bab ii tinjauan pustaka - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/1222/2/bab...

22
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cyberbullying pada Remaja 1. Pengertian cyberbullying pada remaja Willard (2005, menjelaskan bahwa cyberbullying merupakan perlakuan kejam yang dilakukan dengan sengaja kepada orang lain dengan mengirimkan atau mengedarkan bahan yang berbahya atau terlibat dalam bentuk-bentuk agresi sosial menggunakan internet atau teknologi digital lainya. Definisicyberbullying menurut Williams dan Guerra (Steffgen, 2013) adalah suatu tindakan yang ditujukan kepada seseorang melalui pesan teks, e-mail, pesangambar atau video yang bertujuan untuk mengolok-olok, memaki, dan mengancam. Menurut Hinduja dan Patchin (2013) menjelaskan bahwa cyberbullying adalah perilaku yang disengaja dan membahayakan yang terus menerus diulang ditimbulkan melalui penggunaan komputer, ponsel, atau perangkat elektronik lainya. Definisi lain menururt Kowalski, dkk (2014) menjelaskan cyberbullying ini didefinsikan sebagai agresi yang dilakukan dengan sengaja dan berulang kali dilakukan dalam konteks elektronik (seperti, email, blogs, instant message, dan pesan teks) terhadap seseorang yang tidak dapat dengan mudah membela dirinya.

Upload: phamthuy

Post on 07-Apr-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Cyberbullying pada Remaja

1. Pengertian cyberbullying pada remaja

Willard (2005, menjelaskan bahwa cyberbullying merupakan perlakuan

kejam yang dilakukan dengan sengaja kepada orang lain dengan mengirimkan

atau mengedarkan bahan yang berbahya atau terlibat dalam bentuk-bentuk

agresi sosial menggunakan internet atau teknologi digital lainya.

Definisicyberbullying menurut Williams dan Guerra (Steffgen, 2013) adalah

suatu tindakan yang ditujukan kepada seseorang melalui pesan teks, e-mail,

pesangambar atau video yang bertujuan untuk mengolok-olok, memaki, dan

mengancam. Menurut Hinduja dan Patchin (2013) menjelaskan bahwa

cyberbullying adalah perilaku yang disengaja dan membahayakan yang terus

menerus diulang ditimbulkan melalui penggunaan komputer, ponsel, atau

perangkat elektronik lainya. Definisi lain menururt Kowalski, dkk (2014)

menjelaskan cyberbullying ini didefinsikan sebagai agresi yang dilakukan

dengan sengaja dan berulang kali dilakukan dalam konteks elektronik (seperti,

email, blogs, instant message, dan pesan teks) terhadap seseorang yang tidak

dapat dengan mudah membela dirinya.

16

Remaja merupakan fase pertumbuhan dan perkembangan ketika

seseorang berada pada rentang usia 11-18 tahun (Hurlock, 1994).

Perkembangan adalah proses bertambahnya kematangan seseorang. Senada

dengan Papalia, Olds dan Feldman, (2009) masa remaja adalah masa

perkembangan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi

perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan psikosisial.

Hurlock, (1980) mengemukakan istilah adolescence, memiliki makna

yang lebih luas, seperti mencakup emosional, sosial, fisik juga mencakup

kematangan mental. Jadi bahwa secara psikologis, masa remaja yaitu masa

usia dimana individu beritegerasi dengan masyarakat dewasa, masa usia

dimanaanak berada dalam tingkatan yang sama, tidak lagi merasa dibawah

tingkat orang-orang dewasa atau orang-orang yang lebih tua, walaupun di

dalam masalah hak.

Dari beberapa definsi diatas, peneliti menyimpulkan bahwa

cyberbullying pada remaja adalah perlakuan kejam kepada orang lain yang

dilakukan seorang individu atau kelompok yang dilakukan dengan sengaja.

Berujuan untuk menindas, menyakiti, mengancam dengan menggunakan

media sosial atau media elektronik lainya, seperti pesan teks, video, email,

dan blog yang dilakukan oleh remaja dengan rentan umur 11-18 tahun.

