bab ii tinjauan pustaka dan pengembangan …digilib.unila.ac.id/5148/11/bab ii.pdfbukan lagi aturan,...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. International Finacial Reporting System.
IFRS merupakan standar akuntansi internasional yang diterbitkan oleh
International Accounting Standard Board (IASB). Standar Akuntansi
Internasional (International Accounting Standards/IAS) disusun oleh empat
organisasi utama dunia yaitu
1. International Accounting Standard Board (IASB).
2. European Commision (EC)
3. International Organization of Securities Commissions (IOSOC)
4. International Federation of Accountant (IFAC).
Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB) yang dahulu bernama Komisi
Standar Akuntansi Internasional (AISC), merupakan lembaga independen untuk
menyusun standar akuntansi. Organisasi ini memiliki tujuan mengembangkan dan
mendorong penggunaan standar akuntansi global yang berkualitas tinggi, dapat
dipahami dan dapat diperbandingkan. Sedangkan manfaat IFRS dalah sebagai
berikut :
1. Meningkatkan daya banding laporan keuangan.
14
2. Memberikan informasi yang berkualitas di pasar modal internasional
3. Menghilangkan hambatan arus modal internasional dengan mengurangi
perbedaan dalam ketentuan pelaporan keuangan.
4. Mengurangi biaya pelaporan keuangan bagi perusahaan multinasional dan
biaya untuk analisis keuangan bagi para analis.
5. Meningkatkan kualitas pelaporan keuangan menuju “best practise”.
Sedangkan karakteristik IFRS adalah sebagai berikut:
1. IFRS menggunakan “Principles Base “ yaitu:
a. Lebih menekankan pada intepreatasi dan aplikasi atas standar sehingga
harus berfokus pada spirit penerapan prinsip tersebut.
b. Standar membutuhkan penilaian atas substansi transaksi dan evaluasi
apakah presentasi akuntansi mencerminkan realitas ekonomi.
c. Membutuhkan profesional judgment pada penerapan standar akuntansi.
2. Menggunakan fair value dalam penilaian, jika tidak ada nilai pasar aktif harus
melakukan penilaian sendiri (perlu kompetensi) atau menggunakan jasa
penilai.
3. Mengharuskan pengungkapan (disclosure) yang lebih banyak baik kuantitatif
maupun kualitatif
Dalam IFRS dikembangkan pendekatan pendekatan baru dalam pelaporan
keuangan untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan keterbandingan
15
laporan keuangan. Misalnya, ditingkatkannya pengungkapan informasi kualitatif
transaksi, pengaturan untuk pelaporan keuangan menggunakan pendekatan prinsip
bukan lagi aturan, dihapusnya pos-pos luar biasa, penyajian laporan keuangan
diubah untuk mencerminkan sifat laporan keuangan, dan penggunaan pendekatan
pengukuran nilai wajar (fair value), (Martani dkk, 2012).
Nilai wajar (fair value) didefinisikan dalam IFRS sebagai, “harga yang diterima
atas penjualan aset atau pembayaran untuk mentransfer liabilitas dalam transaksi
antar pihak yang berkepentingan pada tanggal pengukuran.” Nilai wajar ini
digunakan untuk mengukur: 1) satu aset, 2) sekelompok aset, 3) satu liabilitas, 4)
sekelompok liabilitas, 5) konsiderasi bersih dari satu atau lebih aset dikurangi satu
atau lebih liabilitas terkait, 6) satu segmen atau divisi dari sebuah entitas, 7) satu
lokasi atau wilayah dari suatu entitas, 8) satu keseluruhan entitas, 9) yang
dimaksud dengan pengukuran di atas bukan merupakan pengukuran awal (Martani
dkk, 2012).
Untuk pengukuran awal (saat aset diakuisisi atau liabilitas muncul), entitas tetap
menggunakan dasar kos pada saat terjadinya transaksi. Setelah pengukuran awal
(biasa disebut sebagai pengukuran setelah pengukuran awal), yaitu saat pelaporan
keuangan (dan untuk pelaporan seterusnya, selama aset masih dikuasai), entitas
boleh memilih model kos (berdasar kos historis) atau model revaluasi (berdasar
nilai wajar) untuk mengukur pos-pos laporan keuangannya, (Martani dkk, 2012).
Berbagai kemungkinan lain dapat terjadi dalam pengukuran nilai wajar. Hal ini
dikarenakan nilai wajar tidak berdasarkan pada bukti historis, namun didasarkan
16
pada seberapa bernilainya aset atau liabilitas pada saat pelaporan. Tidak adanya
bukti historis ini (kecuali untuk pendekatan pasar yang observable), merupakan
suatu celah untuk dilakukannya fraud. Entitas biasanya cenderung untuk
meningkatkan nilai aset dan pendapatannya atau menurunkan nilai liabilitas dan
biayanya. Oleh karena itu, penggunaan nilai wajar merupakan suatu tantangan
baru bagi profesi jasa penilai dan auditor.
2.2. Teori Agensi
Teori ini memegang peran penting dalam praktik bisnis perusahaan. Teori agensi
merupakan teori yang muncul karena adanya konflik kepentingan antara prinsipal
dan agen. Prinsipal sebagai pemegang saham sedangkan agen sebagai manajer.
Prinsipal mengontrak agen untuk melakukan pengelolaan sumber daya dalam
perusahaan. Tujuan utama dari teori keagenan adalah untuk menjelaskan
bagaimana pihak - pihak yang melakukan hubungan kontrak dapat mendesain
kontrak yang tujuannya untuk meminimalisir cost sebagai dampak adanya
informasi yang tidak simetris.
Teori agensi merupakan teori yang digunakan perusahaan dalam mendasari
praktik bisnisnya. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa teori keagenan
disebut juga sebagai teori kontraktual yang memandang suatu perusahaan sebagai
suatu perikatan kontrak antara anggota-anggota perusahaan. Mereka juga
menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebagai suatu kontrak antara satu
atau lebih pihak yang mempekerjakan pihak lain untuk melakukan suatu jasa
untuk kepentingan mereka yang meliputi pendelegasian beberapa kekuasaan
17
pengambilan keputusan kepada pihak lain tersebut. Dengan demikian, teori ini
mengindikasikan adanya kepentingan pada setiap pihak yang ada di perusahaan
untuk mencapai tujuan.
Pihak yang berkepentingan tersebut adalah pemegang saham sebagai prinsipal dan
manajer perusahaan sebagai agen. Agen harus melakukan tugas yang diberikan
oleh prinsipalnya sebagai tanggung jawab jasanya. Prinsipal diasumsikan hanya
tertarik pada pengembalian uang yang diperoleh dari investasi mereka pada
perusahaan. Sedangkan agen diasumsikan akan menerima kepuasan tidak hanya
dari kompensasi keuangan tetapi juga dari tambahan lain yang terlibat dalam
hubungan keagenan (Anthony dan Govindarajan, 2005).
Kedua pihak dalam teori agensi tersebut menginginkan keuntungan yang sebesar -
besarnya. Mereka juga berusaha menghindari risiko yang mungkin terjadi.
Adanya perbedaaan kepentingan antara kedua belah pihak dapat menyebabkan
terjadinya konflik keagenan. Manajer akan mengambil keputusan dan kebijakan
yang dapat menguntungkan dirinya sendiri sebelum memberikan manfaat kepada
pemegang saham. Padahal hal itu tidak sesuai dengan tujuan utama manajer yaitu
memaksimumkan kekayaan pemegang saham yang akan diwujudkan melalui
pemaksimuman harga saham biasa (Weston dan Brigham, 1990).
Konflik keagenan lainnya yang mungkin terjadi yaitu mengenai informasi asimetri
(assymetries information). Informasi asimetri timbul karena kurang lengkapnya
informasi yang diperoleh atau salah satu pihak tidak memiliki informasi yang
diketahui oleh pihak lainnya. Misalnya, manajer mungkin memiliki informasi
18
yang lebih banyak dibandingkan pemegang saham karena manajer adalah pihak
yang lebih sering berhadapan dengan kegiatan operasional di perusahaannya.
