bab ii tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · menurut güngör ... dan pada akhirnya akan...

16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teoritis 2.1.1 Kepuasan Pelanggan Menurut Güngör (2007), kata “kepuasan atau satisfaction” berasal dari bahasa Latin “satis” (cukup baik, memadai) dan “facere” (melakukan atau membuat). Secara sederhana kepuasan dapat diartikan sebagai “upaya pemenuhan sesuatu” atau “membuat sesuatu memadai”. Definisi kepuasan pelanggan menurut Kotler dan Keller (2009) merupakan perasaan senang atau kecewa seseorang yang timbul karena membandingkan kinerja yang dipersepsikan produk (atau hasil) terhadap ekspektasi mereka. Oliver (1997) dalam Alamsyah (2008) merumuskan disconfirmation paradigm, kepuasan pelanggan sebagai evaluasi purnabeli, di mana persepsi terhadap kinerja alternatif produk/jasa yang dipilih memenuhi atau melebihi harapan sebelum pembelian. Apabila persepsi terhadap kinerja tidak bisa memenuhi harapan, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan. Harapan pelanggan terbentuk oleh pengalaman pembelian terdahulu, komentar teman dan kenalan, serta informasi atau janji dari pemasar. Kepuasan pelanggan merupakan konsep sentral dalam kajian teori dan praktik pemasaran, selain itu juga merupakan salah satu tujuan esensial yang hendak dicapai pada aktivitas bisnis. Fornell (2007) memaparkan bahwa penurunan kepuasan pelanggan dapat mengurangi permintaan dan hal lainnya dalam sebuah “lingkaran setan”, yakni erosi nilai ekonomis perusahaan, ketidakpastian tenaga kerja, dan pada akhirnya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Selaras dengan pendapat Güngör (2007), dan Fornel (2007), dapat dipastikan kepuasan pelanggan merupakan salah satu indikator terbaik untuk meraih laba masa depan. Kepuasan pelanggan merupakan suatu tingkatan di mana kebutuhan, keinginan dan harapan dari pelanggan dapat terpenuhi sehingga mengakibatkan terjadinya pembelian ulang maupun kesetiaan yang berkelanjutan. Kepuasan pelanggan juga dapat mempengaruhi perilaku membeli, di mana pelanggan yang puas cenderung menjadi pelanggan yang loyal.

Upload: ngotram

Post on 10-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teoritis

2.1.1 Kepuasan Pelanggan

Menurut Güngör (2007), kata “kepuasan atau satisfaction” berasal dari

bahasa Latin “satis” (cukup baik, memadai) dan “facere” (melakukan atau

membuat). Secara sederhana kepuasan dapat diartikan sebagai “upaya pemenuhan

sesuatu” atau “membuat sesuatu memadai”. Definisi kepuasan pelanggan menurut

Kotler dan Keller (2009) merupakan perasaan senang atau kecewa seseorang yang

timbul karena membandingkan kinerja yang dipersepsikan produk (atau hasil)

terhadap ekspektasi mereka. Oliver (1997) dalam Alamsyah (2008) merumuskan

disconfirmation paradigm, kepuasan pelanggan sebagai evaluasi purnabeli, di

mana persepsi terhadap kinerja alternatif produk/jasa yang dipilih memenuhi atau

melebihi harapan sebelum pembelian. Apabila persepsi terhadap kinerja tidak bisa

memenuhi harapan, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan. Harapan pelanggan

terbentuk oleh pengalaman pembelian terdahulu, komentar teman dan kenalan,

serta informasi atau janji dari pemasar.

Kepuasan pelanggan merupakan konsep sentral dalam kajian teori dan

praktik pemasaran, selain itu juga merupakan salah satu tujuan esensial yang

hendak dicapai pada aktivitas bisnis. Fornell (2007) memaparkan bahwa

penurunan kepuasan pelanggan dapat mengurangi permintaan dan hal lainnya

dalam sebuah “lingkaran setan”, yakni erosi nilai ekonomis perusahaan,

ketidakpastian tenaga kerja, dan pada akhirnya akan memperlambat pertumbuhan

ekonomi. Selaras dengan pendapat Güngör (2007), dan Fornel (2007), dapat

dipastikan kepuasan pelanggan merupakan salah satu indikator terbaik untuk

meraih laba masa depan. Kepuasan pelanggan merupakan suatu tingkatan di mana

kebutuhan, keinginan dan harapan dari pelanggan dapat terpenuhi sehingga

mengakibatkan terjadinya pembelian ulang maupun kesetiaan yang berkelanjutan.

Kepuasan pelanggan juga dapat mempengaruhi perilaku membeli, di mana

pelanggan yang puas cenderung menjadi pelanggan yang loyal.

