bab ii tinjauan pustaka a. cyberloafingeprints.mercubuana-yogya.ac.id/4593/3/bab ii.pdf · 12 bab...
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Cyberloafing
1. Pengertian Perilaku Cyberloafing
Cyberloafing adalah perilaku menyimpang di tempat kerja yang
menggunakan “status pegawainya” untuk mengakses internet dan email
selama jam kerja untuk tujuan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan
(Lim, 2002). Blanchard dan Henle (2007) berpendapat bahwa cyberloafing
adalah penggunaan pribadi dari email dan internet di kantor. Sebagai
contohnya adalah penggunaan akses internet ketika berada di kantor,
karyawan dengan sengaja menjelaah dunia maya untuk kepentingan pribadi,
seperti membaca berita, mengakses forum-forum pertemanan dan lainnya
yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan (Anugrah & Margaretha,
2013). Kegiatan tersebut merupakan pemborosan waktu di tempat kerja,
namun banyak sekali karyawan yang melakukan cyberloafing dengan
berkedok melakukan pekerjaan utamanya (Blanchard & Henle 2008).
Askew (2014) menjelaskan bahwa cyberloafing merupakan seperangkat
perilaku di tempat kerja di mana seorang karyawan terlibat dalam kegiatan
yang di mediasi secara elektronik melalui penggunaan internet yang dianggap
tidak terkait dengan pekerjaanya. Contoh dari perilaku cyberloafing seperti
menonton youtube, mengecek facebook, berselancar di web, bermain video
games (Lim & Teo, 2005). Hal ini menjadikan cyberloafing sebagai masalah
13
yang mendesak untuk organisasi karena dapat menjadi penyebab turunnya
konsentrasi, gangguan komunikasi, adanya tindakan tidak disiplin,
penghentian hubungan kerja, kerugian reputasi, serta masalah dalam
keamanan system informasi, pensabotasean akses ke dokumen rahasia dan
penyebaran virus komputer. Hal ini dapat membuat kerugian bagi pegawai
dan organisasi (Harsono, Pantow & Marentek, 2016).
Cyberloafing diartikan sebagai penggunaan internet pada saat jam kerja
dengan menggunakan internet organisasi (Herdiati, Sujoso & Hartanti, 2015).
Namun cyberloafing tidak hanya menggunakan internet milik organisasi
namun juga milik pribadi. Seperti yang dikemukakan oleh Henle dan
Kedharnath (2012) yaitu penggunaan teknologi internet selama jam kerja
untuk tujuan personal. Teknologi yang dimaksud bisa teknologi yang
disediakan perusahaan dan juga milik pribadi yang dibawa karyawan selama
bekerja (misalnya, smartphone, iPad).
Perilaku cyberloafing merupakan perilaku seseorang yang sengaja
menggunakan teknologi informasi dan akses internet yang bersifat pribadi
pada saat jam kerja yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang
seharusnya di selesaikan dengan tepat waktu dan dapat merugikan organisasi
atau instansi terkait, sehingga dampaknya pada produktivitas pekerja tersebut
(Rahayuningsih, 2017). Hal ini diperkuat oleh Aldilasari (2017) yang
menjelaskan kalau bukan hal yang mengejutkan apabila penggunaan internet
yang tidak berkaitan dengan pekerjaan serta penundaan pekerjaan ini akan
mengarah kepada penurunan produktivitas bagi organisasi.
14
Tidak seperti bentuk-bentuk lain dari kemalasan lainnya, cyberloafing
tidak mengharuskan seseorang untuk absen secara fisik dari kantor untuk
jangka waktu yang lama. Dengan demikian cyberloafing tidak terlihat seperti
perilaku malas lainnya. Bahkan, karyawan dapat menghabiskan banyak waktu
terlibat dalam cyberloafing tanpa meninggalkan meja (Wagner, Barnes, Lim
& Ferris, 2012). Mengingat kemudahan untuk terlibat dalam upaya yang
menguras produktivitas ini, cyberloafing dapat dilihat sebagai godaan di
tempat kerja yang mengharuskan karyawan untuk melakukan pengaturan diri
agar tetap dapat mengerjakan tugas.
