bab ii tinjauan pustaka -...

52
21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sebagai parameter utama dalam suatu penelitian ilmiah, tinjauan pustaka merupakan bagian yang penting untuk meletakan dasar pijakan dalam membangun suatu konstruk teoritik yang bermuara pada bagaimana membangun kerangka pikir, dan menyusun hipotesis penelitian. Dengan demikian, dalam bab ini akan diuraikan tentang teori-teori yang mendasari masing-masing variabel, dan bagaimana hubungan komitmen organisasi dengan faktor-faktor yang memengaruhinya yaitu; kepuasan kerja, kecerdasan emosional, dan jenis kelamin berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya. 2.1 Komitmen Organisasi 2.1.1 Pengertian Komitmen Organisasi Efektifitas dan efisiensi suatu organisasi turut dipengaruhi oleh peran serta pegawai. Dengan demikian, komitmen pegawai bagi organisasi merupakan salah satu faktor penting dalam upaya untuk meningkatkan kinerja dan produktifitas organisasi sesuai dengan visi, misi dan tujuan organisasi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa komitmen organisasi adalah: keyakinan pegawai dan penerimaan tujuan dan nilai-nilai organisasi, kesediaan untuk mengerahkan usaha atas nama organisasi, dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Pengertian ini ditegaskan oleh Mowday, Steers, dan Porter (dalam Chhabra, 2013, h.27), komitmen organisasi adalah: “Employee‟s belief in and acceptance of the organization‟s goals and

Upload: truongtruc

Post on 29-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sebagai parameter utama dalam suatu penelitian ilmiah, tinjauan

pustaka merupakan bagian yang penting untuk meletakan dasar pijakan

dalam membangun suatu konstruk teoritik yang bermuara pada

bagaimana membangun kerangka pikir, dan menyusun hipotesis

penelitian. Dengan demikian, dalam bab ini akan diuraikan tentang

teori-teori yang mendasari masing-masing variabel, dan bagaimana

hubungan komitmen organisasi dengan faktor-faktor yang

memengaruhinya yaitu; kepuasan kerja, kecerdasan emosional, dan jenis

kelamin berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya.

2.1 Komitmen Organisasi

2.1.1 Pengertian Komitmen Organisasi

Efektifitas dan efisiensi suatu organisasi turut dipengaruhi oleh

peran serta pegawai. Dengan demikian, komitmen pegawai bagi

organisasi merupakan salah satu faktor penting dalam upaya untuk

meningkatkan kinerja dan produktifitas organisasi sesuai dengan visi,

misi dan tujuan organisasi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa

komitmen organisasi adalah: keyakinan pegawai dan penerimaan tujuan

dan nilai-nilai organisasi, kesediaan untuk mengerahkan usaha atas

nama organisasi, dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan

dalam organisasi. Pengertian ini ditegaskan oleh Mowday, Steers, dan

Porter (dalam Chhabra, 2013, h.27), komitmen organisasi adalah:

“Employee‟s belief in and acceptance of the organization‟s goals and

22

values, a willingness to exert effort on behalf of the organization, and a

desire to maintain membership in the organization”. Hal yang sama

dinyatakan oleh Luthans (2006) bahwa sebagai sikap, komitmen

organisasi paling sering didefinisikan sebagai: (1) keinginan kuat untuk

tetap sebagai anggota organisasi tertentu; (2) keinginan untuk berusaha

keras sesuai keinginan organisasi; dan (3) keyakinan tertentu, dan

penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, komitmen

organisasi merupakan sikap yang mereflesikan loyalitas karyawan pada

organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi

mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan

serta kemajuan yang berkelanjutan.

Sementara itu, ada pernyataan yang mengatakan bahwa

komitmen organisasi adalah: suatu keadaan psikologis yang mencirikan

hubungan pegawai dengan organisasi dan implikasinya terhadap

keputusan untuk melanjutkan keanggotaan dalam organisasi. Pengertian

komitmen organisasi ini ditegaskan oleh Meyer dan Allen (dalam

Salami, 2008, h.32), komitmen organisasi adalah: “A psychological state

that characterizes the employee‟s relationship with the organization

with its implications for the decision to continue membership in the

organization”. Pengertian ini sejalan dengan Robbins dan Judge (2008)

yang mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu keadaan

dimana seorang pegawai memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan

dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaanya dalam

organisasi tersebut. Demikian halnya Mathis dan Jackson (2006)

menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah: derajat yang mana

pegawai yakin dan menerima tujuan organisasional, serta berkeinginan

untuk tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi.

23

Selanjutnya, komitmen organisasi didefinisikan sebagai tingkat

loyalitas dan tanggungjawab terhadap misi bersama dan tingkat

kemauan untuk mengerahkan upaya untuk mencapai misi tersebut.

Definisi ini ditegaskan oleh Camp dan Chen.,et al (dalam Potter, 2012,

h.16) bahwa komitmen organisasi adalah:“The extent of loyalty and

responsibility felt toward a shared mission and the level of willingness

to exert effort to achieve that mission”. Hal ini dipertegas oleh Alwi

(2001) yang mendefinisikan komitmen organisasi sebagai sikap individu

untuk tetap berada dalam organisasi dan terlibat dalam upaya-upaya

mencapai misi, nilai-nilai, dan tujuan organisasi. Lebih lanjut dijelaskan

bahwa komitmen merupakan suatu bentuk loyalitas yang lebih konkrit

yang dapat dilihat dari sejauh mana individu mencurahkan perhatian,

gagasan, dan tanggungjawab dalam upaya mencapai tujuan organisasi.

Berdasarkan beberapa pengertian komitmen organisasi yang

dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi

adalah: sikap individu yang ditunjukan melalui keyakinan dan

penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, keinginan yang

kuat untuk tetap mempertahankan keanggotaan dalam organisasi, dan

mengerahkan segala upaya untuk mencapai visi, misi dan tujuan

organisasi.

2.1.2 Teori Komitmen Organisasi

Menurut Wutun.,et al (2001), istilah komitmen organisasi sudah

mulai diperkenalkan pada tahun 1961 oleh Etzioni dengan tipologi

keterikatan terhadap organisasi yang meliputi: 1) Moral involvement,

merupakan orientasi positif dan kuat terhadap organisasi karena ada

informasi terhadap tujuan, nilai, dan norma organisasi serta identifikasi

24

pada pemegang otoritas. Individu memiliki komitmen terhadap

organisasi sejauh mana konsistensi identitas pribadi dengan tujuan

organisasi. 2) Calculative involvement, merupakan keinginan individu

untuk tetap menetap pada suatu organisasi karena kepentingan timbal-

balik dengan organisasi tersebut. 3) Alienative involvement, merupakan

orientasi negatif terhadap organisasi, terutama pada situasi saat individu

merasa terpaksa untuk berperilaku tertentu.

Sementara itu, Mowday.,et al (1979) menyatakan bahwa teori

komitmen organisasi berorientasi pada dua bentuk komitmen, yaitu;

komitmen perilaku (behavioral commitment) dan komitmen sikap

(attitudinal commitment). Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Komitmen perilaku (behavioral commitment ). Secara khusus,

banyak definisi berfokus pada komitmen yang terkait dengan

perilaku. Sebagai contoh, ketika kita berbicara tentang seseorang

menjadi "terikat oleh perbuatannya" atau "perilaku yang

melebihi harapan yang diinginkan dan/atau baku," kita berada

dalam pengaruh yang berfokus pada manifestasi nyata dari

komitmen. Seperti perilaku yang menggambarkan kesulitan

biaya (kerugian) dalam organisasi sehingga individu melupakan

tujuan sebagai pilihan dari tindakan untuk melibatkan diri pada

organisasi.

Pendekatan komitmen perilaku ini juga ditegaskan oleh Staw dan

Salancik (Wutun.,et al, 2001), bahwa komitmen perilaku (behavioral

commitment) didasarkan pada sejauh mana seseorang menetapkan

keputusan untuk terikat pada organisasi berkaitan dengan adanya

kerugian jika memutuskan melakukan alternatif lain di luar

pekerjaannya saat ini. Berbeda dengan pendekatan sikap, pendekatan

tingkah laku ini lebih menekankan pada proses dimana individu

25

mengembangkan komitmen tidak pada organisasi tetapi pada tingkah

lakunya terhadap organisasi.

2. Kecenderungan kedua yang muncul dari teori komitmen

organisasi adalah komitmen dalam hal sikap (attitudinal

commitment). Artinya, komitmen sikap ada ketika "identitas

orang (terkait) kepada organisasi" atau ketika "tujuan organisasi

dan individu menjadi semakin terintegrasi atau kongruen"

(Sheldon & Balai, dalam Mowday.,et al, 1979). Komitmen sikap

demikian merupakan keadaan di mana seorang individu

mengidentifikasi dengan organisasi tertentu dan tujuan, serta

keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam rangka

memfasilitasi tujuan tersebut.

Hal ini juga ditegaskan oleh Staw dan Salancik (Wutun.,et al,

2001), bahwa komitmen sikap (attitudinal commitment) merupakan

keadaan dimana individu mempertimbangkan sejauh mana nilai dan

tujuan pribadinya sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi, serta sejauh

mana keinginannya mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi.

Pendekatan sikap ini memandang komitmen organisasi sebagai

komitmen afektif serta berfokus pada proses bagaimana seseorang

berpikir tentang hubungannya dengan organisasi.

Sementara itu, ada pernyataan bahwa sebagai sikap (attitudinal

commitment), komitmen organisasi dikonseptulisasikan sebagai

kekuatan relatif dari keterlibatan individu dan identifikasi dengan

organisasi. Pernyataan ini ditegaskan oleh Mowday.,et al (1979, h.226),

komitmen organisasi sebagai “The relative strength of an individual‟s

identification with and involvement in a particular organization”.

Definisi ini menunjukkan bahwa komitmen organisasi memiliki arti

lebih dari sekedar loyalitas yang pasif tetapi melibatkan hubungan aktif

26

dan keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi yang berarti pada

organisasinya. Hal ini menurut Mowday.,et al setidaknya dapat

digambarkan melalui tiga sikap yang saling berkaitan antara lain:

1). Kepercayaan yang kuat dan penerimaan terhadap tujuan dan nilai-

nilai organisasi; 2). Kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas

nama organisasi; dan 3). Keinginan yang kuat untuk mempertahankan

keanggotaan dalam organisasi.

Selanjutnya, teori komitmen organisasi dikembangkan oleh

Allen dan Meyer (1990) ke dalam tiga komponen komitmen organisasi

(A three-component conceptualizational commitment), yakni; komitmen

afektif, komitmen kontinyu, dan komitmen normatif. 1). Komitmen

afektif mengacu pada keterikatan emosional pegawai, identifikasi

pegawai dengan organisasi, dan keterlibatan pegawai pada organisasi.

Pegawai dengan komitmen afektif yang kuat akan tetap berada dalam

organisasi karena mereka ingin (want to). 2). Komitmen kontinyu

mengacu pada komitmen berdasarkan persepsi atas kerugian yang akan

diperoleh pegawai apabila tetap bergabung atau meninggalkan

organisasi. Pegawai dengan komitmen kontinyu yang kuat akan bertahan

dalam organisasi karena mereka butuh (need to). 3). Komitmen normatif

mengacu pada perasaan pegawai terhadap kewajiban untuk tetap bekerja

bagi organisasi. Pegawai yang memiliki komitmen normatif yang kuat

karena merasa wajib (ought to) bertahan dalam organisasi.

