bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan tindak pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/bab ii.pdf · adapun...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tindak Pidana Pembuangan Bayi oleh Ibu Kandung
1. Pengertian Pembuangan Bayi
Bayi merupakan individu yang berusia 0-12 bulan yang ditandai
dengan pertumbuhan dan perkembangan yang cepat disertai dengan
perubahan dalam kebutuhan zat gizi.13 Bayi baru lahir adalah bayi yang
dilahirkan baik dalam kondisi cukup bulan atau hampir cukup bulan.14 Bayi
prematur adalah bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 37
minggu dan berat lahir kurang dari 2500 gram.15
Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan
membuang”.16 Sementara membuang diartikan sebagai “melepaskan
(melemparkan) sesuatu yang tak berguna lagi dengan sengaja dari tangan;
melemparkan; mencampakkan”.17
Jadi dapat disimpulkan bahwa pembuangan bayi merupakan perbuatan
mencampakkan anak berusia 0-12 bulan dengan sengaja. Bayi yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah bayi yang cukup bulan atau kurang bulan
(prematur) yang dibuang oleh orang tuanya dalam keadaan bernyawa di
tempat-tempat yang tidak semestinya.
13 Donna L. Wong. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.14 Saifudin AB. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal & Neonatal. Jakarta:Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.15 Abdullah Royyan. 2012. Asuhan Keperawatan Klien Anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.16 https://www.artikata.com/arti-360391-pembuangan.html17 https://www.artikata.com/arti-360379-membuang.html
11
2. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana.
Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan
merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh
sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari
dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-
larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap
warga Negara wajib dicantumkan dalam undangundang maupun peraturan-
peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.18
Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana, dimana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah
demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.19
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam
undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan
kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan
mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai
kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan
perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif
mengenai kesalahan yang dilakukan.20
18 P.A.F. Lamintang. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Adityta Bakti,hlm. 7.19 Ibid, hlm. 16.20 Andi Hamzah. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: GhaliaIndonesia, hlm. 22
12
Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai
berikut:
a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara
lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat
dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan
“pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP
kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar
bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara
keseluruhan.
b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil
(formeel delicten) dan tindak pidana materil (materiil delicten). Tindak
pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang
dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362
KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya
adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang
menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan
dan dipidana.
c. Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana
sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten).
Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP
antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan
sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang
dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga
13
dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang
menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam
Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.
d. Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan
aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk
mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang
berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378
KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan
tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan
secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya
berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552
KUHP. Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada
dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak
aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan
dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak
menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal.21
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak
pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran,
tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan
tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.
Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut: 22
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan).
21 Ibid, hlm. 25-27.22 Ibid, hlm. 27.
14
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
d. Unsur melawan hukum yang objektif.
e. Unsur melawan hukum yang subyektif.
3. Tindak Pidana Pembuangan Bayi
Pengertian tindak pidana pembuangan bayi adalah suatu perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja meninggalkan anak yang baru
lahir untuk ditemukan oleh orang lain dengan maksud agar anak tersebut
lepas dari tanggungjawabnya. Penelitian ini dibatasi pada penelantaran anak
yang dilakukan oleh ibu kandung dengan cara membuang serta meninggalkan
bayinya.
Tindak pidana terkait pembuangan bayi diatur di dalam Buku II
KUHP tentang Kejahatan pada Bab XV tentang Meninggalkan Orang yang
Perlu Ditolong, yaitu pada Pasal 304 hingga Pasal 308 KUHP. Yang dihukum
menurut Pasal 304 adalah orang yang sengaja menyebabkan atau membiarkan
orang lain dalam keadaan sengsara, sedangkan ia wajib memberi kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu karena hukum yang berlaku
atau karena perjanjian.23
Tindakan pembuangan bayi merupakan suatu tindak pidana
sebagaimana tercantum dalam pasal 308 KUHP yang memuat ketentuan
bahwa:
“Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahirananaknya, tidak lama sesudah melahirkan, menempatkan anaknya
23 R. Soesilo. 1985. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnyaLengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia-Bogor, hlm 223p.
15
untuk ditemukan atau meninggalkannya dengan maksud untukmelepaskan diri daripadanya, maka maksimum pidana tersebut dalampasal 305 dan 306 dikurangi separuh.”
Perlu dicatat bahwa tidak diperlukan, apakah si ibu ini mempunyai
suami atau tidak, cukup apabila si ibu ada alasan untuk merahasiakan
kelahiran si anak. Demikian juga, tidak dipedulikan terhadap siapa kelahiran
ini harus dirahasiakan.24
Selain diatur di dalam KUHP, pelaku tindak pidana terkait
pembuangan bayi juga dapat dijerat dengan pasal yang ada pada Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yakni sebagai berikut.