17

2. Aspek-aspek Cyberbullying

MenururtWillard,(2005) menyebutkan aspek-aspek dari cyberbullying

ada delapan, yaitu:

a. Flaming (terbakar)

Flaming merupakan perilaku yang berupa mengirimkan pesan teks yang

isinya merupakan kata-kata yang penuh amarah dan frontal. Istilah

“flame” ini pun merujuk pada kata-kata di pesan yang berapi-api.

b. Harassment (gangguan)

Harassment merupakan perilaku mengirim pesan-pesan dengan kata-

kata tidak sopan, yang ditujukan kepada seseorang yang berupa

gangguan yang dikirimkan melalui email,sms, maupun pesan teks, di

jejaring sosial secara terus menerus. Harassment merupakan hasil dari

tindakan flaming dalam jangka panjang. Harassment dilakukan dengan

saling berbalas pesan atau bisa disebut perang teks.

c. Denigration (pencemaran nama baik)

Denigeration merupakan perilaku mengumbar keburukan seseorang di

internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik orang yang

dituju. Seperti seseorang yang mengirimkan gambar-gambar seseorang

yang sudang diubah sebelumnya menjadi lebih sensual agar korban

diolok-olok dan mendapat penilaian buruk dari orang lain.

18

d. Impersonation (peniruan)

Impersonation merupakan perilaku berpura-pura menjadi orang lain dan

mengirimkan pesan-pesan atau status yang tidak baik

e. Outing

Outing merupakan perilaku menyebarkan rahasia orang lain, atau foto-

foto pribadi orang lain.

f. Trickery (tipu daya)

Trickery merupakan perilaku membujuk seseorang dengan tipu daya

agar mendapatkan rahasia atau foto pribadi orang tersebut.

g. Exclusion (pengeluaran)

Exclusion merupakan perilaku dengansecara sengaja dan kejam

mengeluarkan seseorang dari grup online.

h. Cyberstalking

Cyberstalking merupakan perilaku mengganggu dan mencemarkan

nama baik seseorang secara intens sehingga membuat ketakutan besar

pada orang tersebut.

Menurut Chadwick, (2014) ada delapan aspek dari perilaku

cyberbullying, yaitu :

a. Harassment, merupakan perilaku mengirim pesan-pesan dengan kata-

kata tidak sopan, yang ditujukan kepada seseorang yang berupa

gangguan yang dikirimkan melalui email, sms, maupun pesan teks, di

jejaring sosial secara terus menerus.

19

b. Denigration, merupakan perilaku mengumbar keburukan seseorang di

internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik orang yang

dituju. Seperti seseorang yang mengirimkan gambar-gambar seseorang

yang sudah diubah sebelumnya menjadi lebih sensual agar korban

diolok-olok dan mendapat penilaian buruk dari orang lain.

c. Flaming, merupakan perilaku yang berupa mengirim pesan teks dengan

kata-kata kasar, dan frontal. Perlakuan ini biasanya dilakukan di dalam

chat group di media sosial seperti mengirimkan gambar-gambar yang

dimaksudkan untuk menghina orang yang dituju.

d. Impersionation, merupakan perilaku berpura-pura menjadi orang lain

danmengirimkan pesan-pesan atau status yang tidak baik.

e. Masquerading, merupakan tindakan berpura-pura menjadi orang

laindengan menciptakan alamat email palsu, atau juga dapat

menggunakan ponsel orang lain sehingga akan muncul seolah-olah

ancaman yangdikirim oleh orang lain.

f. Pseudonyms, merupakan perilaku menggunakan nama alias atau

namaonline untuk menutupi identitas mereka. Secara online orang lain

hanya dikenal dengan namasamara, dan hal ini mungkin akan

menjadiberbahaya dan bermaksud untuk menghina.

g. Outing dan trickery, Outingmerupakan perilaku menyebarkan

rahasiaorang lain, atau foto-foto pribadi milik orang lain, sedangkan

20

trickerymerupakan perilaku membujuk sesorang dengan tipu daya

agarmendapatkan rahasia atau foto pribadi orang tersebut.

h. Cyberstalking, merupakan perilaku mengganggu dan mencemarkan

nama baik seseorang secara intens sehingga membuat ketakutan besar

pada orang tersebut

Dari penjelasan di atas, peneliti akan menggunakan aspek yang

dijelaskan oleh Willard, yaitu flaming, harassment, denigration,

impersionation, outing, trickert, exlclusion, dan cyberstalking.

