orang, kelompok,

    atau aktivitas usaha terhadap risiko kerugian finansial dengan cara membagi atau

    menyebarkan risiko melalui pembayaran premi.8

    Berdasarkan ketentuan Pasal 246 KUHD menjelaskan bahwa “Asuransi

    atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana penanggung

    mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan

    penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan

    keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu

    peristiwa yang tak tertentu”.

    Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992

    tentang Perasuransian, asuransi atau pertanggungan adalah “Perjanjian antara dua

    pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung

    8 Mulhadi.2017. Dasar-Dasar Hukum Asuransi, Raja Grafindo Persada, Depok. hlm. 1

  • 12

    dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada

    tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan yang diharapkan, atau

    tanggung jawab kepada pihak ketiga yang mungkin ada diderita oleh tertanggung,

    yang timbul dari suatu peristiwa tidak pasti, atau untuk memberikan suatu

    pembayaran yang didasarkan atas meninggal seseorang yang dipertanggungkan”.

    Berikut perbandingan antara ketentuan Pasal 246 KUHD dan Pasal 1 angka

    (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian :

    1) Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang

    Perasuransian dijelaskan mengenai asuransi jiwa dan asuransi kerugian.

    Asuransi kerugian dijelaskan pada kalimat “penggantian karen kerugian,

    kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan”. Sedangkan asuransi

    jiwa dijelaskan pada kalimat “memberikan pembayaran yang didasarkan

    atas meninggal atau hidupnya seseorang”. Asuransi jiwa tidak dijelaskan

    dalam Pasal 246 KUHD.

    2) Pihak-pihak dalam perjanjian asuransi atau pertanggungan menurut Pasal 1

    angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian

    mencakup dua pihak atau lebih. Hal ini berarti bahwa pihak-pihak tersebut

    kemungkinan bisa terjadi antara satu Penanggung dengan satu

    Tertanggung, atau satu Penanggung dengan dua atau lebih Tertanggung.

    Dalam KUHD perjanjian asuransi diadakan hanya oleh satu Penanggung

    yang mengikatkan diri kepada satu Tertanggung.

    3) Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang

    Perasuransian dijelaskan mengenai pertanggungan untuk kepentingan pihak

    ketiga. Hal tersebut dijelaskan pada kalimat “tanggung jawab kepada pihak

  • 13

    ketiga yang mungkin ada diderita oleh tertanggung”. Pertanggungan untuk

    kepentingan pihak ketiga tidak dijelaskan dalam Pasal 246 KUHD.

    4) Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang

    Perasuransian dijelaskan mengenai objek-objek asuransi. Objek asuransi

    tersebut berupa benda, kepentingan yang melekat pada suatu benda,

    sejumlah uang dan jiwa manusia. Objek asuransi yang dijelaskan dalam

    Pasal 246 KUHD tidak teradapat penjelasan mengenai jiwa manusia.

    5) Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang

    Perasuransian dijelaskan mengenai evenemen yaitu peristiwa yang tidak

    dapat dipastikan terjadi, tidak dapat ditentukan dan juga tidak dapat

    diharapkan akan terjadi. Peristwa evenemen dapat mengakibatkan

    timbulnya kerugian pada benda objek asuransi dan peristiwa meninggalnya

    seseorang. Peristiwa meninggalnya seseorang tidak dijelaskan dalam Pasal

    246 KUHD.

    Pengertian asuransi yang lebih tepat tentu saja harus mengacu pada

    ketentuan undang-undang terbaru, yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014

    tentang Perasuransian, di mana pada Pasal 1 angka (1) menyatakan bahwa

    “Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu Perusahaan Asuransi dan

    Pemegang Polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh Perusahaan

    Asuransi sebagai imbalan untuk :

    1) Memberikan penggantian kepada Tertanggung atau Pemegang Polis karena

    kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau

    tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita

  • 14

    Tertanggung atau Pemegang Polis karena terjadinya suatu peristiwa yang

    tidak pasti; atau

    2) Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung

    atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan

    manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil

    pengelolaan dana.

    Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang

    Perasuransian menjelaskan bahwa perjanjian asuransi menjadi dasar bagi peneiman

    premi oleh perusahaan asuransi atau dasar bagi Tertanggung (Pemegang Polis)

    untuk berprestasi membayar premi sebagai kewajiban baginya, dan dengan premi

    yang dibayarkan tersebut kemudian akan mengikat Perusahaan Asuransi untuk

    melakukan kontra prestasi sesuai dengan jenis asuransi yang diambilnya, yaitu9 :

    1) Pemberian penggantian (ganti) atas kerugian, kerusakan, biaya yang timbul,

    kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga.

    Pemberian penggantian atau “ganti kerugian” ini ditujukan pada asuransi

    kerugian dan sejenisnya seperti asuransi tanggung jawab hukum.

    2) Pemberian pembayaran sejumlah uang yang didasarkan atas meninggal atau

    hidupnya Tertanggung. Pembayaran ini tentunya berlaku bagi kelompok

    asuransi sejumlah uang seperti asuransi jiwa dan sejenis, termasuk di

    dalamnya asuransi unit-link sebagai turunannya.

    Perjanjian asuransi, pada dasarnya merupakan suatu perjanjian yang

    mempunyai karakteristik yang dengan jelas akan memberikan suatu ciri khusus,

    9 Ibid. hlm. 7-8.

  • 15

    apabila dibandingkan dengan jenis perjanjian yang lain. Hal ini secara jelas dibahas

    dalam buku-buku Anglo Saxon yang antara lain menyatakan sebagai berikut :10

    1) Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat aleatair (aleatary),

    maksudnya ialah bahwa perjanjian ini merupakan perjanjian, yang prestasi

    penanggung masih harus digantungkan pada satu peristiwa yang belum

    pasti. Dan meskipun tertanggung sudah memenuhi prestasinya dengan

    sempurna, pihak penanggung belum pasti berprestasi dengan nyata.

    2) Perjanjian asuransi adalah perjanjian bersyarat (conditional), maksudnya

    adalah bahwa perjanjian itu merupakan suatu perjanjian yang prestasi

    penanggung hanya akan terlaksana apabila syarat-syarat yang ditentukan

    dalam perjanjian dipenuhi. Pihak tertanggung pada satu sisi tidak berjanji

    untuk memenuhi syarat, tetapi ia tidak dapat memaksa penanggung

    melaksanakan, kecuali dipenuhi syarat-syarat.

    3) Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat sepihak (unilateral),

    maksudnya adalah bahwa perjanjian ini menunjukan bahwa hanya satu

    pihak saja yang memberikan janji yaitu pihak penanggung. Penanggung

    memberikan janji akan mengganti suatu kerugian, apabila pihak

    tertanggung sudah membayar premi dan polis sudah berjalan, sebaliknya

    tertanggung tidak menjanjikan suatu apapun.

    4) Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat pribadi (personal),

    maksudnya ialah bahwa kerugian yang timbul harus merupakan kerugian

    orang perorangan, secara pribadi, bukan kerugian kolektif ataupun kerugian

    10 Sri Rejeki Hartono. 2008. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta.

    hlm. 92.

  • 16

    masyarakat luas. Kerugian yang bersifat pribadi itulah yang nantinya akan

    diganti oleh penanggung.

    5) Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang melekat pada syarat penanggung

    (adhesion), karena di dalam perjanjian asuransi pada hakikatnya syarat dan

    kondisi perjanjian hampir seluruhnya ditentukan diciptakan oleh

    penanggung/perusahaan asuransi sendiri, dan bukan karena adanya kata

    sepakat yang murni atau menawar. Oleh karena itu dapat dianggap bahwa

    kondisi perjanjian asuransi sebagian besar ditentukan secara sepihak oleh

    penanggung sehingga penanggung dianggap sebagai penyusun perjanjian

    dan seharusnya mengetahui apabila timbul pengertian yang tidak jelas,

    harus diuntungkan pihak tertanggung.

    6) Perjanjian asuransi adalah perjanjian dengan syarat iktikad baik yang

    sempurna, maksudnya ialah bahwa perjanjian asuransi merupakan

    perjanjian dengan keadaan bahwa kata sepakat dapat tercapai/negosiasi

    dengan posisi masing-masing mempunyai pengetahuan yang sama

    mengenai fakta, dengan penilaian sama penelaahnya untuk memperoleh

    fakta yang sama pula, sehingga dapat bebas dari cacat-cacat tersembunyi.

    b. Tujuan Asuransi

    Seseorang dalam menjalani kehidupan, pasti mengalami suatu persitiwa

    yang tidak pasti. Peristiwa yang tidak pasti ini merupakan keadaan yang selalu ingin

    dihindari oleh seseorang. Keadaan tidak pasti atas setiap kemungkinan yang dapat

    terjadi baik dalam bentuk atau peristiwa yang belum pasti dan menimbulkan rasa

    tidak aman biasa disebut sebagai resiko.

