bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
24
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini Penulis akan membahas mengenai konsep
Lembaga Perwakilan di Indonesia. Berbicara mengenai lembaga
perwakilan, maka tidak bisa terlepas dari konsep Kedaulatan
Rakyat, Lembaga Perwakilan dan konsep Bicameral yang akan
dipahami secara general maupun secara khusus di Indonesia.
Selanjutnya maksud dari bab ini adalah sebagai landasan
teoritis/titik pijak yang akan digunakan untuk memberikan
argumen dan analisis mengenai sistem bikameral yang ideal
untuk diterapkan di Indonesia pada masa yang akan datang.
A. Kedaulatan Rakyat
Dalam proses Perubahan UUD 1945 terjadi pergulatan
pemikiran tentang gagasan kedaulatan rakyat. Pergulatan
pemikiran tersebut berujung dengan diubahnya ketentuan Pasal 1
ayat (2) UUD 1945. Awalnya, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Kemudian
diubah pada Perubahan Ketiga UUD 1945 sehingga rumusannya
25
menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”. MPR yang pada mulanya
dipahami sebagai pemegang mandat sepenuhnya dari rakyat atau
pemegang kedaulatan rakyat yang tertinggi,1 Bergeser ke arah
pemahaman bahwa MPR tidak lagi sebagai pemegang mandat
tunggal yang tertinggi, melainkan mandat itu dilaksanakan
berdasarkan UUD 1945. Dengan demikian, mandat rakyat
dijalankan oleh cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan
UUD 1945, termasuk oleh MPR sebagai salah satu lembaga
penyelenggara kekuasaan negara. Alasan perubahan ini menurut
Jimly Asshiddiqie dikarenakan rumusan Pasal 1 ayat (2) sebelum
Perubahan memuat ketentuan yang tidak jelas, dengan adanya
ungkapan “…dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat” maka ada yang menafsirkan bahwa
hanya MPR sajalah yang melakukan kedaulatan rakyat sehingga
DPR yang merupakan wakil rakyat dipandang tidak
melaksanakan kedaulatan rakyat.2
1 Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui
Perubahan Konstitusi, Asosiasi Pengajar HTN dan HAN dan In-TRANS,
Malang, 2004, hal. 3. 2Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap
Pembangunan Hukum Nasional, Sambutan Pada Seminar Pengkajian Hukum
26
Perubahan gagasan kedaulatan dalam UUD 1945
sekaligus juga dibarengi dengan perubahan terhadap cara rakyat
memberikan mandat terhadap penyelenggara kekuasaan negara.
Sebagai wujud dari gagasan kedaulatan rakyat, dalam sistem
demokrasi harus dijamin bahwa rakyat terlibat penuh dalam
merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan
pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan.
Pelaksanaan keterlibatan penuh rakyat tersebut haruslah
diorganisasikan menurut UUD 1945, tidak lagi diorganisasikan
melalui institusi kenegaraan Majelis Permusyawaratan Rakyat
layaknya ketentuan UUD 1945 sebelum Perubahan. Perbedaan
yang terjadi setelah perubahan itu sangat jelas dan prinsipil.3
Pertama, kedaulatan yang berada di tangan rakyat itu sekarang
tidak lagi dilembagakan hanya pada satu subjek (ordening
subject), MPR sebagai penjelmaan tunggal lembaga negara.
Dalam rumusan yang baru, semua lembaga negara baik secara
langsung ataupun tidak langsung juga dianggap sebagai
penjelmaan dan dibentuk dalam rangka pelaksanaan kedaulatan
Nasional (SPHN) Oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) Republik Indonesia,
Jakarta, 21 November 2005. 3 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op.cit., hal. 292.
27
rakyat. Kedua, pengharusan pelaksanaan tugas menurut ketentuan
UUD tidak hanya satu lembaga saja, yakni MPR, melainkan
semua lembaga negara diharuskan bekerja menurut ketentuan
UUD 1945.
Kedaulatan rakyat Indonesia berdasarkan ketentuan UUD
1945 (constitutional democracy) diselenggarakan secara langsung
dan melalui sistem perwakilan. Kedaulatan rakyat diwujudkan
dalam tiga cabang kekuasaaan yang tercermin dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai pemegang
kekuasaan legislatif, Presiden dan Wakil Presiden sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif, dan Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan yudikatif.
Penyaluran kedaulatan secara langsung (direct
democracy) dilakukan melalui pemilihan umum, pemilihan
Presiden, dan sebagai tambahan yaitu pelaksanaan referendum
untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana
perubahan atas pasal-pasal tertentu dalam UUD 1945. Bentuk
penyaluran kedaulatan rakyat lainnya yaitu melalui pelaksanaan
hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak
28
atas kebebesan informasi, hak atas kebebasan berorganisasi dan
berserikat serta hak-hak asasi lainnya yang dijamin dalam
Undang-Undang Dasar.4 Pada hakikatnya dalam ide kedaulatan
rakyat itu, tetap harus dijamin bahwa rakyatlah yang
sesungguhnya pemilik negara dengan segala kewenangannya
untuk menjalankan semua fungsi kekuasaan negara, baik di
bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Dan tentunya
UUD 1945 dengan segala ketentuannya merupakan penjelmaan
kedaulatan rakyat, baik yang dilaksanakan secara langsung
(direct democracy) maupun yang dilaksanakan secara tidak
langsung atau perwakilan (representative democracy) melalui
lembaga perwakilan rakyat. Oleh sebab itu pula, organ atau
lembaga-lembaga negara yang melaksanakan fungsi kekuasaan
negara dianggap melaksanakan amanat kedaulatan rakyat dan
tunduk pada kedaulatan rakyat berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Apabila hal ini dihubungkan dengan teori kontrak sosial Jean
Jacques Roesseau yang menyatakan bahwa kehendak rakyat yang
berdaulat itu dapat disalurkan dengan dua cara yaitu,5 pertama
adalah kehendak seluruh rakyat yang biasa disebut volunte de
4 Ibid.,
5 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat…, Op.cit., hal.77.