Dari berbagai teori komitmen organisasi yang dijelaskan di atas,

maka untuk kepentingan penelitian ini, penulis mengadaptasi teori

komitmen organisasi dari Allen dan Meyer (1990) tentang tiga

komponen komitmen organisasi (A three component conceptualizational

commitment) yang meliputi; komitmen afektif, komitmen kontinyu, dan

komitmen normatif. Alasannya, dalam upaya untuk meningkatkan

27

kinerja dan produktifitas GPM sesuai dengan visi, misi dan tujuannya,

maka diperlukan peran serta pendeta yang ditunjukan melalui

komitmennya bagi GPM. Komitmen pendeta bagi GPM dinyatakan

melalui kelekatan secara emosional terhadap organisasi dan

mengidentifikasi dirinya dengan melibatkan diri dan menikmati

keanggotaannya dalam organisasi (komitmen afektif); persepsi atas

kerugian yang akan diperoleh oleh pendeta apabila tidak melanjutkan

pekerjaanya dalam organisasi sehingga memilih untuk bertahan karena

kebutuhannya (komitmen kontinuan); serta sisi moral yang dimiliki

pendeta berupa kewajiban yang harus dilakukan kepada organisasi

sebagai wujud tanggungjawab (komitmen normatif). Pendeta yang

memiliki komitmen bagi GPM adalah karena mereka ingin (want to)

tetap berada dalam GPM, mereka membutuhkan (need to), dan karena

mereka merasa berkewajiban (ought to) untuk bertahan dalam GPM.

2.1.3 Komponen – Komponen Komitmen Organisasi

Tingkat komitmen individu terhadap organisasi dapat diketahui

melalui komponen-komponen yang berada di dalamnya. Porter.,et al

(Schultz & Schultz, 1990) membahas tiga komponen utama dari

komitmen organisasi sebagai:

1. Keyakinan yang kuat dan penerimaan tujuan organisasi,

2. Kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama

organisasi,

3. Keinginan yang pasti untuk mempertahankan keanggotaan

organisasi.

28

Hal yang sama juga ditegaskan oleh Yang ( 2012) berdasarkan

tiga komponen komitmen organisasi yang diungkapkan oleh Porter., et

al antara lain:

1. Value Commitmen yaitu, keyakinan kuat dan penerimaan

terhadap nilai dan tujuan organisasi.

2. Effort Commitmen yaitu, kemauan untuk mengerahkan usaha

yang cukup besar untuk mencapai tujuan organisasi.

3. Retention Commitmen yaitu, keinginan yang pasti untuk

mempertahankan keanggotaan organisasi.

Sementara itu, Mowday.,et al (Crosswell, 2006)

mengidentifikasi tiga komponen terkait komitmen organisasi, yakni:

1. Keyakinan yang kuat dalam mencapai tujuan dan nilai

organisasi.

2. Keterlibatan, kemauan untuk mengerahkan usaha bagi organisasi

dan,

3. Loyalitas, yakni keinginan yang kuat untuk mempertahankan

keanggotaan organisasi.

Selanjutnya, Alen dan Meyer (1990) mengajukan konsep

mengenai tiga komponen komitmen organisasi (A three-component

conceptualizational commitment) yaitu: komitmen afektif (affective

commitment), komitmen berkelanjutan (continuance commitment), dan

komitmen normatif (normative commitment). Ketiga komponen tersebut

dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Komitmen afektif (affective commitment), mengacu pada

keterikatan emosional pegawai, identifikasi pegawai dengan

organisasi, dan keterlibatan pegawai pada organisasi. Pegawai

29

dengan komitmen afektif yang kuat akan tetap berada dalam

organisasi karena mereka ingin (want to).

2. Komitmen kontinyu (continuance commitment), mengacu pada

komitmen berdasarkan persepsi atas kerugian yang akan

diperoleh pegawai apabila tetap bergabung atau meninggalkan

organisasi. Pegawai dengan komitmen kontinyu yang kuat akan

bertahan dalam organisasi karena mereka butuh (need to).

3. Komitmen normatif (normative commitment), mengacu pada

perasaan pegawai terhadap kewajiban untuk tetap bekerja bagi

organisasi. Pegawai yang memiliki komitmen normatif yang

kuat karena merasa wajib (ought to) bertahan dalam organisasi.

Berdasarkan beberapa pandangan tentang komponen komitmen

organisasi yang dikemukakan di atas, maka komponen - komponen

komitmen organisasi yang dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1990)

akan digunakan penulis untuk mengukur komitmen organisasi pendeta

GPM. Alasannya, karena komponen-komponen tersebut diyakini

memiliki relevansi dengan karakteristik pekerjaan pendeta pada

organisasi GPM. Pendeta yang menyatakan komitmennya bagi GPM

ditentukan oleh adanya keinginan emosional yang kuat untuk terlibat

sebagai anggota organisasi (komitmen afektif), adanya pertimbangan

untung dan rugi jika harus meninggalkan organisasi (komitmen

berkelanjutan), dan kepatuhan untuk setia pada organisasi dengan

melakukan tugas dan kewajibanya (komitmen normatif). Hal ini tentu

berimplikasi pada peningkatan kinerja dan produktifitas GPM sesuai

dengan visi, misi, dan tujuan organisasi. Dengan demikian, ketiga

komponen ini akan digunakan penulis untuk mengukur komitmen

pendeta bagi GPM yang merupakan subjek dari penelitian ini.

30

2.1.4 Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi merupakan variabel yang telah banyak

diteliti oleh para ahli dalam kaitan dengan dunia kerja. Hal ini penting

sebab eksistensi sebuah organisasi tidak terlepas dari peran pegawai

yang memiliki komitmen bagi organisasi tersebut. Komitmen organisasi

pegawai sangat berpengaruh bagi efektifitas dan efisiensi sebuah

organisasi. Dengan demikian, untuk meningkatkan komitmen organisasi

pegawai, penting bagi sebuah organisasi mengetahui berbagai faktor

yang memengaruhinya. Menurut Hodge dan Anthony (Ristaniar, 2010),

beberapa faktor yang memengaruhi komitmen organisasi antara lain:

kepuasan kerja, identifikasi, dan keterlibatan kerja. Hal tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Kepuasan kerja. Ketika karyawan memperoleh kepuasan pribadi

pada tugasnya mereka akan lebih toleran dalam mangarahkan

dan mengontrol dirinya jika mengalami kekecewaan.

2. Identifikasi. Ketika karyawan merasa tujuan pribadinya sejalan

dengan tujuan perusahaan, akan timbul identifiksi dan rasa

percaya bahwa perusahaan akan bermanfaat bagi mereka.

3. Keterlibatan kerja. Karyawan yang aktif berpartisipasi dalam

perusahaan dan pekerjaan (khususnya dalam pengambilan

keputusan) juga memiliki rasa komitmen dan lebih tertarik pada

organisasi.

Sementara itu, Johar dan Shah (2013) dalam penelitiannya

menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor

yang memengaruhi komitmen pegawai bagi organisasi. Artinya, seorang

pegawai yang memiliki kecerdasan emosional yang baik adalah pegawai

yang mampu mengontrol dan mengelola emosi secara positif dan stabil

31

dalam lingkungan kerja sehingga berdampak pada komitmennya bagi

organisasi dan membuat kualitas pekerjaannya menjadi lebih baik. Hal

yang sama dinyatakan oleh Akomolafe dan Olatomide (2013), kepuasan

kerja dan kecerdasan emosional merupakan faktor yang memengaruhi

komitmen guru terhadap organisasi sekolah.

Manurut Mowday.,et al (Prasetyo.,et al, 2005), faktor-faktor

yang memengaruhi komitmen organisasi antara lain:

1. Karakteristik personal. Karakteristik personal meliputi: usia,

masa kerja, tingkat pendidikan, jenis kelamin, ras, serta faktor

kepribadian.

2. Karakteristik pekerjaan. Karakteristik pekerjaan meliputi:

pekerjaan yang menantang, kejelasan tugas, umpan balik sebagai

sarana evaluasi hasil kerja, interaksi sosial dan suasana kondusif.

3. Karakteristik struktural atau karakteristik organisasi.

Karakteristik organisasi meliputi: desentralisasi dan otonomi

tanggungjawab, kualitas hubungan atasan-bawahan, sifat dan

karakteristik pimpinan.

4. Pengalaman kerja. Meliputi ketergantungan organisasi kerja,

nilai pentingnya individu bagi organisasi keja, sejauh mana

harapan karyawan dapat terpenuhi oleh organisasi kerja, sikap

positif rekan kerja terhadap organisasi kerja, dan tipe

kepemimpinan.

Berdasarkan beberapa faktor yang dikemukakan di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa secara umum komitmen organisasi

dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan individu (pegawai) dan

faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan pekerjaan (organisasi)

tersebut. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan faktor-faktor yang

32

memengaruhi komitmen organisasi yaitu, faktor internal meliputi:

kecerdasan emosional dan karakteristik personal (jenis kelamin), serta

kepuasan kerja sebagai faktor eksternal.

Ketiga faktor ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar

pengaruh interaksinya terhadap komitmen pendeta bagi GPM, dengan

asumsi: (1). Dalam organisasi gereja, pendeta merupakan pegawai

organik yang dipekerjakan sesuai dengan profesinya untuk menjalankan

program - program pelayanan sesuai dengan visi, misi dan tujuan

organisasi. Dengan demikian, kepuasan kerja pendeta juga harus

mendapat perhatian dari gereja dengan mengakomodir berbagai

kebutuhan pendeta. (2). Sebagai pegawai yang memiliki karakteristik

yang pada umumnya berbeda dengan pegawai diperusahan, pendeta

harus mampu merefleksikan perilaku kerjanya berdasarkan pada nilai-

nilai ajaran gereja. Dengan demikian, kecerdasan emosional merupakan

faktor penting yang harus dimiliki oleh pendeta. (3). Dalam organisasi

gereja, baik pendeta laki-laki maupun perempuan memiliki peran dan

tanggungjawab yang sama untuk menjalankan program-program

pelayanan gereja sesuai dengan visi, misi, dan tujuan organisasi sebagai

manifestasi dari sikap komitmennya bagi organisasi

2.2 Kepuasan Kerja

2.2.1 Pengertian Kepuasan Kerja

Mengenai batasan atau definisi kepuasan kerja belum ada

keseragaman, walaupun demikian sebenarnya tidaklah terdapat

perbedaan yang prinsip dari padanya. Ada pendapat yang menyatakan

bahwa kepuasan kerja adalah: keadaan emosional yang menyenangkan

atau positif yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan atau pengalaman

33

kerja seseorang. Pengertian kepuasan kerja ini ditegaskan oleh Locke

(dalam Nifadkar & Dongre, 2014, h.2), kepuasan kerja adalah: "A

pleasurable or positive emotional state resulting from the appraisal of

one's job or job experiences". Pengertian ini sejalan dengan Luthans

(2006) dengan memberikan definisi komprehensif dari kepuasan kerja

yang meliputi reaksi atau sikap kognitif, afektif, dan evaluatif dan

menyatakan kepuasan kerja adalah: keadaan emosi yang senang atau

emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman

kerja seseorang. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Robbins dan Judge

(2008), kepuasan kerja sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan

seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya.

Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki

perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sebaliknya

seseorang yang tidak puas memiliki perasaan-perasaan yang negatif

tentang pekerjaan tersebut.

Sementara itu, ada pernyataan bahwa kepuasan kerja adalah:

seperangkat perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan

serta emosi karyawan terhadap pekerjaan mereka. Ungkapan ini di

tegaskan oleh Newstrom (dalam Srivastava, 2013, h.159), kepuasan

kerja adalah: “A set of favourable or unfavourable feelings and emotions

with which employees view their work.” Kepuasan atau ketidakpuasan

dalam pekerjaan berkaitan dengan aspek-aspek pekerjaan yang disukai

atau tidak disukai. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan oleh Spector

(dalam Potter, 2012, h.21), kepuasan kerja adalah: “Overall attitude of

the extent to which a job or facets of a job are liked or disliked”. Hal

yang sama juga diungkapkan oleh Howell dan Robert (Wijono, 2012),

kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau

tidak sukanya karyawan terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Jika

34

karyawan bersikap positif terhadap pekerjaan yang dikerjakannya, maka

ia akan memperoleh perasaan puas terhadap apa yang dikerjakannya.