Pasal 76B berbunyi:
“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan,menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah danpenelantaran.”
dan Pasal 77B berbunyi:
“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaiman dimaksud dalamPasal 76B, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahundan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus jutarupiah).”
Pasal 77B tersebut memuat hukuman atau sanksi pidana bagi tindak
pidana dari Pasal 76B Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, yaitu berupa
pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak
seratus juta rupiah.
24 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: Rafika Aditama, 2003), hlm. 73
16
B. Perlindungan Hukum Bagi Anak
Definisi Anak
Anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa
karena peraturan tertentu (mental, fisik belum dewasa).25 Nicholas
mengatakan bahwa anak yaitu periode di antara kelahiran dan permulaan
kedewasaan. Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa
kedewasaan, juga dalam keterbatasan kemampuan termasuk keterbatasan
untuk membahayakan orang lain.26
Dalam hukum terdapat pluralisme mengenai pengertian atau kriteria
anak, sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara
tersendiri kriteria tentang anak.27
a. Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Pasal 330 KUH Perdata mengatakan, orang belum dewasa adalah mereka
yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak
lebih dahulu telah kawin.
b. Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 45 KUHP, mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila belum
berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut
dalam perkara pidana, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu
dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharanya dengan
tidak dikenakan suatu hukuman. Atau memerintahkannya supaya
diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman.
25 Shanty Deliana, 2000, Dasar-dasar Penahanan Anak, Jakarta, Prenada Media, Hlm. 2626 Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Jakarta, Rafika Aditama, Hlm. 3627 Darwan Prinst, 1997, Hukum Anak Indonesia, Bandung, Hlm. 2
17
Ketentuan Pasal 35, 46 dan 47 KUHP ini sudah dihapuskan dengan
lahirnya UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
c. Anak menurut Undang-Undang Perkawinan
Pasal 7 (1) UU Pokok Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) mengatakan,
seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19
(sembilan belas) tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat
dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri.
d. Anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak
Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan.28
Definisi Perlindungan Hukum Anak
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.29
Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 30
28 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat 1.29 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat 2.30 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak, Pasal 1 ayat 2.
18
Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai perlindungan
hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental right
and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan
dengan kesejahteraan anak.31
Bentuk Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum ada dua macam yaitu perlindungan hukum
preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif,
bahwa hukum mencegah terjadinya sengketa. Fungsi ini dituangkan dalam
bentuk peraturan-peraturan pencegahan yang pada dasarnya merupakan
patokan bagi setiap tindakan yang akan dilakukan masyarakat, meliputi
seluruh aspek tindakan manusia. Perlindungan hukum represif bersifat
penanggulangan atau pemulihan keadaan sebagai akibat tindakan terdahulu.32
Berbicara mengenai perlindungan anak, setidaknya ada dua aspek
yang terkait di dalamnya. Aspek pertama, berkaitan dengan kebijakan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan anak.
Aspek kedua, berkaitan dengan pelaksanaan dari kebijakan perundang-
undangan tersebut. Mengenai aspek pertama, sampai saat ini telah cukup
perundang-undangan untuk mengatur hal-hal berkaitan dengan perlindungan
anak. Aspek kedua adalah apakah dengan telah tersedianya berbagai
perangkat perundang-undangan tentang hak-hak anak tersebut telah dengan
sendirinya usaha-usaha untuk mewujudkan hak-hak anak dan upaya
31 Lukman Hakim Nainggolan, Masalah Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Jurnal Equality,Vol. 10 No. 2, Agustus 2005.32 Hadjon M Philipus, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994, hal. 2
19
penghapusan praktik-praktik pelanggaran hukum anak dan mengabaikan
terhadap hak anak sebagaimana yang dikehendaki dapat diakhiri.33
Dari berbagai dokumen dan pertemuan internasional terlihat, bahwa
kebutuhan terhadap perlunya perlindungan hukum bagi anak dapat mencakup
berbagai bidang/aspek, antara lain: 1) Perlindungan terhadap hak-hak asasi
dan kebebasan anak, 2) Perlindungan anak dalam proses peradilan, 3)
Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan
lingkungan sosial). 4) Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan
perampasan kemerdekaan, 5) Perlindungan anak dari segala bentuk
eksploitasi (perbudakan, perdagangan anak, pelacuran, pornografi,
perdagangan/penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam
melakukan kejahatan dan sebagainya, 6) Perlindungan terhadap anak-anak
jalanan, 7) Perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik
bersenjata, 8) Perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan. Jadi masalah
perlindungan hukum bagi anak tidak hanya perlindungan hukum dalam
proses peradilan, tetapi mencakup spektrum yang sangat luas.34
Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari
perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti
melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan
hukum.35 Perlindungan korban dapat mencakup bentuk perlindungan yang
bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkret (langsung).33 Wahyudi S., Beberapa Permasalahan Pelaksanaan Perlindungan Anak dan Peran ForumPerlindungan Anak Bangsa, Makalah dalam rangka Hari Anak Tahun 2002, Pusat PenelitianWanita (Puslitwan) Unsoed Tanggal 31 Januari 2002, hal. 134 Lukman Hakim Nainggolan, Op.cit.35 Dikdik. M. Arief Mansur, Urgensi Perlidungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita,PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 31.
