bab ii tinjauan pustaka konsep anak retardasi mental

45
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Anak Retardasi Mental 2.1.1. Definisi Retardasi Mental Subastian dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) menyatakan retardasi mental adalah kerterlambatan perkembangan yang dimulai pada masa anak, yang ditandai oleh intelegensi/kemampuan kognitif di bawah normal dan terdapat kendala pada perilaku adaptif sosial. Sementara itu, yang dimaksud dengan perilaku adaptif sosial adalah kemampuan sesorang untuk mandiri, menyesuiakan diri, dan mempunyai tanggung jawab sosial yang sesuai dengan kelompok umur dan budayanya. Armatas (2009) menyebutkan bahwa retardasi mental (mental retardation) bukan merupakan suatu penyakit, melainkan hasil patologik didalam otak yang menggambarkan keterbatasan intelektualitas dan fungsi adaptif. Sedangkan Salmiah (2009) menyatakan retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya. Definisi retardasi mental menurut American Association on Mental Retardation (AAMR) adalah fungsi intelektual umum secara bermakna di bawah normal, disetai adanya keterbatasan pada dua fungsi adaptif atau lebih, yaitu komunikasi, menolong diri sendiri, ketrampilan sosial, mengarahkan

Upload: others

Post on 02-Dec-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Anak Retardasi Mental

2.1.1. Definisi Retardasi Mental

Subastian dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) menyatakan retardasi mental

adalah kerterlambatan perkembangan yang dimulai pada masa anak, yang

ditandai oleh intelegensi/kemampuan kognitif di bawah normal dan terdapat

kendala pada perilaku adaptif sosial. Sementara itu, yang dimaksud dengan

perilaku adaptif sosial adalah kemampuan sesorang untuk mandiri,

menyesuiakan diri, dan mempunyai tanggung jawab sosial yang sesuai dengan

kelompok umur dan budayanya. Armatas (2009) menyebutkan bahwa

retardasi mental (mental retardation) bukan merupakan suatu penyakit,

melainkan hasil patologik didalam otak yang menggambarkan keterbatasan

intelektualitas dan fungsi adaptif. Sedangkan Salmiah (2009) menyatakan

retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan

fisik lainnya.

Definisi retardasi mental menurut American Association on Mental

Retardation (AAMR) adalah fungsi intelektual umum secara bermakna di

bawah normal, disetai adanya keterbatasan pada dua fungsi adaptif atau lebih,

yaitu komunikasi, menolong diri sendiri, ketrampilan sosial, mengarahkan

12

diri, ketrampilan akademik, bekerja, menggunakan waktu luang, kesehatan,

dana atau keamanan, keterbatasan ini timbul sebelum umu 18 tahun

(Soetjiningsih, dan Ranuh, 2014)

2.1.2. Etiologi Retardasi Mental

Subastian CS (2001) dan Harun KH (2002) dalam Soetjiningsih dan Ranuh

(2014), penyebab retardasi mental adalah sebagai berikut :

1. Pranatal

a. Chromosomal Aberration

1) Sindrom Down

95% kasus Sindrom Down disebabkan trisomi 21, sisanya

disebabkan oleh transolakasi dari mosaik.

2) Delesi

Contoh, sindrom cri-du-chat disebabkan delasi pada kromosom

5p3

3) Sindrom malformasi akibat mikrodelalasi

Contoh, sindrom Prader-Wili (paternal origin) dan Angelman

(maternal origin) terjadi mikrodelesi pada kromosom 15q11-12,

terdapat perbedaan fenotif kerena mekanisme imprinting.

b. Disorder with autosomal-dominan inheritance

Contoh adalah tuberus-sclerosis yang disebabkan mutasi gen pada

pembentukan lapisan ektodermal dari fetus. Bila diagnosis tuberus-

13

sclerosis ditegakkan, kedua orang tuanya harus diperiksa, karena

risiko kejadian dapat berulang 50% pada setiap kehamilan.

c. Disorder with autosomal-recessive inheritance

Sebagian besar penyakit metabolik mengikuti kategori ini. Contohnya

adalah phenylketonuria (PKU), penyaki metabolik yang banyak

diketahui. Gangguan ini pertama kali diketahui pada tahun 1934 oleh

Folling pada anak dengan retardasi mental.

d. X-linked mental retardation

Fragile X syndrome merupakan penyebab kedua retardasi mental,

setelah Sindrom Down. Kelainan kromosom terjadi pada lokasi

Xq27.3.

e. Infeksi Maternal

1) Infeksi rubela pada bulan pertama kehamilan, dapat mempengaruhi

organogensis fetus (50%). Infeksi pada bulan ketiga kehamilan

mengakibatkan gangguan perkembangan fetus (15%). Kelainan

akibat infeksi rubela berupa retardasi mental, mikrosefali,

gangguan pendengaran, katarak, dan kelainan jantung bawaan.

2) Infeksi sitomegalovirus konginetal dapat menyebabkan

mikrosefali, gangguan pendengaran sensorineural, dan retardasi

psikomotor.

14

3) Toksoplasmosis konginetal mengakibatkan 20% bayi yang

terinfeksi mengalami kelainan hidrosefalus, mikrosefali, gangguan

perkembangan psikomotor, mata, dan pendengaran.

4) Human Immunodeficiency Virus (HIV) konginetal dapat

menyebabkan ensefalopati, yang ditandai oleh mikrosefali,

kelainan neurologi progresif, retardasi mental, dan gangguan

perilaku.

f. Zat-zat Racun

Zat teratogen yang terpenting pada ibu hamil adalah etanol, yang

dapat, menyebabkan Fetal Alcohol Syndrome (FAS). Alkohol

menyebabkan tiga kelainan utama yaitu : (1) Gambaran dismorfik (bila

terpajan pada tahap organogenesis), (2) Retardasi pertumbuhan

prenatal dan pascanatal, (3) Disfungsi susunan saraf pusat (SSP),

termasuk retardasi mental ringan atau sedang, perkembangan motorik

lambat, hiperaktivitas. Beratnya kelainan tergantung pada jumlah

alkohol yang dikonsumsi.

g. Toksemia kehamilan dan insufesiensi plasenta

Intrauterine Growth Retardation (IUGR) banyak penyebabnya.

Penyebab yang penting adalah toksemia kehamilan yang dapat

mengakibatkan kelainan pada SSP. Prematuritas dan terutama IUGR

merupakan predisposisi komplikasi perinatal, yang bisa

15

mempengaruhi SSP dan menimbulkan masalah perkembangan

lainnya.

2. Perinatal

a. Infeksi

Infeksi pada periode neonatal dapat menyebabkan sekuele

perkembangan, misalnya herpes simplek tipe 2 yang dapat

menyebabkan ensefalitis dan sekuelenya. Infeksi bakteri yang

menyebabkan sepsis dan meningitis dapat mengakibatkan

hidrosefalus.

b. Masalah kelahiran

Asfiksia berat, prematuria, trauma lahir, dan gejala-gejala neurologis

pada masa bayi harus diwaspadai sebagai faktor risiko retardasi

mental.

c. Masalah perinatal lainnya

Misalnya, pada retinopathy of prematurity (fibroplasias retrolental)

karena pemakaian oksigen 100% pada bayi premature, selain

mengakibatkan kebutaan juga dapat mengakibatkan retardasi mental.

Demikian pula, hiperbilirubinemia dapat menyebabkan ikterus dan

retardasi mental.

3. Pascanatal

a. Infeksi, isalnya ensefalitis dan meningitis.