Sebaliknya, jika karyawan bersikap negatif (tidak suka), maka ia akan

merasa tidak puas terhadap apa yang dikerjakannya. Perasaan puas atau

tidak puas karyawan terhadap pekerjaannya memerlukan evaluasi secara

menyeluruh dari pekerjaannya, sebab kepuasan kerja adalah suatu

konstruk sikap yang mencerminkan evaluasi dari pekerjaannya.

Ungkapan ini ditegaskan oleh Ilies dan Judge (dalam Maheshwari &

Mehta, 2013, h.6) yang menegaskan bahwa kepuasan kerja karyawan

adalah:“An attitudinal construct reflecting one‟s evaluation of his or her

job”.

Berdasarkan konsep kepuasan dan ketidakpuasan kerja, Herzberg

(Thoha, 2009) menjelaskan bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan

isi pekerjaan (job content) dan ketidakpuasan kerja selalu disebabkan

karena hubungan pekerjaan tersebut dengan aspek-aspek disekitar yang

berhubungan dengan konteks pekerjaan (job context). Menurut

Herzberg, kepuasan kerja disebut juga motivator yaitu kebutuhan

psikologis yang berhubungan dengan penghargaan terhadap individu

yang secara langsung berkaitan dengan pekerjaannya (elemen pekerjaan

itu sendiri) dan merupakan sumber kepuasan kerja, sedangkan

ketidakpuasan kerja disebut hygiene yaitu faktor-faktor yang

berhubungan ketidakpuasan kerja dan merupakan suatu faktor

ekstrinsik, yang berkaitan dengan keadaan pekerjaan. Hal ini kemudian

dikenal dengan nama teori dua faktor.

Dengan demikian, dari beberapa definisi yang dikemukakan di

atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah: suatu sikap

yang ditunjukan melalui keadaan emosional menyenangkan atau tidak

menyenangkan seseorang terhadap isi pekerjaan (job content) dan

35

konteks pekerjaan (job context) melalui evaluasi serta pengalaman

kerjanya.

2.2.2 Teori Kepuasan Kerja

Menurut Wexley dan Yukl (As‟ad, 1995), ada tiga macam teori

kepuasan kerja yang lazim di kenal yaitu; Discrepancy theory, Equity

theory, dan Two factor theory.

a. Teori kesesuaian (discrepancy theory)

Teori kesesuaian Locke (Siegel & Lane, 1982) menyatakan

bahwa kepuasan atau ketidakpuasan dengan beberapa aspek pekerjaan

mencerminkan pertimbangkan nilai ganda yaitu; pertama, kesesuaian

antara apa yang diinginkan seseorang dengan apa yang diterima, dan

kedua, apa pentingnya pekerjaan yang diinginkan oleh individu.

Kepuasan kerja secara keseluruhan bagi seorang individu adalah jumlah

dari masing-masing aspek kepuasan kerja dikalikan dengan pentingnya

aspek untuk orang tersebut. Menurut Locke seseorang individu akan

merasa puas atau tidak puas merupakan sesuatu yang pribadi, tergantung

bagaimana ia mempersepsikan adanya kesesuaian atau pertentangan

antara keinginan-keinginan dan hasil keluarannya.

b. Teori keadilan (equity theory)

Menurut As‟ad (1995), equity theory dikembangkan oleh Adams

(1963). Adapun pendahulu dari teori ini adalah Zaleznik (1958) dikutip

dari Locke (1969). Prinsip dari teori ini adalah bahwa orang akan

merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia merasakan adanya

keadilan atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity dan inequity atas

36

suatu situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya

dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun ditempat lain.

Lebih lanjut teori ini mengatakan setiap karyawan akan

membandingkan ratio input-out comes dirinya dengan ratio input-out

comes orang lain (comparison persons). Bila perbandingan itu dianggap

cukup adil (equity), maka ia akan merasa puas. Bila perbandingan itu

tidak seimbang tetapi menguntungkan (over compensation in equity),

bisa menimbulkan kepuasan tetapi bisa pula tidak. Namun bila

perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan (under compensation

in-equity), akan timbul ketidakpuasan.

c. Teori dua faktor (two-factor theory)

Menurut Manisera.,et al (2005), Herzberg dalam teori dua faktor

menyatakan, kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja disebabkan oleh

sekumpulan faktor-faktor yang berbeda dan independen. Menurut

Herzberg, ketika seseorang merasa puas, maka kepuasaan mereka

dicirikan melalui pekerjaan itu sendiri. Sedangkan ketika seseorang

merasa tidak puas dengan pekerjaan, mereka menjadi tidak nyaman

dengan lingkungan di mana mereka bekerja. Faktor-faktor yang

menentukan kepuasan dan ketidakpuasan dalam pekerjaan dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Faktor kepuasan kerja. Menurut Herzberg, faktor kepuasan kerja

disebut sebagai motivator atau intrinsik yang berhubungan

dengan isi pekerjaan (job content) yang meliputi: prestasi

(achievement), pengakuan (recognition), tanggungjawab

(responsibility), kemajuan (advancement), pekerjaan itu sendiri

(the work it self), dan kemungkinan berkembang (the possibility

37

of growth). Faktor-faktor ini diperlukan untuk perbaikan

substansial dan memotivasi seseorang untuk menunjukan kinerja

yang lebih tinggi. Jika kondisi tersebut tidak ada, maka akan

timbul asa ketidakpuasan yang berlebihan (Rowland, 2012).

2. Faktor ketidakpuasan kerja. Menurut Herzberg, faktor

ketidakpuasan kerja disebut sebagai hygiene (kesehatan) atau

ekstrinsik yang berada dalam lingkungan pekerjaan, yang

berhubungan dengan konteks pekerjaan (job context) yang

meliputi: upah/gaji, status, keamanan kerja, kondisi kerja,

kebijakan perusahaan, hubungan rekan kerja, dan pengawasan.

Menurut Herzberg, faktor-faktor ini ada untuk menjaga kepuasan

yang terjadi dan bersifat pencegahan terjadinya ketidakpuasan,

serta mendorong pegawai untuk tetap pada pekerjaannya.

Apabila faktor-faktor ini tidak terpenuhi, maka dapat membuat

ketidakpuasan pegawai, tetapi jika dipenuhi, tidak selalu

meningkatkan kepuasan. Ketidakpuasan kerja merupakan akibat

dari kondisi yang mengelilingi dimana pekerjaan dilakukan

(Rowland, 2012). Dengan demikian, kunci meningkatkan tingkat

kepuasan pegawai menurut teori dua faktor ini adalah dengan

memenuhi faktor hygience dan memaksimalkan motivator.

Dari berbagai teori kepuasan kerja yang dijelaskan di atas, maka

untuk kepentingan penelitian ini, penulis mengadaptasi teori dua faktor

(two-factor theory) dari Herzberg (Manisera.,et al, 2005 & Rowland,

2012). Teori ini menjelaskan bahwa kepuasan kerja selalu dihubungkan

dengan faktor motivator/isi pekerjaan (job content), sedangkan

ketidakpuasan kerja disebabkan karena hubungan pekerjaan tersebut

dengan aspek-aspek disekitar yang berhubungan dengan faktor hygiene

/konteks pekerjaan (job context).

38

Penggunaan teori kepuasan kerja tersebut disesuaikan dengan

tujuan penelitian, yaitu untuk menjelaskan kepuasan kerja pendeta GPM

melalui teori dua faktor tersebut. Alasannya bahwa pendeta sebagai

pegawai organik GPM akan meras puas dalam pekerjaannya apabila ia

mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Semakin besar kebutuhan

pendeta terpenuhi, makin puas pula pendeta tersebut. Begitu pula

sebaliknya, makin sedikit kebutuhan pendeta yang terpenuhi, pendeta

tersebut akan merasa tidak puas dalam pekerjaan.

2.2.3 Aspek-Aspek Kepuasan Kerja

Colee (2013) dalam mengukur kepuasan kerja “Church Staff

Members‟ (Majelis Gereja) menggunakan job satisfaction survey (JSS)

berdasarkan sembilan aspek kepuasan kerja yang dikemukakan oleh

Spector (1997) antara lain:

1. Gaji/upah, didefinisikan sebagai kepuasan dengan kompensasi

finansial yang diterima untuk melakukan pekerjaan itu.

2. Promosi, didefinisikan sebagai kepuasan dengan kesempatan

untuk dipromosikan atau maju dalam pekerjaan.

3. Pengawasan, didefinisikan sebagai kepuasan dengan atasan

langsung, atau dalam hal ini, pendeta senior.

4. Tunjangan, didefinisikan sebagai kepuasan dengan manfaat

tambahan atau imbalan yang ditawarkan.

5. Upah tambahan/Bonus, didefinisikan sebagai kepuasan dengan

imbalan tambahan yang ditawarkan untuk kinerja yang baik.

6. Kondisi, didefinisikan sebagai kepuasan dengan aturan dan

prosedur dalam lingkungan kerja.

39

7. Rekan kerja, didefinisikan sebagai kepuasan dengan siapa yang

bekerja.

8. Sifat Kerja, didefinisikan sebagai kepuasan dengan sifat dari

pekerjaan itu sendiri.

9. Komunikasi, didefinisikan sebagai kepuasan dengan komunikasi

dalam organisasi.

Sementara itu, Dhespande (1996) dalam penelitiannya,

mengukur kepuasan kerja dengan Overall Job Satisfaction yang terdiri

atas lima aspek yakni; upah, promosi, kepuasan dengan rekan kerja,

kepuasan dengan pengawasan, dan kepuasan dengan pekerjaan itu

sendiri. Dalam penelitiannya, dijelaskan bahwa: 1). Upah adalah dimana

seseorang meyakini apa yang harus didapatkan; 2). Promosi mengukur

bagaimana perasaan karyawan tentang prosedur administrasi yang sesuai

dengan pemberian promosi. Berbagai faktor yang menciptakan kepuasan

dengan promosi adalah: frekuensi promosi, pentingnya promosi, dan

keinginan untuk promosi. 3). Kepuasan dengan rekan kerja. Kepuasan

dengan rekan kerja untuk melihat seberapa baik karyawan bergaul

dengan karyawan lainnya dan seberapa baik seorang karyawan melihat

ke sesama karyawannya. 4). Kepuasan dengan pengawasan, jika

pengawas dianggap memiliki kompeten dengan pekerjannya.

5). Kepuasan dengan pekerjaan itu sendiri, bagaimana perasaan

karyawan terhadap pekerjaannya, dan segi pekerjaan itu sendiri, yakni

peluang bagi kreativitas dan berbagai tugas, memungkinkan individu

untuk meningkatkan pengetahuannya, dan perubahan tanggung jawab,

jumlah pekerjaan, otonomi, job enrichment, dan kompleksitas pekerjaan.

Aspek-aspek yang digunakan oleh Desphane dalam

penelitiannya, juga digunakan oleh Koh dan Boo (2001) yang

mengembangkan pengukuran kepuasan kerja yang disebut Job

40

Satisfaction Questionnaire (JSQ) berdasarkan lima aspek kepuasan kerja

yang meliputi: kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap promosi,

kepuasan terhadap rekan kerja, kepuasan terhadap supervisi/atasan, dan

kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri berdasarkan teori yang

dikemukakan oleh Herzberg. Penjelasan kelima aspek sebagai berikut:

1. Kepuasan terhadap gaji, berhubungan dengan gaji yang

diberikan organisasi dibandingkan dengan organisasi lainnya;

mempertimbangkan gaji dengan tanggungjawab dan tunjangan-

tunjangan yang memuaskan di tempat kerja.

2. Kepuasan terhadap promosi, berhubungan dasar atau sistem

promosi di tempat kerja dalam pekerjaannya dan tingkat karir

anggota yang bekerja dalam suatu organisasi.

