bab ii tinjauan pustaka 2.1. stigma negatif pengertian ......kesan negatif di publik, terkait...

19
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan menguraikan panduan teoritis yang menjadi dasar dari penelitian ini yaitu mengenai stigma negatif, dukungan sosial, stress kerja dan kinerja. 2.1. Stigma Negatif 2.1.1. Pengertian Stigma Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), „Stigma‟ diartikan sebagai “ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Sedangkan pada kamus Oxford, „stigma‟ dimaknai dengan “a mark of disgrace associated with particularcircumstances, quality, or person” (suatu cap keaiban yang berkenaan dengan keadaan, mutu atau seseorang). Dalam tesaurus bahasa Indonesia, sinonim kata stigma antara lain aib, cemar, noda cap, ciri, nama buruk. Sedangkan pengertian dan penjelasan kata stigma yang dikutip dari Wikipedia yakni : Stigma dari bahasa Yunani (στιγμα: "tanda" atau "bercak"; majemuk: stigmata, στιγματα) mengandung beberapa arti. Istilah ini berasal dari tanda-tanda yang dimiliki seseorang pada tubuhnya (bekas bakaran atau torehan) yang antara lain menandakan bahwa orang itu adalah budak, penjahat, atau pengkhianat. Ia adalah orang yang cacat moralnya dan karena itu harus dihindari, khususnya di tempat umum. Di dalam sejarah Gereja Khatolik, istilah ini kemudian bisa mengandung dua arti, yaitu tanda-tanda fisik yang diyakini berasal dari Tuhan (misalnya tonjolan pada kulit), dan acuan medis kepada tanda-tanda keagamaan ini sebagai petunjuk adanya cacat fisik. Contohnya, St. Fransiskus dari Asisi

Upload: others

Post on 12-Feb-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    Bab ini akan menguraikan panduan teoritis yang menjadi dasar

    dari penelitian ini yaitu mengenai stigma negatif, dukungan sosial,

    stress kerja dan kinerja.

    2.1. Stigma Negatif

    2.1.1. Pengertian Stigma

    Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), „Stigma‟

    diartikan sebagai “ciri negatif yang menempel pada pribadi

    seseorang karena pengaruh lingkungannya. Sedangkan pada kamus

    Oxford, „stigma‟ dimaknai dengan “a mark of disgrace associated

    with particularcircumstances, quality, or person” (suatu cap keaiban

    yang berkenaan dengan keadaan, mutu atau seseorang). Dalam

    tesaurus bahasa Indonesia, sinonim kata stigma antara lain aib,

    cemar, noda cap, ciri, nama buruk. Sedangkan pengertian dan

    penjelasan kata stigma yang dikutip dari Wikipedia yakni :

    “Stigma dari bahasa Yunani (στιγμα: "tanda" atau "bercak"; majemuk:

    stigmata, στιγματα) mengandung beberapa arti. Istilah ini berasal dari

    tanda-tanda yang dimiliki seseorang pada tubuhnya (bekas bakaran atau

    torehan) yang antara lain menandakan bahwa orang itu adalah budak,

    penjahat, atau pengkhianat. Ia adalah orang yang cacat moralnya dan

    karena itu harus dihindari, khususnya di tempat umum. Di dalam sejarah

    Gereja Khatolik, istilah ini kemudian bisa mengandung dua arti, yaitu

    tanda-tanda fisik yang diyakini berasal dari Tuhan (misalnya tonjolan

    pada kulit), dan acuan medis kepada tanda-tanda keagamaan ini sebagai

    petunjuk adanya cacat fisik. Contohnya, St. Fransiskus dari Asisi

    http://id.wikipedia.org/wiki/Yunanihttp://id.wikipedia.org/wiki/Budakhttp://id.wikipedia.org/wiki/Tuhanhttp://id.wikipedia.org/wiki/St._Fransiskus_dari_Asisi

  • 2

    dipercayai mempunyai stigmata, tanda-tanda pada tubuhnya yang sama

    seperti tanda-tanda bekas luka karena penyaliban pada diri Yesus. Kata

    "stigma" juga dipergunakan dalam istilah "stigma sosial", yaitu tanda

    bahwa seseorang dianggap ternoda dan karenanya mempunyai watak yang

    tercela, misalnya seorang bekas narapidana yang dianggap tidak layak

    dipercayai dan dihormati.” (http://id.wikipedia.org/wiki/Stigma).

