bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bioetanol
Etanol merupakan senyawa turunan dari etana (C2H6) dengan salah satu
atom H digantikan oleh gugus hidroksil. Gugus hidroksil yang terdapat pada
etanol akan menyebabkan polaritas molekul dan menimbulkan ikatan hidrogen
antar molekul. Sifat-sifat kimia dan fisika etanol sangat tergantung pada gugus
hidroksil tersebut. Kedua sifat tersebut menyebabkan perbedaan sifat fisik
alkohol, berat molekul rendah, dan senyawa hidrokarbon yang mempunyai berat
molekul ekuivalen.
Pada kondisi atmosferik, etanol merupakan cairan volatil yang mudah
terbakar, jernih, tidak berwarna, aromanya menyegarkan, mudah dikenali,
berkarakter khas, dan mudah larut dalam air. Secara umum etanol lebih dikenal
sebagai etil alkohol dengan rumus kimia C2H5OH. Secara detail, sifat-sifat fisik
etanol disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Sifat Fisik Etanol
Massa molekul relatif 46,07 g/mol Titik beku -114,10C
Titik didih normal 78,320C Densitas pada 20 0C 0,7893
Kelarutan dalam air 200C Sangat larut Viskositas pada 200C 1,17 cP Kalor spesifik 200C 0,579 kal/g0C
Kalor pembakaran 250C 7092,1 kal/g Sumber: Rizani, 2000
Etanol yang diproduksi dengan cara fermentasi menggunakan bahan baku
hayati dipopulerkan dengan nama bioetanol. Bioetanol adalah cairan biokimia,
tidak berwarna, larut dalam eter, air, aseton, benzen, dan semua pelarut organik,
memiliki bau khas alkohol, serta dihasilkan melalui proses fermentasi gula dari
sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme.
Bahan baku untuk produksi bioetanol terdiri atas :
1) Nira bergula (sukrosa), seperti : nira tebu, nira nipah, nira sorgum, nira
kelapa, nira aren, nira siwalan, dan sari buah mete.
7 Bab II Tinjauan Pustaka
Pengaruh Waktu Fermentasi dan Konsentrasi Gula terhadap Kadar Bioetanol
yang Dihasilkan dari Nira Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) secara Fermentasi
Menggunakan Saccharomyces cerevisiae
2) Bahan berpati, seperti : tepung-tepung biji sorgum, sagu, singkong/gaplek,
ubi jalar, ganyong, garut, dan umbi dahlia.
3) Bahan berserat selulosa atau lignoselulosa, seperti : kayu, jerami, batang
pisang, dan lain-lain.
Dari ketiga bahan baku tersebut bahan bergula merupakan bahan yang
sering digunakan untuk memproduksi bioetanol. Gula merupakan karbohidrat
dalam bentuk monosakarida dan disakarida yang merupakan senyawa bahan baku
fermentasi alkohol, sedangkan bahan berlignoselulosa merupakan bahan baku
yang jarang digunakan karena cukup sulit dalam penguraiannya menjadi
bioetanol.
Bioetanol yang dihasilkan dari proses fermentasi akan mengalami
pemurnian sehingga diperoleh bioetanol dengan kadar yang lebih tinggi. Untuk
meningkatkan kadar bioetanol hingga ± 95% maka perlu dilakukan distilasi pada
kondisi operasi yang disesuaikan dengan karakteristik bioetanol dan adsorpsi
menggunakan adsorben tertentu untuk menghilangkan sisa kandungan air dalam
bioetanol. Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan rendemen dengan rata-rata
19% pada pemurnian etanol menggunakan distilasi dengan suhu antara 78-90oC
adalah 3 jam (Suryanto, 1999).
Etanol biasa digunakan sebagai campuran untuk minuman keras, bahan
dasar industri farmasi, kosmetika, dan kini sebagai campuran bahan bakar untuk
kendaraan bermotor. Mengingat pemanfaatan etanol beraneka ragam sehingga
grade etanol yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya.
Untuk etanol yang mempunyai grade 90-95% biasa digunakan pada industri,
sedangkan etanol/bioetanol yang mempunyai grade 95-99% atau disebut alkohol
teknis dipergunakan sebagai campuran untuk minuman keras dan bahan dasar
industri farmasi.