20
Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan
yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional (psikis), seperti
rasa puas (kepuasan). Sementara itu, perlindungan yang kongkret pada
dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata,
seperti pemberian yang berupa atau bersifat materii maupun non-materi.
Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau
restitusi, pembebasan biaya hidup atau pendidikan. Pemberian perlindungan
yang bersifat non-materi dapat berupa pembebasan dari ancaman, dari
pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan.
C. Tinjauan Teoritis Mengenai Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan
Sesuai dengan perkembangan teori-teori yang dikembangkan oleh
mazhab-mazhab dalam bidang etiologi kriminal. Berikut ini berturut-turut
teori-teori yang mencari sebab-sebab kejahatan dari beberapa aspek, yaitu:
1. Teori-teori yang mencari sebab kejahatan dari aspek fisik (biologis
kriminal)
Usaha-usaha mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri biologis
dipelopori oleh ahli-ahli frenologi, seperti Gall (1758-1828), Spurzheim
(1776-1832), yang mencoba mencari hubungan antara bentuk tengkorak
kepala dengan tingkah laku. Mereka mendasarkan pada pendapat
Aristoteles yang menyatakan bahwa otak merupakan organ dari akal.
ajaran ahli-ahli frenologi ini mendasarkan pada preposisi dasar: 36
36 I.S. Susanto, 2011, Kriminologi, Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 47
21
a. Bentuk luar tengkorak kepala sesuai dengan apa yang ada di dalamnya
dan bentuk dari otak,
b. Akal terdiri dari kemampuan atau kecakapan, dan
c. Kemampuan atau kecakapan ini berhubungan dengan bentuk otak dan
tengkorak kepala.
2. Teori-teori yang mencari sebab kejahatan dari faktor psikologis dan
psikiatris (psikologi kriminal)
Usaha untuk mencari sebab-sebab kejahatan dari faktor psikis
termasuk agak baru.seperti halnya para positivistis pada umumnya, usaha
mencari ciri-ciri psikis pada para penjahat didasarkan anggapan bahwa
penjahat merupakan orang-orang yang mempunyai ciri-ciri psikis yang
berbeda dengan orang-orang yang bukan penjahat, dan ciri-ciri pisikis
tersebut terletak pada intelegensinya yang rendah.37 Mengingat konsep
tentang jiwa yang sehat sangat sulit dirumuskan, dan kalaupun ada, maka
perumusannya sangat luas. Adapun bentuk-bentuk gangguan mental yaitu:
psikoses, neoroses, dan cacat mental.38
Teori psikogenesis (psikologis dan psikiatris) menekankan sebab-
sebab tingkah laku kenakalan remaja dari aspek psikologis atau isi
kejiwaannya. Antara lain faktor inteligensi, ciri kepribadian, motivasi,
sikap-sikap yang salah, frustasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru,
konflik batin, emosi yang kontroversial, kecenderungan psikopatologis dan
lain-lain.39
37 Ibid, hlm. 56.38 Ibid, hlm. 58.39 Kartini Kartono, 2014, Patoogi Sosial 2: Kenakalan Remaja, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 29.
22
3. Teori-teori yang mencari sebab kejahatan dari faktor sosiologi kultural
(sosiologi kriminal)
Objek utama sosiologi kriminal adalah mempelajari hubungan antara
masyarakat dengan anggotanya, antara kelompok, baik karena hubungan
tempat maupun etnis dengan anggotanya, antara kelompok dengan
kelompok, sepanjang hubungan tersebut dapat menimbulkan kejahatan.40
Secara umum dapat dikatakan setiap masyarakat memiliki tipe kejahatan
dan penjahat sesuai dengan budayanya, moralnya, kepercayaannya serta
kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi, hukum dan hankam serta struktu-