Dengan demikian, pemegang saham yang hanya memiliki sedikit informasi akan
kesulitan dalam mengontrol perusahaan yang dijalankan oleh manajer.
Adanya pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan ini akan
menyebabkan timbulnya asymmetry information. Menurut Scott (2003), terdapat
dua jenis asymmetric information, yaitu: adverse selection dan moral hazard.
Adverse selection adalah suatu tipe informasi asimetri dimana satu orang atau
lebih pelaku-pelaku transaksi bisnis atau transaksi-transaksi yang potensial
mempunyai informasi lebih atas yang lain (Scott, 2003). Ketimpangan
pengetahuan informasi perusahaan ini dapat menimbulkan masalah dalam
transaksi pasar modal karena investor tidak mempunyai informasi yang cukup
dalam pengambilan keputusan investasinya.
Sedangkan moral hazard adalah suatu tipe informasi asimetri dimana satu orang
atau lebih pelaku-pelaku bisnis atau transaksi-transaksi potensial yang dapat
mengamati kegiatan-kegiatan mereka secara penuh dibandingkan dengan pihak
lain (Scott, 2003). Masalah moral hazard ini terjadi karena pihak-pihak di luar
perusahaan (investor) mendelegasikan tugas dan kewenangannya kepada manajer
tetapi investor tidak dapat sepenuhnya memantau manajer dalam melaksanakan
pendelegasian tersebut.
Laporan keuangan yang digunakan oleh principal untuk memberikan kompensasi
kepada agen dengan harapan dapat mengurangi konflik keagenan dapat dimanfaatkan
19
oleh agen untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Akuntansi akrual yang
dicatat dengan basis akrual (accrual basis) merupakan subjek managerial discretion,
karena fleksibilitas yang diberikan oleh GAAP memberikan dorongan kepada
manajer untuk memodifikasi laporan keuangan agar dapat menghasilkan laporan laba
seperti yang diinginkan, meskipun menciptakan distorsi dalam pelaporan laba (Watts
dan Zimmerman, 1986).
Salah satu mekanisme yang diharapkan dapat mengontrol biaya keagenan yaitu
dengan menerapkan tata kolola perusahaan yang baik (good corporate governance).
Kaen (2003) menyatakan corporate governance pada dasarnya menyangkut masalah
siapa (who) yang seharusnya mengendalikan jalannya kegiatan korporasi dan
mengapa (why) harus dilakukan pengendalian terhadap jalannya kegiatan korporasi.
Yang dimaksud dengan siapa adalah para pemegang saham, sedangkan “mengapa”
adalah karena adanya hubungan antara pemegang saham dengan berbagai pihak yang
berkepentingan terhadap perusahaan.
Jansen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa untuk meminimalkan konflik
keagenan adalah dengan meningkatkan kepemilikan manajerial di dalam perusahaan.
Ross et al (1999) menyatakan bahwa semakin besar kepemilikan manjemen dalam
perusahaan maka manajemen akan cenderung untuk berusaha untuk meningkatkan
kinerjanya untuk kepentingan pemegang saham dan untuk kepentingannya sendiri.
Vafeas (2000) mengatakan bahwa selain kepemilikan manajerial, peranan dewan
komisaris juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas laba dengan membatasi
tingkat manajemen laba melalui fungsi monitoring atas pelaporan keuangan. Komite
audit yang dibentuk dalam perusahaan sebagai sebuah komite khusus diharapkan
20
dapat mengoptimalkan fungsi pengawasan yang sebelumnya dilakukan oleh dewan
komisaris, Komite audit meliputi: melakukan pengawasan terhadap laporan
keuangan, mengawasi audit eksternal, dan mengamati sistem pengendalian internal.
Berdasarkan argument tersebut, diharapkan bahwa good corporate governance dapat
meningkatkan kualitas pelaporan keuangan yang salah satunya adalah meningkatkan
kualitas laba yang dilaporkan. Kualitas laba yang baik diharapkan juga dapat
meningkatkan konservatisme akuntansi yang di terapkan perusahaan.
2.3. Konservatisme Akuntansi
Dalam penyajian laporan keuangan, akuntan dapat memilih metode akuntansi apa
yang akan diterapkan. Dalam konservatisme, akuntan dihadapkan dalam pilihan
dua atau lebih teknik akuntansi. Watts (2003) mendefinisikan konservatisme
sebagai prinsip kehati-hatian dalam pelaporan keuangan dimana perusahaan tidak
terburu-buru dalam mengakui dan mengukur aset dan laba serta segera mengakui
kerugian dan hutang yang mempunyai kemungkinan akan terjadi. Penerapan
prinsip ini mengakibatkan pilihan metode akuntansi ditujukan pada metode yang
melaporkan laba atau aset lebih rendah serta melaporkan hutang lebih tinggi
Sedangkan menurut Belkaoui, (2011:288) mendefinisikan “konservatisme sebagai
suatu prinsip pengecualian atau modifikasi dalam hal bahwa prinsip tersebut
bertindak sebagai batasan terhadap penyajian data akuntansi yang relevan dan
andal”. Prinsip ini menganggap ketika memilih antara dua atau lebih teknik
akuntansi yang berlaku umum, suatu preferensi ditujukan untuk opsi yang
memiliki dampak paling tidak menguntungkan terhadap ekuitas pemegang saham.
21
Prinsip ini mengimplikasikan bahwa nilai terendah dari aset dan pendapatan serta
nilai tertinggi dari kewajiban dan beban sebaiknya dipilih untuk dilaporkan.
Basu (1997) menyatakan bahwa “konservatisme merupakan praktik akuntansi
dengan mengurangi laba dan menurunkan nilai aset bersih ketika menghadapi bad
news akan tetapi tidak meningkatkan laba dan menaikkan nilai aset bersih ketika
menghadapi good news.”
Konservatisme dalam pelaporan keuangan dibedakan menjadi dua bagian yaitu
konservatisme dari prinsip akuntansi berterima umum (conservatism of GAAP)
dan konservatisme diskresioner. Konservatisme dari PABU adalah konservatisme
yang ditentukan oleh standar para manajer, contohnya manajer diwajibkan
menggunakan nilai terendah dari cost atau pasar (lower of cost or market) untuk
penilaian persediaan, mencatat kerugian dan biaya dengan segera tetapi tidak
untuk laba. Sedangkan konservatisme diskresioner adalah konservatisme yang
dihasilkan dari keleluasaan manajer dalam pelaporan, contohnya dalam
mengestimasi tingkat keusangan persediaan.
Jadi konservatisme akuntansi adalah mengukur aktiva dan laba dengan kehati
hatian oleh karena aktivitas ekonomi dan bisnis yang dilingkupi suatu ketidak
pastian yang tercermin dalam laporan keuangan perusahaan untuk memberikan
manfaat bagi pengguna laporan keuangan.
Di dalam Standar Akuntansi Keuangan disebutkan bahwa terdapat berbagai
metode yang dapat dipilih perusahaan untuk menerapkan prinsip konservatisme:
22
1. PSAK No. 14 (Revisi 2008) yang mengatur perlakuan akuntansi untuk
persediaan.
2. PSAK No.17 (1994) tentang akuntansi penyusutan yang diganti oleh PSAK
No. 16 (Revisi 2007) mengenai aset tetap dan pilihan dalam menghitung biaya
penyusutannya.
3. PSAK No.19 (Revisi 2010) untuk menentukan perlakuan akuntansi bagi aset
tidak berwujud yang tidak diatur secara khusus pada standar lainnya.
