bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan tindak pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/bab ii.pdf · adapun...

31
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana Pembuangan Bayi oleh Ibu Kandung 1. Pengertian Pembuangan Bayi Bayi merupakan individu yang berusia 0-12 bulan yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan yang cepat disertai dengan perubahan dalam kebutuhan zat gizi. 13 Bayi baru lahir adalah bayi yang dilahirkan baik dalam kondisi cukup bulan atau hampir cukup bulan. 14 Bayi prematur adalah bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat lahir kurang dari 2500 gram. 15 Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”. 16 Sementara membuang diartikan sebagai “melepaskan (melemparkan) sesuatu yang tak berguna lagi dengan sengaja dari tangan; melemparkan; mencampakkan”. 17 Jadi dapat disimpulkan bahwa pembuangan bayi merupakan perbuatan mencampakkan anak berusia 0-12 bulan dengan sengaja. Bayi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bayi yang cukup bulan atau kurang bulan (prematur) yang dibuang oleh orang tuanya dalam keadaan bernyawa di tempat-tempat yang tidak semestinya. 13 Donna L. Wong . 2003 . Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik . Jakarta: EGC. 14 Saifudin AB . 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal & Neonatal . Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 15 Abdullah Royyan. 2012. Asuhan Keperawatan Klien Anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 16 https://www.artikata.com/arti-360391-pembuangan.html 17 https://www.artikata.com/arti-360379-membuang.html 11

Upload: others

Post on 14-Nov-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tindak Pidana Pembuangan Bayi oleh Ibu Kandung

1. Pengertian Pembuangan Bayi

Bayi merupakan individu yang berusia 0-12 bulan yang ditandai

dengan pertumbuhan dan perkembangan yang cepat disertai dengan

perubahan dalam kebutuhan zat gizi.13 Bayi baru lahir adalah bayi yang

dilahirkan baik dalam kondisi cukup bulan atau hampir cukup bulan.14 Bayi

prematur adalah bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 37

minggu dan berat lahir kurang dari 2500 gram.15

Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan

membuang”.16 Sementara membuang diartikan sebagai “melepaskan

(melemparkan) sesuatu yang tak berguna lagi dengan sengaja dari tangan;

melemparkan; mencampakkan”.17

Jadi dapat disimpulkan bahwa pembuangan bayi merupakan perbuatan

mencampakkan anak berusia 0-12 bulan dengan sengaja. Bayi yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah bayi yang cukup bulan atau kurang bulan

(prematur) yang dibuang oleh orang tuanya dalam keadaan bernyawa di

tempat-tempat yang tidak semestinya.

13 Donna L. Wong. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.14 Saifudin AB. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal & Neonatal. Jakarta:Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.15 Abdullah Royyan. 2012. Asuhan Keperawatan Klien Anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.16 https://www.artikata.com/arti-360391-pembuangan.html17 https://www.artikata.com/arti-360379-membuang.html

11

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

2. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana.

Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh

sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari

dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-

larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap

warga Negara wajib dicantumkan dalam undangundang maupun peraturan-

peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.18

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan

sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana, dimana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah

demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.19

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam

undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan

kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan

mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai

kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan

perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif

mengenai kesalahan yang dilakukan.20

18 P.A.F. Lamintang. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Adityta Bakti,hlm. 7.19 Ibid, hlm. 16.20 Andi Hamzah. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: GhaliaIndonesia, hlm. 22

12

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai

berikut:

a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara

lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat

dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan

“pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP

kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar

bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara

keseluruhan.

b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil

(formeel delicten) dan tindak pidana materil (materiil delicten). Tindak

pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang

dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362

KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya

adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang

menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan

dan dipidana.

c. Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana

sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten).

Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP

antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan

sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang

dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga

13

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang

menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam

Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

d. Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan

aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk

mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang

berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378

KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan

tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan

secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya

berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552

KUHP. Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada

dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak

aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan

dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak

menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal.21

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak

pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran,

tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan

tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut: 22

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan).

21 Ibid, hlm. 25-27.22 Ibid, hlm. 27.

14

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

d. Unsur melawan hukum yang objektif.

e. Unsur melawan hukum yang subyektif.

3. Tindak Pidana Pembuangan Bayi

Pengertian tindak pidana pembuangan bayi adalah suatu perbuatan

yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja meninggalkan anak yang baru

lahir untuk ditemukan oleh orang lain dengan maksud agar anak tersebut

lepas dari tanggungjawabnya. Penelitian ini dibatasi pada penelantaran anak

yang dilakukan oleh ibu kandung dengan cara membuang serta meninggalkan

bayinya.