29
tousdan yang kedua adalah kehendak umum yang berarti tidak
harus semua rakyat atau disebut sebagai volunte generale.
Kehendak yang pertama biasa juga disebut sebagai kedaulatan
politik dan yang kedua biasa juga disebut sebagai kedaulatan
hukum.
Dalam kedaulatan rakyat dengan sistem perwakilan atau
demokrasi biasa juga disebut sebagai sistem demokrasi
perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak
langsung (indirect democracy). Di dalam demokrasi perwakilan
ini yang menjalankan kedaulatan rakyat adalah para wakil-wakil
rakyat yang duduk di dalam lembaga perwakilan rakyat atau
biasa juga disebut Parlemen. Para wakil-wakil rakyat tersebut
bertindak atas nama rakyat dan mereka yang kemudian
menentukan corak dan jalannya pemerintahan suatu negara, serta
tujuan apa yang hendak dicapai baik dalam jangka waktu yang
pendek maupun dalam waktu yang panjang. Hal seperti yang
dikatakan Rousseau sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat
melalui kehendak hukum (volunte generale). 6
6 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial),
Visimedia, Jakarta, 2009, hal. 46.
30
B. Konsep Umum Sistem Bicameral
1. Pengertian Sistem Bikameral dan Lembaga
Perwakilan
Dalam negara demokrasi, format keterwakilan rakyat
yang ideal dalam sebuah negara menjadi sesuatu yang sangat
penting. Keberadaan lembaga perwakilan rakyat merupakan
konsekuensi logis dari sebuah sistem demokrasi. Konstitusi
sebagai hukum dasar harus mampu menjawab kebutuhan
tersebut. Sebuah lembaga yang menjadi representasi dalam
penyelenggaraan negara harus diatur dan dimuat dalam
konstitusi.
Secara teoretis, Kontitusi diartikan sebagai seperangkat
aturan yang digunakan untuk membangun atau mengatur
sebuah pemerintahan negara.7 Arti konstitusi memuat aturan
pokok yang digunakan untuk membangun dan mengatur
sebuah pemerintahan negara. Menurut Aristoteles ada tiga
unsur yang harus dipenuhi oleh sebuah pemerintahan yang
berkonstitusi, yaitu: pertama, Pemerintahan dilaksanakan
untuk kepentingan umum. Kedua, Pemerintahan
7 K.C Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern (terjemahan), Pustaka
Eureka, Surabaya, 2003, hal. 1.
31
dilaksanakan menurut yang berdasarkan kepada ketentuan-
ketentuan umum bukan yang dibuat secara sewenang-
wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi.
Ketiga, Pemerintah berkonstitusi berarti pemerintahan
yang dilaksanakan atas kehendak rakyat bukan berupa
paksaan maupun tekanan yang dilakukan pemerintah.8
Setiap unsur yang dikemukakan oleh Aristoteles
tersebut memiliki makna dan konsekusensi yang berbeda.
Pertama, menginginkan bahwa pemerintahan konstitusional
harus mengutamakan kepentingan umum/public dalam hal
ini adalah rakyat. Kedua, mengandung makna bahwa
penyelenggaraan pemerintahan harus berdasar pada hukum
(rule of law). Dengan demikian, hukum tersebut juga harus
dalam rangka melindungi kepentingan rakyat. Ketiga,
mengharuskan pemerintahan dilaksanakan atas kehendak
rakyat.9
Secara umum, struktur organisasi lembaga perwakilan
rakyat terdiri dari dua bentuk yaitu lembaga perwakilan
8 Riri Nazriyah, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di
Masa Depan, UII Press, Yogyakarta, hal. 1. 9 Ibid.,
32
rakyat satu kamar (unicameral) dan lembaga perwakilan
rakyat dua kamar (bicameral).10
Praktik unikameral dan
bikameral tidak terkait dengan landasan bernegara, bentuk
negara, bentuk pemerintahan, atau sistem pemerintahan
tertentu.11
Kedua bentuk itu merupakan hasil proses panjang
praktik ketatanegaraan di berbagai belahan dunia.12
Penerapan sistem bikameral, misalnya, dalam praktiknya
sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan, dan sejarah
ketatanegaraan negara yang bersangkutan.13
Perbedaan latar
belakang sejarah atau tujuan yang hendak dicapai menjadi
salah satu faktor penting yang mempengaruhi sistem
perwakilan rakyat pada suatu negara.
Menurut Dahlan Thaib seperti dikutip H. Subardjo,14
dalam pembentukan sistem lembaga perwakilan bicameral
10
Lihat, John A. Jacobson, An Introduction to Political Science,
West/Wadsworth, Belmont CA, Washington, 1998. 11
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia (FH UII) Press, 2003, Yogyakarta. hal 1. 12
Bivitri Susanti (et.al), Semua Harus Terwakili, Studi Mengenai Reposisi
MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia, 2000, Jakarta. hal 11. 13
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam
Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas
Indonesia Press, 1996, Jakarta. 14
Subardjo, Dewan Perwakilan Daerah (Dpd) Menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan Penerapan
33
perlu ditentukan persamaan dan perbedaan diantara kedua
lembaga tersebut. Kedua lembaga perwakilan ini
mempunyai fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan
fungsi anggaran. Masing-masing lembaga bersidang sekali
setahun.
