bab ii tinjauan pustaka a. nomophobiaeprints.mercubuana-yogya.ac.id/5062/3/bab ii.pdf · king,...

22
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nomophobia 1. Pengertian Nomophobia Yildirim dan Correia (2015) mendefinisikan nomophobia adalah rasa takut berada diluar kontak ponsel dan dianggap sebagai fobia modern sebagai efek samping dari interaksi antara manusia, teknologi informasi dan komunikasi khususnya smartphone. Nomophobia merupakan singkatan dari no mobile phone phobia, dikenal pada tahun 2008 dan telah didefinisikan sebagai “ketakutan apabila berjauhan dengan telepon genggam(Securenvoy, 2012). Istilah nomophobia digunakan pertama kalinya dalam suatu penelitian yang diselenggarakan oleh United Kingdom Post Office pada tahun 2008, bertujuan untuk meneliti kecemasan yang diderita pengguna mobile phone (Securenvoy, 2012). King, Valenca dan Nardi (2010) mendefinisikan nomophobia adalah sebuah gangguan pada abad ke-21 yang ditandai adanya ketidaknyamanan atau kecemasan ketika berada jauh dari mobile phone (MP) atau perangkat komputer. Dalam studi berikutnya, King, Valenca, Silva, Baczynski, Carvalho dan Nardi (2013) mendefinisikan nomophobia merupakan gangguan/perilaku menyimpang zaman modern yang hanya menggambarkan ketidaknyamanan atau kecemasan yang diakibatkan tidak tersedianya mobile phone (MP), perangkat komputer, ataupun alat komunikasi virtual lainnya pada individu yang terbiasa

Upload: others

Post on 03-Feb-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Nomophobia

1. Pengertian Nomophobia

Yildirim dan Correia (2015) mendefinisikan nomophobia adalah rasa takut

berada diluar kontak ponsel dan dianggap sebagai fobia modern sebagai efek

samping dari interaksi antara manusia, teknologi informasi dan komunikasi

khususnya smartphone. Nomophobia merupakan singkatan dari no mobile phone

phobia, dikenal pada tahun 2008 dan telah didefinisikan sebagai “ketakutan

apabila berjauhan dengan telepon genggam” (Securenvoy, 2012). Istilah

nomophobia digunakan pertama kalinya dalam suatu penelitian yang

diselenggarakan oleh United Kingdom Post Office pada tahun 2008, bertujuan

untuk meneliti kecemasan yang diderita pengguna mobile phone (Securenvoy,

2012).

King, Valenca dan Nardi (2010) mendefinisikan nomophobia adalah

sebuah gangguan pada abad ke-21 yang ditandai adanya ketidaknyamanan atau

kecemasan ketika berada jauh dari mobile phone (MP) atau perangkat komputer.

Dalam studi berikutnya, King, Valenca, Silva, Baczynski, Carvalho dan Nardi

(2013) mendefinisikan nomophobia merupakan gangguan/perilaku menyimpang

zaman modern yang hanya menggambarkan ketidaknyamanan atau kecemasan

yang diakibatkan tidak tersedianya mobile phone (MP), perangkat komputer,

ataupun alat komunikasi virtual lainnya pada individu yang terbiasa

12

menggunakannya. Nomophobia adalah jenis fobia yang ditandai ketakutan

berlebihan jika seseorang kehilangan ponselnya. Orang yang menderita

nomophobia selalu hidup dalam kekhawatiran dan selalu merasa cemas dalam

meletakkan ponselnya, sehingga selalu membawanya kemanapun individu

tersebut pergi. Pada penelitian terbarunya, King, Valenca, Silva, Sancassiani,

Machado dan Nardi (2014) mendefinisikan nomophobia adalah ketakutan di era

modern, yang terjadi ketika tidak dapat berkomunikasi melalui mobile phone

(MP) atau internet. Istilah nomophobia yang dimaksud mengacu pada kumpulan

perilaku atau gejala yang berhubungan dengan penggunaan mobile phone.

Berdasarkan uraian di atas, kesimpulan mengenai pengertian nomophobia

dalam penelitian ini mengacu pada pengertian menurut Yildirim dan Correia

(2015) yakni nomophobia adalah perasaan takut berada di luar kontak ponsel dan

dianggap sebagai fobia modern sebagai efek samping dari interaksi antara

manusia, teknologi informasi dan komunikasi khususnya smartphone.

2. Aspek–aspek dan Ciri-ciri Nomophobia

Dalam penelitian ini, aspek nomophobia mengacu pada aspek nomophobia

menurut Yildirim dan Correia (2015) yang menjelaskan nomophobia memiliki

empat aspek, yakni:

a. Perasaan tidak bisa berkomunikasi

Aspek ini berhubungan dengan adanya perasaan kehilangan ketika

secara tiba-tiba terputus komunikasi dengan orang lain atau tidak dapat

menggunakan layanan pada smartphone di saat tiba-tiba membutuhkan

komunikasi.