Tindak pidana terkait pembuangan bayi diatur di dalam Buku II

KUHP tentang Kejahatan pada Bab XV tentang Meninggalkan Orang yang

Perlu Ditolong, yaitu pada Pasal 304 hingga Pasal 308 KUHP. Yang dihukum

menurut Pasal 304 adalah orang yang sengaja menyebabkan atau membiarkan

orang lain dalam keadaan sengsara, sedangkan ia wajib memberi kehidupan,

perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu karena hukum yang berlaku

atau karena perjanjian.23

Tindakan pembuangan bayi merupakan suatu tindak pidana

sebagaimana tercantum dalam pasal 308 KUHP yang memuat ketentuan

bahwa:

“Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahirananaknya, tidak lama sesudah melahirkan, menempatkan anaknya

23 R. Soesilo. 1985. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnyaLengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia-Bogor, hlm 223p.

15

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

untuk ditemukan atau meninggalkannya dengan maksud untukmelepaskan diri daripadanya, maka maksimum pidana tersebut dalampasal 305 dan 306 dikurangi separuh.”

Perlu dicatat bahwa tidak diperlukan, apakah si ibu ini mempunyai

suami atau tidak, cukup apabila si ibu ada alasan untuk merahasiakan

kelahiran si anak. Demikian juga, tidak dipedulikan terhadap siapa kelahiran

ini harus dirahasiakan.24

Selain diatur di dalam KUHP, pelaku tindak pidana terkait

pembuangan bayi juga dapat dijerat dengan pasal yang ada pada Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yakni sebagai berikut.

Pasal 76B berbunyi:

“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan,menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah danpenelantaran.”

dan Pasal 77B berbunyi:

“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaiman dimaksud dalamPasal 76B, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahundan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus jutarupiah).”

Pasal 77B tersebut memuat hukuman atau sanksi pidana bagi tindak

pidana dari Pasal 76B Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, yaitu berupa

pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak

seratus juta rupiah.

24 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: Rafika Aditama, 2003), hlm. 73

16

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

B. Perlindungan Hukum Bagi Anak

Definisi Anak

Anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa

karena peraturan tertentu (mental, fisik belum dewasa).25 Nicholas

mengatakan bahwa anak yaitu periode di antara kelahiran dan permulaan

kedewasaan. Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa

kedewasaan, juga dalam keterbatasan kemampuan termasuk keterbatasan

untuk membahayakan orang lain.26

Dalam hukum terdapat pluralisme mengenai pengertian atau kriteria

anak, sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara

tersendiri kriteria tentang anak.27

a. Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Pasal 330 KUH Perdata mengatakan, orang belum dewasa adalah mereka

yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak

lebih dahulu telah kawin.

b. Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 45 KUHP, mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila belum

berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut

dalam perkara pidana, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu

dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharanya dengan

tidak dikenakan suatu hukuman. Atau memerintahkannya supaya

diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman.

25 Shanty Deliana, 2000, Dasar-dasar Penahanan Anak, Jakarta, Prenada Media, Hlm. 2626 Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Jakarta, Rafika Aditama, Hlm. 3627 Darwan Prinst, 1997, Hukum Anak Indonesia, Bandung, Hlm. 2

17

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

Ketentuan Pasal 35, 46 dan 47 KUHP ini sudah dihapuskan dengan

lahirnya UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

c. Anak menurut Undang-Undang Perkawinan

Pasal 7 (1) UU Pokok Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) mengatakan,

seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19

(sembilan belas) tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat

dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri.

d. Anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak

Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak

yang masih dalam kandungan.28

Definisi Perlindungan Hukum Anak

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.29

Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi

Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 30

28 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat 1.29 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat 2.30 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak, Pasal 1 ayat 2.

18

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai perlindungan

hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental right

and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan

dengan kesejahteraan anak.31

Bentuk Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum ada dua macam yaitu perlindungan hukum

preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif,

bahwa hukum mencegah terjadinya sengketa. Fungsi ini dituangkan dalam

bentuk peraturan-peraturan pencegahan yang pada dasarnya merupakan

patokan bagi setiap tindakan yang akan dilakukan masyarakat, meliputi

seluruh aspek tindakan manusia. Perlindungan hukum represif bersifat

penanggulangan atau pemulihan keadaan sebagai akibat tindakan terdahulu.32

Berbicara mengenai perlindungan anak, setidaknya ada dua aspek

yang terkait di dalamnya. Aspek pertama, berkaitan dengan kebijakan

peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan anak.

Aspek kedua, berkaitan dengan pelaksanaan dari kebijakan perundang-

undangan tersebut. Mengenai aspek pertama, sampai saat ini telah cukup

perundang-undangan untuk mengatur hal-hal berkaitan dengan perlindungan

anak. Aspek kedua adalah apakah dengan telah tersedianya berbagai

perangkat perundang-undangan tentang hak-hak anak tersebut telah dengan

sendirinya usaha-usaha untuk mewujudkan hak-hak anak dan upaya

31 Lukman Hakim Nainggolan, Masalah Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Jurnal Equality,Vol. 10 No. 2, Agustus 2005.32 Hadjon M Philipus, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994, hal. 2

19

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

penghapusan praktik-praktik pelanggaran hukum anak dan mengabaikan

terhadap hak anak sebagaimana yang dikehendaki dapat diakhiri.33

Dari berbagai dokumen dan pertemuan internasional terlihat, bahwa

kebutuhan terhadap perlunya perlindungan hukum bagi anak dapat mencakup

berbagai bidang/aspek, antara lain: 1) Perlindungan terhadap hak-hak asasi

dan kebebasan anak, 2) Perlindungan anak dalam proses peradilan, 3)

Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan

lingkungan sosial). 4) Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan

perampasan kemerdekaan, 5) Perlindungan anak dari segala bentuk

eksploitasi (perbudakan, perdagangan anak, pelacuran, pornografi,

perdagangan/penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam

melakukan kejahatan dan sebagainya, 6) Perlindungan terhadap anak-anak

jalanan, 7) Perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik

bersenjata, 8) Perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan. Jadi masalah

perlindungan hukum bagi anak tidak hanya perlindungan hukum dalam

proses peradilan, tetapi mencakup spektrum yang sangat luas.34

Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari

perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti

melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan

hukum.35 Perlindungan korban dapat mencakup bentuk perlindungan yang

bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkret (langsung).33 Wahyudi S., Beberapa Permasalahan Pelaksanaan Perlindungan Anak dan Peran ForumPerlindungan Anak Bangsa, Makalah dalam rangka Hari Anak Tahun 2002, Pusat PenelitianWanita (Puslitwan) Unsoed Tanggal 31 Januari 2002, hal. 134 Lukman Hakim Nainggolan, Op.cit.35 Dikdik. M. Arief Mansur, Urgensi Perlidungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita,PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal 31.

20

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan

yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional (psikis), seperti

rasa puas (kepuasan). Sementara itu, perlindungan yang kongkret pada

dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata,

seperti pemberian yang berupa atau bersifat materii maupun non-materi.

Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau

restitusi, pembebasan biaya hidup atau pendidikan. Pemberian perlindungan

yang bersifat non-materi dapat berupa pembebasan dari ancaman, dari

pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan.

C. Tinjauan Teoritis Mengenai Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan

Sesuai dengan perkembangan teori-teori yang dikembangkan oleh

mazhab-mazhab dalam bidang etiologi kriminal. Berikut ini berturut-turut

teori-teori yang mencari sebab-sebab kejahatan dari beberapa aspek, yaitu:

1. Teori-teori yang mencari sebab kejahatan dari aspek fisik (biologis

kriminal)

Usaha-usaha mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri biologis

dipelopori oleh ahli-ahli frenologi, seperti Gall (1758-1828), Spurzheim

(1776-1832), yang mencoba mencari hubungan antara bentuk tengkorak

kepala dengan tingkah laku. Mereka mendasarkan pada pendapat

Aristoteles yang menyatakan bahwa otak merupakan organ dari akal.

ajaran ahli-ahli frenologi ini mendasarkan pada preposisi dasar: 36

36 I.S. Susanto, 2011, Kriminologi, Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 47

21

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

a. Bentuk luar tengkorak kepala sesuai dengan apa yang ada di dalamnya

dan bentuk dari otak,

b. Akal terdiri dari kemampuan atau kecakapan, dan

c. Kemampuan atau kecakapan ini berhubungan dengan bentuk otak dan

tengkorak kepala.

2. Teori-teori yang mencari sebab kejahatan dari faktor psikologis dan

psikiatris (psikologi kriminal)

Usaha untuk mencari sebab-sebab kejahatan dari faktor psikis

termasuk agak baru.seperti halnya para positivistis pada umumnya, usaha

mencari ciri-ciri psikis pada para penjahat didasarkan anggapan bahwa

penjahat merupakan orang-orang yang mempunyai ciri-ciri psikis yang

berbeda dengan orang-orang yang bukan penjahat, dan ciri-ciri pisikis

tersebut terletak pada intelegensinya yang rendah.37 Mengingat konsep

tentang jiwa yang sehat sangat sulit dirumuskan, dan kalaupun ada, maka

perumusannya sangat luas. Adapun bentuk-bentuk gangguan mental yaitu:

psikoses, neoroses, dan cacat mental.38

Teori psikogenesis (psikologis dan psikiatris) menekankan sebab-

sebab tingkah laku kenakalan remaja dari aspek psikologis atau isi

kejiwaannya. Antara lain faktor inteligensi, ciri kepribadian, motivasi,

sikap-sikap yang salah, frustasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru,

konflik batin, emosi yang kontroversial, kecenderungan psikopatologis dan

lain-lain.39

37 Ibid, hlm. 56.38 Ibid, hlm. 58.39 Kartini Kartono, 2014, Patoogi Sosial 2: Kenakalan Remaja, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 29.