16

b. Penyebab pascanatal lainnya

Misalnya tumor ganas pada otak, trauma kepala pada kecelakaan, dan

hampir tenggelam.

c. Zat-zat racun, misalnya keracunan logam-logam berat

d. Masalah psikososial. Misalnya, depresi, deprivasi maternal, kurang

stimulasi, kemiskinan, dan lainnya.

e. Penyebab tidak diketahui

Sekitar 30% retardasi mental berat dari 50% retardasi mental ringan

tidak diketahui. Kebanyakan anak yang menderita anak retardasi

mental ini berasal dari golongan sosial ekonomi rendah kurangnya

stimulasi dari lingkungannya, yang secara bertahap menurunkan IQ

bersamaan dengan terjadinya maturasi.

2.1.3. Gejala Klinis Retardasi Mental

Shapiro BK (2007) dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) gejala klinis yang

sering menyertai retardasi mental berdasarkan umur adalah sebagai berikut :

1. Newborn

Sindrom dismorfik, mikrosefali, disfungsi sistemorgan major.

2. Early infancy (2-4 bulan)

Gagal berinteraksi dengan lingkungan, gangguan penglihatan atau

pendengaran.

17

3. Later infancy (6-12 bukan)

Keterlambatan motorik kasar.

4. Toddlers (2-3 tahun)

Keterlambatan atau kesulitan bicara.

5. Preschool (3-5 tahun)

Keterlambatan atau kesulitan berbicara; masalah perilaku termasuk

kemampuan bermain; keterlambatan perkembangan motorik halus:

menggunting, mewarnai, dan menggambar

6. School age (>5 tahun)

Kemampuan akademik kurang; masalah perilaku (perhatian, kecemasan,

nakal dan lainnya).

2.1.4. Diagnosis Retardasi Mental

Pleyte dan Humris (2014) menyebutkan kriteria diagnostik untuk anak

retardasi metal menurut Diagnostic and Statistical Manual IV – TR (DSM IV

– TR) adalah sebagai berikut :

1. Fungsi intelektual dibawah rata-rata (IQ 70 atau kurang) yang diperiksa

secara individual

2. Kekurangan atau gangguan dalam perilaku adaptif (kekurangan individu

untuk memenuhi tuntutan standar perilaku sesuai dengan usianya dari

lingkungan budayanya) dalam sedikitnya dua hal yaitu : komunikasi, self

care, kehidupan rumah tangga, ketrampilan sosial/interpersonal,

18

menggunakan sarana komunitas, mengarahkan diri sendiri, keterampilan

akademis fungsional, pekerjaan, waktu senggang, kesehatan dan

keamanan

3. Awitan terjadi sebelum 18 tahun

2.1.5. Klasifikasi Retardasi Mental

Soetjiningsih dan Ranuh (2014) menyebutkan terdapat bermacam-macam

klasifikasi retardasi mental yaitu :

1. Klasifikasi menurut American Assocation Mental Deficiency (AAMD)

dan WHO

Tabel 1. Klasifikasi menurut American Assocation Mental Deficiency (AAMD) dan

WHO

Derajat American Association Mental Deficiency

Word Health Organization

Ringan 55-69 50-70 Sedang 40-54 35-49 Berat 25-39 20-34 Sangat berat 0-24 0-20

2. Menurut Melly dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) :

a. Retardasi mental tipe klinik

Pada retardasi mental tipe klinik mudah dideteksi sejak dini, karena

kalaianan fisik dan mentalnya cukup besar. Penyebab terseringnya

adalah kelainan organik. Kebanyakan anak ini perlu perawatan yang

terus menerus dan kelaianan ini dapat terjadi pada kelas sosial tinggi

19

maupun rendah. Orang tua anak retardasi mental tipe klinik ini cepat

mencari pertolongan karena mereka melihat sendiri kelaianan pada

anaknya.

b. Retardasi mental tipe sosiobudaya.

Biasanya, kelaianan ini baru diketahui setelah anak masuk sekolah dan

ternyata tidak dapat mengikuti pelajaran. Penampilannya seperti anak

normal, sehingga tipe ini disebut anak retardasi enam jam, karena

begitu mereka keluar sekolah mereka dapat bermain seperti anak-anak

normal lainnya. Tipe ini kebanyakan berasal dari golongan sosial

ekonomi rendah. Para orang tua tipe ini tidak melihat adanya kelainan

pada anaknya. Mereka mengetahui kalau anaknya retardasi mental dari

gurunya atau dari psikolog, karena anaknya gagal naik kelas beberapa

kali.

3. Menurut American Association on Mental Retardation (AAMR)

AAMR hanya membagi retardasi mental menjadi dua kategori yaitu

retardasi mental ringan dan berat

Tabel 2. Perbedaan Kriteria Retardasi Mental Berdasarkan DSM-IV-TR dan AAMR

DSM-IV-TR AAMR Ringan (IQ) 55-69 52-75 Sedang (IQ) 40-54 Berat (IQ) 25-39 <50 Sangat berat (IQ) <24

20

Keterangan : AAMR hanya membedakan retardasi mental ringan dan berat. Pembagian ini berdasarkan kriteria yang lebih alamiah, antara lain berdasarkan meningkatnya likelihood dari : a. Penyebab yang dapat didentifikasikan b. Komorbid kesehatan, perilaku dan gangguan psikiatrik c. Ketidakmampuan untuk mengikuti pendidiakn formal d. Kebutuhan untuk perwalian nanti kalau sudah dewasa pada

retardasi mental berat

4. Klasifikasi berdasarkan pendidikan dan bimbingan

Tabel 3 Klasifikasi berdasarkan pendidikan dan bimbingan

Kategori IQ Pendidikan Bimbingan Prevalen Ringan 55-70 Mampu didik Kadang –kadang 0,9-2,7 % Sedang 40-54 Mampu latih Terbatas Berat 35-39 Tidak mampu

latih Ekstensif 0,3-0,4 %

Sangat berat <25 Tidak mampu latih

Pervasive

Retardasi mental tipe ringan masih mampu didik, retardasi mental tipe

sedang mampu dilatih, sedangkan retardasi mental mental tipe berat dan

sangat berat memerlukan pengawasan dan bimbingan seumur hidupnya.

Bimbingan untuk anak retardasi mental tergantung pada tingkat

kemandirian anak.

2.1.6 Karakteristik Anak Retardasi Mental

Retardasi mental (RM) merupakan suatu keadaan perkembangan jiwa yang

terhenti atau tidak lengkap sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan

secara menyeluruh, misalnya keterbatasan kemampuan kognitif, kerterbatasan

21

bahasa, keterbasatan motorik kasar dan halus, dan interaksi sosial (Maslim,

2007). Smith et al dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan (2007) Anak-

anak retardasi mental secara umum mempunyai tingkat kemampuan

intelektual di bawah rata-rata dan secara bersamaan mengalami hambatan

terhadap prilaku adaptif selama masa perkembangan dari nol tahun sampai 18

tahun. Bidang prilaku adaptif yang menjadi perhatian untuk diobservasi

meliputi :

1. Menolong diri sebagai bentuk penampilan pribadi, meliputi: makan,

minum, berpakaian, dan memelihara kesehatan diri.

2. Perkembangan fisik, meliputi keterampilan gerak

3. Komunikasi, meliputi bahasa reseptif dan bahasa ekspresif

4. Keterampilan sosial, keterampilan bermain, keterampilan berinteraksi,

berpartisipasi dalam kelompok, bersikap ramah-tamah dalam pergaulan,

tangggung jawab terhadap diri sendiri, kegiatan memanfaatkan waktu

luang, dan ekspresi emosi

5. Fungsi kognitif, meliputi pengetahuan akademik dasar (seperti

pengetahuan tentang warna) membaca, menulis, fungsi-fungsi: pengenalan

terhadap angka, waktu, uang dan pengukuran.

