bab ii tinjauan pustaka, hasil penelitian dan...
TRANSCRIPT
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN
ANALISIS HAK TERHADAP PEMEGANG SAHAM
MINORITAS
Gambaran tentang tinjauan kepustakaan atas hak pemegang saham
minoritas yang penulis uraikan dalam bab ini tidak lain dimaksudkan untuk
menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah. Rumusan masalah penelitian
yang Penulis maksudkan itu adalah bagaimana hak pemegang saham
minoritas (minority interests) menurut hukum bisnis internasional atau hukum
yang mengatur mengenai transaksi bisnis internasional yang ada di dalam
kepustakaan.
Isi kepustakaan yang menjelaskan konsep-konsep di balik
perlindungan terhadap pemegang saham minoritas (minority interests) tersebut
terdiri dari hakikat pemegang saham minoritas, pertanggung jawaban
perusahaan terhadap pemegang saham minoritas, peranan badan pengadilan
terhadap perlindungan pemegang saham minoritas, dan arti penting dari studi
kepustakaan hak pemegang saham minoritas. Konsep-konsep demikian itu
diapkai sebagai pedoman untuk melihat bagaimana perlindungan terhadap
hak-hak pemegang saham minoritas di perseroan terbatas memanifestasikan
18
diri di dalam putusan-putusan satuan amatan Skripsi dan Penelitian ini yang
digambarkan setelah uraian kepustakaan mengenai konsep-konsep
perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham minoritas tersebut. Tentang
bagaimana keberadaan hak-hak pemegang saham minoritas itu
memanifestasikan diri di dalam putusan-putusan yang telah digambarkan
terlebih dahulu tersebut, terutama bagaimana prinsip-prinsip hukum yang
berkaitan dengan hak-hak pemegang saham minoritas memanifestasikan diri
di dalam Putusan 137, dalam Bab ini, hal itu Penulis tempatkan di bawah
judul analisis hak-hak pemegang saham minoritas. Hanya saja, berikut di
bawah ini, bagaimana kepustakaan hukum di Indonesia (jika ada) membahas
aspek perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dan ketentuan
hukum perdagangan atau bisnis internasional mengatur mengenai hal tersebut.
2.1. Konsep Hak terhadap Pemegang Saham Minoritas
Secara leksikal, yaitu pengertian terhadap apa yang disebut sebagai
pemegang saham minoritas dalam kamus hukum, dirumuskan sebagai:
“Those stockholders of a corporation who hold so few shares in
relation to the total outstanding that they are unable to control the
management of the corporation or to elect directors” 19
(Dapat
diterjemahkan, mereka pemegang saham dari suatu perusahaan yang
memiliki atau memegang begitu sedikit saham jika dibandingkan
dengan total saham seluruhnya ditambah lagi mereka tidak dapat
mengontrol manajemen perusahaan atau pengangkatan direktur)
19
Black, Henry Campbell, “Black’s Law Dictionary”, St Paul Minn: West Publishing Co.,
1990. hlm., 997.
19
Dalam kaitan dengan apa yang baru saja dikemukakan Penulis di atas,
kepentingan pemegang saham mayoritas dengan kepentingan pemegang
saham minoritas dalam suatu perseroan terbatas seringkali bertentangan satu
dengan yang lain. Ada pendapat bahwa pertentangan kepentingan antara
kedua kelas pemegang saham perseroan terbatas tersebut adalah faktor utama
yang menyebabkan hak pemegang saham minoritas dalam suatu perusahaan
seringkali diabaikan bahkan dirugikan. Untuk menjaga kedua belah pihak,
dalam hal ini pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas agar
tidak saling merugikan, kepustakaan dalam ilmu hukum mengenal prinsip
“Mayority Rule Minority Protection.”
Menurut prinsip ini, yang memerintah (the ruler) di dalam perseroan
tetap pihak pemegang saham mayoritas, tetapi kekuasaan pihak pemegang
saham mayoritas tersebut haruslah dijalankan dengan selalu melindungi (to
protect) pihak pemegang saham minoritas20
.
Berlandaskan prinsip majority rule minority protection sebagaimana
telah Penulis kemukakan di atas, maka literatur hukum kemudian memerinci
beberapa hak pemegang saham minoritas. Hak pemegang saham minoritas
yang pertama, hak positif. Hak seperti itu dimengerti sebagai pemegang
saham minoritas diberikan kesempatan untuk mengambil inisiatif-inisiatif
tertentu sehingga pelaksanaan bisnis perusahaan tidak merugikan
kepentingannya. Selanjutnya hak yang kedua yaitu hak negatif.
20
Dr. Munir Fuady, Perlindungan Pemegang Saham Minoritas, CV. Utomo, Bandung, 2005.
hlm., 89.
20
Dalam kategori hak seperti itu pemegang saham minoritas diberikan
hak untuk memblokir/menghambat/memveto terhadap tindakan-tindakan
tertentu yang diambil oleh perusahaan yang merugikan kepentungan
pemegang saham minoritas. Kategori ketiga yaitu hak normalisasi, pihak
pemegang saham minoritas diberikan hak untuk memaksa perusahaan untuk
menuruti ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-unndangan atau
dalam anggaran dasar perusahaan.
Kategori keempat hak kompensasi, jika terjadi tindakan yang
merugikan pemegang saham minoritas, maka kepada pemegang saham
minoritas tersebut tidak diberikan hak untuk menghambat atau memblokir
tindakan perusahaan meskipun dengan tindakan perseroan tersebut,
kepentingan pemegang saham minoritas akan dirugikan21
.
21
Dr. Munir Fuady, Perlindungan Pemegang Saham Minoritas, CV. Utomo, Bandung, 2005.
hlm., 93-94.
21
2.2. Perspektif Hukum Perdagangan Internasional Melindungi Saham
Minoritas
Gambaran kepustakaan tentang bagaimana hukum positif Indonesia
memberikan perlindungan terhadap pemegang saham minoritas (proteection
of minority shareholders), terutama bagi pemegang saham minoritas yang
berinvestasi dalam bisnis yang berdimensi perdagangan internasional seperti
yang dihadapi oleh Livio di atas, terasa tidak mencukupi.
Penulis juga menyadari bahwa ketidakcukupan kepustakaan, jika tidak
mau dikatakan tidak ada sama sekali kepustakaan yang ditulis dalam bahasa
Indonesia yang membicarakan mengenai hal itu, disamping UU Perseroan
Terbatas22
yang mengakui bahwa setiap pemegang saham berhak
mengajukan gugatan terhadap Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa
alasan wajar sebagai keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Komisaris. Ini
mengindikasikan bahwa ada perlindungan terhadap pemegang saham
minoritas yang hak-haknya dikesampingkan. Mengingat setiap saham yang
dikeluarkan mempunyai satu hak suara23
Oleh sebab itu, Penulis menyambut baik apa yang diungkapkan dalam
suatu Penelitian Ilmiah dalam bidang hukum24
yang tidak dipublikasikan di
22
Lihat Pasal 61 Ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007
23
Lihat Pasal 84 Ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007
24
Gambaran kaedah hukum yang diambil dari Kepustakaan dimaksud Penulis ambil dari
Penelitian Individuil Jeferson Kameo SH., LL.M., Ph.D yang dilakukan di Glasgow dari
tahun 2001 sampai dengan 2005. Penelitian tersebut tidak dipublikasikan, oleh karea itu
22
bawah ini, sebagai gambaran aspek hukum dalam Kepustakaan yang dapat
menuntun pengkajian atas Putusan 137 yang menjadi satuan amatan utama
Penelitian dan Penulisan Karya Tulis Kesarjanaan yang dilakukan oleh
Penulis ini.
Gambaran kepustakaan dalam rangka menjawab rumusan masalah
Penelitian ini yaitu bagaimana hak pemegang saham minoritas (minority
interests) menurut hukum bisnis internasional atau hukum yang mengatur
mengenai transaksi bisnis internasional dimaksud, Penulis pilah ke dalam
beberapa bagian sebagai berikut:
2.2.1. Pengendalian dalam Perusahaan menurut Perspektif Hukum
Membicarakan mengenai aspek hukum perlindungan terhadap
pemegang saham minoritas dalam perspektif hukum perdagagnan
internasional tidak terlepas dari pemahaman akan prinsip atau kaedah hukum
umum yang berkaitan dengan itu, yaitu bahwa pemegang saham yang
mempunyai hak untuk memilih (the voting shareholders) adalah pihak yang
mengendalikan perusahaan (control the company)25
. Dimaksudkan dengan
para pemegang saham yang mempunyai hak pilih itu adalah, sudah disinggung
juga dalam kutipan yang lebih dahulu telah Penulis kemukakan di atas,
pemegang saham yang menguasai lebih dari 50 prosen (per cent) dari
pemegang saham yang mempunyai hak pilih.
Penulis berterima kasih kepada Pak Jeff yang telah memberikan akses menggunakan hasil
penelitian tersebut untuk kepentingan penelitian dan analisis untuk Skripsi ini. 25
Hasil penelitian individuil Jeferson Kameo, Catatan Kaki No. 19 di atas. Ibid. Selanjutnya,
sepanjang rujukan berada dari hasil penelitian individuil ini maka referensi untuk catatan kaki
hanya disebut dengan Jeferson Kameo saja.
23
Golongan atau si pemegang saham tersebut dapat membuat keputusan
apa saja dalam rapat umum pemegang saham (ordinary resolution).
Sementara itu, apabila seorang atau golongan pemegang saham itu menguasai
75 prosen saham maka orang itu juga dapat mengadakan suatu rapat umum
luar biasa (extraordinary) atau rapat istimewa (special resolution). Begitu
pula dengan mereka yang menguasai jumlah saham di antara angka prosentasi
sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka orang-orang itu dapat
melakukan pengendalian yang beraneka macam di dalam perseroan dimaksud.
Kaitan dengan isu bagaimana perlindungan terhadap pemegang saham
minoritas, prosentase sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas dapat
menjadi suatu persoalan penting tatkala seseorang mempertimbangkan untuk
menanamkan modalnya atau berinvestasi di suatu perusahaan.
Sebagai contoh, manakala seseorang yang bernama (A) mengundang
seseorang lain bernama (B) untuk mendirikan suatu perusahaan dengan
dirinya, dan menyarankan supaya si (B) memasukkan 49 prosen dari saham
perusahaan dimaksud sementara si (A) mengambil 51 prosen, maka
kepemilikan mereka atas perusahaan tersebut memang terlihat hampir
berimbang (almost equal). Hanya saja, kekuasaan mereka untuk
mengendalikan perusahaan itu sangat jauh dari berimbang (very far from
equal), meski hanya selisih satu prosen. Di sinilah isu pemegang saham
minoritas mulai muncul. Si (B) akan sangat berhati-hati untuk menerima
proporsi tawaran saham yang diberikan oleh si pihak (A) tersebut.
24
Dalam kaitan dengan isu hak pemegang saham minoritas, orang
mungkin saja berpendapat bahwa si (B) sekurang-kurangnya akan memiliki
suatu derajat mengendalikan perusahaan itu secara negatif “negative control”.
Maksudnya, dengan jumlah suara yang demikian itu dia dapat saja melakukan
blokir terhadap diselenggarakannya rapat umum pemegang saham yang
istimewa. Namun demikian, dengan jumlah saham yang lebih kecil,
katakanlah 25 prosen, maka (B) sama sekali tidak mempunyai kekuasaan
untuk mengendalikan perusahaan tersebut.
Sementara itu, apabila tiap-tiap pemegang saham (the two
shareholders) itu masing-masing menguasai 50 prosen saham maka keduanya
mempunyai kekuasaan untuk melakukan pengendalian secara negatif. Tidak
ada satu pun dari kedua belah pihak itu bisa memaksakan diselenggarakannya
suatu rapat umum pemegang saham jenis apa pun, baik itu luar biasa,
istimewa maupun rapat umum pemegang saham biasa dan sebagainya.
Sehingga orang pada umumnya berpendapat bahwa penguasaan yang
seimbang yaitu 50 prosen masing-masing menguasai saham seperti itu
merupakan suatu penguasaan atas saham perusahaan yang ideal dari dua orang
yang menjadi pemilik perusahaan itu.
Hanya saja, keadaan yang seimbang itu bisa jadi mungkin memang
ideal apabila kedua belah pihak itu rukun-rukun saja (the shareholder get on
with each other). Hanya sja, manakala ada suatu kebuntuan (complete
dealock) maka jalan hukum yang selama ini tersedia adalah Pengadilanlah
yang akan membubarkan perusahaan itu (wind the company up), jika satu dari
25
kedua belah pihak yang berhubungan hukum itu meminta kepada pihak
Pengadilan. Hukum perdagangan internasional mendikte (the Law dictates)
bahwa dasar permohonan kepada pengadilan tersebut adalah apa yang disebut
dengan kaedah just and equitable26
(kepantasan dan kepatutan atau adil).