22

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

3. Teori-teori yang mencari sebab kejahatan dari faktor sosiologi kultural

(sosiologi kriminal)

Objek utama sosiologi kriminal adalah mempelajari hubungan antara

masyarakat dengan anggotanya, antara kelompok, baik karena hubungan

tempat maupun etnis dengan anggotanya, antara kelompok dengan

kelompok, sepanjang hubungan tersebut dapat menimbulkan kejahatan.40

Secara umum dapat dikatakan setiap masyarakat memiliki tipe kejahatan

dan penjahat sesuai dengan budayanya, moralnya, kepercayaannya serta

kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi, hukum dan hankam serta struktu-

struktur yang ada. Mempelajari tindak penyimpangan sosial (kejahatan),

dapat melalui 2 cara pendekatan yaitu:41

a. Melihat penyimpangan sebagai kenyataan objektif

b. Penyimpangan sebagai problematika subjektif

Usaha mencari sebab-sebab kejahatan dari aspek sosial sudah dimulai

jauh sebelum lahirnya kriminologi, sedangkan usaha mencari sebab-sebab

kejahatan (secara ilmiah) dari aspek sosial dipelopori oleh mazhab

lingkungan yang muncul di Prancis pada abad 19, yang merupakan reaksi

terhadap ajaran Lombroso. Mannheim membedakan teori-teori sosiologi

kriminal ke dalam:42

a. Teori yang berorientasi pada kelas sosial, yaitu teori-teori yang mencari

sebab kejahatan dari ciri-ciri kelas sosial, perbedaan di antara kelas-

kelas sosial yang ada. Termasuk dalam teori ini adalah teori anomie dan

40 I.S. Susanto, Op.cit, hlm. 72.41 Ibid, hlm. 75.42 Ibid, hlm. 80.

23

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

teori-teori sub-budaya delinkuen. Teori kelas dapat dipandang sebagai

“pendewasaan” teori-teori sosiologi kriminal. Berbeda dengan teori-

teori sebelumnya yang mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri

yang terdapat atau yang melekat pada orang atau pelakunya, teori kelas

mencari “di luar” pelakunya, khususnya pada struktur sosial yang ada.

b. Teori-teori yang tidak berorientasi pada kelas sosial yaitu teori-teori

yang membahas sebab-sebab kejahatan tidak dari kelas sosial, tetapi

dari aspek yang lain seperti lingkungan, kependudukan, kemiskinan,

dan sebagainya, termasuk dalam teori ini adalah teori-teori ekologis,

teori konflik kebudayaan, teori faktor ekonomi, dan differential

association. Dapat dikatakan teori ini sudah agak kuno dibanding

dengan teori-teori kelas. Adapun teori-teori yang termasuk teori tidak

berorientasi pada kelas sosial yaitu: 43

1) Teori ekologis

Teori-teori ini mencoba dan mencari sebab-sebab tertentu baik dari

lingkungan manusia maupun sosial yaitu: kepadatan penduduk,

mobilitas penduduk, hubungan desa dan kota khususnya urbanisasi,

serta daerah kejahatan dan perumahan kumuh.

2) Teori konflik kebudayaan

Teori ini diajukan oleh T. Sellin dalam sosial, kepentingan dan

norma-norma. Konflik antara norma-norma dari aturan-aturan

kultural yang berbeda dapat terjadi antara lain: bertemunya dua

43 Ibid.

24

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

budaya besar, budaya besar menguasai budaya kecil, dan apabila

anggota dari suatu budaya pindah ke budaya lain.

3) Teori-teori faktor ekonomi

Pandangan bahwa kehidupan ekonomi merupakan hal yang

fundamental bagi seluruh struktur sosial dan kultural dan karenanya

menentukan semua urusan dalam struktur tersebut, merupakan

pandangan yang sejak dulu dan hingga kini masih diterima luas.

Mengenai hubungan antara faktor ekonomi dan kejahatan agaknya

perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu: teknik studi, serta batasan dan

pengaruh dari kemiskinan dan kemakmuran.

4) Teori differential association

Teori ini berlandaskan pada proses belajar, yaitu perilaku kejahatan

adalah perilaku yang dipelajari. Menurut Sutherland perilaku

kejahatan adalah perilaku manusia yang sama dengan perilaku

manusia pada umumnya yang bukan kejahatan.44 Menjelaskan proses

terjadinya perilaku kejahatan, Sutherland mengajukan 9 proposisi

sebagai berikut:45

a) Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari secara negatif

berarti perilaku kejahatan tidak diwarisi.

b) Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain

dalam suatu proses komunikasi. Komunikas tersebut terutama

bersifat lisan maupun dengan menggunakan bahasa isyarat.

44 Ibid.45 Soedjono Dirdjosisworo, Kriminologi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 108.

25

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

c) Bagian yang terpenting dalam proses mempelajari tingkah laku

kejahatan terjadi dalam kelompok personal yang intim. Secara

negatif komunikasi yang bersifat nirpersonal seperti melalui

bioskop, surat kabar, secara relatif, tidak mempunyai peranan

yang penting dalam terjadinya perilaku kejahatan.

d) Apabila perilaku kejahatan dipelajari, maka yang harus dipelajari

tersebut meliputi: teknik melakukan kejahatan, motif-motif

tertentu, dorongan, alasan pembenaran dan sikap.

e) Arah dari motif dan dorongan dipelajari melalui batasan (definisi)

aturan hukum baik sebagai hal yang menguntungkan maupun

yang tidak.

f) Seseorang menjadi delinkuen karena lebih banyak berhubungan

dengan pola-pola tingkah laku jahat dari pada tidak jahat.