6. Memelihara kesehatan dan keselamatan diri, meliputi mengatasi luka,

berkaitan dengan masalah kesehatan, pencegahan kesehatan, keselamatan

diri, dan memelihara diri secara praktis.

22

7. Keterampilan berbelanja, meliputi penggunaan uang, berbelanja, dan cara

mengatur pembelanjaan.

8. Keterampilan domestik, meliputi membersihkan rumah, memelihara dan

memperbaiki barang-barang yang ada dirumah, cara membersihkan dan

mencuci.

9. Orientasi lingkungan, meliputi keterampilan melakukan perjalanan,

memanfaatkan sumber-sember lingkungan, penggunaan telepon, menjaga

keselamatan lingkungan.

10. Keterampilan vokasional, meliputi kebiasaan bekerja serta prilakunya,

keterampilan mencari pekerjaan, prilaku sosial dalam pekerjaan dan

menjaga keselamatan kerja

2.1.7 Tumbuh Kembang Utama Anak Dan Remaja

Soetjiningsih dan Ranuh (2014) menyebutkan pada masa praremaja,

pertumbuhan lebih cepat dari pada masa prasekolah keterampilan dan

intelektual makin berkembang; anak senang bermain berkelompok dengan

teman jenis kelamin saa. Sedangkan pada masa remaja. Anak perempuan dua

tahun lebih cepat memasuk masa remaja bila dibandingkan dengan anak laki-

laki. Masa ini, terjadi pacu tumbuh berat badan dan tinggi badan yang disebut

sebagai adoslescent growth spurt (pacu tumbuh aldosteron).

23

Tahap Masa Praremaja (6-12 tahun) :

1. Teman sebaya sangan penting

2. Anak mulai berpikir logis, meskipun masih kongkrit dan operasional

3. Egosentris berkurang

4. Memori dan kemampuan bahasa meningkat

5. Kemampuan kognitif meningkat akibat sekolah formal.

6. Konsep diri berubah, yang mempengaruhi harga dirinya.

Tahap Masa Remaja (13-20 tahun)

1. Perubahan fisik cepat dan jelas

2. Maturitas reproduktif dimulai sampai mencapai dewasa

3. Teman sebaya dapat mempengaruhi perkembangan dan konsep dirinya

4. Kemampuan berpikir asbtrak dan menggunakan alasan yang bersifat

alamiah sudah berkembang

5. Sifat egosentris menentap pada beberapa perilaku.

24

2.1.8 Tumbuh Kembang Anak Retardasi Mental

Tabel 4 Ciri-ciri perkembangan anak retardasi mental

Tingkat Retardasi Mental

Umur pra-sekolah: 0-5 tahun Pematangan dan Perkembangan

Umur Sekolah: 6-20 tahun Latihan dan Pendidikan

Masa dewasa: 21 tahun atau lebih Kecukupan Sosial dan Pekerjaan

Berat sekali Retardasi berat: kemampuan minimal untuk berfungsi dalam bidang sensori-motorik; membutuhkan perawatan

Perkembangan motorik sedikit, dapat bereaksi terhadap latihan terus mengurus diri sendiri secara minimal atau terbatas

Perkembangan motorik dan berbicara sedikit; dapat mencapai mengurus diri sendiri secara sangat terbatas; membutuhkan perawatan.

Berat Perkembangan motorik kurang; bicara maksimal; pada umumnya tidak dapat dilatih untuk mengurus diri-sendiri; keterampilan komunikasi tidak ada atau hanya sedikit

Dapat berbicara atau belajar berkomunikasi; dapat dilatih dalam kebiasaan kesehatan dasar; dapat dilatih secara sistemik dalam kebiasaan

Dapat mencapai sebagian dalam mengurus diri sendiri dibawah pengawasan penuh; dapat mengembangkan secara minimal berguna keterampilan menjaga diri dalam lingkungan yang terkontrol.

Sedang Dapat berbicara atau belajar berkomunikasi; kesadaran sosial kurang; perkembangan motorik cukup; dapat mengurus diri sendiri; dapat diatur dengan pengawasan sedang.

Dapat dilatih dalam keterampilan sosial dan pekerjaan; sulit mengalami perkembangan dalam bidang akademik setelah kelas dua SD;dapat berpergian sendiri ketempat yang sudah dikenal

Memerlukan pengawasan dan bimbingan bila mengalami stress sosial atau stress ekonomi yang ringan

Ringan Dapat mengembangkan keterampilan sosial dan komunikasi; keterbelakangan minimal dalam bidang sensomotorik; sering tidak dapat dibedakan dari normal hingga usia tua

Dapat belajar keterampilan akademik sampai kira-kira kelas enam pada umur belasan tahun; dapat dibimbing ke arah konformitas sosial

Biasanya dapat mencapai keterampilan sosial dan pekerjaan yang cukup mencari nafkah, tetapi memerlukan bimbingan dan bantuan bila mengalami stress sosial atau stress ekonomi yang luar biasa.

Sumber: Freedman, AM.,H.I dan Sadock, B.J. ; Modem Synopsis of Comprehensive Textbook of Psychiatry, Wiliams &Wilkins Co, Baltimore, 1972, HI. 313 dalam Maramis 2009.

25

2.1.9 Penatalaksanaan

Pleyte dan Humris (2014) menyebutkan penatalaksanaan anak retardasi

mental meliputi tiga hal yaitu :

1. Pendekatan yang berhubungan dengan etiologi, misalnya menetapkan diet

secara dini untuk penderita yang penyebabnya adalah fenilketonuria atau

substansi hormon ini.

2. Terapi untuk gangguan fisik dan mental yang menyertai retardasi mental

3. Pendidikan yang sesuai dan rehabilitasi

Keterbatasan anak retardasi mental dapat dikurangi dengan modifikasi

perilaku, sehingga modifikasi perilaku perlu diberikan kepada anak retardasi

mental melalui terapi perilaku (Nisa, 2010). Efendi (2006) Jenis terapi

perilaku yang diberikan kepada anak retardasi mental yaitu melalui kegiatan

bermain. Terapi permainan yang diberikan yang memiliki muatan antara lain:

1. Setiap permainan hendaknya memiliki nilai terapi yang berbeda.

2. Sosok permainan yang diberikan tidak terlalu sukar untuk dicerna anak

retardasi mental (Prasedio dalam Efendi 2006).

Nisa (2010) menyatakan nilai terapi yang penting dalam perkembangan anak

retardasi mental yaitu:

1. Pengembangan fungsi fisik, misalnya pernapasan, peredaran darah, dan

pencernaan makanan

26

2. Pengembangan sensomotorik, melalui bermain dapat melatih ketajaman

penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan melatih kemampuan

gerak.

3. Pengembangan daya khayal, anak diberi kesempatan untuk mampu

menghayati makna kebebasan untuk pengembangan kreasinya

4. Pembinaan pribadi, anak berlatih memperkuat kemauan, memusatkan

perhatian, mengembangkan keuletan, dan percaya diri

5. Pengembangan sosialisasi, anak bermain dengan teman sebaya,

berkelompok, anak harus mampu menerima kekalahan, menunggu giliran,

setia, jujur, terjadinya komunikasi dan interaksi antara individu.

6. Pengembangan intelektual, dalam permainan yang dilakukan, anak diberi

kesempatan untuk mengaktualisasi kemampuannya melalui ucapan atas

apa yang dilihat dan didengar tentang permainan yang dilakukan.

2.2. Interaksi Sosial

2.2.1. Definisi Interaksi Sosial

Interaksi sosial menjadi sangat penting dalam kehidupan sosial. Dari interaksi

antar individu dan kelompok, dan antar kelompok akan tumbuh jalinan kerja

sama, saling membutuhkan, dan saling pengertian yang sangat penting dalam

mewujudkan kehidupan bersama yang dinamis. Interaksi sosial adalah bentuk

umum proses sosial, di mana individu dan kelompok mengembangkan cara-

27

cara yang berhubungan dengan individu dan kelompok lain (Maryati dan

Suryawati, 2007).