Di bidang kesehatan, etanol banyak dimanfaatkan sebagai zat antiseptik dan
di bidang kecantikan etanol banyak digunakan dalam pembuatan parfume. Selain
itu, etanol juga banyak digunakan sebagai pelarut. Nama-nama ethanolik solvent
yang dikenal diantaranya synasol, shellacol, quakersol, tecsol, jaysol, pacosol,
8 Bab II Tinjauan Pustaka
Pengaruh Waktu Fermentasi dan Konsentrasi Gula terhadap Kadar Bioetanol
yang Dihasilkan dari Nira Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) secara Fermentasi
Menggunakan Saccharomyces cerevisiae
neosol, solox, anhydrol, paco, filmcol, filmex, dan sebagainya. Sebagai bahan
baku, etanol digunakan pula untuk pembuatan senyawa asetaldehid, butadiene,
dietil eter, etil asetat, asam asetat, dan sebagainya.
Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar juga mempunyai prospek yang
cerah. Bioetanol dapat digolongkan sebagai bahan yang dapat diperbaharui karena
dapat dibuat dari bahan baku yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Bioetanol
murni dapat digunakan sebagai pencampur pada bensin (gasoline). Grade
bioetanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan
bermotor ini harus benar-benar kering dan anhydrous agar tidak menimbulkan
korosif, sehingga bioetanol harus mempunyai grade tinggi antara 99,6-99,8%
(Fuel Grade Ethanol). Keuntungan penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar
alternatif pengganti minyak bumi adalah tidak memberikan tambahan netto
karbondioksida (CO2) pada lingkungan karena CO2 yang dihasilkan dari
pembakaran etanol diserap kembali oleh tumbuhan dan dengan bantuan sinar
matahari CO2 digunakan dalam proses fotosintesis. Penambahan bioetanol ke
bensin secara efektif akan membentuk oxygenated atau bahan bakar dengan ikatan
karbon–hidrogen– oksigen. Inilah yang akan mengurangi timbulnya polusi udara
terutama emisi karbonmonoksida (CO).
Angka oktan bensin hanya berkisar pada 87-88, sedangkan angka oktan
bioetanol adalah 117. Apabila kedua bahan tersebut bercampur, maka angka oktan
bensin akan meningkat. Dengan nilai oktan tinggi, maka proses pembakaran
menjadi lebih sempurna dan emisi gas buang hasil pembakaran dalam mesin
kendaraan bermotor menjadi lebih baik. Penggunaan bioetanol dari bahan alam ini
tidak menimbulkan polusi dan menjaga keseimbangan alam dalam siklus carbon.
Gambar 2.1. Bioetanol dari Batang Sorgum
9 Bab II Tinjauan Pustaka
Pengaruh Waktu Fermentasi dan Konsentrasi Gula terhadap Kadar Bioetanol
yang Dihasilkan dari Nira Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) secara Fermentasi
Menggunakan Saccharomyces cerevisiae
2.2 Tanaman Sorgum
Tanaman sorgum di Indonesia
sebenarnya sudah dikenal sejak
lama, namun pengembangannya
tidak sebaik padi dan jagung. Hal ini
disebabkan oleh masih sedikitnya
daerah yang memanfaatkan tanaman
sorgum sebagai bahan pangan. Gambar 2.2 Tanaman Sorgum
Sumber : Soeranto, 2012
Sorgum merupakan tanaman asli dari wilayah-wilayah tropis dan subtropis
di bagian Pasifik Tenggara dan beberapa negara, meliputi Australia, Selandia
Baru, dan Papua. Sorgum memiliki 32 spesies, di antara spesies-spesies tersebut
yang paling banyak dibudidayakan adalah spesies Sorghum bicolor (japonicum).
Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) merupakan tanaman yang termasuk
ke dalam famili Graminae bersama dengan padi, jagung, tebu, gandum, dan lain-
lain. Sorgum adalah tanaman serealia yang potensial untuk dibudidayakan dan
dikembangkan, khususnya pada daerah-daerah yang kurang produktif dan kering
di Indonesia.