13

b. Kehilangan konektivitas

Aspek kedua ini, berhubungan dengan perasaan kehilangan

konektivitas ketika tidak dapat terhubung dengan layanan pada

smartphone dan tidak dapat terhubung pada identitas sosial, khususnya di

media sosial.

c. Perasaan tidak bisa mengakses informasi

Aspek ini mengambarkan perasaan ketidaknyamanan ketika tidak

dapat mengambil atau mencari informasi melalui smartphone. Hal tersebut

dikarenakan smartphone menyediakan kemudahan dalam mengakses

informasi. Semua informasi disebar melalui media sosial, ketika

smartphone tidak dapat digunakan maka aliran informasi yang diterima

orang tersebut juga terganggu. Hal tersebut dapat membuat sebagian

orang menjadi panik atau cemas.

d. Menyerah pada kenyamanan

Aspek terakhir berhubungan dengan perasaan nyaman saat

menggunakan smartphone dan keinginan untuk memanfaatkan

kenyamanan dalam smartphone tersebut.

Bragazzi dan Puente (2014) memaparkan beberapa ciri-ciri nomophobia,

yaitu:

a. Menghabiskan waktu menggunakan telepon genggam, mempunyai satu

atau lebih gadget dan selalu membawa charger.

14

b. Merasa cemas dan gugup ketika telepon genggam tidak tersedia dekat atau

tidak pada tempatnya. Selain itu juga merasa tidak nyaman ketika ada

gangguan atau tidak ada jaringan serta saat baterai lemah.

c. Selalu melihat dan mengecek layar telepon genggam untuk mencari tahu

pesan atau panggilan masuk.

d. Tidak mematikan telepon genggam dan selalu sedia 24 jam, selain itu saat

tidur telepon genggam diletakkan di kasur.

e. Kurang nyaman berkomunikasi secara tatap muka dan lebih memilih

berkomunikasi menggunakan teknologi baru.

f. Biaya yang dikeluarkan untuk telepon genggam besar.

Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan bahwa menurut pendapat

Yildirim dan Correia (2015) nomophobia memiliki empat aspek, yakni perasaan

tidak bisa berkomunikasi, kehilangan konektivitas, perasaan tidak bisa mengakses

informasi dan menyerah pada kenyamanan. Bragazzi dan Puente (2014)

memaparkan ciri-ciri nomophobia diantaranya menghabiskan waktu

menggunakan telepon genggam, mempunyai satu atau lebih gadget dan selalu

membawa charger, merasa cemas dan gugup ketika telepon genggam tidak

tersedia dekat atau tidak pada tempatnya, selalu melihat dan mengecek layar

telepon genggam untuk mencari tahu pesan atau panggilan masuk, tidak

mematikan telepon genggam dan selalu sedia 24 jam, kurang nyaman

berkomunikasi secara tatap muka, dan biaya yang dikeluarkan untuk telepon

genggam besar.

15

Dalam penelitian ini mengacu pada aspek-aspek nomophobia menurut

Yildirim dan Correia (2015). Penggunaan aspek tersebut dalam penelitian ini,

dikarenakan aspek tersebut sesuai dengan aspek pada alat ukur yang akan

digunakan untuk mengetahui nomophobia pada dewasa awal.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Nomophobia

Faktor-faktor yang mempengaruhi nomophobia mengacu pada hasil

penelitian Villar, Grau dan Colet (2017) yang mengungkapkan faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi nomophobia yaitu:

a. Ekstraversi

Eysenck (dalam Fatmawati, 2017) menjelaskan ekstraversi adalah

individu yang secara umum mudah bersosialisasi, aktif, dan ramah, mereka

juga dianggap memiliki keterangsangan otak yang relatif berada pada tingkat

yang lebih rendah dan cenderung mencari stimulasi. Ekstraversi menurut

Mcrae dan Costa (dalam Pervin & John, 2001) merupakan tipe kepribadian

yang mengukur jumlah dan intensitas interaksi interpersonal, tingkat

aktivitas, kebutuhan untuk didukung, kemampuan untuk berbahagia.

Ekstraversi pada umumnya suka mengambil risiko, impulsif dan sangat

membutuhkan kegembiraan. Ekstraversi lebih rentan terhadap masalah

penggunaan telepon genggam dengan alasan bahwa mereka lebih cenderung

mencari situasi sosial. Interaksi sosial dan keinginan untuk bersosialisasi yang

merupakan ciri kepribadian ini dan mobile phone merupakan perangkat yang

memiliki kegunaan sebagai alat komunikasi sehingga masuk akal jika

ekstraversi dan nomophobia saling berkaitan dengan erat (Villar dkk, 2017).

