bab ii tinjauan pustaka 2.1.1 pembuluh darah
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembuluh Darah dan Aterosklerosis
2.1.1 Pembuluh darah
Pembuluh darah merupakan bagian dari system kardiovaskuler yang meliputi
arteri, vena dan kapiler. Arteri adalah pembuluh darah yang meninggalkan
jantung dan umumnya membawa darah yang kaya oksigen kecuali yang menuju
paru-paru sebaliknya vena adalah pembuluh yang menuju jantung dan umumnya
membawa darah yang kaya karbondioksida. Kapiler merupakan pertemuan
keduanya dan tempat terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida (Price,
2002).
Arteri yang keluar dari jantung disebut aorta yang merupakan arteri paling
besar kemudian bercabang menjadi arteri dan bercabang lagi menjadi yang lebih
kecil yang dikenal dengan arteriol. Kapiler merupakan akhir dari arteriol dan
awal dari venula yaitu vena kecil-kecil yang kemudian menuangkan darah ke vena
yang lebih besar dan dilanjutkan ke vena cava yang akan berakhir di jantung
(Price, 2002).
Dinding pembuluh darah terdiri dari terdiri dari 3 (tiga) lapisan, dari luar ke
dalam yaitu: tunika adventisia, tunika media dan tunika intima. Tunika
adventisia memberikan kekuatan utama pada pembuluh darah dan terdiri atas
berkas fibril kolagen, serabut elastis, fibroblast dan beberapa sel otot polos.
Tunika media terdiri dari sel-sel otot polos, jaringan elastin, proteoglikan,
glikoprotein dan jaringan kolagen. Tunika intima terdiri dari selapis sel endotel
12
yang bersentuhan langsung dengan darah yang mengalir dalam lumen, dan selapis
jaringan elastin yang berpori-pori yang disebut membran basalis. Dinding
pembuluh darah arteri lebih tebal dibandingkan dengan vena walaupun keduanya
memiliki tiga lapisan tersebut sementara dinding kapiler hanya terdiri dari satu
lapis yaitu sel endotel (Price, 2002).
Sel endotel dulu dianggap sebagai sel inert yang memungkinkan pergerakan
zat ke dalam dan keluar dinding sel. Pengertian terbaru adalah bahwa sel endotel
agak dinamis dan memiliki berbagai fungsi dan fungsi sel endotel akan berubah
bila terjadi cedera endotel (Price, 2002).
2.1.2 Aterosklerosis
Arteriosklerosis meliputi setiap keadaan pembuluh arteri yang mengakibatkan
penebalan atau pengerasan dindingnya. Bila keadaan tersebut melibatkan arteri
yang lebih besar seperti aorta, cabang-cabangnya yang besar dan arteri berukuran
sedang seperti yang menyuplai untuk daerah ekstremitas, otak, jantung dan organ
utama dikenal dengan aterosklerosis. Lesi unit atau ateroma (bercak
aterosklerosis) terdiri dari masa bahan lemak dengan jaringan ikat fibrous
(McPhee dan Ganong, 2006; Omoigui, 2007). Pemikiran bahwa adanya
hubungan antara metabolisme lemak dan aterosklerosis dominan berlaku sampai
tahun 1980an. Lima belas tahun selanjutnya berkembang pemahaman tentang
adanya peranan inflamasi dalam patogenesis aterosklerosis. Aterosklerosis
merupakan penyakit yang dimediasi peradangan karena adanya interaksi yang
kompleks antara leukosit, trombosit dan sel-sel dari dinding pembuluh darah
(Omoigui, 2007).
13
Aterosklerosis dipandang sebagai penyakit sistemik dimana inflamasi ringan
pada arteri dapat berkembang menjadi lebih berat (Dessi, et al., 2013). Salah satu
teori terjadinya aterosklerosis adalah hipotesis respon terhadap cedera, dengan
beberapa bentuk cedera tunika intima yang mengawali inflamasi kronis dinding
arteri dan menyebabkan timbulnya ateroma (Price, 2002). Dalam kehidupan
sehari-hari, dinding pembuluh darah terpapar bermacam iritan yang dapat
mengakibatkan cedera diantaranya faktor-faktor hemodinamik seperti hipertensi
dan hiperkolesterolemia ( LDL teroksidasi).
LDL
LDL teroksidasi
Bercak lemak
Plak Halus
Trombosis dan sindrom koroner akut
Ruptur plak
Disfungsi
endotel
Inflamasi
Gambar 2.1
Peranan LDL dalam aterosklerosis
( sumber Rackley dalam Price, 2002)
14
Hipotesis respon terhadap cedera memperkirakan bahwa langkah awal dari
aterogenesis adalah cedera yang kemudian menyebabkan disfungsi endotel
dengan meningkatkan permeabilitas terhadap monosit dan lipid darah.
Hiperkolesterolemia akan diikuti oleh peningkatan produksi radikal bebas
oksigen yang mengakibatkan terganggunya fungsi endotel. Radikal bebas
menonaktikan oksida nitrat yang merupakan faktor endothelial relaxing yang
utama, sehingga aterosklerosis ada keterkaitan dengan defisiensi pelepasan oksida
nitrat (NO) dan gangguan vasodilatasi. Dalam hal ini LDL teroksidasi berperan
menghambat produksi NO (McPhee dan Ganong, 2006). Terhambatnya produksi
NO ini berhubungan dengan penurunan ketersediaan asam amino L-arginin akibat
LDL teroksidasi (Wang, et al., 2011).
Gangguan pembentukan NO akan mengganggu tonus, struktur pembuluh
darah, dan menyebabkan terjadinya aterosklerosis. Disfungsi endotel ditandai
dengan penurunan bioavaibilitas dari produksi Nitric Oxide Synthase (NOS). NO
terbentuk dari asam amino arginin melalui Nitric Oxide Synthase (NOS). Ada
tiga bentuk NOS; neuronal NOS (nNOS atau NOS1), endothelial NOS (eNOS
atau NOS2), dan inducible NOS (iNOS atau NOS3). Dengan adanya disfungsi
endotel akan menyebabkan peningkatan vasokonstritor dan atau panurunan
vasodilatasi.
Apabila terjadi hiperkolesterolemia kronis, lipoprotein tertimbun dalam
lapisan intima di tempat meningkatnya permeabilitas endotel. Pemajanan
terhadap radikal bebas dalam sel endotel dinding arteri menyebabkan terjadinya
oksidasi LDL, yang berperan dan mempercepat terjadinya plak ateromatosa.