  • 17

    Menurut teori pengalihan resiko (risk transfer theory), tertanggung

    menyadari bahwa ada ancaman bahaya terhadap harta kekayaan

    miliknya atau terhadap jiwanya. Jika bahaya tersebut menimpa harta

    kekayaan atau jiwanya, dia akan menderita kerugian atau korban jiwa

    atau cacat raganya. Secara ekonomi, kerugian material atau korban

    jiwa atau cacat raga akan mempengaruhi perjalanan hidup seseorang

    atau ahli warisnya. Tertanggung sebagai pihak yang terancam bahaya

    merasa berat memikul beban risiko yang sewaktu-waktu dapat

    terjadi.11

    Upaya mengurangi atau menghilangkan beban risiko tersebut, pihak

    tertanggung berupaya mencari jalan kalau ada pihak lain yang bersedia mengambil

    alih beban risiko ancaman bahaya dan dia sanggup membayar kontra prestasi yaitu

    pembayaran premi. Pengalihan risiko dari tertanggung kepada penanggung

    diimbangi dengan pembayaran premi oleh tertanggung, yang seimbang dengan

    berat risiko yang dialihkan, ataupun dapat diperjanjikan tidak perlu seimbang.12

    Dalam hal terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (resiko berubah

    menjadi kerugian), maka kepada tertanggung yang bersangkutan akan dibayarkan

    ganti kerugian seimbang dengan sejumlah asuransinya. Dengan demikian, tujuan

    diadakannya asuransi tersebut agar tertanggung memperoleh pembayaran ganti

    kerugian yang sungguh-sungguh didertitanya.

    c. Prinsip Asuransi

    Dalam asuransi di terapkan berbagai prinsip-prinsip, yaitu sebagai berikut :

    1) Prinsiple of Insurable Interest

    11 Abdukkadir Muhammad. 2011. Hukum Asuransi Indonesia cetakan ke-V, PT.Citra Aditya Bakti,

    Bandung. hlm. 12. 12 Man Suparman Sastrawidjaja.2003, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga,

    Bandung Alumni. hlm. 185

  • 18

    Bahwa, seseorang boleh mengansurasikan barang-barang apabila yang

    bersangkutan mempunyai kepentingan atas barang yang dipertanggungkan

    (Pasal 250 KUHP)

    2) Prinsiple of Utmost Good Faith

    Penutupan asuransi baru sah, apabila penutupannya didasari itikad baik

    sempurna (pasal 251 KUHP)

    3) Prinsiple of Indemnity

    Dasar penggantian kerugian dari penanggung kepada tertanggung setinggi-

    tingginya adalah sebesar kerugian yang sesungguhnya diderita tertanggung

    dalam arti tidak dibenarkan mencari keuntungan dari ganti rugi asuransi

    4) Prinsiple of Subrogatian

    Apabila tertanggung sudah mendapatkan penggantian atas dasar indemnity,

    maka si tertanggung tidak berhak lagi memperoleh penggantian dari pihak

    lain, walaupun jelas ada pihak lain yang bertanggungjawab pula atas

    kerugian yang dideritanya. Penggantian dari pihak lain harus diserahkan

    pada penanggung yang telah memberikan ganti rugi dimaksud (pasal 284

    KUHP).13

    5) Prinsiple of Proximate Cause

    13 Kasmir.2001. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta. hlm. 260.

  • 19

    Adalah suatu sebab aktif, efisiensi yang mengakibatkan terjadinya suatu

    peristiwa secara berantai atau berurutan dan intervensi kekuatan lain,

    diawali dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru dan independen

    6) Prinsiple of Contribution

    Suatu prinsip di mana penanggung berhak mengajak penanggung-

    penanggung lain yang memiliki kepentingan yang sama untuk ikut bersama

    membayar ganti rugi kepada seseorang tertanggung, meskipun jumlah

    tanggungan masing-masing penanggung belum tentu sama besarnya.14

    d. Risiko dan Evenemen

    Asuransi adalah pemindahan risiko murni dari Tertanggung kepada

    Penanggung. Penanggung adalah orang atau perusahaan yang mengkhususkan diri

    memikul risiko dan Tertanggung adalah orang atau perusahaan yang menghadapi

    risiko. Bisnis utama dari penanggung adalah memikul risiko dengan menerima fee.

    Penerimaan fee ini membedakannya dengan pemikul risiko lain.15

    Yang dimaksud dengan risiko murni adalah suatu peristiwa ketidakpastian

    yang apabila terjadi selalu menimbulkan kerugian atas benda atau hilangnya jiwa

    manusia.

    Gunanto menyatakan bahwa risiko merupakan inti dari asuransi.16 Risiko

    adalah ketidaktentuan (ketidakpastian) atau uncertainty yang mungkin melahirkan

    kerugian (loss). Risiko juga dapat timbul dari suatu tindakan yang lain (dari orang

    14 C.S.T. Kansil. 1996. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia cetakan ke-IV, Sinar

    Grafika, Jakarta. hlm. 429. 15 A. Hasymi Ali.1995. Pengantar Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta. hlm. 169 16 Gunanto.1984. Asuransi Kebakaran di Indonesia, Tiara Pustaka, Jakarta. hlm. 22.

  • 20

    lain), yaitu risiko atas suatu peristiwa yang timbul karena terjadinya peristiwa lain

    yang di luar tindakannya.

    Jadi, ciri-ciri risiko dalam asuransi, yaitu :

    a. Bahaya yang mengancam benda atau objek asuransi

    b. Berasal dari faktor ekonomi, alam atau manusia

    c. Dapat menimbulkan kerugian bagi jiwa/raga, kekayaan dan tanggung

    jawab).

    Sementara itu, yang dimaksud dengan evenemen (peristiwa yang tidak pasti)

    adalah suatu peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya, dan secara subjektif

    diketahui bahwa peristiwa itu belum timbul sebelumnya dan tidak ada kepastian

    kapan peristiwa itu akan terjadi, apabila persitiwa tersebut terjadi akan

    mengakibatkan kerugian.

    Jadi, ciri-ciri evenemen dalam asuransi, yaitu :

    a. Peristiwa yang terjadi itu menimbulkan kerugian

    b. Terjadnya itu tidak diketahui, tidak dapat direncanakan

    c. Berasal dari faktor ekonomi, alam dan manusia

    d. Dapat menimbulkan kerugian bagi jiwa/raga, kekayaan dan tanggung

    jawab).

    e. Objek Asuransi

    1) Benda Asuransi

  • 21

    Benda asuransi merupakan salah satu objek asuransi, yakni karena terdapat

    suatu kepentingan yang dapat dinilai dengan uang. Benda asuransi adalah harta

    kekayaan yang mempunyai nilai ekonomi, dan dapat dinilai dengan sejumlah uang.

    Menurut teori kepentingan (interest theory), pada asuransi

    melekat hak subjektif yang tidak berwujud. Karena benda asuransi

    dapat rusak, hilang, musnah, atau berkurang nilainya, maka hak

    subjektif juga dapat demikian. Dalam literatur hukum asuransi, hak

    subjektif ini disebut kepentingan (interest). Kepentingan itu sifatnya

    absolut artinya, harus ada pada setiap objek tersebut dan mengikuti ke

    mana saja benda tersebut berada. Kepentingan itu harus sudah ada

    pada benda asuransi pada saat asuransi diadakan atau setidak-tidaknya

    pada saat terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (evenemen).17

    2) Premi Asuransi

    Ketentuan Pasal 256 angka 7 KUHD bahwa, polis harus memuat premi

    asuransi yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal tersebut, premi merupakan

    syarat esesensial dalam perjanjian asuransi.

    Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian,

    Pasal 1 angka (29) menyatakan bahwa “Premi adalah sejumlah uang yang

    ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dan disetujui oleh

    Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian asuransi/perjanjian

    reasuransi, ataupun sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan

    peraturan perundang-undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk

    memperoleh manfaat.

    3) Peristiwa

    17 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit. hlm. 87.

  • 22

    Peristiwa yang belum pasti terjadi (evenemen) merupakan salah satu unsur

    yang ditentukan harus ada untuk dapat ditutupnya perjanjian asuransi, sesuai

    dengan sifat asuransi sebagai perjanjian bersyarat. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal

    256 KUHD bahwa polis harus menyatakan bahaya-bahaya yang ditanggung oleh si

    Penanggung/Perusahaan Asuransi.

    Pasal 269 KUHD menjelaskan bahwa “Setiap asuransi yang dilakukan atas

    sesuatu kepentingan yang bagaimana pun, yang kerugiannya, terhadap hal tersebut

    asuransi diadakan, sudah ada pada saat ditutupnya perjanjian adalah batal, apabila

    Tertanggung atau orang yang dengan atau tanpa pemberian kuasa telah

    mengadakan asuransi itu, telah mengetahui sudah adanya kerugian tersebut”.

    Maka, ketika ditutupnya perjanjian asuransi tersebut Tertanggung atau

    pengambil asuransi sudah mengetahui peristiwa kerugian itu telah terjadi dapat

    disimpulkan bahwa asuransi batal. Kemudian apabila ketika diadakan perjanjian

    asuransi, peristiwa yang menyebabkan kerugian telah terjadi dan Tertanggung tidak

    mengetahui terjadinya peristiwa tersebut, maka asuransi tidak menjadi batal. Hal

    tersebut memiliki makna yang lain bahwa, terjadinya suatu peristiwa yang

    menyebabkan kerugian tersebut karena adanya unsur ketidaksengajaan dari

    Tertanggung.

    4) Uang Asuransi

    Ditentukannya jumlah uang asuransi pada waktu perjanjian asuransi

    diadakan yaitu untuk menetapkan berapa besar jumlah kerugian yang akan

    dibayarkan oleh Penanggung kepada Tertanggung. Pasal 256 angka 4 bahwa “Polis

    harus dinyatakan jumlah uang untuk berapa diadakan asuransi”.

  • 23

    f. Pihak-Pihak dalam Asuransi

    Subyek dalam perjanjian asuransi adalah pihak-pihak yang bertindak aktif

    yang mengamalkan perjanjian itu, yaitu pihak tertanggung, pihak penanggung dan

    pihak-pihak yang berperan sebagai penunjang perusahaan asuransi.

    1) Penanggung

    Pengertian penanggung secara umum, adalah pihak yang menerima

    pengalihan risiko dimana dengan mendapat premi, berjanji akan mengganti

    kerugian atau membayar sejumlah uang yang telah disetujui, jika terjadi peristiwa

    yang tidak dapat diduga sebelumnya, yang mengakibatkan kerugian bagi

    tertanggung. Dari pengertian penanggung tersebut di atas, terdapat hak dan

    kewajiban yang mengikat penanggung.

    Menurut Prof. Dr. H. Man Suparman Sastrawidjaja, S.H., S.U. hak

    penanggung antara lain :18

    a. Menuntut pembayaran premi kepada tertanggung sesuai dengan

    perjanjian.

    b. Meminta keterangan yang benar dan lengkap kepada tertanggung yang

    berkaitan dengan obyek yang diasuransikan kepadanya.

    c. Memiliki premi dan bahkan menuntutnya dalam hal peristiwa yang

    diperjanjikan terjadi tetapi disebabkan oleh kesalahan tertanggung

    sendiri. (Pasal 276 KUHD).