16

b. Self esteem

Self esteem adalah evaluasi yang relatif stabil yang membuat

seseorang mempertahankan dirinya sendiri, dan cenderung menjadi penilai

diri. Self estem berkaitan dengan pandangan diri dan identitas diri. Orang-

orang dengan pandangan diri buruk atau negatif memiliki kecenderungan

yang besar untuk mencari kepastian, telepon genggam memberikan

kesempatan setiap orang untuk bisa dihubungi kapan saja dari sinilah tidak

mengherankan jika orang-orang dalam mengunakan telepon genggam secara

tidak tepat atau berlebihan (Bianchi & Philip, 2005).

c. Conscientiousness

Conscientiousness menggambarkan seseorang yang cenderung teratur,

berhati-hati, dapat diandalkan, bertanggung jawab, pekerja keras, tepat waktu,

dan mampu bertahan. Individu ini memiliki motivasi untuk menyelesaikan

tugas atau pekerjaannya dan mendapatkan skor atau nilai tertinggi (Cloninger

dalam Stephanie & Pristinella, 2014). Individu dengan conscientiousness

yang tinggi adalah orang yang disiplin dan terorganisir sehingga orang

dengan kepribadian conscientiousness mampu mengatur waktu dalam

menggunakan telepon selulernya (Stephanie & Pristinella, 2014).

Berdasarkan hal ini, orang dengan conscientiousness yang tinggi cenderung

untuk tidak mengalami nomophobia.

d. Kestabilan emosi

Sejumlah peneliti juga telah menetapkan hubungan negatif antara

stabilitas emosional dengan permasalahan penggunaan mobile phone,

17

pendapat tersebut didasari dengan alasan bahwa komunikasi tidak langsung

yang disediakan oleh mobile phone dapat menyebabkan orang dengan

neurotis untuk meninjau isi pesan mereka dan dengan demikian merasa lebih

nyaman (Guzman, dalam Villar dkk, 2017).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor yang

mempengaruhi nomophobia adalah ekstraversi, self esteem, conscientiousness,

dan kestabilan emosi. Lebih lanjut ekstraversi merupakan salah satu jenis

kepribadian, maka peneliti memilih kepribadian ekstraversi sebagai variabel bebas

pada penelitian ini. Pemilihan tersebut didukung beberapa hasil penelitian

sebelumnya yang telah mengindikasikan adanya dugaan mengenai hubungan

antara kepribadian dengan nomophobia. Bianchi dan Philips (dalam Prasetyo &

Ariana, 2016) menunjukkan hubungan antara ekstraversi yang tinggi, kecemasan

tinggi dengan ketakutan dan perilaku penyalahgunaan telepon genggam. Takao,

Takahashi dan Kitamura (dalam Prasetyo & Ariana, 2016) juga menambahkan,

ciri-ciri kepribadian adalah prediktor psikologis penggunaan smartphone

bermasalah.

B. Kepribadian Ekstraversi

1. Pengertian Kepribadian Ekstraversi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) kepribadian berasal dari

kata pribadi yang bermakna manusia sebagai perseorangan diri manusia atau diri

sendiri. Pribadi juga bisa bermakna keadaan manusia sebagai perseorangan,

keseluruhan sifat-sifat yang merupakan watak orang. Kepribadian adalah

18

karakteristik dinamik dan terorganisasi dari seorang individu yang mempengaruhi

kognisi, motivasi dan perilakunya. Kepribadian bersifat unik dan konsisten

sehingga dapat digunakan untuk membedakan antara individu satu dengan lainnya

(Feist & Feist, 2005). Menurut Eysenck, kepribadian merupakan keseluruhan pola

tingkah laku aktual maupun potensial dari organisme yang ditentukan oleh

keturunan dan lingkungan. Eysenck (dalam Burger, 2011) membagi unsur-unsur

kepribadian kedalam berbagai unit yang dapat diatur secara hirarki. Kepribadian

sebagai organisasi memiliki empat tingkatan hirarki yang berturut-turut dari

hirarki tinggi ke rendah yaitu, tipe – trait – habit – respon spesifik (Alwisol,

2009).

Eysenck mengembangkan kepribadian menjadi ekstraversi dan introversi

yang sebelumnya dikembangankan oleh Jung. Menurut Eysenck (dalam Burger,

2011) ekstraversi adalah kombinasi sifat impulsif, aktif, bersemangat dan

bergairah, yang dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan individu dalam merespon

(habitual respon) suatu hal. Eysenck (dalam Fatmawati, 2017) juga menjelaskan

ekstraversi adalah individu yang secara umum mudah bersosialisasi, aktif, dan

ramah, mereka juga dianggap memiliki keterangsangan otak yang relatif berada

pada tingkat yang lebih rendah dan cenderung mencari stimulasi. Ekstraversi

dicirikan dengan perilaku seperti antusiasme yang tinggi, senang bergaul, enerjik,

tertarik dengan banyak hal, ambisius, pekerja keras dan ramah dengan orang lain

serta dominan dalam lingkungannya. Individu yang memiliki skor tinggi pada tipe

ini cenderung mampu bersosialisasi, aktif, suka bicara, berorientasi pada

hubungan dengan manusia, optimis, menyukai kegembiraan dan setia. Sebaliknya,

19

individu yang memiliki skor rendah cenderung pendiam, tenang, tidak gembira,

menyendiri, berorientasi tugas, pemalu dan pendiam.