Kehadiran lembaga perwakilan merupakan wujud dari
demokrasi. Demokrasi menghendaki pemerintahan yang
berasal dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Demokrasi
pada era sekarang dilakukan melalui sistem perwakilan
dalam rangka membentuk “representative government”.
Menurut Arbi Sanit perwakilan di artikan sebagai hubungan
diantara dua pihak yaitu wakil yang terwakili, dimana wakil
memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan
yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan
yang terwakili.15
Perwakilan rakyat terbagi dalam dua prinsip
yaitu keterwakilan secara pemikiran atau aspirasi
Sistem Bikameral Dalam Lembaga Perwakilan Indonesia, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2012, hal. 66-67. 15
Dahlan Thaib, DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 2000, hal.2.
34
(representation in ideas) dan perwakilan fisik atau
keterwakilan fisik (representation in presence).16
Keterwakilan secara fisik diwujudkan dengan
terpilihnya seorang wakil dalam keanggotaan Parlemen.
Dalam keterwakilan fisik tidak ada jaminan bahwa wakil
rakyat akan menyuarakan aspirasi rakyatnya karena sangat
dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya sistem pemilu,
kepartaian bahkan pribadi masing-masing wakil.17
Oleh
karena itu, muncul pemikiran tentang keterwakilan subtantif
(representation in ideas) yang tidak bergantung pada
mekanisme kelembagaan Parlemen.18
Setiap saat rakyat
dapat menyampaikan aspirasinya melalui media masa, forum
dengar pendapat, kunjungan kerja, dll. Artinya keterwakilan
secara fisik tidaklah cukup dan harus diikuti oleh
keterwakilan subtantif.
Selain itu pembagian konsep perwakilan rakyat dapat
dilihat dari sudut pandang hubungan antara yang diwakili
16
Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
Konpress, Jakarta, 2006, hal. 176. 17
Ibid., hal. 177. 18
Ibid.,
35
dan mewakili. Pembagian tersebut dapat dibagi dalam dua
tipe.
a. Perwakilan dengan tipe delegasi atau mandat.
Yang berpendirian wakil rakyat merupakan corong
keinginan rakyat yang terwakili. Ia harus
menyuarakan apa saja keinginan rakyat. Wakil
rakyat terikat dengan keinginan rakyat dan sama
sekali tidak memiliki kebebasan berbicara lain
dari pada yang dikehendaki konstituennya.19
Dalam tipe ini wakil rakyat harus memiliki kontak
secara langsung dan continue dengan
konstituennya. Hubungan ini diperlukan untuk
menjaga ketersambungan aspirasi rakyat dan
wakilnya. Wakil rakyat hanya mempunyai dua
pilihan mengikuti keinginan mayoritas rakyat atau
mundur jika tidak sepakat dengan keinginan
tersebut.
b. Perwakilan dengan tipe trustee (independent)
berpendirian bahwa wakil rakyat dipilih berdasarkan
19
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, Gramedia Widia Sarana,
Jakarta, 1992, hal,174.
36
pertimbangan yang bersangkutan dan memili kemampuan
mempertimbangkan secara baik (good judgement). Wakil
rakyat memiliki kebebasan untuk berbuat dan diberikan
kepercayaan untuk itu. Dasar pertimbangan yang digunakan
oleh wakil rakyat dalam bertindak lebih mengutamakan
kepentingan nasional.20
Dalam melihat hubungan antara wakil dan yang
diwakili Riswandha Imawan dengan mengutip Abcarian
mengemukakan adanya empat tipe hubungan, yaitu.21
1. Wakil sebagai wakil; dalam tipe ini, wakil
bertindak bebas menurut pertimbangannya
sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan
pihak yang diwakilinya.
2. Wakil sebagai utusan; dalam tipe ini wakl
bertindak sebagai utusan dari pihak yang
diwakili sesuai dengan mandate yang
diberikannya.
3. Wakil sebagi politico; dalam tipe ini wakil
kadang-kadang bertindak sebagai wali dan
adakala bertindak sebagi utusan. Tindakan
wakil akan mengikuti keperluan atau
masalah yang dihadapi.
4. Wakil sebagai partisan; dalam tipe ini wakil
bertidak sesuai dengan program partai atau
organisasinya. Wakil akan lepas
hubungannya dengan pemilih (pihak yang
diwakili) begitu proses pemilihan selesai.
20
Ibid.,hal.175. 21
Abdi Yuhana, Sistem Ketananegaraan Indonesia, Pasca Perubahan
UUD 1945, Sistem Perwakilan di Indonesia dan sistem perwakilan di
Indonesia dan Masa Depan MPR RI, Fokus Media, Bandung, 2007, hal. 56.
37
Wakil hanya terikat pada partai atau
oragnisasi yang mencalonkannya.