Kaedah hukum seperti itu muncul dalam Re27
Yenidge tobaco Co Ltd28
[1916] 2 Ch 426. Dalam kasus itu Pengadilan melikuidasi perusahaan yang
bernama Yenidge Co Ltd, padahal menurut hakim perusahaan itu adalah suatu
perusahaan yang lagi bonafid dan untung atau profitable. Dibubarkannya
perusahaan itu oleh hakim karena dua direkturnya yang juga adalah pemegang
saham, dalam hal ini Mr. Rothman dan Mr. Weinberg sudah berada pada titik
tidak bisa berkompromi antara satu dengan yang lainnya (had reached
complete deadlock).
Hakim yang memutus kasus itu bernama Cozen-Hardy Mr
mengatakan: „Certainly, having regard to the fact that there are only two
26
Jeferson Kameo mengartikan kaedah itu ke dalam bahasa hukum di Indonesia sebagai
sesuai dengan kepantasan dan kepatutan atau keadilan.
27
Kata Re menunjuk kepada suatu situasi bahwa dalam sengketa itu si Penggugat diwakili
oleh Perusahaan karena perintah pengadilan. Hal inilah mekanisme internasional yang
memungkinkan seseorang meminta kepada hakim untuk membela kepentingan dirinya dan
juga kepentingan perusahaan itu dari kungkungan mayoritas, apabila hakim mengabulkan
maka posisi orang itu tidak ditulis namanya hanya dicatatkan saja di pengadilan tetapi diberi
tanda Re. Demikian penjelasan Jeferson Kameo. Pendapat peneliti tersebut reliable
mengingat yang bersangkutan mengenyam pendidkan hukum di Inggris dan Skotlandia.
28
[1916] 2 Ch 426., dikutip dari Jeferson Kameo. Perlu Penulis kemukakan di sini bahwa
menurut Jeferson Kameo, tanda [1916] adalah tahun diputusnya dan juga tahun publikasi
dari jural hukum yang bernama Ch. Ch adalah jurnal hukum tempat kaedah hukum dapat
ditemukan karena memuat apa yang dikatakan oleh hakim yang didikte oleh hukum bernama
Law Reports Chancery Division. Jurnal ini mulai diterbitkan dan masih terus dipublikasikan
hingga saat ini. Hal ini dikemukakan dalam buku Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
26
directors who will not speak to each other, and no business which deserves
the name of business in the affairs of the company can be carried on, I think
the company should not be allowed to continue”. Memperhatikan apa yang
terjadi dengan Mr. Rothman dan Mr. Weinberg itu, orang dapat
mengatakan: “lah bagaimana dengan situasi apabila satu dari kedua pihak itu
adalah pemegang saham minoritas, misalnya hanya memegang 49 prosen?‟.
Di bawah ini perkembangan kaedah untuk mengatasi kebuntuan minoritas
manakala ada ketakutan sebagaimana baru saja dikemukakan tersebut.
2.2.2. Hakikat Hak Saham Minoritas Perspektif Ilmu Hukum
Apakah sejatinya hakikat (the nature) dari isu atau kaedah perlidungan
terhadap pemegang saham minoritas, yang dalam kasus ini akan dipergunakan
untuk menganalisis satuan amatan yaitu Putusan 137 Pengadilan Negeri
Semarang itu? Dalam ilmu hukum, dalam hal ini Kontrak Sebagai Nama Ilmu
Hukum, setiap kaedah itu haruslah dilihat sebagai suatu kontrak. Itu berarti,
termasuk kaedah-kaedah yang memberikan perlindungan kepada kepentingan
pemegang saham minoritas dalam suatu Perusahaan pun adalah contracts.
Sedangkan Kontrak dalam Perspektif Ilmu Hukum tersebut didefinisikan
sebagai:
“It is the group of kinds of obligations all concerned with legal
duties undertaken by persons, by promises to, or agreement with,
another, to give or do or refrain from doing something to of for
another, or with legal duties imposed by law to give or do
something to or for another where justice requires it though there
27
is no promise”29
.(Dapat diterjemahkan, Segenap kewajiban bagi
setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain untuk
memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap
atau untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap
kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk
memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap
atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun
tidak diperjanjikan sebelumnya).
Berikut di bawah ini, perlindungan terhadap pemegang saham
minoritas itu Penulis lihat atau kaji dalam perspektif kontrak sebagai
nama ilmu hukum, dalam di bawah ini metoda yang Penulis pergunakan
adalah perbandingan hukum, dimana kaedah transaksi bisnis
internasional yang berlaku di Inggris dan Skotlandia dilihat sebagai
sesuatu kontrak atau sesuatu yang harus dilakukan dalam memberikan
perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, baik itu yang ada di
dalam keputusan-keputusan pengadilan (Yurisprudensi) dan legislasi
yang berlaku di negara itu, kemudian hal itu dipergunakan dengan
transposisi untuk membeda atau menganalisis Putusan 137 yang menjadi
satuan amatan Penelitian dan Penulisan Karya Tulis Ilmiah Kesarjanaan
Penulis ini.
29
Definisi dikutip dari Buku Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, hlm., 2.
28
2.2.3. Kaedah Foos v Harbottle30
Hukum Transaksi Bisnis Internasional
Posisi dari pemegang saham minoritas menurut kaedah hukum yang
mengatur mengenai perdagangan internasional dimulai dari munculnya suatu
kaedah yang bernama the rule in Foss v Harbottle. Kaedah yang bernama
Foss v Harbottle mengandung hukum yang mengatur bahwa manakala ada
perbuatan melawan hukum atau kesalahan yang dilakukan terhadap suatu
perusahaan maka hanya perusahaan itu sajalah yang mempunyai hak untuk
mengajukan gugatan dalam kaitannya dengan perbuatan tersebut.
Di sinilah muncul persoalan bagi pemegang saham minoritas yang
dirasakan tidak begitu terlindungi dalam suatu perusahaan oleh ketentuan
peraturan yang pernah berlaku. Kasus Foss v Harbottle31
bermula dari dua
orang anggota dari suatu perusahaan yang menggugat lima orang direktur dari
perusahaan tersebut sebab para direktur itu telah menjual tanah dengan harga
yang sudah dimark-up atau ditinggikan dari harga normal kepada perusahaan
yang mereka nahkodai itu sehingga dengan demikian perusahaan itu
mengalami kerugian.
Aturan yang mengunci hak pemegang saham minoritas di balik Foss v
Harbottle adalah bahwa pemegang saham yang dua itu tidak mempunyai hak
untuk mengajukan gugatan. Kaedah itu lebih jauh menandasakan bahwa
apabila para direktur dari perusahaan itu sudah melakukan kesalahan yang
30
Jeferson Kameo, Ibid.
31
(1843) 2 Hare 461. Dikutip dari Jeferson Kameo, Hasil Penelitian Ilmiah yang tidak mau
Dipublikasikan.
29
merugikan perusahaan itu maka hak untuk mengajukan gugatan atas pihak
yang merugikan perusahaan itu terletak pada perusahaan yang bersangkutan.
Apa yang merugikan pemegang saham minoritas adalah bahwa perusahaan
yang bersangkutan sangat tidak mungkin melakukan gugatan seperti itu sebab
perusahaan itu dikendalikan oleh para direktur yang didugat oleh kedua orang
pemegang saham yang berbuat curang (the very directors who had cheated
it!), sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Memang, ada pendapat bahwa Foss v Harbottle mengandung manfaat,
dalam hal ini akan mencegah diajukannya banyak gugatanyang akan
dilancarkan kepada perusahaan seperti dalam kasus Foss v Harbottle. Ada
pendapat bahwa apabila setiap orang di dalam suatu perusahaan memperoleh
hak dari hukum untuk mengajukan gugatan atas suatu dugaan adanya
perbuatan melawan hukum yang dilakukan terhadap perusahaan yang
bersangkutan maka apa yang terjadi adalah akan banyak sekali jumlah
gugatan yang berpotensi muncul sebagaimana terjadi di dalam kasus Foss v
Harbottle.
Peristiwa itu kemudian memunculkan tuntutan akan adanya
perlindungan terhadap pemegang saham minoritas yang juga dibicarakan oleh
Penulis sebagai karya tulis kesarjanaan Penulis dalam Skripsi ini.
Di Inggris dan di dunia internasional, sebagaimana penelitian
individual yang tidak dipublikasikan yang dilakukan oleh Jeferson Kameo
menemukan Foss v Harbottle telah mentriger munculnya berbagai keputusan
30
pengadilan dan produk peraturan legislatif yang didikte oleh hukum
perdagangan internasional dan dikenal secara populer dengan hukum transaksi
bisnis internasional disusun atas keprihatinan yang dilihat di dalam Foss v
Harbottle. Aturan-aturan yang memberikan perlindungan kepada pemegang
saham minoritas, yang juga telah menjadi keprihatinan Tri Budiono dan
Rudhi Prasetya perlu dimunculkan di dalam sistem hukum Indonesia
sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas akan digambarkan di bawah ini.
2.2.4. Isu Hak Saham Minoritas dalam Yurisprudensi Tetap dan Legislasi
Jeferson Kameo dalam temuan penelitian yang tidak dia publikasikan
menyatakan bagaimana hukum mendikte (the Law dictates) para hakim
Inggris bertransposisi terhadap hukum di Skotlandia untuk mematuhi kaedah
hukum perdagangan internasional dalam memberikan perlindungan terhadap
pemegang saham minoritas dalam tiga situasi.
Pertama, tatkala ada suatu penipuan terhadap minoritas (where there is
a fraud on the minority). Kedua, jika perbuatan yang dilakukan itu dapat
digolongkan sebagai suatu tindakan sewenang-wenang atau melampau
kekuasaan dan ilegal (if the act done is ultra vires or illegal). Ketiga,
manakala hak perseorangan seorang anggota, termasuk jika si anggota itu
adalah pemegang hak atas jumlah saham yang minoritas (where the personal
rights of a member have been infringed). Berikut di bawah ini, merujuk
penelitian individuil yang tidak dipublikasikan oleh Jeferson Kameo, Penulis
31
memerinci gambaran tentang bagaimana perlindungan terhadap pemegang
saham minoritas hasil dikte hukum kepada hakim-hakim di Inggris tersebut.
Manakala ada suatu penipuan terhadap minoritas (where there is a
fraud on the minority) atau pihak yang lemah itu dapat dijelaskan dengan
melihat beberapa perilaku di bawah tangan (underhand behaviour); cara
melihat fraud atas minoritas seperti itu diambil mengingat sulit bagi Penulis
untuk mendefinisikan apa yang dimaksudkan dengan fraud tersebut. Definisi
bisa dibuat hanya saja kurang menguntungkan, menurut Penulis jika
dibandingkana dengan memahami konsep fraud melalui ilustrasi kasus, tradisi
belajar ilmu hukum (Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum)32
yang
dikembangkan di Skotlandia. Beginilah situasi itu, yang hanya bisa dilukiskan
dengan memperhatikan yurisprudensi tetap yang pernah di putus di Inggris,
disamping nantinya dalam Bab ini juga dikemukakan bagaimana hal itu terjadi
di Indonesia dalam Putusan 137 yang sudah berkekuatan hukum tetap
(inkrahck van gewijde).
Di dalam kasus-kasus yang pernah diputus di Inggris itu dapat dilihat
bagaimana pemegang saham minoritas mengalami apa yang disebut dengan
fraud, suatu situasi dimana hak-hak pemegang saham minoritas itu menjadi
tumbal, terlihat seperti sandiwara reality show yang enak ditonton dan
dipelihara, karena hak-hak pemegang saham minoritas itu diinjak-injak namun
dalam banyak hal kadang-kala dijadikan bahan lawakan oleh para pemimpin
32
Lihat buku: Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga yang ditulis oleh Jeferson Kameo.
32
masyarakat di negara itu untuk menyatukan suatu komunitas tersebut, atau
untuk membuat semacam hiburan, seolah-olah dunia ini belum pernah
dimerdekakan, alias masih ada misi penyelamatan dunia yang belum
selesaikan oleh Hukum.
Yurisprudensi pertama, Cook v Deeks33
adalah satu yurisprudensi tetap
yang penting, dimana dalam kasus itu Cook adalah satu dari empat direktur
dalam suatu perusahaan jasa konstruksi. Perusahaan jasa konstruksi itu adalah
perusahaan yang sering sekali menjalankan suatu bisnis jasa konstruksi yang
mendatangkan banyak keuntungan dengan perusahaan lain, berdimensi
transkasi bisnis internasional, yaitu the Canadian Pacific Railway Company.
