bab ii tinjauan pustaka a. motivasi melanjutkan pendidikan...
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Motivasi Melanjutkan Pendidikan Strata 2
1. Pengertian Motivasi melanjutkan pendidikan strata 2
Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu
movere, yang berarti bergerak (move). Motivasi
menjelaskan apa yang membuat orang melakukan
sesuatu, membuat mereka tetap melakukannya, dan
membantu mereka dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Hal ini berarti bahwa konsep motivasi digunakan untuk
menjelaskan keinginan berperilaku, arah perilaku
(pilihan), intensitas perilaku (usaha, berkelanjutan), dan
penyelesaian atau prestasi yang sesungguhnya (Pintrich,
2003).
Menurut Santrock, motivasi adalah proses yang
memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku.
Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah
perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama
(Santrock, 2007). Dalam kegiatan belajar, maka motivasi
dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak
didalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar,
yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan
memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan
15
yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai
(Sardiman, 2000)
Sejalan dengan pernyataan Santrock (2007) diatas,
Brophy (2004) menyatakan bahwa motivasi belajar lebih
mengutamakan respon kognitif, yaitu kecenderungan
siswa untuk mencapai aktivitas akademis yang bermakna
dan bermanfaat serta mencoba untuk mendapatkan
keuntungan dari aktivitas tersebut. Siswa yang memiliki
motivasi belajar akan memperhatikan pelajaran yang
disampaikan, membaca materi sehingga bisa
memahaminya, dan menggunakan strategi-strategi
belajar tertentu yang mendukung. Selain itu, siswa juga
memiliki keterlibatan yang intens dalam aktivitas belajar
tersebut, rasa ingin tahu yang tinggi, mencari bahan-
bahan yang berkaitan untuk memahami suatu topik, dan
menyelesaikan tugas yang diberikan.
Siswa yang memiliki motivasi belajar akan
bergantung pada apakah aktivitas tersebut memiliki isi
yang menarik atau proses yang menyenangkan. Intinya,
motivasi belajar melibatkan tujuan-tujuan belajar dan
strategi yang berkaitan dalam mencapai tujuan belajar
tersebut (Brophy, 2004).
Lebih lanjut Wexley & Yukl, (2001) memberikan
batasan mengenai motivasi sebagai the process by which
behaviour is energized and directed. Hal ini didukung
16
oleh Mc.Celland (dalam Trismaningrum,2007) yang
berpendapat bahwa didalam motivasi terdapat sebuah
tujuan dari individu tersebut. Dengan kata lain motivasi
adalah serangkaian usaha untuk menyediakan keadaan-
keadaan tertentu agar seseorang menjadi mau dan ingin
melakukan sesuatu.
Berdasarkan beberapa definisi diatas selanjutnya
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
motivasi adalah faktor-faktor yang ada dalam diri
seseorang yang menggerakkan dan mengarahkan
perilakunya untuk memenuhi tujuan tertentu.
Dalam penelitian ini, motivasi yang dimaksud
adalah motivasi untuk melanjutkan pendidikan strata 2.
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) S2 atau
yang sering dikenal dengan gelar magister berhubungan
dengan tingkat pendidikan atau pengetahuan sesudah
sarjana (S1). Selain itu, sebutan Magister (Inggris,
Master) merupakan gelar akademik yang diberikan
kepada lulusan program pendidikan Magister (S2) atau
graduate. Selain itu, untuk mendapatkan gelar magister,
biasanya dibutuhkan waktu selama 1 (satu) sampai 3
(tiga) tahun, serta menyelesaikan suatu karya ilmiah atau
tesis (http://id.wikipedia.org/wiki/pendidikan.html).
