bab ii tinjauan pustaka a. impulsive buyingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/3671/3/bab ii.pdfdorongan...

36
19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Impulsive Buying 1. Pengertian impulsive buying Impulsive buying (pembelian impulsif) adalah suatu pembelian yang tidak terencana, yang dicirikan dengan keputusan pembelian yang relatif cepat dan keinginan untuk segera memiliki barang tersebut. Tipe pembelian ini juga diikuti dengan adanya dorongan emosional. Dorongan emosional tersebut terkait dengan adanya perasaan yang intens, yang ditujukan dengan melakukan pembelian karena adanya dorongan untuk membeli suatu produk dengan segera, merasakan kepuasan dan mengabaikan konsekuensi negatif (Rook, 1987). Solomon (2009) menyatakan bahwa impulsive buying adalah suatu kondisi yang terjadi ketika individu mengalami perasaan terdesak secara tiba- tiba yang tidak dapat dilawan. Keputusan membeli dalam impulsive buying sangatlah cepat, karena waktu yang dibutuhkan dari melihat produk sampai membeli sangatlah pendek (Beatty & Ferrell, 1998). Menurut Beatty & Ferrell (1998) impulsive buying sebagai suatu pembelian yang tiba-tiba dan mendesak dimana kecepatan dalam mengambil keputusan menghalangi berbagai pertimbangan bijaksana dan pencarian alternatif lain. Cobb & Hayer (dalam Semuel, 2007), berpendapat bahwa impulsive buying terjadi apabila tidak terdapat tujuan pembelian merek tertentu atau kategori produk tertentu pada saat masuk ke dalam toko. Selanjutnya Loudon

Upload: dangnguyet

Post on 14-Jun-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Impulsive Buying

1. Pengertian impulsive buying

Impulsive buying (pembelian impulsif) adalah suatu pembelian yang tidak

terencana, yang dicirikan dengan keputusan pembelian yang relatif cepat dan

keinginan untuk segera memiliki barang tersebut. Tipe pembelian ini juga

diikuti dengan adanya dorongan emosional. Dorongan emosional tersebut

terkait dengan adanya perasaan yang intens, yang ditujukan dengan melakukan

pembelian karena adanya dorongan untuk membeli suatu produk dengan

segera, merasakan kepuasan dan mengabaikan konsekuensi negatif (Rook,

1987).

Solomon (2009) menyatakan bahwa impulsive buying adalah suatu

kondisi yang terjadi ketika individu mengalami perasaan terdesak secara tiba-

tiba yang tidak dapat dilawan. Keputusan membeli dalam impulsive buying

sangatlah cepat, karena waktu yang dibutuhkan dari melihat produk sampai

membeli sangatlah pendek (Beatty & Ferrell, 1998). Menurut Beatty & Ferrell

(1998) impulsive buying sebagai suatu pembelian yang tiba-tiba dan mendesak

dimana kecepatan dalam mengambil keputusan menghalangi berbagai

pertimbangan bijaksana dan pencarian alternatif lain.

Cobb & Hayer (dalam Semuel, 2007), berpendapat bahwa impulsive

buying terjadi apabila tidak terdapat tujuan pembelian merek tertentu atau

kategori produk tertentu pada saat masuk ke dalam toko. Selanjutnya Loudon

20

& Bitta (1993) juga menambahkan bahwa impulsive buying merupakan salah

satu jenis perilaku konsumen, dimana hal tersebut terlihat dari pembelian

konsumen yang tidak mempunyai rinci secara terencana. Kecenderungan untuk

membeli secara spontan ini umumnya dapat menghasilkan pembelian ketika

konsumen percaya bahwa tindakan tersebut adalah hal yang wajar.

Verplanken & Herabadi (2001) mendefinisikan impulsive buying sebagai

pembelian yang tidak rasional dan diasosiasikan dengan pembelian yang cepat

dan tidak direncanakan, diikuti oleh adanya konflik fikiran dan dorongan

emosional. Dorongan emosional tersebut terkait dengan adanya perasaan yang

intens yang ditunjukkan dengan melakukan pembelian karena adanya dorongan

untuk membeli suatu produk dengan segera, mengabaikan konsekuensi negatif,

merasakan kepuasan dan mengalami konflik di dalam pemikiran.

Pada awalnya kegiatan belanja yang dilakukan oleh konsumen dimotivasi

oleh motif yang bersifat rasional, yakni berkaitan dengan manfaat yang

diberikan oleh suatu produk. Akan tetapi, saat ini kebanyakan konsumen lebih

berorientasi pada nilai hedonis dimana konsumen banyak yang mementingkan

aspek kesenangan, kenikmatan dan hiburan saat berbelanja. Sebagian orang

menganggap kegiatan belanja dapat menjadi alat untuk menghilangkan stres

dan dapat mengubah suasana hati (Semuel, 2005). Fenomena tersebut berkaitan

dengan impulsive buying.

Berdasarkan beberapa pengertian impulsive buying menurut para ahli di

atas, maka penulis menggunakan pendapat Rook (1987) yaitu pembelian tidak

terencana melalui keputusan dengan relatif cepat dan keinginan untuk segera

21

memiliki barang tersebut, yang ditandai dengan perilaku spontan, intens,

bergairah, kuatnya keinginan membeli dan biasanya pembeli mengabaikan

konsekuensi dari pembelian yang dilakukan. Pendapat Rook (1987) tersebut dapat

menjelaskan arti impulsive buying dengan jelas sehingga mudah untuk dipahami.

2. Aspek- aspek impulsive buying

Menurut Rook (1987) impulsive buying memiliki beberapa aspek sebagai

berikut :

a. Spontanitas. Perilaku impulsive buying pada karakter ini terjadi secara

tidak terduga yang memotivasi konsumen untuk membeli saat itu juga,

seringkali karena respon terhadap stimuli visual point-of sale. Misalnya

konsumen yang melihat model baru produk Jeans yang terlihat berbeda dari

model sebelumnya, sehingga menarik perhatian konsumen untuk tergiur

membeli produk Jeans baru tersebut padahal sudah memilikinya.

b. Kekuatan, dorongan/tekanan, dan perasaan hebat. Pada konsumen yang

cenderung impulsive buying memiliki motivasi untuk mengesampingkan

semua yang lain dan bertindak seketika. Adanya motivasi untuk

mengesampingkan hal-hal lain dan bertindak secepatnya. Biasanya hal ini

dapat terjadi karena terdapat stimulus-stimulus dari luar, seperti pengaruh

iklan, promosi, serta diskon.

c. Perasaan senang dan terangsang. Desakan mendadak untuk membeli

sering disertai emosi yang dicirikan sebagai “menggairahkan”,

”menggetarkan” atau “liar”. Tidak dapat dipungkiri bahwa barang yang

sedang dilihat oleh konsumen terlalu banyak menggiurkan, sehingga yang

22

muncul pada saat kejadian yaitu emosi positif. Ketika emosi postif dan

adanya stimulus (seperti pengaruh iklan, promosi dan diskon) terhadap

barang sudah muncul maka sulit bagi konsumen untuk mengelakkan

perilaku impulsive buying.

d. Mengabaikan konsekuensi. Desakan untuk membeli dapat menjadi begitu

sulit ditolak sehingga akibat yang mungkin negatif diabaikan. Di saat

impulsive buying terjadi, konsumen hanya mementingkan kejadian atau

barang di satu masa saja, tanpa menimbang barang tersebut memang adanya

penting bagi masa yang akan datang atau tidak. Dengan demikian banyak

konsumen yang bahkan tidak mengetahui akibat (rugi) setelah ia membeli

barang tersebut.