Suatu waktu, ketika suatu perjanjian baru sedang berada di tingkat
negosiasi antara perusahaan tempat Cook itu dengan the Canadian Pacific
Railway Company, tiga direktur sekaligus juga adalah pemegang saham di
perusahaan tempat Cook itu bekerja menutup perjanjian itu untuk mereka
sendiri, tidak untuk perusahaan Cook juga bekerja. Ketiga direktur itu
menguasai dan memiliki total saham di perusahaan tempat Cook bekerja
sebesar 75 prosen.
Itu artinya, Cook adalah pemegang saham minoritas dalam situasi
suatu perusahaan yang sedang menjalankan operasi bisnis atau transaksi bisnis
internasional. Ketiga direktur itu membuat suatu resolusi, rapat umum
33
[1916] 1 AC 544 (PC)
33
pemegang saham, bahwa perusahaan dimana Cook itu bekerja dan menguasai
serta memiliki saham minoritas tidak punya kepentingan dengan perjanjian
baru yang semula dinegosiasi untuk perusahaan tetapi belakangan disusupi
untuk kepentingan si tiga direktur tersebut.
Cook mengajukan gugatan ke pengadilan, mengajukan dalil bahwa
rapat umum pemegang saham (the resolution) yang dibuat oleh ketiga direktur
yang menguasai 75 prosen saham di atas tidak berlaku (ineffective) dan Cook
juga meminta hakim agar keuntungan yang diperoleh dari perjanjian yang
dibuat atas nama tiga direktur itu, dan bukan atas nama perusahan Cook juga
bersama dengan tiga direktur tersebut harus diambil dan diberikan kepada
peruahaan. Hakim dalam Cook v Deeks memberikan Putusan (holding) yang
melindungi pemegang saham minoritas dan kasus itu menjadi Landmark yang
sangat terkenal hingga saat ini. Hakim dalam kasus itu menyatakan bahwa
ketiga direktur selain Cook telah melakukan apa yang disebut sebagai fraud
terhadap pemegang saham minoritas34
.
Yurisprudensi kedua, yaitu yurisprudensi yang di dalamnya
mengandung kaedah hukum yang mendikte perlindungan terhadap pemegang
34
Yurisprudensi ini diambil dari hasil penelitian individuil Jeferson Kameo yang tidak
dipublikasikan. Penelitian Jeferson Kameo memiliki nilai reabilitas yang sangat tinggi sebab
yang bersangkutan mempunyai akses langsung ke tangan pertama. Di tengah kenyataan
bahwa begitu mahalnya biaya untuk memperoleh akses terhadap dokumen-dokumen yang
memuat kasus-kasus itu untuk diverivikasi (syarat keilmuan), yang bersangkutan (Jeferson
Kameo) membaca langsung dokumen-dokumen tempat tersimpannya kasus-kasus yang telah
menjadi Yurisprudensi itu; sebab seperti telah dikemukakan di atas, yang bersangkutan
mengenyam pendidikan tinggi hukum di Inggris dan skotlandia. Tidak banyak orang
memperoleh akses dan kesempatan yang sama, dan sebagai mahasiswa yang membutuhkan
rujukan ilmiah seperti itu merasa sangat memperoleh manfaat dari penelitian individuil atas
kasus-kasus Yurisprudensi itu.
34
saham minoritas yaitu Re J. Beauforte (London) Ltd35
. Dalam kasus itu, di
dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (Memorandum)
mencantumkan pemberian kekuasaan atau kewenangan Perusahaan tersebut
untuk menjalankan perusahaan yaitu pembuatan pakaian dan gaun perempuan.
Hanya saja, pada kenyataannya Perusahaan tersebut yaitu J. Beauforte
(London) Ltd., justru melakukan bisnis yang lain sama sekali, yaitu membuat
venir panel dari kayu. Akibat dari keputusan Perusahaan yang tidak sejalan
dengan apa yang sudah diamanatkan di dalam AD-ART Perusahaan itu, J.
Beauforte (London) Ltd membuat perjanjian-perjanjian dengan sejumlah
developer untuk membuat suatu bangunan pabrik yang baru, demikian pula si
pihak Perusahaan, dalam hal ini J. Beauforte (London) Ltd., membuat
perjanjian-perjanjian dengan sejumlah pihak untuk mensuplai venir dan juga
anehnya batu bara yang sudah diolah (coke). Perusahaan itu kemudian
menjadi bangkrut.
Para developer dan pedagang-pedagang yang membuat perjanjian
dengan J. Beauforte (London) Ltd belum dibayar dan oleh sebab itu mereka
menggugat atas dasar perjanjian yang telah dibuat. Menarik, bahwa dalam
kasus ini baik para developer maupun pihak pedagang itu tidak berhasil
memenangkan gugatan sebab semua perjanjian itu adalah ultra vires (beyond
the powers) atau melampaui kekuasaan maupun kewenangan. Pihak minoritas
yang ikut sebagai turut tergugat di dalam gugatan itu (Re) dilindungi dari
35
[1953] 1 All ER 634. Sumber, masih merujuk kepada Penelitian individuil Jeferson
Kameo.
35
tuntutan kepada J. Beauforte (London) Ltd untuk membayar ganti rugi. Hakim
juga mengemukakan pandangan jika semua pihak yang dirugikan, secara
konstruktif sejatinya mengetahui adanya ultra vires itu.
Yurisprudensi ketiga, yaitu yurisprudensi mengenai adanya tuntutan
hukum untuk memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas,
dalam hal hak perseorangan seorang anggota, termasuk jika si anggota itu
adalah pemegang hak atas jumlah saham yang minoritas (where the personal
rights of a member have been infringed) dirugikan. Yurisprudensi ketiga itu
adalah Pender v Lushington36
. Dalam Yurisprudensi tersebut, Anggaran Dasar
Perseroan mengandung ketentuan bahwa setiap jumlah sepuluh suara terdapat
satu hak untuk memilih, hanya saja tidak ada satu anggota pun berhak
memiliki hak untuk memilih lebih dari seratus suara (100 votes).
Agar supaya kelebihan dari saham-saham itu tetap bernilai suara,
seorang pemegang saham yang memegang dan memiliki lebih dari seribu
saham mengalihkan sisa dari saham yang tidak bernilai suara itu kepada
anggota dalam perusahaan itu bernama Pender. Orang terakhir itu merupakan
pemegang saham minoritas dalam perusahaan tersebut.
Si Direktur perusahaan tersebut, bernama Lushington, menolak untuk
menerima suara yang timbul dari saham-saham yang dikuasai oleh Pender
dan Pender pun menggugat pihak Lushington. Hakim memutus bahwa
36
[1877] 6 Ch D 70.
36
saham-saham yang dikuasai Pender telah dialihkan secara sah, sehingga apa
yang dilakukan Lushington tidak menerima saham-saham Pender tersebut
adalah merupakan suatu pelanggaran terhadap hak Pender sebagai satu
anggota dari Perusahaan.
Disamping kaedah-kaedah hukum yang melindungi pemegang saham
minoritas sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, dalam Yurisprudensi,
studi kepustakaan yang tetap sama merujuk kepada hasil penelitian individuil
Jeferson Kameo juga membuktikan bahwa ada kaedah-kaedah hukum
transaksi bisnis internasional yang diadopsi ke dalam beberapa regulasi yang
berkaitan dengan Undang-undang Perseroan Terbatas37
yang berlaku di
Inggris. Dalam apa yang disebut dengan The Insolvency Act 1986, seperti
diungkap Jeferson Kameo, Hakim dapat melikuidasi (wind a company up)
suatu perusahaan38
dengan alasan bahwa pembubaran perusahaan itu
merupakan suatu perbuatan yang pantas dan patut atau berkeadilan (just and
equitable to do so). Hak pemegang saham minoritas yang dilindungi di sini
terlihat dari kenyataan bahwa UU itu membolehkan, bahkan seorang
pemegang satu saham saja (a single shareholder) dapat memiliki hak untuk
menggugat tersebut.
Sementara itu, dalam UU Perseroan Terbatas Inggris sendiri
ditentukan bahwa siapa saja anggota suatu perseroan terbatas dapat
37
The Companies Act 1985, merujuk kepada hasil penelitian Jeferson Kameo yang tidak
dipublikasikan.
38
Pasal 122 – 124 of the Insolvency Act 1986, merujuk penelitian individuil Jeferson Kameo.
37
mengajukan gugatan kepada Pengadilan atas dasar hukum bahwa urusan-
urusan dari suatu Perseroan Terbatas sedang, atau telah, atau bakal, dilakukan
dengan suatu cara yang tidak adil merugikan (unfairly prejudical) terhadap
semua anggota (shareholders) dari perusahaan itu atau kepada anggota
tertentu dari Perusahaan tersebut.
Manakala Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan (the conduct)
yang bersangkutan adalah langkah-langkah yang tidak adil dan merugikan,
maka Pengadilan dapat melakukan: (1) memerintahkan kepada Perusahaan
tersebut untuk bertindak-tanduk menurut cara-cara tertentu yang telah
ditentukan di kemudian hari; (2) mencegah Perusahaan itu untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tertentu; (3) memerintahkan Perusahaan itu untuk
menggugat perbuatan salah atau melawan hukum yang sudah dilakukan
kepada Perusahaan itu; (4) memerintahkan kepada beberapa anggota dari
perusahaan itu untuk membeli saham-saham yang dikuasai oleh pihak lain; (5)
membuat perintah apa saja yang menurut Pengadilan pantas39
.
Berikut di bawah ini Penulis merasa perlu untuk mengemukakan
bagaimana hakim di Inggris telah menerapkan kelima jalan perlindungan
kepada pemegang saham minoritas yang diatur oleh legislasi di negara itu, dan
yang juga dalam hal tertentu tidak terlalu berbeda dengan perlindungan
39
Hasil Penelitian Individuil Jeferson Kameo, tidak dipublikasikan.
38
terhadap pemegang saham minoritas yang dikenal dalam legislasi yang
berlaku di Skotlandia40
.
Kasus yang pertama yaitu Re HR Harmer Ltd41
. Dalam kasus itu,
pihak Harmer yaitu suatu perusahaan yang bergerak dan sukses meraup
banyak keuntungan besar dalam bidang usaha penjualan perangko-perangko
antik yang bernilai tinggi. Harmer kemudian mendirikan suatu Perusahaan
(HR Harmer Ltd) untuk membeli (take over) kegiatan usaha yang sudah
dijalankan sebelumnya oleh Harmer itu.
Kedua anak-anaknya, seperti ayah mereka, adalah merupakan direktur
dari Perusahaan yang baru didirikan oleh Harmer itu. Harmer tetap
mempertahankan hak memilih pengendalian (voting control) atas Perusahaan
itu sekalipun kedua anaknya itu menguasai dan memiliki hampir seluruh
saham dari Perusahaan itu. Ketika usia si Harmer mencapai 88 tahun, kedua
anaknya itu menggugat pengadilan meminta pembebasan (relief) dengan dalil
bahwa orang tua mereka itu benar-benar mengabaikan keinginan mereka
berdua, Harmer menjalankan Perusahaan itu seolah-olah ia masih memiliki
Perusahaan mereka tersebut.
Lagi pula, Harmer, menurut kedua anaknya itu, telah mengambil
keputusan yang sangat buruk, memekerjakan detektif swasta untuk mengawasi
40
Ibid.
41
[1958] 3 All ER 589 9CA). Hasil Penelitian Individuil Jeferson Kameo, tidak
dipublikasikan.
39
para karyawan perusahaan itu dan mengabaikan (countermaded) resolusi atau
keputusan-keputusan yang diambil dalam Rapat Umum Pemegang Saham
yang dilakukan oleh para direktur Perusahaan tersebut. Hakim memutuskan,
Harmer seharusnya menjadi Presiden Direktur dari Perusahaan itu seumur
hidup, namun tidak ada kekuasaan yang khusus tentang apa pun yang
diberikan kepada si Harmer, selanjutnya Harmer juga berhak atas gaji. Para
hakim itu juga memerintahkan si Harmer tidak lagi menginterfensi urusan-
urusan Perusahaan tersebut terkecuali ada keputusan yang sah untuk
melakukan hal itu yang dibuat oleh Dewan Direksi (the Board of Directors).
Sedangkan kasus yang kedua, yaitu Re Nuneaton Borough Athletic
Football Club42
. Daam kasus yang kedua itu, Perusahan hanya dikuasakan
untuk menerbitkan 2000 surat saham dengan masing-masing senilai satu
Pounsterling. Si Penggugat telah membeli 24 ribu surat saham, sekalipun
penerbitan semua surat saham itu tidak pernah dilakukan secara sah. Dengan
demikian hal itu berarti bahwa si Penggugat itu telah membelanjakan suatu
jumlah uang yang sangat besar sekali, namun saham-saham terhadap mana
uang si Penggugat itu dibelanjakan adalah saham-saham yang tidak pernah
ada.