Jadi, definisi dari motivasi melanjutkan pendidikan
strata 2 adalah dorongan yang ada dalam diri seseorang
17
yang menggerakkan dan mengarahkan perilakunya untuk
mencapai tujuannya yaitu untuk melanjutkan pendidikan
strata 2 agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi
Menurut Irwanto, (2005) faktor yang dapat
mempengaruhi motivasi adalah:
a. Faktor Internal
Pendorong dan pengarah sikap individu yang
melanjutkan faktor yang berasal dari dalam diri
individu. Faktor yang mendorong, mengarahkan,
mempertahankan dan menghentikan perilaku yang
berasal dari dalam diri individu berupa sikap,
kepribadian, pendidikan, pengalaman, pengetahuan,
harapan, cita-cita, dan lain sebagainya.
b. Faktor Eksternal
Faktor yang mendorong, mengarahkan,
mempertahankan dan menghentikan perilaku yang
berasal dari luar individu seperti kepemimpinan,
pengaruh lingkungan, orang tua, saudara, dan lain
sebagainya.
Selanjutnya Suprihanto, dkk (2003) mengungkapkan
bahwa didalam motivasi itu terdapat suatu interaksi
antar berbagai faktor. Berbagai faktor yang dimaksud
meliputi:
18
a. individu dengan segala unsur-unsurnya :
kemampuan dan keterampilan, kebiasaan, sikap
dan sistem nilai yang dianut, latar belakang
kehidupan sosial budaya, tingkat kedewasaan, dsb.
b. Situasi dimana individu berada akan menimbulkan
berbagai rangsangan , persepsi individu terhadap
harapan dan cita-cita.
c. Proses penyesuaian yang harus dilakukan oleh
masing-masing individu.
d. Pengaruh yang datang dari berbagai pihak :
pengaruh teman, komunitas, maupun keluarga.
e. Reaksi yang timbul terhadap pengaruh individu
f. Perilaku atas perbuatan yang ditampilkan oleh
individu.
g. Timbulnya persepsi dan bangkitnya kebutuhan
baru, cita-cita, dan tujuan.
Dari berbagai paparan tentang faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi motivasi dapat disimpulkan
bahwa motivasi untuk melanjutkan pendidikan strata 2
dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal atau pengaruh
dari luar diri individu seperti pengaruh tngkat
pendidikan ibu.
19
3. Aspek-aspek motivasi
Menurut Conger (dalam Aftiyan, 2005), motivasi
memiliki beberapa aspek diantaranya:
a. Kekuatan yang mendorong
Aspek ini menunjukkan bahwa timbulnya suatu
kekuatan akan dapat mendorong individu untuk
melakukan sesuatu. Kekuatan ini bisa berasal dari
dalam diri individu, lingkungan sekitar serta
keyakinan atau kekuatan yang bersifat kodrati. Secara
sadar ataupun tidak sadar, dalam diri individu sering
terjadi gejolak yang sangat kuat untuk melakukan
sesuatu dengan tujuan tertentu. Gejolak itu dapat
berasal dari keluarga, teman, lingkungan, pengalaman
atau apapun yang membuat kita merasa terdorong dan
memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu.
b. Memiliki sikap yang positif
Aspek ini menunjukkan adanya keyakinan dari dalam
diri individu yang kuat, penerimaan diri yang tinggi
serta selalu optimis dalam menghadapi suatu hal.
Ketika individu (anak) sudah mempunyai kekuatan
yang mendorong untuk melakukan sesuatu, maka
akan timbul pikiran-pikiran positif dari kekuatan
pendorong tersebut yang akan mengarahkan individu
untuk mempunyai sikap-sikap positif. Seseorang yang
mempunyai dorongan yang kuat untuk melanjutkan
20
studi ke jenjang yang tinggi akan memupuk dirinya
dengan pikiran-pikiran positif yang akan
mempertebal keyakinan dan rasa percaya diri dalam
diri individu sehingga akan mengarahkan individu
pada sikap-sikap positif, seperti pantang menyerah,
bekerja keras, berpikiran positif dan sebagainya.