Selanjutnya Verplanken & Herabadi (2001) mengatakan terdapat dua aspek

dalam impulsive buying yaitu kognitif dan emosi.

a. Kognitif. Kognitif adalah pikiran dan persepsi konsumen, yang diperoleh

melalui pengalaman dengan suatu objek sikap dan informasi dari berbagai

sumber. Pengetahuan dan persepsi ini biasanya berbentuk kepercayaan

(belief), yaitu keyakinan konsumen bahwa produk memiliki sejumlah

atribut. Kognitif ini sering disebut sebagai pengetahuan dan kepercayaan

konsumen. Aspek ini fokus pada konflik kognitif individu yang meliputi:

1) Kegiatan yang tidak mempertimbangan harga versus kegunaan suatu

produk. Seringkali konsumen yang cenderung impulsive buying tidak

mempedulikan harga barang yang akan ia beli. Demikian pula dasar

pertimbangan rasional baik dalam hal sisi psikologis maupun ekonomis

23

tidak menyertainya, sehingga beberapa ahli bahkan menyatakannya

sebagai perilaku yang bersifat mindless, dimana perilaku tersebut tanpa

dilandasi oleh kontrol kesadaran untuk berpikir rasional yang kuat.

2) Kegiatan yang tidak didasarkan evaluasi terhadap suatu pembelian

produk. Engel & Blackwell (2013) menyatakan konsumen dianggap

sebagai pemikir logis dan rasional disertai evaluasi kognitif saat

memutuskan pembelian. Namun tidak demikian pada perilaku impulsive

buying, konsumen justru tidak menggunakan elemen kognitifnya secara

tajam untuk mengkalkulasikan untung rugi yang akan diperoleh dari

tindakan pembelian yang dilakukan.

3) Kegiatan yang tidak didasarkan pada perbandingan produk yang akan

dibeli dengan produk yang mungkin lebih berguna. Kebiasaan konsumen

yang cenderung impulsive buying seringkali menganggap bahwa tidak

ada waktu lagi untuk mempertimbangkan antara barang yang akan dibeli

dengan barang lainnya. Hal ini dapat terjadi karena impulsive buying

tersebut bersifat spontan, sehingga tidak sedikit konsumen mengabaikan

konsekuensi dari pembelian yang dilakukan.

b. Emosional. Aspek emosional menggambarkan perasaan konsumen,

menunjukkan penilaian langsung terhadap suatu produk, apakah suatu

produk itu disukai atau tidak disukai, dan apakah produk itu baik atau

buruk. Elemen ini fokus pada kondisi emosional konsumen yang meliputi

timbulnya dorongan perasaan untuk segera melakukan pembelian dan

timbul perasaan senang serta puas setelah melakukan pembelian.

24

Akibat lebih lanjut dari tindakan-tindakan emosional ini adalah

munculnya perasaan penyesalan (regret) yang merujuk pada perasaan rugi

atau sedih atas tindakan pembelian yang belum tentu benar dan tepat. Meski

demikian Dittmar (1995) menjelaskan bahwa konteks penyesalan ini

sifatnya sangat individual, dalam arti dapat menyesal pada satu aspek,

namun belum tentu pada aspek yang lain.

Dapat penulis simpulkan bahwa aspek impulsive buying menurut Rook

(1987) adalah: 1) spontanitas, yaitu tindakan tidak terduga yang memotivasi

konsumen untuk membeli saat itu juga, 2) kekuatan, dorongan/tekanan, dan

perasaan yang hebat, yaitu perilaku yang terdapat motivasi untuk

mengesampingkan hal-hal lain dan bertindak secepatnya, 3) perasaan senang dan

terangsang, yaitu desakan mendadak untuk membeli yang disertai dengan emosi

menggairahkan dan menggetarkan, dan 4) mengabaikan konsekuensi, yaitu

desakan untuk membeli dapat mejadi begitu sulit ditolak sehingga akibat yang

mungkin negatif diabaikan.

Berbeda dengan Rook, Verplanken & Herabadi (2001) mengungkapkan

terdapat dua aspek dalam impulsive buying yaitu: 1) aspek kognitif, meliputi

pikiran dan persepsi konsumen yang diperoleh melalui pengalaman dengan suatu

objek sikap serta informasi dari berbagai sumber, dan 2) aspek emosional, yaitu

aspek yang menggambarkan perasaan konsumen dan menunjukkan penilaian

langsung terhadap suatu produk.

Berdasarkan dua pendapat ahli mengenai aspek impulsive buying di atas,

maka penulis memutuskan untuk mengambil aspek impulsive buying pendapat

25

Rook (1987) pada penelitian ini. Hal tersebut dikarenakan aspek impulsive buying

ini lebih menjelaskan secara detail bagaimana perilaku konsumen dalam impulsive

buying dan aspek tersebut juga menggambarkan bagaimana ciri-ciri perilaku

impulsive buying pada konsumen. Pada aspek impulsive buying menurut

Verplanken & Herabadi (2001) menggunakan salah satu aspek yaitu emosional

yang menggambarkan perasaan dan penilaian langsung konsumen, dimana

menurut penulis akan lebih tepat jika digunakan untuk penelitian kualitatif.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi impulsive buying

Menurut Loudon & Bitta (1993) faktor-faktor yang dapat memengaruhi

munculnya impulsive buying, di antaranya yaitu: karakteristik produk,

karakteristik pemasaran, dan karakteristik konsumen.

a. Karakteristik produk, setiap produk memiliki karakteristik yang berbeda-

beda, dan setiap produsen selalu berusaha menciptakan produk yang memiliki

karakteristik tersendiri sehingga konsumen memiliki persepsi khusus terhadap

produk tersebut. Karakteristik produk ini meliputi: 1) memiliki harga yang

rendah, 2) ukurannya kecil dan ringan, serta 3) mudah disimpan.

b. Karakteristik pemasaran, merupakan serangkaian tindakan menuju

keunggulan kompetitif yang dirancang oleh pemasar dengan tujuan agar

konsumen merasa puas. Hal-hal yang mempengaruhi impulsive buying adalah:

1) Distribusi massa pada self service outlet terhadap pemasangan iklan besar-

besaran dan material yang akan didiskon. Hawkins, Best, & Coney (2004)

juga menambahkan mengenai ketersediaan informasi dimana hal ini

meliputi suatu format yang secara langsung berhubungan dengan

26

penggunaan informasi. Bagaimanapun juga, terlalu banyak informasi dapat

menyebabkan informasi yang berlebihan dan penggunaan informasi

berkurang. Pemasangan iklan, pembelian barang yang dipamerkan, website,

penjaga toko, paket-paket, konsumen lain, dan sumber yang bebas seperti

laporan konsumen adalah sumber utama dari informasi konsumen.

2) Posisi barang yang dipamerkan dan lokasi toko yang menonjol turut

mempengaruhi impulsive buying. Hawkins, Best, & Coney (2004) juga

menambahkan bahwa jumlah, lokasi, dan jarak antara toko barang eceran di

pasar mempengaruhi jumlah kunjungan konsumen ke toko sebelum

pembelian. Karena kunjungan ke toko membutuhkan waktu, energi, uang,

dan jarak kedekatan dari toko seringkali akan meningkatkan aspek ini dari

pencarian di luar.

c. Karakteristik konsumen, merupakan ciri individu yang berperan sebagai

pembentukan sikap dan merupakan petunjuk penting mengenai nilai-nilai yang

dianut oleh seorang konsumen. Hal-hal yang mempengaruhi impulsive buying

adalah:

1) Kepribadian konsumen, yang dimaksud disini yaitu bagaimana kepribadian

konsumen dalam hal pengambilan keputusan, seperti konsumen yang

cenderung ekstraversi, neurotisme dan psikotik. Hawkins, Best, & Coney

(2004) menyatakan bahwa kepribadian konsumen mengarahkan dirinya

pada perilaku yang berbeda dalam setiap hal sehingga setiap individu

cenderung memilih produk yang sesuai dengan kepribadiannya. Kepribadian

27

konsumen akan mempengaruhi persepsi dan pengambilan keputusan dalam

membeli.