    Dari beberapa definisi tersebut, jelas tergambar bahwa kata

    „stigma‟ secara inheren selalu bersifat negatif (terkecuali istilah

    stigmata dalam sejarah Gereja Khatolik, disini kata Stigmata

    mengandung nuansa positif dan kudus). Kata „stigma negatif‟

    merupakan bentuk gaya bahasa pleonasme, yaitu kata-kata yang

    berlebihan untuk menggambarkan sesuatu hal.

    2.1.2 Stigma Negatif Terhadap PNS

    Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan,

    fungsi pegawai negeri sipil (PNS) berperan utama sebagai ujung

    tombak pelaksana pelayanan publik. Akan tetapi dalam

    kenyataannya, PNS dalam melaksanakan tugas-tugas umum

    pelayanan publik tersebut, seringkali mendapatkan kesan berbeda

    dari pandangan masyarakat. Salah satu persoalan mendasar dalam

    sistem kepegawaian adalah pekerjaan tempat Pegawai Negeri Sipil

    (PNS) mengabdi saat ini belum dipandang sebagai sebuah profesi

    yang mulia, harus dihormati, dijaga, dan dijadikan dasar dalam

    berbagai kebijakan dan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM).

    PNS sebagai abdi negara dan abdi masyarakat tidak dianggap

    sebagai aset negara, bahkan kadang-kadang dipandang menjadi

    beban negara. Akibatnya kebijakan-kebijakan dan manajemen

    http://id.wikipedia.org/wiki/Yesushttp://id.wikipedia.org/wiki/Narapidanahttp://id.wikipedia.org/wiki/Stigma

  • 3

    kepegawaian yang disusun semata-mata untuk mengakomodir

    kepentingan-kepentingan politik yang kadangkala justru menjadikan

    PNS semakin tersisih. (Rudita, 2014). Akibatnya, aparatur negara

    selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi

    perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan

    publik).

    Para pegawai negeri sipil didalam menyelenggarakan

    tugas pemerintahan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan

    pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-

    belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan

    pelayanan aparatur pemerintahan.

    Stigma atau citra negatif terlanjur melekat pada PNS dan

    bahkan bisa dianggap sebuah fenomena. Stigma tersebut

    kemungkinan juga diperkuat oleh kecenderungan orang untuk

    melakukan “over-generalization” yaitu penggunaan satu-dua kasus

    untuk mendukung argumen yang bersifat umum, dan itu adalah

    suatu bentuk kesalahan berpikir (Fallacy of Dramatic Instance).

    Kesalahan berfikir dari beberapa kasus yang didapati pada beberapa

    oknum PNS, misalnya: ada PNS dipilih dan diangkat melalui jalur

    KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), oportunis, memanfaatkan

    posisi, menyalahgunakan wewenang dan jabatan, tidak disiplin, suka

    belanja di mall atau pasar saat jam kerja, lebih banyak nongkrong,

    baca koran, main catur bahkan ngerumpi di tempat kerja. Kasus-

    kasus yang seperti itulah yang nampaknya mendukung terbangunnya

    citra negatif tersebut dan digeneralisir pada semua Aparatur Sipil

    Negara.

  • 4

    Pembuktian akan adanya stigma negatif terhadap PNS

    tersebut mudah sekali di temui pada pemberitaan pada media berita

    online. Cukup hanya dengan mengetik „kinerja buruk PNS‟ pada

    laman penelusuran google akan ditemukan ribuan hasil pencarian

    yang berisikan berita, opini, maupun pembahasan mengenai citra

    buruk PNS.

