bab ii tinjauan pustaka a. aggressive...

40
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Aggressive driving 1. Definisi Agresivitas Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI (2002) menjelaskan bahwa agresif merupakan kecenderungan (ingin) menyerang sesuatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengecewakan, menghalangi, atau menghambat. Sedangkan agresi lebih menunjukkan pada perasaan marah atau tindakan kasar akibat kekecewaan atau kegagalan dalam mencapai pemuasan atau tujuan yang dapat diarahkan kepada orang atau benda. Oleh sebab itu. agresif adalah kata benda dan agresi adalah kata sifat. Berkowitz (dalam Crisp & Turner, 2007) mengemukakan, perilaku agresif merupkan suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menyerang seseorang secara fisik maupun psikis. Perilaku ini berawal dari perasaan frustrasi yang muncul dalam diri individu, belanjut menjadi kemarahan dan emosi marah, selanjutnya muncul perilaku agresif tersebut. Baron & Byrne (2004) menambahkan, bahwa agresivitas adalah dorongan dasar yang dimiliki oleh manusia dan hewan, dengan tujuan menyerang/menyakiti fisik atau psikologis orang lain. Perilaku agresif adalah suatu bentuk perilaku ditujukan untuk melukai atau mencelakakan orang lain. Mayer (2007) menjelaskan, bahwa perlaku agresif merupakan perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Selanjutnya, Krahe (2005) menambahkan bahwa perilaku agresif juga dilihat dari respon individu lain pada saat diserang. Sehingga perilaku agresif didefinisikan dengan perilaku individu yang dimaksudkan untuk menyerang individu lain, dan individu lain tersebut berusaha untuk menghindar.

Upload: letram

Post on 15-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Aggressive driving

1. Definisi Agresivitas

Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI (2002) menjelaskan bahwa agresif

merupakan kecenderungan (ingin) menyerang sesuatu yang dipandang sebagai hal atau

situasi yang mengecewakan, menghalangi, atau menghambat. Sedangkan agresi lebih

menunjukkan pada perasaan marah atau tindakan kasar akibat kekecewaan atau

kegagalan dalam mencapai pemuasan atau tujuan yang dapat diarahkan kepada orang

atau benda. Oleh sebab itu. agresif adalah kata benda dan agresi adalah kata sifat.

Berkowitz (dalam Crisp & Turner, 2007) mengemukakan, perilaku agresif

merupkan suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menyerang seseorang secara fisik

maupun psikis. Perilaku ini berawal dari perasaan frustrasi yang muncul dalam diri

individu, belanjut menjadi kemarahan dan emosi marah, selanjutnya muncul perilaku

agresif tersebut. Baron & Byrne (2004) menambahkan, bahwa agresivitas adalah

dorongan dasar yang dimiliki oleh manusia dan hewan, dengan tujuan

menyerang/menyakiti fisik atau psikologis orang lain. Perilaku agresif adalah suatu

bentuk perilaku ditujukan untuk melukai atau mencelakakan orang lain.

Mayer (2007) menjelaskan, bahwa perlaku agresif merupakan perilaku fisik

atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain.

Selanjutnya, Krahe (2005) menambahkan bahwa perilaku agresif juga dilihat dari

respon individu lain pada saat diserang. Sehingga perilaku agresif didefinisikan dengan

perilaku individu yang dimaksudkan untuk menyerang individu lain, dan individu lain

tersebut berusaha untuk menghindar.

12

Paterson (Malik, 2007) menggolongkan perilaku agresif menjadi empat bentuk,

yaitu:

a. Agresif menyerang fisik, contohnya: memukul, menendang, mendorong dan

melukai orang lain.

b. Agresif menyerang verbal, contohnya: menghina, memaki, dan melakukan

gerakan lain yang mengancam.

c. Agresif menyerang dengan benda, contohnya: membanting buku, membanting

pintu, atau membunyikan klakson berulang.

d. Agresif menyerang daerah atau hak orang lain, contohnya: mengambil barang

orang lain secara paksa dan mencoret-coret tembok orang lain.

Menurut penjelasan dari beberapa pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa

perilaku agresif adalah suatu tindakan yang muncul dengan maksud untuk

mencelakakan atau melukai pihak lain secara sengaja secara fisik ataupun psikis dan

dalam bentuk tindakan langsung ataupun verbal.

2. Faktor Penyebab Agresivitas

Baron & Brascombe (2012) menjelaskan faktor penyebab perilaku agresif

tersebut antara lain sosial, budaya, personal dan situasi. Penulis mencoba menjelaskan

bahwa perilaku agresi disebabkan oleh beberapa faktor berikut.

a. Personal

Individu dengan tipe kepribadian A yang bersifat ambisius, kompetitif,

terburu-buru, mudah tersinggung akan lebih cepat menjadi agresif daripada

individu dengan tipe kepribadian B yang memiliki sifat cepat puas, tidak

ambisius, lebih sabar. Selanjutnya, sebuah penelitian menemukan bahwa ada

indikasi individu dengan narcissism (yang setuju dengan item “jika saya

13

memimpin dunia, akan menjadi tempat yang lebih baik” dan item “ saya lebih

mampu dibandingkan dengan orang lain”) akan melakukan kecenderungan

agresi ketika egonya terancam, atau melihat dirinya dalam bahaya Bushman &

Baumeister; Thomes, Bushman, Strege & Olthof (dalam Baron & Branscombe,

2012). Sarwono (1997) menambahkan, kepribadian individu sangat erat

kaitannya dengan perilaku agresi, individu mempunyai kecenderungan perilaku

agresi sesuai dengan tipe kepribadiannya. Rokeach (1973) menerangkan, orang

yang mempunyai locus of control (LC) internal lebih bisa mengendalikan

dirinya sendiri daripada orang dengan LC eksternalnya.

Selanjutnya pengaruh jenis kelamin (gender). Pria mempunyai

kemungkinan lebih besar melakukan perilaku agresif dibandingkan wanita,

namun hal tersebut masih dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya dan besar

kecilnya hal yang memicu perilaku ini. Pria cenderung melakukan agresi secara

langsung pada pihak lain dan wanita cenderung melakukannya secara tidak

langsung (Baron & Branscombe, 2012).

b. Sosial

Manusia adalah makhluk sosial sehigga selalu membutukan orang lain.

Jika dalam suatu hubungan sosial individu mendapat penolakan atau tidak

dianggap dalam suatu kelompok sosial, dapat memicu perilaku agresif karena

dengan adanya penolakan ini akan membuat individu mempunyai mind-set

sebagai musuh dan kemudian menyebabkan emosi negatif sehingga muncul

perilaku agresif (Baron dan Branscombe, 2012). Sarwono (1997)

menambahkan, pengaruh kelompok dalam perilaku agresif adalah mengurangi

hambatan dan menurunkan moral. Sehingga ketika individu melihat perilaku

14

negatif yang terjadi dalam kelompok tersebut, ada kemungkinan individu untuk

meniru.

c. Lingkungan

Kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif

individu. Baron & Branscombe (2012) menyimpulkan dari beberapa penelitian

bahwa suhu udara yang tinggi akan sangat mempengaruhi agresi, tetapi hanya

pada suhu tertentu. Jika suhu terlalu tinggi, agresi bisa semakin menurun.

Sarwono (1997) menambahkan, perasaan sesak (crowding) pada lingkungan

sekitar juga bisa memicu agresi. Penelitian Lawrencen dan Kathryn Andrews

(2004) menjelaskan bahwa dengan kondisi penjara yang cukup sempit dan

banyaknya tahanan seringkali memicu perilaku agresif mereka, karena berawal

pada kondisi sesak (density) sehingga menimbulkan perasaan sesak (crowding)

dan pada akhirnya dapat menyebabkan munculnya perilaku agresif.

Keramaian di jalan raya juga memicu adanya peilaku agresif. Hal ini

terjadi karena semakin padat kondisi jalan raya akan semakin mengingkatkan

stres pengguna jalan dan dapat menimbulkan perilaku agresif di jalan raya (Mc

Grava dalam Vanlaar Ward, 2008). Pengunaan alkohol juga terlihat jelas

efeknya terhadap perilaku agresif, yang mengakibatkan kapasitas individu

untuk memproses informasi menjadi berkurang (Baron & Branscombe, 2012).

Ada kemungkinan pengaruh dari media informasi juga bisa memberikan

dampak terjadinya perilaku agresif. Banyak media yang menyiarkan kekerasan

dan juga bentuk-bentuk perilaku agresif yang lain, sehingga akan menimbulkan

efek belajar dan meiru yang digunakan aktivitas sehari-harinya (Sarwono,

1997).