Tanaman ini mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1925. Sorgum dikenal
di Indonesia dengan nama yang berbeda-beda, seperti “cantel” di Jawa Tengah
dan Jawa Timur, “jagung cantrik” di Jawa Barat, dan “batara tojeng” di Sulawesi
Selatan (Nanda, dkk., 2008). Sorgum mulai berkembang sejak tahun 1973,
terutama di Demak, Kudus, Grobogan, Purwodadi, Lamongan, dan Bojonegoro
(Rufaizah, Ummi, 2011).
Adapun sifat-sifat tanaman sorgum secara morfologis dan fisiologis yaitu
sebagai berikut :
1) Bagian tanaman yang terdapat di atas tanah tumbuh lambat sebelum
perakarannya berkembang dengan baik.
2) Berakar serabut dengan sistem perakarannya terdiri atas akar-akar seminal
(akar-akar primer) pada dasar buku pertama pangkal batang, akar-akar
10 Bab II Tinjauan Pustaka
Pengaruh Waktu Fermentasi dan Konsentrasi Gula terhadap Kadar Bioetanol
yang Dihasilkan dari Nira Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) secara Fermentasi
Menggunakan Saccharomyces cerevisiae
koronal (akar-akar pada pangkal batang yang tumbuh ke arah atas), dan akar
udara (akar-akar yang tumbuh di permukaan tanah). Tanaman sorgum
membentuk perakaran sekunder dua kali lipat dari jagung.
3) Batang beruas-ruas dan berbuku-buku, tidak bercabang, dan pada bagian
tengah batang terdapat seludang pembuluh yang diselubungi oleh lapisan
keras (sel-sel parenkim).
4) Daun tumbuh melekat pada buku-buku batang dan tumbuh memanjang yang
terdiri atas kelopak daun, lidah daun, dan helaian daun. Daun berlapis lilin
dapat menggulung bila terjadi kekeringan.
5) Bunga tersusun dalam malai dan tiap malai terdiri atas banyak bunga yang
dapat menyerbuk sendiri atau silang.
6) Biji tertutup oleh sekam yang berwarna kekuning-kuningan atau kecoklat-
coklatan. Warna biji bervariasi yaitu coklat muda, putih atau putih suram
tergantung varietas.
Sorgum memiliki tinggi rata-rata 2,6-4 meter. Pohon dan daun sorgum
sangat mirip dengan jagung. Pohon sorgum tidak memiliki kambium. Jenis
sorgum manis memiliki kandungan gula yang tinggi pada batangnya. Biji sorgum
berbentuk bulat dengan ujung mengerucut, berukuran diameter + 2 mm. Satu
pohon sorgum mempunyai satu tangkai buah yang memiliki beberapa cabang
buah.
Komposisi nilai nutrisi tanaman sorgum tidak kalah dari tanaman serealia
lainnya seperti padi, jagung, dan ubi kayu. Perbandingan kandungan nutrisi
tanaman sorgum dibanding sumber pangan lain dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Perbandingan Nutrisi Sorgum dengan Bahan Pangan Lainnya
Unsur Nutrisi Kandungan/100 gram Beras Jagung Singkong Sorgum Kedelai
Protein (g) 6,8 8,7 1,2 11,0 30,2 Lemak (g) 0,7 4,5 0,3 3,3 15,6
Karbohidrat (g) 78,9 72,4 34,7 73,0 30,1 Kalsium (g) 0,006 0,009 0,033 0,028 0,196
Besi (g) 0,0008 0,0046 0,0007 0,0044 0,0069 Posfor (g) 0,14 0,38 0,04 0,287 0,506
Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI, 1992
11 Bab II Tinjauan Pustaka
Pengaruh Waktu Fermentasi dan Konsentrasi Gula terhadap Kadar Bioetanol
yang Dihasilkan dari Nira Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) secara Fermentasi
Menggunakan Saccharomyces cerevisiae
Tanaman sorgum memiliki beberapa keunggulan apabila dibandingkan
dengan tanaman tebu. Keunggulannya terletak pada tingkat produktivitas dan