Sunaryo (2004) menyebutkan interaksi sosial mulai apabila dua orang

bertemu, misalnya saling menyapa, saling berjabat tangan, saling berbincang-

bincang, atau mungkin saling berselisih. Suatu tindakan disebut interaksi

sosial apabila individu melakukan tindakan sehingga menimbulkan reaksi dari

individu lain. Interaksi sosial merupakan hubungan yang tertata dalam bentuk

tindakan-tindakan yang berdasarkan nilai-nilai atau norma-norma sosial yang

berlaku dalam masyarakat. Interaksi sosial merupakan salah satu bentuk

hubungan antara individu dan lingkungannya, terutama lingkungan psikisnya.

2.2.2. Faktor-Faktor yang Mendasari Terjadinya Interaksi Sosial

Murdiyatmoko (2007) menyatakan interaksi sosial bersifat dinamis dan

merupakan dasar bagi proses sosial. Sosiologi menelaah proses sosial, seperti

bagaimana cara anggota masyarakat saling berhubungan atau berinteraksi

sosial. Interaksi sosial dapat berlangsung apabila terjadi saling aksi dan reaksi

antara kedua belah pihak. Interaksi sosial tidak akan terajdi jika manusia

mengadakan hubungan yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali tidak

berpengaruh terhadap system sarafnya sebagai akibat hubungan tersebut.

Interaksi sosial harus terjadi dua arah dan menuntut timbal balik. Proses

interaksi sosial baru akan berlangsung jika suatu aktivitas menciptakan aksi

atau mempengaruhi orang lain untuk bereaksi. Berlangsungnya suatu proses

28

interaksi yang didasari oleh pada berbagai faktor antara lain faktor imitasi,

sugesti, indentifikasi, dan simpati.

1. Imitasi

Imitasi adalah suatu tindakan yang menirukan tindakan, nilai, norma, atau

ilmu pengetahuan orang atau kelompok yang berinteraksi. Faktor imitasi

mempunyai peranan yang sangat panting dalam proses interaksi sosial

yang dapat mendorong seseorang untuk memenuhi kaidah dan nilai yang

berlaku

Imitasi mempunyai dua kemungkinan, yaitu sebagai berikut :

a. Imitasi positif, yaitu apabila mendorong seseorang untuk melakukan

dan memahami kaidah-kaidah yang berlaku.

b. Imitasi negatif, yaitu apabila mengakibatkan terjadinya hal-hal yang

bertentangan dengan norma-norma dan kaidah-kaidah serta

melemahkan daya kreasi seseorang. Contohnya kebiasaan minum-

minuman keras serta pergaulan bebas antara pemuda dan pemudi.

2. Sugesti

Sugesti timbul apabila seseorang meniru suatu pandangan atau sikap

orang lain secara tidak rasional. Sugesti mungkin terjadi apabila yang

memberi pandangan itu orang yang berwibawa, bersifat otoriter, atau

orang yang memiliki disiplin yang mantap. Contohnya, orang yang sedang

stres atau dilanda suatu masalah yang sangat dilematis.

29

3. Identifikasi

Identifikasi merupakan kecendrungan atau keinginan seseorang untuk

menjadi sama dengan pihak lain. Proses identifikasi dapat berlangsung

dengan sendirinya (tidak sadar) atau disengaja.

4. Simpati

Simpati adalah suatu proses yang menjadikan seseorang merasa tertarik

pada pihak lain. Dalam proses ini, perasaan seseorang memegang peranan

yang sangat penting. Contohnya, seorang siswa ikut bergabung dalam

kegiatan ekstrakurikuler tari tradisional karena tertarik dan merasa simpati

kepada pelatihnya yang pandai menari.

2.2.3. Bentuk Interaksi Sosial

Soekanto dalam Sunaryo (2004) menyebutkan ada empat bentuk interaksi

sosial , yaitu kerja sama (cooperation), persaingan (compettion), pertentangan

atau pertikaian (conflict), dan akomodasi atau penyesuaian diri

(accommodation). Untuk jelas dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kerja sama (cooperation)

Kerja sama (cooperation) merupakan salah satu bentuk interaksi sosial

yang utama. Kerja sama adalah bentuk usaha bersama antara orang

perorang atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa

tujuan bersama. Timbulnya kerja sama karena adanya kepentingan

bersama. Kerja sama bertambah kuat apabila ada musuh bersama atau

30

ancaman bersama. Kerja sama juaga dapat bersifat agresif apabila

kelompok mengalami kekecewaan dan perasaan tidak puas

2. Persaingan (competition)

Persaingan (competition) adalah suatu proses sosial dimana individu atau

kelompok menusia bersaing, mencari keuntungan melalui bidang

kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum

dengan cara menarik perhatian publik atau mempertajam prasangka yang

telah ada. Tipe persaingan bisa adalah bersifat pribadi (rivalry) dan

bersifat tidak pribadi. Bentuk persaingan, antara lain persaingan ekonomi,

persaingan kebudayaan, persaingan kedudukan dan peranan, serta

persaingan ras.

3. Pertentangan atau pertikaian (conflict)

Pertentangan atau pertikaian (conflict) adalah suatu proses sosial di mana

individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan

menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan.

Penyebab terjadinya pertentangan, yaitu perbedaan antarindividu,

perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, dan perubahan individu.

Bentuk–bentuk pertentangan, antara lain pertentangan pribadi,

pertentangan rasial, pertentangan antarkelas sosial, pertentangan politik,

dan pertentangan yang bersifat internasional.

31

4. Akomodasi atau penyesuaian diri (accommodation)

Akomodasi berarti adanya suatu keseimbangan (equikebrium), dalam

interaksi antara orang perorangan atau kelompok manusia dalam

kaitannya dengan normal sosial dan nilai sosial yang berlaku dalam

masyarakat. Akomodasi sebagai suatu proses, yang menunjukan pada

usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan, yaitu usaha-

usaha untuk mencapai kestabilan. Secara umum akomodasi adalah suatu

cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan

sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. Tujuan akomudasi

adalah mengurangi pertentangan dan mencegah meledaknya pertentangan

secara temporer.

2.2.4. Jenis-Jenis Interaksi Sosial

Raharjo (2004) menyebutkan ada tiga jenis interaksi sosial yaitu :

1. Interaksi antara individu dengan individu

Individu yang satu memberikan pengaruh, rangsangan, dan stimulus

kepada individu lainnya. Sedangkan individu yang terkena pengaruh

tersebut memberikan reaksi, tanggapan, atau respon. Seperti jabat tangan

atau berbicara

32

2. Interaksi antara individu dengan kelompok

Individu yang memberikan pengaruh, rangsangan, dan stimulus kepada

kelompok sosial. Contoh: seorang guru mengajari siswa-siswa di dalam

kelas.

3. Interaksi antara kelompok dengan kelompok

Hubungan interaksi antara kelompok sosial yang memberikan pengaruh,

rangsangan, dan stimulus kepada kelompok sosial lainnya. Seperti: satu

kesebelasan sepak bola melawan kesebelasan sepak bola lainnya.