Masing-masing tipe hubungan tersebut memiliki
kelebihan dan kekurangan. Penerapannya juga sangat
tergantung pada dinamika yang ada baik dalam maupun
luar Parlemen. Dengan demikian tujuan dibentuk Lembaga
perwakilan yaitu dalam dalam rangka untuk mewujudkan
prinsip-prinsip di atas. Struktur yang ada dalam lembaga
perwakilan semaksimal mungkin harus dapat mewakili
seluruh kepentingan rakyat. Secara umum ada tiga prinsip
keterwakilan/representasi dalam lembaga perwakilan yang
dikenal di dunia, yaitu:
1. Representasi politik (political representation)
2. Representasi teritorial (territorial representation)
3. Representasi fungsional (functional
representation).22
Pada mulanya prinsip yang pertama adalah
perwakilan melalui prosedur partai politik sebagai salah
satu pilar demokrasi modern. Keterwakilan politik ini
dianggap belum sempurna sehingga diciptakan saluran
22
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Buana
Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hal. 154.
38
kedua yang merupakan keterwakilan daerah/ fungsional
untuk memberikan double check23
dalam menjalankan
fungsi sebagai lembaga perwakilan. Hadirnya keterwakilan
daerah ini yang dinamakan dengan sistem perwakilan dua
kamar/ bicameral sistem.
Struktur organisasi Parlemen dua kamar atau dalam
istilah yang lain adalah bicameral. Beberapa definisi
tentang bikameralisme dan second chamber adalah sebagai
berikut.
a. Bicameral system: A term applied by Jeremy
Bentham to the division of e legislative body into
two chamber, as in the United States Government
(Senate and House)24
b. Bicameral system: A legislature which has two
chamber rather than one (a unicameral system),
providing checks and balances and lessening, the
rrisk of elective dictatorship. At the birth of the
United, Benjamin Franklin wrote that”aplural
legislature is as necessary to good government as a
single executive.25
c. Bicameral: The devision of legislative or judicial
body into two components or chambers. The US
Congress is a bicameral legislature, since its
divided into two houses, the Senate and the House of
Representatives
23
Ibid., 24
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan
keempat, Pusat Studi Tata Negara FH-UI, Jakarta, 2002, hal. 36. 25
Henry Campbell Black, Black‟s Law Dictionary; Definition Of the terms
and Pharases and English Jurisprudence, Ancient and Modern, ed. VI,
(Minnesota West Group), 1991, hal. 111.
39
d. Second Chambers: Historically second chamber are
rooted in the medieaval idea of representation of
orders or ESTATES. The various social ordersa
were considered to require representation in
defferent methods of selection.
Second chamber atau Upper House di berbagai
negara dikenal dengan variasi nama yang bermacam-
macam. Di Inggris misalnya, dikenal dengan nama House
of Lords, di Switzerland dikenal dengan nama Concil of
States (Standerat), di Jerman dikenal dengan nama
Bundesrat, di Malaysia dikenal dengan dengan Dewan
Negara sedangkan di Autralia, Amerika Serikat, Kanada
dan Prancis dikenal dengan istilah Senate.26
Mengenai kamar kedua atau second chamber, John
Stuart Mill dalam bukunya Representative Government
mengatakan bahwa: „But the house need not both be of the
same composition; they may be intended as check on one
another. One being supposed democratic, the other will
naturally be constituted with aview to its being some
restraint upon democracy” kemudian ia juga berpendapat,
„if one House represent popular feeling, the other should
26
Reni Dwi Purnomo, Op.cit.,hal. 13-14.
40
represent personal merit, tested and guaranteed by actual
public service, and fortified by practical experience. If one
is the people‟s chamber, the other should be the chamber of
statesmen.
Penjabaran klasik tentang fungsi dari second
Chamber atau kamar kedua dikemukakan oleh Lord Bryce.
Bryce mengatakan bahwa second chamber atau kamar
kedua mempunyai empat fungsi, yaitu:
a. Revisions of legislation;
b. Intuition of noncontrolversil bills;
c. Delaying legislation of fundamental
constitutional importance so as „to enable
the opinion of the nation to be adequalitely
expressed upon it;‟ and
d. Public debate.27
Selain fungsi second chamber atau upper house yang
disebutkan oleh Lord Bryce, argumentasi dibentuknya
second chamber atau upper house menurut C.F Strong
dalam bukunya modern political constitution adalah
sebagai berikut.
a. The existence of a second chamber
prevent the passage of precipitate and ill
considered by a single house.
27
Ibid, hal. 15.
41
b. The sense of unchecked power on the part
of single Assembly, concius of having only
itself to consulat, may lead to abuse of
power and tyranny.
c. The should be a centre of resistance to the
pre dominate power in the state at any
given moment, whether it be the people as
a whole or a political party supported by
a majority of voters.
d. In the case of a federal state there is a
special argument in favour of a Second
Chamber which is so arranged as to
embody the federal principle or to
enshrine the popular will of each of the
atates, as distinc from that of the
federation as a whole.28
Ada dua alasan mengapa para penyusun konstitusi
memilih sistem bicameral, alasan pertama adalah, untuk
membangun sebuah mekanisme pengawasan dan
keseimbangan (checks and balance) serta untuk
pembahasan sekali lagi dalam bidang legislative. Alasan
kedua adalah untuk membentuk perwakilan untuk
menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak
cukup terwakili oleh majelis pertama. Secara khusus,
bicameralisme telah digunakan untuk menjamin perwakilan
yang memadai untuk daerah-daerah di dalam lembaga
28
Ibid.,
42
legislatif. Hasil dari kesenjangan reperesentasi di majelis
kedua amat bervariasi di dalam berbagai sistem di dunia.
Status dari majelis kedua diatas sampai tarap tertentu
bergantung pada caranya dipilih. Bila majelis kedua dipilih
oleh pemilih, anggota-anggotanya dapat mengaku memiliki
legitimasi demokratis langsung yang lebih besar. Bila
majelis kedua dipilih secara tidak langsung, anggota-
anggotanya hanya mengandalkan legitimasi sebatas dari
jalur perwakilan yang menentukan keanggotaan mereka.