15

3. Aggressive driving

Dula & Geller (2003) melakukan penelitian mengenai penyampaian maksud

yang tidak sesuai dalam penelitian mengenai penjelasan makna road rage dan risky

atau aggressive driving. Road rage merupakan perilaku kriminal di jalan raya atau bisa

dikatakan sebagai bentuk ekstrim dari perilaku pengemudi yang tidak aman, bahkan

sampai melakukan pembunuhan atau penembakan pada saat mengemudi. Sedangkan

Dula dan Geller mendefinisikan risky dan aggressive driving sebagai perilaku agreif

yang disangaja untuk menyerang, emosi negatif pada saat mengemudi dan perilaku

mengemudi yang tidak aman dan membahayakan orang lain.

Sependapat, Hennessy and Wiesenthal (dalam Ruvio & Shoham, 2011)

mendefinisikan aggressive driving sebagai suatu perilaku yang direncanakan untuk

menyerang secara fisik, emosi atau psikologi di lingkungan mengemudi atau jalan raya.

Selanjutnya, Tasca (2000) menambahkan bahwa, aggressive driving dilakukan secara

sengaja, cenderung meningkatkan risiko kecelakaan dan dimotivasi oleh

ketidaksabaran, kekesalan, permusuhan, dan atau upaya untuk menghemat waktu.

Mizell dalam American Automobile Association (AAA) Fondation for Traffic

Safety, (1997) juga mendefinisikan aggressive driving sebagai perilaku marah atau

tidak sabar dari pengemudi yang disengaja atau dengan maksud untuk melukai atau

membunuh pengemudi lain atau pejalan kaki karena masalah lalu lintas. Sedangkan

National Highway Traffic Safety Administration (NHTSA) mengartikan aggressive

driving sebagai suatu pengoperasian kendaraan bermotor yang dapat membahayakan

dirinya sendiri atau mungkin membahayakan seseorang, atau properti. Pengemudi

bersikap tidak sabar dan kurang peduli sehingga memancing emosi pengguna jalan di

sekitarnya.

16

Harris & Houston, (2008) mendukung pandangan tersebut dan menjelaskan,

aggressive driving adalah bentuk perilaku mengemudi yang tidak aman yang bisa

diukur tanpa mengacu pada kondisi emosi dan motivasi, karena banyak penyebab

lainnya antara lain stres, pola berfikir pengemudi dan coping terhadap kondisi

lingkungan.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, aggressive driving adalah tindakan

mengemudi yang tidak aman, berbahaya dan dapat beresiko kecelakaan. Perilaku

tersebut dapat diawali bentuk verbal dan selanjutnya akan timbul perilaku secara

langsung (menggunakan kendaraannya dan memfungsikannya dengan

membahayakan). Contoh perilaku aggressive driving antara lain dengan mengemudi

secara berkelok-kelok, menyalip kendaraan lain dengan kasar, menempel pada

kendaraan pengemudi lain yang akan diserang, tidak mentaati perarutan lalu lintas atau

mengucapkan atau memberikan tanda agresif kepada pengemudi lain.

4. Bentuk-bentuk Aggressive driving

Tasca (2000), mengemukakan beberapa tingkah laku yang dapat dikategorikan

sebagai mengemudi agresif, antara lain :

a. Membuntuti terlalu dekat

b. Keluar-masuk jalur

c. Menyalip dengan kasar

d. Memotong ke depan kendaraan yang berada di jalur dengan jarak yang

dekat

e. Menyalip dari bahu jalan

f. Berpindah-pindah jalur tanpa memberikan tanda

g. Menghalangi pengemudi lain untuk menyalip

17

h. Tidak mau memberikan kesempatan pengemudi lain untuk masuk ke dalam

jalur

i. Mengemudi dengan kecepatan tinggi yang kemudian menimbulkan tingkah

laku membuntuti dan berpindah jalur

j. Melewati (melanggar) lampu merah

k. Melewati tanda yang mengharuskan berhenti sehingga dapat

membahayakan pengguna jalan lainnya

Selanjutnya, James & Nahl (2000) mengemukakan perilaku aggressive driving

menjadi beberapa kategori, yaitu : Impatience and inattentiveness, Power Struggle,

Recklessness and Road Rage.

a. Kategori 1: Impatience (ketidaksabaran) dan Inattentiveness

(ketidakperhatian)

1) Menerobos lampu merah

2) Menambah kecepatan ketika melihat lampu kuning

3) Berpindah-pindah jalur

4) Mengemudi dengan kecepatan 5-15 km/jam di atas batas kecepatan

aman maksimum

5) Berjalan terlalu dekat dengan kendaraan di depannya

6) Tidak memberikan tanda ketika dibutuhkan, seperti berbelok atau

berhenti

7) Menambah kecepatan atau mengurangi kecepatan secara mendadak

b. Kategori 2 : Power Struggle (adu kekuatan)

1) Menghalangi orang yang akan berpindah jalur, menolak untuk memberi

jalan atau pindah

18

2) Memperkecil jarak kedekatan dengan kendaraan di depannya untuk

menghalangi orang yang mengantri

3) Mengancam atau memancing kemarahan pengemudi lain dengan

berteriak, membuat gerakan-gerakan yang memancing kemarahan dan

membunyikan klakson berkali-kali

4) Membunuti kendaraan lain untuk memberikan hukuman atau

mengancam kendaraan tersebut

5) Memotong jalan kendaraan lain untuk menyerang atau membalas

pengemudi lain

6) Mengerem secara mendadak untuk menyerang atau membalas

pengemudi lain

c. Kategori 3 : Recklessness (ugal-ugalan) dan Road Rage (kemarahan di

jalan)

1) Mengejar pengemudi lain untuk berduel

2) Mengemudi dalam kondisi mabuk

3) Mengarahkan senjata atau menembak pengemudi lain

4) Menyerang pengemudi lain dengan menggunakan mobilnya sendiri atau

memukul suatu objek

5) Mengemudi dengan kecepatan yang sangat tinggi

Bentuk perilaku aggressive driving yang dijelaskan oleh Tasca (2000) lebih

mengarah pada perilaku mengemudi yang berbahaya dan dapat meningkatkan resiko

kecelakaan. Sedangkan bentuk perilaku aggressive driving yang dijelaskan James &

Nahl (2000) lebih cenderung pada perilaku menyerang. Penulis akan menggunaka bentuk-

bentuk aggressive driving yang telah dijelasan oleh Tasca (2000) sebagai acuan dalam

menyusun instrumen pengukuran. Hal ini dilakukan karena jenis-jenis aggressive

19

driving menurut Tasca (2000) lebih merepresentasikan kondisi pengemudi saat ini dan

lebih sesuai dengan tujuan penelitian.

5. Faktor-faktor Penyebab Aggressive driving

Beberapa faktor penyebab aggressive driving menurut Tasca (2000) adalah

sebagai berikut :

a. Usia dan Jenis Kelamin

Parry (dalam Tasca, 2000) menjelaskan bahwa perilaku aggressive

driving sebagian besar melibatkan pengemudi laki-laki dengan usia muda, yaitu

antara 17-35 tahun, sedangkan dalam rentang usia yang sama, pengemudi

perempuan menujukkan tingkat yang lebih rendah. Paleti, Eluru, dan Bath

(2010) mendukung dalam penelitiannya bahwa pengendara usia muda antara

16-23 tahun cenderung lebih agresif pada saat mengemudi. Perilaku melanggar

lalu lintas masuk dalam kategori aggressive driving.

Tasca (2000) mengemukakan bahwa laki-laki lebih meremehkan resiko

terhadap perilaku pelanggaran lalu lintas tersebut. Lak-laki mengevaluasi

peraturan lalu lintas dengan negatif, sehingga menganggap peraturan lalu lintas

adalah sesuatu yang menjengkelkan dan mengganggu pada kondisi tertentu.

Perempuan memiliki pemikiran sebaliknya, mereka menganggap lalu lintas

sebagai sesuatu yang harus ditaati, sesuatu yang penting, jelas, dan masuk akal.

Dengan hal tersebut, pengguna kendaraan laki-laki lebih banyak terlibat

perilaku aggressive driving daripada perempuan.

b. Anonimitas

Novaco (dalam Tasca, 2000) menjelaskan bahwa pada malam hari, jalan

raya dapat menjadi tempat yang mendukung untuk tercapainya anonimitas

20

pengguna jalan karena kondisi sepi dan gelap, sehingga ada kesempatan untuk

melarikan diri. Keadaan tersebut memberikan kesempatan untuk pergi begitu

saja dari pandangan seseorang sebagai pengguna jalan yang melakukan

aggressive driving.

c. Faktor Sosial

Grey (dalam Tasca, 2000) menyampaikan pengaruh dari faktor sosial.

Norma, reward, hukuman, dan model di masyarakat dapat mempengaruhi

aggressive driving. Kasus aggressive driving yang tidak mendapatkan

hukuman/sanksi yang jelas akan menimbulkan persepsi bahwa perilaku ini

adalah wajar, sesuai norma, dan dapat diterima (Novaco dalam Tasca, 2000).