Dari uraian di atas, peneliti memakai istilah cyberloafing sebagai
perilaku menggunakan akses internet instansi baik menggunakan gadget
milik pribadi maupun gadget milik instansi yang dimanfaatkan untuk
kepentingan pribadi serta tidak ada kaitannya dengan tugas pekerjaanya pada
instansi tersebut.
2. Aspek – Aspek Cyberloafing
Lim (2002), membagi cyberloafing menjadi 2 aspek yaitu:
a. Activity Browsing
Aktivitas ini mencakup semua penggunaan akses internet perusahaan
untuk mengunjungi situs atau web yang tidak berhubungan dengan
pekerjaan pada saat jam kerja. Seperti, perilaku chatting, mengunjungi
situs belanja online, mengunjungi situs berita online, mengelola web
pribadi, judi online, bermain game online, atau mengunjungi web
berkonten pornografi.
15
b. Activity Emailing
Aktivitas ini merupakan aktivitas yang berhubungan dengan
pemeriksaan, menerima dan mengirim email pribadi pada saat jam kerja
yang tidak memiliki kaitan dengan pekerjaan utama karyawan di
organisasinya.
Blanchard dan Henle (2008) membagi cyberloafing ini secara
berjenjang dilihat dari intensitas perilakunya, dikategorikan menjadi dua:
a. Minor Cyberloafing
Tipe pegawai yang terlibat dalam berbagai bentuk penggunaan
internet umum yang tidak berkaitan dengan pekerjaan misalnya
mengirim dan menerima email pribadi, mengunjungi situs olahraga,
memperbarui status jejaring sosial serta berbelanja online. Dengan
demikian minor cyberloafing mirip dengan perilaku lain yang tidak
sesuai dengan pekerjaan namun diberi toleransi. Meskipun demikian,
tidak dapat dikatakan bahwa minor cyberloafing tidak memiliki dampak
yang merugikan bagi organisasi, seperti mengurangi produktivitas.
b. Serious Cyberloafing
Sedangkan tipe pegawai terlibat dalam berbagai bentuk perilaku
penggunaan internet yang bersifat lebih berbahaya karena bersifat
melanggar norma instansi dan berpotensi illegal seperti judi online,
mengelola situs milik pribadi, membuka situs pornografi serta
mendownload musik dan film secara illegal. Jenis cyberloafing ini
memiliki dampak yang serius bagi organisasi.
16
Dari penjabaran kedua teroi di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek
cyberloafing dibagi menjadi empat yaitu activity browsing, activitiy emailing,
minor cyberloafing dan serious cyberloafing. Pada penelitian ini peneliti
menggunakan aspek-aspek cyberloafing dari Lim (2002), yaitu activity
browsing dan activity emailing sebagai dasar teori penyusunan alat ukur. Hal
ini dikarenakan aspek-aspek tersebut mudah dipahami dan sesuai dengan
keadaan subjek.
3. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Cyberloafing
Menurut Ozler dan Polat (2012) terdapat 3 faktor yang mempengaruhi
cyberloafing yaitu:
a. Faktor Individual
Atribut individual yang mempengaruhi perilaku cyberloafing antara
lain adalah persepsi, sikap terhadap cyberloafing, penggunaan internet
umum, personal traits, kebiasaan dan kecanduan internet, faktor
demografi, niat untuk terlibat di cyberloafing, norma sosial, kode etik
personal tentang penggunaan internet.
1) Persepsi dan Sikap
Persepsi dan sikap mempengaruhi penggunaan komputer
individu. Individu yang memiliki persepsi dan sikap positif terhadap
komputer dalam pekerjaanya cenderung menggunakan komputer
untuk kepentingan pribadi (Liberman, Seidman, McKenna &
Buffardi, 2011). Blanchard dan Henle (2008) menemukan bahwa
karyawan yang melakukan aktivitas minor cyberloafing tidak
17
percaya bahwa dirinya terlibat dalam perilaku yang tidak seharusnya
sedangkan pegawai yang terlibat dalam serious cyberloafing
menyadari perilaku itu menyimpang dan tidak dapat dimaafkan.
2) Personal Traits
Perilaku pengguna internet mencerminkan berbagai motif
psikologis (Johnson & Culpa dalam Ozler & Polat, 2012). Ciri-ciri
pribadi seperti rasa malu, kesepian, isolasi, kontrol diri, harga diri,
lotus of control dapat mempengaruhi pola penggunaan internet.