Hiperkolesterolemia memacu adhesi monosit, migrasi sel otot polos sub endotel,
15
dan penimbunan lipid dalam makrofag dan sel-sel otot polos. Apabila terpajan
dengan LDL yang teroksidasi, makrofag menjadi sel busa (foam cell), yang
beragregasi dalam lapisan intima, yang terlihat secara makroskopis sebagai bercak
lemak (fatty streak) (Price, 2002; McPhee dan Ganong, 2006).
Menurut Anwar (2004), faktor yang bertanggung jawab atas penumpukan
lipid pada dinding pembuluh darah adalah:
1. Adanya defek pada fungsi reseptor LDL di membran sel
2. Gangguan transport lipoprotein transeluler (endositotoktik)
3. Gangguan oleh lisosom lipoprotein
4. Perubahan permeabilitas endotel
Tahap awal yang penting pada aterogenesis adalah adanya partikel LDL yang ada
dalam sirkulasi terjebak di dalam intima. LDL ini mengalami oksidasi atau
perubahan lain dan kemudian dipindahkan oleh reseptor "Scavenger" khusus pada
makrofag.
Sel T sistem imun serta makrofag akan tertarik ke dalam lesi aterosklerotik
seiring dengan semakin bertambahnya usia lesi. Secara keseluruhan, lesi tersebut
telah terbukti memiliki banyak karakteristik infeksi ringan. Sel otot polos dan sel
endotel juga menghasilkan faktor pertumbuhan dan sitokin yang terlibat dalam
migrasi dan proliferasi sel, dan terdapat bukti adanya shear stress response
elements di DNA yang mengapit gen-gen relevan di sel endotel (McPhee dan
Ganong, 2006).
16
2.2 Kolesterol
Kolesterol adalah lipid amfipatik dan merupakan komponen struktural
esensial pada membran dan lapisan luar lipoprotein plasma. Senyawa ini disintesis
di banyak jaringan dari asetil-KoA dan merupakan precursor asam empedu dan
hormon steroid di dalam tubuh (NCEP, 2002 ; Botham dan Mayes, 2006).
Transpor kolesterol dalam darah terjadi dalam bentuk lipoprotein yaitu
partikel yang mengandung lipid dan protein. Tiga kelas utama lipoprotein yang
ditemukan dalam serum adalah low density lipoproteins (LDL), high density
lipoproteins (HDL), dan very low density lipoproteins (VLDL) (NCEP, 2002).
Lipoprotein berdensitas rendah (LDL) plasma adalah kendaraan untuk membawa
kolesterol dan ester kolesterol ke jaringan. Lipoprotein berdensitas tinggi (HDL)
mengambil kolesterol dari sel perifer dan memindahkannya ke hati tempat zat ini
dieliminasi (McPhee dan Ganong, 2006).
Kolesterol LDL merupakan bagian paling besar dalam kolesterol serum total
yaitu sebanyak 60-70 % dan memiliki satu apolipoprotein yaitu apo B-100 (apo
B). LDL adalah lipoprotein yang berperanan besar dalam proses terjadinya
aterosklerosis sehingga telah menjadi target utama dalam upaya penurunan
kolesterol. HDL yang terkandung dalam kolesterol serum total adalah sebanyak
20-30 %. Apolipoprotein yang utama dalam HDL apo A-I and apo A-II. Kadar
kolesterol HDL berhubungan terbalik dengan risiko penyakit jantung kororner
dan menjaga pembuluh darah dari proses aterosklerosis. VLDL adalah lipoprotein
yang kaya akan trigliserida dan terkandung sebanyak 10-15 % dari kolesterol
serum total. Apolipoprotein utama dalam VLDL adalah apo B-100, apo Cs (C-
17
I, C-II, and C-III), and apo E. VLDL diproduksi di hati dan merupakan precursor
dari LDL (NCEP, 2002).
2.3 Hiperkolesterolemia
2.3.1 Hiperkolesterolemia pada manusia
Hiperkolesterolemia menyatakan adanya peningkatan kadar kolesterol dan
atau trigliserida serum di atas batas normal (Prince, 2002). Kadar kolesterol
serum normal adalah di bawah 200 mg /dl, sedangkan kadar 200-239 mg/dl
perbatasan yang mengarah tinggi (borderline high), lebih atau sama dengan 240
mg/dl dikategorikan tinggi. Salah satu konsekuensi hiperkolesterolemia adalah
terjadinya peningkatan kadar LDL yang merupakan faktor predisposisi terjadinya
ateroma. Kadar optimal LDL serum adalah di bawah 100 mg/dl, mendekati
optimal 100-129 mg/dl, 130-159 mg/dl perbatasan, 160-189 mg/dl tinggi dan
lebih besar atau sama dengan 160 mg / dl kategori sangat tinggi (NCEP, 2002).
Peningkatan kolesterol serum berhubungan dengan peningkatan maturitas
dan keparahan aterosklerosis. Aterogenesis telah terjadi ketika kadar LDL serum
mencapai perbatasan (130-159 mg/dl) dan bertambah cepat bila kadarnya tinggi
(160-189 mg/dl) dan kadar sangat tinggi (≥190 mg/dl) (NCEP, 2002). Jumlah
reseptor LDL dan oksidasi LDL berperan penting dalam aterogenesis.
2.3.2 Hiperkolesterolemia pada tikus
Hiperkolesterolemia pada hewan terjadi jika kadar kolesterol total dalam
darah melebihi normal. Tikus memiliki kadar kolesterol total normal dengan nilai
10-54mg/dl (Harini, 2009). Hiperkolesterolemia juga disertai penurunan kadar
18
HDL dalam darah sehingga dikenal dengan dislipidemia. Kadar kolesterol HDL
plasma darah tikus yang normal yaitu ≥35 mg/dL (Schaerfer, et al. dalam
Hartoyo, dkk., 2008), ambang batas normal LDL pada tikus adalah 7-27,2 mg/dl.
Binatang tidak mengalami perkembangan yang mengarah kepada aterosklerosis
bila memiliki kadar LDL kolesterol serum dibawah 80 mg/dl (NCEP, 2002).
2.4 Oksidasi Lipid
Radikal bebas (Bahasa Latin: radicalis) adalah molekul yang mempunyai
sekelompok atom dengan elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas adalah
bentuk radikal yang sangat reaktif dan mempunyai waktu paruh yang sangat
pendek. Jika radikal bebas tidak diinaktivasi, reaktivitasnya dapat merusak
seluruh tipe makromolekul seluler, termasuk karbohidrat, protein, lipid dan asam
nukleat. Radikal bebas yang telah dikenal diantaranya adalah Reactive Oxygen
Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS).
Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan anion superoksida dibentuk oleh
pengurangan univalen triplet molekul oksigen (3O2). Proses ini dimediasi oleh
enzim seperti NAD (P) H oksidase dan xantin oksidase atau non enzimatik oleh
senyawa reaksi redoks seperti senyawa semi-ubiquinone dari rantai transpor
elektron mitokondria. SODs mengkonversi superoksida menjadi hidrogen
peroksida. Dalam jaringan biologis superoksida juga dapat dikonversi secara
nonenzimatik menjadi non radikal spesies hidrogen peroksida dan oksigen singlet.
Pada keadaan berkurangnya transisi ion logam dalam tubuh (misalnya, ion besi
atau tembaga), hidrogen peroksida dapat dikonversi ke dalam radikal hidroksil
19
yang sangat reaktif (OH •). Atau, hidrogen peroksida dapat diubah menjadi air
dengan enzim katalase atau glutation peroksidase (Valko, et al., 2007).
NO radikal (NO •) diproduksi dalam organisme melalui oksidasi satu atom
nitrogen guanido-terminal dari L-arginin. Proses ini dikatalisis oleh enzim NOS.
Tergantung pada lingkungan mikro, NO dapat dikonversi ke berbagai macam
spesies nitrogen reaktif (RNS) seperti nitrosonium kation (NO +), nitroxyl anion
(NO-) atau peroxynitrite (ONOO-). Beberapa efek fisiologis dapat dimediasi
melalui formasi intermediat dari S-nitroso-sistein atau S-nitroso-glutathione.
Radikal bebas, reaktif oksigen dan nitrogen spesies, ROS / RNS, memainkan
peran pedang bermata dua karena di satu sisi memiliki fungsi fisiologis penting
untuk melindungi host dari senyawa asing dan untuk mempertahankan
homeostasis sementara di sisi lain berperan penting dalam patogenesis berbagai
gangguan dan penyakit. Salah satu contoh tersebut adalah oksidasi low density
lipoprotein (LDL) dan aterosklerosis (Niki, 2011).
Low-density lipoprotein (LDL) penting untuk fungsi sel, tetapi dalam
konsentrasi tinggi, dapat menyebabkan pembentukan ateroma. Serangan ROS
terhadap LDL akan menyebabkan terjadinya oksidasi LDL (ox-LDL) yang lebih
penting dalam asal-usul dan perkembangan aterosklerosis dibandingkan LDL-
kolesterol. Ox-LDL menyebabkan disfungsi endotel, langkah awal dalam
pembentukan ateroma. Ox-LDL mengikat sejumlah reseptor scavenger (SR),
seperti SR-A1, SR-A2, dan reseptor lektin LDL teroksidasi (LOX-1). Ox-LDL
dapat meningkatkan ekspresi reseptor LOX-1 pada sel endotel dan mengaktifkan
sel-sel ini. Selain itu, ox-LDL mengakibatkan pertumbuhan dan migrasi sel otot
polos, monosit / makrofag dan fibroblas. Ox-LDL juga mengarah ke generasi
20
spesies oksigen reaktif yang secara fisiologis melawan agen berbahaya yang
masuk ke dalam tubuh, tetapi bila berlebihan, dapat menyebabkan keadaan stres
oksidatif dan membahayakan tubuh (Mitra, 2011).
Stres oksidatif terjadi pada saat adanya ketidak seimbangan yang diakibatkan
oleh peningkatan oksidan dan penurunan antioksidan (Boveris, et al., 2008;
Repetto, et al., 2012). Beberapa senyawa organik yang umumnya menyebabkan
stres oksidatif, dihasilkan oleh reaksi oksidasi berbagai jenis polyunsaturated fatty
acid (PUFA) dalam LDL. Oksidasi LDL akan merangsang makrofag untuk
menginduksi pembentukan sel busa dan respon inflamasi. Meskipun aspek
patologis Ox-LDL telah dipelajari dengan baik, pembentukan, distribusi, dan
nasib keseluruhan Ox-LDL in vivo tetap tidak jelas (Itabe, et al., 2011). Respon
inflamasi yang dirangsang oleh makrofag meliputi sitokin proinflamasi, seperti
TNF - α , interleukin ( IL ) -1β , IL - 12 , dan IL - 6, dan merupakan sumber utama
dari ROS pada lesi aterosklerotik (Tavakoli and Asmis, 2012).
2.5 Interleukin-6
Interleukin-6 termasuk dalam golongan sitokin, berfungsi dalam imunitas
nonspesifik dan spesifik, diproduksi oleh fagosit mononuklear, sel endotel
vaskuler, fibroblas dan sel lain sebagai respon terhadap mikroba dan sitokin lain
(Baratawidjaya dan Renggganis, 2014). IL-6 memainkan peran penting dalam
sejumlah proses tubuh termasuk respon fase akut, peradangan kronis,
autoimunitas, disfungsi sel endotel dan fibrogenesis. Ekspresi IL-6 dipengaruhi
beberapa faktor termasuk hormon steroid. IL-6 mentransmisikan sinyal biologis
melalui dua protein pada sel. Pertama adalah IL - 6 reseptor (IL - 6R) merupakan
21
sebuah molekul yang mengikat IL - 6 spesifik dengan berat molekul sekitar 80
kD dan yang kedua adalah ikatan protein membran gp130 yang memiliki berat
molekul sekitar 130 kD dan terlibat dalam transduksi sinyal ikatan non ligan
(Omoigui, 2007).
IL-6 memberikan efeknya dengan mengikat IL-6 reseptor (IL-6R) pada sel
target. Beberapa sel mengekspresikan reseptor ini, yang ditemukan pada monosit,
sel B (sel plasma), hepatosit dan neutrofil. Sebuah subset sel T juga
mengekspresikan IL-6R, meskipun penelitian menunjukkan sel T terutama
menanggapi IL-6 melalui proses yang disebut trans-sinyal, yang dimulai dengan
IL-6 yang terikat oleh bentuk larut IL-6R (sIL-6R ). IL-6 signaling melibatkan
reseptor IL-6 spesifik dan sinyal-pentransduksi protein, gp130, yang juga
digunakan oleh anggota lain dari kelompok IL kecuali IL-31. IL-6 dapat
meningkatkan terbentuknya lesi lemak pada mencit (Ait-Oufella, et al., 2011).
IL-6 dengan konsentrasi di atas normal mengakibatkan peningkatan fatty
streak sebanyak 5 kali lipat, sedangkan injeksi IL-6 pada mencit dengan ApoE
defisiensi yang mendapat diet tinggi lemak ditemukan peningkatan ukuran lesi
lemak 2 kali lipat (Huber, et al., 1999), menunjukkan bahwa IL-6 adalah sitokin
proaterogenik. Pemberian IL-6 dalam jangka waktu yang lama pada mencit
dengan apoE defisiensi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pembentukan
plak, kemudian terjadi pelepasan IL-10 dan berkurangnya sel-sel inflamasi yang
masuk ke dalam plak aterosklerosis (Schieffer, et al., 2004).