3. Elemen Cyberbullying

Pada umumnya terdapat 3 elemen baik dalam setiap praktek bullying

dan cyberbullying pelaku (cyberbullies), korban (victims), dan saksi

(bystander).

a. Pelaku (Cyberbullies)

Camodeca dan Goosens (dalam Kowalski, 2008) karakteristik anak yang

menjadi pelaku cyberbullying adalah memiliki kepribadian yang

dominan dan dengan mudah dan menyukai melakukan kekerasan.

Cenderung lebih cepat temperamental, impulsive dan mudah frustasi

dengan keadaan yang seadng dialaminya. Lebih sering melakukan

kekerasan terhadap orang lain dan sikap agresif kepada orang dewasa

dibandingkan dengan anak lainya. Sulit dalam menaati

peraturan.Terllihat kuat dan menunjukkan rendahnya rasa empati pada

21

orang yang dia bully.Pandai memeanipulasi dan berkelit pada situasi

sulit yang di hadapi.Sering terlibat dalam agresi proaktif, agresi yang

disengaja untuk tujuan tertentu dan agresi reaktif, reaksi defensive

ketika diprovokasi.

b. Korban (victims)

Seorang remaja yang biasanya menjadi target cyberbullying biasanya

mereka yang berbeda dalam pendidikan, ras, berat badan, cacat, agama

dan mereka yang cenderung sensitif, pasif, dianggap lemah dan biasanya

mereka yang jarang bergaul atau keluar rumah (Kowalski, 2008).

Sedangkan dalam National School Climate Center (Marde, 2010)

karakteristik remaja yang menjadi target atau korban cyberbullying

adalah sesitif, menarik diri dari lingkungan sosial, pasif, mengalami

masalah dengan keterbelakangan mental, sering membiarkan orang lain

mengendalikan dirinya, dan cenderung depresi. Dalam beberapa

penelitian korban cyberbullying cenderung memiliki self-esteem yang

lebih rendah dibandingkan teman sebayanya. Hal tersebut yang

membuat dirinya mengalami kecemasan sosial dan cenderung

menghindari kontak sosial (Camfield, 2006).

c. Saksi (bystander)

Saksi peristiwa adalah seseorang yang menyaksiskan penyerangan

perilaku bully pada korbanya. Saksi peritiwa dapat dengan bergabung

dalam web dan meninggalkan komentar yang menyakitkan, atau tanpa

22

melakukan apapun kecuali, mengamati perilaku bullying (Marden,

2010). Sedangkan menururt Williard, (2007)bystander terbagi menjadi

dua, yaitu : 1) harmful bystander, pengamat yang mendukung peristiwa

bullying atau terus mengamati kejadian tersebut dan tidak memberi

bantuan apapun kepada korban, dan 2) helpful bystander, pengamat

yang berusaha menghentikan bullying dengan cara memberikan

dukungan kepada korban atau memberi tahu orang yang lebih

mempunyai otoritas.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa elemen baik dalam

setiap praktek bullying dan cyberbullying yaitu pelaku (cyberbullies), korban

(victims), dan saksi (bystander). Dalam penelitian ini yang akan digunakan

sebagai dasar pengukuran cyberbullying adalah pelaku (cyberbullies).

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Cyberbullying

Hal yang dapat mengindikasi sebagai faktor penting yang berpengaruh

terhadap bullying dalam literature sebagai faktor yang berperan terjadinya

cyberbullying, menurut Li, (2010) seperti:

a. Bullying Tradisional

Pada penelitian Riebel, Jager & Fisher, (2009) terdapat hubungan antara

bullying yang terjadi secara langsung dengan dunia maya. Maka

memungkinkan bullying yang dimulai secara langsung menjalar ke

23

dunia maya. Hal tersebut memberikan lahan baru bagi pelaku bullying

untuk menghina orang lain.

b. Jenis Kelamin

Banyak penelitian yang telah menujukkan bahwa laki-laki lebih

memungkinkan melakukan tindakan cyberbullying dibandingkan

perempuan.