3. Kepuasan terhadap rekan kerja, berhubungan dengan rekan kerja

dan kerja sama dari rekan kerja.

4. Kepuasan terhadap supervisi, berhubungan dengan dukungan

dari atasan; atasan yang berkompeten di bidangnya; sikap atasan

yang tidak mendengarkan pendapat orang lain; dan perlakuan

yang tidak adil oleh atasan.

5. Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, berkaitan dengan

perasaan anggota organisasi yang terkait dengan pekerjaan, rasa

senang dengan jumlah beban pekerjaan dan kirangnya prestasi

anggota dalam mengerjakan tugas dalam pekerjaan.

Dari berbagai aspek kepuasan kerja di atas, maka dalam

penelitian ini penulis menggunakan lima aspek kepuasan kerja yang

dikemukakan oleh Despane (1996), dan dikembangkan oleh Koh dan

Boo (2001). Alasannya, karena aspek-aspek tersebut diyakini memiliki

relevansi dengan karakteristik pekerjaan sebagai pendeta pada organisasi

GPM. Sebagai pegawai (pekerja gereja), kelima aspek kepuasan kerja

41

yang dikemukakan meliputi gaji yang diterima, promosi, rekan kerja,

supervisi/pengawasan, dan pekerjaan itu sendiri diyakini memiliki

pengaruh terhadap kepuasan kerja pendeta GPM. Dengan demikian,

kelima aspek ini akan digunakan penulis untuk mengukur kepuasan

kerja pendeta GPM yang merupakan subjek dari penelitian ini.

2.3 Kecerdasan Emosional

2.3.1 Pengertian Kecerdasan Emosional

Istilah “kecerdasan emosional” secara resmi dicetuskan oleh

psikolog Salovey dan Mayer (1990) yang menghasilkan teori dan

definisi komprehensif pertama mengenai kecerdasan sosial. Bermula

dari dasar teori emosi dan berbagai kecerdasan, maka kecerdasan

emosional didefinisikan sebagai subset kecerdasan sosial yang

mencakup kemampuan untuk memonitor perasaan dan emosi diri sendiri

dan orang lain, membedakan emosi dan perasaan, dan menggunakan

informasi tersebut untuk menuntun pemikiran dan tindakan seseorang.

Definisi kecerdasan emosional tersebut ditegaskan oleh Salovey dan

Mayer (1990, h.189), kecerdasan emosional adalah: “The subset of

social intelligence that involves the ability to monitor one‟s own and

other‟s feeling and emotions, to discriminate among them and to us this

information to quide one‟s thinking and actions”. Definisi ini sejalan

dengan Labbaf (2011, h.537) yang menyimpulkan pemahaman

mengenai kecerdasan emosional dengan menyatakan: “According to

them, emotional intelligence is the ability to monitor one‟s own and

others‟ emotions, to discriminate among them, and use the information

to guide one‟s thinking and actions.” Pendapat ini mengungkapkan

bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk memahami

42

emosi dirinya sendiri dan emosi orang lain untuk membedakannya dan

menggunakan informasi untuk mengarahkan pemikiran dan tindakan

seseorang.

Lebih lanjut, Mayer dan Salovey mendefinisikan kecerdasan

emosional sebagai kemampuan untuk mempersepsikan emosi, untuk

mengakses dan membangkitkan emosi sehingga dapat membantu pikiran

memahami emosi dan makna emosional, dan untuk merefleksikan

pengaturan emosi untuk mendorong emosi dan pikiran menjadi lebih

baik. Definisi ini ditegaskan oleh Mayer dan Salovey (dalam Oney,

2009, h.25), kecerdasan emosional adalah:“ability to perceive emotions,

to access and generate emotions so as to assist thought, to understand

emotions and emotional meanings, and to reflectively regulate emotions

so as to promote both better emotion and thought”. Pernyataan ini

kemudian didukung oleh Mayer, Salovey, dan Caruso, mendefinisikan

kecerdasan emosional adalah: kemampuan untuk memahami dan

mengekspresikan emosi, mengasimilasi emosi dalam pikiran,

memahami dan memberikan pertimbangan yang sehat dengan emosi,

dan mengatur emosi dalam diri dan orang lain. Ungkapan ini ditegaskan

oleh Mayer, Salovey, dan Caruso (dalam Gowing, 2001, h.85),

kecerdasan emosional adalah: “the ability to perceive and express

emotion, assimilate emotion in thought, understand and reason with

emotion, and regulate emotion in the self and others”.

Sementara itu, ada pernyataan yang menyatakan bahwa

kecerdasan emosional adalah: kemampuan memotivasi diri sendiri dan

bertahan dalam menghadapi frustrasi; untuk mengontrol impuls dan

menunda kepuasan; untuk mengatur suasana hati seseorang dan menjaga

tekanan dari hilangnya kemampuan untuk berpikir. Pengertian

kecerdasan emosional ini ditegaskan oleh Goleman (dalam Oney 2009,

43

h.25), kecerdasan emosional adalah:“being able to motivate oneself and

persist in the face of frustrations; to control impulse and delay

gratification; to regulate one‟s moods and keep distress from swamping

the ability to think”.

Selanjutnya, Goleman menyatakan bahwa kecerdasan emosional

mengarah pada kapasitas pengenalan perasaan diri sendiri dan orang

lain, kapasitas memotivasi diri sendiri dan kapasitas mengelola emosi

diri dengan baik dan dalam hubungan dengan orang lain. Penjelasan ini

di tegaskan oleh Goleman (dalam Labbaf 2011, h.532), “Emotional

intelligence „„refers to the capacity for recognizing our own feelings and

those of others, for motivating ourselves, and for managing emotions

well in ourselves and in our relationships”. Pengertian kecerdasan

emosional tersebut sejalan dengan pernyataan bahwa kecerdasan

emosional adalah: kemampuan seseorang mengetahui apa yang

dirasakan, dan mampu memotivasi diri untuk dapat melakukan tugas-

tugas dengan lebih baik. Kepekaan terhadap perasaan orang lain, dan

mampu menjalin hubungan yang lebih baik. Definisi ini diungkapkan

oleh Dulewicz dan Higgs (dalam John, 2011, h.436), “Emotional

intelligence is about knowing what you are feeling, and being able to

motivate yourself to get jobs done. It is sensing what others are feeling

and handling relationships effectively.”

Dalam satu kesempatan, Goleman (2007) dalam bukunya

“working with emotional intelligence” sebagaimana dikutip oleh

Bakumawa (2012), bahwa kecerdasan emosional adalah: kemampuan

mendengarkan emosi dengan baik dan menjadikan hal tersebut sebagai

sumber informasi penting untuk membangun efektivitas hubungan

intrapersonal dan interpersonal yang diekspresikan melalui kesadaran

diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.

44

Demikian halnya Covey (2005), menyatakan bahwa kecerdasan

emosional adalah: pengetahuan mengenai diri sendiri, kesadaran diri,

kepekaan sosial, empati, dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan

baik dengan orang lain. Selanjutnya, Bar-on (Stein & Howard, 2002)

menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan serangkaian

kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non kognitif yang

memengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan

dan tekanan lingkungan.

Sementara itu, ada pendapat yang mengungkapkan bahwa

kecerdasan emosional adalah: kemampuan untuk memahami, menerima

dan mengakui emosi dan perasaan kita sendiri, termasuk dampaknya

terhadap diri kita sendiri dan orang lain dan menggunakan pengetahuan

ini untuk meningkatkan perilaku serta untuk mengelola dan

meningkatkan hubungan kita dengan orang lain. Pendapat tersebut

diperjelas oleh Cartwright dan Solloway (2007, h.1), “Emotional

Intelligence is the ability to understand, accept and recognize our own

emotions and feelings, including their impact on ourselves and other

people and to use this knowledge to improve our own behaviours as well

as to manage and improve our relationship with others”.

Kishan dan Sebastian (2014) mendefinisikan kecerdasan

emosional adalah: kemampuan untuk secara efektif mempersepsikan,

mengungkapkan, memahami, dan mengelola emosi diri dan emosi orang

lain dengan cara yang positif dan produktif. Ada ungkapan yang

menyatakan bahwa kecerdasan emosional berkaitan dengan kapasitas

untuk melihat emosi, memahami informasi dari emosi dan

mengelolanya. Hal tersebut diperjelas oleh Marques (dalam John, 2011,

h.437), “Emotional intelligence is involved in that capacity to perceive

45

emotions, understand the information of those emotions and manage

them”.

Berdasarkan beberapa pengertian kecerdasan emosional yang

dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan

emosional adalah: kemampuan individu dalam mengelola emosi diri dan

emosi orang lain dengan cara yang positif dan produktif untuk

membangun hubungan intrapersonal dan interpersonal yang efektif di

tempat kerja, yang di implementasikan melalui kesadaran diri,

pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial dalam

upaya melaksanakan program-progam pelayanan sesuai dengan visi,

misi dan tujuan organisasi.

2.3.2 Teori Kecerdasan Emosional

Dalam bidang Psikologi, akar teori kecerdasan emosional

setidaknya berawal dari gerakan pengujian kecerdasan. E. L. Thorndike

(1920), Profesor Psikologi Pendidikan di Columbia University Teachers

College, yang pertama kali mengidentifikasi aspek kecerdasan

emosional yang ia sebut sebagai kecerdasan sosial (social intelligence).

Menurut Thorndike (Goleman, 2001), kecerdasan sosial adalah:

kemampuan untuk memahami dan mengelola antara pria dan wanita,

anak-anak-untuk bertindak bijaksana dalam hubungan sesama manusia.

Lebih lanjut, Thorndike.,et al (Oney, 2009) menjelaskan, kecerdasan

sosial merupakan faktor yang dapat berkontribusi terhadap persepsi

keadaan internal tentang diri dan orang lain.

Pada tahun 1983, teori kecerdasan emosional menjadi bagian

dari pandangan Garner tentang multiple intelligence yang mencakup dua

jenis kecerdasan pribadi yaitu; kecerdasan interpersonal dan kecerdasan

46

intrapersonal. Salah satu aspek dari kecerdasan pribadi yang berkaitan

dengan perasaan dan cukup dekat dengan apa yang disebut sebagai

kecerdasan emosional (Salovey & Meyer, 1990; Goleman, 2001).

Kecerdasan interpersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk

memahami niat, motivasi, dan keinginan orang lain, dan konsekuensinya

dapat bekerja secara efektif dengan orang lain. Ungkapan ini ditegaskan

oleh Gardner (dalam Perez., et al, 2005, h.124), bahwa: “interpersonal

intelligence denotes a person‟s capacity to understand the intentions,

motivations, and desires of other people and, consequently, to work

effectively with others”. Sebaliknya, kecerdasan intrapersonal

melibatkan kemampuan untuk memahami diri sendiri, untuk memiliki

model kerja yang efektif dari diri termasuk keinginan sendiri, ketakutan,

dan kapasitas untuk menggunakan informasi tersebut secara efektif

dalam mengatur kehidupan diri seseorang. Ungkapan ini juga ditegaskan

oleh Gardner (dalam Perez.,et al, 2005, h.124), bahwa: “intrapersonal

intelligence involves the capacity to understand oneself, to have an

effective working model of oneself—including one‟s own desires, fears,

and capacities —and to use such information effectively in regulating

one‟s own life”.