IL-6 memiliki efek proinflamasi pada berbagai jenis sel. Endotelial cell
(EC), vascular smooth muscle cell (VSMC), dan makrofag mensintesis IL-6 yang
diekspresikan dalam plak aterosklerotik manusia serta kadarnya meningkat pada
22
serum pasien dengan coronary artery disease (CAD) dan angina tidak stabil
sehingga dianggap sebagai faktor risiko independen untuk penyakit arteri koroner
(Tedgui and Mallat, 2006). IL-6 meningkatkan ekspresi cell adhesion molecule
(CAM) di EC dan VSMC, kontribusi untuk ekstravasasi leukosit dalam
perkembangan lesi aterosklerotik. Peran langsung IL-6 dalam aterogenesis
diperlihatkan pada injeksi sistemik ApoE - / - dengan rekombinan IL-6 secara
signifikan meningkatkan plak (Huber, et al.,1999). Ukuran lesi yang meningkat
pada IL-6 / ApoE ganda knockout tikus merupakan mekanisme potensial untuk
hasil yang berlawanan yaitu peningkatan dari IL-10, dan peningkatan reseptor IL-
1Rα dan TNFα, yang diasumsikan menetralisir bioavailabilitas mediator
proinflamasi (Schieffer, et al., 2004).
Lesi aterosklerosis dini menunjukkan serapan makrofag teroksidasi low-
density lipoprotein (Ox- LDL) yang dimediasi oleh Interleukin-6. Inkubasi IL-6
pada tikus meningkatkan degradasi Ox-LDL makrofag dan ekspresi CD36 mRNA
(Omoigui, 2007). Low density lipoprotein (LDL) yang mengalami perubahan ke
molekul aterogenik (E-LDL) akan mengaktifkan komplemen dan makrofag yang
dapat ditemui dalam lesi aterosklerotik awal. E-LDL menumpuk di sel-sel otot
polos vaskular manusia (VSMC), dan merangsang ekspresi gp130, rantai sinyal-
transducing dari IL-6 reseptor (IL-6R) dan sekresi Interleukin-6 (Klouche, et al.
2000). Toll-like receptor 2 (TLR2) mendukung terjadinya perpindahan VSMC
dari media ke intima dalam perkembangan aterosklerosis dengan cara
meningkatkan produksi IL-6 (Lee, et al.,2012).
Sel endotel mensintesis dan melepaskan oksida nitrat (NO) dan prostaglandin
(seperti PGE2 dan PGE3) dalam jumlah yang cukup dan menjaga keseimbangan
23
antara molekul pro dan anti-inflamasi. Dengan adanya proses aterosklerosis
keseimbangan ini terganggu mengarah ke peningkatan produksi sitokin
proinflamasi seperti interleukin 1, 2, dan 6 (IL-1, 2, dan 6) dan tumor necrosis
factor α (TNF-α). Sitokin pro-inflamasi dapat menyebabkan stres oksidatif
dengan meningkatkan produksi spesies oksigen reaktif (ROS) oleh monosit,
makrofag, dan leukosit. PUFA dan turunannya eicosanoid mungkin memainkan
peran penting modulasi respon inflamasi seiring dengan perkembangan lebih
lanjut dari aterosklerosis (Dessi, 2013).
IL-6 endogen juga berperan sebagai antiinflamasi dalam respons inflamasi
akut lokal dan sistemik dengan mengendalikan tingkat sitokin proinflamasi,
namun aktivitas antiinflamasi oleh IL-6 ini tidak dapat dikompensasikan dengan
IL-10 atau anggota keluarga IL-6 lainnya (Xing, et.al., 1998).
2.6 Anatomi Plak Aterosklerotik
Gambaran patologis paling awal dari lesi aterosklerosis berfokus pada
morfologi garis lemak ke fibroatheroma dan plak lanjutan yang disertai oleh
perdarahan, kalsifikasi, ulserasi, dan trombosis. Untuk menentukan plak
ateromatosa, kelompok konsensus Asosiasi Jantung Amerika (AHA)
mengklasifikasikan menjadi 6 kategori yaitu lesi awal tipe I, penebalan intima
adaptif (adaptive intimal thickening); Tipe II, lapisan lemak (fatty streak ); Dan
tipe III, lesi transisi atau intermediat; tipe IV, plak ateroma (advanced plaques
atheroma) Tipe V, fibroateroma atau ateroma dengan tutup fibrosa tebal; Dan tipe
VI, plak yang kompleks dengan defek permukaan, dan / atau hematoma-
perdarahan, dan / atau trombosis (Otsuka, et al, 2015).
24
Plak aterosklerosis tidak terbentuk merata di seluruh pembuluh darah. Aliran
hemodinamik pada cabang dan bifurcatio mudah terjadi penurunan aliran laminar
dan peningkatan turbulensi dan cenderung untuk terbentuk lesi aterosklerosis.
Daerah ini lebih rentan terjadi lesi aterosklerosis awal yang dikenal dengan fatty
streak. Lesi ini terdiri dari agregasi makrofag dan lipid yang berkumpul di intima
dan umum hadir di sebagian besar individu, termasuk anak-anak (Robbie and
Libby, 2001).
Ox-LDL difagosistosis oleh makrofag sehingga terbentuk sel busa yang
merupakan ciri khas lesi aterosklerotik awal. Ox-LDL juga mengaktifkan VSCM
dan makrofag untuk mengeluarkan beragam molekul pro-inflamasi, yang
selanjutnya mengaktifkan endothelium, meningkatkan perekrutan dan diferensiasi
makrofag dan mendorong proliferasi sel otot polos pembuluh darah (Tavakoli
and Sadeghi, 2009). Selanjutnya makrofag bersama-sama VSMC bermigrasi dari
media ke dalam lapisan intima pada dinding arteri. VSMC memproduksi kolagen
sehingga terbentuk topi fibrosa yang melapisi ateroma dan menutupi plak
aterosklerosis (W. van Lammeren, et al., 2011).
Topi tipis berkorelasi dengan kadar tingginya limfosit T sitokin interferon
gamma (IFNγ). IFNγ menghambat proliferasi VSMC dan deposisi kolagen pada
tutup, dan secara bersamaan meningkatkan sintesis enzim degradasi.
Kecenderungan plak pecah dikaitkan dengan integritas struktural dari topi, yang
berkorelasi dengan keadaan inflamasi lesi. Mengurangi peradangan dapat
meningkatkan stabilitas plak, sehingga secara klinis mengurangi akibat dari
lepasnya plak (W. van Lammeren, et al., 2011).