c. Berorientasi pada pencapaian suatu tujuan
Aspek ini menunjukkan bahwa motivasi menyediakan
suatu orientasi tujuan tingkah laku yang dilakukan,
diarahkan pada suatu yang dianggap penting dalam
kehidupan individu tersebut. Setiap individu yang
ingin melanjutkan studinya kejenjang yang lebih
tinggi pasti membutuhkan persiapan yang benar-
benar matang untuk mewujudkannya. Salah satu
caranya, individu harus mempersiapkan materi /
tekun belajar untuk melanjutkan studi ke jenjang yang
lebih tinggi guna mencapai apa yang menjadi tujuan
individu.
Selanjutnya, Morgan (1987) mengemukakan tiga
aspek motivasi yaitu:
a. keadaan yang mendorong tingkah laku (motivating
states)
b. tingkah laku yang didorong oleh keadaan tersebut
(motivated behavior)
21
c. tujuan daripada tingkah laku tersebut (goals or
ends of such behavior)
Lebih lanjut Walgito (2004), menyebutkan
aspek-aspek motivasi yakni:
1. keadaan terdorong dalam diri organisme (a driving
state), yaitu kesiapan bergerak karena kebutuhan
misalnya kebutuhan jasmani, karena keadaan
lingkungan, atau karena keadaan mental seperti
berpikir dan ingatan.
2. perilaku yang timbul dan terarah karena keadaan
ini.
3. goal atau tujuan yang dituju oleh perilaku tersebut.
4. Fungsi motivasi
Sardiman, (2005) menyatakan bahwa ada tiga fungsi
utama dari motivasi. Pertama, motivasi mendorong
manusia untuk berbuat sesuatu dalam mencapai
tujuannya sehingga motivasi dapat diilustrasikan sebagai
mesin dalam kendaraan yang dapat bergerak apabila
pemilik ingin memakainya untuk pergi ke suatu tempat.
Sama halnya dengan manusia yang dapat bergerak
apabila ada yang mendorongnya untuk mencapai
sesuatu.
Fungsi motivasi yang kedua adalah menentukan
arah perbuatan yang mengarah ke arah tujuan yang
22
hendak dicapai jika individu sudah termotivasi untuk
mempunyai gelar pascasarjana, maka individu
mengetahui secara benar dan pasti langkah apa yang
harus diambil dalam mencapai tujuannya. Secara sadar
dan tidak sadar rasa motivasi yang demikian membawa
individu untuk pergi ke tujuan yang ingin dicapai
individu.
Fungsi terakhir dari motivasi menurut Sardiman,
(2005) adalah sebagai juri yang bertugas untuk
menyeleksi perilaku individu dalam mencapai tujuan.
Dengan kata lain, motivasi adalah detektif pribadi bagi
diri individu sendiri dimana ia dapat mendeteksi mana
hal yang harus dilakukan untuk mencapai tujuannya dan
mana hal yang harus dibuang karena mengganggu
tujuannya.
Selanjutnya, Siagian (2001) menyebutkan beberapa
fungsi motivasi, yaitu:
a. Motivasi sebagai pendorong individu untuk berbuat
Fungsi motivasi dipandang sebagai pendorong
seseorang untuk berbuat sesuatu. Motivasi akan
menuntut individu untuk melepaskan energi dalam
kegiatannya.
23
b. Motivasi sebagai penentu arah perbuatan
Motivasi akan menuntun seseorang untuk melakukan
kegiatan yang benar-benar sesuai dengan arah dan
tujuan yang ingin dicapai.
c. Motivasi sebagai proses seleksi perbuatan
Motivasi akan memberikan dasar pemikiran bagi
individu untuk memprioritaskan kegiatan mana yang
harus dilakukan.
d. Motivasi sebagai pendorong pencapaian prestasi
Prestasi dijadikan motivasi utama bagi seseorang
dalam melakukan kegiatan.