g) Differential association dapat bervariasi dalam frekuensinya,

lamanya, prioritasnya dan intensitasnya. Hubungan dengan ini,

maka differential association bisa dimulai sejak anak-anak dan

berlangsung sepanjang hidup.

h) Proses mempelajari perilaku kejahatan diperoleh melalui

hubungan dengan pola-pola kejahatan dan anti kejahatan yang

menyangkut seluruh mekanisme yang melibatkan pada setiap

proses belajar pada umumnya.

i) Sementara perilaku kejahatan merupakan persyataan kebutuhan

dan nilai-nilai umum, akan tetapi hal tersebut tidak dijelaskan

26

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

oleh kebutuhan dan nilai-nilai, sebab perilaku yang bukan

kejahatan juga merupakan peryataan dari nilai yang sama. Pencuri

umumnya mencuri karena kebutuhan untuk memperoleh uang

akan tetapi pekerja yang jujur, dia bekerja juga dengan tujuan

untuk memperoleh uang.

Dalam mengajukan teorinya tersebut, Sutherland ingin menjadikan

teorinya tersebut sebagai teori yang dapat menjelaskan semua sebab-

sebab kejahatan.

D. Upaya Penanggulangan Kejahatan

Soedarto mengemukakan konsep upaya penanggulangan kejahatan

melalui tiga tindakan, yaitu tindakan preventif, represif, dan kuratif.46 Adapun

upaya penanggulangan kejahatan tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1. Upaya Preventif, yaitu usaha mencegah kejahatan yang merupakan bagian

dari politik kriminil. Politik kriminil dapat diberi arti sempit, lebih luas dan

paling luas.47 Dalam arti sempit politik kriminil itu digambarkan sebagai

keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap

pelanggaran hukum yang berupa pidana. Dalam arti lebih luas, politik

kriminil merupakan keseluruhan fungsi dari para penegak hukum,

termasuk di dalamnya cara kerja dari Pengadilan dan Polisi. Sedangkan

dalam arti yang paling luas, politik kriminil merupakan keseluruhan

kegiatan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan

46 Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 113-116. 47 Ibid, hal. 113.

27

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari

masyarakat.48 Penegakan norma-norma sentral ini dapat diartikan sebagai

penanggulangan kejahatan. Usaha-usaha penanggulangan secara preventif

sebenarnya bukan hanya bidang dari Kepolisian saja. Penanggulangan

kejahatan dalam arti yang umum secara tidak langsung juga dilakukan

tanpa menggunakan sarana pidana (hukum pidana). Misalnya, kegiatan

bakti sosial dapat menghindarkan para pemuda dari perbuatan jahat.

Penggarapan kejahatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama,

pemberian tempat atau rumah singgah bagi anak jalanan dan gelandangan

akan mempunyai pengaruh baik untuk pengendalian kejahatan. 2. Upaya Represif, yaitu segala tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum sesudah terjadinya kejahatan (tindak pidana). Yang termasuk

tindakan represif adalah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai

dilaksanakannya pidana. Ini semua merupakan bagian- bagian dari politik

kriminil sehingga harus dipandang sebagai suatu rangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh badan-badan yang bersangkutan dalam menanggulangi

kejahatan. 3. Upaya Kuratif, yaitu pada hakikatnya merupakan usaha preventif dalam

arti yang seluasluasnya ialah dalam usaha penanggulangan kejahatan,

maka untuk mengadakan pembedaan sebenarnya tindakan kuratif itu

merupakan segi lain dari tindakan represif dan lebih dititikberatkan kepada

tindakan terhadap orang yang melakukan kejahatan. Tindakan kuratif

dalam arti nyata hanya dilakukan oleh aparatur eksekusi pidana, misalnya

para pejabat lembaga pemasyarakatan atau pejabat dari Bimbingan

48 Ibid, hal. 113.

28

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA). Mereka ini secara nyata

terlepas dari berhasil atau tidaknya melakukan pembinaan terhadap para

terhukum pidana pencabutan kemerdekaan.

Menurut Barda Nawawi Arief bahwa kebijakan atau upaya

penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari

upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai

kesejahteraan (social welfare).49 Kebijakan penanggulangan kejahatan atau

bisa disebut juga politik kriminal memiliki tujuan akhir atau tujuan utama

yaitu “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.

Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) itu sendiri merupakan

bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Kebijakan

penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan social (social policy) dan

termasuk juga dalam kebijakan legislatif (legislative policy). Politik riminal

pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial yaitu

kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Menurut G.P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief,

bahwa upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara: 50

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application); b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat media massa (influencing views of society oncrime and punishment/mass media).

49 Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (PerkembanganPenyusunan Konsep KUHP Baru), Jakarta, Kencana Prenada Media Group, hlm. 2.50 Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Semarang, FajarInterpratama, hlm. 45.

29

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

Berdasarkan pendapat di atas maka upaya penanggulangan kejahatan

secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yakni jalur penal dan non penal.