25
Penipisan topi fibrosa terbukti disebabkan oleh produksi kolagen menurun
sebagai akibat dari penurunan konten VSMC, atau degradasi oleh matriks
metalloproteinase (MMPs) yang diekskresikan oleh makrofag (Galis, et al., 1994).
Davies (1996), menyatakan bahwa plak yang rawan pecah adalah plak dengan
core lipid besar, VSMC konten rendah, kadar makrofag tinggi dan topi fibrosa
tipis. Para peneliti menunjukkan bahwa perdarahan intraplak kontribusi untuk
pengendapan kolesterol bebas, infiltrasi makrofag dan pembesaran inti nekrotik
yang meningkatkan risiko destabilisasi plak.
Gambar 2.2.
Peran monosit dan makrofag dalam aterogenesis
(Tavakoli and Asmis, 2002)
26
Plak stabil ditandai dengan core lipid yang kecil, topi fibrus tebal, sedikit
makrofag, densitas microvessel rendah, tanpa perdrahan plak, tanpa rupture plak
dan thrombus sedangkan plak yang tidak stabil sebaliknya. Gambaran antara plak
stabil dan tidak stabil ditunjukkan pada gambar 2.3.
2.7 Paraoxonase (PON)
Paraoxonase (PON) enzim awalnya dikenal sebagai hidrolase organofosfat,
karena mengkatalisis hidrolisis paraoxon organofosfat (Costa, et al., 2003). PON
memiliki efek perlindungan pada sistem kardiovaskular dan dapat mengurangi
kejadian penyakit kardiovaskular (CVD), terutama aterosklerosis. Penelitian pada
pasien coronary artery disease (CAD) ditemukan bahwa terjadi peningkatan Ox-
LDL dan penurunan serum PON 1 (Hackenhaar, et al.,2012)
Gambar 2.3
Kriteria Plak Stabil dan Tidak Stabil
( W.van Lameran, et al., 2011)
27
Pada manusia, PON1 dan PON3 diekspresikan terutama dalam hati, meskipun
dalam jumlah rendah ekspresi PON3 juga bisa ditemukan di ginjal (She, et al.,
2012). PON2, ditemukan di beberapa jaringan manusia termasuk jantung, ginjal,
hati, paru-paru, plasenta, usus, limpa, lambung, dan testis. Sel dari dinding arteri,
termasuk sel-sel endotel, sel otot polos (SMCs), dan makrofag, juga dapat
mengekspresikan PON2 (She, et al., 2012). Pada tikus, ditemukan bahwa
ekspresi PON1 sangat terbatas ke hati dan paru-paru. PON2 dan PON3 tikus
ditemukan lebih universal dalam berbagai jaringan termasuk jantung, ginjal, hati,
paru-paru, otot, usus, limpa, lambung, ovarium, aorta, dan otak (She, et al., 2009).
PON3 mRNA dan protein ditemukan dalam murine tapi tidak dalam makrofag
manusia (Rodrigo, et al., 2001). Pada kelinci dan tikus, PON3 dapat dimurnikan
dari mikrosom hati (Rodrigo, et al., 2003). PON1 dan PON3 berasosiasi dengan
HDL dalam sirkulasi dan ditemukan juga dalam plak aterosklerotik (She, et al.,
2012).
Aktivitas antioksidan PON1, dengan menghalangi oksidasi LDL, mencegah
sejumlah karakteristik patologis terkait dengan aterosklerosis, rekrutmen monosit,
dan aktivasi gen. PON1 berperan dalam menghidrolisis ox-LDL dan sebagai
atheroprotection ditunjukkan pada penelitian terhadap tikus PON1-Knock Out
(Shih, et al., 2000).
Rendahnya aktivitas PON1 meningkatkan perkembangan aterosklerosis
(Watzinger, et al., 2002). Kelompok pria dengan kadar PON1 serum yang tinggi,
60% lebih kecil kemungkinan untuk memiliki PJK dibandingkan mereka dengan
serum PON1 rendah (Mackness, et al., 2003).
28
PON2 adalah anggota kedua dari family PON dan diperkirakan dapat
menurunkan stres oksidatif intraseluler dan mencegah oksidasi seluler LDL,
meskipun aktivitas ester aromatase dan hidrolisisnya lebih rendah dari daripada
PON1 (Ng, et al., 2001). Sel yang mengekspresikan lebih banyak PON2 kurang
mampu mengoksidasi LDL dan memperlihatkan penurunan yang signifikan stress
oksidatif intraseluer bila terpapar H2O2 maupun fosfolipid teroksidasi,
menunjukkan bahwa PON2 memainkan peran protektif dalam aterosklerosis.
Efek antiaterogenik dari PON2 sebagian disumbangkan oleh perlindungan dari
mitokondria terhadap stres oksidatif (Devarajan, et al., 2011). PON2 dapat
mencegah pembentukan superoksida mitokondria dan apoptosis sel, yang
independen dari kegiatan lactonase (Altenhofer, et al., 2010).
PON 3 merupakan anggota ketiga dan dikode oleh 353 asam amino. Pada
kelinci PON 3 lebih efisien untuk melindungi LDL dari oksidasi dibandingkan
PON 1 (Draganov, et al., 2000). Penelitian dengan menggunakan kultur sel
endotel aorta manusia memperlihatkan bahwa PON3 berlebih dapat mencegah
akibat yang ditimbulkan ox-LDL dan mengurangi konsentrasi yang terbentuk
sebelumnya akibat modifikasi ox--LDL (Reddy, et al., 2001).
2.7.1 Peranan PON3 dalam hiperkolesterolemia
Sifat antioksidan yang dimiliki oleh PON3 menunjukkan bahwa enzim ini
mampu mencegah pembentukan ox-LDL dan menghambat ox-LDL diinduksi
aktivitas monosit kemotaktik (Ng, et al., 2005). PON3 mirip dengan PON1 dalam
hubungan dengan HDL dan pencegahan pembentukan mm-LDL atau inaktivasi
mm-LDL (Reddy, et al., 2001). PON3 juga merupakan protein yang disekresikan
29
terkait dengan fraksi HDL plasma manusia tetapi tidak ada dalam fraksi LDL.
Draganov, et al. (2000) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa PON3 kelinci
juga terkait dengan fraksi HDL serum dan lebih efektif daripada PON1 kelinci
dalam melindungi LDL dari oksidasi, ini menunjukkan bahwa secara in vivo,
PON3 mungkin memainkan peran yang signifikan sebagai ateroprotektif. PON3
pada mencit berperan dalam metabolisme lipid dan asam empedu yaitu
melindungi dari aterosklerosis, batu empedu dan obesitas (Shih, et al., 2007).
Ekspresi PON3 dalam HDL berhubungan dengan fungsi antioksidan dari HDL.