Bayol, dkk (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kepuasan

pelanggan secara signifikan dapat dibentuk atau dipengaruhi oleh citra (image),

nilai dan kualitas produk yang dipersepsikan pelanggan. Fornel (2007)

menjelaskan bahwa kepuasan pelanggan merupakan fungsi dari perceived quality,

perceived value, dan harapan pelanggan. Selain itu kepuasan pelanggan secara

keseluruhan merupakan fungsi dari tingkat kepuasan di atas maupun di bawah

harapan, tingkat kepuasan yang diterima dibandingkan dengan kondisi ideal.

Terkait dengan implementasi kepuasan pelanggan, maka setidaknya

terdapat tiga faktor penting yang saling berkaitan erat, yaitu (1) apa yang diukur;

(2) metode pengukuran; dan (3) skala pengukuran. Kepuasan pelanggan

merupakan ukuran yang relatif, sehingga dengan demikian pengukurannya tidak

dapat hanya bersifat “one-time” atau “single-shot studies”. Maksudnya adalah

pengukuran kepuasan pelanggan harus dilakukan secara regular sehingga dapat

memberikan penilaian setiap perubahan yang terjadi terkait dengan jalinan

hubungan dengan setiap pelanggan. Selain itu, perusahaan juga dapat melakukan

benchmarking dengan kinerja masa lalu dan kinerja para pesaingnya, baik dalam

industri sejenis maupun dalam industri berbeda Dengan terciptanya pelanggan

yang puas dan loyal, maka diharapkan berdampak pada tercapainya optimalisasi

revenue dan perkembangan bisnis perusahaan. Pelanggan yang puas akan

melakukan pembelian ulang, dan pelanggan yang loyal akan mengkonsumsi lebih

banyak serta tidak akan mudah berpindah ke merek pesaing.

2.1.2 Indeks Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction Index)

Irawan (2003) menjelaskan pada umumnya berbagai macam konsep

pengukuran kepuasan pelanggan menawarkan suatu pengukuran yang

menghasilkan suatu indeks kepuasan pelanggan. Indeks adalah konsep yang

mencoba menangkap sebuah situasi kompleks ke dalam satu angka. Indeks ini,

dapat dihasilkan dari proses pengukuran yang sangat sederhana hingga yang

relatif kompleks. Pengukuran indeks kepuasan pelanggan yang sederhana dapat

diperoleh dari pengukuran satu peubah saja. Misalnya hasil dari pengukuran total

kepuasan pelanggan yang diukur dengan skala 1-5, 1-10 atau dari 0-100.

Triwidiastuti (2008) memaparkan kepuasan pelanggan sebagai bagian dari

Barometer Kepuasan Nasional dimulai dari Swedia, Amerika Serikat dan

Norwegia. Indeks kepuasan pelanggan ini juga dikembangkan di New Zealand,

Austria, Korea Selatan dan Uni Eropa, kemudian pada tingkat ekonomi global.

Validitas dan reliabilitas model dan metodologi indeksnya dipelajari, diperbaiki

dan dikembangkan secara terus menerus sepanjang waktu. Chakrapani (1996)

mendefinisikan Indeks Kepuasan Pelanggan secara sederhana sebagai nilai rataan

dari seluruh atribut yang diyakini dapat berkontribusi pada kepuasan pelanggan.

Sejak atribut-atribut yang berbeda dapat berkontribusi dengan hasil yang berbeda

pada kepuasan pelanggan, atribut individual diberikan bobot untuk merefleksikan

realitasnya. Hal inilah yang menjadi esensi dari indeks kepuasan pelanggan.

Johnson, dkk (2001) memaparkan sejumlah negara telah mengembangkan

indeks kepuasan pelanggan nasional untuk berbagai macam barang dan jasa, di

antaranya Swedia dengan model Swedish Customer Satisfaction Barometer

(SCSB) tahun 1989; Amerika dengan model American Customer Satisfaction

Index (ACSI) tahun 1994; dan Norwegia dengan model Norwegian Customer

Satisfaction Barometer (NCSB) tahun 1996. Alamsyah (2008) menambahkan

adanya Indonesian Customer Satisfaction Index (ICSI), pertama kali

diperkenalkan pada tahun 1999, dihasilkan dari proses pengukuran yang sangat

sederhana hingga yang relatif kompleks.

2.1.3 Perceived Quality

Perceived quality menurut Zeithaml (1988) adalah penilaian (persepsi)

konsumen terhadap keunggulan produk secara keseluruhan dibandingkan produk

penggantinya. Perceived quality merupakan kemampuan produk untuk dapat

diterima dalam memberikan kepuasan pelanggan, dibandingkan secara relatif

dengan alternatif produk pesaing. Perceived quality yang tinggi akan mendorong

konsumen lebih memilih merek tersebut dibandingkan dengan merek pesaing.