1. Penanggulangan Kejahatan dengan Hukum Pidana (Upaya Penal)

Upaya penanggulangan lewat jalur penal ini bisa juga disebut

sebagai upaya yang dilakukan melalui jalur hukum pidana. Upaya ini

merupakan upaya penanggulangan yang lebih menitikberatkan pada sifat

represif, yakni tindakan yang dilakukan sesudah kejahatan terjadi dengan

penegakan hukum dan penjatuhan hukuman terhadap kejahatan yang telah

dilakukan. Selain itu, melalui upaya penal ini, tindakan yang dilakukan

dalam rangka menanggulangi kejahatan sampai pada tindakan pembinaan

maupun rehabilitasi.51

Pada hakikatnya, kebijakan hukum pidana (penal policy, criminal

policy, atau strafrechtpolitiek) merupakan proses penegakan hukum pidana

secara menyeluruh atau total. Kebijakan hukum pidana merupakan

tindakan yang berhubungan dalam hal-hal:

a. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatandengan hukum pidana;

b. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar dapat sesuai dengankondisi masyarakat;

c. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakatdengan hukum pidana;

d. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengaturmasyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.52

Menurut Barda Nawawi Arief bahwa kebijakan penal yang bersifat

represif, namun sebenarnya juga mengandung unsur prefentif, karena

51 Ibid, hal. 46.52 Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik, Bandung,Alumni, hlm. 390.

30

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap delik diharapkan

ada efek pencegahan/penangkal atau deterrent effect-nya. Di samping itu,

kebijakan penal tetap diperlukan dalam penanggulangan kejahatan, karena

hukum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk

menyalurkan “ketidaksukaan masyarakat (social dislike) atau

pencelaan/kebencian sosial (social disapproval/social abhorrence) yang

sekaligus juga diharapkan menjadi sarana “perlindungan sosial” (social

defence). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa “penal policy”

merupakan bagian integral dari “social defence policy”.53

Hal senada juga dikemukakan oleh Roeslan Saleh, yang

mengemukakan tiga alasan yang cukup panjang mengenai masih

diperlukannya pidana dan hukum pidana, adapun intinya sebagai berikut:54

a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalanseberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakanpaksaan; persoalannya bukan terletak pada hasil yang akandicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dannilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.

b. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidakmempunyai arti sama sekali bagi si terhukum; dan di samping ituharus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaranpelanggaran normayang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitusaja.

c. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mataditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orangyang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang menaati norma-norma masyarakat.

53 Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana DalamPenanggulangan Kejahatan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, hlm. 182.54 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung,Alumni, hlm. 153.

31

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief dan

Roeslan Saleh, dapat disimpulkan bahwa penggunaan hukum pidana

dalam menanggulangi kejahatan masih sangat diperlukan pada saat ini,

mengingat bahwa hukum pidana selain memiliki sisi represif juga

memiliki sisi preventif untuk mencegah agar masyarakat yang taat pada

hukum tidak ikut melakukan atau akan berfikir dua kali jika ingin

melakukan kejahatan.

32

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

2. Penanggulangan Kejahatan Tanpa Hukum Pidana (Upaya Non Penal)

Menurut Barda Nawawi Arief bahwa upaya penanggulangan lewat

jalur non penal ini bisa juga disebut sebagai upaya yang dilakukan melalui

jalur di luar hukum pidana. Upaya ini merupakan upaya penanggulangan

yang lebih menitikberatkan pada sifat preventif, yakni tindakan yang

berupa pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Melalui upaya nonpenal

ini sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab

terjadinya kejahatan, yakni meliputi masalah-masalah atau kondisi-kondisi

sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau

menumbuhsuburkan kejahatan.55

Kebijakan non-penal (non-penal policy) merupakan kebijakan

penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana di luar hukum

pidana. Kebijakan melalui saran non-penal dapat dilakukan dalam bentuk

kegiatan seperti: penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka

mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat; penggarapan

kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama, dan

sebagainya; peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja; serta

kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara berkelanjutan oleh polisi

dan aparat keamanan lainnya.56 Kebijakan non-penal ini dapat meliputi

bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial, dimana

tujuan utamanya memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun

55 Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Semarang, FajarInterpratama, hlm. 46.56 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni,hlm. 159.

33

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.

Dengan demikian, maka kegiatan preventif melalui sarana non-penal

sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang

posisi kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan untuk mewujudkan

tujuan akhir dari politik kriminal.57

Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal”

lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka

sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab

terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada

masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau

tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.

Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan

global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis

dari keseluruhan upaya politik kriminal. Di berbagai Kongres PBB

mengenai “The Prevention of Crime and Treatment of Offenders”

ditegaskan upaya-upaya strategis mengenai penanggulangan sebab-sebab

timbulnya kejahatan.58

Upaya non penal dapat pula digali dari berbagai sumber lainnya

yang juga mempunyai potensi efek-preventif, misalnya media pers/media

massa, pemanfaatan kemajuan teknologi (dikenal dengan istilah techno-

prevention) dan pemanfaatan potensi efek-preventif dari aparat penegak

hukum. Mengenai yang terakhir ini, Sudarto pernah mengemukakan,

57 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit, hlm. 159.58 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 20