PON3 merupakan protein yang penting dalam melindungi dari aterosklerosis
(Marsillach, et al., 2008).
2.7.2 Paraoxonase-3 sebagai antioksidan
Peradangan dan stres oksidatif berkontribusi sebagai penyebab dari hampir
setiap penyakit. Spesies oksigen reaktif yang dihasilkan oleh enzim dan sistem
nonenzimatik memodifikasi lipid dan sterol, mengakibatkan lipid teroksidasi dan
sterol teroksidasi yang akan berlanjut menjadi lingkaran setan peradangan yang
tidak diinginkan dan stres oksidatif yang makin bertambah. Stres oksidatif
memainkan peranan penting dalam aterosklerosis. Teori oksidasi untuk
aterosklerosis menegaskan bahwa LDL merupakan target utama dari oksidasi dan
terlibat dalam kedua inisiasi serta perkembangan aterosklerosis (Azizi, et al.,
2002).
Sejumlah studi menunjukkan bahwa PON2 dan PON3 melindungi sel dan
jaringan dari stres oksidatif dengan mengurangi spesies oksigen reaktif. PON2
dan PON3 dapat menghambat oksidasi LDL dan meningkatkan sifat antioksidan
dan kapasitas kolesterol HDL meskipun keduanya tidak mudah ditemukan di
30
lipoprotein (Ng, et al., 2006). Pada model binatang, baik PON2 maupun PON3
mampu menghentikan perkembangan aterosklerosis (Devarajan, et al., 2011).
PON3 yang memiliki massa molekul sekitar 40 kDa juga telah memiliki sifat
antioksidan. Penelitian menunjukkan bahwa PON2 (Bourquard,et al., 2011) dan
PON3 (Schweikert, et al., 2012) memodulasi tingkat spesies oksigen reaktif
dalam sel dan pada model binatang menunjukkan hubungan molekul fisiologis
antara protein PON dan stres oksidatif.
Mekanisme pasti dari ekspresi PON3 dalam mempengaruhi penurunan
kolesterol serum tidak diketahui. Mekanisme yang mungkin terjadi dalam
menurunkan kolesterol pada tikus yang diberi perlakuan PON3 adalah dengan
meningkatkan fungsi antioksidan dari HDL. Prooksidan HDL telah dilaporkan
kurang efektif dalam mengurangi kolesterol dari makrofag kolesterol untuk
mengontrol HDL (Aviram, et al.,1998). HDL dari mencit yang diberi PON3
secara signifikan lebih protektif terhadap oksidasi LDL dalam uji monosit
kemotaksis, bila dibandingkan dengan HDL dari mencit kelompok kontrol. Hal
tersebut menunjukkan bahwa PON3 meningkatkan fungsi HDL pada mencit
defisiensi apolipoprotein-E (Ng, et al., 2007) .
PON3 berada di mitokondria, melindungi mitokondria terhadap stres
oksidatif, dan menunjukkan bahwa Q10 dikaitkan pemurnian protein PON3-GFP
(Schweikert, et al., 2012). Hal ini menggambarkan bahwa efek anti aterogenik
dari PON2 / 3 adalah sebagian dimediasi oleh perannya dalam fungsi mitokondria.
31
Gambar 2.4
Mekanisme Antioksidan PON2 dan PON3
(Witte, et al., 2012)
2.7.3 Pengaruh polifenol terhadap PON3
Polifenol adalah metabolit sekunder dari tanaman dan umumnya terlibat
dalam pertahanan terhadap radiasi ultraviolet atau agresi oleh patogen. Polifenol
merupakan senyawa alami yang ditemukan sebagian besar dalam buah-buahan,
dan sayuran salah satunya adalah bulung boni (Caulerpa sp). Bulung boni
mengandung polifenol sebanyak sebesar 567,06 mg/100 ml dan aktivitas
antioksidan sebesar 39,25% (Wiraguna, 2013). Studi epidemiologis menunjukkan
hubungan terbalik antara risiko penyakit kronis pada manusia dan konsumsi diet
yang kaya polifenol (Arts and Hollman, 2005). Fenolik dalam polifenol dapat
menerima elektron untuk membentuk radikal phenoxyl yang relatif stabil,
sehingga mengganggu reaksi oksidasi berantai pada komponen seluler (Pandey
and Rizvi, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa makanan dan minuman yang kaya
32
polifenol dapat meningkatkan kapasitas antioksidan plasma. Peningkatan
kapasitas antioksidan plasma pada konsumsi makanan kaya polifenol dapat
dijelaskan dengan berkurangnya polifenol dan metabolitnya dalam plasma, efek
polifenol pada konsentrasi agen pereduksi lainnya (sparing efek polifenol pada
antioksidan endogen lainnya), atau efeknya pada penyerapan komponen makanan
pro-oksidatif, seperti zat besi (Scalbert, et al., 2005). Konsumsi antioksidan
dikaitkan dengan penurunan kadar kerusakan oksidatif DNA limfositik.
Pengamatan yang dilakukan pada makanan dan minuman yang kaya polifenol
menunjukkan efek protektif dari polifenol. Adanya peningkatan antioksidan,
polifenol dapat melindungi sel terhadap kerusakan oksidatif dan oleh karena itu
dapat mengurangi risiko berbagai penyakit degeneratif yang berhubungan dengan
oksidatif stress (Luqman and Rizvi, 2006; Pandey, et al., 2009).
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa konsumsi polifenol mengurangi
kejadian penyakit jantung koroner (Nardini, et al., 2007). Polifenol yang
berpotensi menghambat oksidasi LDL dianggap sebagai mekanisme kunci dalam
perkembangan aterosklerosis (Aviram, et al., 2000). Mekanisme lain dari
polifenol dalam melindungi terhadap penyakit kardiovaskuler adalah sebagai
antioksidan, anti-platelet, efek anti-inflamasi serta meningkatkan HDL, dan
meningkatkan fungsi endotel (García-Lafuente, et al., 2009). Polifenol juga dapat
berkontribusi dalam stabilisasi plak ateroma. Polifenol dapat memperbaiki
disfungsi endotel berhubungan dengan faktor risiko aterosklerosis sebelum
terbentuknya plak. Pengamatan pada konsumsi teh hitam sekitar 450 ml dapat
meningkatkan pelebaran arteri 2 jam setelah asupan (Duffy, et al., 2001).