c. Budaya

Penelitian Li, (2010) mengindikasi budaya merupakan predictor yang

kuat dalamncyberbullying yang sejalan dengan penelitian Baker, (2010)

mengenai bullying bullyingyang memainkan peran penitng dalam

terjadinya bullying dan cyberbullying.

d. Pengguna Internet

Besarnya kebutuhan pengunaan internet bagi manusia memberikan

dampak yang positif, tetap memberikan dampak resiko yang mungkin

terjdai. Dalam hal kehidupan sosial, salah satu ancaman yang serius

adalah cyberbullying.Cyberbullying yang terjadi pada dunia maya,

menjadi masuk akal untuk berasumsi intensitas penggunaan seseorang

dalam penggunaan internet dapat menjadikan sebagai pelaku atau

korban dari dampak buruk yang dapat diakibatkan dari interaksi pada

dunia maya.

Pada penelitian Hoff dan Mitchell, (2009) menemukan beberap faktor

penyebab dari tindakan cyberbullyingyang dikelompokkan pada dua kategori

24

utama, cyberbullying yang disebabkan oleh isu relasi, seperti: (a) putus

hubungan, (b) kecemburuan, (c) pada kecacatan, agama dan gender, dan (d)

kelompok atau geng dan cyberbullying yang tidak berkaitan isu relasi, seperti :

(a) intimidasi golongan luar kelompok dan (b) penyiksaan pada korban.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi cyberbullying diantaranya

adalah bullying tradisional, karakteristik kepribadian, persepsi terhadap

korban, strain, serta peran interaksi orang tua dan anak (Disa, 2011):

a. Bullying tradisional

Peritiwa bullying yang dapat dialami di dunia nyata meiliki pengaruh

besar pada kecenderungan individu untuk menjadi pelaku cyberbullying.

b. Persepsi terhadap koban

Para pelaku mengungkapkan alsan mereka membully adalah karena

karakteristik atau sifat dari korban yang mengundang untuk mereka

bully.

c. Strain

Yaitu kondisi psikis yang ditimbulkan dari hubungan negatif dengan

orang lain yang menimbulkan afek negatif seperti marah dan frustasi

yang mengarah pada kenakalan.

d. Serta peran interaksi orang tua dan anak

Peranan orang tua dalam mengawasi aktivitas anak dalam berinteraksi di

internet merupakan faktor yang cukup berpengaruh pada kecenderungan

anak untuk terlibat dalam aksi cyberbullying.

25

e. Karakteristik kepribadian

Camodeca dan Goosens (dalam Satalina, 2014) mengatakan pelaku

cyberbullying memiliki karakteristik kepribadian yang dominan dan

senang melakukan kekerasan, cenderung temperamental, impulsive,

mudah frustasi, kesulitan mengikuti peraturan, terlibat dalam agresi

proaktif dan agresi reaktif, pandai berkelit pada situasi sulit, serta

terlihat kuat serta menunjukkan sedikit rasa empati atau belas kasian

terhadap korban.

Berdasakan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang

mendasari cyberbullyingadalah bullying tradisional, persepsi terhadap korban,

strain¸serta peran interaksi orang tua dan anak dan karakteristik kepribadian.

Karakteristik kepribadian sendiri mencakup banyak faktor internal, seperti

cenderung tempramen, impulsive, mudah frustasi, kesulitan mengikuti

peratura, terlibat dalam agresi proaktif, dan agresi reaktif, pandai pada situasi

sulit, serta terlihat kuat serta menunjukan seditikit rasa empati atau belas

kasihan terhadap korban. Pada penelelitian ini peneliti menggunakan empati

sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi faktorcyberbullying karena

apabila tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang (berempati) dapat

menimbulkan perilaku cyberbullying.Empati merupakan bagian dalam salah

satu faktor yang mempengaruhi yaitu karakteristik kepribadian.