Ekstraversi menurut Mcrae dan Costa (dalam Pervin & John, 2001)

merupakan tipe kepribadian yang mengukur jumlah dan intensitas interaksi

interpersonal, tingkat aktivitas, kebutuhan untuk didukung, kemampuan untuk

berbahagia. Menurut Goldberg (dalam John & Srivastava, 1999) ekstraversi

merupakan suatu intensitas interaksi intrapersonal dalam tingkat aktivitas

seseorang. Menurut ahli lain, Jung (dalam Suryabrata, 2015) mengatakan orang

yang memiliki kepribadian ekstraversi adalah orang yang perhatiannya diarahkan

ke luar dari dirinya. Orang dengan tipe ekstraversi terutama dipengaruhi oleh

dunia obyektif, yaitu dunia diluar dirinya. Orientasinya terutama tertuju keluar,

pikiran, perasaan serta tindakan-tindakannya terutama ditentukan oleh

lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan non sosial. Orang

yang ekstraversi bersikap positif terhadap masyarakat, hatinya terbuka, mudah

bergaul, memiliki hubungan dengan orang lain yang lancar.

Dapat disimpulkan bahwa kepribadian ekstraversi dalam penelitian ini

mengacu pada pengertian ekstraversi menurut Eysenck (dalam Fatmawati, 2017)

yakni kepribadian ekstraversi adalah kepribadian dengan ciri individu yang

mudah bersosialisasi, aktif, ramah, memiliki keterangsangan otak yang relatif

berada pada tingkat yang lebih rendah dan cenderung mencari stimulasi.

2. Aspek-aspek Kepribadian Ekstraversi

Menurut Eysenck dan Wilson (dalam Retnowati & Haryanthi, 2001)

aspek-aspek yang mendasari kepribadian ekstraversi diantaranya:

20

a. Activity

Individu dengan tipe kepribadian ekstraversi cenderung aktif secara fisik,

bersemangat, suka bekerja keras, bergerak cepat dari satu aktviitas ke

aktivitas lainnya dan memiliki minat terhadap banyak hal.

b. Socialability

Individu dengan tipe kepribadian ekstraversi cenderung suka berkumpul

dengan orang banyak, senang terhadap kontak sosial, merasa senang

dengan situasi-situasi ramah tamah, mudah bergaul dan bergembira.

Sosiabel secara garis besar adalah orang yang bersedia untuk berbicara,

membentuk hubungan dan terlibat dalam kegiatan dengan orang lain

(Leach dkk, 2007).

c. Risk-taking

Individu dengan tipe kepribadian ekstraversi cenderung menyukai

tantangan dan suka terhadap hal-hal yang mengandung risiko, kurang

mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin terjadi.

d. Impulsiveness

Individu dengan tipe kepribadian ekstraversi cenderung terburu-buru,

biasanya tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, berbuat sesuatu tanpa

pikir panjang, mudah berubah, suka bertindak menghabiskan waktu dan

tidak dapat diramalkan. Impulsiveness didefinisikan sebagai perilaku yang

diaktifkan oleh impuls daripada dikendalikan oleh alasan atau

pertimbangan yang matang (Stedman, 2005).

21

e. Expressiveness

Tipe kepribadian ekstraversi cenderung mengekspresikan emosinya secara

terbuka seperti rasa marah, benci, cinta, simpati dan suka. Menurut

Halberstad dkk (1995), ekspresif adalah pola atau gaya yang berhubungan

dengan emosi. Ekspresif juga berarti perbedaan individu sejauh mana

orang secara lahiriah menunjukkan emosinya (Kring & Smith, 1994).

f. Reflectiveness

Aspek ini mengukur bagaimana ketertarikan individu pada ide, abstrak,

pertanyaan filosofis. Apakah individu cenderung lebih suka berpikir

teoritis daripada bertindak, introspektif atau sebaliknya. Individu

ekstravert akan memiliki nilai rendah pada aspek reflectiveness, sehingga

individu memiliki bakat untuk bekerja lebih tertarik untuk melakukan

berbagai hal, daripada memikirkan hal-hal tersebut dan cenderung tidak

sabar dengan perbuatan teori-teori “alam khayal”.

g. Irresponsibility

Tipe kepribadian ekstraversi cenderung mengabaikan janji yang telah di

buat, mengabaikan hal-hal yang bersifat resmi, kurang hati-hati dan

kurang bertanggungjawab secara sosial.