Dengan kata lain merupakan faktor stimulan keunggulan komparatif sebuah

produk dibandingkan produk merek lainnya, dalam benak konsumen.

Suatu produk akan memberikan manfaat kepada konsumen jika produk

tersebut telah digunakan atau dikonsumsinya. Agar produk bisa memberikan

manfaat yang maksimal dan kepuasan yang tinggi kepada konsumen, maka

konsumen harus bisa menggunakan produk tersebut dengan benar. Kepercayaan,

sikap, dan perilaku pelanggan terhadap produk, memiliki keterkaitan dengan

konsep atribut produk. Kepercayaan konsumen terhadap suatu produk, atribut, dan

manfaat produk menggambarkan persepsi konsumen. Karena itu, kepercayaan

akan berbeda di antara konsumen (Sumarwan; 2011).

Tsiotsou (2005) mengatakan perceived quality merupakan salah satu

konstruk terpenting dalam pemasaran, dan telah lama menjadi fokus perhatian

para praktisi dan peneliti. Hal ini disebabkan perceived quality dapat memberikan

pengaruh yang positif dan menguntungkan bagi kinerja pemasaran. Selain itu,

para praktisi dan peneliti sangat meyakini bahwa perceived quality yang tinggi

akan mendorong terciptanya pembelian berulang dari pelanggan, sehingga pada

tingkatan yang lebih tinggi akan menciptakan loyalitas pelanggan. Terdapat pula

bukti empiris yang memberi dukungan adanya pengaruh positif langsung antara

perceived quality terhadap minat beli ulang. Selain itu, perceived quality juga

terbukti memiliki pengaruh positif tidak langsung terhadap loyalitas pelanggan,

dalam hal ini tercapai melalui kepuasan pelanggan.

Tsiotsou (2005), memberikan catatan terhadap hasil-hasil penelitian yang

telah dilakukan sebelumnya tentang perceived quality, yakni terdapatnya

pengaruh ganda (langsung maupun tidak langsung) dari perceived quality

terhadap minat beli, dengan objek penelitiannya adalah barang (goods). Selain itu,

hasil penelitian ini juga menjelaskan pengaruh tunggal (langsung maupun tidak

langsung) dari perceived quality terhadap minat beli, dengan objek penelitiannya

berfokus pada jasa (services). Perceived quality pada umumnya ditetapkan

sebagai konstruk pasca pembelian, namun demikian perceived quality juga

merupakan konstruk sebelum dan setelah dilakukannya pembelian oleh konsumen

maupun pelanggan. Cleland dan Bruno (1996) dalam Simamora (2004),

memberikan tiga prinsip tentang perceived quality yaitu sebagai berikut:

1. Kualitas bersumber pada aspek produk dan bukan produk atau seluruh

kebutuhan bukan harga (nonprice needs) yang dicari konsumen untuk

memuaskan kebutuhannya.

2. Kualitas ada, kalau bisa masuk dalam persepsi konsumen. Kalau

konsumen mempersepsikan kualitas sebuah produk rendah, maka kualitas

produk itu rendah, apa pun realitasnya.

3. Perceived quality diukur secara relatif terhadap pesaing

Berangkat dari pemikiran tersebut di atas, maka langkah-langkah

pengukuran perceived quality adalah sebagai berikut:

1. Tentukan atribut produk

2. Tentukan pesaing

3. Ukur performans merek sasaran dan performans pesaing

4. Ukur tingkat kepentingan setiap atribut

5. Hitung kualitas total relatif setiap merek

2.1.4 Perceived Value

Kotler dan Keller (2009), mendefinisikan nilai yang dipersepsikan

pelanggan (perceived value) sebagai selisih antara penilaian pelanggan prospektif

atas semua manfaat dan biaya dari suatu penawaran terhadap alternatifnya.

Perceived value sangat terkait erat dengan total manfaat pelanggan dan total biaya

pelanggan. Sudin (2011), memaparkan perceived value sebagai senjata strategis

dalam menarik perhatian dan mempertahankan pelanggan, dan menjadi faktor

yang paling nyata dalam kesuksesan bisnis manufaktur maupun penyedia layanan

jasa. Nilai (value) merupakan persepsi berharga mengenai keuntungan dari produk

dibandingkan harga yang dibayarkan konsumen untuk membeli atau

mengkonsumsi produk. Dengan demikian nilai merupakan tradeoff antara

keuntungan atau manfaat yang dirasa dibandingkan persepsi pengorbanan yang

dilakukan atau diberikan untuk membeli produk. Perceived value merupakan

keseluruhan dugaan pelanggan pada utilitas dari sebuah produk, berdasarkan pada

persepsi yang dirasakan dan pada apa yang telah diberikan.