34

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

bahwa kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara kontinu termasuk

upaya non penal yang mempunyai pengaruh preventif bagi penjahat

(pelanggar hukum) potensial. Sehubungan dengan hal ini, kegiatan

razia/operasi yang dilakukan pihak kepolisian di beberapa tempat tertentu

dan kegiatan yang berorientasi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan

komunikatif edukatif dengan masyarakat, dapat pula dilihat sebagai upaya

non penal yang perlu diefektifkan.59

Penjelasan di atas pada dasarnya ingin menekankan bahwa upaya

non penal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan

masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat

(secara materil dan immateril) dari faktor-faktor kriminogen (sebab-sebab

terjadinya kejahatan). Hal ini berarti bahwa masyarakat dengan seluruh

potensinya harus dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan atau faktor

anti kriminogen yang merupakan bagian integral dari keseluruhan politik

kriminal.

B. Tinjauan Teoritis Tentang Kriminologi, Kriminogen, dan Kriminologis1. Tinjauan Teoritis Tentang Kriminologi

Pengertian kriminologi sebagaimana yang dikutip oleh Topo Santoso

dan Eva Achjani Zulfa, antara lain:60

a. Bonger mendefinisikan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang

bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.

59 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalamPenanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 4860 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2010. Kriminologi, RajaGrafindo Persada, Jakarta,

hlm. 9.

35

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

b. Sutherland merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu

pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan kejahatan sebagai gejala

sosial dan mencakup proses-proses perbuatan hukum, pelanggaran hukum

dan reaksi atas pelanggaran hukum.

c. Wood mengemukakan bahwa istilah kriminologi meliputi keseluruhan

pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman yang

bertalian dengan perbuatan jahat dan penjahat dan, termaksud di dalamnya

reaksi dari masyarakat terhadap perbuatan jahat dan para penjahat.

d. Noach merumuskan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan tentang

perbuatan jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang terlibat

dalam perilaku jahat dan perbuatan tercela itu.

e. Wolfgang dan Zulfa mendefinisikan kriminologi sebagai kumpulan ilmu

pengetahun tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh

pegetahuan dan pengartian tentang gejala kejahatan dengan jalan

mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan,

keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang

berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat

terhadap keduanya.

Berdasarkan pendapat-pendapat para pakar di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa obyek studi kriminologi meliputi: perbuatan yang disebut

sebagai kejahatan, pelaku kejahatan, dan reaksi masyarakat yang ditujukan

baik pada perbuatan maupun terhadap pelakunya.

36

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan. Suatu perbuatan baru

dapat dikatakan sebagai kejahatan bila ia mendapat reaksi dari masyarakat.

Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menyimpang atau melanggar

norma-norma yang ada dalam masyarakat maka secara umum orang tersebut

dapat dianggap sebagai penjahat atau perbuatan yang dilakukan itu disebut

perbuatan jahat.61

Dalam ilmu kriminologi dinyatakan bahwa gejala kejahatan

merupakan suatu konstruksi sosial, yaitu pada waktu suatu masyarakat

menetapkan bahwa sejumlah perilaku dan orang dinyatakan sebagai kejahatan

penjahat. Dengan demikian kejahatan dan penjahat bukanlah gejala yang

secara obyektif dapat dipelajari oleh ilmuwan, karena gejala ini hanya ada

kalau ditentukan demikian oleh masyarakat.62 Selanjutnya yang perlu

diperhatikan adalah apa sebabnya orang melakukan perbuatan jahat tersebut.

Dengan mengetahui latar belakang orang melakukan perbuatan jahat atau

latar belakang terjadinya kejahatan ini diharapkan dapat diketahui cara yang

tepat untuk mencegah ataupun menanggulangi kejahatan tersebut.

Menurut A.S. Alam bahwa ruang lingkup pembahasan kriminologi

meliputi tiga hal pokok, yaitu:63

a. Proses pembuatan hukum pidana dan acara pidana (making laws).

Pembahasan dalam proses pembuatan hukum pidana (process of making

61 M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 42.62 Mardjono Reksodiputro, 1994. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Pusat PelayananKeadilan dan Pengabdian Hukum UniversitasIndonesia, Jakarta, hlm. 86.63 A.S. Alam, Pengantar Kriminologi, Makassar, Pustaka Refleksi, 2010, hlm. 2-3.

37

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

laws) meliputi: definisi kejahatan, unsur-unsur kejahatan, relativitas

pengertian kejahatan, penggolongan kejahatan, dan statistik kejahatan.

b. Etiologi kriminal, yang membahas yang membahas teori-teori yang

menyebabkan terjadinya kejahatan (breaking of laws). Perihal yang

dibahas dalam etiologi kriminal (breaking of laws) meliputi: aliran-aliran

(mazhab-mazhab) kriminologi, teori-teori kriminologi, dan berbagai

perspektif kriminologi.

c. Reaksi terhadap pelanggaran hukum (reacting toward the breaking of

laws). Reaksi dalam hal ini bukan hanya ditujukan kepada pelanggar

hukum berupa tindakan represif tetapi juga reaksi terhadap calon

pelanggar hukum berupa upaya-upaya pencegahan kejahatan (criminal

prevention). Selanjutnya yang dibahas dalam bagian ketiga adalah

perlakuan terhadap pelanggar-pelanggar hukum (reacting toward the

breaking laws) meliputi: (1) Teori-teori penghukuman, dan (2) Upaya-

upaya penanggulangan/pencegahan kejahatan baik berupa tindakan pre-

emtif, preventif, represif, dan rehabilitatif.