Berdasarkan konsep kecerdasan Gardner, pada tahun 1990, Peter

Salovey dari Yale dan rekannya John Mayer dari University of New

Hampshire menerbitkan karya artikel "Emotional Intelligence." Artikel

ini kemudian menjadi teori kecerdasan emosional yang paling

berpengaruh dalam berbagai bentuk sekarang ini. Model asli Salovey

dan Mayer (1990), mengidentifikasi kecerdasan emosional sebagai

kemampuan untuk memantau perasaan dan emosi diri sendiri dan orang

lain, untuk membedakan antara mereka, dan menggunakan informasi ini

untuk membimbing pikiran dan tindakan seseorang. Definisi ini

47

ditegaskan oleh Salovey dan Mayer (dalam Aghdasi.,et al, 2011,

h.1966), kecerdasan emosional adalah:“ability to monitor one‟s own and

other‟s feelings and emotions, to discriminate among them, and to use

this information to guide one‟s thinking and action”. Lebih lanjut,

Schutte., et al (1997) menyatakan, teori kecerdasan emosional yang

dicetuskan oleh Salovey dan Meyer (1990) memiliki dasar pikir tentang

tiga aspek kemampuan adaptif kecerdasan emosional yang meliputi: 1).

Penilaian dan ekspresi emosi (appraisal and expression of emotion)

yang terdiri dari aspek penilaian dan ekspresi dalam diri dan orang lain.

Aspek penilaian dan ekspresi emosi dalam diri dibagi lagi ke dalam sub

aspek yaitu, verbal dan non-verbal, dan penerapan pada orang lain

dibagi menjadi sub aspek persepsi non verbal dan empati. 2). Regulasi

emosi (regulation of emotion) yang terdiri dari regulasi emosi dalam diri

dan orang lain, dan 3). Pemanfaatan emosi dalam pemecahan masalah

(utilization of emotions in solving problems) yang terdiri dari aspek-

aspek perencanaan yang fleksibel, berpikir kreatif, mengendalikan

suasana hati, dan motivasi emosi.

Pada tahun 1995, teori kecerdasan emosional dipopulerkan oleh

Goleman melalui bukunya “emotional intelligence” yang banyak

menyajikan hubungan penting kecerdasan emosional dan memperluas

konsep dengan memasukkan sejumlah keterampilan sosial dan

komunikasi tertentu yang dipengaruhi oleh pemahaman dan ekspresi

emosi (Schutte, 1997). Kecerdasan emosional didefinisikan sebagai

kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan dalam menghadapi

frustrasi; untuk mengontrol impuls dan menunda kepuasan; untuk

mengatur suasana hati seseorang dan menjaga tekanan dari hilangnya

kemampuan untuk berpikir. Ungkapan ini ditegaskan oleh Goleman

(dalam Oney, 2009, h.25), kecerdasan emosional adalah:“being able to

48

motivate oneself and persist in the face of frustrations; to control

impulse and delay gratification; to regulate one‟s moods and keep

distress from swamping the ability to think”.

Selanjutnya pada tahun 1997, Cooper dan Sawaf (Goleman,

2001) menerbitkan buku populer "EQ Eksekutif" yang menguraikan

model kecerdasan emosional yang berhubungan dengan keterampilan

dan sifat khusus untuk empat aspek antara lain: 1). Keterampilan

emosional (emotional literacy), yang mencakup pengetahuan tentang

emosi diri dan fungsinya; 2). Ketahanan emosional (emotional fitness),

yang meliputi daya tahan emosional dan fleksibilitas; 3). Emosional

yang mendalam (emotional depth), yang melibatkan intensitas

emosional dan potensi untuk berkembang, dan 4). Alkimia emosional

(emosional alchemy), yang mencakup kemampuan untuk menggunakan

emosi untuk memicu kreativitas.

Dalam perkembangan teori kecerdasan emosional, Mayer dan

Salovey (1997) merumuskan model revisi kecerdasan emosional yang

memberikan penekanan lebih pada komponen kognitif dengan

mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk

mempersepsikan emosi, untuk mengakses dan membangkitkan emosi

sehingga dapat membantu pikiran memahami emosi dan makna

emosional, dan untuk merefleksikan pengaturan emosi untuk mendorong

emosi dan pikiran menjadi lebih baik. Definisi ini ditegaskan oleh

Mayer dan Salovey (dalam Oney, 2009, h.25), kecerdasan emosional

adalah:“ability to perceive emotions, to access and generate emotions so

as to assist thought, to understand emotions and emotional meanings,

and to reflectively regulate emotions so as to promote both better

emotion and thought”. Selanjutnya, menurut Mayer dan Salovey

(Schutte.,et al, 1997), model yang direvisi terdiri dari empat kemampuan

49

kecerdasan emosional anatar lain; 1). Persepsi, penilaian dan ekspresi

emosi; 2). Fasilitasi emosional berpikir; 3). Pemahaman, menganalisis

dan menggunakan pengetahuan emosional, dan 4). Regulasi emosi untuk

pertumbuhan emosi dan intelektual lebih lanjut. Persepsi, penilaian dan

ekspresi emosi dipandang sebagai proses yang paling dasar, sedangkan

regulasi emosi membutuhkan proses yang paling kompleks. Penekanan

ini berfokus pada kemampuan mental yang spesifik untuk mengenali

dan mengatur emosi (misalnya, mengetahui apa yang seseorang rasakan

adalah kemampuan mental, sedangkan yang keluar dan yang ditunjukan

adalah perilaku).

Pada tahun 1998, dalam bukunya “Working with Emotional

Intelligence”, Goleman melakukan penyempurnaan pada model

kecerdasan emosional yang digunakan sebelumnya. Ia mengusulkan

teori kinerja yang dibangun di atas model dasar kecerdasan emosional,

beradaptasi untuk memprediksi efektivitas pribadi di tempat kerja dan

dalam kepemimpinan yang diwujudkan dalam kesuksesan kerja. Model

kecerdasan emosional Goleman (1998) berisi empat gagasan/konsep

kecerdasan emosional yang menonjol antara lain; (a) Kesadaran diri

(Self awareness) adalah: kemampuan untuk memahami diri sendiri,

sering disebut sebagai kecerdasan intrapersonal; (b) manajemen diri

(self-management) adalah: kemampuan untuk mengendalikan emosi dan

impuls seseorang dan beradaptasi dengan perubahan situasi; (c)

kesadaran sosial (social awareness) adalah: kecerdasan interpersonal

yang mencerminkan kemampuan untuk merasakan, memahami, dan

bereaksi terhadap emosi orang lain; dan (d) manajemen hubungan

(relationship management) adalah: kemampuan untuk menginspirasi,

mempengaruhi, dan mimbina orang lain untuk mengelola konflik (Oney,

2009; Goleman, 2001).

50

Sementara itu, Goleman (Labbaf, 2011; Goleman, 2001)

menyatakan bahwa kecerdasan emosional mengarah pada kapasitas

pengenalan perasaan diri sendiri dan orang lain, kapasitas memotivasi

diri sendiri dan kapasitas mengelola emosi diri dengan baik dan dalam

hubungan dengan orang lain. Hal ini kemudian diidentifikasi ke dalam

lima domain atau aspek kemampuan kecerdasan emosional yang terdiri

dari dua kompetensi antara lain; 1). Kompetensi pribadi (competencies

personal) yaitu, mengetahui dan mengelola emosi dalam diri yang

meliputi: Kesadaran Diri (self awareness), pengaturan diri (self

regulasi), dan Motivasi (motivation); 2). Kompetensi sosial (social

competencies) yaitu, mengetahui dan mengelola emosi orang lain yang

meliputi: Empati (empathy) dan keterampilan Sosial (social skill).

Pada suatu kesempatan, menurut Huges.,et al (2012), berbagai

teori kecerdasan emosional dapat dibagi menjadi dua model yaitu;

model kemampuan (ability model) dan model campuran (mixed model).

Model kemampuan berfokus pada bagimana emosi memengaruhi cara

para pemimpin berpikir, memutuskan, merencanakan, dan bertindak.

Model ini mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai empat

kemampuan terpisah tapi berhubungan, yang meliputi: 1). Kemampuan

memahami diri sendiri dan emosi orang lain secara akurat; 2).

Kemampuan menghasilkan emosi untuk memfasilitasi pikiran dan

tindakan; 3). Kemampuan untuk secara akurat memahami penyebab

emosi dan makna yang mereka sampaikan; 4). Kemampuan mengatur

emosi seseorang. Sedangkan model campuran mendefinisikan

kecerdasan emosional tidak hanya mencakup kemampuan, tetapi juga

sejumlah atribut lain yang jauh lebih luas dan komprehensif.

Hal tersebut di atas juga diungkapkan oleh (Oney, 2009), bahwa

ada dua model kecerdasan emosional yang dominan yaitu model

51

campuran dari Bar-On dan model kemampuan dari Mayer, Salovey, dan

Caruso. Model campuran (mixed model) yang dikemukakan oleh Bar-On

dalam teorinya menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah: suatu

kesatuan kecakapan nonkognitif, kompetensi, dan keterampilan yang

mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi

tuntutan lingkungan dan tekanan. Pernyataan ini ditegaskan oleh Bar-On

(dalam Oney, 2009, h.25-26), kecerdasan emosional adalah:“an array of

noncognitive capabilities, competencies, and skills that influence one‟s

ability to succeed in coping with environmental demands and

pressures”. Kecerdasan emosional menurut Bar-on meliputi lima aspek

utama antara lain: 1). Intrapersonal, meliputi: penghargaan diri,

kesadaran diri emosional, ketegasan, kebebasan, dan aktualisasi diri;

2). Interpersonal, meliputi: empaty, tanggungjawab sosial, dan hubungan

interpersonal; 3). Adaptasi, meliputi: pengujian kenyataan, fleksibilitas,

dan pemecahan masalah; 4). Manajemen stress, meliputi: daya tahan

terhadap stress, dan Kontrol impuls; dan 5). Suasana hati secara umum,

meliputi: optimisme, dan kebahagiaan.

Dari berbagai teori kecerdasan emosional yang dijelaskan di atas,

maka untuk kepentingan penelitian ini, penulis mengadaptasi teori

kecerdasan emosional dari Goleman (1998) yaitu tentang teori kinerja

yang dibangun di atas model dasar kecerdasan emosional. Hal ini

penting sebab sebagai pegawai (pekerja gereja), pendeta harus memiliki

kecerdasan emosional yang baik untuk meningkatkan efektivitas pribadi

dan kepemimpinan di tempat kerja. Pendeta yang memiliki kecerdasan

emosional yang baik mencerminkan potensi dirinya dalam hal

keterampilan kesadaran diri (self-awareness), manajemen diri (self-

management), kesadaran sosial (social awareness), dan manajemen

52

hubungan (relationship management) yang diwujudkan dalam

kesuksesan kerja.

2.3.3 Aspek - Aspek Kecerdasan Emosional

Ada tiga aspek utama kecerdasan emosional menurut Salovey &

Mayer (1990) yaitu; 1). Penilaian dan ekspresi emosi (appraisal and

expression of emotion) yang terdiri dari aspek penilaian dan ekspresi

dalam diri dan orang lain. Aspek penilaian dan ekspresi emosi dalam

diri dibagi lagi ke dalam sub aspek yaitu, verbal dan non-verbal, dan

penerapan pada orang lain dibagi menjadi sub aspek persepsi non verbal

dan empati. 2). Regulasi emosi (regulation of emotion) yang terdiri dari

regulasi emosi dalam diri dan orang lain, dan 3). Pemanfaatan emosi

dalam pemecahan masalah (utilization of emotions in solving problems)

yang terdiri dari aspek-aspek perencanaan yang fleksibel, berpikir

kreatif, mengendalikan suasana hati, dan motivasi emosi (Schutte, et al,

1997).

Sementara itu, Goleman (Luthans, 2006) menyatakan bahwa

kecerdasan emosional meliputi lima aspek, antara lain:

1. Kesadaran diri, dengan karakteristik pemahaman diri;

pengetahuan tentang perasaan sebenarnya pada satu kejadian.

2. Manjemen diri, dengan karakteristik menangani emosi untuk

memudahkan, bukannya menghalangi tugas; tidak setuju dengan

emosi negatif dan kembali ke jalur konstruktif untuk

penyelesaiaan masalah.