Dengan demikian, pengemudi akan merasa bahwa perilaku agresif pada saat

menggunakan kendaraan yang dilakukannya tidak bisa dikontrol, kemudian

para pengemudi tetap melakukakan perilaku ini.

d. Kepribadian

Tasca (2000) mengemukakan bahwa individu memiliki sifat yang akan

menentukan perilakunya secara teratur dan terus-menerus dalam setiap situasi.

Sifat-sifat ini akan berperan dalam pembentukan kepribadian mereka juga.

Faktor pribadi yang dimaksudkan menjadi penyebab aggressive driving ini

seperti permusuhan, rasa ingin bersaing, kurangnya kepedulian terhadap

individu lain, mengemudi untuk pelepasan emosi, impulsif, dan keputusan

untuk mengambil resiko (Grey dalam Tasca, 2000).

e. Gaya Hidup

Salah satu penyebab aggressive driving adalah gaya hidup. Beirness

(dalam Tasca, 2000) menyimpulkan terhadap beberapa penelitian yang telah

dilakukan mengenai gaya hidup yang berkaitan dengan performa

21

mengoperasikan kendaraan. Resiko kecelakaan dalam usia muda menunjukkan

bahwa mereka memiliki gaya hidup seperti mengkonsumsi alkohol,

menggunakan obat-obatan terlarang, merokok dan kelelahan akibat bergaul

dengan teman sampai larut malam. Gaya hidup tersebut dapat mempengaruhi

semua aspek kehidupan mereka, termasuk perilaku mengemudinya. Perilaku-

perilaku tersebut masuk dalam kategori mengemudi di bawah gangguan

emosional yang disebut juga aggressive driving (James & Nahl, 2000).

f. Keterampilan Mengemudi

Tasca (2000), mengemukakan dalam penelitiannya melihat perilaku

mengemudi, menunjukan bahwa pengemudi yang merasa memiliki

keterampilan dan tidak berorientasi pada keselamatan pada saat

mengoperasikan kendaraan, lebih sering menunjukkan kemarahan pada saat

mengalami hambatan di jalan raya. Sedangkan pengemudi yang merasa

berkendara dengan berorientasi pada keselamatan, menunjukkan tidak terlalu

terganggu oleh situasi lalu lintas yang menghambat proses mengemudinya. Hal

ini menunjukkan pengemudi yang merasa memiliki ketrampilan yang baik saat

mengemudi saja dan tidak berorientasi pada keselamatan akan memiliki

kencederungan melakukan aggressive driving. Orang yang berorientasi

keselamatan akan lebih berhati-hati demi keselamatan dirinya.

g. Faktor Lingkungan

Shinar (dalam Tasca, 2000) menjelaskan adanya hubungan yang

signifikan antara kondisi lingkungan dan perilaku agresif pada saat mengemudi.

Pengemudi yang lebih sering mengemudi dalam kemacetan jalan cenderung

lebih jarang merasakan emosi marah saat mengemudi. Lajunen (dalam Tasca,

2000) menambahkan bahwa kemacetan yang tidak terduga/tidak bisa

22

diperkirakan dapat menimbulkan emosi marah pada pengemudi yang berakibat

pengemudi tersebut melakukan aggressive driving.

Faktor lingkungan lain yang mempengaruhi munculnya aggressive

driving adalah kepadatan. Sarwono (1997) mengemukakan bahwa kepadatan ini

akan memberikan dampak pada manusia, salah satunya adalah munculnya

perilaku agresif. Konecni (dalam Mann & Leon, 1982) mendukung pendapat

tersebut dengan menjelaskan bahwa tidakan paling umum yang ditampilkan

pada saat berada dalam kondisi padat adalah perilaku agresif. Holahan (1982)

mengatakan bahwa, kepadatan tinggi merupakan salah satu syarat terjadinya

kesesakan (crowding), selanjutnya kondisi ini akan menimbulkan stres pada

individu dan memunculkan perilaku agresif.

Hennessy & Wiesenthal (2000) menambahkan, kondisi lingkungan jalan

raya yang padat akan mempengaruhi tingkat stres individu, selanjutnya akan

memungkinkan terjadinya perilaku agresif pada saat mengemudi. Sependapat,

Prakash & Kansal (2003) menjelaskan bahwa salah satu penyebab aggressive

driving yaitu kesesakan (crowding). Kesesakan merupakan penyebab yang

sangat subjektif dan akan persepsikan berbeda-beda oleh setiap individu.

Hal ini menjelaskan bahwa pada kondisi jalan raya yang padat akan

menimbulkan stres pada inividu, selanjutnya individu akan mengalami perasaan

sesak (crowding) dan kemudian memungkinkan terjadinya aggressive driving.

6. Jenis Kelamin dan Aggressive Driving

Baron & Branscombe (2012) menjelaskan mengenai faktor gender dalam

kaitannya dengan perilaku agresif. Pria mempunyai kemungkinan lebih besar

melakukan perilaku agresif dibandingkan wanita, namun hal tersebut masih

23

dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya dan besar kecilnya hal yang memicu

perilaku ini. Pria cenderung melakukan agresi secara langsung pada pihak lain dan

wanita cenderung melakukannya secara tidak langsung. Selanjutnya, Krahe (2005)

menambahkan bahwa faktor gender dapat menjelaskan perbedaan tingkat perilaku

agresif. Hal ini dijelaskan melalui penjelasan biologis, bahwa hormon testoteron

pada laki-laki ternyata lebih memungkinkan menimbulkan perilaku agresif daripada

perempuan.

Perbedaan jenis kelamin ini juga mempengaruhi aggressive driving yang

muncul pada pengemudi di jalan raya. Lawton dan Nutter (2002) mencoba melihat

bentuk ekspresi marah pada saat mengemudi pada pengemudi laki-laki dan

perempuan. Hasilnya menunjukkan bahwa ternyata bentuk perilaku agresif ini

terdapat perbedaan. Laki-laki cenderung mengekspresikan perasaan marahnya

dalam bentuk perilaku yang nampak sedangkan pada perempuan mengekspresikan

marah dalam bentuk yang lain seperti neghidari situasi dan mengungkapkan secara

verbal.

Constantinou, dkk (2011) menambahkan bahwa perilaku aggressive driving

di jalan raya juga dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin. Penelitiannya menjelaskan

bahwa aggressive driving pada laki-laki ditunjukkan dengan perilaku mengemudi

yang lebih beresiko, berbeda dengan perempuan yang cenderung lebih hati-hati dan

mengikuti peraturan.

Selain itu, Tasca (2000) juga menjelaskan bahwa perilaku aggressive

driving dipengaruhi oleh jenis kelamin. Pengemudi laki-laki lebih menilai peraturan

lalu lintas dengan negatif, sehingga menganggap peraturan lalu lintas adalah

sesuatu yang menjengkelkan dan mengganggu pada kondisi tertentu. Sedangkan

pengemudi perempuan memiliki pemikiran sebaliknya, mereka menganggap lalu

24

lintas sebagai sesuatu yang harus ditaati, sesuatu yang penting, jelas, dan masuk

akal. Sehingga pengemudi laki-laki memiliki kemungkinan lebih besar akan

perilaku aggressive driving.

Berdasarkan penjelasan diatas, faktor jenis kelamin ini memiliki pengaruh

yang cukup besar terhadap perilaku aggressive driving. Berangkat dari sini, faktor

ini akan digunakan sebagai variabel moderator dalam penelitian ini yang akan di

analisis bersama dengan persepsi kesakan terhadap aggressive driving.

B. Remaja

1. Definisi Remaja

Santrock (2003) mendefinisikan remaja sebagai masa perkembangan

transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mencakup perubahan

biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Pappalia (2009) menyatakan bahwa remaja

adalah suatu periode yang panjang sebagai proses transisi dari masa anak-anak

menuju masa dewasa. Santrock (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan pada masa

remaja digambarkan sebagai masa evaluasi, pengambilan keputusan, komitmen.

Batasan usia remaja dikemukakan dalam berbagai pendapat, antara lain

Hurlock (1959) menyatakan bahwa remaja merupakan rentang usia 12-18 tahun.

Monks, dkk (2002) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Sedangkan

Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) berpendapat bahwa usia remaja berada pada

rentang usia 12-23 tahun. Berdasarkan semua pernyataan ahli di atas dapat diamati

bahwa proses mulainya masa remaja relatif sama sedangkan masa berakhirnya

berbeda-beda. Ada yang dipercepat dan ada yang diperlambat. Hal ini tergantung

25

dari kondisi lingkungan tempat remaja tersebut berkembang. Monk, dkk (2002)

menambahkan pembagian masa remaja mulai dari remaja awal antara usia 12-15

tahun, remaja tengah antara usia 15-18 tahun dan remaja akhir antara usia 18-22

tahun.

Berdasarkan penjelasan di atas, remaja adalah masa peralihan dari masa

anak-anak ke masa dewasa dengan banyak terjadi perubahan baik fisik maupun

psikis. Batasan usia remaja dapat digunakan dalam penelitian ini adalah antara usia

12-22 tahun atau bisa masuk dalam kategori remaja tengah dan remaja akhir.