Sebagai pembanding, berikut ini adalah aspek-aspek tipe kepribadian

ekstraversi menurut Mcrae dan Costa (dalam Pervin & John, 2001) :

22

a. Kehangatan

Kehangatan menggambarkan individu yang mudah bergaul dan membagi

kasih sayang. Individu juga menyukai hidup secara berkelompok sehingga

membuat individu-individu tersebut disebut sosiabilitas.

b. Suka berteman

Suka berteman menggambarkan individu yang senang berada diantara

orang banyak dan memiliki banyak teman. Individu ini senang melakukan

kegiatan bersama teman dan senang bergabung dalam suatu perkumpulan

atau organisasi.

c. Asertif

Asertif menggambarkan kemampuan individu dalam menyampaikan

keinginan dan perasaannya tanpa hambatan kepada orang lain. Individu

tersebut dikenal outspoken atau “blak-blakan”. Individu ini merupakan

pemimpin yang alamiah, mudah memerintah, mengungkapkan apa yang

ada dalam pikirannya dan mudah mengekspresikan perasaan dan

keinginannya.

d. Aktivitas

Aktivitas menggambarkan keadaan individu yang menyukai kesibukan,

penuh energi, aktif mengikuti berbagai kegiatan dan memiliki semangat

yang tinggi

e. Gemar mencari kesenangan

Gemar mencari kesenangan menggambarkan individu yang gemar mencari

kesenangan, mencari sensasi dan berani mengambil resiko. Individu lebih

23

menyukai lingkungan yang memberikan umpan balik kepadanya. Individu

ini akan cenderung mencari tempat yang nyaman dan perlindungan dari

orang lain ketika dilanda masalah.

f. Emosi positif

Emosi positif menggambarkan individu yang cenderung mengalami

emosi-emosi positif seperti cinta, bahagia, dan kegembiraan. Individu ini

cenderung berpikir postif tentang segala sesuatu yang terjadi di lingkungan

sekitarnya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek kepribadian

ekstraversi menurut Eysenck dan Wilson (dalam Retnowati & Haryanthi, 2001)

yaitu activity, socialability, risk-taking, impulsiveness, expressiveness,

reflectiveness dan responsibility. Menurut Mcrae dan Costa (dalam Pervin &

John, 2001) yaitu kehangatan, suka berteman, asertif, aktivitas, gemar mencari

kesenangan dan emosi positif. Lebih lanjut, peneliti memilih menggunakan aspek

kepribadian ekstraversi menurut Eysenck dan Wilson (dalam Retnowati &

Haryanthi, 2001) karena sesuai dengan aspek dalam alat ukur yang akan

digunakan dalam penelitian ini.

C. Hubungan antara Kepribadian Ekstraversi dengan Nomophobia pada

Dewasa Awal

Menurut Erikson (dalam Sobur, 2013) dewasa awal berada pada rentang

usia 19 sampai 25 tahun. Erikson melanjutkan, memasuki usia dewasa awal

individu berada dalam tahap mengembangkan hubungan hangat, dekat dan

24

komunikatif, sehingga apabila individu dewasa awal gagal dalam menjalin relasi

intim dapat menyebabkan terisolasi dan merasa kesepian (Prasetyo & Ariana,

2016). Ketakutan akan rasa kesepian membuat individu menggunakan mobile

phone sebagai alat komunikasi terlalu berlebihan (Prasetyo & Ariana, 2016).

Durak (2018) dalam penelitiannya menemukan adanya hubungan yang signifikan

antara nomophobia dengan kesepian. Mobile phone pada saat ini sangat populer

terutama di kalangan dewasa muda, dalam penggunaannya dapat meningkatkan

frekuensi komunikasi sosial mereka, dan memperluas peluang untuk membangun

hubungan sosial (Igarashi, Takai, & Yoshida; Matsuda dalam Hong, Chiu &

Huang, 2012).

Saat ini smartphone merupakan salah satu bagian dari kehidupan sehari-

hari dan telah menjadi kebutuhan manusia (Salehan & Neghaban dalam Durak,

2018). Smartphone berfungsi baik sebagai mobile phone dan juga sebagai

komputer pribadi, fitur-fitur ini memungkinkan seseorang untuk berinteraksi

menggunakan smartphone dalam kehidupan sehari-hari dengan melakukan

panggilan, mengirim pesan instan/obrolan instan, menjelajah web, menandai

berita, mengirim email, melihat/membagikan foto atau video dan bermain game,

terutama di media sosial (Samaha & Hawi dalam Durak, 2018).

Disisi lain, mobile phone juga dapat memicu timbulnya beberapa

permasalahan (Hong dkk, 2012), salah satunya yaitu penggunaan mobile phone

yang terlalu berlebihan akan berdampak pada munculmya nomophobia.

Nomophbia adalah perasaan tidak nyaman ketika berjauhan dengan ponsel

khususnya smartphone. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Villar, dkk

25

(2017) salah satu faktor yang mempengaruhi nomophobia adalah ekstraversi.