4. PSAK No.20 tentang Biaya Riset dan Pengembangan.
Helaman (2007), kebutuhan "konservatisme" sering terkait dengan pelaporan yang
dapat diandalkan atas peristiwa masa lalu, yang menyiratkan penekanan pada
backward looking, pengelolaan dan perilaku auditor. Seorang auditor tidaklah
dituntut agar laporan keuangan menjadi terlalu konservatif. Tujuan standar
akuntansi modern yang utama adalah berorientasi masa depan, yang bertujuan
untuk membantu kepentingan investor dan pihak pengguna laporan keuangan
lainnya dalam pengambilan keputusan mereka. Dengan demikian, konservatisme
tidak lagi diatur dalam prinsip akuntansi di bawah Standar Pelaporan Keuangan
Internasional (IFRS). Laporan keuangan berdasarkan IFRS harus bersifat dapat
dimengerti, relevan, dapat diandalkan dan sebanding, tetapi tanpa bias konservatif.
Hal ini juga tercermin dalam metode akuntansi yang ditetapkan oleh Standar
Akuntansi Internasional (IASB).
23
2.4. Pengkuran Konservatisme Akuntansi.
Menurut Watts (2003b) terdapat tiga ukuran yang digunakan dalam mengukur
konservatisme antara lain:
a. Earning atau Stock Return Relation Measures.
Pengukuran ini didasari adanya stock market price yang berusaha untuk
merefleksikan perubahan nilai aset pada saat terjadinya perubahan baik rugi
ataupun laba dalam nilai aset, stock return tetap berusaha untuk
melaporkannya sesuai dengan waktunya. Basu (1997) menyatakan bahwa
konservatisme menyebabkan kejadian-kejadian yang merupakan kabar buruk
dan kabar baik terefleksi dalam waktu yang tidak sama (asimetri waktu
pengakuan). Hal ini sesuai dengan salah satu definisi konservatisme yang
menyebutkan bahwa kejadian yang diperkirakan akan menyebabkan kerugian
bagi perusahaan harus segera diakui, hal itu membuat kabar buruk lebih cepat
terefleksi dalam laba dibandingkan kabar baik.
b. Earning atau Accrual Measures
Yaitu menggunakan selisih antara net income dan cash flow Watss (2003b).
Net income yang digunakan adalah net income sebelum depresiasi dan
amortisasi, sedangkan cash flow yang digunakan adalah cash flow dari
aktivitas operasi. Givoly dan Hayn (2000) melihat kecenderungan dari akun
akrual selama beberapa tahun, apabila terjadi akrual negatif (net income
lebih kecil daripada cash flow dari aktivitas operasi) yang konsisten selama
24
beberapa tahun, maka hal tersebut merupakan indikasi adanya penerapan
konservatisme. Selain itu, Givoly dan Hayn (2000) membagi akrual menjadi
dua yaitu :
1. Operating accrual
Berdasarkan literatur Criterion Research Group, dinyatakan bahwa
Operating accrual menangkap perubahan dalam aset lancar, kas bersih
dan investasi jangka pendek, dikurang dengan perubahan dalam aset
lancar, utang jangka pendek bersih. Operating accrual yang utama
meliputi piutang dagang dan persediaan dan kewajiban. Akun ini
merupakan akun klasik yang digunakan untuk memanipulasi earnings
untuk mencapai tujuan pelaporan.
2. Non-operating accrual.
Berdasarkan literatur Criterion Research Group, menyatakan bahwa
Non current (operating) accrual menangkap perbedaan dalam non-
current assets, investasi non ekuitas jangka panjang bersih, dikurang
perubahan dalam non-current liabilities, hutang jangka panjang bersih.
Komponen non operating accrual (pada sisi aset) yang utama adalah
aset tetap dan aset tidak berwujud.
Non-current assets ini tergantung pada write down ketika aset tersebut
diputuskan telah di turunkan nilainya (impaired), dan penentuan dari
beberapa permanent impaeirement yang banyak melibatkan abnormal
25
manajerial. Pada sisi kewajiban terdapat sebuah varietas dari akun-akun
seperti utang jangka panjang, penangguhan pajak dan post retirement
benefits yang juga merupakan manifestasi atas estimasi dan asumsi
subjektif (seperti estimasi akuntansi konpensional, pengembalian yang
diharapkan atas aset, pertumbuhan yang diharapkan atas pertumbuhan
upah pegawai, dan lain lain)
Givoly dan Hayn (2002) menyatakan bahwa apabila akrual bernilai
negatif, maka laba digolongkan konservative, hal ini disebabkan oleh
laba lebih rendah dari cash flow yang bersumber dari aktivitas operasi
yang diperoleh oleh perusahaan pada perioda tertentu. Persamaannya
dapat dilihat sebagai berikut:
Non-operating
accruals =
Total accruals (before depreciation) −
Operating accruals
Dimana:
1. Total Accrual (before depreciation) = (net income + depreciation) –
Cash flow from operational.
2. Operating Accrual = Δ Account Receivable +Δ Inventories + Δ
prepaid expense – Δ Account Payable - Δ Accrued expense – Δ tax
payable.
26
c. Net assets measures.
Ukuran ini digunakan untuk mengetahui tingkat konservatisme dalam
penyajian laporankeuangan yaitu untuk menilai nilai aset yang under
statement dan kewajiban yang over statement. Salah satu model pengukuran
ini adalah dengan proksi book to market ratio yang mencerminkan nilai
pasar relatif terhadap nilai buku perusahaan.
2.5. Coporate Governance
Corporate Governance merupakan proses dan struktur yang digunakan untuk
mengarahkan dan mengelola bisnis serta urusan-urusan perusahaan, dalam rangka
meningkatkan kemakmuran bisnis dan akuntabilitas perusahaan, dengan tujuan
utama mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain.
Corporate governance adalah seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan
antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta
para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya sehubungan dengan
hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan
dan mengendalikan perusahaan (Forum for Corporate Governance in Indonesia /
FCGI).
Good Corporate Governance juga merupakan sistem yang harus menjamin
terpenuhinya kewajiban perusahaan kepada shareholders dan seluruh
stakeholders, dan harus mampu bekerjasama dengan stakeholders dalam
27
mencapai tujuan perusahaan. Buruknya hubungan perusahaan dengan
stakeholders dapat menimbulkan hambatan dan gangguan pada jalannya operasi
perusahaan.
Manfaat Corporate Governance adalah untuk 1) Memudahkan akses terhadap
investasi domestik maupun asing. 2) Mendapatkan cost of capital yang lebih
murah (debt/capital) 3) Memberikan keputusan yang lebih baik dalam
meningkatkan kinerja ekonomi perusahaan. 4) Meningkatkan keyakinan dan
kepercayaan dari shareholder dan stakeholder terhadap perusahaan. 5)
Mempengaruhi harga saham secara positif. 6) Meningkatkan kontribusi BUMN
terhadap penerimaan Negara dalam bentuk pajak dan dividen, serta meningkatkan
kesejahteraan karyawan. 7) Melindungi Direksi/Komisaris/Dewan Pengawas dari
tuntutan hukum dan melindungi dari intervensi politis serta usaha-usaha campur
tangan di luar mekanisme korporasi (Forum for Corporate Governance in
Indonesia / FCGI).
OECD menyusun prinsip-prinsip good corporate governance yang
dikelompokkan dalam 5 (lima) hal, yaitu :
1. Perlindungan atas hak-hak pemegang saham.
2. Perlakuan yang adil bagi seluruh pemegang saham.
3. Peranan stakeholders dalam corporate governance.
4. Keterbukaan dan Tranparansi.
28
5. Akuntabilitas Direksi dan Komisaris
Maksud Penerapan Prinsip-Prinsip Corporate Governance (Berdasarkan Pedoman
Corporate Governance- KNKCG) Memaksimalkan nilai Perseroan bagi
pemegang saham dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas,
dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki daya
saing yang kuat, baik secara nasional maupun secara internasional, serta dengan
demikian menciptakan iklim yang mendukung investasi. Mendorong pengelolaan
perseroan secara profesional, transparan dan efisien, serta memberdayakan fungsi
dan meningkatkan kemandirian Dewan Komisaris, Direksi, dan Rapat Umum
Pemegang Saham. Mendorong agar pemegang Saham, anggota Dewan Komisaris
dan anggota Direksi dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan
dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial
Perseroan terhadap pihak yang berkepentingan (stakeholders) maupun kelestarian
lingkungan di sekitar Perseroan.