Bila majelis kedua dipilih langsung oleh pemilih, sistem
atau siklus pemilihan bisa jadi berbeda karena bila tidak,
alasan untuk memiliki dua majelis dapat dipertanyakan
kembali. Kita dapat mengetahui fungsi dan komposisi dari
second chamber/upper houses, dari cara mereka direkrut
yaitu:
a. Tidak dengan pemilihan (non elektive), yaitu
1. Dengan keturunan (hereditary)
2. Dengan pengangkatan (nomineted)
b. Dengan pemilihan (elektive), yaitu
1. Seluruhnya dipilih (fully elected)
2. Sebagian dipilih (partially elected)29
29
Ibid.,hal. 18.
43
2. Model Bikameral di Parlemen
Pembagian model kamar di Parlemen secara
garis besar terbagi dalam dua kelompok sistem, yaitu
sistem unikameral dan bikameral. Namum demikian
ada juga yang menggunakan sistem trikameral dan
bahkan tetracameral. Struktur organisasi parlemen
dengan sistem unicameral terdiri atas satu kamar
sedangkan bicameral terdiri dari dua kamar yang
masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
Sistem trikameral memiliki struktur tiga kamar
sedangkan tentrakameral memiliki empat kamar.
Selama berabad-abad tipe unicameral dan bicameral
yang biasa dikembangkan dimana-mana oleh karena
itu dalam berbagai literature hubungan tata negara
maupun literatur ilmu politik kedua sistem ini yang
lebih popular atau lebih dikenal. 30
a. Sistem Unikameral.
Model unikameral adalah model yang
meletakkan adanya lembaga tunggal sebagai
30
Charles Simabura, Parlemen Indonesia „‟Lintasan Sejarah Dan
Sistemnya‟‟, PT Raja Garfindo Persada, Jakarta, 2011, hal.33.
44
pemegang kuasa di lembaga Parlemen. Bahkan
terdapat beberapa negara yang pada mulanya
bikameral kemudian menghapuskan kamar kedua
sehingga menjadi unicameral. Di Selandia Baru,
legislative Council sebagai kamar kedua dihapuskan
di tahun 1951 dengan alasan tidak efektif. Sedangkan
di Denmark landsting (upper house) dihapuskan di
tahun 1953 karena tidak melingkupi lower house dan
menjadi penghalang pada proses legislasi. 31
Saldi Isra dalam penelitiannya bersama Zainal
Arifin Mukhtar, ada beberapa hal menarik perihal
pilihan untuk membuat model parlemen dengan
kamar tunggal:
“Pertama, pilihan unicameral tersebut bisa
terjadi dengam varian bentuk pemerintahan apapun.
Sebuah pemerintahan presidensial maupun
parlementer juga ada yang mengadopsi model
unicameral ini. Kedua, model unicameral ini juga
sangat bervarian perihal kebutuhan akan representasi.
31
Ibid., Hal. 34.
45
Pengisian Parlemen dengan kamar tunggal ini biasa
terjadi dengan kamar tunggal ini biasa terjadi pada
partai politik, representasi daerah maupun
representasi suku dan jenis kelamin. Ketiga, sebuah
parlemen dalam menjalankan fungi-fungsinya juga
bisa dilakukan dengan model unicameral dengan
menjalankan semua fungsi legislasi, representasi,
kontrol, anggaran maupun rekrutmen jabatan publik.
Keempat, meski mampu menjalankan fungsi, model
unicameral ini kurang mampu menggagas idealitas
fungsi lembaga parlemen. Tanpa kamar kedua, sama
sekali tidak ada control bagi kamar tunggal sehingga
satu-satunya kontrol adalah cabang kekuasaan
lainnya. Tanpa mekanisme kontrol internal tersebut,
kualitas fungsi Parlemen dalam hal legislasi,
representasi, kontrol, anggaran maupun rekruitmen
jabatan publik menjadi berkurang.
Dapat disimpulkan bahwa model unicameral
digunakan pada sistem presidensial maupun
parlementer. Dari aspek efesiensi fungsi-fungsi
46
parlemen, model unicameral dianggap sangat efisien.
Namun hasil dari pelaksanaan fungsi parlemen
tersebut secara kualitas kurang ideal karena tidak ada
kontrol bagi kamar tunggal tersebut kecuali dari
kekuasaan lain. Dalam rangka mewujudkan
representasi baik secara politik, daerah maupun
fungsional semuanya digabungkan dalam satu kamar
parlemen.32
b. Sistem Bikameral
Sistem ini diartikan sebagai sistem yang terdiri
atas dua kamar berbeda dan biasanya dipergunakan
istilah majelis tinggi (Upper House) dan majelis
rendah (Lower House). Masing-masing kamar
mencerminkan keterwakilan dari kelompok
kepentingan masyarakat yang ada baik secara politik,
teritorial, maupun fungsional. Pilihan terhadap
konsep keterwakilan masing-masing kamar sangat
dipengaruh oleh aspek kesejarahan tiap-tiap negara.
Pembedaan keterwakilan pada prinsipnya untuk
32
Ibid., hal. 35.