Perceived value dipengaruhi selisih antara biaya moneter dan non moneter,

selera konsumen, dan karakteristik konsumen (Bolton and Drew, 1991). Nilai

yang didefinisikan pelanggan, saat merasa puas terhadap pengalamannya secara

keseluruhan. Rangkuti (2002), perceived value dapat dijadikan sebagai batasan

penentuan harga, artinya harga maksimum yang harus dikeluarkan oleh pelanggan

berdasarkan persepsi pelanggan terhadap seberapa jauh nilai produk tersebut

menguntungkan bagi mereka. Kartajaya (2006) memaparkan secara matematis,

perceived value adalah perceived quality dibagi price. Perceived value akan naik

apabila perceived quality naik atau price-nya turun.

2.1.5 Image

Bayol, dkk. (2000) menjelaskan citra (image) merupakan peubah pilihan

yang terkait dengan nama merek dan jenis asosiasi seperti apa yang diperoleh

pelanggan dari produk/merek/perusahaan. Sudin (2011) menyatakan konsep dari

image telah banyak digambarkan di berbagai literatur hubungan pelanggan, di

antaranya adalah Zeithaml (1998), Keller (1993), Bitner (1991), Grönroos (1984);

Gummesson dan Grönroos (1988). Image merupakan sebuah persepsi pasar

tervalidasi dan bahwa sebuah perusahaan hanya akan memiliki sebuah image yang

bagus jika produknya benar-benar layak. Dengan demikian image sering

digunakan sebagai sumber eksternal dari persepsi seseorang. Pada tingkat

perusahaan, image didefinisikan sebagai persepsi dari sebuah organisasi yang

tercermin dalam asosiasi yang telah terbenam di benak konsumen.

Menurut Kotler dan Keller (2009) menjelaskan bahwa citra merek

merupakan jumlah dari gambaran-gambaran, kesan-kesan dan keyakinan-

keyakinan yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu objek”. Berdasarkan

pengertian tersebut, citra merek merupakan sesuatu yang berhubungan dengan

suatu sikap seseorang yang berupa keyakinan dan preferensi terhadap merek suatu

produk maupun perusahaan. Setiap perusahaan dalam melaksanakan kegiatan

usahanya khusus untuk kegiatan pemasaran memiliki suatu tujuan adalah untuk

meningkatkan penjualan bagi perusahaan, salah satu upaya adalah dengan cara

mempertahankan citra merek di mata konsumen maupun pelanggan.

Sebuah citra positif akan dapat mengendalikan pelanggan untuk menarik

kesimpulan bahwa keuntungan yang diraihnya secara komparatif memiliki nilai

yang baik, dengan demikian maka kepuasan pelanggan akan meningkat.

Andreassen, dkk (1998) dalam Sudin (2011) menyatakan bahwa citra perusahaan

dimunculkan dan dikembangkan di dalam benak konsumen melalui komunikasi

dan pengalaman. Citra perusahaan dipercaya untuk menciptakan sebuah “halo

effect” pada penilaian kepuasan pelanggan.

2.1.6 Customer Expectation

Olson dan Dover (1979) dalam Kartajaya (2002) mendefinisikan harapan

pelanggan (customer expectation) sebagai kepercayaan sebelum mencoba (pre-

trial belief) mengenai suatu produk, yang kemudian dijadikan sebagai standar

untuk mengevaluasi performance suatu produk atau pengalaman-pengalaman

yang akan datang. Menurut Olson dan Dover dalam Pratiwi (2010), harapan

pelanggan merupakan keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli suatu

produk, yang dijadikan standar atau acuan dalam menilai kinerja produk tersebut.

Pada umumnya, harapan pelanggan merupakan perkiraan atau keyakinan

pelanggan tentang apa yang akan diterimanya.

Pengukuran harapan pelanggan dapat dilakukan dengan cara

membandingkan harapan konsumen sebelum menjadi pelanggan dan setelah

menjadi pelanggan, harapan akan kualitas yang lebih unggul dibandingkan produk

atau merek lain, dan harapan konsumen agar merek/produk mampu membuktikan

segala keunggulan yang telah dikomunikasikan kepada pelanggan. Berdasarkan

pada pemaparan tersebut di atas, maka semakin besar harapan pelanggan yang

terpenuhi akan menyebabkan semakin tingginya tingkat loyalitas pelanggan.