    18 Man Suparman Sastrawidjaja. Op.Cit. hlm. 22.

  • 24

    d. Memiliki premi yang sudah diterima dalam hal asuransi batal atau gugur

    yang disebabkan oleh perbuatan curang dari tertanggung. (Pasal 282

    KUHD).

    e. Melakukan asuransi kembali kepada penanggung yang lain dengan

    maksud untuk membagi risiko yang dihadapinya. (Pasal 271 KUHD).

    Sedangkan kewajiban dari penanggung adalah :19

    a. Memberikan ganti kerugian atau memberikan sejumlah uang kepada

    tertanggung apabila peristiwa yang diperjanjian terjadi, kecuali jika

    terdapat hal yang dapat menjadi alasan untuk membebaskan dari

    kewajiban tersebut.

    b. Menandatangani dan menyerahkan polis kepada tertanggung (Pasal 259,

    260 KUHD).

    c. Mengembalikan premi kepada tertanggung jika asuransi batal atau gugur,

    dengan syarat tertanggung belum menanggung risiko sebagian atau

    seluruhnya (premi restorno, Pasal 281 KUHD).

    d. Dalam asuransi kebakaran, penanggung harus mengganti biaya yang

    diperlukan untuk membangun kembali apabila dalam asuransi tersebut

    diperjanjikan demikian (Pasal 289 KUHD).

    2) Tertanggung

    Pengertian tertanggung secara umum adalah pihak yang mengalihkan risiko

    kepada pihak lain dengan membayarkan sejumlah premi.

    19 Ibid. hlm. 23.

  • 25

    Berdasarkan Pasal 250 KUHD yang dapat bertindak sebagai tertanggung

    adalah “Bilamana seseorang yang mempertanggungkan untuk diri sendiri, atau

    seseorang, untuk tanggungan siapa diadakan pertanggungan oleh seorang yang lain,

    pada waktu pertanggungan tidak mempunyai kepentingan atas benda tidak

    berkewajiban mengganti kerugian.” Jadi, yang berhak bertindak sebagai

    tertanggung adalah pihak yang mempunyai kepentingan terhadap obyek yang

    dipertanggungkan. Apabila kepentingan tersebut tidak ada, maka pihak

    penanggung tidak berkewajiban memberikan ganti kerugian yang diderita pihak

    tertanggung.

    Kemudian, Pasal 264 KUHD menentukan selain mengadakan perjanjian

    asuransi untuk kepentingan diri sendiri, juga diperbolehkan mengadakan perjanjian

    asuransi untuk kepentingan pihak ketiga, baik berdasarkan pemberian kuasa dari

    pihak ketiga itu sendiri ataupun di luar pengetahuan pihak ketiga yang

    berkepentingan.

    Tertanggung dalam pelaksanaan perjanjian asuransi mempunyai hak dan

    kewajiban yang harus dilaksanakan, sehingga apabila terjadi peristiwa yang tidak

    diharapkan yang terjamin kondisi polis maka penanggung dapat melaksanakan

    kewajibannya.

    Menurut Prof. Dr. H. Man Suparman Sastrawidjaja, S.H., S.U. hak

    tertanggung antara lain : 20

    a. Menuntut agar polis ditandatangani oleh penanggung (Pasal 259

    KUHD).

    20 Ibid. hlm. 20.

  • 26

    b. Menuntut agar polis segera diserahkan oleh penanggung (Pasal 260

    KUHD).

    c. Meminta ganti kerugian bila terjadi hal peristiwa yang tidak diharapkan

    yang terjamin dalam polis.

    Kewajiban tertanggung adalah :21

    a. Membayar premi kepada penanggung (Pasal 246 KUHD).

    b. Memberikan keterangan yang benar kepada penanggung mengenai

    obyek yang diasuransikan (Pasal 251 KUHD).

    c. Mencegah atau mengusahakan agar peristiwa yang dapat menimbulkan

    kerugian terhadap obyek yang diasuransikan tidak terjadi atau dapat

    dihindari; apabila dapat dibuktikan oleh penanggung, bahwa tertanggung

    tidak berusaha untuk mencegah terjadinya peristiwa tersebut dapat

    menjadi salah satu alasan bagi penanggung untuk menolak memberikan

    ganti kerugian bahkan sebaliknya menuntut ganti kerugian kepada

    tertanggung (Pasal 283 KUHD)

    d. Memberitahukan kepada penanggung bahwa telah terjadi peristiwa yang

    menimpa obyek yang diasuransikan.

    3) Agen Asuransi

    Agen asuransi adalah pihak yang mewakili Penanggung dalam melakukan

    transaksi atas nama Penanggung tersebut, tetapi tidak bertanggung jawab sama

    sekali atas apa yang dijanjikan dan hal-hal yang menyangkut ketetapan perjanjian

    ketika menawarkan produk asuransi kepada Tertanggung. Menurut Pasal 1 angka

    21 Ibid. hlm. 21.

  • 27

    28 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, menjelaskan

    bahwa agen asuransi adalah “Orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan

    usaha, yang bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan

    Asuransi Syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili Perusahaan Asuransi

    atau Perusahaan Asuransi Syariah memasarkan produk asuransi atau produk

    asuransi syariah”.

    Agen asuransi memilik peran dalam terjadinya kesepakatan antara pihak

    Tertanggung dengan pihak Penanggung yang mana kesepakatan tersebut akan

    dibuat dalam perjanjian asuransi. Peran agen asuransi tersebut yaitu sebagai

    penghubung antara Penanggung (Perusahaan Asuransi) dengan Tertanggung

    (Konsumen) dalam menawarkan produk asuransi. Jadi, agen adalah seserorang

    yang memberikan jasa sebagai perantara untuk melakukan transaksi bisnis tertentu

    yang menghubungkan pelaku usaha yang satu dengan yang lain atau yang

    menghubungkan pelaku usaha dengan konsumen di pihak yang lain.

    Diperlukannya agen asuransi yaitu :

    Menurut teori agensi (angency theory), bahwa teori agensi

    memberikan pandangan yang terbaru terhadap good corporate

    governance (GCG), yaitu para pendiri PT dapat membuat perjanjian

    yang seimbang antara principal (Perusahaan Asuransi) dan agen.

    Teori agensi menekankan pentingnya principal (Perusahaan

    Asuransi) menyerahkan pengelolaan pemasaran jasa asuransi kepada

    tenaga profesional (Agen) yang lebih mengerti di bidangnya.22

    Agency theory merupakan teori yang menjelaskan tentang hubungan

    kontraktual antara pihak yang mendelegasikan pengambilan keputusan tertentu

    (principal) dan pihak yang menerima pendelegasian tersebut (agent). Agency

    22 Misahardi Wilamarta. 2002. Hak Pemegang Saham Minoritas dalam Rangka Good Corporate

    Governance, Program Pasca Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. hlm. 27-28.

  • 28

    theory memfokuskan pada penentuan perjanjian yang paling efisien yang

    mempengaruhi hubungan prinsipal dan agen.23 Hubungan prinsipal dengan agen

    pada prinsipnya didasarkan pada suatu kesepakatan, yaitu agen setuju untuk

    melakukan suatu perbuatan hukum bagi prinsipal dan pada sisi lain prinsipal setuju

    atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh agen tersebut. Sehingga dengan adanya

    kesepakatan tersebut, maka tanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan

    oleh agen dibebankan pada prinsipal.

    Perusahaan asuransi (Penanggung) memiliki tanggung jawab kepada agen

    asuransi dalam menawarkan produk asuransi milik perusahaan asuransi

    (Penanggung) tersebut, hal ini diatur dalam Pasal 18 Peraturan Otoritas Jasa

    Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan

    Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan

    Reasuransi Syariah. “Bahwa Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,

    atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi yang mengunakan Agen Asuransi

    dalam memasarkan produknya wajib memastikan bahwa dalam kegiatan

    pemasarannya, Agen Asuransi paling sedikit telah melakukan tindakan sebagai

    berikut” :

    a. Menyampaikan identitas sebagai wakil sah dari Perusahaan Asuransi,

    Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan

    Asuransi dengan menunjukkan lisensi keagenan yang berlaku untuk

    Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah

    pada Perusahaan Asuransi yang diwakilinya

    23 Antonius Alijoyo dan Subiarto Zaini. 2004. Komisaris Independen, Penggerak Praktik GCG di

    Perusahaan ̧PT Indeks, Jakarta. hlm. 6.

  • 29

    b. Menyampaikan informasi mengenai produk asuransi yang ditawarkan

    dan informasi penting yang terkait dengan syarat dan ketentuan polis

    dengan memperhatikan ketentuan peraturan OJK mengenai perlindungan

    konsumen sektor jasa keuangan

    c. Menyampaikan kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta atas

    penerimaan atau penolakan surat penutupan asuransi dari Perusahaan

    Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada

    Perusahaan Asuransi kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta

    paling lama 5 (lima) hari kerja sejak ada keputusan penerimaan atau

    penolakan pertanggungan

    d. Menginformasikan dokumen yang diperlukan untuk pengajuan formulir

    e. permohonan penutupan asuransi

    f. Meminta dokumen yang diperlukan untuk pengajuan formulir

    permohonan dan dokumen lainnya yang dimintakan oleh Perusahaan

    Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada

    Perusahaan Asuransi untuk penutupan asuransi

    g. Memastikan pemegang polis, tertanggung, atau peserta mengisi seluruh

    formulir surat permohonan pertanggungan asuransi secara lengkap sesuai

    dengan dokumen yang disampaikan.