2.6. Konservatisme Akuntansi dan Implementasi Corporate Governance.
Untuk meminimalisasi adanya permasalahan agensi, maka dibuatlah kontrak-
kontrak dalam perusahaan baik kontrak antara pemegang saham dengan
manajernya maupun kontrak antara manajemen dengan karyawan, pemasok, dan
kreditur. Namun, konflik yang terjadi tidak dapat di atasi secara menyeluruh
dengan menggunakan kontrak tersebut karena dalam membuat kontrak
29
membutuhkan biaya yang mahal. Oleh karena itu, mekanisme corporate
governance memainkan peran penting dalam mengurangi konflik tersebut.
Corporate governance diterapkan oleh perusahaan dengan tujuan untuk mengatasi
permasalahan keagenan. Corporate governance Sebagai keseluruhan tatanan
legal, kebudayaan, dan institusional yang mengatur: (i) apa yang dapat dilakukan
oleh perusahaan publik; (ii) siapa yang berhak mengendalikan perusahaan; (iii)
bagaimana pengendalian dilakukan; dan (iv) bagaimana risiko dan imbal hasil
saham dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan tersebut
dialokasikan (Wardhani, 2009). Prinsip-prinsip utama corporate governance
dikembangkan oleh Organization for Economic Co-operation and Development
(OECD) yang telah menerbitkan dan mempublikasikan Principles of Corporate
Governance yang terdiri dari empat pilar utama yaitu keadilan, transparansi,
akuntanbilitas, dan tanggung jawab (Wardhani, 2009).
Dalam mekanisme corporate governance, dewan komisaris memiliki peranan
dan tugas yang sangat penting. Peran dewan komisaris sebagai fungsi pengawas
dapat memberikan kontribusi terhadap proses penyusunan laporan keuangan yang
berkualitas dan mengandung informasi yang relevan bagi pengambil keputusan.
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mengemukakan bahwa
tugas tugas utama dewan komisaris antara lain :
1. Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja,
kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha,
30
menetapkan sasaran kerja, mengawasi pelaksanaan dankinerja perusahaan,
serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset.
2. Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan penggajian
anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota
dewan direksi yang transparan dan adil.
3. Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat
manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris, termasuk
penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan.
4. Memonitor pelaksanaan Governance, dan mengadakan perubahan jika
diperlukan.
5. Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan
(OECD) Principles of Corporate Governance.
Dalam proses pelaporan keuangan, dewan komisaris membutuhkan informasi
yang akurat agar dapat memonitor kinerja manajer secara efektif dan efisien.
Sistem akuntansi dan pelaporan keuangan merupakan salah satu informasi yang
dapat diandalkan dalam memonitor dan mengevaluasi manajer dan dalam proses
pengambilan keputusan dan penetapan strategi. Konservatisme merupakan
karakteristik yang penting dari sistem akuntansi perusahaan yang dapat membantu
dewan komisaris dalam mengurangi biaya agensi dan meningkatkan kualitas
informasi laporan keuangan sehingga pada akhirnya akan meningkatkan nilai
perusahaan dan harga sahamnya (Ahmed dan Duellman 2007).
31
Dengan adanya monitoring dewan komisaris diharapkanakan membentuk good
corporate governance yang akan mempengaruhi tingginya transparansi laporan
keuangan, rendahnya manipulasi akuntansi, dan adanya batasan terhadap
kemampuan manajer dalam menyembunyikan bad news dalam waktu yang lama
(Lara et all, 2005).
Ahmed dan Duellman (2007) konservatisme memainkan peranan dalam
memonitor kebijakan investasi perusahaan. Dengan mensyaratkan pengakuan
yang lebih cepat atas kerugian ekonomis atau ekspektasi kerugian, konservatisme
membantu dalam mengidentifikasi proyek yang memiliki NPV negatif atau
investasi yang berkinerja buruk. Identifikasi yang cepat atas proyek yang memiliki
NPV negatif memberikan tanda untuk dewan komisaris dalam menginvestigasi
proyek dan manajer secara bersama-sama. Hal tersebut juga akan membatasi
kerugian yang mungkin muncul dari keputusan investasi yang buruk sehingga
akan meningkatkan nilai perusahaan.
Dengan adanya monitoring dewan komisaris diharapkan akan membentuk good
corporate governance yang akan mempengaruhi tingginya transparansi laporan
keuangan, rendahnya manipulasi akuntansi, dan adanya batasan terhadap
kemampuan manajer dalam menyembunyikan bad news dalam waktu yang lama
(Lara et al, 2005). Jadi, corporate governance yang kuat diharapkan akan
mengakibatkan permintaan yang tinggi untuk informasi yang tepat dan mencegah
manajer dalam menyembunyikan informasi yang kurang menyenangkan.
32
2.7. Penelitian Terdahulu.
Penelitian tentang konservatisme akuntasi telah banyak dilakukan baik di
indonesia maupun di negara negara lain seperti terlihat dalam tabel di bawah ini:
1. Andre dan Filip (2012) meneliti dampak perubahan wajib adopsi IFRS tahun
2005 pada perusahaan di Eropa terhadap tingkat konservatisme akuntansi.
Penelitian ini membahas perbedaan konservatisme akuntansi perusahaan di
seluruh negara dan pengaturan kelembagaan dan hukum yang bervariasi.
Sampel dalam penelitian ini terdi dari 16 Negera di eropa dengan total
observasi sebanyak 7.378 . Andre dan Filip menumukan bahwa tingkat
konservatisme pasca penerapan IFRS tidak berbeda secara signifikan di
seluruh perusahaan pada negara-negara Uni Eropa. Akhirnya, penurunan
konservatisme yang paling signifikan pada perusahaan di negara-negara yang
memiliki perbedaan besar dengan standar baru yaitu IFRS
2. Zhang (2011) meneliti tentang dampak mengadopsi IFRS terhadap kualitas
laba. Studi ini mengkaji apakah IFRS adopsi memiliki efek positif pada
kualitas laba diproksikan dengan konservatisme akuntansi di New Zealand,
Zhang (2011) menggunakan 771 pengamatan pada perusahaan yang terdaftar
NZSX dan NZAX selama periode tahun 2000-2009. Zhang (2011)
menunjukkan bahwa adanya konservatisme bersyarat untuk pra dan pasca
adopsi IFRS. Konservatisma akuntansi meningkat setelah adopsi IFRS di
Selandia Baru khususnya perusahaan yang menerapkan IFRS sesuai dengan
33
dengan peraturan pemereintah dan konservatisme akuntansi menurun untuk
perusahaan yang secara sukarela menerapkan IFRS.
3. Ahmed dan Duellman (2007) meneliti tentang hubungan antara konservatisme
akuntansi dan karakteristik dewan. Sampel yang digunakan terdiri dari 306
perusahaan dari S & P 500 selama tahun fiskal 1999 sampai 2001. Ahmed dan
Duellman (2007) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara praktek
akuntansi yang konservatis dengan karakteristik dewan. Secara spesifik
penelitian mereka menyimpulkan adanya hubungan yang negatif antara
persentase inside directors dalam dewan dengan konservatisme dan hubungan
yang positif antara persentase kepemilikan perusahaan oleh outside directors
dan konservatisme akuntansi dan memberi bukti bahwa praktik konservatisme
telah dijalankan sejak tahun 1950-an, dan ada kecenderungan intensitasnya
semakin meningkat sebelum diterapkannya IFRS.