struktur yang ada. Mempelajari tindak penyimpangan sosial (kejahatan),
dapat melalui 2 cara pendekatan yaitu:41
a. Melihat penyimpangan sebagai kenyataan objektif
b. Penyimpangan sebagai problematika subjektif
Usaha mencari sebab-sebab kejahatan dari aspek sosial sudah dimulai
jauh sebelum lahirnya kriminologi, sedangkan usaha mencari sebab-sebab
kejahatan (secara ilmiah) dari aspek sosial dipelopori oleh mazhab
lingkungan yang muncul di Prancis pada abad 19, yang merupakan reaksi
terhadap ajaran Lombroso. Mannheim membedakan teori-teori sosiologi
kriminal ke dalam:42
a. Teori yang berorientasi pada kelas sosial, yaitu teori-teori yang mencari
sebab kejahatan dari ciri-ciri kelas sosial, perbedaan di antara kelas-
kelas sosial yang ada. Termasuk dalam teori ini adalah teori anomie dan
40 I.S. Susanto, Op.cit, hlm. 72.41 Ibid, hlm. 75.42 Ibid, hlm. 80.
23
teori-teori sub-budaya delinkuen. Teori kelas dapat dipandang sebagai
“pendewasaan” teori-teori sosiologi kriminal. Berbeda dengan teori-
teori sebelumnya yang mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri
yang terdapat atau yang melekat pada orang atau pelakunya, teori kelas
mencari “di luar” pelakunya, khususnya pada struktur sosial yang ada.
b. Teori-teori yang tidak berorientasi pada kelas sosial yaitu teori-teori
yang membahas sebab-sebab kejahatan tidak dari kelas sosial, tetapi
dari aspek yang lain seperti lingkungan, kependudukan, kemiskinan,
dan sebagainya, termasuk dalam teori ini adalah teori-teori ekologis,
teori konflik kebudayaan, teori faktor ekonomi, dan differential
association. Dapat dikatakan teori ini sudah agak kuno dibanding
dengan teori-teori kelas. Adapun teori-teori yang termasuk teori tidak
berorientasi pada kelas sosial yaitu: 43
1) Teori ekologis
Teori-teori ini mencoba dan mencari sebab-sebab tertentu baik dari
lingkungan manusia maupun sosial yaitu: kepadatan penduduk,
mobilitas penduduk, hubungan desa dan kota khususnya urbanisasi,
serta daerah kejahatan dan perumahan kumuh.
2) Teori konflik kebudayaan
Teori ini diajukan oleh T. Sellin dalam sosial, kepentingan dan
norma-norma. Konflik antara norma-norma dari aturan-aturan
kultural yang berbeda dapat terjadi antara lain: bertemunya dua
43 Ibid.
24
budaya besar, budaya besar menguasai budaya kecil, dan apabila
anggota dari suatu budaya pindah ke budaya lain.
3) Teori-teori faktor ekonomi
Pandangan bahwa kehidupan ekonomi merupakan hal yang
fundamental bagi seluruh struktur sosial dan kultural dan karenanya
menentukan semua urusan dalam struktur tersebut, merupakan
pandangan yang sejak dulu dan hingga kini masih diterima luas.
Mengenai hubungan antara faktor ekonomi dan kejahatan agaknya
perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu: teknik studi, serta batasan dan
pengaruh dari kemiskinan dan kemakmuran.
4) Teori differential association
Teori ini berlandaskan pada proses belajar, yaitu perilaku kejahatan
adalah perilaku yang dipelajari. Menurut Sutherland perilaku
kejahatan adalah perilaku manusia yang sama dengan perilaku
manusia pada umumnya yang bukan kejahatan.44 Menjelaskan proses
terjadinya perilaku kejahatan, Sutherland mengajukan 9 proposisi
sebagai berikut:45
a) Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari secara negatif
berarti perilaku kejahatan tidak diwarisi.
b) Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain
dalam suatu proses komunikasi. Komunikas tersebut terutama
bersifat lisan maupun dengan menggunakan bahasa isyarat.
44 Ibid.45 Soedjono Dirdjosisworo, Kriminologi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 108.
25
c) Bagian yang terpenting dalam proses mempelajari tingkah laku
kejahatan terjadi dalam kelompok personal yang intim. Secara
negatif komunikasi yang bersifat nirpersonal seperti melalui
bioskop, surat kabar, secara relatif, tidak mempunyai peranan
yang penting dalam terjadinya perilaku kejahatan.
d) Apabila perilaku kejahatan dipelajari, maka yang harus dipelajari
tersebut meliputi: teknik melakukan kejahatan, motif-motif
tertentu, dorongan, alasan pembenaran dan sikap.
e) Arah dari motif dan dorongan dipelajari melalui batasan (definisi)
aturan hukum baik sebagai hal yang menguntungkan maupun
yang tidak.
f) Seseorang menjadi delinkuen karena lebih banyak berhubungan
dengan pola-pola tingkah laku jahat dari pada tidak jahat.
g) Differential association dapat bervariasi dalam frekuensinya,
lamanya, prioritasnya dan intensitasnya. Hubungan dengan ini,
maka differential association bisa dimulai sejak anak-anak dan
berlangsung sepanjang hidup.
h) Proses mempelajari perilaku kejahatan diperoleh melalui
hubungan dengan pola-pola kejahatan dan anti kejahatan yang
menyangkut seluruh mekanisme yang melibatkan pada setiap
proses belajar pada umumnya.
i) Sementara perilaku kejahatan merupakan persyataan kebutuhan
dan nilai-nilai umum, akan tetapi hal tersebut tidak dijelaskan
26
oleh kebutuhan dan nilai-nilai, sebab perilaku yang bukan
kejahatan juga merupakan peryataan dari nilai yang sama. Pencuri
umumnya mencuri karena kebutuhan untuk memperoleh uang
akan tetapi pekerja yang jujur, dia bekerja juga dengan tujuan
untuk memperoleh uang.