Polifenol minyak zaitun menunjukkan pengaruh positif terhadap fungsi utama
33
HDL sebagai antiaterogenik. Penelitian pada laki-laki yang diberikan minyak
zaitun dengan kandungan polifenol 366mg/kgbb ditemukan adanya peningkatan
ukuran HDL yaitu menjadi HDL2 dibandingkan dengan yang diberi minyak
zaitun dengan kandungan polifenol 2.7 mg/kgbb. HDL2 memiliki ukuran lebih
besar dari HDL3 dan memiliki stabilitas yang lebih besar terhadap oksidatif
(Hernáez, et al., 2014). Polifenol dalam minyak zaitun juga dapat meningkatkan
kadar HDL plasma (Covas, et al., 2006). Ekstrak bulung boni yang mengandung
polifenol dapat meningkatkan HDL tikus (Juliyasih, 2011). Polifenol dalam
coklat efektif meningkatkan profil kolesterol pada pasien aterosklerosis dengan
diabetes dengan cara meningkatkan kolesterol HDL serta meningkatkan rasio
kolesterol terhadap HDL (Mellor, et al., 2010).
Studi menggunakan berbagai model tikus aterosklerosis telah secara
konsisten menunjukkan bahwa PON1, PON2, atau ekspresi PON3 menghambat
perkembangan aterosklerosis melalui mekanisme pengurangan stres oksidatif,
meningkatkan pengeluaran kolesterol dari makrofag, dan normalisasi fungsi
endotel (Mackness, et al., 2006; Ng, et al., 2006; Shih , et al., 2007; Ng, et al.,
2007). Draganov, et al. (2000), menemukan rasio PON3 / PON1 pada kelinci
yaitu sekitar 1/200. Meskipun kadar PON 3 lebih rendah namun memiliki
kekuatan 100 kali lebih kuat per mg protein dibandingkan dengan PON1 dalam
melindungi LDL dari peroksidasi lipid, yang menunjukkan bahwa PON3 serum
mungkin sama pentingnya dengan PON1 sebagai antioksidan dan enzim
ateroprotektif, meskipun konsentrasinya lebih rendah (Aragonès, et al., 2011).
Peningkatan stres oksidatif pada tikus dengan nonalcoholic fatty liver disease
(NAFLD) mengakibatkan penurunan aktivitas PON di serum dan hati, namun
34
pengobatan dengan sensitizer insulin, ezetimibe, dan valsartan yang memiliki
potensi sebagai antioksidan dapat mempengaruhi aktivitas PON2 dan PON3 yang
berakhir dengan normalisasi stres oksidatif dalam serum dan hati. Hal ini dapat
disebabkan oleh peningkatan PON2 dan PON3 dan / atau penurunan PON
inaktivasi akibat stres oksidatif (Assy, et al., 2006; Hussein, et al., 2012). PON3
beredar dalam plasma terkait dengan HDL (Reddy, et al., 2001 ; Marsillach, et al.,
2008). Berdasarkan hal tersebut, maka polifenol yang berfungsi sebagai
antioksidan dan dapat meningkatkan HDL kemungkinan memiliki peran dalam
meningkatkan PON3.
2.8 Bulung Boni (Caulerpa sp)
Bulung boni (Caulerpa,sp) adalah tanaman rumput laut yang tergolong dalam
makro alga. Alga tergolong kedalam divisi Thallophyta (tumbuhan bertalus),
karena struktur morfologinya tidak bisa dibedakan antara akar, batang, daun
sejati (Bunga, 2014). Semua struktur morfologi alga terdiri dari batang (thalus)
dan umumnya hidup di perairan. Rumput laut hidup melekat di dasar laut dan
dikenal dengan berbagai nama antar lain agar-agar dan ganggang. Rumput laut
memiliki klorofil sehingga memungkinkan untuk melakukan fotosintesis. Tempat
tumbuhnya adalah daerah yang selalu tergenang air dengan kedalaman sampai
200 m karena masih bisa dicapai oleh sinar matahari.
Ada lima belas golongan alga berdasarkan warnanya, bulung boni termasuk
dalam Chloropyta dan mampu hidup sendiri (autotrof) karena bisa fotosintesis,
termasuk kelas Chlorophyaceae dari marga Caulerpa.
35
Komponen primer bulung boni adalah bahan hidrokoloid dan komponen
sekundernya dapat dipakai sebagai bahan obat serta bahan industri lainnya.
Bulung boni bisa dimakan langsung sebagai sayur karena memiliki zat gizi yang
baik untuk meningkatkan kesehatan (Bunga, 2014).
Ekstrak bulung boni mengandung tiga jenis vitamin yaitu: vitamin A (beta
karoten), vitamin C dan vitamin E serta enam macam mineral dan 15 asam
amino. Ekstrak bulung boni juga memiliki total polifenol sebesar 567,06 mg/100
ml dan aktivitas antioksidan sebesar 39,25% (Wiraguna, 2013).
Mikronutrien yang terkandung dalam ekstrak bulung boni dapat dilihat dalam
tabel berikut:
Tabel 2.1
Kandungan Vitamin dalam Ekstrak Bulung Boni (Wiraguna, 2013)
Vitamin Satuan Jumlah
Vitamin A
Vitamin C
Vitamin E
ug/100 ml
mg/100 g
mg/L
3438,3
2,29
55
Gambar 2.5
Foto Bulung Boni (Caulerpa sp)
36
Tabel 2.2
Jenis Karotenoid yang terkandung dalam Ekstrak Bulung boni (Julyasih, 2011)
Jenis Karotenoid Nilai Rf (retention factor)
Neoxanthin
Astasanthin free
Anteraxanthin
Canthaxanthin
Asthaxanthin monoester
Fucoxanthin
Klorofil B
Astaxanthin diester
Beta karoten
0, 09
0, 30
0, 36
0, 41
0, 48
0,50
0, 59
0, 70
0, 98
Tabel 2.3
Jenis Asam Amino yang terkandung dalam Ekstrak Bulung boni
(Wiraguna, 2013)
Asam Amino Konsentrasi (%)
Asam aspartat
Glutamin
Serin
Histidin
Glisin
Threonin
Arginin
Alanin
Tirosin
Metionin
Valin
Phenilalanin
Isoleusin
Leusin
Lisin
0,020
0,081
0,018
0,017
0,002
0,021
0,035
0,030
0,011
0,014
0,001
0,017
0,031
0,036
0,093
Tabel 2.4
Jenis Mineral yang terkandung dalam Ekstrak Bulung Boni (Wiraguna, 2013)
Mineral Jumlah (mg/L)
Zn
Fe
Cu
Na
K
Mg
1,596
15,453
0,141
45664,50
2287,85
562,71
37
Perairan Indonesia merupakan perairan tropika yang kaya akan sumber daya
rumput laut (menurut ekspedisi oleh Van Bosse 1899-1900 mencapai 555 jenis),
membuat komoditas rumput laut menjadi salah satu hasil laut yang diunggulkan
dan dikembangkan secara luas, tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia
mencapai 384,73 ribu ha) dengan target produksi pada tahun 2014 sebesar 10 juta
ton. Berdasarkan data tahun 2010 produksi tertinggi ditempati oleh Provinsi
Sulawesi Tengah dengan jumlah 833.327 ton, kemudian diikuti oleh Provinsi
Sulawesi Selatan (750.134 ton), Nusa Tenggara Timur (596.348 ton), Jawa Timur
(383.580ton) dan Nusa Tenggara Barat (152.534 ton) (Kementerian Perdagangan.