ketahanan tanaman sorgum. Produksi biji dan biomassa lebih besar dibandingkan
dengan tebu. Selain itu, tanaman sorgum lebih tahan terhadap kekeringan
dibanding jenis tanaman serealia lainnya. Tanaman ini mampu beradaptasi pada
daerah yang luas mulai dari daerah dengan iklim tropis dan kering sampai daerah
beriklim basah. Tanaman sorgum dapat tumbuh pada lahan-lahan yang kurang
produktif. Budidayanya mudah dengan biaya yang relatif murah, dapat ditanam
monokultur maupun tumpang sari, produktifitas tinggi, dan dapat dipanen lebih
dari 1 kali dalam sekali tanam dengan hasil yang tidak jauh berbeda tergantung
pemeliharaan tanamannya. Selain itu tanaman sorgum lebih resisten terhadap
serangan hama dan penyakit sehingga resiko gagal relatif kecil. Karakteristik budi
daya sorgum disajikan pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Karakteristik Budidaya Sorgum
Karakteristik Sorgum Produktivitas Biji dan biomass Lahan Tanam Marginal Kebutuhan air 332 kg / kg bahan kering
Laju Fotosintesis Tinggi dan cepat Kebutuhan benih 4,5-5 kg / ha
Perbanyakan Benih Benih baru dan dari tunas Sumber : Setyaningsih, 2009
Sorgum merupakan tanaman yang mempunyai banyak kegunaan. Hampir
seluruh bagian dari tanaman sorgum seperti biji, tangkai biji, daun, batang, dan
akar dapat dimanfaatkan. Produk-produk seperti gula, bioetanol, kerajinan tangan,
pati, biomassa, dan lain-lain merupakan beberapa produk yang dapat dihasilkan
dari tanaman sorgum. Manfaat dari tanaman sorgum yaitu sebagai berikut :
1. Bahan baku industri kertas, nira, gula, alkohol, apritus, dan monosodium
glutamat (MSG)
2. Bahan baku pakan ternak (biji sorgum)
3. Bahan baku media jamur merang (Mushroom)
4. Bahan baku pembuatan bioetanol (batang dan biji)
12 Bab II Tinjauan Pustaka
Pengaruh Waktu Fermentasi dan Konsentrasi Gula terhadap Kadar Bioetanol
yang Dihasilkan dari Nira Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) secara Fermentasi
Menggunakan Saccharomyces cerevisiae
5. Bahan baku berbagai jenis makanan, seperti bubur sorgum, dodol sorgum,
dan lain-lain.
6. Sorgum sebagai bahan pangan telah dimanfaatkan untuk makanan
pokok (beras sorgum) di daerah tertentu (Pulau Jawa), campuran pembuatan
makanan selingan (kue, biskuit dan roti) dan makanan lainnya seperti tape
7. Sorgum sebagai produk pangan telah diolah lebih lanjut dengan cara giling
kering menjadi beras sorgum dan tepung, dengan giling basah mendapatkan
pati, dan dekstrose (Anonim 2, 2012).
Batang sorgum (Gambar 2.3) dapat menghasilkan nira (Gambar 2.4) yang
memiliki konsentrasi gula cukup besar sehingga niranya dapat difermentasi
menjadi bioetanol. Nira merupakan cairan bening yang terkandung dalam batang
sorgum yang dapat diperoleh dengan cara menggiling batang sorgum
menggunakan mesin penggiling. Untuk pembuatan 1 liter bioetanol membutuhkan
22–25 kg batang sorgum (Supriyanto dan Purnomo, 2007).
Kandungan gula pada batang sorgum meliputi sukrosa dan gula invert
(glukosa, fruktosa, maltosa, dan xilosa) (Almodares et al., 2008). Secara teori,
nira dari batang sorgum dapat dikonversi menjadi etanol dengan efisiensi 85%
(Almodares dan Hadi, 2009). Dibandingkan dengan tebu, etanol yang dihasilkan
sorgum lebih bersih dan tanpa endapan (Reddy et al., 2007).