Jadi secara ringkas, fungsi motivasi adalah sebagai
pendorong, pengarah, dan penggerak dalam mencapai
tujuan yang ingin dicapai.
B. Tingkat Pendidikan ibu
1. Pengertian Tingkat Pendidikan
Individu sering mendengar khalayak ramai
menyebut dan menggunakan istilah “tingkat” dalam
mengungkapkan sesuatu. Muda 2006, mendeskripsikan
“tingkat” sebagai sebagai suatu ukuran tinggi atau
rendahnya kedudukan seseorang atas Sesuatu. Dalam
dunia pendidikan, tingkat selalu dihubungkan dengan
istilah “pendidikan”. Tambunan (2009) menjelaskan
bahwa istilah pendidikan berasal dari kata Latin yaitu
24
educare yang secara harafiah berarti “menarik keluar
dari” sehingga pendidikan diartikan sebagai sebuah aksi
dalam membawa seorang (anak / peserta didik) keluar
dari kondisi yang tidak merdeka, tidak dewasa, dan
tergantung ke suatu situasi merdeka, dewasa, dan dapat
menentukan diri sendiri, serta bertanggung jawab.
Brubacher (dalam Baraja, 2005) juga berpendapat
bahwa pendidikan adalah proses timbal balik dari setiap
manusia dalam menyesuaikan dirinya dengan alam,
dengan teman, dan dengan alam semesta. Bahkan,
Dewey (dalam Baraja, 2005) memandang bahwa
pendidikan sebagai proses pembentukan kecakapan
fundamental secara intelektual dan emosional sesama
manusia.
Whiterington (dikutip oleh Buchori dalam Palupi,
2007) mengemukakan bahwa pendidikan adalah suatu
proses yang sengaja dilakukan untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan seseorang dimana
kepribadian yang dimaksud adalah seluruh tingkah laku
seseorang, mulai dari cara berpikir, bersikap, dan
bertindak. Baraja, (2005) menyatakan bahwa pendidikan
adalah usaha yang dijalankan oleh seseorang atau
kelompok orang lain agar menjadi dewasa / mencapai
tingkat hidup penghidupan yang lebih tinggi dalam arti
mental.
25
Menurut Sikula (dalam Mangkunegara, 2003),
tingkat pendidikan adalah suatu proses jangka panjang
yang menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir,
yang mana tenaga kerja manajerial mempelajari
pengetahuan konseptual dan teoritis untuk tujuan-tujuan
umum.
Dari beberapa pengertian tingkat dan pendidikan
tersebut diatas, selanjutnya dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan tingkat pendidikan adalah tinggi
rendahnya suatu proses bimbingan yang dilakukan
pendidik kepada anak didik di tempat pendidikan formal
dengan menggunakan prosedur yang sistematis dan
terorganisir serta bertujuan untuk meningkatkan
kecerdasan individu dalam mengembangkan potensi
yang ada dalam diri individu tersebut. Seperti potensi
fisik, moral, sosial, pengetahuan dan keterampilan.
2. Tingkat pendidikan.
Jika kita teliti lebih dalam lagi, ada berbagai
macam tingkat pendidikan yang ditetapkan berdasarkan
tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan
capai, dan kemampuan yang dikembangkan. Tingkat
pendidikan di Indonesia meliputi
(http://id.wikipedia.org/wiki/pendidikan.html):
26
a. Pendidikan anak usia dini/tidak lulus SD
Mengacu pada Undang-undang Nomor 20 tahun
2003, pasal 1 butir 14 tentang sistem Pendidikan
Nasional, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi
anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun
yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan
lebih lanjut.
b. Pendidikan Dasar
Pendididkan dasar merupakan tingkat pendidikan
awal selama 9 (sembilan) tahun pertama. Pendidikan
dasar mencakup Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah
Menengah Pertama (SMP).
c. Pendidikan Menengah
Pendidikan Menengah merupakan tingkat
pendidikan lanjutan pendidikan dasar yang harus
dilaksanakan minimal 9 (sembilan) tahun.