26

B. Empati

1. Pengertian Empati

Empati berasal dari kata empatheia yang berarti ikut merasakan. Istilah

ini, pada awalnya digunakan oleh para teoritikus estetika untuk pengalaman

subjektif orang lain. Kemudian pada tahun 1920 seorang ahli psikologi

Amerika, E. B. Tichener, untuk pertama kalinya menggunakan istilah mimikri

motor untuk istilah empati. Istilah Tichener menyatakan bahwa empati berasal

dari peniruan secara fisik atas beban orang lain yang kemudian menimbulkan

perasaan serupa dalam diri seseorang (Goleman, 2007)

Kohut (dalam Taufik, 2012) melihat empati sebagai suatu proses dimana

seseorang berpikir mengenai kondisi orang lain yang seakan-akan dia berada

pada posisi orang lain itu. Selanjutnya, Kohut melakukan penguatan atas

definisinya dengan mengatakan bahwa empati adalah kemampuan berpikir

objektif tentang kehidupan terdalam dari orang lain.

Menurut Sears (dalam Asih &Pratiwi, 2010) yang menyatakan bahwa

empati diartikan sebagai perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain dan

menempatkan diri pada posisi mereka. Menurut Baron dan Bryne (Asih &

Pratiwi, 2010) menjelaskan bahwa empati merupakan kemampuan untuk

merasakan emosi orang lain, merasa simpati dan dapat mengambil perspektif

orang lain. Selanjutnya menururt Lickona (SEJIWA, 2008), menjelaskan bahwa

empati merupakan kondisi di mana kita mampu untuk merasakan apa yang

dirasakan oleh orang lain. Menurut Malcom dan Greenberg (dalam Marigoudar

27

& Kamble, 2014), mendefinisikan empati sebagai upaya untuk memahami

persepsi orang yang lain, bukan menilai perilaku orang lain dari perspektif

pengalaman seseorang dalam peristiwa tersebut.

Pangaribuan, (1993) menyebutkan empati berarti masuk ke dalam diri

seseorang dan melihat keadaan dari sisi orang tersebut, seolah-olah adalah

orang itu. Seseorang dapat dikatakan memiliki empati jika ia dapat menghayati

keadaan perasaan orang lain serta dapat melihat keadaan luar menurut pola

acuan orang tersebut, dan mengkomunikasikan penghayatan bahwa dirinya

memahami perasaan, tingkah laku, dan pengalaman orang tersebut secara

pribadi.

Sementara itu, Mead (dalam Eisenberg, 2000) menyatakan bahwa empati

merupakan kapasitas mengambil peran orang lain dan mengadopsi perspektif

orang lain dihubungkan dengan diri sendiri. Dalam bidang klinis, empati

didefinisikan dalam beberapa macam. Misalnya Rogers mengatakan bahwa

empati berguna untuk memahami kerangka internal orang lain dengan akurat,

dan dengan komponen dan arti yang melekat, seolah-olah menjadi orang lain

tanpa meniadakan “kondisi seandainya” (Eisenberg, 2000).

Empati adalah kemampuan merasakan emosi orang lain baik secara

fisiologis maupun mental yang terbangun pada berbagai keadaan batin orang

lain. Perubahan biologis ini akan muncul ketika individu berempati dengan

orang lain. Prinsip umumnya, semakin sama keadaan fisiologis dua orang pada

momen tertentu, semakin mudah pula mereka bisa merasakan perasaannya satu

28

sama lain (D. Goleman, 2007). Menurut Hurlock, (1996) empati adalah

kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati

pengalaman tersebut untuk melihat situasi dari sudut pandang orang lain, jadi

empati merupakan kemampuan untuk menghayati perasaan dan emosi orang

lain.

Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa empati adalah

kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati

pengalaman tersebut untuk melihat situasi dari sudut pandang orang lain, jadi

empati merupakan kemampuan untuk menghayati perasaan dan emosi orang

lain dan mampu untuk merasakan apabila berada pada posisi mereka.

2. Aspek-Aspek Empati

Aspek-aspek dari empati, sebagaimana pendapat Williams, Berard, &

Barchard (2005)

a. Kegembiraan responsif (responsive joy), yaitu perasaan gembira dan

bahagia yang dirasakan oleh individu ketika orang terdekatnya

mengalami kegembiraan dan kebahagiaan.

b. Kepedulian empatik (emphatic concern) yaitu perasaan sedih dan duka

yang dirasakan oleh individu ketika mengetahui ada orang lain yang

kurang beruntung dibandingkan dengan diri sendiri.