2.2.5. Pengukuran Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental Sedang

Pengukuran kemampuan interaksi sosial pada anak retardasi mental

menggunakan lembar observasi Delphie (2006) yang telah dimodifikasi oleh

Wardhani (2012). Indikator dari kemampuan interaksi sosial adalah anak

melakukan kontak mata dengan peneliti dan peneliti pendamping, anak

membalas senyuman peneliti pendamping dan peneliti, anak mampu

menjawab tiga pertanyaan dari peneliti pendamping, anak menunjukkan

barang miliknya kepada orang lain, peneliti dan peneliti pendamping, anak

mampu bermain dengan teman sebaya, anak mengikuti permainan sesuai

peraturan yang telah dibuat, anak tetap bermain dengan temannya walaupun

tidak ada guru/ pengasuh /petugas disaat jam istirahat, anak berpartisipasi

aktif dalam berbagai kegiatan disekolah, anak mampu bertanya / bertukar

pendapat dengan teman yang lainnya, dan anak mampu bekerja sama dengan

33

kelompok. Dikatakan kurang apabila skor menunjukkan 0 – 3, cukup jika

skor menunjukkan 4 – 6, dan baik jika skor menunjukkan 7 – 10.

2.2.6. Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial

Soeroso (2008) menyebutkan kontak sosial dan komunikasi merupakan syarat

terjadinya interaksi sosial

1. Kontak Sosial

Sebagai gejala sosial, kontak sosial tidak berarti bersinggungan fisik, akan

tetapi berhubungan atau bertatap muka antara individu dengan individu

lainya. Kontak sosial adalah pertemuan antara individu dengan individu,

individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok yang

memungkinkan terjadinya komunikasi. Kontak sosial dapat dibedakan

menjadi kontak primer dan kontak sekunder. Kontak sosial primer adalah

interaksi sosial yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung

atau tanpa menggunakan bantuan sarana. Kontak sosial primer dibedakan

menjadi dua yaitu tatap muka dan gerak tubuh. Kontak sosial sekunder

adalah interaksi sosial yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara

tidak langsung atau menggunakan bantuan sarana. Sarana yang sering

digunakan berupa orang sebagai perantara, artinya orang tersebut

menjebatani interaksi sosial yang dilakukan oleh dua orang atau lebih

dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Kontak sosial sekunder lainnya

34

adalah menggunakan media masa, baik media elektronik maupun media

cetak juga dapat melalui telepon .

2. Komunikasi

Komunikasi dilihat sebagai bagian dari interaksi sosial. Jika interaksi

sosial sebagai aktivitas, maka komunikasi diberikan pengertian sebagai

proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain. Komunikasi

terbagi menjadi dua macam yaitu komunikasi verbal dan nonverbal.

Komunikasi verbal adalah komunikasi yang dilakukan oleh seseorang

secara langsung dengan kata-kata yang ada. Penyampain pesan berbicara

secara terstruktur tentang pesan apa yang akan disampaikan kepada

masyarakat. Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang

menggunakan tulisan atau gambar seperti spanduk, selebaran iklan atau

pamphlet. Sarana atau saluran media yang digunakan pada masyarakat

sederhana adalah komunikasi verbal, yaitu menggunakan kata-kata oleh

orang yang dianggap mampu menyampaikan pesan tersebut.

2.2.7. Faktor-Faktor Penghambat Perkembangan Sosial Anak Retardasi

Mental

Wardhani (2012) menyebutkan bahwa faktor – faktor penghambat

perkembangan sosial pada anak retardasi mental yaitu :

1. Intelegensi rendah yaitu anak retardasi mental mengalami keterbatasan

sosialisasi dikarenakan tingkat intellegensianya yang rendah. Kemampuan

35

penyesuaian diri dengan lingkungannya sangat dipengaruhi oleh

kecerdasan, karena tingkat kecerdasan anak retardasi mental berada

dibawah normal, maka dalam kehidupan bersosialisasi mengalami

hambatan. Anak yang IQ-nya lebih tinggi menunjukkan perkembangan

yang lebih cepat dari pada anak yang IQ-nya normal atau dibawah normal

(Hurlock 2005).

2. Stimulasi kurang yaitu anak retardasi mental memerlukan stimulasi yang

lebih dibandingkan anak normal untuk mengembangkan kemampuan

sosialisasinya. Meskipun anak sudah mendapatkan pendidikan di sekolah

khusus, tetapi kemampuan sosialisasinya masih kurang. Hal ini

dikarenakan materi di sekolah lebih difokuskan untuk peningkatan

intelligen. Kegiatan yang dilakukan secara bersama/berkelompok masih

jarang dilakukan, seperti bermain secara berkelompok, sehingga peran

aktif anak untuk memacu dirinya untuk berinteraksi dengan lingkungan

sekitar juga kurang. Untuk itu diperlukan stimulasi berupa

kegiatan/permainan yang dapat dilakukan dengan berkelompok secara

rutin dan berkelanjutan demi meningkatkan peran aktif anak dalam

mengembangkan kemampuan sosialisasinya.

3. Peran aktif anak rendah dimana peran aktif anak juga dapat berpengaruh.

Anak harus memacu dirinya sendiri untuk berinteraksi dengan lingkungan

sekitarnya. Dengan adanya teman dalam satu kelompok anak bisa saling

berdiskusi dan bekerja sama dengan teman sekelompok, serta dengan

36

adanya kelompok lawan yang memiliki tingkat kemampuan sosialisasi

yang berbeda dapat memotivasi anak untuk tertarik dan beradaptasi

dengan permainan.

4. Tingkat pendidikan orang tua juga mempengaruhi perkembangan

kemampuan sosialisasi anak retardasi mental, hal ini berdampak pada

minimnya pengetahuan yang diperoleh seputar kondisi anak dan

pemenuhan kebutuhan/stimulasi untuk mengembangkan kemampuan

sosialisasinya.

2.2.8. Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental

Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang menyangkut

hubungan antar individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan

kelompok (Mila dan Ida, 2006). Interaksi sosial merupakan hubungan-

hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang

perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara perorangan

dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial

dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, berbincang-

bincang, bahkan berselisih (Tim Mitra Guru, 2006).

Sebagai anggota masyarakat anak retardasi mental tidak mampu

melaksanakan tugasnya sesuai dengan norma-norma yang berlaku, selain itu

anak tidak bisa mandiri, tidak dapat melakukan komunikasi dua arah dengan

teman sebaya atau orang lain, hal ini disebabkan oleh kemampuan sosialisasi

37

anak retardasi mental tidak berkembang secara optimal (Astuti, 2012). Untuk

memaksimalkan fungsi interaksi sosial anak retardasi mental maka perlu

diberikan stimulus dengan cara bermain.

2.3 Terapi Bermain

2.3.1. Definisi Bermain

Permainan adalah alat stimulus paling penting untuk anak. Bermain juga

dapat meningkatkan kemampuan fisik anak, pengalaman, dan pengetahuan

serta berkembang keseimbangan mental anak (Soetjiningsih dan Ranuh, 2014)

Bermain merupakan cara ilmiah bagi orang anak untuk mengungkapkan

konplik orang tua dan lingkungan. Dalam hal ini anak sudah mulai

memperluas ruang lingkup pergaulannya (Riyadi dan Sukirman, 2009).

Bermain adalah kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk memperoleh

kesenangan atau kepuasan (Supartini, 2004). Bermain merupakan bentuk

infatil dari kemampuan orang dewasa untuk menghadapi berbagai macam

pengalaman dengan cara menciptakan model situasi tertentu dan berusaha

untuk menguasainya melalui eksperimen dan perencanaan (Nursalam,

Rekawati, dan Utami, 2005). Terapi bermain adalah usaha mengubah tingkah

laku bermasalah, dengan menempatkan anak dalam situasi bermain, baisanya

ada ruangan khusus yang telah diatur sedemikian rupa sehingga anak merasa

lebih santai dan anak dapat mengekpresikan segala perasaan dengan bebas

(Adriana, 2011)

38

2.3.2. Fungsi Bermain

Wong et al (2009) menyebutkan fungsi bermain adalah sebagai berikut :

1. Perkembangan sensimotor

Aktivitas sensimotor adalah komponen utama bermain pada semua usia

dan merupakan bentuk dominan permainan pada masa bayi. Permainan

akitif penting untuk perkembangan otot-otot dan bermanfaat untuk

melepas kelebihan energi. Melalui permainan sensimotor anak mengenali

sifat dunia fisik. Bayi memperoleh kesan tentang diri sendiri dan dunia

mereka melaui stimulasi taktil, auditorius, visual, dan kinestetik. Toddler

dan prasekolah sangat menyukai gerakan tubuh utuk mengeksplorasi

segala sesuatu diruangan.