    2. Asuransi Jiwa

    a. Pengertian Asuransi Jiwa

    Dalam KUHD diatur mengenai asuransi jiwa, Pasal 302 KUHD

    menjelaskan bahwa “Jika seseorang dapat guna keperluan seseorang yang

  • 30

    berkepentingan, dipertanggungkan, baik untuk selama hidupnya jiwa itu, baik

    untuk suatu waktu yang ditetapkan dalam perjanjian”. Jadi, asuransi jiwa adalah

    sejenis perjanjian asuransi yang mempertanggungkan jiwa seseorang yang

    berkepentingan, baik untuk jangka waktu tertentu maupun untuk sepanjang

    hidupnya.24

    Kemudian, Pasal 303 KUHD yang berbunyi “Si yang berkepentingan itu

    dapat mengadakan pertanggungan tersebut bahkan di luar pengetahuan atau

    persetujuan orang yang jiwanya dipertanggungkan”. Menurut Pasal 303 KUHD,

    orang yang jiwanya dipertanggungkan atau penikmat (beneficary) tidak perlu tahu

    atau tidak perlu pula dimintai izin bila Si yang berkepentingan memiliki niat untuk

    menutup asuransi untuk dirinya. Oleh karenanya, wajar saja bila seorang ayah boleh

    menutup asuransi asuransi jiwa bagi istri dan anak-anaknya atau kedua

    orangtuanya, tanpa perlu memberitahu tahu atau tanpa perlu meminta izin pada

    mereka yang akan dipertanggungkan jiwanya. Kebolehan tersebut tentu beralasan

    karena Si penutup polis memiliki kepentingan (hubungan hukum) dengan orang-

    orang yang dipertanggungkan jiwanya. Baik kepentingan itu terbentuk hubungan

    perkawinan (suami menutup polis bagi istrinya), hubungan darah (seorang anak

    menutup polis bagi kedua orangtuanya atau seseorang ayah menutup polis bagi

    anak-anaknya).25

    Menurut H.M.N Purwosutjipto, asuransi jiwa atau disebut juga

    dengan pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal-balik antara

    penutup asuransi (Tertanggung) dengan Penanggung dengan mana

    penutup asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan

    dengan membayar uang premi kepada Penanggung. Sedangkan

    Penanggung, sebagai akibat langsung dari meninggalnya orang yang

    24 Mulhadi. Op.Cit. hlm. 231. 25 Ibid. hlm. 232

  • 31

    jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu jangka waktu

    yang diperjanjikan mengikat diri untuk membayar sejumlah uang

    tertentu kepada orang yang ditunjuk untuk penutup asuransi sebagai

    penikmatnya.26

    Jadi, pada asuransi jiwa diperjanjikan demi kepentingan diri sendiri

    (Tertanggung) atau untuk orang lain yang jiwanya akan dipertanggungkn. Hal yang

    membedakan yang ada pada asuransi jiwa, yaitu, apabila sampai berakhirnya

    jangka waktu asuransi tidak terjadi peristiwa kematian atau kecelakann yang

    menimpa diri Tertanggung, maka Tertanggung akan memperoleh pengembalian

    sejumlah dari Penanggung sesuai dengan isi perjanjian asuransi. Premi yang

    dibayar oleh Tertanggung itu seolah-olah sebagai tabungan pada Penanggung.

    Kemudian di dalam asuransi jiwa apabila dalam jangka waktu asuransi terjadi

    peristiwa kematian atau kecelakaan yang menimpa diri Tertanggung, maka

    Penanggung akan membayar jumlah asuransi yang telah disepakati bersama seperti

    tercantum dalam polis. Pembayaran tersebut didasarkan karena adanya peristiwa

    kematian atau kecelakaan, bukan karena terjadinya kerugian. Maka fungsi

    diadakannya asuransi jiwa, yaitu :27

    a. Media Proteksi : memberikan santunan kepada ahli waris ketika

    tertanggung meninggal dunia dalam periode pertanggungan.

    b. Media Investasi : memberikan santunan kepada ahli waris atau pemegang

    polis ketika tertanggung tetap hidup sampai usia tertentu atau sampai

    akhir masa pertanggungan.

    26 H.M.N Purwosutjipto. 1992. Pengertian Pokok Hukum Dagang, Jilid 6, Penerbit Djambatan,

    Jakarta. hlm. 9. 27 Dessy Danarti.2011. Jurus Pintar Asuransi, Agar Anda Tenang, Aman, dan Nyaman, Gmedia,

    Yogyakarta. hlm. 49.

  • 32

    b. Subjek dan Objek Asuransi Jiwa

    Dalam asuransi jiwa, asuransi diadakan untuk menjamin apabila

    Tertanggung mengalami suatu evenemen yang mengakibatkan Tertanggung

    meninggal dunia atau cacat.

    Kemudian, setidaknya ada tiga jenis risiko yang memengaruhi diadakannya

    perjanjan asuransi jiwa, yaitu risiko kematian, risiko hari tua dan risiko kecelakaan

    atau sakit.

    Tertanggung dapat mengadakan asuransi jiwa untuk pihak ketiga ataupun

    untuk dirinya sendiri, jadi dalam asuransi jiwa terdapat Penanggung, Tertanggung

    dan pihak ketiga yaitu orang yang menerima manfaat (beneficiary) dari

    Tertanggung.

    Pada dasarnya Penanggung merupakan perusahaan asuransi yang

    menanggung beban risiko (jiwa/raga) sebagai imbalan premi yang diterimanya dari

    Tertanggung. Dalam asuransi jiwa, jika terjadi suatu peristiwa yang mengakibatkan

    matinya Tertanggung, maka Penanggung wajib membayar uang santunan sesuai

    dengan uang asuransi yang diperjanjikan, atau jika berakhirnya jangka waktu

    asuransi tanpa terjadi suatu peristiwa, maka Penanggung wajib membayar sejumlah

    uang pengembalian kepada Tertanggung.

    Pihak ketiga atau penerima manfaat (beneficiary) adalah orang yang

    ditunjuk oleh Tertanggung, baik berdasarkan kuasa umum atau khusus, bahkan

    tanpa pengetahuan pihak yang berkepentingan (ahli waris tertanggung). Penerima

    manfaat berhak menikmati santunan yang diperjanjikan dalam asuransi apabila

    terjadi evenemen yang mengakibatkan Tertanggung meninggal.

  • 33

    Akan tetapi jika evenemen tidak terjadi, maka Tertanggung atau Pemegang

    polis berhak menikmati pengembalian sejumlah uang yang dibayar oleh

    Penanggung atas pembayaran premi dari Tertanggung.

    Pihak ketiga atau penerima manfaat (beneficiary) tidak mempunyai

    kewajiban membayar premi terhadap Penanggung. Jadi, beneficiary tidak memiliki

    tanggung jawab atas asuransi jiwa yang diadakan oleh Tertanggung. Asuransi jiwa

    untuk kepentingan pihak ketiga atau penerima manfaat (beneficiary) harus

    dicantumkan dalam polis.28

    c. Jenis-Jenis Asuransi Jiwa

    Terdapat 3 jenis asuransi jiwa tradisional, yaitu :

    1) Asuransi Jiwa Berjangka (Term)

    Asuransi jiwa berjangka memberikan perlindungan asuransi untuk suatu

    jangka waktu tertentu dan membayarkan manfaat hanya jika Tertanggung

    meninggal dunia.29 Asuransi jiwa berjangka atau asuransi term life memberikan

    proteksi jiwa dalam waktu yang terbatas, memiliki nilai premi atau pembayaran per

    bulan yang rendah dengan nilai pertanggungan yang lebih besar, namun jika sampai

    masa akhir masa perjanjian asuransi pemegang polis masih dalam keadaan sehat,

    maka otomatis perjanjian berakhir dan tidak ada uang yang akan dikembalikan atau

    diterima Tertanggung.

    28 Abdulkadir Muhammad. Op.Cit. hlm. 199. 29 Achdijat D. 1995. Teknik Pengelolaan Asuransi Jiwa, Gunadarma, Jakarta. hlm. 32.

  • 34

    Terdapat berbagai bentuk asuransi jiwa berjangka, yaitu asuransi jiwa

    berjangka tetap, asuransi jiwa berjangka menurun, dan asuransi jiwa berjangka

    menaik :30

    a. Asuransi jiwa berjangka tetap, memberikan perlindungan pada tingkat

    jumlah pembayaran asuransi yang tetap sampai jangka waktu berakhir.

    b. Asuransi jiwa berjangka menurun, memberikan perlindungan dengan

    jumlah pembayaran asuransi yang menurun secara bertahap sepanjang

    jangka waktu perlindungan.

    c. Asuransi jiwa berjangka menaik, memberikan perlindungan dengan

    jumlah pembayaran asuransi yang terus naik pada selang periode tertentu

    sepanjang jangka waktu polis.

    2) Asuransi Jiwa Seumur Hidup (Whole Life)

    Dikatakan seumur hidup karena adanya perlindungan permanen untuk

    seumur hidup, dimulai sejak tanggal penerbitan polis hingga pemilik polis

    meninggal dunia, asalkan premi dibayar oleh Tertanggung.31

    Asuransi jiwa seumur hidup memberikan perlindungan dalam jangka waktu

    yang lebih lama dari asuransi jiwa berjangka, karena perlindungan asuransi jiwa

    seumur hidup adalah permanen, sehingga adanya jaminan uang kembali (tabungan

    jangka panjang), tetapi asuransi jiwa seumur hidup memiliki nilai premi yang lebih

    besar.

    30 Ibid. 31 Ibid. hlm. 36.

  • 35

    Ada beberapa macam asuransi jiwa seumur hidup, yaitu asuransi jiwa

    seumur hidup modifikasi, bertingkat, deposit minimum dan tidak tetap :32

    a. Asuransi jiwa seumur hidup modifikasi, yang membedakan yaitu

    pembayaran premi yang rendah pada beberapa tahun pertama dan akan

    lebih besar pada akhir-akhir tahun.

    b. Asuransi jiwa seumur hidup bertingkat, premi pada awal tahun lebih

    rendah, setelah itu meningkat setiap tahun hingga mencapai tingkat yang

    mencukupi.

    c. Asuransi jiwa seumur hidup deposit minimum, dimulai dengan

    membentuk nilai tunai bersamaan dengan pembayaran premi pertama.

    Sejak saat itu, pemegang polis memnjam dari nilai tunai yang terbentuk

    untuk membayar sebagian atau seluruh premi yang disyaratkan.

    d. Asuransi jiwa seumur hidup dengan premi tidak tetap, yaitu polis dengan

    tarif premi yang disesuaikan berdasarkan antisipasi pengalaman masa

    mendatang Penanggung. Premi tertinggi, seperti tertuang dalam

    perjanjian, sekalipun premi yang dibayarkan pada saat penerbitan lebih

    rendah dan bertahan pada suatu jangka waktu tertentu. Setelah jangka

    awal dilampaui dan berdasarkan ekspektasi perusahaan atas mortalita,

    biaya dan investasi premi dapat meningkat, tetap atau menurun.