Allport (dalam Suryabrata, 1998) menyatakan bahwa kepribadian

merupakan organisasi dinamis dalam diri individu sebagai suatu sistem

psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri

terhadap lingkungannya. Setiap orang memiliki kepribadian yang unik yang

membedakannya dengan orang lain sehingga individu dapat digolongkan

kedalam tipe kepribadian tertentu. Maenpa & Dittmar (dalam Buendicho,

2003), berpendapat bahwa identitas kepribadian dapat dihubungkan dengan

impulsive buying.

Melihat pertimbangan-pertimbangan yang mendasari munculnya perilaku

membeli spontan ataupun yang tidak terkendali, maka hal itu tidak terlepas

dari konsep ataupun variabel-variabel psikologis. Konsep yang paling

mendekati fenomena tersebut adalah konsep locus of control (Widawati,

2011).

2) Demografis, yaitu data yang secara keseluruhan akan membahas tentang

ukuran penduduk, struktur penduduk, distribusi penduduk, dan bagaimana

jumlah penduduk berubah setiap harinya akibat adanya kelahiran, kematian,

migrasi serta penuaan (Hauser & Duncan, 1999). Faktor demografis disini

berupa jenis kelamin, usia, kelas sosial ekonomi, status perkawinan,

pekerjaan, dan pendidikan. Pada penelitian ini akan menggunakan jenis

kelamin sebagai variabel moderator, mengingat jenis kelamin merupakan

variabel yang ditetapkan berdasarkan atas proses penggolongan. Variabel ini

28

bersifat diskret dan saling pilah antara kategori satu dengan kategori lain,

yaitu perempuan dan laki-laki. Selain ini jenis kelamin juga menunjukkan

variabel yang tepat untuk melihat tingkat impulsive buying seseorang.

3) Karakteristik sosio-ekonomi yang dihubungkan dengan tingkat impulsive

buying. Faktor ini mempunyai pengaruh langsung maupun tidak langsung

terhadap sikap atau perilaku seseorang, seperti kelompok referensi

seseorang diantaranya keluarga, teman, tetangga, dan rekan kerja. Pilihan

produk konsumen sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonominya. Keadaan

ekonomi seseorang terdiri dari pendapatan yang dapat dibelanjakan

(tingkatnya, stabilitasnya, dan polanya), tabungan dan hartanya, kemampuan

untuk meminjam dan sikap terhadap belanja atau kegiatan menabung.

Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa terdapat tiga

faktor yang mempengaruhi impulsive buying: 1) karaktristik produk, yaitu

karakteristik tersendiri pada produk sehingga konsumen memiliki persepsi khusus

terhadap produk tersebut, 2) karakteristik pemasar, yaitu serangkaian tindakan

menuju keunggulan kompetitif yang dirancang oleh pemasar dengan tujuan agar

konsumen merasa puas, 3) karakteristik konsumen, yaitu ciri individu yang

berperan sebagai pembentukan sikap dan merupakan petunjuk penting mengenai

nilai-nilai yang dianut oleh seorang konsumen, meliputi kepribadian konsumen,

demografis dan sosio-ekonomi.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut peneliti memilih karakteristik konsumen,

yaitu kepribadian konsumen sebagai faktor munculnya impulsive buying. Terkait

pada sifat kepribadian yang menyangkut pengendalian diri, locus of control

29

merupakan salah satu faktor yang cukup besar mempengaruhi inividu dalam

impulsive buying (Hausman, 2000). Menurut Widawati (2011) bila dikaitkan

dengan munculnya perilaku impulsive buying yang tinggi, maka mereka yang

memiliki kecenderungan secara spontan, emosional dan melakukan keputusan

pembelian yang tinggi tanpa perencanaan merupakan cerminan dari ciri atau

karakter orang-orang yang memiliki locus of control eksternal. Alasan penulis

memilih locus of control eksternal sebagai variabel bebas dalam penelitian ini

karena konsumen dengan kontrol tingkah laku eksternal cenderung terstimulasi

oleh faktor diluar dirinya. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Lefcourt (1982)

konsumen yang memiliki kontrol tingkah laku eksternal lebih mudah terstimulusi

oleh faktor luar dirinya, sehingga peran keluarga, teman, saran ahli, iklan,

tampilan kemasan produk, dan sampel produk menjadi determinan tingkah laku

pembeliannya.

Faktor lain yang penulis pilih sebagai variabel moderator dalam penelitian

ini adalah faktor demografis. Demografis dalam perilaku konsumen ada beberapa

kategori, yaitu struktur kependudukan, sosial, ekonomi, status, umur, dan jenis

kelamin. Dalam kaitannya locus of control, terkait kepribadian konsumen,

ternyata wanita lebih didominasi oleh emosi sedangkan laki-laki cenderung untuk

rasional dalam pengambilan keputusan (Coley, 2003). Emosionalitas memiliki

hubungan yang erat dengan konsep impulsive buying yang dipaparkan oleh Rook

(dalam Engel 2013). Sesuai dengan hasil penelitian Harviona (2010) bahwa

perempuan cenderung memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam mengontrol

30

diri dibandingkan laki-laki sehingga lebih besar kemungkinan melakukan

impulsive buying.

Berdasarkan penjelasan di atas penulis memilih faktor locus of control

eksternal dan jenis kelamin sebagai variabel yang diteliti dalam penelitian ini.

Alasan peneliti memilih kedua faktor ini adalah peneliti ingin melihat dan menguji

sejauh mana faktor tersebut dapat mempengaruhi perilaku impulsive buying pada

mahasiswa.

B. Locus Of Control Eksternal

1. Pengertian locus of control eksternal

Menurut Rotter (dalam Phares, 1978) locus of control eksternal adalah letak

kendali diri yang menfokuskan bahwa keberhasilan atau kegagalannya berasal

dari luar dirinya. Locus of control eksternal juga memberikan gambaran pada

keyakinan seseorang mengenai sumber penentu perilakunya ditentukan oleh

faktor luar dirinya. Ditambahkan pula bahwa locus of control eksternal adalah

suatu cara dimana individu memiliki tanggung jawab terhadap perilaku yang

terjadi di luar control dirinya (Jaya & Rahmat, 2005).

Menurut Levenson (1981) locus of control eksternal merupakan persepsi

seseorang terhadap sumber luar dirinya yang mengontrol kejadian-kejadian dalam

hidupnya. Ditambahkan pula bahwa locus of control eksternal adalah keyakinan

individu bahwa keberhasilan atau kegagalan dalam dirinya ditentukan oleh

kekuatan yang berada di luar dirinya yaitu nasib, keberuntungan atau kekuatan

lain (Larsen & Buss, 2002).

31

Selanjutnya Robbins (2007) berpendapat bahwa locus of control eksternal

mengacu pada derajat dimana individu memandang peristiwa-peristiwa dalam

kehidupannya sebagai konsekuensi perbuatannya, dengan demikian peristiwa

tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tidak berhubungan dengan perilakunya

sehingga di luar kontrol pribadinya. Menurut Zimbardo (1985) locus of control

eksternal yaitu keyakinan individu mengenai sumber penyebab dari peristiwa-

peristiwa yang dialaminya, dimana ia berkeyakinan bahwa faktor nasib,

kesempatan, dan keberuntungan mempunyai pengaruh besar dalam hidupnya.

Berdasarkan beberapa pengertian locus of control eksternal menurut para

ahli di atas, maka penulis menggunakan pendapat Rotter yaitu letak kendali dari

luar diri individu, dimana individu merasa yakin bahwa hasil dari perilaku dan

peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya tergantung dari pengaruh luar diri

mereka. Seseorang yang merasa bahwa nasib, keberuntungan, atau kebetulan

mempengaruhi apa yang terjadi padanya. Seseorang yang berorientasi pada locus

of control eksternal melihat kekuatan bukan berasal dari diri sendiri, melainkan

dari peristiwa yang berada di luar kemampuan dirinya.