Dalam mengajukan teorinya tersebut, Sutherland ingin menjadikan
teorinya tersebut sebagai teori yang dapat menjelaskan semua sebab-
sebab kejahatan.
D. Upaya Penanggulangan Kejahatan
Soedarto mengemukakan konsep upaya penanggulangan kejahatan
melalui tiga tindakan, yaitu tindakan preventif, represif, dan kuratif.46 Adapun
upaya penanggulangan kejahatan tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1. Upaya Preventif, yaitu usaha mencegah kejahatan yang merupakan bagian
dari politik kriminil. Politik kriminil dapat diberi arti sempit, lebih luas dan
paling luas.47 Dalam arti sempit politik kriminil itu digambarkan sebagai
keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap
pelanggaran hukum yang berupa pidana. Dalam arti lebih luas, politik
kriminil merupakan keseluruhan fungsi dari para penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara kerja dari Pengadilan dan Polisi. Sedangkan
dalam arti yang paling luas, politik kriminil merupakan keseluruhan
kegiatan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan
46 Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 113-116. 47 Ibid, hal. 113.
27
resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari
masyarakat.48 Penegakan norma-norma sentral ini dapat diartikan sebagai
penanggulangan kejahatan. Usaha-usaha penanggulangan secara preventif
sebenarnya bukan hanya bidang dari Kepolisian saja. Penanggulangan
kejahatan dalam arti yang umum secara tidak langsung juga dilakukan
tanpa menggunakan sarana pidana (hukum pidana). Misalnya, kegiatan
bakti sosial dapat menghindarkan para pemuda dari perbuatan jahat.
Penggarapan kejahatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama,
pemberian tempat atau rumah singgah bagi anak jalanan dan gelandangan
akan mempunyai pengaruh baik untuk pengendalian kejahatan. 2. Upaya Represif, yaitu segala tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum sesudah terjadinya kejahatan (tindak pidana). Yang termasuk
tindakan represif adalah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai
dilaksanakannya pidana. Ini semua merupakan bagian- bagian dari politik
kriminil sehingga harus dipandang sebagai suatu rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh badan-badan yang bersangkutan dalam menanggulangi
kejahatan. 3. Upaya Kuratif, yaitu pada hakikatnya merupakan usaha preventif dalam
arti yang seluasluasnya ialah dalam usaha penanggulangan kejahatan,
maka untuk mengadakan pembedaan sebenarnya tindakan kuratif itu
merupakan segi lain dari tindakan represif dan lebih dititikberatkan kepada
tindakan terhadap orang yang melakukan kejahatan. Tindakan kuratif
dalam arti nyata hanya dilakukan oleh aparatur eksekusi pidana, misalnya
para pejabat lembaga pemasyarakatan atau pejabat dari Bimbingan
48 Ibid, hal. 113.
28
Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA). Mereka ini secara nyata
terlepas dari berhasil atau tidaknya melakukan pembinaan terhadap para
terhukum pidana pencabutan kemerdekaan.
Menurut Barda Nawawi Arief bahwa kebijakan atau upaya
penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari
upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai
kesejahteraan (social welfare).49 Kebijakan penanggulangan kejahatan atau
bisa disebut juga politik kriminal memiliki tujuan akhir atau tujuan utama
yaitu “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.
Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) itu sendiri merupakan
bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Kebijakan
penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan social (social policy) dan
termasuk juga dalam kebijakan legislatif (legislative policy). Politik riminal
pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial yaitu
kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.
Menurut G.P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief,
bahwa upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara: 50
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application); b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media massa (influencing views of society oncrime and punishment/mass media).
49 Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (PerkembanganPenyusunan Konsep KUHP Baru), Jakarta, Kencana Prenada Media Group, hlm. 2.50 Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Semarang, FajarInterpratama, hlm. 45.
29
Berdasarkan pendapat di atas maka upaya penanggulangan kejahatan
secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yakni jalur penal dan non penal.
1. Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana (Upaya Penal)
Upaya penanggulangan lewat jalur penal ini bisa juga disebut
sebagai upaya yang dilakukan melalui jalur hukum pidana. Upaya ini
merupakan upaya penanggulangan yang lebih menitikberatkan pada sifat
represif, yakni tindakan yang dilakukan sesudah kejahatan terjadi dengan
penegakan hukum dan penjatuhan hukuman terhadap kejahatan yang telah
dilakukan. Selain itu, melalui upaya penal ini, tindakan yang dilakukan
dalam rangka menanggulangi kejahatan sampai pada tindakan pembinaan
maupun rehabilitasi.51
Pada hakikatnya, kebijakan hukum pidana (penal policy, criminal
policy, atau strafrechtpolitiek) merupakan proses penegakan hukum pidana
secara menyeluruh atau total. Kebijakan hukum pidana merupakan
tindakan yang berhubungan dalam hal-hal:
a. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatandengan hukum pidana;
b. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar dapat sesuai dengankondisi masyarakat;
c. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakatdengan hukum pidana;
d. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengaturmasyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.52
Menurut Barda Nawawi Arief bahwa kebijakan penal yang bersifat
represif, namun sebenarnya juga mengandung unsur prefentif, karena
51 Ibid, hal. 46.52 Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik, Bandung,Alumni, hlm. 390.
30
dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap delik diharapkan
ada efek pencegahan/penangkal atau deterrent effect-nya. Di samping itu,
kebijakan penal tetap diperlukan dalam penanggulangan kejahatan, karena
hukum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk
menyalurkan “ketidaksukaan masyarakat (social dislike) atau
pencelaan/kebencian sosial (social disapproval/social abhorrence) yang
sekaligus juga diharapkan menjadi sarana “perlindungan sosial” (social
defence). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa “penal policy”
merupakan bagian integral dari “social defence policy”.53
Hal senada juga dikemukakan oleh Roeslan Saleh, yang
mengemukakan tiga alasan yang cukup panjang mengenai masih
diperlukannya pidana dan hukum pidana, adapun intinya sebagai berikut:54
a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalanseberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakanpaksaan; persoalannya bukan terletak pada hasil yang akandicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dannilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.
b. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidakmempunyai arti sama sekali bagi si terhukum; dan di samping ituharus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaranpelanggaran normayang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitusaja.
c. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mataditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orangyang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang menaati norma-norma masyarakat.
53 Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana DalamPenanggulangan Kejahatan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, hlm. 182.54 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung,Alumni, hlm. 153.
31
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief dan
Roeslan Saleh, dapat disimpulkan bahwa penggunaan hukum pidana
dalam menanggulangi kejahatan masih sangat diperlukan pada saat ini,
mengingat bahwa hukum pidana selain memiliki sisi represif juga
memiliki sisi preventif untuk mencegah agar masyarakat yang taat pada
hukum tidak ikut melakukan atau akan berfikir dua kali jika ingin
melakukan kejahatan.
32
2. Penanggulangan Kejahatan Tanpa Hukum Pidana (Upaya Non Penal)
Menurut Barda Nawawi Arief bahwa upaya penanggulangan lewat
jalur non penal ini bisa juga disebut sebagai upaya yang dilakukan melalui
jalur di luar hukum pidana. Upaya ini merupakan upaya penanggulangan
yang lebih menitikberatkan pada sifat preventif, yakni tindakan yang
berupa pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Melalui upaya nonpenal
ini sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab
terjadinya kejahatan, yakni meliputi masalah-masalah atau kondisi-kondisi
sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
menumbuhsuburkan kejahatan.55
Kebijakan non-penal (non-penal policy) merupakan kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana di luar hukum
pidana. Kebijakan melalui saran non-penal dapat dilakukan dalam bentuk
kegiatan seperti: penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka
mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat; penggarapan
kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama, dan
sebagainya; peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja; serta
kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara berkelanjutan oleh polisi
dan aparat keamanan lainnya.56 Kebijakan non-penal ini dapat meliputi
bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial, dimana
tujuan utamanya memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun
55 Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Semarang, FajarInterpratama, hlm. 46.56 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni,hlm. 159.
33
secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.
Dengan demikian, maka kegiatan preventif melalui sarana non-penal
sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang
posisi kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan untuk mewujudkan
tujuan akhir dari politik kriminal.57
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal”
lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka
sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab
terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada
masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau
tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.
Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan
global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis
dari keseluruhan upaya politik kriminal. Di berbagai Kongres PBB
mengenai “The Prevention of Crime and Treatment of Offenders”
ditegaskan upaya-upaya strategis mengenai penanggulangan sebab-sebab
timbulnya kejahatan.58
Upaya non penal dapat pula digali dari berbagai sumber lainnya
yang juga mempunyai potensi efek-preventif, misalnya media pers/media
massa, pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal dengan istilah techno-
prevention) dan pemanfaatan potensi efek-preventif dari aparat penegak
hukum. Mengenai yang terakhir ini, Sudarto pernah mengemukakan,
57 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm. 159.58 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 20
34
bahwa kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara kontinu termasuk
upaya non penal yang mempunyai pengaruh preventif bagi penjahat
(pelanggar hukum) potensial. Sehubungan dengan hal ini, kegiatan
razia/operasi yang dilakukan pihak kepolisian di beberapa tempat tertentu
dan kegiatan yang berorientasi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan
komunikatif edukatif dengan masyarakat, dapat pula dilihat sebagai upaya
non penal yang perlu diefektifkan.59
Penjelasan di atas pada dasarnya ingin menekankan bahwa upaya
non penal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan
masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat
(secara materil dan immateril) dari faktor-faktor kriminogen (sebab-sebab
terjadinya kejahatan). Hal ini berarti bahwa masyarakat dengan seluruh
potensinya harus dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan atau faktor
anti kriminogen yang merupakan bagian integral dari keseluruhan politik
kriminal.