Hakim memutus bahwa si pemilik atas dua ribu lembar saham yang
diterbitkan secara sah harus mengalihkan sebanyak 1007 kepada si pihak
Penggugat dengan suatu harga yang wajar (a fair price). Namun demikian,
42
[1989] BCLC 454. Merujuk Penelitian Individuil Jeferson Kameo.
40
ada suatu syarat bahwa si Penggugat harus membayar suatu hutang yang
sangat besar yang telah dibuat oleh si pemegang dua ribu saham terhadap
Club (Nuneaton Borough Athletic Football Club) tersebut.
Kasus yang ketiga yaitu; Re Sam Weller and Sons Ltd43
. Si Penggugat
dalam kasus itu memiliki 42.5 prosen saham dalam suatu perusahaan yang
dikendalikan oleh Pamannya, Sam Weller. Selama tiga puluh tujuh tahun,
Perusahaan itu tidak pernah meningkatkan dividennya, sekalipun mengalami
banyak keuntungan dalam tahun-tahun terakhir sebelum kasus diajukan ke
Pengadilan.
Pada tahun 1985, dari keuntungan neto sebesar tiga puluh enam ribu
Pounsterling, si Paman hanya membayar dividen sebanyak dua ribu enam
ratus lima puluh Pounsterling. Hakim memutus bahwa apa yang dilakukan
oleh Sam Weller adalah suatu perbuatan yang disebut dengan menimbulkan
kerugian yang tidak adil (unfair prejudice) atau di Indonesia mungkin sapat
disebut dengan perbuatan melawan hukum44
. Pada saat itu, seorang hakim
yang bernama P. Gibson J mengatakan:
“It is asserted by the petitioners that the sole director is
conducting the affairs of the company for the sole benefit of
himself and his family, and that while he and his sons are taking
43
[1990] Ch 682. Lagi-lagi, merujuk Penelitian Individuil Jeferson Kameo yang tidak
dipublikasikan.
44
Sehingga menurut pandangan Penulis, di Indonesia, ketentuan yang memberikan
perlindungan kepada pemegang saham minoritas sudah ada, yaitu KUHPerdata yang
megnatur mengenai perbutan melawan hukum (PMH).
41
an income from the company, he is causing the company to pay
inadequate dividens to the shareholders ... (whose interests may
be not only prejudiced by the policy of low dividend payments,
but unfairly prejudiced)”45
. (Maksudnya adalah; telah didalilkan
oleh para Penggugat bahwa si satu-satunya Direktur dari
Perusahaan itu telah menjalankan urusan dari Perusahaan
tersebut hanya semata-mata untuk kepentingan dirinya sendiri
dan keluarganya, dan tatkala dia dan anak-anaknya mengambil
atau meraup gaji dan pendapatan dari Perusahaan itu, dia
menyebabkan Perusahaan tersebut membayarkan dividen yang
tidak memenuhi syarat kepada para pemegang saham
Perusahaan itu ... (semua pemegang saham yang
kepentingannya mungkin saja tidak semata dirugikan oleh
kebijakan Perusahaan membayar dividen yang rendah, tetapi
lebih dari itu juga menimbulkan suatu kerugian yang tidak adil).
Demikianlah gambaran tentang studi kepustakaan mengenai kaedah
hukum dalam transaksi bisnis internasional yang memberikan perlindungan
kepada pemegang saham minotiras yang telah diadopsi di Inggris dan
skotlandia, baik oleh para hakim melalui Yurisprudensi yang berlaku di sana
dan juga dalam regulasi yang dibuat di negara-negara itu. Berikut di bawah
ini, apakah kaedah perlindungan terhadap para pemegang saham minoritas itu
juga dikenal di Indonesia dalam suatu analisis terhadap Putusan 137. Namun
sebelum analisis itu dikemukakan terlebih dahulu perlu dikemukakan di sini
gambaran tentang Putusan 137 tersebut.
45
Penelitian Individuil Jeferson Kameo.
42
2.3. Hasil Penelitian Satuan Amatan dimana Ada Aspek Isu Kepentingan
Minoritas
Kasus yang menjadi satuan amatan, yang dalam pandangan Penulis
mengandung persoalan atau isu atau kaedah dalam hukum perdagagnan
internasional atau hukum dan transaksi bisnis internasional yang memberikan
perlindungan terhadap pemegang saham minoritas tersebut terjadi di
Pengadilan Negeri Semarang. Pengadilan Negeri Semarang memutus perkara
telah melahirkan Putusan 137. Putusan itu telah berkekuatan hukum tetap pada
21 September 2004.
2.3.1. Pihak dalam Sengketa Hak Terhadap Pemegang Saham Minoritas
Jeferson Kameo menggariskan, bahwa setiap studi, mau dikatakan
sebagai studi ilmu hukum, dalam perpektif Kontrak Sebagai Nama Ilmu
Hukum46
, maka studi itu tidak hanya menentukan bahwa sesuatu yang distudi
itu adalah suatu kontrak, namun setelah itu harus menunjuk siapa si subyek
hukum (the party to contract) yang mengemban hak-hak dan kewajiban
(obligations) di sana. Atas dasar itu, maka apa yang ada di dalam satuan
amatan Penulis, ternyata adalah bahwa pihak-pihak yang ada di dalamnya
dimulai dari Livio47
.
46
Kajian, studi Penulis terhadap buku Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang ditulis oleh Jeferson Kameo.
47
Pihak yang dalam Putusan 137 sebagai Penguggat, di atas telah disingkat hanya Livio saja.
Pihak ini elemen internasional, sehingga dimensi hukum yang ada di dalam Putusan 137
adalah hukum trainsaksi bisnis (dalam hal ini investasi saham dalam Perseroan Terbatas
Modal Asing (PMA) di Indonesia.
43
Pihak Livio adalah seorang pekerja swasta berkebangsaan Italy. Livio
adalah pemegang saham minoritas, atau apa yang nantinya Penulis analisis
kemudian disebut dalam Bahasa Inggris Hukum sebagai protection of minority
shareholders, sebab Livio, dalam pengamatan penulis atas Putusan 137
tersebut hanya menguasai dan memiliki sepuluh prosen saham di PT. Antik
Dimensi yang berinvestasi di Demak (Indonesia).
Dua pihak lainnya yang berhadapan dengan Livio menguasai sembilan
puluh prosen saham, yaitu pihak-pihak yang digugat, dalam hal ini Ny.
Naning Tjatoerprilyani Oetami, untuk selanjutnya disebut dengan Ny.
Naning. Pihak ini sejatinya juga merupakan pemegang saham minoritas yang
harus mendapatkan perlindungan, hanya saja, kebetulan, dalam Putusan 137
ini, Ny. Naning yang bergabung dengan Mr. Tarantino berada dalam posisi
atau kedudukan yang berhadap-hadapan (vis-a-vis) dengan Livio. Ny.
Naning, sama halnya dengan Livio juga seorang pekerja swasta,
berkebangsaan Indonesia, tinggal di Semarang. Pihak (the party to contract)
selanjutnya yang juga merupakan seorang pekerja swasta berikutnya yang
sudah bekerja di Indonesia 20 tahun lebih bernama Mr. Nuzio Tarantino
(untuk selanjutnya disingkat Nuzio), berkebangsaan Italia menguasai delapan
puluh prosen saham di perusahaan yang sama.
2.3.2. Saat Mulainya Isu Hak Terhadap Pemegang Saham Minoritas
Adapun dalam duduk perkara, atau dalam hal ini Penulis istilahkan
sebagai isu dimulainya, atau saat mulainya persoalan perlindungan hukum
44
terhadap pemegang saham minoritas, dimilai dari dalam Putusan 137 adalah
sebagai berikut.
Berdasarkan akta Notaris Nomor: 1 tertanggal 30 Januari 2001 yang
dibuat oleh Dra. Jessica Linjani, SH., yang berkantor di Ungaran, Jawa
Tengah, dan oleh Notaris tersebut telah dibuatkan akta pendirian PT. Antik
Dimensi. Pihak yang adalah suatu perusahaan atau badan hukum itu didirikan
untuk jangka waktu tiga puluh tahun. PT. Antik Dimensi bermaksud dan
memiliki tujuan menjalankan usaha di bidang industri meubel dan
perdagangan impor/ekspor atas hasil produksi dari PT. Antik Dimensi.
Direktur PT. Antik Dimensi adalah Ny. Naning, dengan Mr. Nunzio sebagai
Komisaris. Keseluruhan Modal PT. Antik Dimensi, yang tidak dinyatakan di
atas kertas adalah tiga puluh miliar rupiah.48
Dalam rangka menunjang pelaksanaan operasional perseroan tersebut
maka dibutuhkan sebidang tanah guna mendirikan bangunan gudang dan
kantor. Kemudian diputuskan pihak PT. Antik Dimensi, sebagai subyek
hukum menggunakan tanah milik Ny. Naning, subyek hukum lainnya, di luar
keberadaan Ny. Naning sebagai Direktur PT. Antik Dimensi dan di luar pula
kedudukannya sebagai pemegang saham di PT. Antik Dimensi. Ny. Naning
adalah pemilik sebidang tanah bersertifikat hak milik Nomor 210 dengan luas
kurang lebih seribu seratus dua puluh dua meter persegi.
48
Menurut Mr. Tarantino (Nunzio), ketika berlangsungnya suatu eksekusi yang berakibat
pada tidak berartinya sama sekali Putusan 137 yang telah memberikan perlindungan terhdap
saham minoritas, Livio.
45
Sertifikat Hak Milik atas Tanah (SHM) tersebut bertertanggal 26
Agustus 1994 dan dalam gambar situasi tertanggal 30 Juli 1994 No. :
3517/1994 tertulis atas nama Naning Tjatorpriyani Oetami (Ny. Naning)
dan dikeluarkan oleh kantor Pertanahan Kabupaten Demak Propinsi Jawa
Tengah. Perjanjian49
Nomor 1 tertanggal 01 Februari 2001 yang dibuat
dihadapan Dra. Jessica Linjani, SH.
Dalam kontrak atau Akta Perjanjian tersebut para pihak adalah Ny.
Naning berkedudukan sebagai pihak yang memberikan hak atas tanahnya
kepada Ny. Naning sendiri, namun dalam kedudukan sebagai Direktur PT.
Antik Dimensi menggunakan tanah50
tersebut. Sedangkan Mr. Tarantino,
dan dalam konteks penelitian dan penulisan karya tulis kesarjanaan ini, sudah
tentu Livio, dalam kepentingannya sebagai pemegang saham minoritas (a
minority shareholder) untuk dirinya (Livio) sendiri dan untuk PT. Antik
Dimensi sebagai Orang, atau suatu Subyek Hukum dimana Livio adalah pihak
di dalamnya, adalah sebagai pihak yang menggunakan tanah milik Ny.
Naning sebagai pribadi.
Penggunaan tanah milik Ny. Naning itu, tentu untuk mendirikan
bangunan-bangunan yang adalah milik PT. Antik Dimensi, dimana di
dalamnya juga ada kepentingan Livio sebagai pemegang saham minoritas,
dalam Perjanjian tersebut dinyatakan bahwa biaya sepenuhnya ditanggung
49
Nama Akta No. 1 tersebut bukan Sewa-Menyewa. Yang betul adalah suatu Perjanjian.
50
Bersama dengan empat bidang tanah lainnya, namun tidak disebutkan di dalam Akta
Perjanjian No. 1.
46
oleh PT. Antik Dimensi, yang tidak saja dikuasai oleh sembilan puluh prosen
saham dari pihak Mr. Tarantino dan Ny. Naning, tetapi juga ada
kepentingan saham minoritas yaitu Livio.
Bidang tanah yang tadinya hanya satu dengan luas sebagaimana telah
dikemukakan di atas, ditambah dengan empat bidang lainnya menjadi lima
bidang tanah semuanya milik Ny. Naning sebagai pribadi, didirikan bangunan
milik PT. Antik Dimensi, dan sekali lagi di dalamnya juga ada kepentingan
pemegang saham minoritas yaitu Livio, baik letak, batas serta designya telah
diketahui oleh kedua belah pihak, dalam hal ini yaitu PT. Antik Dimensi dan
Ny. Naning, sudah barang tentu di dalannya diketahui juga oleh Livio sebagai
pemegang saham minoritas, dan disetujui oleh mereka itu.