2. Aspek-aspek locus of control eksternal

Rotter (dalam Phares, 1987) seseorang yang memiliki locus of control

eksternal percaya bahwa hasil dan perilakunya disebabkan faktor dari luar dirinya.

Faktor dalam aspek eksternal antara lain nasib, keberuntungan dan pengaruh

orang lain.

32

a. Nasib, seseorang akan menganggap kesuksesan dan kegagalan yang dialami

telah ditakdirkan dan mereka tidak dapat merubah kembali peristiwa yang telah

terjadi. Mereka percaya akan firasat baik dan buruk.

b. Keberuntungan, seseorang yang memiliki tipe eksternal sangat mempercayai

adanya keberuntungan, mereka menganggap bahwa setiap orang memiliki

keberuntungan.

c. Pengaruh orang lain, seseorang yang memiliki tipe eksternal menganggap

bahwa orang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi

mempengaruhi perilaku mereka dan sangat mengharapkan bantuan orang lain.

Berbeda dengan konsep Rotter yang memandang locus of control sebagai

unidimensional (eksternal ke internal), Levenson (1981) menyatakan bahwa locus

of control eksternal mencakup dua aspek, yaitu: 1) aspek powerful others

(kekuatan orang lain) yang mana mencakup keyakinan seseorang bahwa kejadian-

kejadian dalam hidupnya ditentukan oleh kekuatan orang yang berkuasa, dan 2)

aspek chance (kesempatan) yang mana mencakup keyakinan seseorang bahwa

kejadian-kejadian dalam hidupnya sangat ditentukan oleh nasib, peluang dan

keberuntungan.

Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahawa aspek locus of

control eksternal menurut Rotter (dalam Phares, 1987) terbagi menjadi tiga, yaitu

nasib, keberuntungan dan pengaruh orang lain. Pendapat lain dari Hannah

Levenson (1981) mengatakan bahwa aspek locus of control eksternal terbagi

menjadi dua yaitu aspek powerful others (kekuatan orang lain), dan aspek chance

(kesempatan). Pada penelitian ini penulis mengacu pada teori Rotter dalam

33

menentukan aspek-aspek locus of control eksternal, yaitu meliputi aspek nasib,

keberuntungan, dan pengaruh orang lain. Adapun alasan penulis memilih aspek

tersebut, karena penjelasannya lengkap dan dapat digunakan untuk

mengungkapkan variabel locus of control eksternal.

C. Jenis Kelamin

Membahas permasalahan gender berarti membahas permasalahan

perempuan dan juga laki-laki dalam kehidupan masyarakat. Dalam Women’s

Studies Encyclopedia menjelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural

yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, prilaku,

mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang

berkembang dalam masyarakat. Konsep gender secara sosial telah melahirkan

perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Secara umum

adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan

bahkan ruang tempat dimana manusia beraktifitas. Ketika perbedaan gender

sangat melekat pada cara pandang masyarakat, sering kali masyarakat

berpendapat bahwa gender merupakan sesuatu yang permanen dan abadi

sebagaimana permanen dan abadinya ciri-ciri biologis yang dimiliki oleh

perempuan dan laki-laki (Sumijah, 2015).

Coley (2003) menghasilkan temuan yaitu, antara perempuan dan laki-laki

memiliki perbedaan yang signifikan sehubungan dengan komponen proses afektif

termasuk dorongan tak tertahankan untuk membeli, emosi positif, dan pengelolaan

suasana hati dan komponen proses kognitif termasuk musyawarah kognitif,

34

pembelian yang tidak direncanakan. Zhang (dalam Wathani 2009) menghasilkan

temuan bahwa secara kolektif, perbedaan gender memiliki hubungan terhadap niat

untuk melakukan pembelian online, impulsifitas pada konsumen dan frekuensi

pembelian selama berada dalam bursa jual-beli online. Chien (2010) menemukan

hasil bahwa gender, usia, dan sikap berpengaruh terhadap impulsive buying.

Wathani (2009) menemukan hasil bahwa impulsive buying pada produk pakaian

dipengaruhi oleh salah satu faktor demografis yaitu gender dimana impulsive

buying yang lebih tinggi ditunjukkan oleh subjek penelitian perempuan dan

impulsive buying yang lebih rendah ditunjukkan oleh subjek penelitian pria.

Menurut Coley (dalam Gusti, 2000) perempuan cenderung untuk

menggunakan dua otak secara bersamaan sehingga perempuan berpikir secara

menyeluruh dan penuh pertimbangan. Pada hakikatnya cara kerja otak kanan dan

otak kiri pada perempuan dipengaruhi oleh nuansa emosi yang tinggi. Hal ini

menyebabkan keputusan-keputusan yang diambil perempuan pada umumnya

memiliki warna emosional didalamnya. Berdasarkan sistem hormonal, laki-laki

memerlukan testosterone (hormon yang berkaitan dengan kekuatan tubuh) ketika

menghadapi persoalan, dan perempuan lebih memerlukan oxytocin (hormon yang

berkaitan dengan kelekatan sosial) saat menghadapi masalah.

Berdasarkan uraian menurut Coley di atas dapat penulis simpulkan bahwa

terdapat perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam komponen proses afektif

dan kognitif. Dimana pada sistem pikiran, perempuan cenderung menggunakan

dua otak secara bersamaan sehingga perempuan berfikir secara menyeluruh dan

penuh pertimbangan, sedangkan laki-laki cenderung berfikir dengan otak kanan

35

sehingga laki-laki cenderung mengambil keputusan dan tidak terlalu

memusingkan hal-hal sekunder. Kemudian pada sistem hormonal, perempuan

lebih memerlukan oxytocin yaitu hormon yang berkaitan dengan kelekatan sosial,

sedangkan laki-laki lebih membutuhkan testosterone yaitu hormon yang berkaitan

dengan kekuatan tubuh ketika menghadapi persoalan.

D. Pengaruh Locus of Control Eksternal terhadap Impulsive Buying

Ada keterkaitan antara locus of control eksternal dengan impulsive buying

seperti yang diungkapkan oleh hasil penelitian dari Widawati (2011) bahwa

terdapat pengaruh yang signifikan antara locus of control eksternal terhadap

impulsive buying. Konsumen dengan locus of control eksternal lebih mudah

terstimulasi oleh faktor diluar dirinya, sehingga peran keluarga, teman, saran ahli,

iklan, tampilan kemasan produk, dan sampel produk menjadi faktor yang penting

dalam memunculkan tingkah laku impulsive buying, dikarenakan individu dengan

locus of control eksternal meyakini bahwa dirinya dikendalikan oleh hal-hal diluar

dirinya. Berikut ini diuraikan penjelasan mengenai keterkaitan antara masing-

masing aspek locus of control eksternal dengan masing-masing aspek impulsive

buying.

Aspek pertama dari locus of control eksternal ialah nasib. Seorang

konsumen menghadiri pameran pakaian yang diselenggarakan oleh salah satu

perusahaan distributor pakaian ternama di Indonesia. Ketika masuk ke acara

pameran, konsumen diharuskan membeli tiket masuk agar dapat menghadiri acara

pameran tersebut. Tanpa disadari oleh konsumen, tiket masuk seluruh konsumen

36

dan peserta pameran yang hadir diundi untuk mendapatkan doorprize (hadiah

kejutan) berupa 1 merk pakaian desainer ternama diakhir acara pameran tersebut.