    3) Asuransi Jiwa Dwiguna (Endowment)

    Manfaat yang diberikan dalam asuransi jiwa dwiguna yang pertama yaitu,

    berupa penerimaan sejumlah uang pertanggungan jika Tertanggung meninggal

    32 Ibid. hlm. 39.

  • 36

    dunia dalam periode waktu tertentu sesuai dengan kebijakan polis asuransi yang

    dibeli. Kedua, jika Tertanggung masih hidup saat jangka waktu berakhir,

    Tertanggung atau ahli waris yang ditunjuk akan mendapatkan seluruh

    pertanggungan, atau Tertanggung juga bisa mendapatkan nilai tunai berkala

    sebelum masa perjanjian berakhir.33 Tetapi beban pembayaran premi yang

    diberikan kepada Tertanggung lebih tinggi.

    d. Prinsip-Prinsip dalam Asuransi Jiwa

    1) Prinsip kepentingan (Insurable Interest)

    Dalam asuransi jiwa yang menjadi objek adalah jiwa atau raga seseorang.

    Atas jiwa atau raga tersebut yang berkepentingan adalah dirinya sendiri atau pihak

    ketiga. Pihak ketiga memiliki kepentingan terhadap Tertanggung karena

    merupakan ahli waris atau orang disebut di dalam polis untuk menerima santunan

    atas meninggalnya Tertanggung.

    Dalam asuransi jiwa kepentingan Tertanggung terhadap hidup atau matinya

    seseorang yang dipertanggungkan dijadikan syarat bagi Tertanggung untuk

    menerima jaminan asuransi dari Penanggung akibat adanya kerugian finansial dan

    hilangnya hak subjektif yang diberikan Tertanggung kepada keluarganya.34

    2) Prinsip itikad baik (Utmost Good Faith)

    Pada hakikatnya asas kejujuran adalah asas bagi setiap perjanjian asuransi

    yang ada dalam ketentuan KUH Perdata. Tidak dipenuhi asas akan menutup suatu

    perjanjian suatu perjanjian akan menyebabkan cacat kehendak. Pasal 251 KUHD

    33 Ibid. hlm. 40. 34 Santanoe Kertonegoro.1991. Asuransi Jiwa dan Pensiun, Jakarta. hlm. 154.

  • 37

    mengatur tentang itikad baik atau kejujuran, hal ini disebabkan karena perjanjian

    asuransi mempunyai sifat-sifat khusus, dibandingkan dengan perjanjian-perjanjian

    lain dalam KUH Perdata. Tertanggung harus menyadari bahwa pihaknya

    mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarnya,

    sejujur-jujurnya, dan selengkap-lengkapnya mengenai keadaan objek yang

    diasuransikan.35 Tetapi itikad baik ini hanya dibebankan kepada Tertanggung.

    Kewajiban pemberitahuan merupakan realisasi penerapan teori objektivitas

    (objectivity theory) mengenai identitas objek asuransi. Di dalam SPPA dimintakan

    kepada Tertanggung untuk menjelaskan secara jelas dan tepat mengenai riwayat

    medis Tertanggung. Maka merupakan kewajiban Tertanggung untuk mengisi dan

    menjelaskan secara jelas dan tepat mengenai riwayat medis yang akan dicantumkan

    dalam SPPA tersebut.

    e. Berakhirnya Asuransi Jiwa

    1) Karena terjadinya peristiwa (evenemen)

    Ketika terjadi peristiwa meninggalnya Tertanggung dalam masa perjanjian

    dilaksanakan, maka Penanggung berkewajiban membayar uang santunan kepada

    penerima manfaat yang ditunjuk oleh Tertanggung atau kepada ahli warisnya. Sejak

    Penanggung melunasi pembayaran uang santunan tersebut, sejak itu pula asuransi

    jiwa berakhir.36

    Asuransi jiwa berakhir bukan berakhir pada saat tertanggung meninggal

    dunia, melainkan setelah penanggung membayarkan uang santunan kepada

    35 Angger Sigit Pramukti dan Andre Budiman Panjaitan. 2016. Pokok-Pokok Hukum Asuransi,

    Pustaka Yustisia, Yogyakarta. hlm. 22-23. 36 Abdulkadir Muhammad. Op.Cit. hlm. 201.

  • 38

    penerima manfaat/ahli waris. Pasal 1234 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

    menentukan, “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat

    sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Dalam konteks perjanjian asuransi,

    subjeknya adalah perjanjian untuk berbuat sesuatu. Bagi penanggung yaitu janji

    penanggung untuk memberikan penggantian atas kerugian atau kehilangan atau

    tanggung jawab yang timbul atau manfaat asuransi yang sah.37 Jadi, asuransi jiwa

    berakhir setelah dibayarkannya klaim Tertanggung oleh Penanggung.

    2) Karena jangka waktu berkahir

    Apabila jangka waktu perjanjian asuransi itu berakhir tanpa terjadi

    evenement terhadap tertanggung, maka beban risiko penanggung berakhir. Akan

    tetapi, dalam perjanjian asuransi jiwa seringkali ditentukan bahwa penanggung

    akan mengembalikan sejumlah uang pada tertanggung apabila sampai jangka waktu

    asuransi habis tidak terjadi evenement. Hal ini dikarenakan fungsi dari asuransi jiwa

    bukan saja sebagai media proteksi, melainkan media investasi.38

    3) Asuransi gugur

    Pasal 306 KUHD menjelaskan, “Apabila orang yang diasuransikan jiwanya

    pada pada saat diadakan asuransi ternyata sudah meninggal, maka asuransinya

    gugur, meskipun Tertanggung tidak mengetahui kematian tersebut, kecuali jika

    diperjanjikan lain.”

    37 Junaedy Ganie. 2011. Hukum Asuransi Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 56. 38 Dessy Danarti. Loc.Cit.

  • 39

    Kemudian, Pasal 307 KUHD menjelaskan, “Apabila orang yang

    mengasuransikan jiwanya bunuh diri, atau dijatuhi hukuman mati, maka asuransi

    jiwa itu gugur.”

    4) Asuransi dibatalkan

    Asuransi jiwa dapat berakhir karena pembatalan sebelum jangka waktu

    perjanjian berakhir. Pembatalan tersebut dapat terjadi karena tertanggung tidak

    melanjutkan pembayaran premi sesuai dengan perjanjian atau karena permohonan

    tertanggung sendiri.39

    3. Polis Asuransi

    a. Syarat-Syarat Sah Perjanjian Asuransi

    Asuransi didasari atas suatu perjanjian. Ketentuan mengenai perjanjian

    diatur dalam 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata memberikan ketentuan

    mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu :

    1) Adanya persetujuan kehendak antara Penanggung dengan Tertanggung

    Persetujuan kehendak merupakan suatu kesepakatan, sepakat menurut

    Herlien Budiono, mencakup perngertian tidak saja “sepakat” untuk mengikatkan

    diri, tetapi juga “sepakat” untuk mendapatkan prestasi. Dalam perjanjian timbal

    balik masing-masing pihak tidak saja mempunyai kewajiban, tetapi juga berhak atas

    prestasi yang telah diperjanjiakan. Suatu perjanjian sepihak yang memuat hak atau

    kewajiban satu pihak untuk mendapatkan atau memberikan prestasi, tetap

    39 Abdulkadir Muhammad. Op.Cit. hlm. 203.

  • 40

    mensyaratkan adanya kata sepakat dari kedua belah pihak.40 terjadinya kesepakatan

    dimulai dengan proses offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan) antara

    Penanggung dengan Tertanggung (bergaining theory). Dalam perjanjian asuransi,

    penawaran berasal dari Tertanggung, sendangkan penerimaan dalam hal ini berupa

    risiko berasal dari Penanggung.

    Menurut Bergaining theory, setiap perjanjian hanya akan

    terjadi antara kedua pihak apabila penawara (offer) dari pihak yang

    satu dihadapkan dengan penerimaan (acceptance) oleh pihak yang

    lainnya dan sebaliknya. Titik temu antara penawaran dan penerimaan

    secara timbal bali menciptakan kesepakatan yang menjadi dasar

    perjanjian antara kedua pihak.41

    Dalam bisnis asuransi, acceptancae (penerimaan) timbul pada saat

    pertanggungan dimulai atau polis diterbitkan, mana saja yang lebih dahulu, tetapi

    proses offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan) akan tetap menjadi bagian

    tidak terpisahkan dari polis asuransi yang diterbitkan kemudian. Dengan demikian,

    tertanggung terikat dengan semua informasi yang diberikan yang menjadi dasar

    bagi penanggung untuk melakukan penutupan asuransi.42

    2) Kecakapan dan Kewenangan

    Para pihak dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum menurut undang-

    undang apabila orang tersebut sudah dewasa, sehat ingatan, tidak di bawah

    perwalian, atau pemegang kuasa yang sah. Sedangkan yang dimaksud kewenangan

    bahwa Tertanggung mempunyai hubungan yang sah dengan benda objek asuransi

    karena benda tersebut adalah kekayaan miliknya sendiri. Sedangkan penanggung

    40 Harlien Budiono. 2009. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

    Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. hlm. 73-74. 41 Ibid. hlm. 55. 42 Junaedi Ganie. Op.Cit. hlm. 56.

  • 41

    adalah pihak yang sah mewakili perusahaan asuransi berdasarkan anggaran dasar

    perusahaan.