2. Proses Perkembangan Remaja

Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak-anak

ke masadewasa. Masa peralihan ini meliputi proses perubahan baik secara biologis,

kognitif, maupun secara sosioemosional. Dikatakan oleh Larson (dalam Santrock,

2007) bahwa tugas utama masa remaja adalah persiapan menuju masa dewasa.

Periode perkembangan remaja dideskripsikan menjadi masa remaja awal (early

adolescence) dan masa remaja akhir (late adolescence). Periode perkembangan

masa remaja awal meliputi antara tahun kedua sekolah menengah atas dimana

mulai terjadi proses pubertas. Sedangkan masa remaja akhir diperkirakan pada usia

awal 20an. Pada masa ini mulai ada ketertarikan atau minat pada karir dan lawan

jenis. Selain itu mulai terjadi eksplorasi kepribadian dibandingkan dengan masa

remaja awal.

Perkembangan manusia ditandai dengan proses biologis, kognitif, dan

sosioemosional. Perkembangan ini digambarkan dalam bentuk periode

perkembangan (Santrock, 2007).

26

a. Proses biologis pada remaja

Hurlock (1959) menyatakan bahwa ada tiga poin perubahan fisik yang

terjadi pada masa remaja, yakni (1) Pertumbuhan fisik dengan cepat (rapid

pshysical growth), (2) perubahan proporsi tubuh (change in body proporsions),

(3) Karakteristik organ seks utama (primary sex characteristics), (4)

Karakteristik organ seks sekunder (secondary sex characteristics).

Pertumbuhan fisik secara cepat merupakan salah satu ciri masa remaja

atau sering disebut dengan pubertas. Pada masa pubertas terlihat tubuh remaja

mengalami penambahan tinggi yang secara otomatis mengalami penambahan

berat badan. Perubahan tinggi badan dan berat badan terjadi dengan sangat

cepat dan drastis pada masa ini.

Perubahan proporsi tubuh, meskipun tubuh berkembang menjadi lebih

besar, namun ada beberapa bagian tubuh yang tidak berkembang dalam waktu

yang bersamaan. Contohnya, tangan, kaki, hidung. Namun seiring dengan

perjalanan pertumbuhan itu sendiri, bagian-bagian tadi akan berkembang sesuai

dengan proporsi yang dibutuhkan oleh tubuh.

Perkembangan karakteristik organ seks utama, pada masa anak-anak

organ seks kecil dan tidak matang secara fungsi. Sedangkan pada masa pubertas

organ seks mengalami perkembangan dari segi ukuran dan menjadi lebih

matang secara fungsi.

Perkembangan karakteristik organ seks sekunder. Pada tahap ini anak

laki-laki dan perempuan akan mengalami perubahan penampilan fisik.

Perubahan ini tentu diakibatkan oleh berkembangannya organ seks sekunder.

Pada laki-laki ditandai dengan tumbuhnya rambut pubis, rambut di area ketiak

27

dan wajah. Kulit menjadi lebih kasar dan permukaannya lebih keras

dibandingkan pada masa anak-anak yang memiliki tekstur kulit halus. Selain itu

ditandai dengan pertumbuhan otot dan perubahan warna suara. Pada perempuan

ditandai dengan tumbuhnya rambut pubis, membesarnya payudara, dan gejala

menstruasi.

b. Proses Kognitif pada remaja

Perkembangan kognitif seseorang ditandai dengan perubahan pola pikir

seiring meningkatnya pengalaman hidup seseorang. Sesuai dengan teori

perkembangan kognitif Piaget, masa remaja berada pada tahapan operasional

formal. Tahap operasional formal dikatakan oleh Piaget (dalam Hurlock, 1959)

sebagai masa dimana seseorang telah mampu berpikir secara abstrak, idealis,

dan logis. Kualitas abstrak tersebut dilihat dari kemampuan remaja dalam

memecahkan masalah secara verbal. Pada masa operasional konkret contohnya

seorang anak harus melihat wujud dari benda A, B, dan C untuk mendapat

kesimpulan bahwa A > B > C, maka A > C. Sedangkan pada masa operasional

formal seseorang akan mampu memecahkan masalah ini melalui penjelasan

yang hanya diberikan secara verbal.

c. Proses Sosioemosional pada remaja

Perkembangan psikis masa remaja ditandai dengan memasuki masa

pubertas, setiap anak telah mempunyai sistem kepribadian yang merupakan

pembentukan dari perkembangan selama ini. Di luar sistem kepribadian anak

seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi, pengaruh media massa,

keluarga, sekolah, teman sebaya, budaya, agama, nilai dan norma masyarakat

tidak dapat diabaikan dalam proses pembentukan kepribadian tersebut. Pada

28

masa remaja, seringkali berbagai faktor penunjang ini dapat saling mendukung

dan dapat saling berbenturan nilai (Havighurst dalam Hurlock, 1973).

Pada usia tersebut, tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi adalah

sebagai berikut:

a. Mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya baik sesama jenis

maupun lawan jenis

b. Mampu memenuhi peran sosial maskulin dan feminine

c. Mampu menerima kondisi fisik dan dapat mempergunakannya secara efektif

d. Mampu mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa

lainnya

e. Dapat mencapai kemandirian secara ekonomi

f. Memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja

g. Mempersiapkan diri dalam menghadapi perkawinan dan kehidupan keluarga

h. Mengembangkan kemampuan dan konsep intelektual

i. Menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan

secara sosial

j. Memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman perilaku

Semua remaja belum tentu dapat memenuhi tugas-tugas tersebut dengan

sempurna. Menurut Hurlock (1973) ada beberapa masalah yang dialami remaja

dalam memenuhi tugas-tugas tersebut, yaitu:

a. Masalah pribadi, yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi dan

kondisi di rumah, sekolah, kondisi fisik, penampilan, emosi, penyesuaian sosial,

tugas dan nilai-nilai.

b. Masalah khas remaja, yaitu masalah yang timbul akibat status yang tidak jelas,

seperti pencapaian kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian berdasarkan

29

stereotip yang tidak tepat, pemberian beban kewajiban yang lebih kecil

dibandingkan hak yang diperoleh dari orangtua.

Melihat pada poin yang telah disebutkan sebelumnya dapat disimpulkan

bahwa masa remaja merupakan masa yang labil dan rentan akan berbagai

permasalahan. Masa tersebut dikenal sebagai masa badai dan tekanan (storm and

stress). Hal ini dikuatkan oleh gagasan Erickson (dalam Hurlock, 1973) bahwa

masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian jati diri.

Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini pun

menjadi sering menimbulkan masalah pada diri remaja.

3. Aggressive Driving Pengemudi Sepeda Motor Remaja

Menurut Peraturan Pemerintah No 43 tahun 1993, pengemudi adalah orang

yang mengendalikan kendaraan bermotor atau orang yang secara langsung

mengawasi calon yang sedang belajar mengemudikan kendaraan bermotor. Kamus

Besar Bahasa Indonesia/KBBI (2002), menjelaskan bahwa pengemudi adalah orang

yang (pekerjaannya) mengemudikan (perahu, mobil, pesawat terbang, sepeda

motor, dsb). Oleh karena itu, pengguna sepeda motor remaja adalah orang yang

mengemudikan sepeda motor dalam usia 12 tahun sampai 22 tahun (Stanley Hall

dalam Santrock, 2003).

Parry (dalam Tasca, 2000) menyatakan bahwa aggressive driving paling

banyak ditampilkan oleh pengemudi yang berusia 17-35 tahun, yaitu young driver

atau pengemudi muda. Penelitian menunjukkan bahwa perilaku agresif di jalan

didominasi oleh pengemudi usia muda (16-23 tahun), biasanya mereka tidak

menggunakan sabuk pengaman, dibawah kendali alkohol, tidak mempunyai surat

ijin yang valid. Selain itu situasi juga memicu terjadinya aggressive driving,

30

diantaranya seorang remaja membawa penumpang sesama remaja, kondisi jalan

padat pada pagi hari, dan batas kecepatan yang ada pada peraturan (Paleti, Eluru &

Bath, 2010).

Beberapa studi juga menemukan perbedaan gender dalam penilaian

subyektif pengemudi usia muda terkait kesesakan yang dialami di lalu lintas. Shinar

(2004) menjabarkan dalam penelitiannya bahwa kodisi lalu luntas yang padat akan

memicu aggressive driving. Pria yang mengalami kesesakan akan lebih terlihat

agresif dapripada wanita, karena pria akan lebih reaktif dengan kesesakan tersebut.

Respon yang muncul atara lain perilaku agresif, kompetitif dan perilaku negatif

lainnya (Altman, 1975 dan Holahan, 1982). Holahan, (1982) menambahkan bahwa

perilaku reaktif ditunjukkan pada individu dengan usia muda lebih banyak

diabanding usia tua.