2.1.7 Loyalitas

Szwarc, (2005) menjelaskan loyalitas pelanggan merupakan minat atau

kecenderungan pelanggan untuk melakukan pembelian ulang. Loyalitas pelanggan

biasanya diukur melalui riset survey pasar. Terdapat perbedaan nyata antara

pelanggan yang puas dengan pelanggan loyal. Keduanya berkontribusi pada

profitabilitas perusahaan pada cara yang berbeda. Pelanggan yang puas lebih suka

untuk mempromosikan perusahaan, dikarenakan kepuasan merupakan sesuatu

yang orang sukai untuk dibicarakan. Pelanggan yang loyal dapat memberikan

keuntungan yang lebih, dikarenakan mereka lebih suka untuk membeli produk-

produk tambahan yang ditawarkan, seringkali tanpa melihat harga terbaik dari

produk competitor di pasar.

Oliver, (1997) dalam Güngör (2007) memaparkan loyalitas merupakan

sebuah komitmen yang sangat erat dari pelanggan untuk melakukan pembelian

ulang dari produk maupun jasa yang lebih disukainya secara konsisten di masa

yang akan datang, di samping pengaruh situasional dan upaya-upaya pemasaran

yang berpotensi menyebabkan perilaku penggantian (switching behavior).

Loyalitas merupakan tentang masa depan dan bukanlah tentang kondisi yang

terjadi pada masa lalu. Kotler dan Keller (2009) mendefinisikan 4 (empat) status

dari loyalitas, yakni sebagai berikut:

1. Loyalitas Berat – Konsumen hanya membeli satu merek sepanjang waktu.

2. Loyalitas yang Terbagi – Konsumen loyal kepada dua atau tiga merek.

3. Loyalitas yang Bergeser – Konsumen beralih loyalitas dari satu merek ke

merek lain.

4. Orang yang suka berpindah – Konsumen yang tidak memperlihatkan

loyalitas kepada merek apapun.

2.1.8 Status Sosial Ekonomi (Socioeconomic Status/SES)

Salah satu landasan utama yang kerap digunakan oleh para pemasar dalam

melakukan segmentasi adalah berdasarkan pada faktor demografi. Para pemasar

memiliki keyakinan bahwa demografi merupakan faktor penting dalam

menentukan segmentasi pasar, atau paling tidak untuk mendeskripsikan segmen

tertentu. Tingkat kesejahteraan seseorang bisa dilihat dari tingkat pendapatan

maupun tingkat pengeluarannya. Namun biasaya akan dijumpai kesulitan apabila

menanyakan orang tentang berapa besar pendapatan yang diperolehnya. Pada

umumnya orang akan keberatan untuk menjawab berapa besar pendapatannya,

dan lebih mudah mengungkapkan berapa besar pengeluaran rutin sehari-harinya.

Dengan demikian maka akan lebih mudah mengetahui tingkat kesejahteraan

seseorang dengan melihat dari sisi pengeluarannya (http://sme.marketing.co.id).

Pada umumnya para peneliti mendefinisikan pengeluaran dalam

pengertian yang relatif sama, yaitu pengeluaran rutin untuk barang dan jasa seperti

membeli makanan dan minuman, biaya sekolah anak, biaya listrik, gaji pembantu,

transportasi, dan lainnya dalam sebulan—tidak termasuk pengeluaran untuk kredit

kendaraan atau rumah. Namun yang membedakan adalah basis

pengelompokannya. Pengelompokan ini sering juga disebut Socioeconomic Status

(SES). Tinggi rendahnya SES seseorang ditentukan oleh pendidikan, pekerjaan,

dan penghasilan. Dalam lingkup riset pemasaran, SES tergambar dalam 5 (lima)

kelompok, yaitu: SES E, SES D, SES C, SES B. dan SES A. Pengelompokkan ini

akan berbeda jika melihat versi Badan Pusat Statistik (BPS), menjadikan patokan

dalam pengelompokan tetap sama, yakni kelompok pengeluaran per kapita per

bulan, yang terdiri dari kelompok pengeluaran di atas Rp 500.000, kelompok Rp

300.000–499.999, kelompok Rp 200.000–299.999, dan seterusnya. Frontier

(2011) menjelaskan kategori dari SES berdasarkan tingkat pengeluaran di kota-

kota besar adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Tingkat Pengeluaran di Kota-kota Besar Pengeluaran SES Jumlah (%)

Kurang dari Rp 600.000 E 4,2 Rp 600.000 – Rp 1.000.000 D 19,8 Rp 1.000.000 – Rp 1.800.000 C 38,8 Rp 1.800.001 – Rp 3.000.000 B 22,3

Lebih dari Rp 3.000.000 A 15 Sumber: Frontier (2011)

2.1.9 Structural Equation Modelling (SEM) dan Partial Least Squares (PLS)

SEM merupakan suatu teknik pemodelan statistika yang mampu

menganalisi hubungan antar peubah laten, peubah indikator dan kesalahan

pengukuran secara langsung. Di samping hubungan kausal searah, metode SEM

juga memungkinkan untuk melakukan analisis hubungan dua arah (Ghozali, dkk.