Para pihak dalam kontrak atau Perjanjian No. 1 tersebut yang dibuat
di hadapan Notaris Ungaran Dra. Jessica Linjani SH itu bersepakat untuk
mengatasnamakan semua ijin yang berhubungan dengan bangunan tersebut
atas nama pihak Ny. Naning. Biaya serta ijin-ijin ditanggung sepenuhnya oleh
pihak PT. Antik Dimensi, yang untuk mudahnya, dan juga karena semua uang
memang pada prinsipnya keluar dari kantong Mr. Tarantino, ditanggung oleh
Mr. Tarantino secara bersama-sama, menurut cara berpikir hukum sipil yaitu
oleh Mr. Tarantino, Ny. Naning dan Livio sebagai para pemegang saham
47
yang dalam hal ini disebut PT. Antik Dimensi, berlaku sampai 1 Pebruari
203151
(tiga puluh tahun) terhitung sejak tanggal 1 Pebruari 2001.
Perjanjian (Akta No. 1) di atas itu menegaskan bahwa selesainya
jangka waktu tersebut tanah-tanah serta bangunan di atasnya menjadi milik
Ny. Naning52
tanpa ada kewajiban untuk melakukan ganti rugi dalam bentuk
apapun kepada PT. Antik, Perusahaan Penanaman Modal Asing. Perjanjian
itu juga menegaskan bahwa Mr. Tarantino membantu Ny. Naning untuk
mengalihkan hak dan ijin atas bangunan tersebut ke atas nama Ny. Naning
sampai selesai. Sedangkan mengenai biaya yang timbul sehubungan dengan
pengalihan hak atas kepemilikan bangunan tersebut ditanggung sepenuhnya
oleh Mr. Tarantino, dalam hal ini PT. Antik Dimensi.
Melanjutkan duduk perkara kasus dalam Putusan 137, singkat kata,
dapat Penulis katakan bahwa permasalahan dipicu, oleh pihak Livio,
51
Satu hal yang sangat menyakitkan hati, yaitu bahwa di Indonesia ini sepertinya tidak ada
yang namanya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, atau tidak ada kepatuhan
hukum yang hukumnya ada di Indonesia, sehingga, kalau Pembaca tidak kaget, Penulis perlu
mengemukakan bahwa saat ini yang namanya PT. Antik Dimensi itu sudah tidak ada lagi. Sia-
siakah hukum yang sudah menggariskan perlindungan terhadap pemegang saham minoritas
yang nyata-nyata ada dan diakui dalam Putusan 137? Tanyakan pada rumput yang bergoyang!
52
Kalau orang mau jujur, sejatinya, Ny. Naning juga adalah pemegang saham minoritas,
sebab menguasai sepuluh prosen dari jumlah total saham PT. Antik Dimensi, namun sangat
menyedihkan, tidak hanya Livio, dalam the Indonesian Legal System Tragedy? yang bisa
dilihat terang benderang pada Putusan 137 itu, entah angin “kejahatan” apa yang bertiup, Ny.
Naning pun, hingga saat ini tidak menguasai apapun dari tanah-tanah (lima bidang) miliknya
tersebut. Dalam konteks penulisan skripsi ini, dua orang pemegang saham minoritas, yang
pertama adalah Livio dan yang kedua adalah Ny. Naning, sekaligus adalah pemilik dari
tanah-tanah tempat didirikannya bangunan-bangunan PT. Antik Dimensi, suatu transaksi
bisnis internasional, mungkin dapat dikatakan saat ini hanya bisa menatap kosong, hak-
haknya yang diambil di dalam putaran mesin sistem hukum yang mungkin bukan hukum yang
sejati, sebab tidak berpihak kepada mereka Ny. Naning, Livio dan sekaligus pemegang saham
lainnya yaitu Mr. Tarantino. Bangsa ini seolah-olah bisa dilukiskan sebagai bangsa
pemerkosa hak-hak pemegang saham minoritas?
48
berdasarkan fakta yang ada, bahwa pihak Ny. Naning dan Mr. Tarantino
dengan dan tanpa persetujuan dari pihak Livio sebagai salah satu pemegang
sepuluh prosen saham, atau pemegang saham minoritas, merasa bahwa PT.
Antik Dimensi telah secara sepihak dan tanpa memberitahukan kepada Livio
telah melakukan penjualan atas asset PT. Antik Dimensi kepada pihak lain
tanpa persetujuan umum dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Padahal, Pasal 11 Ayat (4) Anggaran Dasar Perseroan (AD-ART )
menyatakan bahwa seharusnya pemegang saham minoritas seperti Livio yang
merupakan bagian dari RUPS perlu dimintakan persetujuannya (audi alteram
partem). Rumusan ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: “perbuatan
hukum untuk mengalihkan melepaskan hak atau menjadikan jaminan utang
seluruh atau sebagian besar harta kekayaan perseroan, dalam satu tahun
buku baik dalam satu transaksi atau beberapa transaksi yang berdiri sendiri
ataupun yang berkaitan satu sama lain harus mendapat persetujuan rapat
umum pemegang saham (RUPS)”.
Memang betul, bahwa Anggaran Dasar Perseroan (AD-ART) PT.
Antik Dimensi juga menegaskan bahwa persetujuan RUPS terkait dengan
harta benda PT. Antik Dimensi harus di setujui 90% (sembilan puluh persen).
Seperti telah dikemukakan di atas, rincian modal awal PT. Antik Dimensi
yaitu pihak Ny. Naning selaku Direktur: 10% Mr. Tarantino selaku
49
Komisaris 80% dan Pihak Livio 10% dengan total keseluruhan modal tiga
puluh juta rupiah53
.
Artinya, berdasarkan kaedah tersebut di atas, sebetulnya menurut
argumentasi pihak Ny. Naning dan pihak Mr. Tarantino pemungutan suara
terkait dengan RUPS pada PT. Antik Dimensi adalah sah Mengingat 90%
saham adalah gabungan saham dari saham milik Ny. Naning dan Mr.
Tarantino. Sementara, pihak Livio hanya menguasai 10% saham; atau
mungkin dalam konteks penulisan skripsi ini hanyalah pemegang saham
minoritas, jadi dapat diabaikan dalam hal ini. Mungkin karena itulah maka
hakim yang memutus Putusan 137 degan pertimbangan-pertimbangan yang
ada memutuskan dan mengabulkan permohonan penggugat sebagai pemegang
saham minoritas yang merasa tidak dianggap dan dikesampingkan.
Memang, harus diakui, bahwa dalam Putusan 137, ada bangunan
argumen bahwa pihak Ny. Naning juga mengakui, tidak diperlukan adanya
persetujuan dari pihak Livio karena kepemilikan saham pihak Livio, yang
sama dengan kepemilikan saham miliknya berjumlah hanya 10% (Minoritas).
Karenanya, tanpa kehadiran pihak Livio, dua pihak lainnya yang mayoritas,
yaitu Ny. Naning dan Mr. Tarantino dengan kepemilikan sahamnya adalah
90 %, menurut pihak Ny. Naning dan Mr. Tarantino bisa mengambil
keputusan mengenai apapun menyangkut perseroan tanpa perlu adanya RUPS,
dalam hal ini mereka boleh mengesampingkan perjanjian yang telah mereka
53
Perhitungan di atas kertas.
50
buat dan tandatangani sendiri, sebagaimana durumuskan dalam Pasal 11 Ayat
4 AD-ART PT. Antik Dimensi.
Itulah sebabnya dalam Putusan 137 dinyatakan bahwa dengan
pertimbangan bahwa Ny. Naning dan Mr. Tarantino sendiri mengakui
bahwa mereka membuat akta-akta Nomor 12 dan Nomor 13 dengan
mengesampingkan Pasal 11 ayat 4 AD-ART Perseroan, yang di dalamnya
secara tegas menentukan harus mendapat persetujuan dalam RUPS vide
salinan akta tanggal 30 Januari 2001 No. 1 Akta pendirian perseroan terbatas
PT. Antik Dimensi yang sudah dikatakan di atas, dibuat dihadapan Notaris
Dra. Jessica Linjani, SH.54
Sekalilagi perlu dikemukakan bahwa Putusan 137 juga mencatat
bahwa selain diakui, Ny. Naning dan Mr. Tarantino juga telah
mengesampingkan keberadaban Pasal 11 Ayat (4) AD-ART dimaksud, yaitu:
“perbuatan hukum untuk mengalihkan melepaskan hak atau
menjadikan jaminan untang selain atau sebagian besar harta
kekayaan “perseroan” dalam satu tahun buku baik di dalam satu
transaksi atau beberapa transaksi yang berdiri sendiri ataupun
yang berkaitan satu sama lain harus mendapat persetujuan rapat
umum pemegang saham yang sendiri atau diwakili para
pemegang saham yang memiliki paling sedikit 3/4 (tiga per
empat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara
yang sah dan paling disetujui oleh paling sedikit 3/4 (tiga per
empat) bagian dari jumlah seluruh suara yang dikeluarkan
secara sah dalam rapat”.
54
Vide, bukti P – 1 / T I – II 1.
51
Kedua pihak pemegang saham mayoritas di atas juga membangun
argumentasi mereka bahwa tidak hanya ketentuan sebagaimana dikemukakan
di atas, namun lebih dari pada itu, ternyata dalam Pasal 22 Ayat (8) AD-ART
Perseroan, juga mengakui bahwa:
“Pemegang saham dapat juga mengambil keputusan yang sah
tanpa mengadakan rapat umum pemegang saham dengan
ketentuan semua pemegang saham telah diberi tahu secara
tertulis dan semua pemegang saham memberikan persetujuan
mengenai usul yang diajukan secara tertulis serta
menandatangani persetujuan tersebut, keputusan yang diambil
dengan cara demikian mempunyai kekuatan yang sama dengan
keputusan yang diambil dengan sah dalam rapat umum
pemegang saham”.
Dengan memertimbangkan bahwa apa yang diatur didalam AD-ART
perseroan tersebut di atas adalah mengikat dan harus dilaksanakan oleh Ny.
Naning dan Mr. Tarantino juga oleh pihak Livio sebagai Penggugat yang
dalam hal ini merupakan pemegang saham minoritas dalam perspektif
penulisan dan penelitian karya tulis ilmiah dalam bidang hukum di Fakultas
Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini, kemudian dengan
memertimbangkan bahwa terhadap akta notaris No. 1 tanggal 30 Januari 2001
tersebut tidak pernah diadakan perubahan apapun; ditambah dibuatnya akta
Nomor 12 dan 13 tanggal 14 Desember 2001 di hadapan Subiyanto Putro,
52
SH., yang berkantor di Semarang oleh Ny. Naning dan Mr. Tarantino,55
adalah bertentangan dengan AD-ART PT. Antik Dimensi, maka apa yang
dilakukan tersebut, tertera di dalam Putusan 137 sebagai sesuatu yang menurut
hukum dapat dikwalifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH).
Demikian dalil yang dikemukaan oleh Livio.
Sejalan dengan itu, dengan memertimbangkan bahwa akta notaris
Nomor 12 dan 13 pada tanggal 14 Desember 2001 tersebut di atas telah
dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum, maka dengan demikian, para
Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Semarang pada waktu itu memandang
bahwa tuntutan pihak Livio, yang dalam koneks penulisan karya tulis ini
harus dilihat sebagai pemegang saham minoritas menganai hal itu dapat
dikabulkan.
Majelis Hakim juga sempat memertimbangkan apakah akta Perjanjian,
akta notaris Nomor 1 tanggal 01 Februari 200156
beralasan hukum untuk
dinyatakan sah atau tidak. Maka menurut para Majelis Hakim, akta Perjanjian
dimaksud adalah merupakan perjanjian antara Ny. Naning dan Mr.
Tarantino yang isinya antara lain menyangkut keberadaan dan kepentingan
perseroan PT. Antik Dimensi. Dengan demikian, menurut Majelis Hakim, bila
dihubungkan dengan keberadaban bukti-bukti yang diajukan ke hadapan
Persidangan maka secara hukum ada hak dan kepentingan penggugat yang
55
Bukti P-2 dan P-3 / T I-II-2 dan T I-II-3.
56
Bukti TI – II – 4.
53
mengikat dan yang harus dilindungi57
. Oleh karenanya adalah beralasan
apabila berdasarkan hukum, akta perjanjian, akta notaris No. 1 tanggal 01
Februaru 200158
yang dibuat di hadapan Notaris Dra. Jesicca Linjani SH
tersebut untuk dinyatakan sah. Majelis Hakim mengabulkan tuntutan pihak
Livio sebagai pihak yang merupakan pemegang saham minoritas.
2.3.3. Remedy, Bentuk Perlindungan Bagi Pemegang Saham Minoritas
Suatu hal menarik yang perlu dikemukakan di sini sehubungan dengan
aspek perlindungan terhadap pemegang saham minoritas adalah aspek ganti
kerugian atau remedy. Majelis hakim mempertimbangkan bahwa walaupun
suatu kerugian yang timbul karena keberadaan suatu perkara aquo dan tidak
dapat dimintakan terhadap pihak lawan, namun secara kasuistis tuntutan ganti
kerugian dimaksud dapat dinilai dari sisi kepatutan dan kewajaran.