4. Hellman (2007) meneliti tentang Bagaimana prinsip konservatisme
diterapkan berdasarkan IFRS dan implikasi kontrol manajemen
konservatisme akuntansi berdasarkan IFRS. Penelitian ini dilakukan di
Swedia dari Tahun 2000 sampai dengan tahun 2005. Helaman menyatakan
bahwa Penekanan yang lebih rendah dari konservatisme yang konsisten di
berdasarkan IFRS akan digantikan oleh penekanan lebih besar pada
konservatisme sementara dan konservatisme di perusahaan memanfaatkan
biaya pengembangan menyebabkan efek berlawanan pada pengukuran kinerja
yang memiliki implikasi negatif untuk kontrol dan motivasi manajer.
34
Helaman (2007) menyimpulkan bahwa kebutuhan konservatisme sering
dikaitkan dengan keandalan pelaporan dari peristiwa masa lalu. Namun, tujuan
dari standar akuntansi modern (IFRS) adalah mengutamakan orientasi masa
depan, untuk membantu para investor dan pemangku kepentingan lainnya
dalam pengambilan keputusan mereka. Dengan demikian, konservatisme
akuntansi tidak menjadi prinsip yang diatur dalam standar akuntansi
internasional (IFRS)
5. Givoly dan Hayn (2000), mengkaji kekuatan dan keandalan diferensial ukuran
ketepatan waktu yang dikembangkan oleh Basu (1997) untuk mengukur
pelaporan konservatisme, sampel akhir 14.383 perusahaan dan 131.920
perusahaan-tahun, menyatakan bahwa perbedaan dalam ketepatan waktu
pelaporan kabar buruk dibandingkan kabar baik cenderung lebih menonjol
dari pada dilaporkan sebelumnya. Selanjutnya, kami memberikan bukti
tambahan pada asosiasi negatif antara ukuran ketepatan waktu dan aspek
alternatif konservatisme, menunjukkan bahwa ketergantungan ekslusif pada
setiap ukuran tunggal untuk menilai konservatisme keseluruhan periode
pelaporan (perusahaan, negara atau periode waktu) cenderung mengarah ke
salah kesimpulan.
6. Gassen (2006) menganalisis faktor-faktor penentu adopsi IFRS sukarela oleh
perusahaan publik di Jerman selama periode 1998 2004, Sampel yang
digunakan seluruh perusahaan yang terdaftar di Wordscope Universe. Gassen
(2006) membuktikan bahawa, 1). faktor utama yang menyebabkan
35
perusahaan mengadopsi IFRS secara sukarela adalah ukuran perusahaan,
internasional exoposure, penyebaran kepemilikan, dan IPO. 2) Perusahaan
mengadopsi IFRS secara sukarela memiliki perbedaan kualitas laba jika di
bandingkan perusahaan yang mendopsi IFRS karena peraturan, yaitu memiliki
laba yang persisten, kurang dapat di prediksi, serta memeiliki laba yang
konservatif. 3) perusahaan yang mengadopsi IFRS dengan sukarela mengalami
penurunan asimetri informasi jika di bandingkan perusahaan yang mendopsi
IFRS karena peraturan.
7. Martani dan Dini (2010) melakukan penelitian mengenai pengaruh cash flow
terhadap pengukuran accounting conservatism, dalam penelitian ini selain
Cash Flow, juga dibahas mengenai pengaruh leverage dan ukuran perusahaan
terhadap pengukuran konservatisme pada perusahaan yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2006. Hasil penelitian
tersebut membuktikan bahwa operating cash flow berpengaruh positif
terhadap konservatisme baik dengan model pengukuran akrual atau pun
dengan metode pengukuran market value. Sedangkan untuk investment cash
flow berpengruh terhadap konservatisme akuntansi, namun hanya untuk
konservatisme yang diukur dengan metode market value. Dalam penelitian
Martani dan Dini (2010) dibuktikan pula bahwa leverage dan ukuran
perusahaan berpengaruh terhadap konservatisme akuntansi. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan penolakan terhadap debt covenant hypothesis
namun menerima political cost hypothesis.
36
8. Wardhani (2008) meneliti tentang Tingkat konservatisme akuntansi di
Indonesia dan hubungannya dengan karakteristik dewan sebagai salah satu
mekanisme Corporate Governance pada perusahaan manufaktur yang
terdaftar di BEI dari tahun 2003 sampai tahun 2006. Sampel yang digunakan
sebanyak 69 perusahaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan
komite audit berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap tingkat
konservatisme dengan menggunakan ukuran akrual. Hasil ini menunjukkan
bahwa dengan adanya komite audit dalam suatu perusahaan, maka proses
pelaporan keuangan perusahaan akan termonitor dengan baik. Komite audit ini
akan memastikan bahwa perusahaan menerapkan prinsip prinsip akuntansi
yang akan menghasilkan informasi keuangan perusahaan yang akurat dan
berkualitas melalui penggunaan prinsip konservatisme yang lebih tinggi dalam
proses pelaporan keuangan perusahaan.
9. Almilia (2005) meneliti tentang Size Hypothesis dan Debt / Equity berhasil
mendukung debt covenant hypothesis dalam positive accounting theory pada
peruhaan yang terdaftar di bursa efek jakarta dari tahun 2000 sampai dengan
tahun 2005 sebanyak 23 perusahaan. Hasil penelitiannya yang membuktikan
bahwa debt to total assets ratio berpengaruh negatif terhadap konservatisme.
Akan tetapi, penelitian Almilia (2005) tidak membuktikan bahwa ukuran
perusahaan berpengaruh positif terhadap konservatisme. Ukuran perusahaan
justru berpengaruh negatif terhadap konservatisme akuntansi, jadi penelitian
tersebut tidak mendukung political cost hypothesis dalam positive accounting
37
theory, karena semakin besar ukuran perusahaan justru mengindikasikan
rendahnya penerapan konservatisme akuntansi.
Utuk lebih jelasnya dapat di lihat pada tabel di bawah ini:
38
Tabel 2.1. Penelitian terdahulu
No Peneliti Judul Variabel Hasil
1 Andre dan
Filip (2012)
Dampak perubahan wajib
adopsi IFRS tahun 2005 pada
perusahaan di Eropa terhadap
tingkat konservatisme
akuntansi
Konservatisme Akuntansi
1. Tingkat konservatisme pasca-IFRS tidak
berbeda secara signifikan di seluruh
sebagian besar negara-negara Uni Eropa.
2. Terjadi penurunan konservatisme
akuntansi di Eropa pasca IFRS
2 Zhang (2011) Dampak adopsi IFRS
terhadap kualitas laba
1. Earnings per share
2. Return
3. DR
4. IFRS
1. Konservatisme akuntansi secara signifikan
meningkat setelah adopsi IFRS di Selandia
Baru.
2. Konservatisma akuntansi meningkat setelah
adopsi IFRS di Selandia Baru khususnya
perusahaan yang menerapkan IFRS sesuai
39
dengan dengan peraturan pemereintahan
dan konservatisme akuntansi menuru untuk
perusahaan yang secara sukarela
menerapkan IFRS
3 Ahmed dan
Duellman
(2007)
Hubungan antara
konservatisme akuntansi dan
karakteristik dewan.
1. Konservatisme
Akuntansi.
2. Persentase Dewan
Komisaris
Independen.
3. Kepemilikan
Manajerial
Variabel Kontrol
4. Kepemilikan
Komisaris di luar
Karakteristik Dewan :
1. Persentase Dewan Komisaris Independen
berpengaruh negative terhadap
Konservatisme Akuntansi.