Aggressive driving sendiri telah dimasukkan menjadi salah satu pembahasan

dalam psikologi perkembangan remaja. Beberapa diantaranya telah diuraikan oleh

Santrock (1988); Papalia, Old, & Feldman (2009). Kovar (1991), Millstein & Litt

(1990) & Takanishi (1993) menguraikan bahwa tiga penyebab utama kematian

pada masa remaja adalah kecelakaan, bunuh diri, dan pembunuhan (dalam

Santrock, 2003). Lebih dari setengah seluruh kematian pada remaja usia 10-19

disebabkan karena kecelakaan, dan kebanyakan berupa kecelakaan kendaraan

bermotor, terutama pada remaja yang lebih tua. Kebiasaan mengemudi berisiko

yang sering menyebabkan kecelakaan pada usia remaja yaitu ngebut (speeding),

membuntuti (tailgating), dan mengemudi di bawah pengaruh alkohol atau obat-

obatan (Santrock, 2003).

Kematian karena kecelakaan kendaraan dan tabrakan kendaraan bermotor

adalah penyebab utama kematian dikalangan remaja AS. Risiko tabrakan lebih

31

besar pada usia antara 16 sampai 19 daripada kelompok usia lainnya, terutama di

antara usia 16 dan 17 tahun yang baru saja mulai mengemudi (Mc Cartt, 2001;

National Center for Injury Prevention and Control/NCIPC, 2004). Hal tersebut

mungkin menjadi lebih fatal saat penumpang remaja berada di kendaraan bermotor,

remaja cenderung mengemudi lebih cereboh ketika sedang bersama teman

sebayanya (dalam Papalia, Old, & Feldman, 2009).

C. Persepsi Kesesakan (crowding) di Jalan Raya

1. Persepsi

Wade & Travis, (2007) menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses

pengaturan dan penerjemanahan informasi sensorik oleh otak. Persepsi dipengaruhi

oleh kebutuhan, kepercayaan diri, emosi, dan ekspektasi. Selain itu, persepsi juga

dapat disebabkan oleh faktor budaya. Sehingga individu akan melakukan apa yang

mereka inginkan sesuai dengan pengalaman dan pengaruh dari beberapa hal di atas.

Sedangkan Goldstein, (2002) mengemukakan bahwa persepsi adalah

conscious sensory experience, diartikan sebagai pengalaman sensorik yang secara

sadar. Persepsi muncul ketika objek nampak dan terlihat, yang kemudian

ditransformasikan ke otak menjadi sebuah pengalaman sebagai objek itu. Kita akan

mengetahui ada warna merah atau kuning atau hijau karena hal tersebut sudah

menjadi pengalaman kita sebelumnya dan tersimpan di otak.

Ivancevich, Konopaske, & Matteson, (2008), melanjutkan bahwa persepsi

merupakan suatu proses kognitif dari setiap individu untuk mengartikan stimulus

32

dari lingkungan sekitar. Sehingga persepsi setiap individu mungkin berbeda

meskipun stimulus atau objeknya sama.

Pada dasarnya, persepsi merupakan hipotesis terhadap apa itu stimulus,

yang disesuaikan dengan masa lalu dan jenis stimulusnya (Gregory dalam Paser,

Smith, 2007). Paser & Smith, (2007) juga menjelaskan proses dalam pembentukan

persepsi melalui 2 cara. Bottom up processing dimulai dari mendeteksi stimulus

yang terjadi pada setiap individu, kemudian terjadi proses analisis stimulasi dan

selanjutnya mengkombinasi dan menginterpretasikan stimulus tersebut secara

menyeluruh. Yang kedua adalah proses Top down, yaitu dengan konsep atau

pemikiran yang sudah ada, kemudian di sesuaikan dengan stimulus yang muncul.

Berdasarkan penjelasan beberapa sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa

persepsi merupakan suatu penginterpretasian stimulus yang ada di lingkungan.

Persepsi muncul sesuai pengangalaman yang sudah ada dan setiap individu dapat

menghasilkan persepsi yang berbeda-beda dari suatu stimulus atau objek yang

sama. Perbedaan persepsi dapat dipengaruhi oleh pengalaman yang sudah ada dan

kondisi individu itu sendiri.

Walgito (2001), membagi persepsi ada tiga macam, yaitu :

a. Persepsi diri, yaitu bila objek persepsi pada pribadi seseorang mengenal ciri-

ciri dan kualitas dirinya sendiri.

b. Persepsesi benda, yaitu bila objek persepsi perwujudannya adalah benda-benda.

c. Persepsi sosial, bila objek persepsi berwujud manusia atau orang.

Apa yang ada dalam diri individu akan mempengaruhi individu dalam

mengadakan persepsi, ini disebut faktor internal, sedangkan lainnya adalah faktor

eksternal yakni stimulus dan lingkungan dimana persepsi itu berlangsung. Kedua

faktor ini saling berinteraksi dalam individu saat melakukan persepsi.

33

2. Kesesakan (Crowding)

a. Definisi Kesesakan (Crowding)

Kesesakan berbeda dengan kepadatan. Beberapa pakar menjelaskan

perbendaannya secara teoritis. Stokols (dalam Holahan, 1982) menjelaskan

bahwa kepadatan (density) adalah kendala keruangan (spatial constraint),

sedangkan kesesakan (crowding) adalah respon subjektif terhadap ruang yang

sesak. Holahan (1982) menjelaskan bahwa kepadatan (density) merupakan

salah satu faktor terjadinya kesesakan (crowding).

Kepadatan adalah kondisi fisik yang melibatkan pembatasan ruang,

sedangkan kesesakan adalah tahap pengalaman yang disebabkan oleh persepsi

individu akan pembatasan ruang (Stokols dalam Veitch & Arkkelin, 1995).

Kesesakan dapat terjadi karena adanya kepadatan secara fisik di lingkungan

atau biasa disebut density (Sarwono, 1992). Oleh karena itu, dapat disimpulkan

bahwa kesesakan tidak sama dengan kepadatan. Kepadatan terjadi karena

adanya jumlah objek yang berlebih pada suatu tempat, namun kesesakan bisa

dirasakan meskipun kondisi tidak padat.

Veitch & Arkkelin (1995) mendefinisikan kesesakan sebagai suatu

konsep psikologis yang menunjuk pada pengalaman subyektif terhadap

kepadatan populasi seperti jumlah ruang fisik per orang atau jumlah orang per

unit ruangan. Krahe (2005) menyatakan bahwa kesesakan mengacu pada

kepadatan ruang yang dipersepsi secara subyektif sebagai tidak menyenangkan

dan aversif.

Kesesakan (crowding) merupakan persepsi individu terhadap

keterbatasan ruang yang lebih bersifat psikis, ada evaluasi subjektif di mana

34

besarnya ruang dirasa tidak mencukupi sebagai kelanjutan dari persepsi

langsung terhadap ruang yang tersedia (Gifford, 1987 dalam Holahan, 1982).

Altman (dalam Gifford, 1987) menambahkan bahwa, kesesakan

merupakan suatu proses interpesonal pada suatu tingkatan interaksi manusia

satu dengan yang lainnya dalam suatu kelompok kecil atau pasangan.

Selanjutnya, Sarwono, (1992) menjelaskan juga bahwa kesesakan ini

merupakan salah satu persepsi individu terhadap lingkungan sekitarnya dan

berdampak munculnya stres. Rapoport (dalam Altman, 1975) menambahkan

penjelasan sebelumnya, kesesakan merupakan suatu situasi di mana individu

menghadapi interaksi dalam jumlah yang melebihi dari interaksi yang

diinginkan.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, kesesakan (crowding)

adalah keterbatasan secara psikologis yang dialami individu karena kondisi

fisik yang padat di sekitarnya. Namun kesakan sangat tergantung pada kondisi

psikologis individu, karena kesesakan dapat pula terjadi pada kondisi yang

tidak padat.

b. Teori-teori Kesesakan

Beberapa psikolog lingkungan menjabarkan beberapa teori tentang

kesesakan. Holahan (1982) menjelaskan teori-teori kesesakan dalam 3 model,

yaitu

1) Teori Stimulus Berlebih (Information Overload Theory)

Beberapa peneliti psikologi lingkungan mengemukakan bahwa ada

beberapa proses yang sama yang dilakukan oleh individu saat menghadapi

kesesakan. Individu yang berada dalam kondisi kesesakan mendapatkan

berbagai stimulus yang berasal dari lingkungan di sekitarnya, sehingga

35

memungkinkan individu untuk mengalami apa yang disebut sebagai

stimulus berlebih (Holahan, 1982).