3. Motivasi diri, dengan karakteristik tetap pada tujuan yang

diinginkan mengatasi impuls emosi negatif dan menunda

gratifikasi untuk memperoleh hasil yang diinginkan.

53

4. Empati, dengan karakteristiknya memahami dan sensitive

dengan perasaan orang lain; dapat merasakan apa yang dirasakan

dan diinginkan orang lain.

5. Keterampilan sosial, dengan karakteristiknya kemampuan

membaca situasi sosial, lancar dalam berinteraksi dengan orang

lain dan membentuk jaringan; dapat menuntun emosi dan

tindakan orang lain.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Robbins dan Judge

(2008), bahwa orang - orang yang mengenal emosi mereka sendiri dan

mampu dengan baik membaca emosi orang lain dapat menjadi lebih

efektif dalam pekerjaan mereka. Hal itu dapat dilakukan melalui lima

aspek kecerdasan emosional yakni; 1). Kesadaran diri; sadar atas apa

yang anda rasakan; 2). Manajemen diri; kemampuan mengelola emosi

dan dorongan-dorongan anda sendiri; 3). Motivasi diri; kemampuan

bertahan dalam menghadapi kemunduran dan kegagalan; 4). Empati;

kemampuan merasakan apa yang dirasakan orang lain; dan 5).

Keterampilan sosial; kemampuan menangani emosi-emosi orang lain.

Selanjutnya menurut Yukl (2005), kecerdasan emosional

meliputi empat aspek yang saling berhubungan, yakni:

1. Kesadaran diri merupakan pemahaman atas mood dan emosi

orang itu sendiri, bagaimana berubah seiring waktu, dan

implikasinya pada kinerja tugas dan hubungan antarpribadi.

2. Kemampuan untuk mengekspresikan perasaan seseorang secara

akurat kepada orang lain dengan bahasa dan komunikasi non

verbal.

3. Empati adalah kemampuan untuk mengenali mood dan emosi

pada orang lain dan memahami bagaimana hal itu bereaksi

terhadap emosi dan perilaku anda.

54

4. Pengaturan diri adalah kemampuan untuk menyalurkan emosi ke

dalam perilaku yang tepat untuk situasi itu, bukannya

memberikan respons dengan prilaku yang impulsif atau menarik

diri ke dalam sebuah keadaan depresi setelah mengalami

kekecewan.

Dalam pengembangan dan validasi ukuran baru, Tsaosis (2008)

dalam pengukurannya tentang Self-Repport kecerdasan emosional yang

disebut Greek Emotional Intelligence Scale (GEIS), dikembangkan

untuk mengukur sifat kecerdasan emosional yang terdiri dari empat

aspek keterampilan emosional berdasarkan teori Mayer dan Salovey

(1997), meliputi; ekspresi dan pengenalan emosi (expression and

recognition of emotion); mengelola emosi (control of emotions);

menggunakan emosi untuk memfasilitasi pikiran (use of emotion for

facilitating thinking); dan kepedulian dan empati (caring and empathy).

Penjelasannya sebagai berikut:

1. Ekspresi dan pengenalan emosi (expressioan & recognition of

emotions). Menggunakan hasrat diri yang paling dalam untuk

menggerakan dan menuntun menuju sasaran, membantu diri

dalam mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, dan

untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.

2. Mengelola emosi (control of emotions). Menangani emosi dalam

diri sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada

pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda

kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, dan mampu pulih

kembali dari tekanan emosi.

3. Menggunakan emosi untuk memfasilitasi pikiran (use of

emotional for facilitating thinking). Mengetahui apa yang

55

dirasakan pada suatu dan menggunakannya untuk memandu

dalam pengambilan keputusan serta menjadi tolak ukur yang

realistis atas kemampuan dan kepercayaan diri yang kuat.

4. Kepedulian atau empati (caring & empathy). Merasakan apa

yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif

orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan

menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.

Sementara itu, Wong dan Law (Libbrecht.,et al, 2010)

mengembangkan skala pengukuran tentang Self-Repport kecerdasan

emosional atau Wong Lau Emotional Intelligence Scale (WLEIS), yang

digunakan untuk penilaian diri dan orang lain. Skala kecerdasan

emosional ini didasarkan pada empat aspek dari definisi kecerdasan

emosional Davies., et al (1998) yaitu; 1). Penilaian emosi diri (self-

emotion appraisal), mengukur kemampuan individu untuk memahami

dan mengekspresikan emosi mereka sendiri; 2). Penilaian emosi orang

lain (others emotion appraisal), mengukur kemampuan seseorang untuk

merasakan dan memahami emosi orang lain; 3). Penggunaan Emosi (use

of emotion), menunjukkan kemampuan individu untuk menggunakan

emosi mereka secara efektif dengan mengarahkan pada kegiatan yang

konstruktif dan kinerja individu. 4). Pengaturan emosi (regulation of

emotion) mengacu pada kemampuan individu untuk mengelola emosi

mereka sendiri.

Lebih lanjut, Boyatzis, Goleman, dan Rhee (dalam Gowing,

2001) mengembangkan Emotional Competence Inventory (ECI) untuk

mengukur 20 kompetensi kecerdasan emosional berdasarkan empat

aspek kecerdasan emosional dari teori Goleman (1998) antara lain;

kesadaran diri (self-awareness); manajemen diri (self-management);

56

kesadaran sosial (social awareness), dan manajemen hubungan

(relationship management). Dalam perkembangan ECI, Sala (2002)

menyederhanakan pengukuran kompetensi kecerdasan emosional

menjadi 18 kompetensi berdasarkan empat aspek kecerdasan emosional

dari teori working with emotional intelligence Goleman (1998), antara

lain:

1. Self-Awareness (Kesadaran Diri) adalah: kemampuan untuk

memahami diri sendiri, preferensi, sumber informasi, dan intuisi.

Aspek kesadaran diri meliputi tiga kompetensi:

a. Kesadaran emosional (emotional awareness). Mengenali

emosi diri dan efeknya.

b. Akurat Penilaian Diri (accurate self-assesment). Mengetahui

kekuatan dan kelemahan diri.

c. Percaya Diri (self-confidance). Perasaan yang kuat tentang

harga diri dan kemampuan diri.

2. Self-Management (Manejemen Diri) adalah: kemampuan untuk

mengelola emosi dalam diri, impuls, dan sumber informasi.

Aspek manajemen diri meliputi enam kompetensi:

a. Pengaturan diri Emosional (Emotional Self-control).

Mengatur emosi dan mengurangi impuls yang menggangu.

b. Transparan (Transparency). Menjaga integritas, bertindak

sesuai dengan nilai-nilai diri.

c. Adaptasi (Adaptability). Fleksibel dalam menangangi sebuah

perubahan.

d. Prestasi (Achievement). Berusaha untuk meningkatkan atau

memenuhi standar keunggulan

e. Inisiatif (Initiative). Kesiapan untuk bertindak mendapatkan

peluang.

57

f. Optimis (Optimisme). Ketekunan dalam mengejar tujuan

walaupun rintangan dan hambatan.

3. Social Awareness (Kesadaran Sosial) adalah: kemampuan untuk

menangani hubungan dan kesadaran terhadap perasaan,

kebutuhan, dan kepentingan orang lain. Aspek kesadaran sosial

terdiri atas tiga kompetensi:

a. Empati (Empathy). Merasakan perasaan dan perspektif orang

lain, dan memberikan perhatian aktif dalam keprihatinan

mereka.

b. Kesadaran Organisasi (Organizational awareness).

Mempelajari situasi emosional kelompok dan hubungan

kekuasaan.

c. Orientasi Pelayanan (Service Orientation). Mengantisipasi,

mengenali, dan memenuhi kebutuhan pelanggan.

4. Relationship Management (Manejemen Hubungan) adalah:

kemampuan untuk menimbulkan respon yang di inginkan pada

orang lain. Dimensi manajemen hubungan terdiri atas enam

kompetensi:

a. Pengembangan orang lain (Developing others). Merasakan

kebutuhan untuk pengembangan diri orang lain, dan

memperkuat kemampuan mereka.

b. Kepemimpinan Inspirasional (Inspirational Leadership).

Menjadi inspirasi dan membimbing individu dan kelompok.

c. Katalis Perubahan (Change Catalyst). Inisitaif atau

mengelola perubahan.

d. Pengaruh (Influence.). Menggunakan taktik yang efektif

untuk mendapat kepercayaan.

58

e. Manajemen Konflik (Conflict Management). Negosiasi dan

menyelesaikan perselisihan.

f. Team Kerja dan Kolaborasi (Teamwork and Collaboration).

Menciptakan visi bersama dan sinergi dalam kerja sama tim,

bekerja dengan orang lain menuju tujuan bersama.

Dari berbagai aspek kecerdasan emosional di atas, maka dalam

penelitian ini penulis menggunakan empat aspek kecerdasan emosional

yang dikemukakan oleh Sala (2002) berdasarkan pengembangan dari

teori Golemen (1998). Alasannya, karena aspek-aspek tersebut sangat

relevan dengan karakteristik pekerjaan pendeta GPM. Pendeta sebagai

pegawai (pekerja gereja) harus memiliki kecerdasan emosional yang

baik untuk meningkatkan efektivitas pribadi dan kepemimpinan di

tempat kerja. Pendeta yang memiliki kecerdasan emosional yang baik

mencerminkan potensi dirinya dalam hal keterampilan kesadaran diri

(self-awareness), manajemen diri (self-management), kesadaran sosial

(social awareness), dan manajemen hubungan (relationship

management) yang diwujudkan dalam kesuksesan kerja. Hal ini

tentunya berimplikasi untuk meminimalisir perilaku yang tidak sesuai

dengan ketentuan dan aturan organisasi, sehingga akan berdampak

positif bagi efektifitas pelaksanaan program-program pelayanan gereja.

Dengan demikian, keempat aspek ini akan digunakan penulis untuk

mengukur kecerdasan emosional pendeta GPM yang merupakan subjek

dari penelitian ini.

59

2.4. Jenis Kelamin

2.4.1. Pengertian Jenis Kelamin

Menurut Wahab (2012), manusia sebagai makhluk ciptaan

Tuhan secara kodrat dibedakan menjadi dua jenis kelamin yaitu laki-laki

dan perempuan. Antara kedua jenis kelamin tersebut terdapat perbedaan

karakteristik khas yang dapat membedakan satu dengan yang lainnya,

baik ditinjau dari segi fisik maupun dari segi psikis. Jenis kelamin dalam

bahasa Inggris disebut dengan „sex‟. Sex berasal dari bahasa Latin

“secare” yang mempunyai arti membagi atau memisahkan. Hal ini

ditegaskan oleh Handayani dan Sugiarti (2002), bahwa seks adalah:

pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada

jenis kelamin tertentu. Dengan demikian seks mengandung arti

perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan yang secara

biologis serta memiliki perbedaan dan ciri-ciri sendiri. Seks berarti

perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang secara kodrati

memiliki fungsi organisme yang berbeda

Sementara itu, Sasongko (2009) menyatakan bahwa jenis

kelamin atau seks adalah: perbedaan jenis kelamin yang ditentukan

secara biologis. Seks melekat secara fisik sebagai alat reproduksi. Oleh

karena itu, seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga

bersifat permanen dan universal. Definisi jenis kelamin kemudian

dipertegas oleh Badudu dan Zain (2001), jenis kelamin adalah:

pembedaan atas laki-laki dan perempuan atau jantan dan betina.

Pembedaan itu berdasarkan perbedaan biologis yang dibawa sejak lahir

dan mempunyai ciri-ciri diantaranya pada genital, bentuk tubuh, kepala,

payudara, pinggul, tangan dan kaki, rambut yang tampak. Seluruh

60

perbedaan yang ada menjadikan perempuan dan laki-laki berbeda satu

dengan yang lain dalam hal biologis maupun psikologis.