Chak dan Leung (2004) menunjukan bahwa individu yang semakin
tidak percaya diri maka semakin kuat juga kebergantungan individu
tersebut dengan orang lain dan semakin tinggi juga
kecenderungannya dalam kecanduan internet. Hasil penelitian juga
menunjukan bahwa pengendalian diri memiliki dampak langsung
pada niat individu dalam mengambil bagian pada perilaku
cyberloafing. Pengendalian diri yang rendah berdampak pada
terdapatnya perilaku cyberloafing yang tinggi (Ugrin, 2008).
3) Kebiasaan dan Kecanduan Internet
Kebiasaan mengacu kepada perilaku yang sudah otomatis terjadi
tanpa intruksi dari diri, kognisi dan musyawarah dalam menanggapi
isyarat tertentu dalam lingkungan (Woon & Pee dalam Ozler &
Polat, 2012). Diperkirakan bahwa lebih dari setengah perilaku dalam
media merupakan sebuah kebiasaan (LaRose, 2010). Hubungan
antara kebiasaan dalam media dan cyberloafing memainkan peran
18
penting dalam memprediksi perilaku ini. Seseorang dengan
kecanduan terhadap internet dapat menyebabkan perilaku
penyalahgunaan internet.
4) Faktor Demografi
Garret dan Danziger (2008) menemukan bahwa status
pekerjaan, persepsi otonomi dalam organisasi, tingkat pemasukan
dan gender merupakan prediktor cyberloafing yang signifikan.
Penelitian menunjukan bahwa orang-orang yang berpendidikan
cenderung melibatkan dirinya dalam aktivitas-aktivitas seperti
mencari informasi secara online, sementara orang-orang yang
berpendidikan rendah cenderung menggunakan internet untuk
bermain game online (Chak & Leung, 2004). Penelitian lain
menunjukan bahwa pria cenderung melakukan cyberloafing lebih
sering dan durasi yang lebih lama dibanding perempuan (Lim &
Chen, 2012).
5) Niat untuk Terlibat, Norma Sosial dan Kode Etik Personal
Niat dianggap menjadi prediktor akurat dari perilaku aktual
dalam banyak studi. Namun, penelitian juga menunjukan bahwa niat
tidak selalu menyebabkan bahwa niat tidak selalu berujung pada
munculnya sebuah perilaku, namun hubungan antara niat dan
perilaku merupakan sebuah hubungan kompleks. Persepsi tentang
pentingnya larangan yang etis terhadap cyberloafing berhubungan
negatif dengan perilaku cyberloafing. Keyakinan normatif seseorang
19
(misalnya, secara moral cyberloafing salah) mengurangi intensi
untuk terlibat dalam perilaku cyberloafing.
b. Faktor Organisasi
Faktor organisasi juga dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing
pegawai seperti pembatasan penggunaan internet, hasil yang diharapkan,
dukungan manajerial, pandangan rekan kerja terhadap norma
cyberloafing, sikap kerja pegawai dan karakteristik pekerjaan yang
dilakukan.
1) Pembatasan Penggunaan Internet
Meskipun tidak ada persetujuan umum bahwa cyberloafing
memiliki dampak negatif, banyak organisasi menggunakan internet
policy untuk membatasi penggunaan internet. Tujuannya adalah
untuk mengatur perilaku karyawan dan terbukti memiliki peran yang
penting dalam cyberloafing. Dengan membatasi penggunaan internet
karyawan, pemimpin organisasi mengurangi kemungkinan
penggunaan internet untuk kegiatan-kegiatan yang tidak berkaitan
dengan pekerjaan karyawan (Garret & Danziger, 2008). Demikian
sebaliknya, karyawan yang akan menerima hukuman yang berat
apabila melakukan perbuatan yang menyimpang akan memiliki
kecenderungan cyberloafing rendah.
2) Hasil yang Diharapkan
Penelitian menunjukkan bahwa karyawan cenderung tidak
melakukan cyberloafing yang dipersepsikan memiliki konsekuensi
20
yang negatif kepada organisasi maupun dirinya sendiri (Lim & Teo,
2005).