Gambar 2.3 Batang Sorgum Gambar 2.4 Nira Sorgum
Sumber : http://anaszu.files.wordpress.com/ 2009/06/batang
13 Bab II Tinjauan Pustaka
Pengaruh Waktu Fermentasi dan Konsentrasi Gula terhadap Kadar Bioetanol
yang Dihasilkan dari Nira Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) secara Fermentasi
Menggunakan Saccharomyces cerevisiae
Komposisi batang dan nira sorgum dapat dilihat pada Tabel 2.4 dan 2.5. Tabel 2.4 Komposisi Batang Sorgum
Komposisi Batang Sorgum (% w/w) Air 73
Gula 12,98 Selulosa 5,32
Hemiselulosa 3,74 Lignin 2,66
Pengotor 2,3 Sumber : Prasad et al., 2007
Tabel 2.5 Komposisi Nira Sorgum
Komposisi Nira sorgum (%) Brix 13,6-18,40
Gula total 11-16 Sukrosa 10,0-14,40
Gula reduksi 0,75-1,35 Kadar abu 1,28-1,57 Kadar air 73
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 1996
2.3 Fermentasi Etanol
Salah satu metode pembuatan bioetanol yang paling terkenal adalah
fermentasi. Fermentasi berasal dari bahasa latin yaitu fervere yang berarti
mendidih (to boil). Hal ini berkaitan dengan adanya aktifitas khamir pada ekstrak
buah–buahan atau serelia karena selama proses fermentasi dihasilkan gas CO2
yang terbentuk akibat proses katabolisme anaerob pada gula yang terdapat di
dalam ekstrak tersebut (Riadi, 2007).
Ruang lingkup proses fermentasi terdiri atas fermentasi yang menghasilkan
sel (biomassa) sebagai produk (contohnya single cell protein), fermentasi yang
memproduksi enzim (contohnya enzim glucoamilase), fermentasi yang
menghasilkan hasil metabolisme mikroba yaitu primary metabolite product
(contohnya alkohol) dan secondary metabolite product (contohnya antibiotik).
Pola pembentukan produk hasil metabolisme mikroba dapat digolongkan ke
dalam tiga pola seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5.
14 Bab II Tinjauan Pustaka
Pengaruh Waktu Fermentasi dan Konsentrasi Gula terhadap Kadar Bioetanol
yang Dihasilkan dari Nira Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) secara Fermentasi
Menggunakan Saccharomyces cerevisiae
Gambar 2.5 Pola-Pola Pembentukan Produk
Sumber : Dyah Rahayu, 2011
Pola pembentukan produk yang pertama yaitu pola pembentukan produk
yang berasosiasi dengan pertumbuhan (Growth-Associated Product Formation)
(Gambar 2.5 A). Pada pola ini laju pembentukan produk berbanding lurus dengan
laju pertumbuhan dan umumnya dijumpai pada proses yang produknya
merupakan hasil langsung suatu jalur katabolik (misalnya fermentasi gula menjadi
etanol) atau metabolit primer. Pola campuran (Mix Growth Associated Product
Formation) (Gambar 2.5 B) yaitu produk terbentuk selama pertumbuhan lambat
dan fasa stasioner. Asam laktat dan xanthan gum merupakan contoh metabolit
sekunder yang diproduksi melalui pola campuran (Mangunwidjaja, 1994). Pola
pembentukan produk yang tidak berasosiasi dengan pertumbuhan (Non Growth
Associated Product Formation) (Gambar 2.5 C) merupakan pembentukan produk
yang terjadi pada fasa stasioner. Antibiotik merupakan metabolit sekunder yang
terbentuk melalui pola pembentukan produk yang tidak berasosiasi dengan
pertumbuhan.
Fermentasi merupakan proses yang memanfaatkan kemampuan mikroba
untuk menghasilkan metabolit primer dan metabolit sekunder dalam suatu
lingkungan yang dikendalikan. Proses pertumbuhan mikroba merupakan tahap
awal proses fermentasi yang dikendalikan terutama dalam pengembangan
inokulum agar diperoleh sel yang hidup. Pengendalian dilakukan dengan
pengaturan kondisi media, komposisi media, suplay oksigen, dan agitasi. Selain
itu, jumlah mikroba dalam fermentor pun harus dikendalikan sehingga tidak
terjadi kompetisi dalam penggunaan nutrisi. Pengendalian diperlukan karena
pertumbuhan sel dalam suatu media fermentasi merupakan puncak aktivitas
15 Bab II Tinjauan Pustaka
Pengaruh Waktu Fermentasi dan Konsentrasi Gula terhadap Kadar Bioetanol
yang Dihasilkan dari Nira Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) secara Fermentasi
Menggunakan Saccharomyces cerevisiae
fisiologis yang saling mempengaruhi. Pertumbuhan mikrobial ditandai dengan
peningkatan jumlah dan massa sel serta kecepatan pertumbuhan tergantung pada
lingkungan fisik dan kimia (Silvania dan Dewi, 2011).