47
mencegah terjadinya keterwakilan ganda (double
representation). 33
Kewenangan masing-masing kamar
di Parlemen mengikuti kewenangan Parlemen pada
umumnya. Secara konseptual masing-masing kamar
adalah sama dan sederajat.34
Namun dalam
perkembangan selanjutnya ada upaya mengurangi
kewenangan dan peran salah satu kamar sehingga saat
ini sistem bicameral dikatagorikan dalam dua
kelompok besar, yaitu: bicameral kuat (strong
bicameralism) dan bicameral lunak (soft
bicameralism). Pada strong bicameralism dalam arti
kedua kamar dilengkapi dengan kewenangan yang
sama-sama kuat dan saling menyeimbangi satu sama
lain. Sedangkan soft bicameralism diartikan bahwa
kedua kamar tidak memiliki kewenangan yang sama
kuat. 35
33
jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Op Cit,
hal. 185. 34
jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam
Sejarah, Telaah Perbandingan konstitusi Berbagai Negara, UI Press, Jakarta,
1996, hal. 37. 35
jimly Asshiddiqie, Konstitusi…., Op Cit, hal.186.
48
Pemberian kewenangan yang hampir sama kuat
kepada kedua kamar ditujukan agar masing-masing
kamar dapat saling memberikan kontrol dan
menciptakan keseimbangan (check and balance).
Namun, di dalam praktek ketatanegaraan masing-
masing kamar memiliki kewenangan yang berbeda
dimana pada umumnya majelis rendah (lower house)
memiliki kewenangan lebih namun tetap saja
terhadap majelis tinggi (upper house) diberikan
kompensasi untuk dapat memberikan tanggapan atau
pertimbangan yang cukup signifika terutama dalam
proses legislasi.
Dalam pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga
legislatif yang terkait antara hubungan legislatif
dengan lembaga eksekutif, ternyata sebagian sistem
presidensial adalah bicameral. Argumentasi yang
menyatakan sulit mendapat persetujuan dari dua
majelis dan seorang presiden eksekutif adalah suatu
prosedur yang berat dan mustahil menjadi tidak
49
relevan. bahkan sistem Parlamenterian yang memiliki
model yang lebih beragam.36
Pengklasifikasian masing-masing kamar pada
sistem bicameral ditentukan berdasarkan pada proses
pengisiannya. Sifat dasarnya yaitu dipilih (sebagian
atau seluruhnya) atau tidak dipilih (turun temurun
atau diangkat). Proses pengisian yang sudah
dijelaskan pada bagian sebelumnya tidak akan
memberikan arti jika tidak diupayakan untuk
menemukan hak berikut.
1. Sejauh mana majelis tinggi yang pemilihnya
diluar kontrol seluruh rakyat dapat
mempertahankan kekuasaannya yang rill.
2. Sejuah mana unsur terpilih dalam majelis
yang dipilih sebagaian (partially elected
house) dapat mengembangkan diri dan
memiliki kekuatan.
3. Dengan cara bagaimana dead-lock antara
kedua majelis dapat diselesikan apabila
kekuasaan majelis tinggi cukup nyata untuk
merintangi tindakan bebas majelis rendah.
4. Bagaimana kedudukan kamar kedua terpilih
bila diberi kekuasaan yang tidak dimiliki
pula oleh majelis rendah.37
36
Charles Simabura, Parlemen Indonesia…. Op Cit., hal.40. 37
Ibid.,
50
Selain itu pembagian sistem bicameral yaitu
strong bicameralism dan soft bicameralism tidak
hanya pada perbedaan kewenangan saja. Dua kamar
dari legislatif bicameral cenderung berbeda dalam
beberapa cara. Semula, fungsi yang paling penting
dari second chamber atau upper house, memili
dengan dasar dari suatu hak suaranya yang terbatas,
sebagai rem konservatif terhadap lower house yang
dipilih secara lebih demokratis.38
Menurut Arend Lijphart ada enam perbedaan
antara kamar pertama dan kamar kedua, tiga hal yang
secara khusus penting dalam membedakan apakah
bicameralism adalah suatu institusi yang signifikan.
Kita membedakan dengan melihat tiga perbedaan
yang kurang penting, yaitu:
1. Kamar kedua cenderung lebih kecil dari
kamar pertama.
2. Masa jabatan legislatif kedua cenderung
lebih lama dari kamar pertama.
3. Ciri-ciri umum yang lain dari kamar kedua
dipilih dengan cara pemilihan bertahap
(staggered election).
Ketiga perbedaan ini memengaruhi urusan
mereka dalam suatu cara yang lebih formal dan santai
dari pada yang biasanya terdapat pada kamar yang
38
ibid,. hal 41.
51
lebih besar. Tetapi dengan suatu pengecualian
disebutkan secara ringkas, mereka tidak memengaruhi
suatu pertanyaan apakah suatu negara yang
mempunyai Parlemen bicameral adalah suatu institusi
yang benar-benar kuat atau berarti.
Penggolongan sistem bicameral „kuat‟ (strong
bicameralism) atau „lunak‟ (soft bicameralism)
menurut Andrew S. Ellis adalah sebagai berikut.39
Pertama dalam sistem yang „kuat‟ pembuatan
undang-undang biasanya dimulai dari majelis
manapun, dan harus dipertimbangkan oleh kedua
majelis dalam forum yang sama sebelum bisa
disahkan. Sebaliknya dalam sistem „lunak‟, majelis
yang satu memiliki status yang lebih tinggi dari yang
lain.