Secara kebetulan hanya konsumen tersebut yang mendapatkan doorprize di acara

pameran pakaian tersebut. Peristiwa ini bisa dikategorikan nasib baik sedang

dialami oleh konsumen tersebut, namun di sisi lain agar doorprize tersebut dapat

dibawa pulang, maka konsumen harus membeli minimal satu barang yang

dipamerkan dari outlet. Hal ini membuat konsumen secara spontan mau menuruti

permintaan penyelenggara acara untuk melakukan impulsive buying pada 1 stelan

pakaian yang ditawarkan di outlet, agar doorpirze bisa dibawa pulang oleh

konsumen. Setelah doorprize dibawa pulang, konsumen merasa menyesal dalam

hatinya karena telah membeli 1 stelan pakaian, yang sebenarnya pakaian tersebut

tidak dibutuhkannya. Hal ini berarti konsumen telah mengabaikan penyesalan

dalam hatinya demi mendapatkan doorprize tersebut.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek nasib dari locus

of control eksternal konsumen berhubungan dengan aspek spontanitas dan

mengabaikan konsekuensi dari impulse buying. Pernyataan tersebut sesuai dengan

teori yang dikemukakan oleh Rotter (dalam Phares, 1987) bahwa individu yang

memiliki locus of control eksternal percaya terhadap nasib baik dan buruk.

Mereka menganggap kesuksesan dan kegagalan mereka sudah ditakdirkan dan

mereka tidak dapat merubah kembali peristiwa yang terjadi, dan yakin bahwa

kejadian yang dialami di bawah kontrol kemampuan yang lebih berkuasa atau

hal-hal di luar dirinya yang sebagian besar mempengaruhi peritiwa apapun yang

terjadi pada dirinya. Seseorang yang merasa bahwa nasib, atau kebetulan

37

mempengaruhi apa yang terjadi padanya. Seseorang yang berorientasi pada locus

of control eksternal melihat kekuatan bukan berasal dari diri sendiri, melainkan

dari peristiwa yang berada di luar kemampuan dirinya. Berdasarkan peristiwa

yang telah diuraikan tersebut maka dapat diketahui bahwa perilaku impulsive

buying yang diwakili aspek spontanitas dan mengabaikan konsekuensi

dipengaruhi oleh aspek nasib dari variabel locus of control eksternal.

Aspek kedua adalah keberuntungan. Seorang konsumen tiba-tiba

mendapatkan hadiah berupa satu unit sepeda gunung yang diperoleh dari undian

yang diselenggarakan oleh salah satu toko/gerai pakaian olahraga di mall, namun

agar sepeda gunung (hadiah) tersebut dapat segera dibawa pulang, maka

konsumen diharuskan membeli satu paket aksesoris olahraga dari toko pakaian

tersebut. Peristiwa ini membuat seorang konsumen segera membeli satu paket

aksesoris olahraga tersebut, karena terdorong oleh perasaan senang dan

terangsang agar segera membawa pulang hadiah berupa sepeda gunung yang sama

sekali tidak terpikirkan maupun tidak diharapkan sebelumnya. Hal inilah yang

dianggap oleh seorang konsumen sebagai suatu keberuntungan yang

menyebabkan perilaku impulsive buying. Peristiwa tersebut memperlihatkan

bahwa aspek keberuntungan dari locus of control eksternal berhubungan dengan

aspek perasaan senang dan terangsang dari impulsive buying. Pernyataan tersebut

sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Cobb & Hayer (dalam Semuel,

2007) yang mengungkapkan bahwa impulsive buying terjadi apabila tidak terdapat

tujuan pembelian merek tertentu atau kategori produk tertentu pada saat masuk ke

dalam toko, serta peristiwa impulsive buying yang dialaminya tersebut diyakini

38

dan disebabkan oleh faktor keberuntungan dalam hidupnya (Zimbardo, 1985).

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek keberuntungan

berhubungan dengan aspek perasaan senang dan terangsang dari impulse buying.

Aspek ketiga locus of control eksternal ialah pengaruh dari orang lain.

Impulsive buying yang timbul karena adanya dorongan atau stimulus berupa

adanya saran atau bujukan dari orang lain misalnya sales personal (pelayan toko),

keluarga atau teman berbelanja. Menurut Weitz dalam Park & Lennon (2006)

mengatakan bahwa pelayan toko yang memiliki orientasi tinggi pada konsumen

akan berupaya melayani kebutuhan dan keinginan konsumen dengan baik

sehingga konsumen yang semula tidak ingin membeli menjadi tertarik membeli

dengan segera, karena pengaruh dari bujukan pelayan toko tersebut. Penyataan ini

sejalan dengan pendapat Diba (2014) yang menyatakan bahwa konsumen dengan

locus of control eksternal tinggi sangat mudah untuk terpengaruh pada ucapan

orang lain yang menyuruhnya untuk melakukan pembelian, termasuk ajakan atau

rayuan dari sales, keluarga, maupun teman. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa aspek pengaruh orang lain dari locus of control eksternal berhubungan

dengan aspek kekuatan, dorongan/tekanan dan perasaan hebat dari impulsive

buying.

E. Pengaruh Locus Of Control Eksternal terhadap

Impulsive Buying pada Perempuan

Konsumen pada umumnya membeli barang di toko dikarenakan adanya

suatu kebutuhan yang harus dipuaskan. Namun seringkali perilaku membeli yang

ditampilkan belum tentu dilandasi oleh adanya kebutuhan tersebut sehingga apa

39

yang diputuskan menjadi tidak efektif atau tidak tepat sasaran. Pembelian yang

tidak efektif, meski secara personal memberi kesan memenuhi kebutuhan dan

kepuasan sesaat, namun efek jangka panjang adalah peningkatan anggaran

ataupun pemborosan biaya belanja. Bila dikaitkan dengan variabel psikologis,

menurut Verplanken dan Herabadi (2001) faktor personal merupakan salah satu

faktor yang menentukan munculnya perilaku pembelian konsumen. Locus of

control sebagai salah satu aspek kepribadian yang menjadi faktor personal yang

berarti dalam menentukan munculnya perilaku pembelian konsumen.

Lebih lanjut, mengacu pada konsep locus of control yang dikemukakan oleh

Rotter (1966) terdapat perbedaan-perbedaan antara locus of control eksternal dan

internal. Konsumen dengan kontrol tingkah laku eksternal lebih mudah

terstimulasi oleh faktor diluar dirinya, sehingga peran keluarga, teman, saran ahli,

iklan, tampilan kemasan produk, dan sampel produk. Menjadi faktor yang penting

dalam memunculkan tingkah laku pembelian, dikarenakan individu dengan locus

of control eksternal meyakini bahwa dirinya dikendalikan oleh hal-hal diluar

dirinya. Gambaran di atas menggambarkan adanya keterkaitan dari kedua variabel

tersebut.

Aspek pertama dalam locus of control eksternal adalah nasib. Indikator

aspek nasib dalam locus of control eksternal yaitu: bergantung pada situasi,

keyakinan bahwa sesuatu terjadi tidak sesuai dengan yang diramalkan. Jika

konsumen sangat percaya apa yang terjadi pada dirinya merupakan sesuatu yang

ditakdirkan maka meskipun pada awalnya konsumen tersebut tidak memiliki

rencana untuk membeli suatu produk, namun sulit bagi konsumen tersebut untuk

40

mengelakkan pembelian produk tersebut dikarenakan bahwa ia menganggap apa

yang terjadi merupakan sesuatu yang tidak dapat diprediksi dan sudah ditakdirkan.

Seperti yang diungkapkan Aroma dan Suminar (2012) jika individu memiliki

locus of control eksternal yang tinggi maka tidak akan mampu menahan

kebutuhan kesenangan sesaat dan cenderung kurang mampu saat menghadapi

tekanan meskipun akan menimbulkan resiko bagi dirinya. Berdasarkan penjelasan

di atas dapat disimpulkan bahwa ada kaitan antara individu yang sangat

bergantung pada nasib tidak dapat mengelakkaan salah satu aspek pada impulsive

buying yaitu kekuatan, dorongan/tekanan dan perasaan yang hebat saat berbelanja.