2013).
Pemanfaatan rumput laut secara ekonomis di Indonesia masih terbatas pada
beberapa species tertentu, yakni Gracillaria sp. dan Euchema sp., sedangkan
potensi pemanfaatan rumput laut di Indonesia sangat besar. Salah satu jenis
rumput laut yang jarang dimanfaatkan secara ekonomis adalah jenis Caulerpa sp.
(Bunga, 2014).
2.8.1 Bulung boni (Caulerpa sp) sebagai antioksidan
Beberapa komponen yang terdapat dalam bulung boni dapat berperan sebagai
antioksidan yaitu vitamin A (beta karoten), Vitamin C, E, flavonoid dan polifenol.
Antioksidan ini biasanya berfungsi sebagai radical scavenging antioxdants, oleh
karena umumnya berasal dari luar (Bahorun, et al., 2006).
Beta karoten dan vitamin C berkhasiat sebagai antioksidan, yang melindungi
kolesterol LDL dari proses oksidasi. Oksidasi kolesterol LDL menghasilkan
38
radikal bebas, penyebab timbulnya berbagai penyakit degenerative.
(Wirakusumah, 1997). Suatu studi yang melibatkan 90.000 orang wanita,
menunjukkan bahwa mereka yang mengkonsumsi beta karoten lebih dari 11.000
IU per hari mempunyai resiko mengindap penyakit jantung 22% lebih rendah
dibandingkan dengan mereka yang mengkonsumsi hanya 3.800 IU per hari.
Aliansi Penelitian Penuaan (the Alliance of Aging Research) menyarankan agar
orang dewasa mengkonsumsi beta karoten sebanyak 10 mg (17.000 IU) sampai
30 mg (50.000 IU) per hari. Pemasakan dengan panas yang berlebihan
menghancurkan beta karoten (Muchtadi, 2009).
Beta karoten sebagai antioksidan berperan dalam meredam singlet oxygen dan
mencegah peroksidasi lipid, efeknya menyerupai efek vitamin E dan vitamin C
dalam melindungi DNA dan membran dari serangan oksidatif endogenus (Murray
et al., 2009). Beta karoten merupakan antioksidan yang paling efisien untuk
inaktivasi singlet oxygen dalam sistem biologis. Potensi beta karoten untuk
menangkap oksigen singlet diduga melalui ikatan rangkap yang berjumlah
sembilan pada rantai karbonnya. Kecepatan penghilangan singlet oxygen oleh
karotenoid tergantung pada jumlah ikatan rangkap terkonyugasi dan pada jenis
dan jumlah grup fungsional struktur cincin molekul karotenoid. Untuk dapat
bertindak sebagai penghilang singlet oxygen yang efektif, paling sedikit harus
terdapat tujuh ikatan terkonyugasi, dan makin efektif bila jumlah ikatan
terkonyugasi semakin banyak. Mekanisme inaktivasi singlet oxygen oleh
karotenoid adalah secara fisik tanpa menghasilkan produk teroksidasi.
Vitamin E dan C terbukti telah dapat mengurangi berkembangnya
aterosklerosis. Kedua vitamin ini diketahui dapat menggagalkan efek stimulasi
39
Angiotensin II pada aktivitas JNK dan p38 dari Vascular Smooth Muscle Cell
(VSMC) (Kyaw, et al., 2001), dan hal ini mendukung temuan dalam penelitian
yang dilakukan oleh Cambridge Heart Antioxidant Study (CHAOS) yang
dilaporkan oleh Stephens dan kawan-kawan mengatakan bahwa vitamin E dapat
menurunkan insiden Penyakit Kardiovasculer (Stephens, et al., 1996).
Polifenol terdiri dari berbagai molekul yang diklasifikasikan ke dalam
beberapa kategori, antara lain asam fenolik dan flavonoid. Banyak penelitian telah
membuktikan efek menguntungkan dari flavonoid dalam perkembangan
aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular. Flavonoid dari makanan dapat
mengurangi stres oksidatif dan sebagai anti-inflamasi. Selain itu, flavonoid
memiliki kemampuan untuk menghindari pembentukan trombus, meningkatkan
fungsi endotel, dan memodifikasi tingkat lipid (Siasos, et al., 2013). Senyawa
polifenol yang ada pada buah cranberry dan blueberry dapat dideteksi sampai di
lapisan endotel dan dapat menurunkan kerentanan sel endotel baik di membran
maupun sampai ke sitosol. Selanjutnya senyawa polifenol ini juga dapat
meregulasi rangsangan TNF-alpha yang diinduksi oleh mediator inflamasi seperti
IL-8, MCP-1 dan ICAM-1, sehingga senyawa ini dapat dikatakan memberikan
efek proteksi terhadap kerusakan sel endotel (Youdim, et al., 2002).
Aktifitas PON1 dan kadar mRNA PON1 meningkat pada pemberian diet yang
mengandung polifenol seperti quercetin (Gouédard, et al.,2004). Penelitian yang
dilakukan oleh Wei, et al. (2013) menunjukkan bahwa polifenol bunga delima
dapat mengurangi lemak hati , meningkatkan mRNA PON1 dan ekpresi protein
hati tikus diabetes. Polifenol quercetin juga dapat meningkatkan PON2 dalam sel
otak tikus (Costa, et al., 2013).
40
2.8.2 Bulung boni (Caulerpa sp) sebagai antiinflamasi
Beta karoten mampu menangkap oksigen reaktif dan radikal peroksil (Paiva
and Russel, 1999) lalu menetralkannya, menghambat oksidasi arakhidonat
menjadi endoperoksida dan menurunkan aktivitas lipoksigenase (Lieber and Leo,
1999). Apabila oksidasi asam arakhidonat dapat dihambat maka tidak terbentuk
oksigen reaktif yang dapat menyebabkan nyeri dan inflamasi. Penurunan aktivitas
enzim lipoksigenase menyebabkan tidak terbentuknya leukotrien yang dapat
mengaktivasi leukosit yang memacu terjadinya peradangan (Lieber and Leo,
1999). Adanya hambatan pada oksidasi asam arakhidonat dan penetralan oksigen
reaktif menyebabkan beta karoten berefek antiinflamasi. Reseptor IL-6
dikendalikan oleh vitamin A (Parakkasi, 1999).