29

c. Distress responsive (responsive distress) yaitu perasaan tidak nyaman dan

merasa terganggu dirasakan oleh individu ketika mengetahui orang lain

mengalami masalah (Rachmawati, 2014)

Davis (dalam Howe, 2015) empati terdiri dari aspek perspective taking,

fantasy, emphatic concern dan personal distress. Penjabaran adalah sebagai

berikut:

a. Perspective taking (pengambilan perspektif)

Merupakan perilakuindividu untuk mengambil alih secara spontan sudut

pandang orang lain. Aspek ini akan mengukur sejauh mana individu

memandang kejadian sehari-hari dari perspektif orang lain

b. Fantasi

Merupakan perilaku untuk mengubah pola diri secara imajinatifke dalam

pikiran, perasaan, dan tindakan dari karakter-karakterkhayalan pada buku,

film dan permainan. Aspek ini melihat perilaku individu menempatkan

diri dan hanyut dalam perasaan dan tindakan orang lain.

c. Emphatic concern (perhatian empatik)

Empathic concern merupakan perasaan simpati dan perhatian terhadap

orang lain, khususnya untuk berbagai pengalaman atau secara tidak

langsung merasakan penderitaan orang lain.

d. Personal distress (distres pribadi)

30

Didefinisikan oleh sebagai pengendalian reaksi pribadi terhadap

penderitaan orang lain, yang meliputi perasaan terkejut, takut, cemas,

prihatin, dan tidak berdaya (lebih terfokus pada diri sendiri).

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa aspek empati adalah

kehangatan, kelembutan, peduli, kasihan, perspective taking, fantasi, emphatic

concern, personal distress.Peneliti menggunakan aspek dari Davis (dalam

Howe, 2015) empati terdiri dari aspek perspective taking, fantasy, emphatic

concern dan personal distress.Peneliti menggunakan aspek tersebut karena

telah ada alat ukur skala empati yang disusun oleh Davis.

C. Hubungan Antara Empati dengan Cyberbullying

Perkembangan teknologi yang pesat mendorong individu untuk

mempelajari sesuatu yang baru dan dapat mempengaruhi perilaku

individu.Perkembangan teknologi informasi komunikasi yang semakin pesat

mengakibatkan adanya peralihan dari perilaku bullying ke perilaku

cyberbullying, (siegel, 2012). Dampak negatif dari perkembangan teknologi,

yaitu remaja menyalahgunakan fungsi dari alat teknologi komunikasi informasi

seperti penggunaan internet dan media-media sosial untuk merugikan orang

lain, Beran & Li, 2007).

Faktor yang berperan dalam perilaku cyberbullying yaitu empati.

Kemampuan berempati pada remaja berpengaruh terhadap kemampuan dalam

menjalin interaksi sosial dengan orang lain. Empati merupakan kemampuan

31

individu untuk memahami perasaan orang lain, merasakan apa yang dirasakan

oleh orang lain dan memberikan respon belas kasihan terhadap orang tersebut,

(Goleman, 2011). Empati merupakan salah satu faktor yang penting untuk

meningkatkan perilaku positif kepada orang lain, (Brehm dan Kasssin, 1993).

Empati yang tinggi membuat seseorang dapat menunjukan tolerasi, kasih

sayang, memahami kebutuhan orang lain dan membantu orang lain yang sedang

berada dalam kesulitan, (Borba, 2001). Sementara, empati yang rendah

berhubungan dengan tingginya perilaku agresi, karena remaja yang rendah

empatinya tidak mampu untuk memahami dan merasakan apa yang dialami dan

dirasakan oleh orang lain ketika mengalami perilaku agresi, (Hoffman, 2000 &

Gibbs, 2003). Owleus (dalam Kowalski, dkk. 2008) mengatakan bahwa salah

satu karakteristik pelaku cyberbullying adalah individu memiliki kemampuan

empati yang rendah terhadap korban.