2. Kepemilikan Manajerial berpengaruh
terhadap konservatisme akuntansi
40
Komisaris Independen
5. Kepemilikan
Institusional
6. Ukuran Direksi
7. Ukuran Perusahaan.
8. Pertumbuhan
Penjualan
4 Hellman
(2007)
Konservatisme akuntansi
berdasarkan IFRS
a. Bagaimana prinsip
konservatisme
diterapkan
berdasarkan IFRS
b. implikasi kontrol
manajemen
konservatisme
1. Penekanan yang lebih rendah dari
konservatisme yang konsisten berdasarkan
IFRS akan digantikan oleh penekanan lebih
besar pada konservatisme sementara.
2. Konservatisme di perusahaan
memanfaatkan biaya pengembangan
menyebabkan efek berlawanan pada
41
akuntansi berdasarkan
IFRS.
pengukuran kinerja yang memiliki implikasi
negatif untuk kontrol dan motivasi manajer.
5 Givoly dan
Hayn (2006)
Mengukur Pelaporan
Konservatisme
1. Koservatisme
Akuntansi
2. Ketepatan Waktu
1. Sensitif terhadap tingkat keseragaman
dalam isi berita selama periode
penelitian, jenis peristiwa yang terjadi
pada periode tersebut, dan kebijakan
pengungkapan perusahaan.
2. Perbedaan dalam ketepatan waktu
pelaporan buruk dibandingkan kabar
baik cenderung lebih menonjol dari
yang dilaporkan sebelumnya.
3. Ketergantungan ekslusif pada setiap
ukuran untuk menilai konservatisme
keseluruhan periode pelaporan
42
(perusahaan, negara atau jangka waktu)
yang cenderung mengarah ke salah
kesimpulan.
6 Gassen (2006) Penerapan IFRS di Jerman -
Determinan dan Konsekuensi
IFRS
Ukuran Perusahaan
Pengalaman Internasional,
dispersi kepemilikan
Kulitas Laba
1. Faktor penentu perusahaan menerapkan
IFRS di jerman adalah ukuran perusahaan,
pengalaman international, dispersi
kepemilikan.
2. Perusahaan yang menerapkan IFRS di
Jerman memiliki laba yang persisten dan
lebih konservatif jika di bandingkan dengan
perusahaan yang menerapkan Jerman-
GAAP.
7 Martani dan
Dini (2010)
Pengaruh cash flow terhadap
pengukuran accounting
1. Accounting
Conservatism
1. CFO berpengaruh positif terhadap
Accounting Conservatism
43
conservatism, 2. CFO
3. CFI
4. LEV
2. CFI berpengaruh positif terhadap
Accounting Conservatism
3. LEV berpengaruh positif terhadap
Accounting Conservatism
8 Wardhani
(2008)
Tingkat konservatisme
akuntansi di Indonesia dan
hubungannya dengan
karakteristik dewan sebagai
saah tu mekanisme
Corporate Governance
1. Konservatisme
Akuntansi.
2. Jumlah Komisaris.
3. Persentase
kepemilikan
Manajerial
4. Komite audit
5. Kepemilikan
Institusioan
Variabel Kontrol
1. Komite audit berpengaruh positif terhadap
konservatisme akuntansi, sedangkan Jumlah
komisaris, Kepemilikan
Manajerial,Kepemilikan Institusional tidak
berpengaruh terhadap konservatisme
akuntansi dengan ukuran akrual
2. Komite audit , Kepemilikan Manajerial
berpengaruh positif terhadap konservatisme
akuntansi, sedangkan Jumlah komisaris,
Kepemilikan Institusional tidak berpengaruh
44
6. Laverage
7. Ukuran Perusahaan.
8. Pertumbuhan
Penjualan
terhadap konservatisme akuntansi dengan
ukran Akrual Nilai Pasar
9 Almilia
(2005)
Pengaruh Konservatisma
Akuntansi Terhadap
Penilaian Ekuitas Perusahaan
Dimoderasi Oleh Good
Corporate Governance
Nilai pasar perusahaan
Konservatisme Akuntansi
Kepemilikan Manajerial
Proporsi anggota dewan
komisaris
1. Konservatisme Akuntansi berpengaruh
positif terhadap Nilai Pasar Perusahaan
2. Sedangkan Kepemilikan Manajerial,
Proporsi anggota dewan komisaris
berpengaruh negatif terhadap Nilai
Pasar Perusahaan
45
2.8. Pengembangan Hipotesis.
Penelitian ini akan meneliti tingkat konservatisme akuntansi setelah adopsi IFRS
yang di perkirakan dan pengaruhi oleh karakteristik dewan yang secara spesifik
berkaitan dengan independensi dari komisaris, ferkwensi pertemuan dewan
komisaris, kepemilikan oleh komisaris di luar komisaris independen dan direksi,
dan tingkat pendidikan ketua komite audit. Karakteristik dewan tersebut
merupakan mekanisme corporate governance yang sangat penting yang akan
mempengaruhi kebijakan perusahaan dalam pelaporan kondisi keuangan
perusahaan, terutama yang terkait dengan konservatisme akuntansi akan berbeda
dengan sebelum dan sesudah di adopsinya IFRS.
Dari paparan di atas peneliti merumuskan suatu hipotesis untuk menjawab
permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut :
2.8.1. Tingkat Konservatisme Akuntansi
Dalam IFRS dikembangkan pendekatan-pendekatan baru dalam pelaporan
keuangan untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan keterbandingan
laporan keuangan. Misalnya, ditingkatkannya pengungkapan informasi kualitatif
transaksi, pengaturan untuk pelaporan keuangan menggunakan pendekatan prinsip
bukan lagi aturan, dihapusnya pos-pos luar biasa, penyajian laporan keuangan
diubah untuk mencerminkan sifat laporan keuangan, dan penggunaan pendekatan
pengukuran nilai wajar (fair value).
46
Zhang (2011) menunjukkan adanya konservatisme bersyarat untuk kedua pra dan
pasca adopsi IFRS. Konservatisma akuntansi meningkat setelah adopsi IFRS di
Selandia Baru khususnya perusahaan yang menerapkan IFRS sesuai dengan
dengan peraturan pemereintahan dan konservatisme akuntansi menurun untuk
perusahaan yang secara sukarela menerapkan IFRS. Gasen dan Sellhorn (2006),
membuktikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal kualitas laba yang
di proksikan dengan konservatisme akuntansi, yaitu perusahaan setelah mengadopsi
IFRS memiliki laba lebih persisten, kurang dapat diprediksi dan laba lebih konservatif
Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu hipotesis sebagai berikut:
H1: Tedapat perbedaan tingkat konservatisme akuntansi pada perusahaan
manufaktur yang terdaftar di BEI sebelum dan sesudah adopsi IFRS.
2.8.2. Karakteristik Dewan (Board of Director) dan Konservatisme Akuntansi
setelah Adopsi IFRS.
Wardhani (2008) salah satu faktor yang mempengaruhi konsrvatisme akuntansi
adalah karakteristik dewan sebagai salah satu mekanisme Corporate Governance
yang merupakan elemen kunci dalam meningkatkan efisiensi ekonomis, yang
meliputi serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, dewan komisaris,
para pemegang saham, dan stakeholders lainnya. Corporate governance juga
mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan
atas kinerja.
Dalam mekanisme corporate governance , karakteristik dewan (board of
47
directors) memegang peranan yang sangat vital. Dalam proses pelaporan
keuangan, board of directors membutuhkan informasi yang akurat agar dapat
memonitor kinerja manajer secara efektif dan efisien, hal ini sesuai dengan
manfaat yang terkadung dalam IFRS yaitu memberika informasi yang berkualitas,
mengurangi biaya pelaporan, dan meningkatkan kualitas pelaporan keuangan.