Pendidikan Menengah berbentuk Sekolah Menengah
Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah
Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
27
d. Pendidikan tinggi
pendidikan tinggi adalah tingkat pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program
pendidikan diploma, sarjana, magister, doktor, dan
spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan
tinggi.
Berikut adalah penjelasan singkat mengenai
berbagai macam program pendidikan di perguruan
tinggi.
a. Sarjana (dari Bahasa Sansekerta, dalam bahasa
Inggris: Bachelor) adalah gelar akademik yang
diberikan kepada lulusan program pendidikan
sarjana (S-1) atau undergraduate.
b. Magister (dalam Bahasa Inggris: Master) adalah
gelar akademik yang diberikan kepada lulusan
program pendidikan magister (S-2) atau
graduate.
c. Doktor (dalam Bahasa Inggris: Doctor) adalah
gelar akademik tingkat tertimggi yang diberikan
kepada lulusan program pendidikan doktor (S-3)
atau postgraduate.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tingkat
pendidikan yang diklasifikasikan dari Pendidikan Dasar,
Pendidikan Menengah Pertama, Pendidikan Menengah
Umum, Diploma, Sarjana (S1), Magister (S2)
28
3. Pengertian ibu
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Departemen Pendidikan Nasional, 2003), “ibu” berarti
wanita yang telah melahirkan seorang anak.
Menurut Kartono (1992), ibu adalah seorang yang
mendidik anak, memelihara fisik anak dan harus
melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan psikis
anak agar anak bisa mengadakan adaptasi terhadap
lingkungan sosial, melatih anak agar mampu
mengendalikan instink-instink agar anak menjadi
manusia yang disiplin, terkendali dan menjadi baik.
Partasari (2006), menambahkan ibu adalah orang yang
memberikan perlindungan dan keteraturan, orang yang
harus menciptakan ikatan emosional kuat sehingga dapat
membentuk anak lebih bersikap empati dan memberikan
penguasaan diri yang baik.
Dari pengertian ibu diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan ibu adalah seorang wanita
yang melahirkan anak dari rahimnya sendiri,
membesarkan, mendidik, dan merawat serta memberikan
perhatian, kasih sayang dan pendidikan yang layak bagi
anak tersebut.
29
4. Pengertian tingkat pendidikan ibu
Dari pengertian tingkat pendidikan dan ibu dapat
disimpulkan bahwa tingkat pendidikan ibu adalah tinggi
rendahnya suatu proses bimbingan yang dilakukan oleh
seorang perempuan dalam hal ini adalah ibu, di tempat
pendidikan formal, dengan menggunakan prosedur yang
sistematis dan terorganisir serta bertujuan untuk
meningkatkan kecerdasan individu tersebut.
5. Pengaruh dari tingkat Pendidikan ibu terhadap anak
Setyorini, (2011) menyatakan bahwa tingkat
pendidikan orang tua akan menentukan cara orang tua
dalam membimbing dan mengarahkan anaknya dalam
hal pendidikan. Tingkat pendidikan yaitu jenjang
pendidikan yang telah ditempuh secara formal. Sikap
yang terbentuk pada masing-masing individu pada setiap
tingkat pendidikan formal akan berbeda-beda antara
lulusan sekolah dasar, lulusan menengah pertama,
lulusan sekolah menengah atas, lulusan perguruan tinggi.
Hal inilah yang menjadi latar belakang tingkat
pendidikan orang tua menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi orang tua dalam membimbing dan
mengarahkan anaknya dalam hal pendidikan yang akan
ditempuh oleh anaknya. Tingkat pendidikan orang tua
yang rendah akan cenderung sempit wawasannya
30
terhadap pendidikan, lulus sekolah menengah dirasa
sudah cukup. Sedangkan tingkat pendidikan orang tua
yang tinggi akan lebih luas wawasannya terhadap
pendidikan. Mereka akan mengarahkan dan
membimbing anaknya untuk terus menambah ilmu
sehingga anak tersebut mempunyai motivasi untuk
melanjutkan studi, dalam hal ini adalah program strata 2.