2. Perkembangan Intelektual

Melalui eksplorasi dan manipulasi, anak-anak belajar mengenali warna,

bentuk, ukuran, tekstur dan fungsi objek-objek. Mereka mempelajari

fungsi angka-angka dan cara menggunkannya, mereka belajar

menghubungkan kata dengan benda, dan mereka mengembangkan

pemahaman tentang konsep abstrak dan hubungan spasial seperti naik,

turun, bawah dan atas. Ketersediaan materi permianan dan kualitas

keterlibatan orang tua adalah dua variabel terpenting yang terkait dengan

perkembangan kognitif selama masa bayi dan prasekolah.

39

3. Sosialisasi

Sejak masa bayi awal, anak-anak menunjukan minat dan kesenangan

apabila ditemani dengan anak lain. Hubungan sosial pertamanya adalah

dengan pribadi ibu, tetapi melalui bermain dengan anak lain, mereka

belajar membentuk hubungan sosial dan menyelesaikan masalah yang

terkait dengan hubungan ini. Mereka belajar untuk saling memberi dan

saling menerima, mereka banyak belajar dari kritikan teman sebayanya

dibandingkan dari orang dewasa. Anak-anak mempelajari yang benar dan

yang salah, standar masyarakat, dan bertanggung jawab atas tindakan

mereka.

4. Kreativitas

Tidak ada situasi lain yang lebih memberi kesempatan untuk menjadi

kreatif selain bermain. Anak-anak bereksperimen dan mencoba ide mereka

dalam bermain melalui setiap media yang mereka miliki, termasuk bahan-

bahan mentah, fantasi, dan eksplorasi. Kreativitas terutama merupakan

hasil dari aktivitas tunggal, meskipun berpikir kreatif sering kali

ditingkatkan dalam kelompok ketika mendengar ada orang lain yang

merangsang eksplorasi lanjutan dari idenya sendiri. Ketika anak

merasakan kepuasan dari menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda.

40

5. Kesadaran diri

Bermula dari eksplorasi aktif tubuh anak dan kesadaran diri bahwa mereka

terpisah dari ibunya, proses identifikasi diri difasilitasi melalui kegiatan

bermain. Anak-anak belajar mengenali siapa diri mereka dan di mana

posisi mereka. Mereka semakin mampu mengatur tingkah laku mereka

sendiri, mempelajari kemampuan diri mereka, dan membandingkan

dengan anak yang lain. Melalui bermain anak menguji kemampuan

mereka, melaksanakan dan mencoba berbagai peran dan mempelajari

dampak dan perilaku mereka pada orang lain.

6. Manfaat terapeutik

Bermain bersifat terapeutik pada berbagai usia. Bermian memberikan

sarana untuk melepaskan diri dari ketegangan dan stres yang dihadapi di

lingkungan. Dalam bermain anak dapat mengekspresikan emosi dan

melepaskan impuls yang tidak dapat diterima dalam cara yang dapat

diterima masyarakat. Anak-anak banyak menunjukan diri mereka sendiri

dalam bermain. Melalui bermain anak-anak mampu mengomunikasikan

kebutuhan, rasa takut, dan keinginan mereka kepada pengamat yang tidak

dapat mereka ekspresikan karena keterbatasan keterampilan bahasa

mereka. Selama bermain anak perlu penerimaan dan perlu didampingi

oleh orang dewasa untuk membantu mereka mengontrol agresi dan

menyalurkan kecendrungan destruktif mereka.

41

7. Nilai moral

Walaupun anak belajar di rumah dan di sekolah tentang perilaku yang

dianggap benar dan salah menurut budaya, interaksi dengan sebaya selama

bermain berperan secara bermakna pada pembentukan moral mereka.

Tidak ada tempat yang memberikan penguatan standar moral sekaku

dalam situasi bermain. Bila mereka ingin diterima sebagai anggota

kelompok, anak harus menaati aturan perilaku yang diterima budaya

(misal, jujur, adil, kontrol diri dan mempertimbangkan orang lain). Anak

segera mempelajari bahwa sebaya mereka kurang toleren terhadap

kekerasan dibandingkan orang dewasa bahwa untuk mempertahankan

tempat dan kelompok bermain mereka harus menyesuikan diri dengan

standar kelompok tersebut.

2.3.3 Variasi dan Keseimbangan dalam Aktivitas Bermain

Soetijiningsih dan Ranuh (2014) menyebutkan alat permainan yang bervariasi

sehingga bila bosan permainan yang satu, dapat memilih permainan lainnya.

Bermain harus seimbang, artinya harus ada keseimbangan antara bermain

aktif dan pasif, yang biasanya disebut hiburan. Dalam bermain aktif,

kesenangan diperoleh dari apa yang diperbuat oleh mereka sendiri, sedangkan

bermain pasif kesenangan didapat dari orang lain.

42

1. Bermain aktif

a. Bermain mengamati/menyelidiki (exploratory play)

Perhatian pertama anak pada alat bermain adalah memeriksa alat

permaianan tersebut. Anak memeperhatikan alat permaianan,

mengocok-ngocok apakah adanya bunyi, mencium, meraba, menekan,

dan kadanga-kadang berusaha membongkar.

b. Bermain konstruktif (contruction play)

Pada anak umur tiga tahun, misalnya menyusun balok menjadi rumah-

rumahan, bermain puzzle, lego dan lainnya.

c. Bermain drama

Misalnya main sandiwara boneka, dan dokter-dokteran dengan

temannya.

d. Bermain bola, tali dan sebagainya

2. Bermain pasif

Anak berperan pasif, anatar lain melihat dan mendengar. Bermain pasif ini

baik dilakukan apabila anak sudah lelah bermain aktif dan membutuhkan

sesuatu untuk mengatasi kebosanan dan keletihannya.

Contoh:

a. Melihat gambar-gambar di buku-buku atau majalah

b. Mendengar cerita atau dongeng atau musik

c. Menonton tv atau video.

43

2.3.4 Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Aktivitas Bermain

Soetjiningsih dalam Nursalam, Rekawati, dan Utami (2005) mengatakan

bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar aktivitas bermain bisa

menjadi stimulasi yang efektif, antara lain :

1. Energi ekstra atau tambahan

Bermain memerlukan energi yang cukup, sehingga anak memerlukan

nutrisi yang memadai, asupan yang kurang menurunkan gairah anak, anak

yang sehat memerlukan aktivitas bermain yang bervariasi, baik bermain

aktif maupun bermain pasif, untuk menghindari rasa bosan atau jenuh.

Pada anak sakit, keinginan bermain umunya menurun karena energi yang

digunakan untuk mengatasi penyakitnya. Aktivitas bermain anak sakit

adalah bermain pasif.

2. Waktu

Anak harus mempunyai cukup waktu untuk bermain sehingga stimulasi

yang diberikan dapat optimal. Selain itu anak akan mempunyai

kesempatan yang cukup untuk mengenal alat-alat permainannya.

3. Alat permainan

Alat permainan yang digunakan harus disesuaikan dengan umur dan taraf

perkembangan anak.