Sistem akuntansi dan pelaporan keuangan merupakan salah satu informasi yang dapat
diandalkan dalam memonitor dan mengevaluasi manajer dan dalam proses
pengambilan keputusan dan penetapan strategi (Watts dan Zimmerman, 1986;
Bushman dan Smith, 2001 dalam Ahmed dan Duellman, 2007). Konservatisme
merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting dalam sistem akuntansi
perusahaan yang dapat membantu board of directors dalam mengurangi biaya agensi
dan meningkatkan kualitas informasi laporan keuangan sehingga pada akhirnya akan
meningkatkan nilai perusahaan dan harga sahamnya (Watts, 2003, 2006 dalam
Ahmed dan Duellman, 2007).
Ahmed dan Duellman (2007) menyatakan bahwa board of directors yang kuat akan
mensyaratkan konservatisme yang lebih tinggi sehingga dapat membantunya dalam
mengurangi biaya agensi yang timbul karena adanya informasi yang asimetris antara
manajer dengan pihak lain. Sedangkan Ball (2001) yang menyatakan bahwa
konservatisme akan memfasilitasi implementasi governance melalui perannya
sebagai fungsi monitoring terhadap kebijakan investasi perusahaan. Dengan
mensyaratkan pengakuan yang lebih cepat atas ekspektasi kerugian, konservatisme
membantu manajer untuk mengidentifikasikan proyek yang memiliki NPV negatif
atau investasi yang memiliki kinerja buruk. Konservatisme juga akan membatasi
48
kerugian yang mungkin muncul dari keputusan investasi yang berkinerja buruk dan
sehingga akan meningkatkan nilai perusahaan (Ahmed dan Duellman, 2007).
Argumentasi di atas menunjukkan bahwa konservatisme merupakan alat yang sangat
berguna bagi board of directors (terutama direksi luar) dalam menjalankan fungsi
mereka sebagai pengambil keputusan dan pihak yang memonitor manajemen.
Berdasarkan pandangan tersebut, maka kekuatan karakteristik dewan sebagai salah
satu mekanisme corporate governance akan berhubungan secara positif dengan
konservatisme akuntansi.
1. Proporsi Komisaris independen dan konservatisme akuntansi.
Komisaris independen merupakan pihak yang tidak terafiliasi dengan
pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan komisaris lain, dan
perusahaan itu sendiri baik dalam bentuk hubungan bisnis maupun
kekeluargaan. Salah satu fungsi utama dari komisaris independen adalah
untuk menjalankan fungsi monitoring yang bersifat independen terhadap
kinerja manajemen perusahaan. Keberadaan komisaris dapat
menyeimbangkan kekuatan pihak manajemen terutama CEO dalam
pengelolaan perusahaan melalui fungsi monitoringnya. (Ahmed dan
Duellman, 2007).
Dalam menjalankan fungsinya, komisaris independen akan sangat
membutuhkan informasi yang akurat dan berkualitas, hal ini sesuai dengan
salah satu manfaat IFRS. Konservatisme merupakan alat yang sangat
berguna bagi board of directors (terutama komisaris independen) dalam
49
menjalankan fungsi mereka sebagai pengambil keputusan dan pihak yang
memonitor manajemen. Board of directors yang kuat didominasi oleh
komisaris independen akan mensyaratkan informasi yang lebih berkualitas
sehingga mereka akan cenderung untuk lebih menggunakan prinsip
akuntansi yang lebih konservatif ( Wahdhani, 2008 ).
Dilain pihak, board of directors yang di dominasi oleh pihak internal atau
board of directors yang memiliki insentif monitoring yang lemah akan
memberikan kesempatan yang lebih besar bagi manajer untuk menggunakan
prinsip akuntansi yang lebih agresif atau kurang konservatif (Ahmed dan
Duellman 2007).
Beasley (1996) menyarankan bahwa masuknya dewan komisaris yang
berasal dari luar perusahaan (komisaris independen), meningkatkan
efektivitas dewan tersebut dalam mengawasi manajemen untuk mencegah
kecurangan laporan keuangan. Hasil penelitiannya juga melaporkan bahwa
komposisi dewan komisaris independen lebih penting untuk mengurangi
terjadinya kecurangan pelaporan keuangan, daripada kehadiran komite
audit.
Berdasarkan teori teori di atas maka yang dapat di rumuskan suatu hipotesis
sebagai berikut:
50
H2: Proporsi Komisaris Independensi berpengaruh secara positif
terhadap tingkat konservatisme akuntansi setelah adopsi IFRS.
2. Intensitas pertemuan dewan komisaris dan konservatisme
Dewan komisaris memiliki peranan dan tugas yang sangat penting. Peran
dewan komisaris sebagai fungsi pengawas dapat memberikan kontribusi
terhadap proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas dan
mengandung informasi yang relevan bagi pengambil keputusan. Forum for
Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mengemukakan bahwa tugas
tugas utama dewan komisaris salah satunya adalah memantau proses
keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan (OECD)
Principles of Corporate Governance.
Dewan komisaris memegang penting dalam mengawasi kebijakan kebijakan
akuntansi yang diterapkan oleh direksi dan manajer dalam suatu entitas.
Lara et al. (2005) menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki dewan
yang kuat mensyaratkan tingkat konservatisme yang lebih tinggi dari pada
perusahaan dengan dewan yang lemah. Dengan adanya monitoring dewan
komisaris diharapkanakan membentuk good corporate governance yang
akan mempengaruhi tingginya transparansi laporan keuangan, rendahnya
manipulasi akuntansi, dan adanya batasan terhadap kemampuan manajer
dalam menyembunyikan bad news dalam waktu yang lama, dengan
51
demikian laporan keuangan yang di sajikan oleh manajer dan direksi lebih
konservatif.
Ahmed dan Duellman (2007) semakin tinggi intensitas pertemuan yang di
lakukan oleh dewan komisaris maka proses monitoring terhadap aktivitas
dan kebijakan yang diterapkan oleh manajer dan direksi semakin efektif
dan efisien sehingga informasi keuangan yang di laporkan lebih akuntabel
dan konservatif.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi intensitas
pertemuan yang di lakukan oeh dewan komisaris maka semakin besar
kekuatan dari dewan komisaris dalam melakukan pengawasan tehadap
tindakan yang dilakukan manajer, sehingga penggunaan akuntansi yang
konservatif akan semakin tinggi pula. Berdasarkan penjelasan tersebut,
maka dibentuklah hipotesis berikut ini:
H3: Intensitas pertemuan dewan komisaris berpengaruh secara
positif terhadap tingkat konservatisme akuntansi setelah adopsi
IFRS.
3. Kepemilikan manajerial dan konservatisme akuntansi
Pada perusahaan modern, kepemilikan perusahaan biasanya sangat
menyebar. Kegiatan operasi perusahaan sehari-hari dijalankan oleh manajer
yang biasanya tidak mempunyai kepemilikan saham yang besar. Struktur
kepemilikan sangat penting dalam menentukan nilai perusahaan. Dua aspek
52
yang perlu dipertimbangkan antara lain: (i) konsentrasi kepemilikan
perusahaan oleh pihak luar (outsider ownership concentration) dan (ii)
kepemilikan perusahaan oleh manajer (manager ownership). Pemilik
perusahaan dari pihak luar berbeda dengan manajer karena kecil
kemungkinannya pemilik dari pihak luar terlibat dalam urusan bisnis
perusahaan sehari-hari.
Wardani (2008) dalam konteks konservatisme, kepemilikan oleh inside
directors dan manajemen dapat berperan sebagai fungsi monitoring dalam
proses pelaporan keuangan, dan juga dapat menjadi faktor pendorong
dilakukannya ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas. Apabila
inside directors dan manajemen menjalankan fungsi monitoringnya dengan
baik, maka ia akan mensyaratkan informasi dari pelaporan keuangan yang
memiliki kualitas tinggi sehinga mereka akan menuntut penggunaan prinsip
konservatisme yang lebih tinggi pula.