    Pasal 1330 KUH Perdata menentukan kualifikasi orang yang tidak cakap

    membuat perjanjian, yaitu :

    a. Orang-orang yang belum dewasa

    b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan

    c. Kemudian ketentuan ketiga yang telah direvisi oleh Mahkamah Agung

    RI berdasarkan Surat Edaran No. 3/1963 tanggal 4 Agustus 1963 yang

    ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di

    seluruh Indonesia bahwa perempuan adalah cakap sepanjang memenuhi

    syarat telah dewasa dan tidak di bawah pengampunan

    3) Objek

    Objek yang dapat diasuransikan berupa harta kekayaan dan kepentingan

    yang melekat pada harta kekayaan, dapat pula berupa jiwa raga manusia. Objek

    asuransi harus jelas dan pasti. Tertanggung harus membuktikan bahwa dia memiliki

    kepentingan atas objek asuransi tersebut. Apabila Tertanggung tidak dapat

    membuktikannya, maka akan timbul anggapan bahwa Tertanggung tidak

    mempunyai kepentingan apa-apa, hal mana mengakibatkan asuransi batal (null and

    void).43

    4) Kausa yang halal

    43 Abdulkadir Muhammad. Op.Cit. hlm. 52.

  • 42

    Bahwa perjanjian asuransi tersebut diadakan tidak dilarang undang-undang,

    tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan

    kesusilaan. Harlen Budiono menjelaskan bahwa kata “causa” dalam ilmu hukum

    mengandung pengertian sebagai dasar yang melandasi hubungan hukum di bidang

    kekayaan. Suatu perjanjian hanya akan mempunyai akibat hukum jika memenuhi 2

    syarat, pertama, tujuan perjanjian mempunyai dasar yang pantas atau patut; kedua,

    harus mengandung sifat yang sah.44

    Berdasarkan Pasal 257 KUHD perjanjian pertanggungan, terjadi segera

    setelah tercapai persesuaian kehendak antara kedua pihak. Untuk berlaku sah

    perjanjian pertanggungan, tidak tergantung pada adanya suatu syarat formalitas

    atau akta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sifat perjanjian asuransi adalah

    konsensuil.

    b. Penerbitan Polis Asuransi

    Berdasarkan acceptance theory (teori penerimaan), perjanjian asuransi

    terjadi dan mengikat pihak-pihak pada saat penawaran sungguh-sungguh diterima

    oleh Tertanggung.45 Dalam hal ini berarti penawaran tertulis pihak Penanggung

    telah diterima oleh Tertanggung walaupun isi tulisan itu belum dibacanya. Diterima

    penawaran itu dibuktikan oleh tindakan nyata dari Tertanggung, biasanya dengan

    menandatangani SPPA yang disodorkan oleh Penanggung yang disebut nota

    persetujuan (cover note). Aplikasi asuransi (SPPA) yang telah diisi dan dilengkapi

    44 Harlen Budiono. Op.Cit. hlm. 112. 45 Abdulkadir Muhammad. Op.Cit. hlm. 56.

  • 43

    calon Tertanggung atau Pemegang polis dengan benar dan jujur akan menjadi dasar

    terbitnya polis.46

    Aplikasi asurasni mencantumkan berbagai macam keterangan yang

    memuat, identitas calon Tertanggung, jenis pertanggungan, obyek yang

    dipertanggungkan, besarnya pertanggungan, lama waktu pertanggungan serta

    besarnya premi yang harus dibayar calon tertanggung, serta hal penting lainnya.

    Calon Tertanggung dalam perjanjian asuransi dipersyaratkan untuk mengisi dan

    mengajukan aplikasi asuransi sebagai permohonan membeli asuransi, meskipun

    pada kenyataannya yang melakukan pengisian adalah agen asuransi, namun tanda

    tangan harus dibubuhkan oleh calon tertanggung sendiri.

    Pasal 255 KUHD menjelaskan bahwa “Perjanjian pertanggungan harus

    diadakan dengan membuat suatu akta, yang disebut polis.” Polis berfungsi sebagai

    alat bukti tertulis yang menyatakan bahwa telah terjadi perjanjian asuransi antara

    Tertanggung dan Penanggung Sebagai alat bukti tertulis, isi yang tercantum dalam

    polis harus jelas, tidak boleh mengandung kata-kata atau kalimat yang

    memungkinkan perbedaan interpretasi, sehingga mempersulit Tertanggung dan

    Penanggung merealisasikan hak dak kewajiban mereka dalam pelaksanaan

    asuransi. Di samping itu, polis juga memuat kesepakatan mengenai syarat-syarat

    khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban

    untuk mencapai tujuan asuransi.47

    Pasal 259 ayat 1 KUHD menjelaskan bahwa “Polis harus ditawarkan kepada

    Penanggung supaya ditandatangani dan didalam waktu 24 jam setelah ditawarkan

    46 Ketut Sendra.2009. Klaim Asuransi: Gampang, BMAI & PPM, Jakarta. hlm. 43. 47 Abdulkadir Muhammad. Op.Cit. hlm. 55.

  • 44

    harus diserahkan kembali kepada Tertanggung. Dari bunyi pasal 259 itu maka dapat

    ditarik kesimpulan bahwa yang membuat polis itu adalah pihak Tertanggung.48

    Jadi, menurut Emmy P. Simanjuntak, ketentuan ini

    merupakan perlindungan kepada pihak Tertanggung. Klasulua-

    klausula yang tertera di dalam polis yang telah bersifat baku

    merupakan undang-undang bagi para pihak jika mengenai itu telah

    disetujui oleh mereka, terutama dalam hal ini bagi Tertanggung.

    Tertanggung perlu sekali dengan seksama meneliti syarat-syarat atau

    kondisi-kondisi atau klausula-klausula yang disodorkan kepadanya ke

    dalam polis itu, sebab bagaimanapun juga syarat-syarat tersebut

    adalah buatan dari Penanggung sebagai perusahaan-perusahaan besar

    yang tentunya mempunyai kepentingan memperoleh kemajuan-

    kemajuan di dalam menjalankan perusahaannya dan khusus untuk

    memperoleh keuntungan.49 Yang menentukan isi dari polis tersebut

    sebetulnya adalah Tertanggung, karena Tertanggung sebelumnya

    telah mengisi SPPA yang menjadi dasar pertimbangan bagi

    Penanggung untuk menerbitkan polis.

    c. Penandatanganan Polis

    Polis bukan merupakan syarat esensial dalam perjanjian asuransi, tetapi

    hanya berfungsi sebagai alat bukti, selain itu terdapat SPPA sebagai alat bukti

    permulaan.

    Menurut Pasal 258 ayat 1 KUHD bahwa “Untuk membuktikan hal

    ditutupnya perjanjian asuransi, diperlukan pembuktian dengan tulisan (polis),

    namun demikian bolehlah lain-lain alat pembuktian dipergunakan juga, manakala

    sudah ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan.”

    Diterbitkannya polis tersebut merupakan sebuah alat pembuktian yang

    diberikan Penanggung kepada Tertanggung, hal tersebut demi kepentingan

    48 Emmy Pangaribuan Simanuntak.1990. Hukum Pertanggungan, Cetakan ke-10, Sesi Hukum

    Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. hlm.20 49 Ibid. hlm. 21.

  • 45

    Tertanggung ketika mengajukan klaim asuransi. Maka berdasarkan Pasal 256 ayat

    2 KUHD bahwa polis dibuat secara sepihak dan hanya ditandatangani oleh

    Penanggung.50 Tetapi tidak menutup kemungkinan apabila polis tersebut

    ditandatangani oleh Tertanggung sendiri.

    d. Polis Asuransi Jiwa

    Polis asuransi jiwa diatur di dalam Pasal 304 KUHD yang menyebutkan

    beberapa hal yang menjadi isi dari polis yaitu :

    1) Hari diadakan asuransi

    2) Nama Tertanggung

    3) Nama orang yang jiwanya diasuransikan

    4) Saat mulai dan berakhirnya evenemen

    5) Jumlah asuransi

    6) Premi asuransi

    Mengenai rancangan jumlah dan penentuan syarat-syarat asuransi sama

    sekali bergantung pada persetujuan antara kedua belah pihak seperti yang

    dijelaskan dalam Pasal 305 KUHD.

    4. Klausula Baku

    a. Pengaturan

    Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

    Perlindungan Konsumen bahwa klausula baku adalah “setiap aturan atau ketentuan

    dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara

    50 Ibid. hlm.26.

  • 46

    sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau

    perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

    Ketentuan pencantuman klausula baku terdapat pada Pasal 18 ayat 1

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa

    “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk

    diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap

    dokumen dan/atau perjanjian apabila :

    1) Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha

    2) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

    barang yang dibeli konsumen

    3) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang

    yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen

    4) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik

    secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan

    sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara

    angsuran

    5) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

    pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen

    6) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau

    mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa

    7) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

    baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak

    oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya

  • 47

    8) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

    pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang

    yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

    Dengan adanya Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

    tentang Perlindungan Konsumen merupakan upaya dalam pemberdayaan

    konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam perjanjian dengan

    pelaku usaha.

    Kemudian, Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

    Perlindungan Konsumen memuat ketentuan limitatif yang melarang pelaku usaha

    mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak

    dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

    Pengertian klasula baku tidak sama dengan pengertian klausula eksonerasi.

    Artinya, klasula baku adalah klausula yang dibuat atau dicantumkan secara sepihak

    dalam perjanjian oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada

    klausula eksonerasi.51 Jadi, klausula baku penekanannya pada prosedur pembuatan

    atau pencantumannya secara sepihak dalam perjanjian, bukan pada isi

    perjanjiannya.

    Sedangkan klausula eksonerasi tidak hanya menekankan pada prosedur

    pembuatan atau pencantumannya dalam perjanjian, tetapi juga isinya yang

    bertujuan pengalihan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha.52

    51 Muhammad Syaiffuddin. 2012. Hukum Kontrak : Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat,

    Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Mandar Maju, Bandung.

    hlm. 236. 52 Ibid. hlm. 237.