Empati memiliki empat aspek yang dijelaskan oleh Davis (1980) yaitu:

perspective taking,fantasy, emphatic concern, dan personal distress.Perspective

taking sendiri adalah kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut

pandang orang lain secara spontan. Menurut Galinsky & Ku (dalam Taufik,

2012) mendefinisikanya sebagai menempatkan diri sendiri ke dalam posisi

orang lain. Aspek empati yang pertama adalahPersrpective taking. Perspective

taking sendiri secara psikologis dan sosial penting dalam keharmonisan

interkasi antara individu. Seseorang dapat mengoptimalkan kemampuan

berpikirnya untuk memahami kondisi orang lain, melalui pemaknaan sikap dan

32

perilaku yang terlihat. Individu yang mampu menempatkan dirinya pada

keadaan orang lain, maka akan menahan dirinya untuk memperlakukan orang

lain dengan tidak baik. Individu tersebut mencegah dirinya untuk melakukan

kekerasan baik secara verbal ataupun non verbal terhadap orang lain. Karena

individu tersebut mampu merasakan apabila berada dalam keadaan korban.

Seperti halnya dalam cyberbullying, yang dilakukan remaja. Remaja yang

mampu merasakan keadaan orang lain tidak akan mengumbar keburukan

seseorang di internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik orang

tersebut.

Pentingnya kemampuan dalam persepective taking yaitu tidak

berorientasi pada kepentingan sendiri, tetapi pada kepentingan orang lain.

Pengambilan perspektif berhubungan dengan reaksi emosional dan perilaku

menolong pada remaja. Perspective taking menjadi fokus dari banyak perhatian

karena peranya dalam membangun sosial. Seorang remaja yang kurang

memiliki perspective taking akan menjadikan orang tersebut kurang perhatian

dan kurang peka, sehinggaremaja tersebut dapat melakukan perilaku

cyberbullying. Hal ini dijelaskan pada penelitian Krumbholz & Scheithauer

(dalam Gullotta& Evans, 2005), anak laki-laki dan perempuan dengan skor

yang rendah terkait dengan kognitif empati yaitu perspective taking melaporkan

lebih cenderung melakukan perilaku cyberbullying.Sehingga anak yang

memiliki perspective taking yang rendah akan cenderung melakukan tindakan

cyberbullying karena tidak mampu memahami perasaan sedih atau tidak

33

nyaman sebagai korban. Sehingga remaja yang memiliki perspective taking

yang rendah akan mengulangi melakukan cyberbullying secara terus menerus.

Begitupun sebaliknya, jika remaja memiliki perspective taking yang tinggi akan

cenderung tidak akan melakukan cyberbullying. Hal ini dikarenakan remaja

yang memiliki perspective taking yang tinggi akan mengerti perasaan sedih

atau tidak nyaman korban ketika remaja melakukan cyberbullying. Pelaku juga

merasakan ketidaknyamanan tersebut sehingga dia tidak mengulangi

melakukan cyberbulllying.

Feldman, (1985) menambahkan bahwa individu yang memiliki empati

yang tinggi cenderung tidak melakukan perilaku agresi dibandingkan individu

yang memilii empati yang rendah, karena individu yang tinggi empatinya dapat

mengalami emosi orang lain, menempatkan diri pada posisi orang lain dan

memberikan bantuan kepada orang tersebut. Ozkan &Cifci (2009)

mengemukakan bahwa individu yang memiliki empati rendah, cenderung tinggi

melakukan perilaku bullying. Sementara individu dengan empati yang tinggi

mampu untuk memahami persepsi orang lain, kondisi, keadaan dan perasaan

yang dialami prang tersebut, sehingga individu akan lebih mampu untuk

bertoleransi dengan orang lain.

Aspek kedua dari empati yaitu Fantasy(Davis, dalam Howe 2015).