C. Perempuan suku Jawa
Perempuan Jawa dengan pandangan tradisional
menganggap kedudukan suami lebih dominan dari pada isteri
atau ibu rumah tangga. Kekuasaan, kepemimpinan dalam
keluarga berada di tangan suami. Perempuan dengan
pandangan tradisional akan lebih memilih untuk berada di
rumah. Setelah menikah perempuan tersebut akan
mencurahkan tenaganya untuk suami dan keluarganya.
Sehingga mereka akan menjalani peran domestik, yaitu
tinggal dirumah, memasak, membersihkan rumah, mencuci,
mengurus anak-anak dan suaminya, serta mencurahkan
seluruh tenaga dan waktunya hanya untuk keluarga.
Dowling, (1981) menyatakan bahwa perempuan
dengan karakteristik tradisional menganggap bahwa
perempuan yang berhasil adalah perempuan yang mampu
membesarkan, membimbing, dan mendidik anak-anaknya
sehingga berhasil dalam pendidikan serta mendorong suami
31
mencapai kesuksesan dalam pekerjaannya. Sehingga,
perempuan dengan konsep ini memandang karir bukan
merupakan suatu hal yang menjadi prioritas utama, akan
tetapi keluargalah yang utama dan akan selalu fokus pada
urusan rumah tangga atau keluarganya.
Di indonesia pada budaya Jawa memandang
perempuan masih diletakkan pada wilayah-wilayah
domestik. Bahkan ketika kesempatan memperoleh
pendidikan sudah terbuka lebar bagi siapapun, masih ada
stigma bahwa perempuan boleh saja berpendidikan tinggi
akan tetapi tidak boleh melupakan tugasnya di wilayah
domestik (mengurus rumah tanga dan menjaga anak)
Perempuan Jawa selalu diidentikkan dengan
kelemahlembutan, penurut, sopan santun, dan beberapa sifat
feminism lainnya. Bahkan ada falsafah seorang istri adalah
konco wingking bagi suaminya. Seorang istri harus
mendukung suaminya dari belakang tanpa boleh mendahului
langkah suaminya. Menempatkan posisi seorang istri lebih
rendah dari suami. Ada pula falsafah Jawa lain yang harus
dipegang oleh seorang istri terhadap suaminya, yakni “surgo
nunut, neroko katut”. Falsafah tersebut menyiratkan bahwa
seorang istri harus mengikuti suaminya. Keputusan mutlak
ditangan laki-laki dan perempuan berkewajiban menurutinya
tanpa boleh membantah.
32
Sejalan dengan perkembangan teknologi serta
globalisasi terjadi perubahan tuntutan peran pada perempuan
dimana perempuan mulai masuk kedalam peran sosial,
seperti mereka melakukan sosialisasi dengan cara keluar
rumah, mengaktualisasikan diri, serta mereka mulai terjun
dalam berbagai aktivitas ataupun berbagai macam bentuk
kegiatan, bahkan ada yang terjun ke dalam dunia kerja untuk
mengembangkan pendidikannya serta potensi yang
dimilikinya. Bahkan saat ini banyak di antara mereka yang
mulai mencapai posisi penting atau posisi tinggi di dalam
pekerjaan mereka (Kusumaningrum, 2009).
Dari paparan tentang perempuan Jawa diatas maka
sangat penting bagi seorang perempuan dalam hal ini adalah
seorang mahasiswi suku Jawa untuk dapat mencapai
pendidikan formal yang tinggi (strata 2) supaya derajat serta
martabat perempuan Jawa tidak lagi direndahkan dan
mendapat tempat tersendiri di mata masyarakat.
D. Hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan
motivasi melanjutkan pendidikan strata 2.