  • 48

    Konsekuensi apabila terdapat suatu perjanjian yang melanggar ketentuan

    Pasal 18 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

    Perlindungan Konsumen, maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan

    tidak mengikat para pihak.

    b. Klausula Eksonerasi

    Menurut Rijken bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang

    dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri

    untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang

    terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum.53

    Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku dengan klausula

    eksonerasi yang meniadakan atau membatasi kewajiban salah satu pihak

    (Penanggung) untuk membayar ganti kerugian kepada Tertanggung, memiliki ciri-

    ciri sebagai berikut :54

    1) Isiniya ditetapkan secara sepihak oleh Penanggung yang posisinya relatif

    kuat daripada Tertanggung

    2) Tertanggung sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu

    3) Terdorong oleh kebutuhannya, Tertanggung terpaksa menerima perjanjian

    tersebut

    4) Bentuknya tertulis

    5) Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual

    53 Mariam Darus Badrulzaman.1994. Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung. hlm. 47. 54 Ibid. hlm. 50.

  • 49

    Selain itu, salah satu ciri perjanjian baku yang dikemukakan oleh Mariam

    Darus Badrulzaman, yaitu bahwa Debitur sama sekali tidak menentukan isi

    perjanjian itu, juga tidak dibenarkan, karena perjanjian baku pada umumnya dibuat

    dengan tetap memungkinkan pihak lain (Bukan pihak yang merancang perjanjian

    baku) untuk menentukan unsur esensial dari perjanjian, sedangkan klausula yang

    pada umumnya tidak dapat adalah klausula yang merupakan unsur aksidentalia

    dalam perjanjian.55

    Pihak yang lebih kuat (Penanggung) biasanya menggunakan kesempatan

    tersebut untuk menentukan klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku,

    sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat oleh para pihak yang terlibat dalam

    perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam perjanjian baku, karena format dan isi

    perjanjian dibuat oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.

    Maka dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat klausula-klausula

    yang menguntungkan seperti meringankan atau menghapuskan kewajiban-

    kewajiban yang menjadi tanggung jawab Penanggung. Hal yang yang dilakukan

    oleh Penanggung tersebut dikenal dengan penyalahgunaan keadaan.56

    Sluijter mengatakan bahwa perjanjian baku bukan merupakan merupakan

    perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti

    pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever). Syarat-syarat

    55 Ahmad Miru. 2000. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia,

    Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya. hlm.160-161. 56 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo. 2015. Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo

    Persada, Jakarta. hlm. 117.

  • 50

    yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah undang-undang, bukan

    perjanjian.57

    Jadi, perjanjian baku yang memuat klausul-klausul baku merupakan

    perjanjian yang mengikat para pihak yang mengadakannya, apabila timbul suatu

    kerugian dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus

    melakukan suatu prestasi berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika

    klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 ayat 1

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

    c. Intervensi Negara dalam Perjanjian Baku

    Menurut Sutan Remy Sjahdeini, agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap

    asas kebebasan membuat perjanjian oleh pihak yang berkedudukan lebih kuat,

    maka diperlukan intervensi atau campur tangan negara menggunakan undang-

    undang dan pengadilan.58

    Intervensi negara dalam perjanjian asuransi dapat dilakukan oleh

    pemerintah. Melalui OJK (Otoritas Jasa Keuangan), OJK dapat membuat suatu

    peraturan yang mempertimbangan untuk dilakukannya standarisasi perjanjian

    dalam perjanjian asuransi.

    Anggota Dewan Komisioner Bidang Perlindungan dan

    Edukasi Konsumen OJK, Tirta Segara, mengatakan pihaknya

    mempertimbangkan untuk menyeragamkan perjanjian polis asuransi

    agar tercipta standar perjanjian yang seimbang antara perusahaan

    asuransi dengan nasabah atau konsumen. Selama ini OJK telah

    57 Ibid. hlm. 119. 58 Muhammad Syaifuddin. Op. Cit. hlm. 229.

  • 51

    memiliki perangkat hukum yang mengatur perjanjian produk jasa

    keuangan terkait larangan penyusunan klausula baku.59

    Sehingga dengan adanya intervensi negara tersebut perjanjian baku dapat

    menciptakan sutu perjanjian yang memenuhi keseimbangan, keadilan, dan

    kewajaran sehingga tidak merugikan konsumen (Tertanggung).

    Kemudian, dijelaskan mengenai penyalahgunaan keadaan yang dapat

    merugikan konsumen melalui Woeker Ordonantie tahun 1938. Berdasarkan Pasal

    2 Ordonansi tersebut, para hakim diberikan kewenangan untuk mengurangi

    kewajiban pihak yang dirugikan atau membatalkan perjanjian dalam hal hakim

    menemukan adanya ketidakseimbangan yang mencolok antara kewajiban-

    kewajiban para pihak.60

    Untuk melaksanakan kewenangan hakim tersebut, maka disyaratkan

    bahwa:61

    1) Pihak yang dirugikan mengajukan permohonan untuk itu

    2) Pihak yang dirugikan tidak secara penuh menyadari segala akibat perjanjian

    yang telah diadakannya, dan

    3) Pihak yang dirugikan ternyata bertindak ceroboh, tanpa pengalaman, atau

    dalam keadaan darurat

    Upaya tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk membatasi

    kerugian akibat penggunaan klausula eksonerasi dalam perjanjian.

    59 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59d49a552d535/ojk-akan-atur-standardisasi-

    perjanjian-polis-asuransi, diakses pada tanggal 13 Oktober 2017. 60 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo. Op. Cit. hlm. 126. 61 Ibid.

    http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59d49a552d535/ojk-akan-atur-standardisasi-perjanjian-polis-asuransihttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59d49a552d535/ojk-akan-atur-standardisasi-perjanjian-polis-asuransi

  • 52

    d. Klausula Polis

    Perjanjian asuransi selalu memuat janji-janji khusus yang dirumuskan

    dengan tegas dalam polis, yang lazim disebut klausula polis. Maksud klausula

    tersebut adalah untuk mengetahui batas tanggung jawab Penanggung dalam

    pembayaran ganti kerugian, apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian.

    Jenis-jenis klausulan asuransi itu ditentukan oleh sifat objek asuransi, bahaya yang

    mengancam dalam setiap asuransi.

    Klausula-klausula dimaksud dirumuskan dan diuraikan sebagai berikut :

    1) Klausula Premier Risque

    Klausula ini menyatakan bahwa apabila pada asuransi di bawah nilai benda

    terjadi kerugian sebagian (partial loss), Penanggung akan membayar ganti kerugian

    seluruhnya sampai maksimum jumlah yang diasuransikan (Pasal 253 ayat 3

    KUHD). Klausula ini biasa digunakan pada asuransi pembongkaran dan pencurian

    serta asuransi tanggung jawab.62

    2) Klausula All Risk

    Klausula ini menentukan bahwa Penanggung memikul segala risiko atas

    benda yang diasuransikan. Ini berarti penanggung akan mengganti semua kerugian

    yang timbul akibat peristiwa apapun, kecuali kerugian yang timbul karena

    kesalahan tertanggung sendiri (Pasal 276 KUHD) dan karena cacat sendiri

    bendanya (Pasal 249 KUHD).63

    62 Mulhadi. Op. Cit. hlm. 67. 63 Ibid. hlm. 68.

  • 53

    3) Klausula Total Loss Only (TLO)

    Klausula ini menentukan bahwa Penanggung hanya menanggung kerugian

    yang merupakan kerugian keseluruhan/total atas benda yang diasuransikan.64

    4) Klausula Sudah Diketahui (All Seen)

    Klausula ini digunakan pada asuransi kebakaran. Klausula ini menentukan

    bahwa Penanggung sudah mengetahui keadaan, konstruksi, letak, dan cara

    pemakaian bangunan yang diasuransikan.65

    5) Klausula Renunsiasi (Renunciation)

    Menurut klausula, Penanggung tidak akan menggugat Tertanggung dengan

    alasan pasal 251 KUHD, kecuali jika hakim menetapkan bahwa pasal tersebut harus

    diberlakukan secara jujur (fair) atau iktikad baik (good faith) dan sesuai dengan

    kebiasaan. Berarti apabila timbul kerugian akibat evenemen, Tertanggung tidak

    memberitahukan keadaan benda objek asuransi kepada Penanggung, maka

    Penanggung tidak akan mengajukan Pasal 251 KUHD dan Penanggung akan

    membayar klaim ganti kerugian kepada Tertanggung.66

    6) Klausula Free Form Particular Average (FPA)

    Bahwa penanggung dibebaskan dari kewajban membayar ganti kerugian

    yang timbul akibat peristiwa khusus di laut (particular average) seperti ditentukan

    dalam Pasal 709 KUHD, dengan kata lain Penanggung menolak pembayaran ganti

    kerugian yang diklaim oleh Tertanggung yang sebenarnya timbul dari akibat

    64 Zian Farodis.2014. Pintar Asuransi, Yogyakarta, Penerbit Laksana. hlm. 18. 65 Ibid. hlm. 19. 66 Mulhadi. Op. Cit. hlm. 69.

  • 54

    peristiwa khusus yang sudah dibebaskan klausula Free Form Particular Average

    (FPA).67

    7) Klausula Riot, Strike & Civil Commotion (RSCC)

    Riot (kerusuhan), Strike (pemogokan) dan Civil Commotion (huru-hara)

    adalah klausula yang menyatakan apabila pada asuransi terjadi keadaan yang

    menimbulkan suasana gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan

    kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta rentetan pengrusakan sejumlah besar

    harta benda.68

    5. Perlindungan Konsumen

    a. Pengaturan

    Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen tercipta akibat

    adanya proses penawaran dan penerimaan. Proses tersebut harus diadakan bagi para

    pihak dalam kedudukan yang seimbang, dengan maksud agar tidak ada pihak yang

    mengalami kerugian. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

    Konsumen merupakan langkah pemerintah memberikan kesimbangan antara

    pelaku usaha dengan konsumen serta memberikan kepastian hukum kepada

    konsumen terhadap hak-haknya. Esensi dari undang-undang ini adalah mengatur

    perilaku pelaku usaha dengan tujuan agar konsumen terlindungi secara hukum.

    Apabila dikaitkan dengan perjanjan asuransi maka pemegang polis atau

    Tertanggung dalam perjanjian asuransi dapat dikatakan sebagai konsumen sebagai

    pemakai jasa dari perusahaan asuransi atau Penanggung dan perusahaan asuransi

    67 Ibid. 68 Zian Farodis. Op. Cit. hlm. 20.

  • 55

    atau Penanggung dapat dikatakan sebagai pelaku usaha yang menjalankan kegiatan

    usaha dalam bidang jasa, yaitu industri asuransi.