Milgram (dalam Holahan, 1982) berpendapat bahwa stimulus

berlebih yang dialami oleh penduduk kota dapat menyebabkan

ketidakpedulian sosial dan menciptakan individu yang tidak responsif, yang

saat ini menjadi karakteristik dari masyarakat kota. Lebih jauh lagi,

Milgram mengemukakan bahwa dalam menghadapi stimulus berlebih,

masyarakat kota membentuk mekanisme adaptasi sosial. Masyarakat kota

belajar untuk meminimalisasi masuknya input sosial dengan cara membatasi

hubungan sosial dan menunjukkan sikap yang tidak bersahabat. Dengan

kata lain, mereka belajar untuk menyaring input sosial dengan cara

membatasi keterlibatan sosial. Individu akan melakukan penyaringan

terhadap stimulus atau stimulus yang berlebihan tersebut. Stimulus yang

tidak berhubungan langsung dengan kepentingannya akan diabaikan,

sedangkan stimulus yang penting dan manfaat bagi dirinya akan

dipertahankan (Bell, Greene, Fisher & Baum, 2001).

2) Teori Kendala Perilaku (Behavioral Constrain Theory)

Beberapa psikolog lingkungan mengemukakan bahwa konsekuensi

negatif dari kesesakan disebabkan oleh hambatan yang terjadi akibat

kepadatan sosial dan spasial yang mempengaruhi kebebasan seseorang.

Menurut pandangan ini, jumlah tekanan yang dialami akan mengganggu

tergantung dari pemilihan perasaan terhadap situasi tersebut. Untuk

menjelaskan proses psikologis ini, psikolog lingkungan mengemukakan

suatu model untuk membantu dalam memahami bagaimana kesesakan

36

mempengaruhi mood seseorang dan performansi mereka dalam

mengerjakan berbagai tugas.

Proshansky (dalam Holahan, 1982) berpendapat bahwa efek

psikologis dari kesesakan adalah pengalaman kebebasan memilih yang

dialami dalam siatuasi kesesakan. Mereka berpendapat bahwa kesesakan

sebagai suatu fenomena psikologi tidak secara langsung berhubungan

dengan jumlah orang. Hal yang penting untuk mengalami kesesakan adalah

perasaan bahwa orang lain menghalangi dirinya untuk mencapai suatu

tujuan tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh Schmidt dkk (dalam

Holahan, 1982) terhadap penduduk California Selatan menemukan bahwa

pandangan mengenai kebebasan memilih berhubungan secara signifikan

dengan persepsi kesesakan yang dimiliki seseorang.

Teori ini menerangkan bahwa kesesakan terjadi ketika individu

merasa kebebasan untuk berperilaku dibatasi oleh keberadaan sejumlah

individu pada suatu wilayah sehingga individu merasa terhambat untuk

melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Kondisi

tersebut akhirnya mendorong individu melakukan perlawanan terhadap

keadaan yang mengancam kebebasannya itu, yang disebut reaktansi

psikologis (psychology reactance), yaitu suatu bentuk perlawanan terhadap

kondisi yang mengancam kebebasan untuk memilih. Adapun bentuknya

adalah usaha-usaha untuk mendapatkan lagi yang hilang. Misalnya, seorang

sedang belajar dikamar, sementara di luar kamar ada sekelompok orang

yang sedang berbicara dengan suara keras, dan tidak mempunyai pilihan

tempat lain untuk belajar, maka orang itu akan merasa terganggu oleh suara

yang keras itu. Akan tetapi bila individu dapat pindah keruangan lain dan

37

meneruskan belajar, individu tidak akan merasa bahwa suara keras itu

mengganggu.

Model ini tergolong dalam konsep intervensi perilaku, yang

memandang bahwa kepadatan yang tinggi saja tidak cukup untuk

menimbulkan stres. Kesesakan akan timbul bila kepadatan yang tinggi

mengganggu perilaku individu dalam usaha pencapaian tujuan.

3) Teori Model Ekologi (Ecological Model Theory)

Micklin (dalam Holahan, 1982) mengidentifikasi bagaimana model

ekologi mempengaruhi perilaku. Pertama, teori perilaku ekologi berfokus

pada hubungan adaptif antara individu dengan lingkungannnya. Kedua, unit

analisis dalam model ekologi adalah pengaruh sosial daripada individual,

dan penekanan bahwa organisasi sosial memainkan peran penting dalam

model ini. Ketiga, konsep ekologi perilaku menekankan distribusi dan

penggunaan sumber-sumber material dan sosial. Model ekologi kesesakan

juga membantu seseorang untuk memahami pengaruh kelompok sosial dan

pengaruh kesesakan dalam proses sosial yang berlangsung dalam kelompok

besar.

Calhoun (dalam Holahan, 1982) mengemukakan bahwa individu

bisa mentoleransi kepadatan yang tinggi dalam lingkungan karena pola

organisasi sosial yang terlibat dalam menentukan ruang konseptual antar

individu. Dengan kata lain, ketentuan sosial yang telah ditetapkan dapat

membantu dalam membagi ruang sosial tanpa tindakan agresif. Holahan

(1982) mengambil kesimpulan bahwa model teori ekologi tentang

kesesakan membahas bagaimana pengaruh kesesakan terhadap organisasi

38

kelompok sosial dan pengaruh kesesakan pada proses-proses sosial pada

kelompok-kelompok yang besar.

c. Aspek-aspek Kesesakan

Stokols dan Sundstrom (dalam Gifford, 1987) menjelaskan bahwa

kesesakan memiliki tiga aspek yakni :

1) Aspek Situasional

Kondisi pada situasi terlalu banyak orang yang saling berdekatan

dalam jarak yang tidak diinginkan sehingga menyebabkan gangguan secara

fisik dan ketidaknyamanan, tujuan yang terhambat oleh kehadiran orang-

orang yang terlalu banyak, ruangan/lokasi yang menjadi semakin sempit

karena kehadiran orang baru.

2) Aspek Emosional

Menjelaskan pada perasaan yang berkaitan dengan kesesakan yang

dialami, biasanya adalah perasaan negatif pada orang lain maupun pada

situasi yang dihadapi. Perasaan positif dalam kesesakan masih mungkin

terjadi, namun perasaan ini hanya terjadi jika individu berhasil menangani

rasa sesak dengan strategi penanggulangan masalah yang digunakan.

3) Aspek Perilaku

Kesesakan menimbulkan respon yang jelas hingga samar seperti

mengeluh, menghentikan kegiatan dan menjauhi situasi, tetap bertahan

namun berusaha mengurangi rasa sesak yang timbul, menghindari kontak

mata, beradaptasi hingga menarik diri dari interaksi sosial.

39

d. Faktor-faktor Penyebab Kesesakan (crowding)

Gifford (1987) menjelaskan 3 faktor yang menyebabkan kesesakan,

yaitu faktor personal, sosial, dan faktor lingkungan. Berikut ini penjelasan

faktor-faktor kesesakan tersebut

1) Faktor Personal

Faktor yang berasal dari diri individu dapat berpengaruh besar

terhadap perasaan sesak (crowding), hal ini terjadi karena kesesakan

merupakan suatu pandangan subjektif yang akan berbeda-beda pada setiap

individu. Fator-faktor personal ini terdiri dari :

a) Kontrol Pribadi (Locus Of Control)

Individu dapat menggunakan kontrol perilakunya, sesuai dengan

teori hambatan perilaku yang sudah dijelaskan sebelumnya. Apabila

kontrol pribadi sudah tidak dapat digunakan, maka kesesakan akan

muncul sebagai akibatnya. Kontrol diri dilakukan individu untuk

mnghindari stimulus yang ada sehingga terlepas dari perasaan sesak

(crowding).

Individu dengan locus of control internal, percaya bahwa

keadaan yang akan terjadi pada dirinya akan mempengaruhi

kehidupannya. Lebih dimungkinkan individu seperti ini mampu

mengendalikan kesesakan daripada individu dengan locus of control

eksternal (Gifford, 1987).

b) Budaya, Pengalaman dan Proses adaptasi

Budaya akan berpengaruh terhadap perilaku individu.

Dibeberapa tempat dengan budaya yang berbeda akan menunjukkan

perilaku individu yang berbeda terhadap suatu hal. Nasar dan Min

40

dalam Gifford (1987) membandingkan persepsi kesesakan antara orang

Asia dan Mediterania yang tinggal di Asrama di Amerika, hasilnya

adalah orang Mediterania merasa lebih sesak daripada orang asia,

demikian cukup membuktikan bahwa latar belakan budaya dapat

menyebabkan perbedaan persepsi kesesakan (crowding).

Pengalaman sebelumnya dapat juga mempengaruhi perasaan

sesak. Sundstrom (dalam Gifford, 1987) menjelaskan bahwa

pengalaman individu pada kondisi padat yang dapat menyebabkan

kesesakan dapat mempengaruhi tingkat toleransi individu terhadap stres

yang dialami akibat kesesakan tersebut. Tingkat toleransi ini dapat

berguna apabila berada pada kondisi yang baru.