Hal tersebut dapat terjadi karena konsumen dengan locus of control eksternal

dicirikan dengan individu yang cenderung tidak berdaya saat menghadapi

tekanan, rangsangan dan stimulus dari luar dirinya.

Selanjutnya aspek dari locus of control eksternal adalah keberuntungan.

Salah satu indikator keberuntungan yaitu persepsi bahwa ada kemungkinan

sesuatu terjadi karena untung-untungan. Konsumen yang terlalu percaya bahwa

segala sesuatu yang terjadi pada dirinya berdasarkan keberuntungan, akan

mengenyampingkan hal-hal penting dalam pengambilan keputusan saat

berbelanja. Dimana ketika berbelanja konsumen perlu mengacu pada pengalaman

sebelumnya, mengevaluasi produk yang akan dibeli, melihat produk yang menarik

namun tidak terlalu dibutuhkan maka akan melakukan pertimbangan-

pertimbangan dahulu sebelum membeli, seperti memikirkan apakah masih ada

produk lain yang lebih penting untuk dibeli terlebih dahulu, menyesuaikan dengan

kondisi keuangan, mencari lebih banyak informasi mengenai produk tersebut.

41

Sehingga konsumen tidak terlalu bergantung dengan pemikiran bahwa pembelian

yang dilakukan hari ini terjadi karena memang ia sedang beruntung mendapatkan

produk tersebut, karena jika demikian maka sulit bagi konsumen untuk mahahan

diri dari perasaan senang dan rangsangan mengenai produk yang menarik

perhatiannya.

Jika konsumen yang awalnya tidak memiliki rencana untuk membeli suatu

produk namun ketika melihat suatu produk sesuai dengan warna favoritnya sulit

untuk menahan diri dari pembelian yang didasarkan pada perasaan senang dan

terangsang terhadap produk tersebut. Dengan demikian berdasarkan penjelasan di

atas dapat penulis simpulkan bahwa terdapat hubungan ketika konsumen yang

sangat percaya akan keberuntungan dirinya terhadap perasaan senang dan

terangsang pada suatu produk. Hal tersebut dapat memicu munculnya impulsive

buying. Sesuai dengan ungkapan Diba (2014) jika individu terlebih dahulu

berpikir dan menilai tentang kegunaan dari barang yang ingin dibelinya, serta

menilai dan memikirkan kondisi keuangan sebelum melakukan pembelian, serta

menimbang dampak positif dan negatif saat melakukan pembelian tanpa terlalu

cepat mengambil keputusan bahwa pembelian yang dilakukan berdasarkan faktor

keberuntungan semata, hal tersebut dapat menjauhkan individu dari impulsive

buying.

Pengaruh orang lain merupakan aspek terakhir dalam locus of control

eksternal. Konsumen yang cenderung membeli produk ketika berbelanja sangat

mudah untuk tergiur dengan diskon terumatama barang atau produk yang tidak

dibutuhkan. Ketika ada dorongan mendesak untuk membeli barang di luar

42

perencanaan maka tidak dapat mengalihkan dorongan tersebut dengan

memikirkan hal-hal yang dapat dilakukan nanti jika uangnya ditabung, karena jika

tidak mampu menahan diri dari dorongan untuk segera membeli produk tanpa

pertimbangan tentunya konsumen membeli tanpa memikirkan konsekusi setelah

melakukan pembelian. Hal ini sejalan dengan Diba (2014) yaitu konsumen dengan

locus of control eksternal tinggi sulit untuk mengacuhkan potongan harga dan

contoh gratis yang ditawarkan, sangat mudah untuk terpengaruh pada omongan

orang lain yang menyuruhnya untuk melakukan pembelian, termasuk ajakan dari

keluarga, teman, dan rayuan sales.

Berdasarkan jenis kelamin, diperoleh gambaran bahwa sejalan dengan sifat

perempuan yang menyenangi belanja, maka dibanding sampel laki-laki,

konsumen wanita tetap memiliki kecenderungan impulsive buying tinggi yang

lebih banyak dibanding konsumen laki-laki. Sisi emosi yang cenderung

mendominasi perasaan dan pikiran wanita menjadi sumber mengapa mereka

menjadi mudah tergugah oleh stimulasi dari lingkungan yang ditawarkan,

sekalipun mereka menyadari bahwa barang-barang tersebut belum tentu

dibutuhkan (Widawati, 2011).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa terdapat

pengaruh locus of control eksternal terhadap impulsive buying pada perempuan.

Perempuan merupakan figur yang didominasi oleh emosionalitas, sesuai dengan

hal tersebut bahwa locus of control eksternal memiliki hubungan dengan

impulsive buying yang mana impulsive buying merupakan salah satu pembelian

yang didasarkan oleh emosionalitas.

43

F. Pengaruh Locus Of Control Eksternal terhadap

Impulsive Buying pada Laki-Laki

Menurut Inman, Winer, & Ferarro (2009) stimulus yang ada di dalam

sebuah toko dapat memicu munculnya needs atau kebutuhan-kebutuhan yang

tidak disadari sebelumnya dan berkeinginan atau memaksa memori untuk

melupakan kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan sebelumnya. Berdasarkan hasil

penelitian Widawati (2011) bahwa terdapat pengaruh atribut kepribadian terhadap

impulsive buying, dimana atribut kepribadian yang dimaksudkan adalah locus of

control. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi pengaruh

locus of control eksternal maka semakin tinggi pula impulsive buying dan

sebaliknya.

Kontinum dimensional locus of control bergerak dari derajat eksternal ke

internal, dimana pemahaman locus of control eksternal mengarah pada keyakinan,

perilaku, hasil atau kejadian tertentu disebabkan oleh nasib, keberuntungan serta

ditentukan oleh kekuatan dari luar atau lainnya. Individu yang mempunyai locus

of control eksternal cenderung menyimpulkan bahwa sesuatu yang terjadi pada

dirinya karena adanya kekuatan dari luar dirinya, sehingga individu tersebut tidak

bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukannya (Rotter, 1966), sehingga

individu tersebut cenderung untuk terikat dengan pola perilaku maladaptif yang

dapat mengarah pada kepuasan diri yang tidak mau dikaitkan antara perilaku dan

pencapaian hasil. Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada subbab sebelumnya

bahwa terdapat hubungan antara masing-masing aspek locus of control eksternal

terhadap aspek-aspek impulsive buying.

44

Dapat penulis jelaskan kembali bahwa jika dikaitkan dengan salah satu

aspek impulsive buying yang mengabaikan konsekuensi, maka ada kaitan antara

konsumen yang cenderung berorientasi pada locus of control eksternal, dimana

individu tersebut akan mudah untuk melakukan pembelian karena adanya rayuan

dari sales, ajakan teman, keluarga dan stimulus-stimulus lainnya.

Ditemukan bahwa laki-laki cenderung mengarah pada keyakinan bahwa ada

konsekuensi hasil atas perbuatan diri sendiri. Laki-laki cenderung percaya bahwa

hasil baik yang diperoleh dan kegagalan yang diperoleh merupakan hasil dari

perilakunya sendiri, sehingga ia percaya bahwa yang mengontrol berhasil

tidaknya suatu tujuan adalah dirinya sendiri, laki-laki juga biasanya proaktif dan

prilakunya cenderung adaptif (Basgall & Snyder, 1988). Laki-laki cenderung

dengan kontrol tingkah laku yang lebih selektif dalam menerima stimulasi dari

luar dirinya (Lefcourt, 1982), sehingga usaha, ingatan, dan motif menjadi faktor

yang penting dalam tingkah laku membelinya. Konsumen laki-laki juga dianggap

akan selektif terhadap stimulus, mampu menunda kepuasan dan tidak mudah

terpengaruhi, mampu menahan keinginan dan perasaan sesaat, lebih mampu

mengontrol keinginan atau impulsive-nya, serta lebih tahan pengaruh sosial (Petri,

dalam Lina 1997). Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa laki-laki

cenderung memiliki locus of control eksternal yang rendah maka sedikit mudah

untuk mengabaikan stimulus-stimulus dalam pembelian yang tidak

direncanakannya.