3) Dukungan Manajerial
Dukungan manajerial untuk penggunaan internet pada jam kerja
tanpa menentukan bagaimana harusnya hal tersebut dilakukan
cenderung meningkatkan penggunaan internet untuk kegiatan bisnis
maupun aktivitas personal oleh karyawan. Dukungan ini bisa
disalahartikan oleh karyawan yang menganggap bahwa dukungan
tersebut mensahkan semua jenis penggunaan internet, termasuk
cyberloafing (Garret & Danziger, 2008). Dukungan manajerial
termasuk di dalamnya kebijaksanaan yang ditetapkan oleh
organisasi. Beberapa kebijakan dalam organisasi bisa menjadi faktor
yang mempengaruhi cyberloafing. Salah satu kebijaksanaan
mengenai hal ini adalah BYOH yaitu kebijaksanaan yang
mengizinkan karyawan untuk menggunakan perangkat pribadi selain
perangkat yang disediakan oleh organisasi/perusahaan. Kebijaksaan
ini bisa meningkatkan perilaku cyberloafing karena karyawan
menggunakan perangkat gadget nya sendiri. Kebijaksanaan lain
yaitu fleksibilitas kerja baik waktu maupun tempat. Kebijaksanaan
ini memungkinkan karyawan untuk bekerja di luar kantor.
Kebijaksanaan ini memang memiliki efek pada performa karyawan.
Namun, kerugiannya adalah beberapa organisasi menetapkan
kebijaksanaan ini tanpa memberikan aturan yang jelas pada
21
karyawannya sehingga hal ini bisa meningkatkan cyberloafing
karyawan.
4) Pandangan Rekan Kerja terhadap Norma Cyberloafing
Penelitian menunjukkan bahwa norma rekan sejawat dan
supervisor yang mendukung cyberloafing berhubungan positif
dengan cyberloafing. Selain itu, Lim dan Teo (2005) mengemukakan
bahwa individu menggunakan iklim normatif sebagai penyesuaian
untuk melakukan perilaku yang dilakukan rekannya.
5) Sikap Kerja Pegawai
Cyberloafing merupakan respon emosional terhadap pekerjaan
yang membuat frustasi, oleh sebab itu sikap terhadap pekerjaan bisa
mempengaruhi munculnya cyberloafing (Liberman, 2011).
Penelitian lain menemukan bahwa karyawan cenderung melakukan
perbuatan yang tidak sesuai ketika mereka memiliki sikap yang tidak
baik (Garret & Danziger, 2008). Adapun yang termasuk dalam job
attitude adalah kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan prejudice
dalam tempat kerja (Greenberg dalam Ozler & Polat, 2012).
6) Karakteristik Pekerjaan
Studi menemukan bahwa ketika individu memiliki tuntutan
kerja yang rendah kemungkinan untuk cyberloafing tinggi, hal ini
dikarenakan waktu luang yang dimiliki. Ketika karyawan tidak
memiliki banyak pekerjaan, mereka akan terlibat dalam aktivitas
cyberloafing untuk mengahabiskan waktu.
22
c. Faktor situasional
Perilaku menyimpang internet biasanya terjadi ketika pegawai
memiliki akses terhadap internet di tempat kerja sehingga hal ini sangat
dipengaruhi oleh faktor situasional yang memediasi perilaku ini
(Weatherbee dalam Ozler dan Polat 2012). Salah satu faktor situasional
adalah kedekatan jarak (seperti jarak ruangan pegawai) dengan atasan.
Kedekatan jarak dengan atasan di kantor secara tidak langsung akan
mempengaruhi cyberloafing. Hal ini tergantung pada persepsi pegawai
mengenai kontrol instansi terhadap perilakunya, termasuk ada atau
tidaknya sanksi dan peraturan instansi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi cyberloafing meliputi faktor individual, faktor organisasi dan
faktor situasional. Peneliti menggunakan faktor-faktor yang mempengaruhi
cyberloafing dari Ozler dan Polat (2012), di mana faktor yang akan
dijabarkan adalah salah satu dari faktor individu yaitu kesepian. Kesepian
dianggap memiliki kaitan terhadap cyberloafing pada PNS di Biro
Kepegawaian BKN Pusat. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Budiana (2018) didapati bahwa terdapat
hubungan yang positif antara loneliness dengan perilaku cyberloafing pada
karyawan. Kim, Larose dan Peng (2009), menjelaskan bahwa individu yang
mengalami kesepian ternyata memiliki preferensi yang lebih tinggi untuk
interaksi online, karena individu merasa bahwa komunikasi online mungkin
23
relatif kurang berisiko dan lebih mudah dibandingkan tatap muka sebab
ketika online individu dapat berinteraksi secara anonim.