2005). Peubah laten adalah peubah yang tidak dapat diobservasi, sehingga tidak

dapat diukur secara langsung. Pengamatan pada peubah laten melalui efek pada

peubah-peubah terobservasi. Peubah terobservasi adalah indikator-indikator yang

dapat diukur (Ghozali, et al. 2005).

Ghozali (2008) memaparkan bahwa SEM dikembangkan berdasarkan 2

(dua) kelompok yaitu SEM berbasis covariance (CBSEM) dan SEM berbasis

varian/Partial Least Squares (PLS). Perbedaan utama CBSEM dan PLS adalah

pada CBSEM model yang dianalisis harus dikembangkan berdasarkan pada teori

yang kuat dan bertujuan untuk mengkonfirmasi model dengan data empirisnya.

Sedangkan PLS lebih menitikberatkan pada model prediksi sehingga dukungan

teori yang kuat tidak begitu menjadi hal terpenting (Ghozali, 2008). CBSEM

bertujuan memberikan pernyataan tentang hubungan kausalitas atau memberikan

deskripsi mekanisme hubungan kausalitas (sebab-akibat). Sedangkan PLS

memiliki tujuan untuk mencari hubungan linear prediktif antar peubah (Ghozali,

2008).

Wold (1985) dalam Ghozali (2008) menyatakan bahwa PLS merupakan

metode analisis yang powerfull, data tidak harus berdistribusi normal multivariate

(indikator dengan skala kategori ordinal, interval sampai ratio dapat digunakan

pada model yang sama), dan sampel tidak harus besar. PLS dapat digunakan

untuk mengkonfirmasi teori dan juga untuk menjelaskan ada atau tidak adanya

hubungan antar peubah laten. PLS dapat menganalisis sekaligus konstruk yang

dibentuk dengan indikator refleksif dan indikator formatif. Menurut Chin (1998)

dalam Ghozali (2008) menyatakan bahwa karena PLS tidak mengasumsikan

adanya distribusi tertentu untuk estimasi parameter, maka teknik parametrik untuk

menguji signifikansi parameter tidak diperlukan. Model evaluasi PLS berdasarkan

pada pengukutan prediksi yang mempunyai sifat non parametrik.

PLS tidak hanya dapat digunakan untuk mengkonfirmasi teori, namun dapat

juga digunakan untuk menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antara peubah

laten. PLS dapat menganalisis sekaligus konstruk yang dibentuk dengan indikator

refleksif dan indikator formatif dan hal ini tidak mungkin dijalankan dalam SEM

karena akan terjadi unidentified model.

Tabel 4. Perbandingan antara PLS dan SEM

Kriteria PLS SEM

Tujuan Orientasi prediksi Orientasi parameter

Pendekatan Berdasarkan variance Berdasarkan covariance

Asumsi Spesifikasi prediktor (non parametrik)

Multivariate normal distribution, independence observation (parametrik)

Estimasi parameter Konsisten sebagai indikator dan jumlah sampel meningkat

Konsisten

Skore peubah laten Secara eksplisit di estimasi

Indeterminate

Hubungan peubah laten – indikatornya

Dapat dalam bentuk reflective maupun formative indikator

Hanya dengan reflective indikator

Implikasi Optimal untuk ketepatan prediksi

Optimal untuk ketepatan parameter

Kompleksitas model Kompleksitas besar (100 konstruk dan 1000 indikator)

Kompleksitas kecil sampai menengah (kurang dari 100 indikator)

Besar sample Kekuatan analisis didasarkan pada porsi dari model yang memiliki jumlah prediktor terbesar. Minimal direkomendasikan berkisar dari 30 sampai 100 kasus

Kekuatan analisis didasarkan pada model spesifikasi. Minimal direkomendasikan berkisar dari 200 sampai 800 kasus

2.2 Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu

Triwidastuti (2008) melakukan kajian perbandingan metodologi model

customer satisfaction index pada beberapa negara, yakni Swedia, Amerika,

Jerman, Hongkong dan Indonesia. Hasilnya adalah sebagaimana disajikan pada

Tabel 5.