Semakin sering individu mengalami kepadatan sehingga

merasakan kesesakan (crowding), akan semakin ada pembiasaan yang

kemudian membuat individu semakin menganggap kepadatan tersebut

tidak menyebabkan kesesakan. Fisher, dkk, (1978) menambahkan

bahwa apabila individu semakin sering dan konstan mengalami stimulus

yang muncul, akan membentuk pembiasaan secara psikologis (adaptasi)

dan fisik (habituasi) yang akan melemahkan efek dari stimulus tersebut.

c) Jenis Kelamin dan Usia

Dalam beberapa penelitian, pria yang mengalami kesesakan akan

lebih terlihat daripada wanita, karena pria akan lebih reaktif dengan

kesesakan tersebut. Respon yang muncul atara lain perilaku agresif,

kompetitif dan perilaku negatif lainnya (Altman, 1975 dan Holahan,

1982). Holahan, (1982) menambahkan bahwa perilaku reaktif

41

ditunjukkan pada individu dengan usia muda lebih banyak diabanding

usia tua.

2) Faktor Sosial

Pengaruh personal terhadap kesesakan akan semakin mudah terjadi

apabila ada pengaruh juga dari pengaruh orang lain, atau keadaan

lingkungannya. Faktor-faktor sosial adalah sebagai berikut :

a) Kehadiran dan perilaku orang lain

Kehadiran orang lain akan membuat individu merasakan sesak

apabila hadirnya orang lain tersebut dianggap mengganggu individu.

Schiffenbauer (dalam Gifford, 1987) menyatakan bahwa penghuni

asrama merasa sesak apabila ada banyak kunjungan dari penghuni

asrama lain. penghuni yang menerima banyak kunjungan juga merasa

tidak nyaman terhadap ruangan, teman sekamar dan proses elajar

mereka.

b) Formasi Koalisi

Berawal dari anggapan bahwa kepadatan sosial dapat

meningkatkan kesesakan (crowding). Gifford, (1987) mengemukakan

dalam penelitiannya bahwa bertambahnya teman sekamar akan memicu

kesesakan, karena akan terjadi koalisi atara suatu pihak dan kemudian

menyebabkan pihak lain merasa terisolasi.

c) Kualitas Hubungan

Kesamaan tujuan dan kepentingan atau pandangan yang sama

antara beberapa individu akan mengurang perasaan sesak. Seberapa baik

individu dapat bergaul dengan orang lain akan mempengaruhi perasaan

42

sesak individu dalam suatu lingkungan (Schaffer & Patterson dalam

Gifford, 1987).

3) Faktor Lingkungan

a) Informasi yang Tersedia

Kesesakan juga dipengaruhi oleh bentuk dan jumlah informasi

yang muncul sebelum mengalami kepadatan. Menurut Fisher & Baum

dalam Gifford, 1987, individu yang tidak mempunyai informasi

sebelumnya akan merasa lebih sesak dibandingkan dengan individu

yang sudah mempunyai informasi sebelumnya.

b) Faktor Fisik

Faktor fisik merupakan kondisi atau penampakan yang ada pada

lingkungan sekitar individu yang dapat menimbulkan efek kesesakan

(crowding). Dalam banyak penelitian menjelaskan faktor ini sangat

berpengaruh terhadap perasaan sesak. Dalam penelitian Lawrencen dan

Kathryn Andrews, (2004) menunjukkan bahwa kondisi ruangan penjara

menimbulkan perasaan sesak, karena ukuran ruangan dan penghuni

dalam penjara tersebut.

Schiffenbauer dalam Gifford, (1987) menambahkan bahwa

penghuni asrama pada lantai atas lebih sedikit merasakan efek sesak

karena keberadaan orang lain yang lebih sedikit disbanding lantai

bawah. Yudha dan Christine, (2005) menambahkan bahwa ada

hubungan atara kondisi pemukiman yang kumuh dan sesak dengan

intensi perilaku agresif. Jadi faktor lingkungan secara fisik seperti,

bentuk ruangan, ukuran ruangan, lebar wilayah, jumlah lantai, jumlah

43

ruangan, tinggi atap, dan sebagainya mendukung munculnya efek sesak

(crowding) pada individu.

e. Pengaruh Kesesakan terhadap Perilaku

Lingkunan dapat berpengaruh dengan perilaku. Kepadatan yang terjadi

pada lingkungan akan membuat individu di dalamnya merasakan kesesakan

(crowding) dan kemudian akan mempengaruhi perilaku individu. Pengaruh

negaif dapat terlihat melalui penurunan-penurunan psikologis, fisiologis dan

hubungan sosial antar individu. Penurunan psikologis antara lain,

ketidaknyamanan, stress, kecemasan, performa kerja yang tidak baik,

agresivitas meningkat bahkan gangguan mental serius. Menurut Holahan,

(1982), kesesakan dapat mempengarui perilaku sosial seperti meningkatnya

kenakalan remaja, menurunnya perilaku gotong royong dan saling membantu,

penarikan diri dari lingkungan, timbulnya perilaku tidak peduli, dan hubungan

sosial semakin berkurang.

John Howard Society of Alberta (1996) menyebutkan bahwa kesesakan

akan mengakibatkan kompetisi untuk memperebutkan sumber daya, agresivitas,

tingginya resiko sakit, dan juga tingginya resiko bunuh diri. Penelitian ini

dilakukan di dalam penjara yang sebagian besar residivisnya mengalami tingkat

kesesakan yang tinggi. Hasil penelitian di atas didukung dengan pendapat Cox

& Paulus yang menyebutkan bahwa dengan bertambahnya jumlah tahanan yang

ada di penjara, maka akan semakin tinggi pula masalah disiplin, resiko

kematian, dan angka bunuh diri yang terjadi (dalam Baron & Byrne, 1991).

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa kesesakan dipandang

sebagai penyebab sikap agresif. Analisis biokimia yang dilakukan oleh

Schaeffer pada kondisi kesesakan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

44

produksi hormon adrenalin, yang akan memicu perilaku negatif (dalam Baron

& Byrne, 1991). Kebutuhan akan teritori juga akan mengakibatkan perasaan

agresif yang disebabkan karena dorongan instingtif dan kecenderungan untuk

menyerang seseorang yang dipandang sebagai penyebab kesesakan. Agresi

dapat terjadi karena naiknya kadar adrenalin yang berlebihan, meningkatnya

reaksi terhadap stimulus eksternal, dan timbulnya sifat neurotis dan kecurigaan.

Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa kesesakan dapat dipandang sebagai

penyebab tidak langsung munculnya kekerasan.

3. Jalan Raya

Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapan yang diperuntukkan bagi lalu

lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, dibawah

permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api,

jalan lori, dan jalan kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006).

Jalan raya adalah jalur - jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat

oleh manusia dengan bentuk, ukuran - ukuran dan jenis konstruksinya sehingga

dapat digunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan dan kendaraan yang

mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat

(Oglesby, Clarkson H., 1999).

Jalan raya sebagai sarana transportasi darat yang membentuk jaringan

transportasi untuk menghubungkan daerah-daerah akan mempengaruhi kondisi

perekonomian dan pembangunan suatu daerah. Seiring dengan bertambahnya

kepemilikan kendaraan menyebabkan meningkatnya volume lalu lintas, sementara

kapasitas jalan tetap. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kemacetan lalu lintas.

45

4. Kesimpulan

Kesesakan di jalan raya merupakan keterbatasan secara psikologis individu

terhadap jalan yang dilaluinya, disebabkan karena kuantitas kendaraan yang sedang

menggunakan jalan, ukuran jalan dan juga adanya sarana-sarana pelengkap lain di

sekitarnya. Hal ini bisa mengakibatkan stres dan perubahan prilaku pada individu.

Persepsi terhadap kesesakan merupakan kondisi dimana individu

melakukan penilaian dan memproses stimulus yang ada di sekitarnya yang berupa

benda atau individu lain dan menganggap hal tersebut sebagai kesesakan karena

kuantitasnya yang padat. Seperti penjelasan Walgito, (2001) persepsi kesesakan ini

merupakan bentuk persepsi terhadap benda dan orang lain di sekitarnya. Perasaan

ini dapat dirasakan oleh setiap individu dengan tingkat yang berbeda. Hal ini

disebabkan karena kemampuan individu dalam mengolah semua stimulus di

lingkungan sekitar individu serta intensitas individu dalam mengalami stimulus

yang ada. Individu yang lebih sering dan konstan merasakan stimulus kesesakan

(crowding), akan semakin kecil juga individu tersebut merasakan kesesakan

dibandingkan dengan individu yang jarang menerima stimulus tersebut.

Persepsi kesesakan (crowding) di jalan raya merupakan penilaian subjektif

individu terhadap perasaan keterbatasan psikologis yang dialami karena kondisi

jalan. Hal ini dipengaruhi beberapa hal seperti jumlah kendaraan yang ada di jalan

raya, ukuran jalan, dan benda fisik pelengkap di sekitar jalan. Setiap individu akan

mempersepsikan semua stimulus yang ada, dan kemungkinan akan menghasilkan

persepsi yang berbeda antara satu dengan yang lain.