    Beberapa opini dari masyarakat yang mewakili penilaian

    negatif terhadap PNS/Aparatur Sipil Negara salah satunya dapat

    ditemui pada rubrik kompasiana dengan judul „Rendahnya Kinerja

    PNS Pemda‟:

    ...PNS pemda banyak memiliki kinerja yang rendah. Seharusnya

    jam kerja dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk bekerja

    namun malah digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.

    Dalam jam kerja PNS banyak berkeliaran di pasar, mall atau

    ditempat lainnya. Pulang tidak tepat waktu, Jadwal yang

    seharusnya pulang jam 4 sore tidak dipatuhi, mereka pulang siang

    sekitar jam 1 dan banyak yang tidak kembali lagi ke kantor.

    Sungguh sangat memprihatinkan, sebagai abdi negara memakan

    gaji buta. Tugas melayani masyarakat disia-siakan. Sebelum

    menjadi PNS masyarakat berbondong-bondong mengikuti tes PNS,

    bahkan sampai menyogok puluhan juta untuk menjadi PNS.

    Namun setelah diangkat, kedudukan yang diperoleh tidak

    dipergunakan dengan sebaik mungkin”.

    (http://birokrasi.kompasiana.com/2012/07/08/rendahnya-kinerja-

    pns-pemda-475413. html) .

    Mengutip berita yang bersumber dari beritasatu.com hari

    Minggu, 02 November 2014, Menteri Pemberdayaan Aparatur

    http://birokrasi.kompasiana.com/2012/07/08/rendahnya-kinerja-pns-pemda-475413.%20htmlhttp://birokrasi.kompasiana.com/2012/07/08/rendahnya-kinerja-pns-pemda-475413.%20html

  • 5

    Negara dan Reformasi Birokrasi juga menyampaikan bahwa kinerja

    PNS dinilai masih negatif oleh publik.

    Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan

    Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB), Yuddy Chrisnandi

    meminta setiap daerah menerapkan revolusi mental guna

    mereformasi birokrasi dan untuk menghilangkan penilaian

    negatif terhadap kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS). Yuddy

    melakukan kunjungan ke beberapa daerah, termasuk

    bertemu Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Sabtu (1/11),

    guna mengampanyekan gerakan revolusi mental reformasi

    birokrasi. Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan

    kesan negatif di publik, terkait kinerja PNS yang buruk

    selama ini.

    "Kesan di publik saat ini, kinerja PNS lambat, masuk siang,

    pulang cepat, jam 4 sudah di mal, dan di kantor hanya baca

    koran," katanya, Bogor, Sabtu (1/11).

    Yuddy menilai sudah saatnya PNS menjadi pelayan

    masyarakat. "Intinya puaskan dulu masyarakat. Terkait

    regulasi akan segera dikeluarkan. Bila ditanya kapan,

    segera," terangnya. (http://www.beritasatu.com/pelayanan-

    publik/222082-menpan-dan-rb-penilaian-pns-kita-buruk-di-

    publik.html)

    Menurut Adnan (2013) kesan atau citra negatif terhadap

    birokrasi karena birokrasi selama ini kurang merespon keinginan

    warga masyarakat. Birokrasi yang selama ini bekerja lambat, sangat

  • 6

    berhati-hati dan cara kerjanya sulit diterima oleh masyarakat yang

    memerlukan layanan cepat, efisien, tepat waktu dan sederhana.