4. Ruangan untuk bermain

Aktivitas bermain bisa dilakukan dimana saja. Bila memungkinkan

disediakan ruangan atau tempat khusus untuk bermain, dimana ruangan

44

tersebut menjadi tempat untuk menyimpan mainan. Syarat ruang bermain,

menarik dan menyengkan, bersih, aman dan nyaman bagi anak.

5. Pengetahuan cara bermain

Anak belajar bermain dari mencoba-coba sendiri, meniru teman-

temannya, atau diberitahu oleh orang tuanya. Cara yang terakhir adalah

yang terbaik karena anak lebih terarah dan lebih berkembang

pengetahuannya dalam menggunakan alat-lat permaianan tersebut.

6. Teman bermain

Dalam bermaian anak memerlukan teman, bisa teman sebaya, saudara,

atau orang tuanya. Bermain yang dilakukan bersama orang tuanya akan

mengakrabkan hubungan dan sekaligus memberi kesempatan pada orang

tua untuk mengetahui setiap kelainan yang dialami anaknya. Bermain

dengan teman diperlukan untuk mengembangkan sosialisasi anak dan

membantu anak dalam memahami perbedaan.

2.3.5 Klasifikasi Bermain

Adriana (2011) menyatakan ada beberapa jenis permainan ditinjau dari isi

permainan maupun kerakter sosialnya sebagai berikut:

1. Berdasarkan Isi Permainan

a. Sosial Affectif Play

Ini permainan ini adalah adanya hubungan interpersoanal yang

menyanangkan antara anak dan orang lain. Misal, permainnan “ciluk

45

ba”, berbicara sambil tersenyum atau tertawa, memberikan tangan

kepada bayi untuk menggenggamnya. Bayi akan mencoba berespon

terhadap tingkah laku orang tuanya atau orang dewasa tersebut dengan

tersenyum, tertawa dan mengoceh.

b. Sensse-Pleasure Play

Permainan ini menggunakan alat permainan yang menyenangkan pada

anak dan mengasyikan. Misalnya dengan menggunakan air, anak akan

memindah-mindahkan air ke botol, bak atau tempat lain. Ciri khas

permainan ini adalah anak akan semakin lama semakin asyik

bersentuhan dengan alat permainan ini lain sehingga susah untuk

dihentikan.

c. Skill play

Permainan ini dapat meningkatkan keterampilan anak, khususnya

motorik kasar dan halus. Keterampilan tersebut diperoleh melalui

pengulangan kegiatan permainan yang dilakukan. Semakin sering

melakukan kegiatan anak akan semakin terampil. Misalnya, bayi akan

terampil memegang benda-benda kecil, memindahkan benda dari satu

tempat ketempat lainnya.

d. Game

Game atau permaian adalah jenis permianan yang menggunakan alat

tertentu yang menggunakan perhitungan dan atau skor. Permainan ini

bisa dilakukan anak sendiri atau dengan temannya.

46

e. Unoccupied behavior

Anak tidak memainkan alat permianan tertentu, namun anak terihat

mondar mandir, tersenyum, tertawa, membungkuk memainkan kursi

atau apa saja yang ada sekelilingnya. Anak tampak senang, gembira,

dan asyik dengan situasi serta lingkungannya.

f. Dramatic play

Pada permianan ini anak memainkan peran sebagai orang lain melalui

perannya. Apabila anak bermain dengan teman sebayanya, akan terjadi

percakapan diantara mereka tentang peran yang akan mereka tiru.

Permainan ini penting untuk proses identifikasi anak terhadap peran

tertentu.

2. Berdasarkan Karakter Sosial

a. Social Onlocker Play

Pada permainan ini anak hanya mengamati temannya yang sedang

bermain, tanpa ada inisiatif untuk berpartisipasi dalam permainan.

Anak tersebut besifat pasif, tetapi ada proses pengamatan terhadap

permainan yang sedang dilakukan temannya.

b. Solitary Play

Pada permainan ini, anak tampak berada dalam kelompok permainan,

tetapi anak bermian sendiri dengan alat permainan yang dimilikinya,

47

dan alat permaianan tersebut berbeda dengan alat permainan yang

digunakan temannya, tidak ada kerjasama, ataupun komunikasi

dengan teman sepermainannya.

c. Paralle play

Pada permianan ini, anak dapat menggunakan permainan yang sama,

tetapi anak satu dengan anak yang lain tidak terjadi kontak satu sama

lain. Biasanya permianan ini dilakukan oleh anak seusia toddler.

d. Assiociative play

Pada permainan ini terjadi komunikasi antara anak satu dengan anak

lain, tetapi tidak terorganisasi, tidak ada yang memimpin permianan,

dan tujuan permainan tidak jelas. Contoh bermain boneka, masak-

masakan, dan hujan-hujanan.

e. Cooperative play

Pada permainan ini terdapat aturan permainan dalam kelompok, tujuan

dan pemimpin permainan. Pemimpin mengatur dan mengarahkan

anggotanya untuk bertindak dalam permainan sesuai tujuan yang

diharapkan dalam permainan. Misalnya bermain bola.

Permainan kooperatf adalah permainan di mana para pemain dapat

membuat kesepakatan yang mengikat dengan lawan bermain (Nasar,

2005) Permainan kooperatif (kerja sama) bersifat teratur, dan anak

bermain dengan kelompok (Wong et al, 2009). Bermain kooperatif

48

merupakan bermain bersama-sama dengan adanya aturan yang jelas,

sehingga terbentuk perasaan kebersamaan dan terbentuk hubungan

antara pemimpin dan pengikut. Permainan ini bersifat aktif, di mana

anak akan selalu menumbuhkan kreativitasnya. Selain itu, jenis

permainan ini juga dapat melatih anak pada peraturan kelompok

sehingga anak dituntut mengikuti permainan (Hidayat, 2008).

Terapi bermain : cooperative play dengan puzzle yang dilakukan

selama 20 menit secara berkesinambungan setiap dua hari selama tiga

minggu dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi anak (Wardhani,

2012)

Rasyid (2012) dalam Ariyanti, Ngadino dan Palupi (2014), permainan

ini berorientasi pada pengembangan kemampuan bekerjasama dan

sosialisasi diri anak. Model ini bertujuan untuk membangun pola laku

taat aturan, tahu aturan, membangun kerjasama, persahabatan, empati,

berbagi, dan penolong. Monopoli adalah salah satu permainan

cooperative play, dalam permainan ini anak bermain bersama-sama

dan mengembangkan kerja sama antar anak.

49

2.3.6 Permainan Monopoli

1. Pengertian Monopoli

Monopoli adalah salah satu permainan papan yang paling terkenal di

dunia, permainan miltiindividu yang melibatkan lebih dari satu orang.

Permainan monopoli merupakan salah satu permainan yang dalam aturan

mainanya menggunakan uang, dadu sebagai alat penentu giliran bermain,

dan papan yang terdapat gambar tempat yang akan disinggahi pemainnya.

Pemainan monopoli ini dipilih sebagai media pembelajaran yang edukatif

dan menarik karena dibingkai dalam sebuah permainan. (Novalita,

Rahmawati, dan Qowi, 2012)

2. Tujuan Permainan Monopoli

Tujuan permainan ini adalah terjadinya komunikasi, interaksi antar

pemain dan untuk menguasai semua petak di atas papan melalui

pembelian, penyewaan dan pertukaran properti dalam sistem ekonomi

yang disederhanakan (Novalita, Rahmawati, dan Qowi, 2012).