B. Kesepian
1. Pengertian Kesepian
Kesepian (loneliness) adalah pengalaman yang tidak menyenangkan
yang terjadi ketika keterlibatan seseorang dalam hubungan sosial secara
signifikan berkurang, baik dalam segi kuantitas ataupun kualitas (Peplau dan
Perlman, 1982). Russel (1996) mengemukakan bahwa kesepian adalah
sebuah bentuk hubungan sosial yang tidak sesuai dari apa yang diinginkan
atau dicapai, termasuk perasaan gelisah, tertekan, dan persepsi kurangnya
hubungan sosial pada diri seseorang (Russel,1996). Kesepian akan disertai
oleh berbagai macam emosi negatif seperti depresi, kecemasan,
ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri dan malu
(Anderson, 1992). Kesepian juga dapat didefinisikan sebagai perasaan negatif
yang dihubungkan pada kurangnya hubungan-hubungan sosial individu
(Amalia, 2013).
Menurut Perlman dan Peplau (1998) loneliness adalah perasaan
kesepian individu, ketidaknyamanan subjektif individu rasakan ketika
hubungan individu tersebut kurang erat. Dan perasaan kesendirian mungkin
merupakan kondisi sementara yang dihasilkan dari sebuah perubahan dalam
kehidupan sosial individu. Baron dan Bryne (2005) mendefinisikan kesepian
sebagai keadaan emosi dan kognitif yang tidak bahagia yang diakibatkan oleh
24
hasrat akan hubungan akrab namun tidak dapat mencapainya. Menurut Bruno
(2000) kesepian adalah keadaan mental dan emosional yang negatif yang
ditandai terutama oleh adanya perasaan terasing dan kurangnya hubugan yang
bermakna dengan orang lain.
Menurut Weiss (1973), kesepian merupakan reaksi dari ketiadaan jenis-
jenis tertentu dari hubungan. Kesepian terjadi ketika adanya ketidaksesuaian
antara apa yang diharapkan seseorang dan kenyataan dari kehidupan
interpesonalnya, sehingga seseorang menjadi sendiri dan kesepian.
Selanjutnya, kesepian akan disertai oleh berbagai macam emosi negatif
seperti depresi, kecemasan, ketidak bahagiaan, ketidakpuasan, menyalahkan
diri sendiri dan malu. Kesepian juga berarti sebagai suatu keadaan mental dan
emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan terasing dan
kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain. Senada dengan
Dariyo (2016), yang mengungkapkan bahwa kesepian perasaan subjektif yang
dialami individu dalam kondisi dan situasi tertentu.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menyimpulkan definisi
kesepian sebagai perasaan yang tidak menyenangkan yang dimiliki seseorang
akibat dari tidak tercapainya hubungan sosial yang diinginkan sehingga
menyebabkan perasaan gelisah, tertekan dan persepsi kurangnya hubungan
sosial pada diri seseorang.
4. Aspek-Aspek Kesepian
Peplau dan Perlman (1982) membagi kesepian menjadi 3 aspek yaitu
need for intimacy, cognitive process, dan Social Reinforcement.
25
a. Need for intimacy
Aspek ini menekankan pada keinginan-keinginan individu untuk
menjalin hubungan yang lekat dengan orang lain serta mengungkakpkan
hubungan seperti apa yang dikehendaki atau didambakan oleh masing-
masing individu.
b. Cognitive process
Cognitive process menitikberatkan pada respon atau tindakan apa
yang pernah dan akan dilakukan apabila individu menghadapi suatu
peristiwa yang tidak menyenangkan.
c. Social reinforcement
Mencakup mengenai keadaan dan kondisi kehidupan sosial yang
sedang berlangsung. Tidak hanya kehidupan sosial, aspek ini juga
menekankan pada hubungan sosial yang terjalin antara individu dengan
individu lain. Kesepian terbentuk tidak hanya karena faktor banyak
sedikitnya jumlah hubungan yang terjalin atau frekuensi interaksi sosial
yang terjadi, tetapi juga oleh faktor hubungan itu sendiri.