B. Tinjauan Teoritis Tentang Kriminologi, Kriminogen, dan Kriminologis1. Tinjauan Teoritis Tentang Kriminologi
Pengertian kriminologi sebagaimana yang dikutip oleh Topo Santoso
dan Eva Achjani Zulfa, antara lain:60
a. Bonger mendefinisikan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang
bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.
59 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalamPenanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 4860 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2010. Kriminologi, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
hlm. 9.
35
b. Sutherland merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu
pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan kejahatan sebagai gejala
sosial dan mencakup proses-proses perbuatan hukum, pelanggaran hukum
dan reaksi atas pelanggaran hukum.
c. Wood mengemukakan bahwa istilah kriminologi meliputi keseluruhan
pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman yang
bertalian dengan perbuatan jahat dan penjahat dan, termaksud di dalamnya
reaksi dari masyarakat terhadap perbuatan jahat dan para penjahat.
d. Noach merumuskan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan tentang
perbuatan jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang terlibat
dalam perilaku jahat dan perbuatan tercela itu.
e. Wolfgang dan Zulfa mendefinisikan kriminologi sebagai kumpulan ilmu
pengetahun tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh
pegetahuan dan pengartian tentang gejala kejahatan dengan jalan
mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan,
keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang
berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat
terhadap keduanya.
Berdasarkan pendapat-pendapat para pakar di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa obyek studi kriminologi meliputi: perbuatan yang disebut
sebagai kejahatan, pelaku kejahatan, dan reaksi masyarakat yang ditujukan
baik pada perbuatan maupun terhadap pelakunya.
36
Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan. Suatu perbuatan baru
dapat dikatakan sebagai kejahatan bila ia mendapat reaksi dari masyarakat.
Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menyimpang atau melanggar
norma-norma yang ada dalam masyarakat maka secara umum orang tersebut
dapat dianggap sebagai penjahat atau perbuatan yang dilakukan itu disebut
perbuatan jahat.61
Dalam ilmu kriminologi dinyatakan bahwa gejala kejahatan
merupakan suatu konstruksi sosial, yaitu pada waktu suatu masyarakat
menetapkan bahwa sejumlah perilaku dan orang dinyatakan sebagai kejahatan
penjahat. Dengan demikian kejahatan dan penjahat bukanlah gejala yang
secara obyektif dapat dipelajari oleh ilmuwan, karena gejala ini hanya ada
kalau ditentukan demikian oleh masyarakat.62 Selanjutnya yang perlu
diperhatikan adalah apa sebabnya orang melakukan perbuatan jahat tersebut.
Dengan mengetahui latar belakang orang melakukan perbuatan jahat atau
latar belakang terjadinya kejahatan ini diharapkan dapat diketahui cara yang
tepat untuk mencegah ataupun menanggulangi kejahatan tersebut.
Menurut A.S. Alam bahwa ruang lingkup pembahasan kriminologi
meliputi tiga hal pokok, yaitu:63
a. Proses pembuatan hukum pidana dan acara pidana (making laws).
Pembahasan dalam proses pembuatan hukum pidana (process of making
61 M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 42.62 Mardjono Reksodiputro, 1994. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Pusat PelayananKeadilan dan Pengabdian Hukum UniversitasIndonesia, Jakarta, hlm. 86.63 A.S. Alam, Pengantar Kriminologi, Makassar, Pustaka Refleksi, 2010, hlm. 2-3.
37
laws) meliputi: definisi kejahatan, unsur-unsur kejahatan, relativitas
pengertian kejahatan, penggolongan kejahatan, dan statistik kejahatan.
b. Etiologi kriminal, yang membahas yang membahas teori-teori yang
menyebabkan terjadinya kejahatan (breaking of laws). Perihal yang
dibahas dalam etiologi kriminal (breaking of laws) meliputi: aliran-aliran
(mazhab-mazhab) kriminologi, teori-teori kriminologi, dan berbagai
perspektif kriminologi.
c. Reaksi terhadap pelanggaran hukum (reacting toward the breaking of
laws). Reaksi dalam hal ini bukan hanya ditujukan kepada pelanggar
hukum berupa tindakan represif tetapi juga reaksi terhadap calon
pelanggar hukum berupa upaya-upaya pencegahan kejahatan (criminal
prevention). Selanjutnya yang dibahas dalam bagian ketiga adalah
perlakuan terhadap pelanggar-pelanggar hukum (reacting toward the
breaking laws) meliputi: (1) Teori-teori penghukuman, dan (2) Upaya-
upaya penanggulangan/pencegahan kejahatan baik berupa tindakan pre-
emtif, preventif, represif, dan rehabilitatif.