Menurut Majelis Hakim dalam Putusan 137 tersebut, karena dalam
perkkara itu ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Ny. Naning
dan Mr. Tarantino, maka sebagai kompensasi hukum atas perbuatan
melawan hukum yang dilakukan, dan karena ada tuntutan ganti kerugian yang
dituntut oleh pihak Livio, yang dalam hal ini harus dibaca sebagai
kepentingan pemegang saham minoritas, maka Majelis Hakim dalam Putusan
137 itu melihat atau menilai bahwa adalah sesuatu yang patut dan wajar dan
karenanya menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri di Provinsi Jawa
57
Konteks penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah dalam bidang hukum ini, maka hal itu
harus dilihat sebagai perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, yang analisisnya
akan dikemukakan Penulis dalam bagian analisis.
58
Ibid.
54
Tengah itu memandangnya sebagai beralasan untuk mengabulkan tuntutan
ganti rugi tersebut dan memberikan remedy berupa ganti rugi. Dalam bahasa
Inggris hukum, hal ini dikenal dengan damage.
Mengenai tuntutan pihak Livio, dalam hal ini harus dilihat sebagai
tuntutan pemegang saham minoritas, yaitu tuntutan tentang putusan serta-
merta, ditolak oleh majelis hakim. Majelis hakim beralasan bahwa tuntutan
serta-merta itu tidak memenuhi persyaratan yang dikehendaki oleh Pasal 180
HIR. Selanjutnya, mengingat gugatan pihak Livio dikabulkan sebagian, maka
biaya perkara dibebankan kepada Ny. Naning dan Mr. Tarantino.
Para Majelis hakim, berdasarkan perhatian mereka terhadap pasal-
pasal dan peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan kemudian pada
waktu itu mengadili bahwa mereka mengabulkan gugatan pihak Livio untuk
sebagian dan menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan Ny. Naning dan
Mr. Tarantino di atas adalah perbuatan melawan hukum (PMH). Atas dasar
itu Majelis Hakim juga mengatakan tidak sah dan batal demi hukum akata
Nomor 12 dan 13 tanggal 14 Desember 2001 yang dibuat di hadapan
Subiyanto Putro, SH., Notaris di Semarang dengan segala akibat hukumnya.
Majelis hakim juga menyatakan sah menurut hukum akta No.: 1
tertanggal 01 Februari 2001 tentangg Perjanjian yang dibuat di hadapan Dra.
Jessica Linjani, SH., Notaris di Ungaran. Dalam Putusan 137 tersebut,
Majelis Hakim kemudian menghukum Ny. Naning dan Mr. Tarantino untuk
membayar ganti rugi terhadap penggugat lima puluh juta rupiah.
55
Ganti kerugian atau dalam koneks penulisan karya tulis ini harus
dibaca sebagai ganti kerugian dalam rangka memulihkan hak-hak dan
kepentingan pemegang saham minoritas itu terdiri dari kerugian immateriil
sebesar dua puluh lima juta rupiah dan materiil sebesar dua puluh lima juta
rupiah. Majelis Hakim juga menghukum Ny. Naning dan Mr. Tarantino
untuk membayar ongkos biaya perkara sebesar dua ratus enam puluh sembilan
ribu rupiah. Selebihnya majelis hakim menolak gugatan pihak Livio untuk
selain dan selebihnya.
2.4. Analisis Kaedah Hak Hukum terhadap Pemegang Saham Minoritas
Setelah mengemukakan studi kepustakakaan yang mebahas mengenai
isu perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas (protection of
minority shareholders), selanjutnya diikuti dengan pemaparan gambaran hasil
penelitian, yaitu Putusan 137 Pengadilan Negeri Semarang sebagaimana telah
dikemukakan di atas, maka kini tiba gilirannya bagi Penulis untuk
mengemukakan analisis terhadap Putusan 137 untuk melihat apakah kaedah-
kaedah perlindungan hukum yang berdimensi hukum perdagangan atau
transaksi bisnis internasional terhadap pemegang saham minoritas yang
dikemukakan dalam studi kepustakaan itu juga ada dan diakui di dalam sistem
hukum Indonesia, dalam hal ini dipergunakan juga oleh para hakim misalnya,
dalam mengadili dan memutus kasus yang diajukan kepada mereka. Analisis
berikut di bawah ini dimulai dari bagaimana aspek sejarah isu perlidungan
terhadap pemegang saham minoritas tersebut, baik yang berlaku dan dikenal
56
dan dibahasa di Indonesia, setidak-tidaknya telah dikemukakan di atas oleh
Penulis, dimulai dari pendapat para ahli hukum yang menekuni bidang
perseroan terbatas, kemudian dilanjutkan dengan hakikat dari perlindungan
terhadap pemegang saham minoritas sabagai suatu kontrak dan hal-hal yang
lebih detail yaitu transposisi antara kaedah-kaedah yang ada di dalam studi
kepustakaan dengan apa yang ada di dalam Putusan 137.
2.4.1. Sejarah Pergumulan Memikirkan Hak atas Pemegang Saham
Minoritas
Pergumulan pemikiran tentang bagaimana sistem hukum di muka
bumi ini memberikan perhatian terhadap isu perlindungan terhadap pemegang
saham minoritas itu sesungguhnya, seperti telah Penulis kemukakan di atas,
terjadi di mana saja, khususnya dalam konteks penelitian ini terjadi di
Indonesia, maupun di Inggris dan Skotlandia.
Hal seperti itu terbukti dengan apa yang sudah Penulis kemukakan di
atas, sudah mulai dipikirkan oleh para ahli yang melakukan spesialisasi dalam
melihat aspek perlindungan terhadap pemegang saham minoritas itu, terutama
ahli hukum perusahaan di Indonesia dan juga di Inggris dan Skotlandia.
Di Indonesia, Tri Budiono, kajian yang paling kontemporer mnegenai
aspek perbadingan hukum atas perlindungan terhadap pemagang saham
minoritas ini, seperti dikemukakan di atas, mengemukakan bahwa prinsip hak
suara yang dianut dalam UU PT adalah satu saham satu suara (one share one
vote). Prinsip inilah yang seringkali disebut sebagai demokrasi perusahaan atau
demokrasi kapitalisme. Apabila dilihat dari sejarah perkembangannya,
57
demokrasi perusahaan atau demokrasi kapitalisme ini mengadopsi demokrasi
politik yang berbasiskan pada orang (one man one vote). Tetapi dalam
demokrasi perusahaan, basis orang (one man one vote) dimodifikasi menjadi
basis uang (one share one vote) yang terpresentasikan dalam bentuk share
(stock). Dari aspek ini, mempersamakan (satuan) orang dengan (satuan) uang
sejatinya, menurut Tri Budino, sesuatu yang berada di luar kaedah hukum
namun aspek politik, merupakan bentuk dehumanisasi. Demokrasi perusahaan,
telah melahirkan tirani mayoritas yang berada di tangan pemegang saham
mayoritas. Satu orang pemegang saham yang memiliki saham Perseroan 51%
dapat mengalahkan 1000 orang yang apabila dikalkulasi jumlah saham yang
dimilikinya hanya 49%. Kondisi demikian sejatinya telah melahirkan
kesempatan penyalahgunaan posisi –khususnya yang dapat dilakukan oleh
pemegang saham mayoritas- yang dapat merugikan pemegang saham
minoritas.
Kondisi ini, seperti telah diungkapkan dalam Bab I, merujuk Tri
Budiono, masih diperparah oleh peran yang dilakukan oleh pengurus
Perseroan (Direksi) dan Dewan Komisaris yang cenderung berfihak pada
pemegang saham mayoritas. Pemegang saham minoritas yang secara
posisional jauh lebih lemah apabila dibandingkan dengan pemegang saham
mayoritas, sangat sulit ketika mereka harus berhadapan dengan konspirasi
pemegang saham mayoritas Direksi dan Dewan Komisaris. Hal lain yang turut
memperlemah kedudukan pemegang saham minoritas adalah prinsip persona
standi in judicio (capacity standing in court or in judgement), yaitu hak untuk
58
mewakili Perseroan baik di depan maupun di luar pengadilan. Secara normatif,
posisi ini hanya terbuka pada pemegang saham mayoritas.59
Meskipun kutipan
di atas tampak menyesali keadaan tirani mayoritas dalam suatu perseroan
terbatas, namun penulis yang pandangannya Penulis kutip itu, mungkin secara
sengaja menyembunyikan kaedah hukum bisnis internasional yang secara
historis sudah mulai bertumbuh di dalam penelitian itu dapat dirujuk untuk
memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas yang
berinvestasi dalam suatu perseroan terbatas.
Sebelum itu, orang lainnya juga yaitu Rudhi Prasetya mengemukakan
pandangannya mengenai aspek sejarah bagaimana Indonesia yang didikte oleh
hukum memikirkan cara yang terbaik dalam rangka menanggapi persoalan
atau legal isu kepentingan dari pemegang saham minoritas (minority interests)
tersebut mengemukakan keluhan yang sama dengan kaedah yang dia pinjam
dari Belanda yang dinamakan dengan enqueterech dalam memberikan
perlindungan dimaksud.
Dalam penjelasan umum undang-undang Perseroan Terbatas, menurut
Rudhi Prasetya, berkali-kali dijelaskan bahwa, dalam menyusun undang-
undang ini sangat diperhatikan untuk memberikan perlindungan kepada
pemegang saham minoritas. Sebagaimana kita ketahui, dalam setiap
pengambilan keputusan dalam PT berlaku asas pemungutan suara (vooting).
Dalam hubungan ini maka akan menjadi sangat lebih kedudukan seorang
59
Dr. Tri Budiyono, SH. M.Hum., Loc. Cit., hlm., 97-98.
59
pemegang saham yang prosentase dari saham yang dimilikinya lebih kecil dari
presentase pemegang saham lainnya. Dalam hubungan inilah memang
diperlukan adanya mekanisme yang melindungi kepentingan pemegang saham
minoritas yang bisa tertindas itu. Saya melihat memang telah dirasakan perlu
sekali adanya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas60
tersebut.
Terlebih-lebih manakala kita melihat praktek go-publik PT-PT yang
ada di Indonesia, rata-rata atas saham yang listing dan dijual memasuki bursa
tersebut keseluruhannya tidak lebih dari 30% dari seluruh saham yang
ditempatkan. Tujuh puluh prosen dari saham yang ada masih tetap dikuasai
dan dipegang oleh para pendiri atau yang dinamakan pula “pemegang saham
utama”. Pada hal para pemegang saham minoritas sebersar 20% tersebut
tersebar luas di antara publik. Telah lama melalui berbagai tulisan saya, telah
saya ingatkan perlu adanya suatu lembaga yang memberikan perlindungan
terhadap pemegang saham minoritas dari kekalahannya dalam pemungutan
suara dalam RUPS, seperti yang di negara Belanda dinamakan enqueterech.
Adapun menurut Rudhi Prasetya, sebagaimana telah dikemukakan
pula juga oleh Penulis dalam Bab I, pada intinya, lembaga ini memberikan
hak kepada pemegang saham minoritas untuk memohon melalui Pengadilan
60
Hal ini di dalam Literatur di Inggris disebut dengan isu protection of minority interests.
Hasil penelitian individual yang dilakukan oleh Jeferson Kameo SH., LL.M., Ph.D dalam
suatu kasus yang sangat terkenal yaitu Foss v Harbottle yang diputus dalam tahun 1843 di
Inggris membuktikan bahwa apa yang dikemukakan oleh Dr. Parsetyo di atas itu sudah
dipikirkan di Inggris dengan istilah protection of minority interests. Prinsip itu dibangun
sebagai pengecualian atas “kemutlakan” majority rule yang mendapat ekspresi dalam Foss v
Harbottle (1843) 2 Hare 461., dirujuk dari penelitian individuil di atas yang tidak
dipublikasikan.
60
untuk dilakukannya pemeriksaan pada perseroan berhubung terdapat dugaan
adanya kecurangan-kecurangan atau hal-hal yang disembunyikan oleh
pemegang saham mayoritas. Mengapa melalui pengadilan? Dipikirkan, di satu
pihak perlu diberikannya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas,
tetapi di lain pihak kemungkinan dapat disalahgunakan oleh para competitor
(pesaing dagang), yang dengan sengaja membeli sejumlah saham kecil
semata-mata untuk mengetahui rahasia perusahaan. Dengan permohonan
melalui hakim, dapat diharapkan hakim akan berperan untuk menapis, sampai
sejauh mana memang beralasan permintaan pemeriksaan pemegang saham
bersangkutan”61
.