45

G. Impulsive Buying Ditinjau dari Jenis Kelamin

Impulsive buying yang dipengaruhi oleh aspek-aspek locus of control

eksternal cenderung berbeda antara laki-laki dan perempuan. Coley (dalam Gusti,

2000) menghasilkan temuan yaitu, antara laki-laki dan perempuan memiliki

perbedaan yang signifikan sehubungan dengan komponen proses afektif termasuk

dorongan tak tertahankan untuk membeli, emosi positif, dan pengelolaan suasana

hati serta komponen proses kognitif termasuk pembelian yang tidak direncanakan.

Pada laki-laki letak emosi umumnya terletak di sebelah kanan yang berarti

perasaan dapat bekerja secara terpisah dari fungsi-fungsi otak yang lain. Contoh

laki-laki berdebat dengan kata-kata di otak kiri tanpa emosional. Pada perempuan,

titik emosi tersebar pada kedua belahan otak. Perasaannya menjadi lebih aktif

serempak bersamaan dengan fungsi otak lain. Contoh perempuan bisa menangis

saat tidak mendapatkan baju yang diinginkannya. Oleh sebab itu tidak

mengherankan jika perempuan menggunakan emosi saat berbelanja, sedangkan

laki-laki tidak terlalu menekankan emosi saat berbelaja (Harviona, 2010).

Pada saat berbelanja di mall tentunya orang-orang akan berinteraksi dengan

penjaga toko, pramuniaga, sales dan kasir. Telah dijelaskan bahwa perempuan

cenderung memerlukan oxytocin, yaitu hormon yang berkaitan dengan kelekatan

sosial termasuk saat berbelanja di mall. Tidak mengherankan jika saat sales

menawarkan produk pakaian maka perempuan cenderung menaggapi penawaran

tersebut dan memiliki sifat spontanitas terhadap penawaran karena memiliki

perasaan yang hebat dan mudah terangsang dengan tawaran yang diberikan.

Berbeda dengan laki-laki yang memiliki hormon oxytocin lebih sedikit dibanding

46

perempuan, sehingga ketika ada penawaran diskon dari sales laki-laki cenderung

untuk mengabaikan. Hal inilah yang membuat perempuan cenderung memiliki

tingkat impulsive buying lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Harviona, 2010).

Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ditemukan perbedaan

perilaku yang signifikan antara konsumen wanita dengan konsumen pria. Menurut

Bakshi (dalam Sumartono & Subroto, 2002) dari keseluruhan faktor-faktor yang

berkenaan dengan perilaku pengambilan keputusan konsumen faktor yang

terpenting adalah jenis kelamin. Hal ini di sebabkan oleh hubungan sosial atau

aturan dan tanggung jawab yang berbeda antara wanita dan pria. Berdasarkan

sebuah survei diketahui bahwa wanita meluangkan waktu yang lebih lama untuk

belanja makanan dan pakaian. Selama satu tahun, wanita pergi ke toko yang

menjual kebutuhan sehari-hari sebanyak 84 kali, dan belanja hingga 94 jam lebih.

Mereka menghabiskan 100 jam lebih untuk belanja di toko baju. Itu tidak

termasuk belanja sepatu, asesoris, ataupun sekadar melihat-lihat, yang

menghabiskan sekitar 25 jam atau sekitar 1 hari lebih. Total perjalanan yang

dilakukan untuk berbelanja demi penampilan pun fantastis, yakni 90 kali

perjalanan. Detilnya, 30 kali untuk baju, 15 kali untuk sepatu, 18 kali untuk

perhiasan, dan 27 kali untuk kebutuhan kamar mandi.

Konsumen perempuan menjadi figur pelaku yang berpeluang besar untuk

melakukan impulsive buying jika dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan

cenderung lebih banyak dipengaruhi oleh sisi emosionalitas dibandingkan

rasionalitas. Emosionalitas memiliki hubungan yang erat dengan konsep impulsive

buying yang dipaparkan oleh Rook (dalam Engel, 2013). Perempuan juga

47

cenderung memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam mengontrol diri

dibandingkan konsumen laki-laki sehingga lebih besar kemungkinan melakukan

impulsive buying (Rook dalam Engel, 2013), sehingga perempuan dinilai

cenderung impulsive buying dibandingkan laki-laki.

H. Locus Of Control Eksternal Ditinjau dari Jenis Kelamin

Locus of control eksternal merupakan salah satu atribut kepribadian dalam

diri individu, yang berfungsi sebagai tingkat keyakinana individu mengenai

penentu nasib mereka sendiri yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.

Individu yang cenderung memiliki locus of control eksternal diidentifikasikan

lebih banyak menyandarkan harapannya untuk bergantung pada orang lain dan

lebih banyak mencari dan memilih situasi yang menguntungkan (Kreitner &

Kinichi, 2003).

Biaggio (2004) mengungkapkan bahwa seiring bertambahnya usia,

seseorang cenderung berorientasi pada locus of control internal, mengingat masa

pertumbuhan perempuan lebih cepat dibanding laki-laki maka perempuan dinilai

memiliki locus of control internal yang tinggi dibandingkan laki-laki. Akan tetapi

pada literatur lain ditemukan bahwa seharusnya laki-laki lebih berorientasi pada

locus of control internal. Pendapat tersebut didasarkan karena laki-laki lebih

independen dibandingkan perempuan.

Menurut Archer (dalam Sumijah 2015) sejauh ini terlalu sedikit

penelitian/temuan tentang locus of control eksternal ditinjau dari jenis kelamin.

Begitu pula menurut Chubb (dalam Biaggio, 2004) yang mengatakan bahwa

banyak penelitian mengenai locus of control eksternal yang ditinjau dari jenis

48

kelamin, tapi penelitian-penelitian tersebut tidak relevan lagi karena dilakukan

sebelum tahun 1980-an. Temuan yang tidak konsisten ini, dapat terjadi karena

mempunyai faktor-faktor yang beragam, salah satunya karena dewasa ini setiap

individu (baik perempuan maupun laki-laki) memiliki pandangan yang bervariasi

mengenai locus of control. Pada zaman sekarang perempuan dan laki-laki masih

terlihat dalam konteks yang berbeda tetapi sejauh mana perbedaan tersebut tidak

lagi besar. Masyarakat terus melihat bahwa antara perempuan dan laki-laki

semakin memiliki banyak persamaan, oleh karena itu dibutuhkan populasi yang

lebih besar untuk memperoleh hasil yang sesuai. Berdasarkan hasil penelitian

Cairns (dalam Youn & Faber, 2000) yang menggunakan sampel penelitian yang

lebih besar ditemukan hasil bahwa perempuan cenderung memiliki locus of

control eksternal yang tinggi dibanding laki-laki.

I. Landasan Teori

Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rotter pada tahun 1966 locus of

control merupakan salah satu faktor individual yang mengendalikan peristiwa

kehidupan seseorang yang ada dalam dirinya. Rotter (dalam Phares, 1978)

menjelaskan aspek locus of control eksternal lebih terperinci, terdapat tiga aspek

dalam locus of contol eksternal yaitu meliputi aspek nasib, keberuntungan, dan

pengaruh orang lain.

Aspek locus of control eksternal yang pertama yaitu nasib. Orang-orang

dengan locus of control eksternal dianggap kurang memiliki usaha untuk mencari

informasi, untuk mencari alternatif pemecahan masalah yang mereka hadapi. Hal

tersebut juga berpengaruh saat konsumen membeli produk pakaian. Hakikatnya

49

orang akan mencari informasi yang lengkap terlebih dahulu sebelum menentukan

pemilihan produk terbaik, maka konsumen yang hanya mengandalkan nasib

ketika berbelanja cenderung membeli produk tanpa mencari informasi terlebih

dahulu. Setiap individu dapat membuat pertimbangan terhadap suatu pilihan.