Tabel 5. Kajian Metodologi Customer Satisfaction Index yang Ditinjau

CSI Dibangun berbasis Tinjauan/ pendekatan Aspek yang diperhitungkan Pengukuran Diterapkan di Metodologi

Swedish CSI (Grigoroudis, dan Siskos, 2002)

Service and Product

Perilaku pelanggan (psikologi)

1. Satisfaction causes (quality, expectation etc) 2. Satisfaction 3. Satisfaction result (complain and loyalty) 4. retention Behavior

Past purchasing Experience

Industri transportasi dan komunikasi

1.Survey dilakukan terhadap pelanggan dengan wawancara melalui telepon. Perusahaan besar yang dapat mewakili kinerja ekonomi nasional (market share 70%). Dilakukan pada setiap sektor industri 2.Model matematis yaitu PLS (partial least square) dan MUSA (multicriteria dissagregation analysis)

German CSI (Grigoroudis dan Siskos,2002)

Service and Product

Perilaku pelanggan (psikologi)

1. Kinerja ekonomi (market share dan profitability) 2. Peubah/atribut Multivariat

50 sektor industri nasional; transportasi& komunikasi; transportasi udara

American CSI (Fornell, Johnson, Anderson, Cha, Bryant, 2001)

1. Service dan product (service berperan besar selama 5 tahun terakhir) 2. CPI (Customer Price Index)

1. Konsumsi (consumption point of view): pada produk yang dihasilkan dan yang dikonsumsi 2. Consumer oriented

1. Customer satisfaction =f (perceived quality,perceived value, customer expectation) 2. Customer expecttion = f(customization, reliability, overall) 3. Perceived Quality = f (customization, reliability, overall)

1. Kinerja ekonomi 2. Peubah/atribut multivariat 3. Prepurchased expectation dan post consumtion perceived performance of the product

Semua industri produk dan jasa

1. Industri dibagi 7 sektor, masingmasing dihitung kontribusi relatif thd GDP. Setiap sektor dibagi dalam grup industri, dihitung

CSI Dibangun berbasis Tinjauan/ pendekatan Aspek yang diperhitungkan Pengukuran Diterapkan di Metodologi

4. Overall customer satisfaction = f (rating of satisfaction,tingkat kepuasan di atas/di bawah harapan, tingkatkepuasan yang diterima dibanding kondisi ideal) 5. Customer loyalty = f (repurchase likelihood, suatu tingkatan harga berupa batas atas dan batas bawah, di mana pelanggan mempertimbangkan untuk membeli lagi/tidak)

4. Customer Loyalty

total sales masing-masing grup.Kemudian dipilih perusahaan yang dapat mewakili setiap grup. 2. Model matematis (PLS) 3. Model gambar

Hong Kong CSI (Chan, Hui, Lo, Tze, 2003)

1. Service dan product (service berperan besar selama 5 tahun terakhir) 2.(Cust. Price Index)

1. Konsumsi (consumption point of view): pada produk yang dihasilkan dan yang dikonsumsi 2. Consumer oriented

Consumer loyalty = f(additional purchase intention, replacement preference,price increase tolerance, price decrease tolerance, quality increase tolerance)

1.Kinerja ekonomi 2.Peubah multivariat 3. Prepurchased expectation dan post consumtion perceived performance of the product 4.Customer loyalty 5. Complain

Telekomunikasi 1.Customization/ fitness for use untuk pelanggan (memenuhi dan sesuai kebutuhan pelanggan) 2. Reliability

Indonesian CSI (Irawan, 2003)

1. Service dan product 2. Perceived Quality

1. Konsumsi (consumption point of view): 2. Consumer oriented

Consumer loyalty = f(quality satisfaction, perceived best value, value satisfaction)

1.Kinerja ekonomi 2.Peubah/atribut multivariat 3.Post consumtion Perceived performance of the product 4.Customer loyalty

Semua industri produk dan jasa

1. Fitness for use 2. pengukuran dilakukan untuk setiap merk dalam setiap kategori produksi. 1(satu) industri = 20 kategori = 300merek

Sumber: Triwidiastuti (2008, hal. 95-97)

Lanjutan Tabel 5

Ekkildsen, dkk. (2004) meneliti hubungan antara kepuasan dan loyalitas

pelanggan pada bisnis ritel di Denmark berbasis Model ECSI, dengan metode

analisis structural equation model. Model tersebut menghubungkan kepuasan

pelanggan terhadap pengendalinya, yakni perceived brand image, customer

expectation, perceived quality dan perceived value. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa dimensi utama pengendali (drivers) pada model, memiliki

pengaruh positif dan signifikan secara langsung terhadap kepuasan pelanggan, dan

secara tidak langsung terhadap loyalitas pelanggan.