Pada era globalisasi sekarang ini persaingan di dunia
bisnis meningkat tajam. Mengingat hal tersebut saat ini
sangat dibutuhkan orang-orang yang profesional dan
berwawasan luas baik kinerja maupun intelektualnya dalam
dunia bisnis. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka
33
diperlukan pendidikan yang berkualitas. Sejalan dengan
dinamika perkembangan bisnis, mulai terjadi pergeseran
orientasi pasar, pada awalnya peningkatan pendidikan hanya
dikhususkan bagi para dosen perguruan tinggi, dari sarjana
strata 1 ke strata 2. Kini praktisi profesional serta
wirausahawan juga banyak yang membutuhkan pendidikan
strata 2 (Sieniwati, 2003).
Melihat kenyataan tersebut di atas tentunya terdapat
sejumlah alasan yang memotivasi seseorang untuk
melanjutkan studi ke tingkat strata 2. Tingkat pendidikan
yang dimiliki oleh orang tua dapat menjadi motif yang kuat
bagi seorang anak untuk melanjutkan studinya ke tingkat
yang lebih tinggi. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil
penelitian yang dilakukan oleh Hossler dan Coopersmith
(dikutip oleh Adams dalam Hartono dan Supramono, 2005)
yang mengemukakan bahwa tingkat pendidikan orang tua
berhubungan positif terhadap keinginan anak untuk
melanjutkan sekolah. Orang tua dituntut harus memiliki
pendidikan dan proses pembelajaran pada tataran tertinggi
agar dapat mengarahkan pendidikan anaknya (Shochib,
1998). Berlandaskan pernyataan tersebut terlihat bahwa
tingkat pendidikan yang dimiliki oleh orang tua
mengarahkan dan memotivasi anak untuk melanjutkan
sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
34
Latar belakang pendidikan orang tua dapat
meningkatkan motivasi seorang anak untuk terus lebih baik
lagi guna melanjutkan studi mereka ke tingkat yang lebih
tinggi, karena dalam hal ini orang tua merupakan panutan
dan contoh yang baik bagi anaknya. Selain itu apa yang
dilakukan oleh orang tua akan dicontoh oleh anaknya sendiri
atau dengan kata lain orang tua adalah sebagai “modal” bagi
para anaknya. Dalam sistem modeling pada pembelajaran
pengajaran secara langsung dimana anak dapat melihat,
mendengar dan meniru sehingga anak secara tidak sadar
sudah melakukan proses modeling. Berdasarkan pemahaman
tersebut maka dapat dikatakan bahwa seorang anak yang
mana orang tuanya memiliki latar belakang pendidikan yang
tinggi tentu akan memotivasi anaknya untuk melanjutkan
studi ke jenjang pendidikan yang tinggi juga seperti orang
tuanya.
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah: “Ada hubungan positif
dan signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan motivasi
melanjutkan studi strata 2 pada mahasiswi suku Jawa
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana”. Yang
artinya semakin tinggi pendidikan ibu maka akan semakin
35
tinggi pula motivasi anak untuk melanjutkan pendidikan
strata 2.
Secara statistik hipotesis tersebut dapat dinyatakan
sebagai berikut:
H0 = rxy 0, artinya tidak ada hubungan positif dan
signifikan antara tingkat pendidikan ibu
dengan motivasi melanjutkan pendidikan
strata 2 pada mahasiswa suku Jawa Fakultas
Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
H1 = rxy > 0, artinya ada hubungan positif dan signifikan
antara tingkat pendidikan ibu dengan
motivasi melanjutkan pendidikan strata 2
pada mahasiswa suku Jawa Fakultas
Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
Uji hipotetis dalam penelitian ini menggunakan uji satu
sisi (one tailed) sebab hipotetis penelitian menyatakan
“terdapat hubungan positif” atau “terdapat hubungan
negatif”, yang artinya bentuk hubungan sudah ditentukan.