Pertumbuhan mikrobial terdiri atas beberapa fase seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Kurva Pertumbuhan Mikrobial
Sumber : Supriyanto, 2009
Fase pertumbuhan mikroba diawali dengan pemindahan mikroba dari suatu
medium ke medium lain yang menyebabkan mikroba akan mengalami fase
adaptasi untuk melakukan penyesuaian dengan substrat dan kondisi lingkungan
sekitar. Pada fase ini belum terjadi pembelahan sel karena beberapa enzim
mungkin belum disintesis. Setelah mengalami fase adaptasi, mikroba mulai
membelah dengan kecepatan yang masih rendah yang disebut dengan fase
pertumbuhan awal. Selanjutnya, sel mikroba akan membelah dengan cepat dan
konstan sehingga massa sel dan jumlah sel akan bertambah secara eksponensial
terhadap waktu. Fase ini disebut fase eksponensial atau logaritmik. Fase
perlambatan pertumbuhan terjadi setelah fase eksponensial yang ditandai dengan
sel tidak stabil, tetapi jumlah populasi masih naik karena jumlah sel yang tumbuh
masih lebih banyak daripada jumlah sel yang mati. Setelah fase perlambatan
selesai, maka dimulailah fase stasioner. Pada fase ini laju pertumbuhan adalah nol
(tidak ada pembelahan sel). Setelah fase stasioner kemudian akan terjadi fase
kematian yaitu sebagian populasi mikroba mulai mengalami kematian yang
disebabkan oleh nutrien di dalam medium sudah habis (Supriyanto, 2009).
16 Bab II Tinjauan Pustaka
Pengaruh Waktu Fermentasi dan Konsentrasi Gula terhadap Kadar Bioetanol
yang Dihasilkan dari Nira Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) secara Fermentasi
Menggunakan Saccharomyces cerevisiae
Fermentasi etanol merupakan proses pembuatan etanol dengan
memanfaatkan aktifitas yeast. Produksi etanol oleh yeast adalah proses anaerob,
meskipun pertumbuhan sel baru memerlukan sedikit oksigen untuk menunjang
kehidupan sel penghasil etanol (Alamsyah, 2007).
Produksi etanol dari substrat gula oleh Saccharomyces cerevisiae
merupakan proses fermentasi dengan kinetika sangat sederhana. Disebut
sederhana karena hanya melibatkan satu fase pertumbuhan dan produksi, pada
fase tersebut gula diubah secara simultan menjadi biomassa, etanol, dan CO2
(Said, 2004).
Saccharomyces cerevisiae merupakan salah satu jenis mikroorganisme yang
memiliki daya konversi gula menjadi etanol yang sangat tinggi. Mikroorganisme
ini menghasilkan enzim zimase dan invertase. Enzim zimase berfungsi sebagai
pemecah sukrosa menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa). Enzim invertase
selanjutnya mengubah glukosa menjadi etanol. Reaksinya adalah sebagai berikut :
1) Inversi
C12
H22
O11
+ H2O
C
6H
12O
6 + C
6H
12O
6
(sukrosa) (glukosa) (fruktosa)
2) Fermentasi
C6H
12O
6 2C2H
5OH + 2CO
2 + 2ATP + 57 kkal
(glukosa) (etanol) Sumber : Alamsyah, 2007
Selama proses fermentasi, terjadi penurunan pH akibat pembentukan asam
piruvat sebagai produk antara etanol. Kondisi pH yang sangat rendah dapat
mempengaruhi pertumbuhan mikroba, dengan demikian diperlukan mikroba yang
memiliki toleransi terhadap pH rendah.
2.3.1 Media Fermentasi
Berbagai media fermentasi telah dikembangkan untuk menghasilkan
formulasi media fermentasi yang tepat untuk proses fermentasi dengan
mikroorganisme tertentu. Menurut Silvania dan Dewi (2011) beberapa kriteria
Zimase
Invertase
17 Bab II Tinjauan Pustaka
Pengaruh Waktu Fermentasi dan Konsentrasi Gula terhadap Kadar Bioetanol
yang Dihasilkan dari Nira Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) secara Fermentasi
Menggunakan Saccharomyces cerevisiae
pemilihan media fermentasi agar mikroba dapat tumbuh dan berkembangbiak
dengan baik adalah sebagai berikut :
1) Menghasilkan perolehan atau yield biomassa dan produk yang maksimum
per gram substrat yang digunakan.