3. Manfaat Permainan Monopoli

Penelitian yang dilakukan oleh Alamiah (2012) mengenai Pengembangan

Media Permainan Monopoli Bimbingan Kelompok untuk meningkatkan

keterampilan bergaul di kelas. Penelitian tersebut memperoleh nilai

prosentase 88,33%, dan kemudian menghasilkan data kualitatif bahwa

produk permainan monopoli, dapat meningkatkan ketrampilan bergaul

berkategori sangat baik dan dinyatakan layak digunakan dalam kegiatan

50

bimbingan kelompok untuk meningkatkan ketrampilan bergaul di kelas

(Linda dan Nursalim, 2014). Dengan demikian maka dapat disimpulkan

bahwa media monopoli sangat cocok digunakan sebagai salah satu media

dalam meningkatkan interaksi sosial anak retardasi mental sedang.

4. Peraturan Permainan Monopoli

Setiap pemain melemparkan dadu secara bergiliran untuk memindahkan

bidaknya, dan apabila pemain mendarat di petak yang belum dimiliki oleh

pemain lain, pemain dapat membeli petak itu sesuai harga yang tertera.

Bila petak itu sudah dibeli pemain lain, pemain yang mendarat pada petak

itu harus membayar pemain itu uang sewa yang jumlahnya juga sudah

ditetapkan. Apabila pemain dapat mendarat pada petak dana umum atau

kesempatan pemain harus mengambil kartu sesuai dana umum atau

kesempatam sesuai dengan petak kemudian pemain melakukan sesuai

dengan instruksi yang ada di dalam kartu (Novalita, Rahmawati, dan

Qowi, 2012). Pada permainan cooperative play dengan monopoli

menggunakan durasi selama 20 menit selama tiga minggu dengan

pertemuan sebanyak sembilan kali.

Untuk memainkan monopoli, dibutuhkan peralatan-peralatan ini antara

lain bidak-bidak untuk mewakili pemain, dua buah dadu bersisi enam,

kartu hak milik untuk setiap properti, uang-uangan, rumah-rumahan dan

hotel-hotelan (Novita, Rahmawati, dan Qowi, 2012).

51

5. Kelebihan dan Kekurangan Monpoli

Media permainan monopoli yang dikembangkan memiliki kelebihan dan

kekurangan. Berikut tabel kelebihan dan kekurangan dari media monopoli

yang telah dikembangkan (Susanto, Raharjo dan Prastiwi, 2012).

Tabel 5 Kelebihan dan Kekurangan Media Monopoli

No Kelebihan Kekurangan

1 Proses pembutannya sederhana Tidak dapat dimainkan secara perorangan (minimal 3 orang)

2 Tidak membutuhkan ruangan yang besar untuk menyimpannya

Membutuhkan waktu yang agak lama untuk memluai permainan

3 Permainan ini memiliki banyak komponen sehingga dapat melatih ketelitian dan kesebaran anak untuk merapikan kembali setelah menggunakan

Untuk memainankan membutuhkan meja yang datar

4 Mudah dibawa dan dipindahkan Untuk menentukan pemenang harus menukarkan jumlah uang ke bank/peneliti pendamping

5 Perawatan dan pemeliharaanya relatif mudah

-

6 Mudah dioperasikan - 7 Pemain dapat merasakan rasa

senang, merasa ingin tahu, terjadi komunikasi dan interaksi antar pemain.

-

8 Dibuat dengan penuh warna sehingga tidak membosankan

-

2.3.7 Pengaruh Terapi Bermain Cooperative Play : Monopoli Terhadap

Interaksi Sosial Anak Retardasi Mental

Wolly dan Wong (2005) menyatakan bahwa perkembangan anak retardasi

mental dengan kemampuan dalam interaksi sosial yang meliputi kontak sosial

dan komunikasi kurang maka diperlukan adanya stimulasi atau perangsangan

yang diberikan untuk merubah perilaku anak menjadi lebih baik. Salah satu

52

stimulasi yang dapat diberikan kepada anak dapat melalui permainan. Hal ini

juga diperkuat oleh Yuyun (2010) dalam Astuti (2012) dengan pernyataannya

bahwa interaksi sosial dapat dicapai melalui suatu permainan, diantaranya

permainan untuk meningkatkan motorik halus, motorik kasar, personal sosial

dan bahasa.

Memberikan stimulasi yang berulang dan terus-menerus pada setiap aspek

perkembangan anak berarti telah memberikan kesempatan pada anak untuk

tumbuh dan berkembang secara optimal (Nursalam, Rekawti, dan Utami,

2005). Sedangkan bermain itu sendiri merupakan suatu aktivitas dimana anak

dapat melakukan atau mempraktekkan ketrampilan, memberikan ekspresi

terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan

berperilaku dewasa (Hidayat, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2012) hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa ada peningkatan interaksi sosial pada anak retardasi mental dengan

terapi bermain dengan ular tangga. Stimulasi ular tangga yang dilakukan

sampai delapan kali dimana permainan tersebut dilakukan oleh lima orang,

menunjukkan suatu kebersamaan, saling bicara atau saling komunikasi serta

adanya kontak sosial yang menciptakan interaksi sosial. Melalui permainan

ular tangga dapat meningkatkan interaksi sosial yaitu permainan tersebut

dilakukan oleh lebih dari dua orang, menunjukkan suatu kebersamaan, saling

53

bicara atau saling komunikasi, serta dapat menimbulkan kegembiraan,

pertikaian dan persaingan untuk memenangkannya.

Cooperative play dengan monopoli adalah permainan yang dilakukan secara

bersama-bersama, dimana permainan yang terorganisir serta ada aturan

permainnanya. Dengan bermain bersama anak akan melakukan kontak sosial

yang merupakan syarat terjadinya interaksi sosial, kontak sosial yang bisa

terjadi melalui permainan monopoli adalah kontak mata antar pemain. Kontak

sosial adalah pertemuan individu dengan individu, individu dengan kelompok

yang memungkinkan terjadinya komunikasi (Supartini, 2004; Soeroso,

20008). Kegiatan bermain bersama orang lain mampu mempermudah anak

untuk berinteraksi, karena anak tidak ada lagi bermain sendiri, dan permainan

terkonsep yang memiliki aturan di dalamnuya dapat membuat para pemain

berinteraksi melalui permainan tersebut. Dengan adanya teman dalam satu

kelompok anak bisa berdiskusi dengan teman lainnya., serta dengan adanya

lawan pemain yang memilki tingkat kemampuan sosialisasi yang berbeda

dapat memotivasi anak untuk tertarik dan beradaptasi dengan permainan

(Wardhani, 2012). Peningkatan interaksi sosial anak dengan pemberian

stimulasi bermain tejadi karena anak mulai memahami cara bermain,

beradaptasi bermain secara berkelompok dan saling memahami karakter

teman sepermainannya (Astuti, 2012).

54

Paraturan permianan monopoli yang mengharuskan pemainannya untuk

membayar sewa apabila bidaknya mendarat pada petak yang telah dimiliki

pemain lain yang menyebabkan antar pemain untuk saling berkomunikasi

dalam transaksi penyewaan (Novalita, Rahmawati, dan Qowi, 2012). Anak

belajar berkomunikasi seperti menjawab pertanyaan dari lawan bicara atau

pemain lain dan meminta uang sewa kepada pemain lain. Salah satu tujuan

permaian mopoli adalah untuk menguasai semua petak di atas papan, yang

menyebabkan terjadinya persaingan antar pemain, persaingan merupakan

salah satu bentuk dari interaksi sosial. Selain persaingan bentuk interaksi

sosial yaitu kerjasama juga akan terjadi dalam permaianan monopoli.

Permianan mopoli memerlukan peralatan antara lain bidak-bidak, dua buah

dadu, kartu hak milik, uang-uangan dan rumah-rumahan yang perlu dirapikan

ketika permain berakhir dan membutuhkan kerjasama antar pemain dalam

merapikannnya (Novalita, Rahmawati, dan Qowi, 2012 ; Soeroso, 2008).

�����������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������