La. Fond dan Roychowdhury (2007) menyatakan bahwa konservatisme
dalam pelaporan keuangan ini merupakan salah satu mekanisme dalam
mengatasi permasalahan agensi ketika timbul pemisahan antara kepemilikan
dan pengendalian. Mereka menghipotesiskan bahwa semakin kecil
kepemilikan manajerial maka permasalahan agensi akan muncul semakin
besar, sehingga permintaan atas laporan yang bersifat konservatif akan
semakin meningkat. Konsisten dengan hipotesa tersebut, mereka menemukan
adanya hubungan yang negatif antara kepemilikan manajerial dengan
53
konservatisme yang diukur dengan menggunakan ukuran asymmetric timeliness
dari pengakuan laba dan rugi
Berdasarkan uaraian tersebut di atas dapat disusun suatu hipotesis sebagai
berikut:
H4: Kepemilikan manajerial berpengaruh secara negatif terhadap
konservatisme akuntansi setelah adopsi IFRS
4. Latar belakang pendidikan akuntansi dan keuangan anggota komite
audit dan konservatisme akuntansi
Pengetahuan dalam akuntansi dan keuangan memberikan dasar yang baik bagi
anggota komite audit untuk memeriksa dan menganalisis informasi keuangan.
Latar belakang pendidikan menjadi ciri penting untuk memastikan komite audit
melaksanakan peran mereka secara efektif.
Berdasarkan SK Ketua Bapepam No. 29/PM/2004 tentang Pembentukan dan
Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit, bahwa setiap komite audit
perusahaan harus memiliki minimal satu orang anggota yang memiliki keahlian
dalam bidang akuntansi dan keuangan. Keahlian ini sangat diperlukan dalam
perusahaan karena fungsi utama komite audit adalah mengawasi proses
pelaporan keuangan suatu perusahaan. Komite audit ini bertugas untuk
memastikan bahwa perusahaan menerapkan prinsip-prinsip akuntansi yang
akan menghasilkan informasi keuangan perusahaan yang akurat dan
berkualitas.
54
Ahli akuntansi atau ahli manajemen keuangan adalah seseorang yang memiliki
latar belakang pendidikan bidang akuntansi dan keuangan ataupun pernah
memegang jabatan penting di bidang akuntansi atau keuangan (Wardhani dan
Joseph, 2010). Apabila anggota komite audit tidak memiliki keahlian yang
cukup dalam bidang akuntansi dan keuangan, maka terdapat peluang yang lebih
besar bagi manajemen untuk menyajikan laba secara tidak wajar (Abbot et al.,
2004). Wardhani dan Joseph (2010) menemukan bahwa keahlian yang dimiliki
ketua komite audit berpengaruh negatif pada nilai manajemen laba. Namun,
hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian Kusumastuti et al (2007) dan
Pamudji dan Trihartati (2009) yang menemukan bahwa proporsi anggota dewan
yang memiliki latar belakang bisnis dan ekonomi tidak berpengaruh terhadap
nilai perusahaan.
Kusumastuti et al (2007) menyatakan tingkat pendidikan formal yang pernah
ditempuh seseorang merupakan karakteristik kognitif yang dapat
mempengaruhi cara berpikir dan kemampuan dalam pengambilan keputusan.
Semakin tinggi pendidikan dibidang akuntansi dan keuangan dari anggota
komite, maka semakin luas pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat memiliki
solusi yang lebih baik dalam menyelesaikan permasalahan. Keberadaan personal
yang memenuhi syarat sebagai anggota komite audit diharapkan dapat mengadopsi
standar akuntabilitas dan tingkat prestasi yang tinggi, dapat menyediakan bantuan
dalam peran mengontrol dan pengawasan.
Oleh karena itu keberadaan komite audit ini akan memastikan manajemen
menyajikan laporan keuangan sesuai dengan prinsip IFRS yaitu 1) Lebih
55
menekankan pada intepreatasi dan aplikasi atas standar sehingga harus
berfokus pada spirit penerapan prinsip tersebut. 2) Standar membutuhkan
penilaian atas substansi transaksi dan evaluasi apakah presentasi akuntansi
mencerminkan realitas ekonomi. 3) Membutuhkan profesional judgment
(Martani dkk, 2012)
Helaman (2007), kebutuhan "konservatisme" sering terkait dengan
pelaporan yang dapat diandalkan atas peristiwa masa lalu, yang menyiratkan
penekanan pada backward looking, pengelolaan dan perilaku auditor.
Seorang auditor tidaklah dituntut agar laporan keuangan menjadi terlalu
konservatif. Tujuan standar akuntansi modern yang utama adalah
berorientasi masa depan, yang bertujuan untuk membantu kepentingan
investor dan pihak pengguna laporan keuangan lainnya dalam pengambilan
keputusan mereka. Dengan demikian, konservatisme tidak lagi diatur dalam
prinsip akuntansi di bawah Standar Pelaporan Keuangan Internasional
(IFRS).
Berdasarkan penjelasan dan toeri di atas, dapat dirumuskan suatu hipotesis
dalam penelitian ini sebagai berikut:
H5: Latar belakang pendidikan akuntansi dan keuangan dari
anggota komite audit berpengaruh negatif terhadap tingkat
konservatisme akuntansi setelah adopsi IFRS .
56
5. Ukuran Perusahaan dan Konservatisme Akuntansi
Suatu perusahaan yang besar sangat lebih sensitive daripada perusahaan
yang kecil. Pernyataan Zimmerman (1983) yang dikutip oleh Almilia (2004)
ini mengakibatkan salah satu pemicu manajer untuk melakukan penurunan
laba. Hal ini dikarenakan untuk meminilmal kan risiko politik berupa biaya
biaya politik. Biaya politik mencakup semua biaya (transfer kekayaan) yang
harus ditanggung oleh perusahaan terkait dengan tindakan tindakan
antitrust, regulasi, subsidi pemerintah, pajak, tarif, tuntutan buruh dan lain
sebagainya (Watts dan Zimmerman, 1978 dalam Almilia, 2004).
Ukuran perusahaan akan mempengaruhi tingkat biaya politis yang dihadapi
perusahaan sehingga akan mempengaruhi penggunaan prinsip akuntansi
yang konservatis (Watts dan Zimmerman dalam Wardhani, 2008). Yang
dimaksud biaya politis disini adalah pajak yang dikenakan perusahaan oleh
pemerintah karena semakin besar ukuran perusahan, maka pajak yang
ditanggung semakin besar pula sehingga hal ini akan mempengaruhi
penggunaan prinsip akuntansi yang konservatif pula.
Perusahaan yang berukuran besar biasanya lebih diawasi oleh pemerintah
dan masyarakat. Jika perusahaan berukuran besar mempunyai laba tinggi
secara relatif permanen, maka pemerintah dapat terdorong untuk menaikkan
pajak dan meminta layanan publik yang lebih tinggi kepada perusahaan.
Oleh karena itu, perusahaan berukuran besar akan cenderung melaporkan
laba rendah secara relatif permanen dengan menyelenggarakan akuntansi
57
konservatif (Lo, 2005). Dengan demikian maka laba yang dilaporkan akan
menjadi lebih kecil sehingga pajak yang harus dibayar semakin kecil pula.
Penelitian yang dilakukan oleh Lo (2005) menyatakan bahwa ukuran
perusahaan berpengaruh positif terhadap tingkat konservatisme akuntansi.
2.8.3. Kerangka Pikir.
Dari uraian diatas dapat di bentuk suatu kerangka pikir sebagai berikut:
Gambar 2.1. Kerangka Pikir
PE
RIO
DE
20
05
– 2
008
(Seb
elum
Ad
op
si IFR
S)
Kepemilikan
Manajerial
PE
RIO
DE
20
09
– 2
012
(Setela
h A
do
psi IF
RS
)
%Komisaris
Independen
Pertemuan
Dewan Komisaris
KONSERVATISME
AKUNTANSI
IFRS:
- FAIR VALUE
- FULL
DISCLOSURE
Komite Audit
Ukuran
Perusahaan