    Akibat dari diadakannya suatu perjanjian menimbulkan suatu hak dan

    kewajiban bagi para pihak yang mengadakannya. Hak dan kewajiban pelaku usaha

    dengan konsumen dijelaskan pada Pasal 4 – Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8

    Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

    1) Hak Konsumen

    a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

    mengkonsumsi barang dan/atau jasa

    b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

    dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

    yang dijanjikan

    c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

    jaminan barang dan/atau jasa

    d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

    yang digunakan

    e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

    sengketa perlindungan konsumen secara patut

    f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

    g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

    diskriminatif

  • 56

    h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

    apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

    atau tidak sebagaimana mestinya

    i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

    lainnya.

    2) Kewajiban Konsumen

    a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

    atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan

    b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

    jasa

    c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

    d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

    secara patut.

    3) Hak Pelaku Usaha

    a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

    mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

    diperdagangkan

    b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

    beritikad tidak baik

    c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian

    hukum sengketa konsumen

  • 57

    d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

    kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

    diperdagangkan

    e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

    lainnya.

    4) Kewajiban Pelaku Usaha

    a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya

    b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

    jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

    perbaikan dan pemeliharaan

    c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

    tidak diskriminatif

    d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

    diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau

    jasa yang berlaku

    e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau

    mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

    garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

    f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

    akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

    yang diperdagangkan

    g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

    dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

    perjanjian.

  • 58

    b. Asas-Asas Perlindungan Konsumen

    Asas-asas yang mendasari perlindungan konsumen dijelaskan dalam Pasal

    2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

    1) Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

    dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan

    manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha

    secara keseluruhan.

    2) Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

    diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

    konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan

    kewajibannya secara adil.

    3) Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

    kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil

    ataupun spiritual.

    4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk

    memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

    dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

    dikonsumsi atau digunakan.

    5) Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

    konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

    penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian

    hukum.

  • 59

    Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan

    substansinya, dapat dibagi menjadi 3 asas yaitu :69

    1) Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan

    keselamatan konsumen

    2) Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan

    3) Asas kepastian hukum.

    c. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

    Berdasarkan penjelasan Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

    1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa “ Pelaku usaha bertanggung jawab

    memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen

    akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”.

    Maka perusahaan asuransi bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian

    yang diderita pemegang polis. Namun hal ini tidak berlaku apabila perusahaan

    asuransi dapat membuktikan bahwa kerugian yang diderita oleh pemegang polis

    merupakan kesalahan dari pemegang polis itu sendiri.

    Memerhatikan substansi Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

    1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat diketahui bahwa tanggung jawab

    pelaku usaha, meliputi :70

    1) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan

    2) Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran, dan

    3) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen

    69 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo. Op. Cit. hlm. 26. 70 Ibid. 129.

  • 60

    Jadi, ganti kerugian dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen,

    hanya meliputi pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang

    sejenis atau setara nlainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan

    yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.71

    Kemudian, apabila pelaku usaha menolak atau tidak menanggapi untuk

    melakukan pembayaran ganti kerugian, konsumen dapat menggugat pelaku usaha

    melalui jalur litigasi maupun non-litigasi, hal ini tercantum dalam Pasal 23

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

    menjelaskan bahwa “Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi

    tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen ... , dapat

    digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke

    badan peradilan di tempat kedudukan”.

    d. Penyelesaian Sengketa

    Berdasarkan ketentuan Pasal 23 dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8

    Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa penyelesaian sengketa antara

    pelaku usaha dengan konsumen dapat dilakukan melalui litigasi maupun non-

    litigasi.

    Litigasi atau melalui pengadilan berarti penyelesaian sengketa konsumen

    melalui pengadilan mengacu kepada ketentuan peradilan umum yang berlaku di

    Indonesia. Sedangkan non-litigasi berarti penyelesaian sengketa konsumen diluar

    pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan

    besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan

    71 Ibid. 140.

  • 61

    terjadinya kembali kerugian yang diderita konsumen, berdasarkan penjelasan Pasal

    47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

    Lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku

    usaha yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

    Ada 3 cara penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, berdasarkan

    Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001

    tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Konsumen, yaitu :

    1) Konsiliasi

    Pasal 1 angka 9 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor

    350/MPP/Kep/12/2001 di dalam kepmen tersebut menjelaskan bahwa konsiliasi

    adalah “Proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan

    perantaraan BPSK untuk mempertemukan pihak yang bersengketa, dan

    penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak”. Penyelesaiaan dengan cara ini

    dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis

    yang bertindak pasif sebagai konsiliator, berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Keputusan

    Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.

    2) Mediasi

    Penyelesaian sengketa dengan cara mediasi berdasarkan Pasal 1 angka 10

    Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001

    menjelaskan bahwa mediasi merupakan, “Proses penyelesaian sengketa konsumen

    di luar peradilan dengan peraturan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya

    diserahkan kepada para pihak. Penyelesaian dengan cara ini dilakukan sendiri oleh

    para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif

  • 62

    sebagai mediator, berdasarkan Pasal 5 ayat 2 Keputusan Menteri Perindustrian dan

    Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.

    3) Arbitrase

    Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Keputusan Menteri Perindustrian dan

    Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 arbitrase adalah, “Proses penyelesaian

    sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam ini para pihak yang bersengketa

    menyerahkan sepenuhnya penyelesaian kepada BPSK”. Arbitrase merupakan cara

    penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada

    perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa.72 Jika para pihak

    tersebut telah mencantumkan klausula arbitrase dalam perjanjian yang menjadi

    pokok sengketa atau mengadakan perjanjian arbitrase setelah timbulnya sengketa

    di antara para pihak, penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan.

    Cara mediasi hampir sama dengan cara konsiliasi dan dilakukan karena para

    pihak secara sukarela memilih mediasi dan konsiliasis, yang membedakan di antara

    keduanya adalah dalam mediasi majelis yang dibentuk BPSK bertindak secara aktif,

    sedangkan cara konsiliasi majelis yang dibentuk BPSK bertindak secara pasif.

    Sedangkan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase, majelis yang

    dibentuk BPSK bersikap aktif dalam mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa

    dan hasil akhir penyelesaian melalui aribtrase adalah sebuah putusan. Putusan

    arbitrase mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Putusan

    arbitrase ini memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga apabila pihak yang

    72 Ahmad Miru.2000. Op.Cit.hlm. 126-127.

  • 63

    dikalahkan tidak memenuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang

    dapat meminta eksekusi ke pengadilan.73

    BPSK menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

    tentang Perlindungan Konsumen adalah “Badan yang bertugas menangani dan

    menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”. Tugas dari BPSK

    sendiri diantaranya adalah melakukan penyelesaian sengketa antara pelaku usaha

    dengan konsumen, dengan cara mediasi atau konsiliasi atau arbitrase; konsultasi;

    pengawasan; melaporkan pada penyidik; menerima pengaduan; meneliti dan

    memeriksa; memanggil pelaku usaha; menghadirkan saksi dan ahli; meminta

    bantuan penyidik untuk menghadirkan saksi dan saksi ahli; meneliti surat dokumen;

    menetapkan ada atau tidaknya kerugian konsumen; memberikan putusan;

    menjatuhkan sanksi adminitrasi. Maka fungsi BPSK yaitu sebagai alternatif

    penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan untuk melindungi hak-hak

    konsumen karena konsumen pada dasarnya tidak dapat menentukan substansi

    perikatan, tetapi konsumen hanya tunduk dengan pelaku usaha, sehingga konsumen

    hanya dapat bersikap “take it or leave it”, dan sebagai tambahan bahwa lembaga ini

    dibentuk di kabupaten atau kota.

    Dalam mengajukan gugatan, ada empat kelompok penggugat yang bisa

    menggugat atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha sebagai berikut :74

    1) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan

    2) Sekelompok konsumen mempunyai kepentingan yang sama

    73 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo. Op. Cit. hlm. 254. 74 Abdul Halim Barkatullah. 2010. Hak-Hak Konsumen. Nusa Media, Bandung. hlm. 85.

  • 64

    3) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi

    syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran

    dasar menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi

    tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah

    melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya

    4) Pemerintah dan/atau instansi terkait yang jika barang dan/atau jasa yang

    dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar

    dan/atau korban yang tidak sedikit.

    Gugatan yang diajukan oleh Sekelompok konsumen, Lembaga

    perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau Pemerintah diajukan ke

    peradilan umum. Selain itu, konsumen dapat mengajukan gugatan kepada pelaku

    usaha di tempat konsumen yang bersangkutan berdomisili.

    Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

    Konsumen dijelaskan mengenai penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui

    non-litigasi, khususnya melalui perantara BPSK. Penyelesaian masalah sengketa

    konsumen melalui badan ini dapat dikatakan dilakuan dengan cepat, murah,

    sederhana dan tidak berbelit-belit. Sistem penyelesaian yang demikian sangat

    dibutuhkan dalam dunia bisnis, termasuk dalam penyelesaian sengketa konsumen.

    Kritikan-kritakan terhadap penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui litigasi,

    yaitu : 75

    1) Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat

    2) Biaya perpekara yang mahal

    75 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo. Op. Cit. hlm. 242.

  • 65

    3) Pengadilan pada umumya tidak responsif

    4) Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah

    5) Kemampuan para hakim yang bersifat generalis

    Tetapi apabila terhadap suatu putusan peradilan yang menurut salah satu

    pihak tidak adil, terdapat proses lain dalam sistem peradilan di Indonesia, yaitu

    adanya upaya hukum terhadap sebuah putusan, baik upaya hukum biasa maupun

    upaya hukum luar biasa. Maka hal tersebut dapat memperpanjang proses

    penyelesaian sengketa, tetapi di sisi lain akan menghasilkan suatu putusan yang

    sedail-adilnya.

    6. Teori Eksaminasi

    Terminologi eksaminasi berasal dari bahasa Inggris “examination” yang

    berarti ujian atau pemeriksaan.76 Dengan demikian eksaminasi putusan pengadilan

    berarti melakukan pengujian terhadap putusan pengadilan tersebut. Esensi dari

    eksaminasi adalah pengujian atau penilaian dari sebuah putu