2) Menghasilkan konsentrasi biomassa dan produk yang maksimum.
3) Menghasilkan kecepatan pembentukan produk yang maksimum.
4) Menghasilkan perolehan atau yield yang minimum untuk produk yang tidak
diinginkan.
5) Murah, memiliki kualitas yang berkesinambungan, dan tersedia sepanjang
tahun.
6) Mengandung semua unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan mikroba.
7) Media harus mempunyai pH yang sesuai dengan kebutuhan mikroba.
8) Media harus dalam keadaan steril sehingga tidak ditumbuhi mikroba lain.
9) Mudah dalam penanganan selama proses terutama untuk pengadukan,
aerasi, ekstraksi, purifikasi, dan penanganan limbah.
Saccharomyces cerevisiae dalam memproduksi etanol menggunakan gula
sebagai sumber karbon. Selain sumber karbon, ke dalam media fermentasi juga
ditambahkan zat-zat lain yang berfungsi sebagai makronutrien dan mikronutrien
serta growth factor. Untuk sumber nitrogen dapat dipenuhi dengan penambahan
pupuk urea dan NPK. Mineral-mineral yang dipergunakan mikroorganisme salah
satunya adalah asam phospat yang dapat diambil dari pupuk TSP (Suhendar,
2007) dan kalium dihidrophospat (KH2PO4).
Media pertumbuhan merupakan suatu bahan yang terdiri atas campuran zat-
zat makananan (nutrisi) yang diperlukan mikroba untuk pertumbuhannya. Media
pertumbuhan untuk pemiaraan mikroba dapat berupa bahan alami atau bahan
sintetis. Bahan alami dapat berupa kentang, tempe, daging, sedangkan untuk
bahan sintetis berupa senyawa kimia baik senyawa organik maupun anorganik.
18 Bab II Tinjauan Pustaka
Pengaruh Waktu Fermentasi dan Konsentrasi Gula terhadap Kadar Bioetanol
yang Dihasilkan dari Nira Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) secara Fermentasi
Menggunakan Saccharomyces cerevisiae
2.3.2 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Fermentasi Etanol
Fermentasi etanol merupakan hasil kegiatan mikroorganisme. Agar proses
fermentasi dapat berjalan dengan baik, maka beberapa faktor yang mempengaruhi
kegiatan mikroorganisme perlu diperhatikan. Menurut Riadi (2007) beberapa
faktor utama yang mempengaruhi proses fermentasi adalah :
1) Kadar gula
Bahan dengan konsentrasi gula tinggi mempunyai efek negatif pada yeast,
baik pada pertumbuhan maupun aktivitas fermentasinya. Kadar gula yang baik
berkisar 10-18%.
2) Nilai keasaman
Saccharomycess cereviseae dapat tumbuh baik pada range pH 3-6, namun
apabila pH lebih kecil dari 3 maka proses fermentasi akan berkurang
kecepatannya, pH yang paling optimum pada 4,5-5,5.
3) Temperatur
Temperatur berpengaruh terhadap proses fermentasi yaitu secara langsung
mempengaruhi aktivitas enzim khamir dan secara tidak langsung mempengaruhi
hasil alkohol karena adanya penguapan. Temperatur optimum pertumbuhan dan
aktivitas selnya yaitu berkisar 28-32oC (Fardiaz, 1992).
4) Nutrien
Nutrien diperlukan sebagai tambahan makanan bagi pertumbuhan yeast.
Nutrien yang diperlukan misalnya garam ammonium dan garam phosphat (pupuk
urea).
5) Aerasi
Oksigen diperlukan untuk pertumbuhan yeast tapi tidak diperlukan dalam
proses fermentasi alkohol karena proses fermentasi alkohol bersifat anaerob.
Udara atau oksigen selama proses fermentasi harus diatur sebaik mungkin untuk
memperbanyak atau menghambat pertumbuhan mikroba tertentu.
6) Waktu
Waktu fermentasi pada umumnya sekitar 7 hari atau lebih tergantung kadar
gula, suhu, dan faktor-faktor lain.