Menurut Ramlan Surbakti, ada beberapa
pertimbangan Indonesia mengadopsi sistem
bikameral yang masing-masing mewadahi
keterwakilan yang bebeda, yaitu distribusi penduduk
39
Ibid.,
52
Indonesia menurut wilayah sangat timpang dan
terlampau besar terkonsentrasi di Pulau Jawa, serta
sejarah Indonesia menunjukkan aspirasi kedaerahan
sangat nyata dan mempunyai basis materiil yang
sangat kuat yaitu dengan adanya pluralisme daerah
otonom seperti daerah istimewa dan otonomi
khusus.40
Sejalan dengan Ramlan Surbakti, Bagir Manan
memandang ada beberapa pertimbangan bagi
Indonesia menuju sistem dua kamar.
a. Seperti diutarakan Montesquieu, sistem dua kamar
merupakan suatu mekanisme checks and balances
antara kamar-kamar dalam satu badan perwakilan.
b. Penyederhanaan sistem badan perwakilan. Hanya
ada satu badan perwakilan tingkat pusat yang
terdiri dari dua unsur yaitu unsur yang langsung
mewakili seluruh rakyat dan unsur yang mewakili
daerah. Tidak diperlukan utusan golongan.
Kepentingan golongan diwakili dan disalurkan
melalui unsur yang langsung mewakili seluruh
rakyat.
c. Wakil daerah menjadi bagian yang melaksanakan
fungsi parlemen (membentuk undang-undang,
mengawasi pemerintah, menetapkan APBN, dan
40
Ramlan Surbakti, “Menuju Demokrasi Konstitusional: Reformasi
Hubungan dan Distribusi Kekuasaan”, dalam Maruto MD dan Anwari WMK,
Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan Peluang Menuju
Demokrasi, LP3ES,2002, Jakarta. hal.15.
53
lain-lain). Dengan demikian segala kepentingan
daerah terintegrasi dan dapat dilaksanakan sehari-
hari dalam kegiatan parlemen. Hal ini merupakan
salah satu faktor untuk menguatkan persatuan,
menghindari disintegrasi.
d. Sistem dua kamar akan lebih produktif. Segala
tugas dan wewenang dapat dilakukan setiap unsur.
Tidak perlu menunggu atau bergantung pada satu
badan seperti DPR sekarang.41
Jimly Asshiddiqie menambahkan, dengan adanya
dua majelis di suatu negara dapat menguntungkan karena
dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-
tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double
check). Keunggulan sistem double check ini semakin
terasa apabila Majelis Tinggi yang memeriksa dan
merevisi suatu rancangan itu memiliki keanggotaan yang
komposisinya berbeda dari Majelis Rendah.42
Bahkan
menurut Soewoto Mulyosudarmo, sistem bicameral bukan
hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu negara,
tetapi dilihat pula dari proses pembuatan undang-undang
41
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia (FH UII) Press, 2003, Yogyakarta.hal. 22. 42
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam
Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas
Indonesia Press, 1996, Jakarta. hal. 6.
54
yang melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui Majelis
Tinggi dan Majelis Rendah.43
c. Sistem Trikameral
Sistem trikameral merupakan model pengkamaran
yang menempatkan adanya tiga lembaga di dalam sistem
parlemen di suatu negara. Jimly Asshiddiqie menyatakan
bahwa Indonesia saat ini menerapkan sistem trikameral.
Dikatakan demikian karena masing-masing lembaga
berfungsi sebagai lembaga permanen dan memiliki
kewenangan yang berbeda-beda.
Sistem trikameral sudah menjadi sangat sulit untuk
ditemukan, sejarah mencatat bahwa hanya Afrika Selatan
yang pernah menerapkan sistem ini, itu pun terjadi pada
masa apharteid. Di mana melalui pemilu pada tahun
1983, terdapat tiga kamar yang masing-masing mewakili
warna kulit tertentu yakni, House of Assembly (178
anggota yang merepresentasikan kelompok kulit putih),
House of Representatives (85 anggota yang
43
Soewoto Mulyosudarmo, Pembaruan Ketatanegaraan Melalui
Perubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa
Timur, 2004, Surabaya. hal. 14.
55
merepresentasikan kaum berwarna dan ras campuran),
House of Delegates (45 anggota yang merepresentasikan
orang-orang Asia).44
d. Sistem Tetrakameral
Penerapan tetrakameral hampir sama dengan
trikameral, walau sangat jarang dikenal, namun beberapa
negara di daerah tengah Eropa memiliki Parlemen yang
dapat digolongkan sebagai tetrakameral. Praktek sistem
ini sangat jarang dikenal khususnya karena memang
unicameral dan bicameral yang banyak dikenal dalam
prakteknya, disbanding dengan trikameral dan
tetrakameral. Namun sejarah juga mencatat pernah adanya
negara yang menerapkan model ini, yaitu daerah
Medieval Scandinavia melalui model Deliberative
Assembly yang secara tradisional terbagi ke dalam empat
lingkup, yakni the nobility (ningrat), the clergy (pendeta),
the burghers (warga kota, pedagang dan pengrajin), and
the peasants (petani). Swedia menjadi salah satu negara
44
Ibid.,
56
yang menerapkan sistem ini dalam kurun waktu yang
cukup lama.
Berdasarkan apa yang telah Penulis jelaskan di
atas maka yang menjadi fokus dalam penelitian ada sistem
bicameral yang ideal sehingga sistem unicameral,
tricameral dan tetracameral yang penulis paparkan pada
sub bab ini hanya bersifat informatif untuk mengetahui
model-model kamar di Parlamen, dan bagaimana bentuk
dari model-model kamar tersebut sekaligus sebagai
pembanding lembaga perwakilan yang ideal. Ada dua
alasan mengapa para penyusun konstitusi memilih sistem
bicameral, alasan pertama adalah, untuk membangun
sebuah mekanisme pengawasan dan keseimbangan
(checks and balance) serta untuk pembahasan sekali lagi
dalam bidang legislative. Alasan kedua adalah untuk
membentuk perwakilan untuk menampung kepentingan
tertentu yang biasanya tidak cukup terwakili oleh majelis
pertama. Secara khusus, bicameralisme telah digunakan
untuk menjamin perwakilan yang memadai untuk daerah-
daerah di dalam lembaga legislatif. Hasil dari kesenjangan
57
reperesentasi di majelis kedua amat bervariasi di dalam
berbagai sistem di dunia.