Ekstraversi adalah tipe kepribadian yang mengukur jumlah dan intensitas interaksi

interpersonal, tingkat aktivitas, kebutuhan untuk didukung, kemampuan untuk

berbahagia (Mcrae & Costa dalam Pervin & John, 2001). Ekstraversi adalah

dimensi kepribadian yang paling sering dihubungkan dengan penggunaan internet

(Hamburger & Hertel, dalam Ramdhani, 2007). Ekstraversi sangat erat hubungan

dengan interaksi sosial dan sosiabilitas (Ramdhani, 2007). Secara rinci, orang

ekstravert menggunakan banyak waktu untuk menelpon dan mengirim banyak

pesan teks (Butt & Phillips; Igarashi, Motoyoshi, Takai, & Yoshida, dalam Hong

dkk, 2012). Selaras dengan hal tersebut, Hong, dkk (2012) berpendapat

ekstraversi memungkinkan memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku

penggunaan mobile phone.

Eysenck dan Wilson (dalam Retnowati & Haryanthi, 2001) memaparkan

tujuh aspek yang menggambarkan kepribadian ekstraversi yaitu, a) activity b)

socialability c) risk – taking d) impulsiveness e) expressiveness f) reflectiveness g)

irresponsibility. Berikut hubungan antara kepribadian ekstraversi dengan

nomophobia. Aspek activity menggambarkan keadaan individu yang menyukai

kesibukan, penuh energi, aktif mengikuti berbagai kegiatan dan memiliki

semangat yang tinggi. Kemajuan teknologi di bidang komunikasi terutama mobile

phone, membuat alat komunikasi tersebut bukan lagi sekedar untuk melakukan

panggilan telepon atau mengirimkan pesan singkat. Lebih dari itu, mobile phone

dengan berbagai macam aplikasinya semakin kompleks memenuhi kebutuhan

manusia dan membantu memudahkan manusia dalam melakukan berbagai

26

aktivitas. Hal tersebut membuat individu dengan ekstraversi tinggi dapat

melakukan aktivitas lebih banyak sekaligus atau multi-tasking (Cooper, 2017)

terutama aktivitas yang berhubungan dengan komunikasi. Sebuah penelitian

menunjukkan hubungan yang signifikan antara ekstraversi dengan perilaku

memposting foto selfie. Postur, gestur dan ekspesi wajah dalam foto selfie secara

kuat mengandung komunikasi secara online, sehingga aktivitas memposting selfie

dapat menjadi salah satu cara menjalin komunikasi bagi ekstravert (Arpaci dkk,

2018).

Selain sebagai media komunikasi, smartphone juga digunakan sebagai media

informasi. Henney (dalam Tashandra 2018) mengatakan orang ekstravert lebih

menyukai mencari informasi di media sosial. Henney juga menjelaskan, orang

ekstravert memiliki frekuensi mengecek media sosial lebih banyak, hal tersebut

karena saat mengunggah sesuatu dalam media sosialnya, orang ekstravert bisa

saja menjadi stres jika orang lain tidak menyukai ataupun memberikan komentar

pada unggahnya. Bagi ekstravert hal tersebut sebagai penanda dihargai dan diakui,

sehingga orang ekstravert akan lebih sering menggunakan smartphone untuk

mengecek media sosialnya.

Eysenck mengatakan, ekstravert memiliki keterangsangan otak yang relatif

rendah sehingga individu cenderung mencari stimulasi eksternal. Hal ini

disebabkan stimulasi eksternal akan memberikan gairah dan menggerakkan

ekstravert untuk terlibat dalam aktivitas dilingkungannya. Tingkat gairah di

sekitar individu sangat mempengaruhi kemampuannya untuk melakukan tugas

dan berperilaku (Belojevic, Slepcevic, Jakovljevic, 2011). Efek dari rangsangan

27

fisiologis pada kognisi menyebabkan individu menjadi aktif dan bersemangat.

Ekstravert memerlukan rangsangan dari luar juga untuk mendapatkan

keseimbangan fungsional dan melakukan sesuatu dengan baik. Berdasarkan hal

tersebut, stimulasi eksternal akan membuat ekstravert melakukan aktivitas lebih

banyak dan lebih baik. Sebaliknya, apabila ekstravert tidak mendapat stimulasi

dari luar individu tidak akan tergerak untuk melakukan aktivitas dengan baik.

Smartphone dengan segala fitur dan aplikasinya dapat memberikan stimulasi

(rangsangan) bagi ekstravert, sehingga dengan menggunakan smartphone akan

memberikan gairah pada individu dan menggerakannya untuk aktif dan terlibat

dalam berbagai aktivitas. Selaras dengan itu Stachl, dkk (2017) mengatakan

ekstraversi merupakan kepribadian yang menunjukkan jumlah tertinggi asosiasi

positif dengan berbagai kategori penggunaan aplikasi dalam smartphone. Hal ini

juga mencerminkan aspek kepribadian yang dijelaskan dalam literatur sebagai

kebutuhan untuk stimulasi eksternal (Butt & Phillips; Eysenck, dalam Stachl dkk,

2017).