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

jenis kelamin (seks) dapat diartikan sebagai perbedaan antara laki-laki

dan perempuan yang secara biologis memiliki ciri-ciri tersendiri. Secara

kodrati, keduanya (perempuan & laki-laki) memiliki fungsi-fungsi

organisme yang berbeda. Jadi, secara umum jenis kelamin (seks)

digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan

dari segi anatomi biologis.

2.5. Hasil-Hasil Penelitian Sebelumnya

Komitmen pegawai terhadap organisasi merupakan salah satu

faktor penting dalam suatu organisasi. Semakin baik komitmen

organisasi pegawai maka efektifitas pelaksanaan tugas akan lebih

optimal. Tanpa komitmen yang baik dari pegawai, organisasi akan

mengalami kesulitan mencapai hasil yang maksimal. Komitmen yang

baik dari seorang pegawai terhadap organisasi mencerminkan besarnya

rasa tanggungjawab terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal

ini dapat mendorong gairah kerja, semangat kerja dan mendukung

tercapainya tujuan organisasi. Dengan demikian, untuk meningkatkan

komitmen pegawai bagi organisasinya, maka perlu ditelusuri faktor-

faktor apa saja memiliki hubungan dengan peningkatan komitmen

organisasi pegawai. Oleh sebab itu, berbagai penelitian sebelumnya

telah menemukan hasil analisa bahwa, kepuasan kerja, kecerdasan

emosional, dan karakteristik personal (jenis kelamin) menjadi faktor

yang memiliki keterkaitan dengan komitmen organisasi.

61

2.5.1. Hubungan Kepuasan Kerja Dengan Komitmen Organisasi

Untuk mendorong agar pegawai memiliki komitmen yang baik,

maka organisasi perlu berupaya agar para pegawainya memiliki

kepuasan dalam bekerja. Artinya, kepuasan kerja merupakan salah satu

faktor penting yang memiliki keterkaitan terhadap peningkatan

komitmen organisasi.

Ada berbagai temuan yang dilakukan oleh para ahli dalam kaitan

dengan hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi

diantaranya; penelitian Mohammed dan Eleswed (2013) terhadap 156

karyawan Bank Internasional Global di Manama, kerajaan Bahrain.

Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan yang positif

signifikan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi

(r=0.669;p=0.00<0.05). Demikian juga, peneltian yang dilakukan oleh

Ravindranath.,et al (2014) terhadap 117 perawat di rumah sakit India.

Hasil penelitian menunjukan bahwa kepuasan kerja dan komitmen

organisasi perawat secara signifikan berhubungan satu sama lain dengan

koefisien korelasi sebesar 0.54 (p<0.05). Penelitian yang dilakukan oleh

Chan dan Qiu (2011) terhadap 213 buru migrant di kota Shishi, propinsi

Fujian, juga menunjukan hasil yang sama. Hasil penelitian menunjukan

bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dengan

komitmen organisasi dengan nilai koefisien korelasi (r=0.488;

p=0.000<0.01). Hal ini didukung oleh penelitian Azeem (2010),

terhadap 128 karyawan di Industri Jasa yang menemukan bahwa ada

hubungan yang positif signifikan antara kepuasan kerja dan komitmen

organisasi (r=0.56, p = 0.00<0.05).

Sementara itu, penelitian Srivastava (2013), terhadap 247

manajer tingkat menengah milik organisasi sektor swasta. Berdasarkan

62

hasil Korelasi Pearson Product Moment ditemukan bahwa kepuasan

kerja memiliki hubungan positif yang signifikan dengan Komitmen

Organisasi (r=0.72; p<0.01). Demikian juga penelitian dari Al-Aameri

(2000), terhadap 400 perawat di sejumlah rumah sakit di kota Riyadh.

Hasil penelitian menunjukan bahwa, kepuasan kerja berkorelasi positif

signifikan dengan komitmen organisasi dengan koefisien korelasi 0.59

(p<0.01). Penelitian dari Xiao.,et al (2012), terhadap 191 pekerja kerah

putih di perusahan otomotif Jerman di Cina, Shanghai menunjukan

bahwa, ketiga aspek kepuasan kerja (otonomi pekerjaan, kepuasan

penghargaan, dan kepuasan gaji) memiliki hubungan yang signifikan

dengan komitmen organisasi karyawan dengan koefisien korelasi;

koefisien korelasi aspek otonomi pekerjaan sebesar (r=0.543, p<0.01);

kepuasan gaji (r=0.438, p<0.01), dan kepuasan penghargaan (r=0.360.

p<0.01). Temuan ini menunjukkan bahwa karyawan dengan tingkat

kepuasan kerja yang tinggi (tentang otonomi pekerjaan, kepuasan

penghargaan, dan kepuasan gaji) lebih berkomitmen untuk organisasi

mereka. Adanya hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen

organisasi mengindikasikan bahwa pegawai akan berkomitmen bagi

organisasi apabila organisasi tersebut dapat mengakomodir apa yang

menjadi kebutuhan pegawai tersebut. Jika kebutuhannya dapat

terpenuhi, maka pegawai akan memperoleh kepuasan dalam bekerja

sehingga menjadi daya dorong untuk tetap berkomitmen bagi organisasi

tersebut. Semakin pegawai merasa puas dalam pekerjaannya, maka

tingkat komitmen pegawai bagi organisasi tersebut akan semakin tinggi.

Demikian halnya, apabila pegawai mengalami ketidakpuasan dalam

pekerjaannya, maka komitmen pegawai bagi organisasi akan semakin

rendah, sehingga berdampak pada kinerja dan produktifitas suatu

organisasi.

63

Sebaliknya, ada beberapa hasil penelitian yang ditemukan

berbeda oleh para peneliti sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh

Tat dan Rasli (2001), terhadap 103 pegawai di salah satu perguruan

tinggi negeri-Malaysia, menunjukan hasil yang beragam antara aspek

kepuasan kerja (desain pekerjaan, gaji, kesejahteraan, dan manajemen)

dengan tiga komponen komitmen organisasi (afektif, kontinyu dan

normatif). Hasil menunjukkan, ada hubungan lemah yang signifikan

antara aspek kepuasan kerja (desain kerja) dan komitmen afektif

(β=0.21, p<0.05), sedangkan aspek gaji dan kesejahteraan tidak ada

hubungan yang signifikan dengan komitmen afektif. Selain itu,

ditemukan hasil bahwa semua aspek kepuasan kerja tidak berhubungan

secara signifikan dengan komitmen berkelanjutan dan komitmen

normatif. Sementara itu, penelitian dari Suki dan Suki (2011), terhadap

112 pegawai sektor industri di Labuana menemukan hasil bahwa,

kepuasan kerja dan komitmen organisasi memiliki korelasi yang lemah

(tidak kuat) dengan r = 0.575 pada tingkat kepercayaan 90%.

Sedangkan, penelitian Curry.,et al (Malik.,et al, 2010); Mukhyi (Sijabat,

2011); dan William; Mathieu (Muhadi, 2007); Draper, Halliday, Jowett,

Normand, dan O'Brien, (Aghdasi.,et al, 2011) menunjukan, tidak ada

hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dengan komitmen

organisasi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada karakteristik organisasi

tertentu, komitmen organisasi tidak selalu berhubungan dengan seberapa

puas atau tidak puas pegawai tersebut dalam pekerjaanya. Orientasi

pegawai terhadap pekerjaan yang dilakukan dalam suatu organisasi tidak

menempatkan aspek-aspek kepuasan kerja sebagai hal yang utama.

Artinya, kepuasan kerja bukan menjadi sebuah hal yang mutlak bagi

pegawai untuk berkomitmen bagi organisasi tersebut.

64

2.5.2. Hubungan Kecerdasan Emosional Dengan Komitmen

Organisasi

Selain kepuasan kerja, beberapa peneliti sebelumnya juga telah

melakukan penelitian terhadap keterkaitan antara kecerdasan emosional

dengan komitmen organisasi. Semakin tinggi kecerdasan emosional

seorang pegawai maka semakin tinggi komitmen pegawai terhadap

organisasi. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Sarboland (2012),

terhadap 320 karyawan pada 19 kantor pajak di propinsi Ardebil.

Berdasarkan analisis korelasi pearson diperoleh hasil bahwa ada

hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan

komitmen organisasi (Sig = 0.012<0.05). Demikian halnya penelitian

yang dilakukan oleh Aghabozorgi.,et al (2014), terhadap 175 perawat

rumah sakit umum di Sanandaj. Hasil menunjukan, kecerdasan

emosional memiliki hubungan yang positif dengan komitmen organisasi

perawat RSU Sanandaj (r = 0.76). Korelasi signifikan pada 0,05 dari

tingkat alpha. Sementara itu, penelitian Antony (2013), terhadap 115

pekerja eksekutif di FCI OEN Konektor Cochin, Kerala menunjukan,

ada hubungan positif kecerdasan emosional dengan komitmen organisasi

sebesar 0.39 (p<0.05). Hasil penelitian yang sama juga ditemukan oleh

Sani dan Ghorbani (2012), terhadap 147 pegawai keuangan dan kredit di

Salehieen Institut Iran Timur. Hasil menunjukan, ada hubungan antara

kecerdasan emosional dan komitmen organisasi pegawai nilai koefisien

korelasi sebesar 0,429 (p<0.05). Demikian hal juga penelitian

Amoozadeh., et al (2013), terhadap 200 karyawan bank dan lembaga

keuangan kota Darrehshahr. Hasil menunjukan bahwa ada hubungan

yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dan komitmen

organisasi (beta=0.459, t=5,110, p=0.000 < 0.05). Dengan demikian,

65

semakin tinggi kecerdasan emosional seorang pegawai, maka semakin

tinggi pula komitmennya terhadap organisasi tersebut.

Berbeda dengan hasil penelitian di atas, beberapa penelitian

sebelumnya menemukan hasil yang berbeda antara lain: Beri dan Beri

(2014) dalam penelitiannya terhadap 300 guru pemerintah dan swasta di

30 Sekolah Menengah Atas di kabupaten Jammu menemukan hasil

bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dan

komitmen organisasi (r= - 0.01; p<0.05). Demikian juga penelitian yang

dilakukan oleh Aghdasi.,et al (2011), terhadap 234 karyawan pada

sebuah organisasi di Iran. Hasil penelitian menunjukan bahwa

kecerdasan emosional tidak memiliki efek langsung terhadap komitmen

organisasi. (β = 0.14, t = 1.79) pada tingkat sig. 0.05. Hasil temuan ini

didukung oleh Efendi dan Sutanto (2013); Wong dan Law; dan

Guleryus., et al (Aghdasi, 2011). Hasil temuan ini mengindikasikan

bahwa komitmen organisasi tidak selalu memiliki hubungan dengan

kemampuan pegawai mengelola emosinya dalam lingkungan pekerjaan.

Artinya, pegawai yang cerdas emosi belum tentu memiliki komitmen

orgaisasi yang tinggi. Demikian juga, pegawai yang kecerdasan emosi

rendah belum tentu komitmen organisasinya juga rendah. Komitmen

organisasi bukan disebabkan oleh seberapa cerdasnya pegawai

mengelola emosinya.