Seperti ungkapan dalam kutipan di atas, satu hal yang memperlemah posisi
dari pemegang saham minoritas yaitu prinsip persona standi in judicio
(capacity standing in court or in judgement), yaitu hak untuk mewakili
Perseroan baik di depan maupun di luar pengadilan, dimana secara normatif,
posisi tersebut hanya terbuka pada pemegang saham mayoritas. Disamping
hal-hal seperti yang telah Penulis kemukakan di atas, yang sudah
terlebihdahulu Penulis singgung dalam Bab I Skripsi ini62
, khusus mengenai
bagaimana hukum memberikan perindungan terhadap hak pemegang saham
minoritas yang berdimensi hukum perdagangan internasional, termasuk di
dalamnya persona standi in judicio, terungkap dari kutipan di atas, terkesan
61
Prof. Dr. Rudhi Prasetya, S.H., Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm., 229-231.
62
Lihat Bab I, hlm 8
61
belum diperhatikan secara serius dalam sistem hukum pada umumnya,
menurut penulis di atas, apalagi oleh sistem hukum positif Indonesia,
demikian kata penulis tersebut. Itulah sebabnya di bawah ini analisis disusun
oleh Penulis dengan maksud membahas dan menemukan cara yang ada, di
balik kaedah hukum perdagangan internasional yang sudah dikenal dalam
rangka memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas dalam
suatu perseroan terbatas, dalam hal ini khususnya dalam memberikan
perlindungan kepada pemegang saham minotiras dalam suatu bisnis atau
transaksi/perdagagnan internasional.
Penulis, berasumsi bahwa secara historis, sudah lama sejatinya,
termasuk yang secara implisit terkandung di dalam Pasal 1365 KUHPerdata,
PMH, ada perkembagan pemikiran dan pergulatan untuk menghadirkan
kaedah perlindungan hukum itu dalam sistem hukum di Indonesia. Dimensi
terakhir dari analisis sisi historis pergulatan pemikiran mengenai bagaimana
hukum memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas tersebut
adalah bahwa apabila dibandingkan antara sistem hukum Inggris dan apalagi
Skotlandia dengan sistem hukum Indonesia, maka Inggris dan Skotlandia,
dilihat dari tahun kasus Landmark dimana hak pemegang saham minoritas
persona standi in judicio mulai dipikirkan oleh para hakim, sebagaimana
dikemukakan di atas, jauh lebih dahulu memikirkan mengenai hal itu. The rule
in Foss v Harbottle misalnya sudah diputus atau dibuat pada tahun 1843,
sedikit lebih tua dari lembaga penundukan diri kepada hukum perdata Eropah
yang sudah diberlakukan juga kepada golongan Timur Asing dan lain-lain di
62
Hindia Belanda dalam tahun 192563
, namun agak lebih muda jika
dibandingkan dengan pembentukan peraturan hukum perdata yang dilakukan
oleh Napoleon sebelumnya.
2.4.2. Hakikat Hak terhadap Pemegang Saham Minoritas (Suatu Kontrak)
Dalam sub-judul 2.2.2. di atas64
, telah Penulis kemukakan suatu hasil studi
kepustakaan Penulis bahwa di dalam perspektif ilmu hukum, dalam hal ini
Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, setiap kaedah itu haruslah dilihat
sebagai suatu kontrak (a contract). Itu berarti, termasuk kaedah-kaedah
(obligations) yang berdimensi memberikan perlindungan kepada kepentingan
pemegang saham minoritas (protection of the minority shareholders) dalam
suatu Perusahaan seperti Perseroan Terbatas pun adalah contracts.
Apabila prinsip seperti itu dipergunakan untuk membadah atau
menganalisis Putusan 137, maka tampak dengan jelas pula bahwa para hakim
Indonesia, dalam hal ini Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan
memutus perkara 137 juga menganut prinsip yang sama. Termasuk di
dalamnya para notaris yang membuat akta-akta pendirian perusahaan, seperti
akta Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PT. Antik Dimensi.
Bahwa kaedah pemberian perlindungan terhadap pemagang saham minoritas,
dalam hal ini kepada si pihak Livio dalam Putusan 137 itu adalah suatu
kontrak, jelas nampak dalam Akta yang dirujuk oleh Putusan 137:
63
Mengenai tahun-tahun sejarah berlakunya KUHPerdata di Indonesia, di mana ketentuan
mengenai perbuatan melawan hukum ada di dalamnya, lihat Seluk Beluk dan Asas Asas
Hukum Perdata yang ditulis oleh Riduan Syahani SH., Alumni, Bandung, 2000, hlm., 4 – 20.
64
Lihat Bab II, hlm 26.
63
Pasal 11 Ayat (4) Anggaran Dasar Perseroan (AD-ART ) menyatakan
bahwa seharusnya pemegang saham minoritas seperti Livio yang merupakan
bagian dari RUPS perlu dimintakan persetujuannya (audi alteram partem).
Rumusan ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: “perbuatan hukum untuk
mengalihkan melepaskan hak atau menjadikan jaminan utang seluruh atau
sebagian besar harta kekayaan perseroan, dalam satu tahun buku baik dalam
satu transaksi atau beberapa transaksi yang berdiri sendiri ataupun yang
berkaitan satu sama lain harus mendapat persetujuan rapat umum pemegang
saham (RUPS)”. Para Majelis Hakim, yang dalam hal ini memandang pasal-
pasal itu sebagai suatu kontrak, sekalipun tidak dinyatakan secara eksplisit,
berdasarkan perhatian mereka terhadap pasal-pasal dan peraturan-peraturan
hukum yang bersangkutan kemudian pada waktu itu mengadili bahwa mereka
mengabulkan gugatan pihak Livio untuk sebagian dan menyatakan menurut
hukum bahwa perbuatan Ny. Naning dan Mr. Tarantino di atas adalah
perbuatan melawan hukum (PMH).
Demikian pula, karena menganggap bahwa ketentuan-ketentuan dalam
Akta-akta di atas merupakan suatu kontrak, meskipun tidak secara eksplisit,
atas dasar itu Majelis Hakim juga mengatakan tidak sah dan batal demi hukum
akata Nomor 12 dan 13 tanggal 14 Desember 2001 yang dibuat di hadapan
Subiyanto Putro, SH., Notaris di Semarang dengan segala akibat hukumnya.
Sebagaimana diketahui, seperti yang selama ini dipahami, namun karena
64
kekuasaan65
dianggap lain, dengan dinyatakan batalnya Akta No. 12
menyebabkan jual-beli seharusnya batal demi hukum (null and void).
2.4.3. Saat Mulainya Isu Hak Terhadap Pemegang Saham Minoritas
Sebagai suatu kontrak, maka harus pula ditentukan kapan sejatinya
hak, dalam hal ini perlindungan terhadap kepentingan pemegang saham
minoritas itu dimulai. Sebagaimana terlihat dalam gambaran hasil penelitian
terhadap Putusan 137 di atas, hak untuk memperoleh perlindungan terhadap
Livio sebagai pihak dalam perjanjian itu, sudah tentu lahir sejak adanya akta
pendirian perseroan terbatas PT. Antik Dimensi. Selain itu, dalam pengamatan
Penulis, hak seperti itu semakin nyata terancam dan oleh sebab itu mulai
dirasakan betapa pentingnya perlindungan seperti itu diberikan oleh hukum,
ketika pembuatan Akta No. 1 di hadapan Notaris Dra. Jesicca Linjani SH.
Dalam kontrak atau Akta Perjanjian tersebut para pihak adalah Ny. Naning
berkedudukan sebagai pihak yang memberikan hak atas tanahnya kepada Ny.
Naning sendiri, namun dalam kedudukan sebagai Direktur PT. Antik Dimensi
menggunakan tanah66
tersebut. Sedangkan Mr. Tarantino, dan dalam konteks
penelitian dan penulisan karya tulis kesarjanaan ini, sudah tentu Livio, dalam
kepentingannya sebagai pemegang saham minoritas (a minority shareholder)
untuk dirinya (Livio) sendiri dan untuk PT. Antik Dimensi sebagai Orang,
atau suatu Subyek Hukum dimana Livio adalah pihak di dalamnya, adalah
sebagai pihak yang menggunakan tanah milik Ny. Naning sebagai pribadi.
65
Hal itu tidak dibahas oleh Penulis dalam karya tulis ini, namun Putusan-putusan yang
berkaitan dengan Putusan 137 yang telah menyebabkan pelaksanaan kaedah hukum dalam
Putusan 137 terkesan tidak pasti dilampirkan dalam Skripsi ini. 66
Bersama dengan empat bidang tanah lainnya, namun tidak disebutkan di dalam Akta
Perjanjian No. 1.
65
Penggunaan tanah milik Ny. Naning itu, tentu untuk mendirikan bangunan-
bangunan yang adalah milik PT. Antik Dimensi, dimana di dalamnya juga ada
kepentingan Livio sebagai pemegang saham minoritas, dalam Perjanjian
tersebut dinyatakan bahwa biaya sepenuhnya ditanggung oleh PT. Antik
Dimensi, yang tidak saja dikuasai oleh sembilan puluh prosen saham dari
pihak Mr. Tarantino dan Ny. Naning, tetapi juga ada kepentingan saham
minoritas yaitu Livio.
2. 4.4. Analisis Perbandingan dengan Yurisprudensi Inggris Persona
Standi in Judicio
Sementara itu, apabila lebih jauh dianalisis secara membandingkan
dengan sistem hukum Inggris, baik yang ada di dalam Yurisprudensi negara
itu maupun legislasi, mengenai kapankan kepentingan pemegang saham
minoritas itu membutuhkan perlindungan oleh hukum dapat dikemukakan
sebagai berikut.
Studi pustakan di atas memperlihatkan bahwa di Inggris, posisi dari
pemegang saham minoritas menurut kaedah hukum yang mengatur mengenai
perdagangan internasional dimulai dari munculnya suatu kaedah yang
bernama the rule in Foss v Harbottle. Kaedah yang bernama Foss v Harbottle
mengandung hukum yang mengatur bahwa manakala ada perbuatan melawan
hukum atau kesalahan yang dilakukan terhadap suatu perusahaan maka hanya
perusahaan itu sajalah yang mempunyai hak untuk mengajukan gugatan dalam
kaitannya dengan perbuatan tersebut. Dalam analsis ketika studi kepustakaan
di atas dilakukan, Penuls mengemukakan bahwa di sinilah muncul persoalan
66
bagi pemegang saham minoritas yang dirasakan tidak begitu terlindungi dalam
suatu perusahaan oleh ketentuan peraturan yang pernah berlaku. Kasus Foss v
Harbottle67
bermula dari dua orang anggota dari suatu perusahaan yang
menggugat lima orang direktur dari perusahaan tersebut sebab para direktur
itu telah menjual tanah dengan harga yang sudah di-mark-up atau ditinggikan
dari harga normal kepada perusahaan yang mereka nahkodai itu sehingga
dengan demikian perusahaan itu mengalami kerugian. Apabila hal itu
dibandingkan dengan yang terjadi dalam Putusan 137, memang harus diakui
kedua-duanya menyatakan bahwa hal itu merupakan suatu bentuk “perbuatan
melawan hukum”.
Hanya saja, yang berbeda antara Foss v Harbottle dengan Putusan 137
adalah bahwa dalam Foss v Harbottle anggota perusahaan dalam hal ini
pemegang saham pengendali (controling shareholders) lah yang mempunyai
kekuasaan untuk mewakili perusahaan dalam menggugat perusahaan.
Sementara dalam Putusan 137, pihak yang ada adalah pihak yang dirugikan
secara langsung, dalam hal ini Livio. Tidak dijelaskan di dalam Putusan 137,
kedudukan Livio ketika dia mengajukan gugatan terhadap kedua pemegang
saham, dalam hal ini gabungan antara pemegang saham minoritas lainnya dan
pemegang saham pengendali (Ny. Naning dan Mr. Tarantino), apakah dia
berkedudukan sebagai anggota, shareholders ataukah Livio sendiri, terlepas
dari kedudukannya sebagai pemegang saham. Di tengah kekaburan (dubious)
67
(1843) 2 Hare 461. Dikutip dari Jeferson Kameo, Hasil Penelitian Ilmiah yang tidak mau
Dipublikasikan.