Bayol, dkk. (2000) melakukan kajian statistika terapan dengan

menggunakan pemodelan analisis jalur PLS, dalam mengestimasi Model ECSI

pada industri provider telepon genggam di negara-negara Eropa, sebagaimana

disajikan pada Gambar 3. Hasil yang diperoleh dari kajian mereka adalah seluruh

peubah laten yang dibentuk dalam konstruk, memiliki pengaruh positif langsung

terhadap kepuasan dan loyalitas pelanggan. Khususnya pada laten “image” pada

model, memiliki pengaruh langsung yang positif terhadap loyalitas pelanggan.

Sumber: Bayol, dkk. (2000)

Gambar 3. Model ECSI Untuk Mengukur Kepuasan Pelanggan pada

Industri Provider Telepon Genggam di Negara-negara Eropa

Berdasarkan hasil penelitian Bayol, dkk. (2000) tersebut, dapat diketahui

bahwa customer expectation berpengaruh positif dan nyata terhadap perceived

quality, image berpengaruh positif dan nyata terhadap customer expectation,

customer satisfaction, dan loyalty, perceived quality berpengaruh positif dan nyata

terhadap perceived value dan customer satisfaction, customer satisfaction

berpengaruh positif dan nyata terhadap loyalty.

Terblanche (2005) melakukan kajian terhadap model ACSI pada industri

retail fast food pada tujuh kota metropolitan di Afrika Selatan. Hasil penelitiannya

sebagaimana tersaji pada Gambar 4, diketahui Perceived quality memiliki

pengaruh positif terbesar pada kepuasan pelanggan, dibandingkan customer

expectation dan Perceived value. Berdasarkan model ACSI dalam memprediksi

loyalitas pelanggan, memiliki indikasi hubungan yang lemah antara loyalitas dan

kepuasan pelanggan. Dengan kata lain, Terblanche (2005) menyatakan kepuasan

pelanggan tidak dapat menjadi prediktor utama pada loyalitas pelanggan.

Sumber: Terblanche (2005)

Gambar 4. Model ACSI Untuk Mengukur Kepuasan Pelanggan pada

Industri Retail di Tujuh Kota Metropolitan Afrika Selatan

Rodoula Tsiotsou (2005) meneliti pengaruh dari perceived quality

terhadap kepuasan pelanggan secara keseluruhan dan pembelian berulang.

Penelitian ini menggunakan metode survey dengan sampel sebanyak 204

responden, yakni mahasiswa dari Universitas Yunani. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa perceived quality secara nyata memiliki keterkaitan dan

pengaruh positif terhadap peubah-peubah penelitian yang telah diidentifikasi.

Hasil penelitiannya juga menunjukan bukti empiris bahwa perceived quality

mampu memberikan penjelasan terbesar dari variansi kepuasan pelanggan secara

keseluruhan, dibandingkan pada pembelian ulang pelanggan.

Sudin (2011) meneliti perceived quality dan perceived value dalam

mempengaruhi kepuasan dan loyalitas pelanggan. Unit analisis penelitiannya

adalah perusahaan di Malaysia, dengan metode non-probability sampling.

Perusahaan dipilih secara convenience dengan 115 kuesioner yang diisi dengan

benar dan dikembalikan, untuk dianalisis lebih lanjut. Hasil penelitiannya

menemukan hubungan yang positif dan nyata antara perceived quality dan

kepuasan pelanggan, dan juga antara perceived value terhadap kepuasan

pelanggan. Wu dan Ding (2007) memaparkan bahwa di berbagai literatur riset

empiris dalam bidang kepuasan pelanggan, memberikan hasil bahwa ekspektasi

pelanggan berpengaruh positif dan nyata terhadap tingkat kepuasan pelanggan.

Perbedaan utama antara model penelitian ini dengan model lain,

khususnya model ECSI dan ACSI adalah pada penetapan peubah-peubah latent

dan hubungan kausalitasnya. Hal ini disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Perbedaan model penelitian ini dengan model ECSI dan ACSI

No Model Peubah yang ditetapkan Penelitian ini

1 ECSI Perceived quality, Perceived value, Image, Customer expectation, Customer satisfaction, Customer loyalty, Complaint

1 Menggunakan seluruh peubah pada ECSI, kecuali Complaint.

2 Menambahkan peubah SES 3 Menyusun selang baru dari SES

2 ACSI Perceived quality, Perceived value, Customer expectation, Customer satisfaction, Customer loyalty

1 Menggunakan seluruh peubah ACSI 2 Memasukkan peubah Image 3 Menambahkan peubah SES 4 Menyusun selang baru dari SES