Setiap individu dihadapkan dengan beragam pilihan dimana individu harus

memiliki informasi yang lengkap dalam menentukan pilihannya yang dianggap

baik, positif dan tidak merugikan baginya. Untuk itu perlu bagi konsumen

mencari informasi yang lengkap sebelum memutuskan untuk membeli suatu

produk (Gusti, 2000).

Selanjutnya aspek locus of control yang kedua yaitu keberuntungan.

Maksudnya yaitu konsumen yang menganggap bahwa pembeliannya terhadap

suatu produk didasarkan karena factor keberuntungan, bukan melalui usaha.

Perilaku pembelian ini dapat dimotivasi oleh adanya informasi yang tersimpan

dalam ingatan seseorang ataupun stimulus apa saja secara keseluruhan sehingga

membentuk kekuatan untuk bertindak segera dan menganggap bahwa itu

merupakan keberuntungan (Gusti, 2000).

Aspek locus of control yang terakhir yaitu pengaruh orang lain. Konsumen

menganggap bahwa pilihan-pilihannya terhadap produk bukanlah didasarkan pada

pertimbangan akan kebutuhannya melainkan adanya rayuan atau ajakan dari

lingkungan sekitarnya, seperti keluarga, temansaran ahli, sales, bahakan termasuk

pengaruh iklan. Konsumen yang mudah terpengaruh orang lain ketika berbelanja

akan cenderung tidak menyadari bahwa akibat dari pembelian produk tersebut

dapat menimbulkan konsekuensi negatif di masa yang akan datang (Gusti, 2000).

50

Minat beli pelanggan merupakan data yang sangat dibutuhkan oleh setiap

perusahaan terutama untuk data pemasaran perusahaan. Minat beli konsumen

yang dikaji berdasarkan jenis kelamin dapat dimanfaatkan menjadi strategi

pemasaran bagi perusahaan yang menciptakan produk berbasis gaya hidup

(lifestyle) seperti pakaian. Menurut Utami & Sumaryono (2008), pada proses

pembelian yang bersifat rasional, konsumen melakukan pertimbangan yang

cermat dan mengevaluasi sifat produk secara fungsional. Tidak selamanya

konsumen melakukan pembelian secara rasional, terkadang muncul pembelian

yang lebih didasari oleh faktor emosi.

Konsumen seringkali membeli suatu produk karena dorongan emosional

yang sangat kuat dan tiba-tiba. Hal ini tergolong impulsive buying atau pembelian

yang tidak terencana (Rahmasari, 2010). Konsumen perempuan menjadi figur

pelaku yang berpeluang besar untuk melakukan impulsive buying. Jika

dibandingkan dengan laki-laki, perempuan cenderung lebih banyak dipengaruhi

oleh sisi emosionalitas dibandingkan rasionalitas. Emosionalitas memiliki

hubungan yang erat dengan konsep impulsive buying yang dipaparkan oleh Rook

(dalam Engel, 2013). Perempuan juga cenderung memiliki kemampuan yang lebih

rendah dalam mengontrol diri dibandingkan konsumen laki-laki sehingga lebih

besar kemungkinan melakukan impulsive buying (dalam Engel,1995).

Menurut hasil riset Nielsen (2011) mengatakan 10% konsumen yang

mengunjungi toko biasanya tidak pernah merencanakan apa yang ingin dibeli

sebelum berbelanja. 13% biasanya merencanakan apa yang ingin dibeli, tetapi

selalu membeli item tambahan. Sedangkan 61% biasanya merencanakan apa yang

51

ingin dibeli dan terkadang membeli item tambahan. Hal ini menunjukkan sebesar

84% konsumen yang datang ke toko modern terkadang atau selalu membeli

barang yang tidak direncanakan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

sebagian besar konsumen di Indonesia ketika berbelanja cenderung melakukan

impulsive buying.

Penulis menyimpulkan impulsive buying merupakan bentuk perilaku

ketergesaan kosumen untuk memutuskan pembelian segera suatu produk atau jasa

yang didorong oleh keinginan yang tidak terkontrol. Dengan kata lain semakin

sensitif emosional seseorang semakin kuat kecenderungan impulsive buying, dan

sebaliknya. Dorongan yang demikian tersebut bisa timbul dari sifat kepribadian

seseorang antara lain locus of control yaitu kecenderungan seseorang mengontrol

persepsi kinerjanya, apakah didasarkan keberuntungan dukungan lingkungan luar

(eksternal) atau berdasar pada objektivitas kemampuannya (internal). Semakin

peka seseorang pada nasib keberuntungannya, semakin rendah control

rasionalnya, semakin tinggi locus of control eksternal-nya maka semakin tinggi

ketergesaan membeli sesuatu (impulsive buying.) Dengan kata lain kecenderungan

impulsive buying seseorang dipengaruhi oleh seberapa lemahnya individu

mengontrol emosinya, dan sebaliknya. Dengan demikian antara variabel impulsive

buying dan locus of control eksternal terjadi hubungan sebab akibat atau pengaruh

mempengaruhi.

Perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan dalam kehidupan emosinya

yang memberi konsekuensi perbedaan impulsivitas dalam memutuskan membeli

produk maupun jasa. Emosi perempuan lebih peka dibanding laki-laki, dan

52

sebaliknya rasio laki-laki lebih dominan dibanding perempuan. Oleh karenanya

dimungkinkan adanya perbedaan tingkat impulsive buying antara perempuan dan

laki-laki. Selain impulsive buying, jika locus of control eksternal ditinjau dari jenis

kelamin maka perempuan cenderung lebih berorientasi pada locus of control

eksternal dibanding laki-laki. Hubungan variabel impulsive buying dengan jenis

kelamin dan hubungan variabel locus of control ekternal dengan jenis kelamin

merupakan hubungan komparasi atau perbandingan.

Dengan demikian, hubungan antara variabel independen yaitu locus of

control eksternal (X) dan jenis kelamin (variabel moderator) dengan variabel

dependen yaitu impulsive buying (Y) menjadi fokus penulis dalam penelitian ini.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat penulis gambarkan kerangka berfikir

penelitian ini sebagaimana terlihat pada gambar berikut.

53

Gambar 1. Kerangka Berfikir Penelitian

Keterangan gambar :

Variabel bebas : Locus of control eksternal

Variabel tergantung : Impulsive buying

1. Pengaruh locus of control eksternal terhadap impulsive buying.

2. Pengaruh locus of control eksternal terhadap impulsive buying pada

perempuan.

3. Pengaruh locus of control eksternal terhadap impulsive buying pada laki-laki.

4. Impulsive buying ditinjau dari jenis kelamin pada mahasiswa.

5. Locus of control eksternal ditinjau dari jenis kelamin pada mahasiswa.

Variabel Bebas

Locus of Control Eksternal

- Nasib

- Keberuntungan

- Pengaruh orang lain

Variabel Tergantung

Impulsive Buying

- Spontanitas.

- Power/paksaan/ tekanan

dan perasaan yang hebat.

- Perasaan senang dan

terangsang.

- Mengabaikan

konsekuensi.

Variabel Moderator

Perempuan

Laki-laki

1

2

4

3

5

54

J. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini yaitu:

1. Terdapat pengaruh yang positif antara locus of control eksternal terhadap

impulsive buying.

2. Terdapat pengaruh locus of control eksternal terhadap impulsive buying pada

perempuan.

3. Terdapat pengaruh locus of control eksternal terhadap impulsive buying pada

laki-laki.

4. Terdapat perbedaan impulsive buying antara mahasiswa perempuan dan laki-

laki.

5. Terdapat perbedaan locus of control eksternal antara mahasiswa perempuan

dan laki-laki.