Menurut Russell dan Peplau (1980), kesepian didasari oleh tiga aspek
yaitu:
a. Trait Loneliness
Yaitu adanya pola yang lebih stabil dari perasaan kesepian karena
disebabkan kepribadian mereka. Kepribadian yang dimaksud adalah
seseorang yang memiliki kepercayaan yang kurang dan ketakutan akan
orang asing.
26
b. Social Desirability
yaitu terjadinya kesepian karena individu tidak mendapatkan
kehidupan sosial yang diinginkan pada kehidupan di lingkungannya.
c. Depression
yaitu terjadinya kesepian karena terganggunya perasaan seseorang
seperti perasaan sedih, murung, tidak bersemangat, merasa tidak berharga
dan berpusat pada kegagalan yang dialami oleh individu.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat enam
aspek kesepian, yaitu need for intimacy, cognitive process, social
reinforcement, trait loneliness, social desirability dan depression. Pada
penelitian ini, peneliti memilih aspek-aspek yang dikemukakan Peplau dan
Perlman (1982),yaitu need for intimacy, cognitive process dan social
reinforcement karena aspek yang dibuat cukup detail dan memudahkan
peneliti dalam pembuatan instrumen pengumpulan data.
C. Hubungan Antara Kesepian dengan Perilaku Cyberloafing
Lim (2002) mengungkapkan bahwa Cyberloafing adalah perilaku
menyimpang di tempat kerja yang menggunakan “status pegawainya” untuk
mengakses internet dan email selama jam kerja untuk tujuan yang tidak
berhubungan dengan pekerjaan. Cyberloafing dapat dikatakan sebagai perilaku
menyimpang karena selain merugikan pegawai juga dapat merugikan perusahaan
yang ditempatinya. Pernyataan ini didukung oleh Harsono, Pantow dan Marentek
(2016) yang menyatakan bahwa cyberloafing dapat menjadi penyebab turunnya
27
konsentrasi, gangguan komunikasi, adanya tindakan tidak disiplin, penghentian
hubungan kerja, kerugian reputasi, serta masalah dalam keamanan sistem
informasi, pensabotasean akses ke dokumen rahasia dan penyebaran virus
komputer.
Menurut Ozler dan Polat (2012) faktor-faktor yang melatarbelakangi
terjadinya perilaku cyberloafing yang pertama adalah faktor individual, yang
meliputi shyness, kesepian, isolation, self control, self esteem, locus of control
serta kebiasaan dan adiksi internet, faktor demografis, keinginan untuk terlibat,
norma sosial dan kode etik personal. Faktor selanjutnya adalah faktor organisasi,
yang meliputi pembatasan penggunaan internet, hasil yang diharapkan, dukungan
manajerial, pandangan rekan kerja tentang norma cyberloafing, sikap kerja
pegawai dan karakteristik pekerjaan yang pegawai lakukan. Dan faktor yang
terakhir adalah faktor situasional yang meliputi kedekatan jarak ruangan pegawai
dan kedekatan dengan atasan.
Dari faktor-faktor tersebut, kesepian akan menjadi fokus dalam penelitian
ini. Hal ini didasari oleh pernyataan dari Chack dan Leung (dalam Ozler & Polat,
2012) bahwa perilaku penggunaan internet mencerminkan berbagai motif
psikologis dengan salah satunya adalah kesepian yang juga dapat mempengaruhi
pola penggunaan internet. Peplau dan Perlman (1982) berpendapat bahwa
kesepian adalah pengalaman yang tidak menyenangkan yang terjadi ketika
keterlibatan seseorang dalam hubungan sosial secara signifikan berkurang baik
dalam segi kuantitas ataupun kualitas. Kesepian juga memiliki tiga aspek yaitu
need for intimacy, cognitive process dan social reinforcement.