2. Tinjauan Teoritis Tentang Kriminogen
Faktor kriminogen merupakan faktor yang melatarbelakangi atau
memicu terjadinya tindak pidana. Berbicara tentang aspek kriminogen, maka
menyangkut aspek-aspek yang mempengaruhi seorang melakukan tindak
pidana adalah:64 (1) Lingkungan yang tidak sehat. (2) Kurang tegasnya
penerapan hukum di masyarakat. (3) Kurang konsistennya pelaksanaan
64 S. Aminah Hidayat, Pengantar Kriminologi, Diktat Mata Kuliah Kriminologi, Fakultas Syari’ahUIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007, hlm. 17
38
pembinaan hukum di masyarakat. Secara yuridis, kejahatan hanya merupakan
salah satu bentuk dari perbuatan pidana selain pelanggaran. Menurut Bonger
seorang kriminolog, kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang
memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa penekanan penderita
(hukuman atau tindakan).65 Dengan demikian dalam penjatuhan hukuman dari
kejahatan tersebut, perbuatan tidak perlu terlebih dahulu dirumuskan dalam
peraturan hukum pidana.
Kongres PBB (Forth United Nations Congress on the Prevention of
Crime and the Treatment of Offender) mengakui bahwa beberapa aspek
penting dari perkembangan masyarakat dianggap potensial sebagai
kriminogen, artinya mempunyai kemungkinan untuk menimbulkan kejahatan.
Aspek-aspek ini adalah urbanisasi, industrialisasi, pertambahan penduduk,
perpindahan penduduk setempat, mobilitas sosial dan perubahan teknologi.66
Sayangnya faktor kriminogen dari perkembangan masyarakat itu
muncul dalam bentuk kejahatan yang tiada bandingannya dalam KUHP atau
dengan kata lain merupakan kejahatan jenis baru. Hal ini menimbulkan dua
pertanyaan sekaligus. Pertama, pertanyaan mengenai kemampuan hukum
pidana dalam menangani kejahatan-kejahatan sedemikian. Hukum pidana
sebagai sebuah bidang kajian memiliki keterbatasan,67 keterbatasan mana
menyebabkan hukum pidana tak mampu menjangkau sebab-sebab kejahatan
yang kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana, lagi pula hukum
65 Ibid, hlm. 1766 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 9467 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan HukumPidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 35-52
39
pidana hanyalah bagian kecil dari sarana kontrol sosial masyarakat yang tak
dapat menjadi obat mujarab bagi keseluruhan persoalan kejahatan.
Terkait dengan kenakalan anak atau remaja, faktor kriminogen dari
kenakalan remaja meliputi krisis identitas, kontrol diri yang lemah, keadaan
keluarga yang kurang baik, pengaruh negatif teman, dan pengaruh lingkungan
yang kurang baik.68
3. Tinjauan Teoritis Tentang Kriminologis
Kriminologis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
diartikan sebagai kata sifat (adjektiva) yang berkenaan dengan kriminologi.69
Kriminologis adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala
kejahatan seluas-luasnya berdasarkan pada pengalaman seperti ilmu
pengetahuan lainnya yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala dan mencoba
menyelidiki sebab-sebab arti gejala tersebut dengan cara-cara yang apa
adanya.70
Kriminologis adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang sebab musabab timbulnya kejahatan dan permasalahannya.71
Kriminologis yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah mempelajari
sebab musabab timbulnya tindak pidana pembuangan anak oleh ibu kandung
di Kota Malang.
68 Remaja, I.N.G., Faktor Kriminogen Kenakalan Remaja dan Akibat Hukumnya, WidyatechJurnal Sains dan Teknologi, (11), 2012: 1-1069 KBBI, Kriminologis, http://kbbi.web.id/kriminologis70 Mujiono Wahju, Pengantar Teori Kriminologi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012, hlm. 31 71 Topo Santoso, Ilmu Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 45
40
Dalam perspektif kriminologis, terdapat 4 (empat) isu yang dibahas
yakni:72 (1) kejahatan, kemudian (2) pelaku kejahatan, (3) korban kejahatan
dan yang terakhir, (4) adalah reaksi sosial masyarakat. Hal ini menunjukkan
bahwa perempuan dan anak merupakan pihak yang paling rentan mengalami
viktimisasi dan menjadi korban kejahatan.
72 Muhammad Mustofa, Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang, dan Pelanggaran Hukum, FISIP UI Press, Depok, 2007, hlm. 14
41