46

D. Dinamika hubungan antara persepsi kesesakan (crowding) di jalan raya

dangan aggressive driving pada remaja

Agresif merupakan suatu tindakan untuk menyakiti atau bermaksud

menyakiti pihak lain. Salah satu penjelasan terhadap timbulnya perilaku agresif

adalah frustasi. Perilaku agresif merupakan akibat dari frustasi yang terjadi oleh

setiap individu. Fustrasi ini akan muncul apabila tujuan individu terhambat.

Sehingga perilaku agresif muncul sebagai respon dari frustrasi tersebut Dollard,

dkk. & Miller dalam (dalam Baumeister & Bushman, 2008).

Aggressive driving merupakan salah satu bentuk perilaku agresif yang

dilakukan oleh pengemudi pada saat mengoperasikan kendaraannya terhadap

pengguna jalan lain. Menurut beberapa sumber yang telah diuraikan di atas,

aggressive driving dapat didukung oleh beberapa faktor yang hampir sama dengan

perilaku agresif secara umum. Beberapa hal yang mempengaruhi aggressive

driving pada penelitian ini adalah faktor personal, sosial, dan lingkungan. Faktor

lingkungan menjadi fokus dalam penelitian ini sebagai pemicu munculnya

aggressive driving. Kondisi lingkungan akan mempengaruhi perilaku individu

termasuk salah satunya aggressive driving.

Faktor Lingkungan sangat berperan dalam pembentukan perilaku individu.

Kondisi lingkungan yang padat akan menimbulkan perasaan sesak (crowding).

Menurut beberapa sumber yang sudah dijelaskan di atas, kesesakan merupakan

perasaan individu terhadap lingkungan sekitarnya disebabkan padatnya benda fisik

yang ada. Hal ini bisa mengakibatkan stres dan perubahan prilaku pada individu.

Individu dapat mempersepsikan kesesakan (crowding) secara berbeda-beda.

Persepsi individu terhadap kesesakan dapat dipengaruhi oleh bentuk, jumlah, dan

47

lokasi terjadinya stimulus. Selain itu proses adaptasi dan pengalaman akan

mempengaruhi pula persepsi kesesakan (crowding) oleh masing-masing individu.

Persepsi kesesakan berpengaruh terhadap respon reaktif individu, salah

satunya adalah agresivitas meningkat. Beberapa ahli menjelaskan bahwa kesesakan

bisa menimbulkan agresivitas. Holahan (1982) mengemukakan bahwa kesesakan

dapat mempengarui perilaku sosial seperti meningkatnya kenakalan remaja,

menurunnya perilaku gotong royong dan saling membantu, penarikan diri dari

lingkungan, timbulnya perilaku tidak peduli dan hubungan sosial semakin

berkurang.

Kesesakan pada saat berada di dalam penjara juga meningkatkan agresivitas

para napinya, karena brntuk fisik ruangan penjaranya dan jumlah orang di

dalamnya (Lawrencen & Andrews, 2004). Ditambahkan lagi oleh Macintyre &

Homel, (2004), bahwa perilaku agresif muncul disebabkan salah satunya oleh

crowding, dalam penelitiannya kesesakan di nightclub dapat meningkatkan perilaku

agresif pengunjung, selain karena efek mabuk alkohol.

Informasi yang telah tersedia, seharusnya dapat mereduksi persepsi

kesesakan, karena individu sudah memperkirakan dan mempunyai pengalan dan

dapat mempersiapkan dirinya. Namun dalam penelitian Jonson & McKnight,

(2009) melihat bahwa dengan adanya peringatan kemacetan, ternyata tidak

mempengarui atau mengurai tingkat stres pada pengemudi yang nantinya akan

mengalami kemacetan tersebut. Dengan demikian, persespi kesesakan dalam

kemacetan di jalan akan dirasakan berbeda oleh setiap individu.

Faktor personal dan usia dapat juga mempengaruhi perilaku aggressive

driving ini. Parry dalam Tasca, (2000) menjelaskan bahwa sebagian besar perilaku

aggressive driving dilakukan oleh pengguna kendaraan pada usia muda. Morton,

48

Lerner & Shinger, (2005) menambahkan pengemudi remaja pria lebih cenderung

melakukan perilaku mengendara beresiko dan kurang berhati-hati seperti dengan

selalu menggunakan kecepatan tinggi pada saat mengemudi.

Paleti, dkk (2010) dalam penelitiannya menjelaskankan juga bahwa

pengemudi usia muda lebih banyak melakukan perilaku agresif pada saat

mengemudi, karena kondisi mereka yang masih labil seperti tidak mengenakan

sabuk pengaman, mengemudi setelah mengkonsumsi alkohol.

Muhaz, (2013) menambahkan dalam penelitiannya bahwa individu yang

sudah mengalami kematangan emosi, akan menunjukkan perliaku aggressive

driving yang cenderung rendah juga. Hal ini dapat terjadi karena sistem kontrol diri

dari individu dengan usia muda masih belum matang. Santrock, (2007)

menjelaskan juga bahwa masa remaja adalah masa guncangan, dimana akan mudah

sekali perilaku remaja dipengarugi oleh sesuatu, dalam hal ini hal yang kurang

menyenangkan direspon dengan perilaku agresif.

Penulis mencoba melihat hubungan yang terjadi antara persepsi kesesakan

di jalan raya dengan aggressive driving yang muncul. Dinamika hubungan antara

kesesakan dan aggressive driving tidak terjadi secara langsung. Berawal dari

kondisi linkungan jalan yang padat menjadi menjadi pemicu terjadinya aggressive

driving. Holahan (1982) mengemukakan bahwa kepadatan merupakan salah satu

syarat terjadinya kesesakan. Kepadatan yang tinggi akan menimbulkan kesesakan

(crowding). Selanjutnya, Holahan menambahkan bahwa kesesakan berpengaruh

negatif terhadap psikologis individu, antaranya adalah ketidaknyamanan, stres, dan

juga agresivitas. Oleh karena itu, kondisi lingkungan jalan yang padat, akan

menimbulkan perasaan sesak pada pengemudi, kemudian akan mempengaruhi

tingkat stres dan memunculkan aggressive driving.

49

Mendukung pernyataan tersebut, Hennessy & Wiesenthal (2000)

menjelaskan, kondisi lingkungan jalan raya yang padat akan mempengaruhi tingkat

stres individu, selanjutnya akan memungkinkan terjadinya perilaku agresif pada

saat mengendara. Hennessy & Wiesnthal, (1999) melakukan penelitian sebelumnya

kepada para sopir dengan metode wawancara dengan handphone pada saat mereka

mengemudi pada kondisi jalan dengan kemacetan tinggi dan rendah, hasilnya

menunjukkan bahwa 2 kategori yang diteliti yaitu perilaku agresif pada saat

mengemudi dan tingkat stress meningkat pada saat kondisi jalan mengalami

kemacetan yang tinggi.

Shinar & Compton, (2004) menambahkan, dalam penelitian yang

dilakukannya, terliahat bahwa aggressive driving muncul lebih banyak pada jam-

jam padat lalu lintas dibandingkan waktu biasa. Dengan semakin padatnya kondisi

jalan, akan meningkatkan pula terjadinya perilaku aggressive driving. Kesesakan

(crowding) akan menyebabkan peningkatan stress sehingga pada akhirnya

memunculkan aggressive driving. Parkash & Kansal, (2007) menambahkan

perilaku agresif ketika mengemudi merupakan respon dari kepadatan yang ada di

jalan. Kondisi jalan yang padat dan lambat memicu parilaku agresif pengemudi.

Shinar, (1998) menjelaskan dalam penelitian sebelumnya bahwa, perilaku

agresif pada saat mengemudi ini memang sesuai dengan teori frustasi agresi, yaitu

karena pengemudi merasa frustasi dengan keadaan jalan, maka munculah perilaku

agresif untuk melanggar hak-hak orang lain misalnya perilaku menerobos lampu

merah atau dengan melakukan penyerangan kepada pengemudi lain seperti dengan

mengeluarkan kata-kata menantang (mengutuk) objek frustrasinya.

Tasca (2000) menjelaskan bahwa jenis kelamin dapat menjadi factor

pembentuk aggressive driving. Sehingga akan terdapat perbedaan intensitas

50

perilaku aggressive driving antara laki-laki dan perempuan. Constantinou, dkk

(2011) menjelaskan pula dalam penelitiannya bahwa jenis kelamin juga

mempengaruhi munculnya aggressive driving.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, aggressive driving

dapat dipengaruhi oleh lingkungan, khususnya kondisi jalan raya. Jalan raya yang

padat akan dipersepsikan masing-masing individu secara berbeda-beda. Persepsi

individu terhadap kesesakan (crowding) pada saat terjadi kemacetan di jalan raya,

akan menetukan tinggi atau rendahnya perilaku aggressive driving yang muncul.

E. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah : terdapat hubungan antara persepsi

kesesakan dan jenis kelamin terhadap aggressive driving. Jenis kelamin sebagai

moderator antara variabel persepsi kesesakan dan aggressive driving.