28
Need for intimacy adalah keinginan-keinginan individu untuk menjalin
hubungan yang lekat dengan orang lain serta mengungkapkan hubungan seperti
apa yang dikehendaki atau didambakan oleh masing-masing individu (Peplau &
Perlman, 1982). Need for intimacy juga merupakan suatu kebutuhan dasar yang
diperlukan manusia untuk bertahan hidup (From-Reichmann dalam Peplau &
Perlman 1982). Weiss (1973) mengatakan bahwa kesepian disebabkan bukan
karena sendirian tetapi tidak adanya kelekatan hubungan antara sesama manusia.
Kelekatan merupakan ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan
orang lain yang bersifat spesifik, mengikat pegawai dalam suatu kelekatan yang
bersifat kekal sepanjang waktu (Ainsworth dalam Erwina & Ervika, 2006).
Pegawai yang memiliki need for intimacy yang rendah lebih mudah bersosialisasi
dengan rekan kerjanya, dapat fokus mengerjakan pekerjaanya, merupakan pribadi
yang menyenangkan, bersahabat dan lebih disukai oleh rekan kerja lainnya
(Nurhidayah, 2011). Hal ini terjadi karena pegawai dengan need for intimacy yang
rendah mempunyai perasaan bahwa dirinya berharga, dipercaya, responsif dan
penuh kasih sayang (Helmi, 1999). Perasaan tersebut yang membuat pegawai
lebih memilih bersosialisasi secara langsung dibandingkan bersosialisasi melalui
online (Dariyo & Widiyanto, 2013).
Pegawai dengan need for intimacy yang tinggi cenderung tidak percaya diri,
tidak memiliki teman akrab, sulit bergaul dengan rekan kerja dan lebih sering
menghabiskan waktu dengan gadget (Nurhidayah, 2011). Hal ini terjadi karena
pegawai merasa dirinya tidak berharga, komitmen dalam hubungan interpersonal
yang rendah, selalu merasa curiga dan merasa tidak dicintai orang lain (Helmi,
29
1999). Lebih lanjut dijelaskan tingginya need for intimacy akan membuat pegawai
mencari alternatif membina kelekatan dengan orang lain yaitu dengan cara
berkomunikasi secara online dengan memanfaatkan akses internet (Dariyo &
Widiyanto, 2013). Dariyo (2016), menambahkan komunikasi online lebih
diminati karena pengguna dapat berinteraksi secara anonim. Penggunaan akses
internet pada saat jam kerja untuk kepentingan pribadi disebut cyberloafing (Lim,
2002).
Aspek cognitive process menekankan tentang persepsi serta evaluasi
individu terhadap hubungan sosialnya. Kesepian muncul apabila seseorang dalam
mempersepsikan dan mengevaluasi hubungan sosialnya menemukan bahwa
adanya kesenjangan antara apa yang individu inginkan dengan apa yang ingin
individu capai (Peplau & Perlman, 1982). Pada dasarnya setiap orang memiliki
tingkat interaksi sosial yang optimal. Ketika hubungan sosial itu tidak optimal,
orang tersebut akan mengalami kesepian. Sebaliknya, ketika dihadapkan dengan
kontak sosial yang berlebihan, orang tersebut akan mengalami kesulitan. Evaluasi
hubungan sosial seseorang dipengaruhi oleh perbandingan dengan pengalaman
masa lalunya sendiri dan dengan pengalaman orang lain. Individu yang merasa
kurangnya hubungan sosial sehingga mengakibatkan kesepian dapat menurunkan
derajat kesepiannya dengan cara melakukan kontak sosial (Peplau & Perlman,
1981). Pegawai dengan cognitive process yang positif cenderung menjadi pribadi
yang bahagia, selalu menyapa rekan kerja, ramah dan mudah untuk berinteraksi
dengan rekan kerja (Burt dalam Amalia, 2013). Hal ini dikarenakan pegawai
mempersepsikan bahwa hubungan sosialnya dengan orang lain berjalan dengan
30
baik sehingga pegawai merasa tidak memiliki beban dan tekanan dari hubungan
sosialnya (Peplau & Perlman, 1981). Karena positifnya persepsi pegawai terhadap
hubungan sosialnya, hal itu yang membuat pegawai lebih suka berinteraksi secara