2.5.3. Kepuasan Kerja Dan Kecerdasan Emosional Dengan

Komitmen Organisasi

Penelitian Akomolafe dan Olatomide (2013), terhadap 220 guru

sekolah menengah di Ekiti State-Nigeria. Berdasarkan hasil uji korelasi

regresi ditemukan nilai R sebesar 0.64, menunjukan adanya pengaruh

kepuasan kerja dan kecerdasan emosional terhadap komitmen organisasi

66

dengan koefisien determinasi (R²) sebesar 0.55. Hal ini menunjukkan

bahwa variabel kepuasan kerja dan kecerdasan emosional memberikan

pengaruh terhadap perubahan variabel komitmen oganisasi sebesar 55%,

sedangkan sisanya 45% dipengaruhi oleh variabel lain. Hasil analisis

regresi berganda menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan kecerdasan

emosional secara signifikan berpengaruh terhadap komitmen organisasi

guru [F (2.217) = 44.74; P<0.05]. Temuan ini mengindikasikan bahwa

kombinasi dari variabel independen (kepuasan kerja dan kecerdasan

emosional) yang efektif dalam memprediksi komitmen organisasi guru

dan itu tidak bisa terjadi secara kebetulan. Berdasarkan besarnya nilai

koefisien korelasi berganda (0.64) dan multiple R Square (0.55) bisa

disimpulkan bahwa 55% dari total varians dalam komitmen organisasi

guru dipertanggungjawabkan dengan kombinasi linear dari variabel

independen.

2.5.4. Pengaruh Interaksi Kepuasan Kerja Dan Jenis Kelamin

Terhadap Komitmen Organisasi

Dalam kaitan dengan pengaruh interaksi kepuasan kerja dan

jenis kelamin terhadap komitmen organisasi, beberapa peneliti

menemukan hasil yang berbeda. Penelitian dari Nifadkar dan Dongre

(2014), terhadap 52 staf pengajar di Universitas, Pune-India,

menemukan hasil bahwa kepuasan kerja memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap komitmen organisasi (β = 0,371, t= 2,615, p<0.013),

namun tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin dengan

komitmen organisasi (β= -0,088, t= -0,592, p<0.558). Hasil penelitian

ini didukung oleh Eftekhri dan Sadegh (2013), terhadap 183 orang ahli

penyuluhan pertanian di propinsi Guilan. Hasil penelitian menunjukan,

kepuasan kerja memiliki pengaruh yang signifikan dengan komitmen

67

organisasi, namun tidak ada perbedaan yang signifikan antara kepuasan

kerja laki-laki dan perempuan terhadap komitmen organisasi (t= 0.838;

sig= 0.403 ≥ 0.01).

Demikian juga penelitian dari Salami (2008), terhadap 320

karyawan organisasi layanan dan manufaktur di Oyo, Nigeria. Hasil

penelitian menunjukan, kepuasan kerja secara signifikan memiliki

pengaruh terhadap komitmen organisasi (R2= 03, β= 0.24,F = 5.20,

p<0.05). Namun demikian, jenis kelamin tidak memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap komitmen organisasi (β=0.03; t= 0.60, p<0.05).

Artinya, semakin tinggi tingkat kepuasan kerja pegawai laki-laki dan

perempuan, semakin tinggi tingkat komitmen organisasi. Temuan ini

mengindikasikan bahwa pegawai laki-laki dan perempuan memiliki

kepuasan kerja yang sama, sehingga dalam melakukan pekerjaan dapat

memberikan yang terbaik dengan ditunjukan melalui komitmen bagi

organisasi. Oleh karena itu, organisasi perlu mengakomodir apa yang

menjadi kebutuhan setiap pegawai untuk meningkatkan komitmen

terhadap organisasi tanpa harus ada diskriminasi.

Sebaliknya, hasil penelitian yang berbeda ditemukan oleh

Pala., et al (2008), terhadap 473 petugas kesehatan di Bursa-Turky.

Hasil menunjukan, ada hubungan yang positif signifikan antara

kepuasan kerja dengan komitmen organisasi staf perawat kesehatan

0.485 (p<0.01). Disamping itu, ditemukan juga bahwa jenis kelamin

memiliki hubungan dengan komitmen organisasi. Temuan ini

mengindikasikan bahwa ada perbedaan tingkat kepuasan kerja pegawai

laki-laki dan perempuan terhadap komitmen mereka bagi organisasi.

Artinya, baik laki-laki maupun perempuan akan lebih berkomitmen bagi

organisasi apabila keinginan mereka dapat diakomodir sesuai dengan

kebutuhan masing-masing.

68

2.5.5. Pengaruh Interaksi Kecerdasan Emosional Dan Jenis

Kelamin Terhadap Komitmen Organisasi

Dalam kaitan dengan pengaruh interaksi kecerdasan emosional

dan jenis kelamin terhadap komitmen organisasi, beberapa peneliti

menemukan hasil diantaranya; Franzway; Singh dan Vinnicombe (dalam

Fisher.,et al, 2004), menyatakan bahwa ada hubungan antara jenis

kelamin, emosi dan komitmen organisasi. Dalam konteks organisasi,

perempuan cenderung mengalami emosi yang berbeda dengan laki-laki

dalam kaitan dengan komitmen organisasi. Terhadap perbedaan ini,

perempuan cenderung menampilkan perubahan emosi dalam

tindakannya sehingga sering diartikan sebagai kurangnya komitmen.

Lebih lanjut Singh dan Vinnicombe mengatakan bahwa dalam kerja,

wanita dianggap memiliki tingkat komitmen organisasi lebih rendah dari

daripada laki-laki. Penelitian mereka menunjukkan bahwa komitmen

perempuan terlibat pertimbangan emosional yang berbeda dengan laki-

laki.

Sebaliknya, hasil penelitian berbeda ditemukan oleh Beri dan

Beri (2014), dalam penelitiannya terhadap 300 guru pemerintah dan

swasta di 30 Sekolah Menengah Atas di kabupaten Jammu, menemukah

hasil bahwa kecerdasan emosional tidak memiliki hubungan yang

signifikan dengan komitmen organisasi (r= -0.01; p<0.05), dan tidak ada

perbedaan yang signifikan dalam kecerdasan emosional antara guru laki-

laki dan perempuan, dengan t-nilai adalah 0,141 yang tidak signifikan

pada 0,05 dan 0,01. Demikian juga penelitian Sani dan Ghorbani (2012),

terhadap 147 personil keuangan dan kredit di Salehieen Institut-Iran

Timur. Hasil menunjukan bahwa tingkat kecerdasan emosional antara

laki-laki dan perempuan tidak menunjukan adanya perbedaan terhadap

komitmen organisasi dengan hasil uji t= 0.263 (p<0.05). Hasil temuan

69

ini didukung oleh penelitian dari Aghdasi., et al (2012); Efendi dan

Sutanto (2013; dan Wong dan Law; Guleryuz (Aghdasi, 2011). Temuan

ini mengindikasikan bahwa kecerdasan emosional dan jenis kelamin

tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap komitmen organisasi.

Artinya, pegawai laki-laki dan perempuan memiliki kecerdasan

emosional yang sama, sehingga dalam melakukan pekerjaan dapat

memberikan yang terbaik dengan ditunjukan melalui adanya komitmen

bagi organisasi.

2.5.6. Perbedaan Komitmen Organisasi Ditinjau Dari Jenis

Kelamin

Salah satu faktor demografi yang diteliti oleh beberapa penelitian

sebelumnya dalam kaitan dengan komitmen organisasi adalah jenis

kelamin. Penelitian Pala.,et al (2008), terhadap 473 petugas kesehatan di

Bursa-Turky. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada perbedaan tingkat

komitmen organisasi antara laki-laki dan perempuan. Penelitian Shoaib.,

et al (2013), terhadap 371 karyawan sektor perbankan di Pakistan

menemukan, ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan mengenai

persepsi komitmen terhadap organisasi. Karyawan perempuan lebih

memiliki komitmen afektif dari pada laki-laki dengan nilai rata-rata

sebesar 2.54 dan laki-laki sebesar 2.46 (t= -0.3041; sig= 0.002),

sedangkan karyawan laki-laki lebih cenderung memiliki komitmen

normatif dibandingkan perempuan dengan nilai rata-rata 2.32 dan

perempuan sebesar 2.14 (t= 2.68; sig= 0.008). Sementara itu, persepsi

tentang komitmen kontinyu antara laki-laki dan perempuan kurang lebih

sama dengan nilai rata-rata untuk laki-laki 2.38 dan perempuan 2.40 (t=

-1.803; sig= 0.07). Hasil temuan ini didukung oleh Celik (2008),

terhadap 233 staf kantor pajak di Mersin-Turky. Hasil uji Man-Whitney

70

U menunjukan, ada perbedaan yang signifikan antara karyawan laki-laki

dan perempuan terhadap komitmen normatif (p=0.06<0.05). Komitmen

normatif karyawan laki-laki rata-rata lebih tinggi dari karyawan

perempuan. Selain itu, ada perbedaan yang signifikan antara karyawan

laki-laki dan perempuan terhadap komitmen afektif (p=0.014<0.05).

Komitmen afektif karyawan perempuan rata-rata lebih tinggi dari

karyawan laki-laki, sedangkan untuk komitmen kontinyu, tidak ada

perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan (p=0.288 >

0.05). Penelitiann Leow (2011), terhadap 961 tenaga kerja eksekutif dan

non eksekutif pada industri dagang di lembah Klang-Malaysia.

Berdasarkan koefisien regresi untuk jenis kelamin ditemukan signifikan

(β= -0.236, p<0.01). Namun demikian, koefisien negatif menunjukkan

bahwa komitmen karyawan laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan

karyawan perempuan. Dalam hal ini, aspek emosi memiliki peran

penting antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sebagaimana dinyatakan

oleh Franzway.,et al (Fisher.,et al, 2004), bahwa dalam konteks

organisasi, perempuan cenderung mengalami emosi yang berbeda

dengan laki-laki dalam kaitan dengan komitmen organisasi.

Hasil penelitian yang berbeda ditemukan oleh Suki dan Suki

(2011), pada pegawai sektor industri bahwa tidak terdapat hubungan

signifikan jenis kelamin dengan komitmen organisasi dengan tingkat

signifikan sebesar (p=0.273>0.05). Temuan yang sama juga

diperlihatkan oleh Salami (2008), terhadap 320 karyawan organisasi

layanan manufaktur di Oyo, Nigeria memperlihatkan, jenis kelamin

tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap komitmen organisasi

(β= 0.03; t= 0.60, p<0.05). Demikian juga penelitian Alshitri (2013),

terhadap karyawan pada organisasi publik di Arab Saudi. Hasil

penelitian menunjukan, tidak ada pebedaan yang signifikan komitmen

71

organisasi antara karyawan laki-laki dan perempuan (F=0.043;

p=0.837>0.05). Hasil temuan ini didukung oleh Sani dan Ghorbani

(2012), terhadap 147 personil keuangan dan kredit di Salehieen Institut-

Iran Timur. Berdasarkan hasil uji t diperoleh tingkat signifikan sebesar

(p= 0.184>0.05) yang berarti bahwa tidak ada perbedaan komitmen

organisasi antara laki- laki dan perempuan. Hal ini berarti bahwa,

tingkat komitmen terhadap organisasi antara laki-laki dan perempuan

tidak menunjukan adanya perbedaan. Perempuan dan laki-laki memiliki

sikap yang sama dalam menyatakan komitmennya terhadap organisasi

dimana mereka dipekerjakan.

2.6. Model Penelitian

Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, maka model

penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini sebagai berikut:

Gambar 1.1

Model Penelitian

Keterangan:

X1 : Kepuasan kerja

X2 : Kecerdasan emosional

X3 : Jenis Kelamin

Y : Komitmen organisasi.

KEPUASAN KERJA

KECERDASAN

EMOSIONAL JENIS KELAMIN

KOMITMEN

ORGANISASI

72

2.7. Hipotesis

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan model penelitian

yang ada, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Ada hubungan signifikan antara kepuasan kerja dan kecerdasan

emosional dengan komitmen pendeta bagi GPM

2. Ada pengaruh interaksi kepuasan kerja dan jenis kelamin terhadap

komitmen pendeta bagi GPM

3. Ada pengaruh interaksi kecerdasan emosional dan jenis kelamin

terhadap komitmen pendeta bagi GPM

4. Ada perbedaan signifikan komitmen pendeta bagi GPM ditinjau dari

jenis kelamin.