Fantasy merupakan perilaku untuk mengubah pola diri secara imajinatif ke

dalam perasaan dan tindakan dari karakter khayal dalam buku, film, dan

sandiwara yang dibaca atau ditonton. Seseorang yang memiliki imajinasi yang

34

tinggi, akan cenderung membayangkan hal-hal yang telah dilihatnya maupun

dibaca dari sebuah film maupun sebuah buku. Fantasi terkadang melibatkan

situasi yang sangat tidak mungkin atau mungkin cukup realistis. Fantasi

merupakan sesuatu yang tidak nyata, seperti perasaan yang dirasakan oleh salah

satu indra, tetapi sebagai situasi objek yang dibayangkan seseorang. Davis

(dalam Howe, 2015) mengemukakan bahwa fantasi merupakan aspek yang

berpengaruh pada reaksi emosi terhadap orang lain dan menghasilkan perilaku

menolong. Remaja yang memiliki fantasi yang tinggi ketika cyberbullying

terjadi akan memunculkan reaksi emosi dan menghasilkan perilaku menolong

terhadap korban, sehingga remaja akan lebih memahami bagaimana perasaan

korban dan remaja cenderung untuk tidak melakukan cyberbullying. Sebaliknya

remaja yang memiliki fantasi yang rendah ketika cyberbullying terjadi tidak

akan memunculkan reaksi emosi yang menghasilkan perilaku menolong.

Remaja justru hanya akan melihat cyberbullying itu terjadi tanpa ada rasa ingin

menolong korban. Remaja yang memiliki fantasy yang rendah biasanya

memiliki karakter yang lebih cenderung temperamental, pandai memanipulasi

dan berkelit (Camoda dan Goosens dalam Kowalski, 2008) sehingga remaja

membiarkan cyberbullying terus menerus berulang terjadi di sekitarnya.

Aspek ketiga dari empati menurut Davis (1980) adalah emphatic concern,

yaitu perasaan simpati yang berorientasi kepada orang lain dan perhatian

terhadap kemalangan yang dialami orang lain. Keprihatinan empatik adalah

prediktor yang paling penting dari masing-masing perilaku reaktif. Remaja

35

dengan tingkat kepedulian empatik yang tinggi, lebih mungkin untuk

membantu korban cyberbullying, sementara remaja dengan tingkat keprihatinan

empatik yang rendah, lebih mungkin untuk bergabung dalam perilaku bullying

atau tetap pasif. Remaja yang memiliki empiric concern adalah remaja yang

mampu simpati terhadap orang lain dan perhatian terhadap kemalangan yang

dialami orang lain. Remaja yang cenderung memiliki tingkat empiric concern

yang rendah, akan cenderung tidak melakukan apa-apa saat perilaku

cyberbullying terjadi atau lebih mungkin untuk bergabung dalam perilaku

bullying tersebut dikarenakan remaja tidak mampu simpati pada korban

terhadap kemalangan atau perasaan tidak enak yang dalaminya. Namun

sebaliknya, jika remaja memiliki tingkat empathic concern yang tinggi maka

tidak akan membiarkan perilaku cyberbullying tersebut terjadi pada temannya.

Remaja mampu bersimpati kepada korban dan perhatian terhadap kemalangan

yang diaami korban (Cleemput, Vandebosch & Pabiam, 2014).

Personal Distress merupakan aspek empati yang selanjutnya, personal

distress merupakan kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta

kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal tidak menyenangkan.

Personal distress dapat dikatan sebagai empati negatif. Penelitian yang

dilakukan oleh Mitchel, Wolak, dan Finkelhor (dalam Smith, Mahdavi, dkk,

2008) menemukan bahwa terdapat tekanan yang dialami korban dari

cyberbullying, hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku cyberbullying dapat

membuat remaja menjadi depresi dan tertekan. Tekanan yang dialami oleh

36

remaja, bisa menjadikan remaja tersebut menjadi lebih empati, dikarenakan ia

mengetahui bagaimana rasanya bila berada dalam tekanan. Menurut Hinduja

dan Patchin, (2013) remaja yang mengalami personal distreesakan

menjadikanya lebih empati dan tidak melakukan perilaku cyberbullying.

Dari uraian di atas diketahui bahwa empati dapat mempengaruhi

terjadinya cyberbullying. Empati merupakan kemampuan untuk merasakan apa

yang dirasakan oleh orang disekitarnya, sehingga empati dapat mempengaruhi

perilaku dari cyberbullying.

D. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pebelitian di atas, maka hipotesis yang diajukan

dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara empati dengan

cyberbullying pada remaja. Semakin tinggi empati, maka semakin rendah

cyberbullying pada remaja. Sebaliknya, semakin rendah empati, maka akan

semakin tinggi cyberbullying pada remaja.