Orang dengan ekstraversi tinggi menyukai beragam aktivitas, kesibukan,

terutama berada dalam situasi sosial. Smartphone dengan beragam fitur dan

aplikasinya membantu ekstravert dengan memberikan stimulasi eksternal untuk

memenuhi kebutuhan akan melakukan berbagai aktivitas. Kalcaba (dalam Potter

& Perry, 2005) menuturkan ketika kebutuhan dasar manusia terpenuhi maka akan

menghasilkan kondisi nyaman pada individu. Sebaliknya apabila kebutuhan dasar

manusia tidak terpenuhi maka akan menimbulkan kondisi tidak nyaman.

Berdasarkan hal tersebut, bagi ekstravert yang menyukai banyak aktivitas,

28

smartphone membantu memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga menimbulkan

kondisi nyaman saat menggunakannya. Sebaliknya, apabila ekstravert tidak

menggunakan smartphone akan menimbulkan kondisi tidak nyaman. Sehingga

untuk tetap mendapatkan kondisi nyaman tersebut, individu menggunakan

smartphone secara terus-menerus. Ketika suatu saat ekstravert terlepas dari

smartphone-nya maka individu merasa tidak tergerak untuk melakukan aktivitas

karena tidak mendapatkan stimulasi eksternal, merasa tidak bisa melakukan

komunikasi, merasa kehilangan konektivitas juga merasa tidak bisa mengakses

informasi, dan hal-hal tersebut merupakan aspek-aspek dari nomophobia.

Aspek selanjutnya yaitu expressiveness menggambarkan seseorang yang

ekspresif mudah mengekspresikan perasaannya dengan baik dan jujur. Individu

juga cenderung memperlihatkan emosi kearah ke luar dan terbuka dengan baik

bila sedang merasa sedih, marah, takut, jatuh cinta ataupun benci. Munculnya

berbagai media sosial dengan fasilitas seperti update status memberikan individu

dengan ekstraversi tinggi kemudahan untuk mengungkapkan keinginan dan

perasaannya pada orang lain. Hal tersebut didukung hasil penelitian Mubarokah

(2015) yang menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara

kepribadian ekstraversi dengan pengungkapan diri pada remaja pengguna

facebook. Mubarokah menambahkan, individu dengan tipe kepribadian

ekstraversi mempunyai karakteristik lebih ekspresif dalam menyampaikan setiap

emosi yang dirasakannya, sehingga hal tersebut membuat orang dengan tipe

kepribadian ekstraversi akan lebih mudah untuk mengekspresikan setiap emosi

yang dirasakan dengan cara senantiasa menjalin komunikasi secara rutin serta

29

memiliki sifat terbuka. Individu dengan tipe kepribadian ekstraversi tidak

mempersalahkan untuk menyampaikan segala hal, perasaan dan emosi yang

dirasakannya melalui berbagai media, salah satunya yaitu facebook (Friedman &

Schustack dalam Mubarokah, 2015).

Berbagai fitur dan aplikasi media sosial yang dapat diakses dalam

smartphone, memberikan ruang bagi orang ekstravert untuk mengekspresikan

pikiran dan perasaannya dengan mudah. Senada dengan hal itu Cooper (2017)

berpendapat, pada dewasa awal smartphone digunakan sebagai kendaraan untuk

mengeskpresikan dirinya dan identitas sosial melalui penggunaan pesan teks dan

media sosial. Berdasarkan hal tersebut, smartphone menimbulkan perasaan

nyaman bagi ekstravert saat menggunakannya karena terpenuhi kebutuhannya

(Kolcaba dalam Potter & Perry, 2005) termasuk dalam hal mengekspresikan diri.

Sebaliknya, ketika individu tidak terpenuhi kebutuhannya maka akan

menimbulkan perasaan tidak nyaman karena tidak bisa mengekspresikan dirinya.

Sehingga untuk tetap memiliki perasaan nyaman tersebut individu menggunakan

smartphone secara berulang dan terus-menerus dan memiliki keinginan untuk

terus memanfaatkan kenyamanan dalam smartphone tersebut. Perasaan nyaman

saat menggunakan smartphone dan keinginan untuk memanfaatkan kenyamanan

dalam smartphone merupakan salah satu aspek dari nomophobia.

Impulsiveness menggambarkan individu dengan ciri suka terburu-buru,

mudah berubah, suka bertindak menghabiskan waktu dan tidak dapat diramalkan.