67
seperti itu, maka apabila kaedah yang ada di dalam Putusan 137
ditransposisikan kepada Foss v Harbottle, maka Yurisprudensi Inggris itu
sangat menolong, dalam hal ini memastikan bahwa dalam Putusan 137 itu
Livio berkedudukan sebagai pemegang saham, dan dalam hal ini relevan,
yaitu bahwa Livio adalah pemegang saham minoritas. Dalam terang
perspektif Foss v Harbottle seperti itu, apa yang ada di dalam Putusan 137,
menurut pendapat Penulis, jauh lebih maju jika dibandingkan dengan kaedah
yang dibangun dalam sistem hukum Inggris. Kemajuan itu adalah bahwa
dalam sistem Putusan 137, si pemegang saham minoritas mempunyai persona
standi in judicio, tanpa harus menggunakan Re, seperti yang ada di dalam
putusan-putusan setelah Foss v Harbottle diterobos. Dalam sistem Re, seperti
putusan-putusan setelah Foss v Harbottle yang hendak membenahi
Yurisprudensi itu, si pemegang saham minoritas yang merasa dirugikan harus
meminta kepada pemegang saham pengendali untuk mewakili dirinya (Foss v
Harbottle), sedangkan dalam putusan-putusan setelah Foss v Harbottle
pemegang saham minoritas harus meminta kepada hakim terlebih dahulu
untuk memperoleh persona standi in judicio.
2.4.5. Isu Sekitar Justifikasi Hak terhadap Pemegang Saham Minoritas
Dalam studi kepustakaan yang juga telah dikemukakan di atas,
Jeferson Kameo dalam temuan penelitian yang tidak dia publikasikan
menyatakan bagaimana hukum mendikte (the Law dictates) para hakim
Inggris bertransposisi terhadap hukum di Skotlandia untuk mematuhi kaedah
hukum perdagangan internasional dalam memberikan perlindungan terhadap
68
pemegang saham minoritas dalam beberapa situasi atau isi hukum. Isu ini
adalah isu justifikasi terhadap pemegang saham minoritas dalam
mengusahakan perlindungan bagi mereka. Artinya, kalau ada keadaan
sebagaimana dikemukakan di bawah ini terjadi, maka si pemegang saham
minoritas dapat dibenarkan (dijustifikasi) untuk meminta perlindungan
hukum, baik itu yang terdapat dan diakui dalam yurisprudensi tetap maupun
dalam legislasi.
Soal yang pertama, tatkala ada suatu penipuan terhadap minoritas
(where there is a fraud on the minority). Kedua, jika perbuatan yang
dilakukan itu dapat digolongkan sebagai suatu tindakan sewenang-wenang
atau melampau kekuasaan dan ilegal (if the act done is ultra vires or illegal).
Ketiga, manakala hak perseorangan seorang anggota, termasuk jika si anggota
itu adalah pemegang hak atas jumlah saham yang minoritas (where the
personal rights of a member have been infringed) dirugikan. Ketiga situasi itu
sejatinya juga dapat diidentifikasi sebagai temuan yang ada di dalam Putusan
137. Hanya saja, nampaknya Majelis Hakim di dalam Putusan 137 tidak
menggunakan ketiga nomenklatur atau istilah sebagaimana dikemukakan di
atas itu yaitu fraud, sewenang-wenang atau ultra vires, dan merugikan
kepentingan pemegang saham minoritas. Dalam Putusan 137 nomenklatur
atau terminologi hukum yang dipergunakan tetap konvensional yaitu adanya
perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan, baik oleh Ny. Naning,
maupun Mr. Tarantino yang menimbulkan kerugian terhadap pemegang
saham minoritas, dalam hal ini Livio.
69
Satu nomenklatur yang paling jelas dalam Putusan 137 yang telah
menjustifikasi Majelis Hakim untuk memberikan perlindungan terhadap
pemegang saham minoritas yaitu adanya kerugian dari pihak pemegang saham
minoritas, dalam hal ini Livio. Seperti telah Penulis kemukakan dalam
gambaran hasil penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, kategori
justifikasi itu adalah adanya kerugian. Hal ini dapat didistilasi dari pernyataan
Majelis Hakim yang menyatakan sah menurut hukum akta No.: 1 tertanggal
01 Februari 2001 tentangg Perjanjian yang dibuat di hadapan Dra. Jessica
Linjani, SH., Notaris di Ungaran. Dalam Putusan 137 tersebut, Majelis
Hakim kemudian menghukum Ny. Naning dan Mr. Tarantino untuk
membayar ganti rugi terhadap penggugat lima puluh juta rupiah. Kata ganti
rugi itu mengindikasikan bahwa ada kategori ketiga, sebagaimana
dikemukakan dalam studi kepustakaan atas Yurisprudensi Inggris
sebagaimana dikemukakan di atas. Ganti kerugian atau dalam koneks
penulisan karya tulis ini harus dibaca sebagai ganti kerugian dalam rangka
memulihkan hak-hak dan kepentingan pemegang saham minoritas itu terdiri
dari kerugian immateriil sebesar dua puluh lima juta rupiah dan materiil
sebesar dua puluh lima juta rupiah. Majelis Hakim juga menghukum Ny.
Naning dan Mr. Tarantino untuk membayar ongkos biaya perkara sebesar
dua ratus enam puluh sembilan ribu rupiah. Selebihnya majelis hakim
menolak gugatan pihak Livio untuk selain dan selebihnya.
Dalam Putusan 137, menurut hemat Penulis tidak ada indikasi dapat
digunakannya fraud, atau penipuan yang dilakukan oleh pihak pemegang
70
kendali dominan dalam PT. Antik Dimensi. Seperti nampak dalam studi
kepustakaan mengenai fraud, dikemukakan bahwa fraud itu adalah sama
dengan yang ada di dalam Yurisprudensi pertama, Cook v Deeks68
, satu
yurisprudensi dimana Cook adalah satu dari empat direktur dalam suatu
perusahaan jasa konstruksi menggugat Deeks mengingat Perusahaan jasa
konstruksi itu mengalihkan keuntungan yang seharusnya dinikmati oleh
Perusahaan dimana Cook juga adalah pemegang saham. Sedangkan kasus
kedua mengenai fraud di dalamnya mengandung kaedah hukum yang
mendikte perlindungan terhadap pemegang saham minoritas yaitu Re J.
Beauforte (London) Ltd69
. Dalam kasus itu, di dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga (Memorandum) mencantumkan pemberian
kekuasaan atau kewenangan Perusahaan tersebut untuk menjalankan
perusahaan yaitu pembuatan pakaian dan gaun perempuan. Hanya saja, pada
kenyataannya Perusahaan tersebut yaitu J. Beauforte (London) Ltd., justru
melakukan bisnis yang lain sama sekali, yaitu membuat venir panel dari kayu.
Akibat dari keputusan Perusahaan yang tidak sejalan dengan apa yang sudah
diamanatkan di dalam AD-ART Perusahaan itu, J. Beauforte (London) Ltd
membuat perjanjian-perjanjian dengan sejumlah developer untuk membuat
suatu bangunan pabrik yang baru, demikian pula si pihak Perusahaan, dalam
hal ini J. Beauforte (London) Ltd., membuat perjanjian-perjanjian dengan
sejumlah pihak untuk mensuplai venir dan juga anehnya batu bara yang sudah
68
[1916] 1 AC 544 (PC)
69
[1953] 1 All ER 634. Sumber, masih merujuk kepada Penelitian individuil Jeferson
Kameo.
71
diolah (coke). Perusahaan itu kemudian menjadi bangkrut. Sedangkan
Yurisprudensi ketiga mengenai fraud yang tidak ditemukan di dalam Putusan
137 dapat menjadi legitimasi tuntutan untuk memperoleh perlindungan hukum
kepada pemegagn saham minorotas adalah Pender v Lushington70
. Dalam
Yurisprudensi tersebut, Anggaran Dasar Perseroan mengandung ketentuan
bahwa setiap jumlah sepuluh suara terdapat satu hak untuk memilih, hanya
saja tidak ada satu anggota pun berhak memiliki hak untuk memilih lebih dari
serast suara (100 votes). Agar supaya kelebihan dari saham-saham itu tetap
bernilai suara, seorang pemegang saham yang memegang dan memiliki lebih
dari seribu saham mengalihkan sisa dari saham yang tidak bernilai suara itu
kepada anggota dalam perusahaan itu bernama Pender. Orang terakhir itu
merupakan pemegang saham minoritas dalam perusahaan tersebut. Si Direktur
perusahaan tersebut, bernama Lushington, menolak untuk menerima suara
yang timbul dari saham-saham yang dikuasai oleh Pender dan Pender pun
menggugat pihak Lushington. Hakim memutus bahwa saham-saham yang
dikuasai Pender telah dialihkan secara sah, sehingga apa yang dilakukan
Lushington tidak menerima saham-saham Pender tersebut adalah merupakan
suatu pelanggaran terhadap hak Pender sebagai satu anggota dari Perusahaan.
Disamping Yurisprudensi mengenai fraud yang tidak padan dengan Putusan
137, legitimasi gugatan untuk menuntut hak pemegang saham minoritas pun
tidak padan dan tidak ditemukan dalam Putusan 137. Di atas, pada bagian
studi kepustakaan Penulis mengemukakan bahwa dalam UU Perseroan
70
[1877] 6 Ch D 70.
72
Terbatas Inggris sendiri ditentukan bahwa siapa saja anggota suatu perseroan
terbatas dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan atas dasar hukum
bahwa urusan-urusan dari suatu Perseroan Terbatas sedang, atau telah, atau
bakal, dilakukan dengan suatu cara yang tidak adil merugikan (unfairly
prejudical) terhadap semua anggota (shareholders) dari perusahaan itu atau
kepada anggota tertentu dari Perusahaan tersebut. Sepanjang pengamatan
penulis, justifikasi tentang adanya unfairly prejudical terhdap Livio sebagai
pemegang saham minoritas, tidak secara eksplisit dinyatakan di dalam
Putusan itu oleh Majelis Hakim.
2.4.6. Remedy Hak terhadap Pemegang Saham Minoritas
Hal penting yang jgua sudah dikemukakan di atas sehubungan dengan
aspek perlindungan terhadap pemegang saham minoritas adalah aspek ganti
kerugian atau remedy. Dalam Putusan 137, Majelis hakim mempertimbangkan
bahwa walaupun suatu kerugian yang timbul karena keberadaan suatu perkara
aquo dan tidak dapat dimintakan terhadap pihak lawan, namun secara
kasuistis tuntutan ganti kerugian dimaksud dapat dinilai dari sisi kepatutan
dan kewajaran. Menurut Majelis Hakim dalam Putusan 137 tersebut, karena
dalam perkara itu ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Ny.
Naning dan Mr. Tarantino, maka sebagai kompensasi hukum atas perbuatan
melawan hukum yang dilakukan, dan karena ada tuntutan ganti kerugian yang
dituntut oleh pihak Livio, yang dalam hal ini harus dibaca sebagai
kepentingan pemegang saham minoritas, maka Majelis Hakim dalam Putusan
137 itu melihat atau menilai bahwa adalah sesuatu yang patut dan wajar dan
73
karenanya menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri di Provinsi Jawa
Tengah itu memandangnya sebagai beralasan untuk mengabulkan tuntutan
ganti rugi tersebut dan memberikan remedy berupa ganti rugi. Dalam bahasa
Inggris hukum, hal ini dikenal dengan damage. Ganti kerugian atau dalam
koneks penulisan karya tulis ini harus dibaca sebagai ganti kerugian dalam
rangka memulihkan hak-hak dan kepentingan pemegang saham minoritas itu
terdiri dari kerugian immateriil sebesar dua puluh lima juta rupiah dan materiil
sebesar dua puluh lima juta rupiah. Majelis Hakim juga menghukum Ny.
Naning dan Mr. Tarantino untuk membayar ongkos biaya perkara sebesar
dua ratus enam puluh sembilan ribu rupiah. Selebihnya majelis hakim
menolak gugatan pihak Livio untuk selain dan selebihnya. Hal seperti ini juga
tidak secara eksplisit ditemukan dalam studi kepustakaan terhadap bagaimana
perlindungan atas kepentingan pemegang saham minoritas yang berlaku di
Inggris, yang telah dikemukakan di atas. Uraian perpektif kepustakaan
mengenai hal itu sebagaimana dikemukakan di atas hanya memunculkan
bahwa manakala Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan (the conduct) yang
bersangkutan adalah langkah-langkah yang tidak adil dan merugikan, maka
Pengadilan dapat memerintahkan kepada Perusahaan tersebut untuk bertindak-
tanduk menurut cara-cara tertentu yang telah ditentukan di kemudian hari;
mencegah Perusahaan itu untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu;
memerintahkan Perusahaan itu untuk menggugat perbuatan salah atau
melawan hukum yang sudah dilakukan kepada Perusahaan itu;
memerintahkan kepada beberapa anggota dari perusahaan itu untuk membeli
74
saham-saham yang dikuasai oleh pihak lain; membuat perintah apa saja yang
menurut Pengadilan pantas71
.
71
Hasil Penelitian Individuil Jeferson Kameo, tidak dipublikasikan.