19 Bab II Tinjauan Pustaka
Pengaruh Waktu Fermentasi dan Konsentrasi Gula terhadap Kadar Bioetanol
yang Dihasilkan dari Nira Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) secara Fermentasi
Menggunakan Saccharomyces cerevisiae
2.4 Saccharomyces cerevisiae
Pemilihan mikroorganisme biasanya didasarkan pada jenis karbohidrat yang
digunakan sebagai medium. Saccharomyces cerevisiae merupakan salah satu jenis
ragi yang sering digunakan untuk memproduksi etanol dari pati dan gula.
Pemilihan tersebut bertujuan agar didapatkan mikroorganisme yang mampu
tumbuh dengan cepat dan mempunyai toleransi terhadap konsentrasi gula yang
tinggi, mampu menghasilkan etanol dalam jumlah yang banyak dan tahan
terhadap etanol tersebut (Simanjuntak, 2009).
Ragi atau istilah resminya adalah yeast atau khamir merupakan organisme
bersel tunggal jenis eukariotik. Berbeda dengan bakteri, yeast memiliki ukuran sel
lebih besar (sekitar 10 kali), memiliki organ-organ dan membran inti sel, serta
DNA terlokalisasi di dalam kromosom dalam inti sel.
Ragi yang mengandung mikroflora seperti kapang, khamir, dan bakteri
dapat berfungsi sebagai starter fermentasi. Menurut Eka dan Halim (2009) syarat-
syarat khamir yang dapat dipakai dalam proses fermentasi yaitu sebagai berikut :
1) Mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang biak dengan cepat dalam
substrat yang sesuai.
2) Dapat menghasilkan enzim dengan cepat untuk mengubah glukosa menjadi
alkohol.
3) Mempunyai daya fermentasi yang tinggi terhadap glukosa, fruktosa,
galaktosa, dan maltosa.
4) Mempunyai daya tahan dalam lingkungan di kadar alkohol yang relatif
tinggi.
5) Tahan terhadap mikroba lain
Untuk keperluan hidupnya khamir memerlukan bahan-bahan organik dan
anorganik. Khamir mendapatkan energi dari ikatan karbon untuk pertumbuhan
dan perkembangbiakannya yang berasal dari molekul sederhana seperti gula, asam
organik, aldehid, dan gliserol. Selain sumber karbon, dibutuhkan pula penyediaan
unsur-unsur lain seperti nitrogen, phosphor, sulfur, dan unsur-unsur lain. Nitrogen
merupakan komponen utama dari asam amino yang akan diubah menjadi protein
20 Bab II Tinjauan Pustaka
Pengaruh Waktu Fermentasi dan Konsentrasi Gula terhadap Kadar Bioetanol
yang Dihasilkan dari Nira Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) secara Fermentasi
Menggunakan Saccharomyces cerevisiae
dan penting bagi perkembangan protoplasma. Phospor sebagai phosphat
mempunyai peranan penting dalam metabolisme sel dan sulfur adalah bahan yang
penting pada sistem enzim.
Saccharomyces cerevisiae adalah khamir yang berbentuk bulat lonjong,
silindris, oval, atau bulat telur yang dipengaruhi oleh strainnya (Gambar 2.7),
berkembang biak dengan membelah diri, dan bersifat fakultatif anerobik.
Reproduksinya dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan serta jumlah nutrisi
yang tersedia bagi pertumbuhan sel. Ketidakmampuan untuk memanfaatkan nitrat
dan kemampuan untuk memfermentasi karbohidrat adalah karakteristik khas dari
Saccharomyces. Berdasarkan kemampuannya dalam menghasilkan alkohol inilah,
maka S. cerevisiae disebut sebagai mikroorganisme aman (Generally Regarded as
Safe) yang paling komersial saat ini.
Gambar 2.7 Saccharomyces cerevisiae
Sumber : Nikon, 2004 ; Landecker, 1972 ; Lodder, 1970
Menurut Fardiaz (1992), temperatur pertumbuhan yang optimum untuk
Saccharomyces cerevisiae adalah 28-320C dan pH optimum untuk pertumbuhan
adalah 4,5-5,5 (Moat dan Foster, 1988). Menurut Said (1987), konsentrasi etanol
maksimum yang dapat dihasilkan mikroba berkisar antara 9-15%.