Penelitian Wilmer dan Chein (dalam Cawis, 2016) menemukan bahwa penyebab

seseorang melakukan pengecekan secara berulang pada smartphone mereka

30

berhubungan dengan impulsivity dan ketidaksabaran, penelitian ini juga

menjelaskan bahwa ketika beberapa orang kecanduan menggunakan ponsel

mereka, hal ini disebabkan oleh impuls (dorongan) yang tidak dikelola dan bukan

hanya untuk mendapatkan hadiah (kesenangan) darinya. Hasil korespondensi pada

individu dengan penggunaan smartphone bermasalah yaitu rendahnya impuls

kontrol, hal tersebut membawa individu pada keinginan tidak terkontrol untuk

menggunakan smartphone mereka (Mitchell & Hussain, 2018). Berdasarkan hal

itu, keinginan tidak terkontrol menyebabkan individu terus menerus menggunakan

smartphone. Penggunaan smartphone dengan intensitas tinggi akan membentuk

suatu kebiasaan dan orang yang terbiasa menggunakan smartphone akan merasa

cemas apabila suatu ketika individu berada jauh dengan smartphone-nya

(Stephanie & Pristinella, 2014). Perasaan cemas saat berjauhan dengan

smartphone akibat adanya interaksi antara manusia, teknologi informasi dan

komunikasi di sebut nomophobia (Yildirim & Correia, 2015).

Aspek socialability menggambarkan individu yang memiliki kemampuan

bersosialisasi, suka mencari teman, mudah menjumpai orang-orang dan menyukai

kegiatan sosial seperti pesta-pesta. Rendahnya cortical arousal level

(keterangsangan otak yang relatif berada pada tingkat yang lebih rendah)

menjadikan ekstravert lebih menyukai untuk mencari dan berada dalam situasi

sosial (Bianchi & Phillips, 2005). Socialability merupakan salah satu dimensi

ekstraversi (Eysenck & Eysenck, 1991) dan sebagai konsekuensinya, ekstravert

akan cenderung memiliki sebuah lingkup pertemanan dan jaringan sosial yang

lebih besar, dan hal tersebut mendorong penggunaan mobile phone yang lebih

31

tinggi (Bianchi & Phillips, 2005). Mendukung hal tersebut, penelitian Ehrenberd

(2008) menemukan bahwa individu dengan ekstraversi lebih banyak

menghabiskan waktu dalam melakukan texting (menuliskan dan berkirim pesan).

Ramdhani (2007) juga menambahkan, individu dengan kepribadian ekstraversi

memanfaatkan email untuk berkomunikasi dengan teman‐teman mereka ataupun

membangun hubungan dengan orang‐orang baru. Dengan email, individu

ekstravert merasa terhubung dengan dunia luar. Senada dengan hal tersebut

penelitian dari Ferenzci (dalam Arpaci dkk, 2018) menemukan ekstravert

memiliki kecenderungan lebih aktif berbicara, suka berteman, ceria dan

menggunakan media sosial dengan frekuensi yang tinggi. Penelitian terbaru juga

menunjukkan ekstraversi yang lebih tinggi lebih memungkinkan dalam

penggunaan jejaring sosial (Sorokowaka dalam Arpaci dkk, 2018).

Roberts (2016) dalam penelitiannya mengatakan, rasa terhubung adalah

dorongan emosional terpenting dibalik penggunaan smartphone. Berdasarkan hal

itu, aspek socialability menggambarkan individu yang membutuhkan perasaan

untuk terus terhubung dengan orang lain, sehingga individu akan menggunakan

smartphone sebagai media pemenuh kebutuhannya. Terpenuhinya kebutuhan

dasar manusia tersebut akan memberikan perasaan nyaman (Kolcaba dalam Potter

& Perry, 2005), dan sebaliknya apabila individu tidak terpenuhi kebutuhan

dasarnya maka akan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Berdasarkan hal

tersebut, penggunaan smartphone pada ekstravert mampu memenuhi kebutuhan

ekstravert akan perasaan terhubung. Sehingga ekstravert akan merasakan

kenyamanaan ketika menggunakan smartphone, dan terdorong untuk terus

32

menerus menggunakannya. Hal itu dikarenakan ketika ekstravert tidak

menggunakan smartphone-nya maka individu akan merasakan kondisi tidak

nyaman karena merasa tidak bisa terhubung dengan orang lain, tidak bisa

berkomunikasi dengan orang lain dan terputus konektivitas dengan identitas sosial

khususnya di media sosial. Hal-hal tersebut merupakan aspek-aspek dari

nomophobia.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kepribadian

ekstraversi merupakan salah satu faktor yang turut serta mempengaruhi adanya

nomophobia pada seseorang. Activity, socialability, risk-taking, impulsiveness,

expressiveness, reflectiveness dan irresponsibility dalam diri seseorang akan

membentuk tinggi ataupun rendahnya tingkat ekstraversi seseorang.

D. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti mengajukan hipotesis yaitu

terdapat hubungan positif antara kepribadian ekstraversi dengan nomophobia pada

dewasa awal. Semakin tinggi ekstraversi yang dimiliki dewasa awal maka

nomophobia yang dialami cenderung tinggi. Sebaliknya, semakin rendah

ekstraversi maka nomophobia pada dewasa awal cenderung rendah.