2. Tinjauan Teoritis Tentang Kriminogen

Faktor kriminogen merupakan faktor yang melatarbelakangi atau

memicu terjadinya tindak pidana. Berbicara tentang aspek kriminogen, maka

menyangkut aspek-aspek yang mempengaruhi seorang melakukan tindak

pidana adalah:64 (1) Lingkungan yang tidak sehat. (2) Kurang tegasnya

penerapan hukum di masyarakat. (3) Kurang konsistennya pelaksanaan

64 S. Aminah Hidayat, Pengantar Kriminologi, Diktat Mata Kuliah Kriminologi, Fakultas Syari’ahUIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007, hlm. 17

38

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

pembinaan hukum di masyarakat. Secara yuridis, kejahatan hanya merupakan

salah satu bentuk dari perbuatan pidana selain pelanggaran. Menurut Bonger

seorang kriminolog, kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang

memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa penekanan penderita

(hukuman atau tindakan).65 Dengan demikian dalam penjatuhan hukuman dari

kejahatan tersebut, perbuatan tidak perlu terlebih dahulu dirumuskan dalam

peraturan hukum pidana.

Kongres PBB (Forth United Nations Congress on the Prevention of

Crime and the Treatment of Offender) mengakui bahwa beberapa aspek

penting dari perkembangan masyarakat dianggap potensial sebagai

kriminogen, artinya mempunyai kemungkinan untuk menimbulkan kejahatan.

Aspek-aspek ini adalah urbanisasi, industrialisasi, pertambahan penduduk,

perpindahan penduduk setempat, mobilitas sosial dan perubahan teknologi.66

Sayangnya faktor kriminogen dari perkembangan masyarakat itu

muncul dalam bentuk kejahatan yang tiada bandingannya dalam KUHP atau

dengan kata lain merupakan kejahatan jenis baru. Hal ini menimbulkan dua

pertanyaan sekaligus. Pertama, pertanyaan mengenai kemampuan hukum

pidana dalam menangani kejahatan-kejahatan sedemikian. Hukum pidana

sebagai sebuah bidang kajian memiliki keterbatasan,67 keterbatasan mana

menyebabkan hukum pidana tak mampu menjangkau sebab-sebab kejahatan

yang kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana, lagi pula hukum

65 Ibid, hlm. 1766 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 9467 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan HukumPidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 35-52

39

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

pidana hanyalah bagian kecil dari sarana kontrol sosial masyarakat yang tak

dapat menjadi obat mujarab bagi keseluruhan persoalan kejahatan.

Terkait dengan kenakalan anak atau remaja, faktor kriminogen dari

kenakalan remaja meliputi krisis identitas, kontrol diri yang lemah, keadaan

keluarga yang kurang baik, pengaruh negatif teman, dan pengaruh lingkungan

yang kurang baik.68

3. Tinjauan Teoritis Tentang Kriminologis

Kriminologis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

diartikan sebagai kata sifat (adjektiva) yang berkenaan dengan kriminologi.69

Kriminologis adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala

kejahatan seluas-luasnya berdasarkan pada pengalaman seperti ilmu

pengetahuan lainnya yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala dan mencoba

menyelidiki sebab-sebab arti gejala tersebut dengan cara-cara yang apa

adanya.70

Kriminologis adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari

tentang sebab musabab timbulnya kejahatan dan permasalahannya.71

Kriminologis yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah mempelajari

sebab musabab timbulnya tindak pidana pembuangan anak oleh ibu kandung

di Kota Malang.

68 Remaja, I.N.G., Faktor Kriminogen Kenakalan Remaja dan Akibat Hukumnya, WidyatechJurnal Sains dan Teknologi, (11), 2012: 1-1069 KBBI, Kriminologis, http://kbbi.web.id/kriminologis70 Mujiono Wahju, Pengantar Teori Kriminologi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012, hlm. 31 71 Topo Santoso, Ilmu Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 45

40

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tindak Pidana ...eprints.umm.ac.id/38644/3/BAB II.pdf · Adapun definisi pembuangan adalah “proses, cara, perbuatan membuang”.16 Sementara

Dalam perspektif kriminologis, terdapat 4 (empat) isu yang dibahas

yakni:72 (1) kejahatan, kemudian (2) pelaku kejahatan, (3) korban kejahatan

dan yang terakhir, (4) adalah reaksi sosial masyarakat. Hal ini menunjukkan

bahwa perempuan dan anak merupakan pihak yang paling rentan mengalami

viktimisasi dan menjadi korban kejahatan.

72 Muhammad Mustofa, Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang, dan Pelanggaran Hukum, FISIP UI Press, Depok, 2007, hlm. 14

41