langsung dibandingkan melalui online (Dariyo, 2016). Sebaliknya, pegawai
dengan cognitive process yang rendah cenderung lebih sensitif terhadap rekan
kerjanya, tidak dapat mengontrol emosinya, kurang dapat diajak kerjasama dan
tidak pandai bergaul (Burt dalam Amalia, 2013). Hal ini dikarenakan pegawai
mempersepsikan hubungan sosial yang dialaminya tidak sesuai dengan yang
diharapkan sehingga pegawai memiliki pemikiran yang negatif terhadap orang
lain dan merasa terkucilkan (Peplau & Perlman, 1981). Kemajuan teknologi
memungkinkan setiap individu dapat berhubungan antara satu dengan
menggunakan internet. Pegawai yang mempunyai hubungan sosial rendah tetap
dapat memenuhi kebutuhan untuk bersosialisasinya dengan berselancar di internet
(Krisnawati & Soetjiningsih, 2017). Martin dan Schumacher (2003), menyatakan
pegawai yang mempunyai persepsi negatif terhadap hubungan sosialnya, merasa
tidak mampu beradaptasi baik dengan lingkungan sekitarnya dan menyebabkan
perasaan kesepian, sehingga cenderung berinteraksi dengan teman online dan
menggunakan internet sebagai dukungan emosional dalam memenuhi kontak
sosial.
Social reinforcement menitikberatkan terhadap hubungan sosial yang baik
terjadi karena adanya penguatan sosial dari orang lain. Penguatan sosial dapat
terjadi karena dukungan sosial dari orang lain (Peplau & Perlman, 1982).
Dukungan sosial adalah penerimaan dari orang lain atau keluarga terhadap
31
individu yang menimbulkan persepsi dalam dirinya bahwa seseorang merasa
disayangi, diperhatikan, dihargai, dan ditolong, sehingga menimbulkan perasaan
bahwa kita memiliki arti bagi orang lain atau menjadi bagian dari jaringannya
(sarafino, 1998). Social reinforcement dibutuhkan oleh pegawai karena dapat
membuat pegawai merasa tidak sendirian dan bersemangat sehingga pegawai
dapat mengerjakan tugasnya dengan baik dan produktivitasnya meningkat
(Hudson, 1997). Pegawai yang mendapatkan social reinforcement dari rekan
kerjanya selalu bersemangat dalam bekerja, dapat diandalkan, percaya diri dalam
menghadapi tantangan dan dapat bekerjasama dengan rekan kerjanya (Kim,
LaRose & Peng, 2009). Hal ini dikarenakan pegawai merasa diperhatikan oleh
rekan kerjanya, mendapat dukungan sosial dan merasa bahwa dirinya dianggap
oleh orang lain (Hudson, 1997). Sebaliknya, pegawai yang tidak mendapatkan
social reinforcement dari rekan kerjanya berperilaku apatis, penyendiri, tidak
bersemangat dan cenderung tidak mempunyai prestasi kerja yang baik (Kim,
LaRose & Peng, 2009). Kurangnya social reinforcement dapat membuat pegawai
merasa kesepian, sendirian dan tidak memiliki dukungan sosial sehingga mencari
alternatif untuk mendapatkan social reinforcement yaitu melalui kegiatan online
(Hudson, 1997). Pernyataan tersebut diperkuat oleh Cummings, Butler dan Kraut,
(2002), yang mengungkapkan bahwa melalui kegiatan online, pegawai dapat
menemukan komunitas-komunitas online dengan individu-individu lain yang
mempunyai pengalaman yang sama sehingga pegawai dapat mendapatkan social
reinforcement dari kegiatan online. Namun penggunaan akses internet pada saat
32
jam kerja yang bukan untuk kepentingan pekerjaan merupakan kegiatan yang
tidak produktif dan biasa disebut cyberloafing (Blanchard & Henle, 2007).
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif
antara kesepian dengan cyberloafing pada Pegawai Negeri Sipil di Biro
Kepegawaian Badan Kepegawaian Negara Pusat. Semakin tinggi tingkat kesepian
pada pegawai, semakin tinggi juga tingkat cyberloafing pada pegawai. Begitu juga
sebaliknya, semakin rendah tingkat kesepian pada pegawai, semakin rendah juga
tingkat cyberloafing pada pegawai.