C. Bikameral Kuat dan Lemah
Antara Parlemen bicameral kuat dan lemah, Arend
Lijphart membedakan menjadi tiga ciri, yaitu.
1. Kekuasaan yang diberikan secara formal oleh konstitusi
terhadap kedua kamar tersebut.
2. Bagaimana metode seleksi mereka, biasanya
memengaruhi legitimasi demokratis dari kamar-kamar
tersebut.
3. Perbedaan yang krusial antara dua kamar dalam
legalislative bicameral adalah kamar kedua mungkin
dipilih dengan cara atau desain yang berbeda juga
sebagai perwakilan (over represent) minoritas tertentu/
khusus. Jika dalam kasus ini, dua kamar berbeda dalam
komposisi mereka. Dapat disebut incongruenti, contoh
yang paling mencolok adalah paling banyak kamar
kedua dipergunakan sebagai kamar federal pada suatu
federasi.45
Pertama, kekuatan formal. Biasanya, jika terjadi
konflik, Keputusan senat bisa ditimpa oleh majelis rendah.
Di antara 36 negara yang dipelajari Lijphart pada tahun 2012,
baik parlementer maupun presiden sistem dia menyebutkan
Italia, Swiss, Amerika Serikat, Argentina dan Uruguay
sebagai Sistem dimana secara formal, kedua ruang memiliki
45
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral dalam
Parlemen Indonesia, Op.,Cit, hal. 21-22.
58
posisi yang sama. Sekali itu Juga kasusnya di Belgia,
Denmark dan Swedia, namun kedua negara terakhir memiliki
sejak beralih ke sistem unikameral dan di Belgia, sejak tahun
1993, Belum ada pertanyaan tentang persamaan.46
Kekuatan formal mengacu pada bagaimana konstitusi
suatu negara mengatur. Dalam hal format lembaga
perwakilan di Indonesia, DPR memiliki kewenangan yang
dominan sedangkan DPD sebagai kamar kedua memiliki
posisi yang sangat lemah karena sejak awal secara formal
sudah dibatasi oleh Peraturan Perundang-undangan.
Faktor kedua yang menurut Lijphart penting adalah
metode pemilihan atau pemilihan para senator Senat yang
tidak memiliki legitimasi elektoral langsung, karena mereka
dipilih secara tidak langsung atau bahkan ditunjuk, tidak
memiliki legitimasi demokratis dan oleh karena itu pengaruh
politik aktual yang mereka miliki jika mereka secara
langsung terpilih, bahkan jika mereka kadang memiliki
kekuatan yang tampaknya kuat . Di sisi lain, seorang senat
46
Ibid.,
59
yang dipilih secara langsung dapat menggunakan ini
mengkompensasi sejauh kurangnya kekuatan formal.
Apabila mengacu pada sistem pemilihan yang
dilakukan di Indonesia maka sudah seharusnya DPD
mempunyai legitimasi yang kuat karena DPD langsung
mewakili kepentingan masyarakat daerah pemilihannya
sedangkan DPR lebih berorientasi pada perwakilan partai
politik.
Faktor ketiga yang dipertimbangkan Lijphart adalah
pertanyaan apakah minoritas terlalu banyak diwakili dalam
senat. Biasanya ini berbentuk lebih representasi dari negara
bagian atau provinsi yang lebih kecil dalam kaitannya
dengan ukurannya, seperti pada Amerika Serikat, Kanada,
Australia, Jerman dan Swiss, atau representasi berlebihan
dari daerah pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan,
seperti di Perancis. Minoritas di Indonesia senat lebih baik
diwakili, karena pemilihan senat menggunakan sistem
representasi proporsional, sedangkan sistem mayoritas
digunakan untuk pemilihan rumah bawah dalam sistem
bikameral lainnya, kedua ruangan tersebut dipilih melalui
60
sistem pemilihan yang sebanding, seperti di Italia dan
(terlepas dari yang tidak langsung karakter pemilihan) juga di
Belanda. Lijphart menganggap senat lebih kuat jika
komposisinya berbeda dari bilik lainnya.
Berdasarkan ketiga faktor tersebut, Lijphart membuat
analisis kekuatan bikameralisme di negara yang ia pelajari.
Lijphart mengatakan sistem terkuat adalah sistem dimana
kekuatan dan legitimasi kedua ruang adalah kira-kira hampir
sama kuatnya (ruangnya simetris) dan senat menyediakan
sebuah lebih representasi dari minoritas dibandingkan
dengan ruangan lainnya komposisi ruang tidak sesuai).47
Lijphart menggambarkan Belanda sebagai cukup kuat
karena hak veto mutlak hak, senat Inggris adalah kasus
terpisah, karena (asimetris) majelis tinggi, dalam istilah yang
ketat, tidak sesuai (over-representasi dari minoritas), tetapi
ini adalah peninggalan masa pra-demokrasi. Karena itu,
Lijphart posisi itu antara cukup kuat dan lemah.
47
Ibid.,