    Menurut Sarundajang, 2005 (dalam Adnan, 2013) ada sejumlah

    kelemahan birokrasi yang dihadapi oleh pemerintah daerah, yaitu :

    1.) Struktur organisasi dan tata kerja yang dibuat oleh masing-

    masing Pemerintah Daerah hanya sekedar menampung personil

    dalam suatu jabatan struktural; 2.) Partisipasi masyarakat masih

    rendah; 3.) Transparansi belum berjalan; 4.) Mekanisme kerja dan

    pembagian tugas yang tumpang tindih menyulitkan kalangan

    internal dan masyarakat dalam berurusan dengan pemerintah daerah;

    5.) Politisasi PNS masih menggejala; 6.) Sistem karir tidak sehat

    membuat persaingan tidak sehat; 7.) Belum siapnya aparatur

    birokrasi menghadapi tuntutan perubahan. Dwiyanto,et.al 2006,

    (dalam Adnan, 2013) mengatakan bahwa birokrasi memang belum

    mampu mewujudkan nilai-nilai akuntabilitas dan efisiensi dalam

    pelayanan publik. Citra negatif atau stigma negatif terhadap kinerja

    aparatur negara menjadi salah satu alasan segera dilakukannya

    reformasi birokrasi (Adnan,2013).

    Menurut Daryanto (2007) ada beberapa indikator yang

    mencerminkan buruknya potret kinerja aparat pelayanan publik

    /PNS, antara lain ditunjukkan oleh pelayanan yang bertele-tele dan

    cenderung birokratis; biaya yang tinggi (high cost economy);

    pungutan-pungutan tambahan, perilaku aparat yang lebih bersikap

    sebagai pejabat ketimbang abdi masyarakat; pelayanan yang

    diskriminatif; mendahulukan kepentingan pribadi, golongan atau

    kelompok (termasuk kepentingan atasannya ketimbang kepentingan

    publik); adanya perilaku malas dalam mengambil inisiatif di luar

  • 7

    peraturan; masih kuatnya kecenderungan untuk menunggu petunjuk

    atasan; sikap acuh terhadap keluhan masyarakat; lamban dalam

    memberikan pelayanan; kurang berminat dalam mensosialisasikan

    berbagai peraturan kepada masyarakat.

    2.2. Dukungan Sosial

    Dukungan sosial merupakan informasi verbal dan non verbal

    berupa suatu tindakan yang didapat dari keakraban sosial atau

    karena kehadiran orang yang mendukung dimana hal ini bermanfaat

    secara emosional bagi pihak yang menerima dukungan sosial

    (Gotlieb, 1983 dalam Lestari, 2003). Menurut Bakhri (2011)

    dukungan sosial merupakan transaksi interpersonal yang melibatkan

    satu atau lebih aspek yang terdiri dari dukungan emosional,

    penghargaan, instrumental dan informasi; hal tersebut memiliki

    manfaat emosional atau efek perilaku bagi penerima, sehingga dapat

    membantu individu dalam menjalani kehidupannya atau ketika

    dalam menghadapi masalah yang dihadapinya.

    Dukungan sosial sangat diperlukan oleh individu dalam

    berhubungan dengan orang lain demi melangsungkan hidupnya

    ditengah masyarakat. Dengan adanya dukungan sosial akan

    membuat individu merasa dicintai, diperhatikan, dihargai dan

    menjadi bagian dari kelompok; dan dukungan sosial tersebut dapat

    diperoleh dari berbagai sumber (Bakhri, 2011). Pendapat senada

    disampaikan oleh Muhaimin et.al. (2013) bahwa dukungan sosial

    yang didapat oleh seseorang dapat berupa pemberian informasi,

    bantuan tingkah laku, ataupun materi yang didapat dari hubungan

  • 8

    sosial akrab yang dapat membuat individu merasa diperhatikan,

    bernilai dan dicintai.

    Konsep dukungan sosial dapat dibedakan berdasarkan bentuk

    dan sumber dukungan (House,1978 dalam Lestari 2003).

    Berdasarkan bentuk, dukungan sosial dapat terdiri dari : a)

    Dukungan Emosional; perilaku dalam memberi bantuan dalam

    bentuk sikap memberi perhatian, mendengarkan dan simpati pada

    orang lain. Dukungan ini terlihat dari sikap menghargai, percaya,

    peduli dan tanggap terhadap individu yang didukungnya. Bentuk

    dukungan emosional paling sering terlihat dalam interaksi antar

    individu. b) Dukungan Instrumental; merupakan bentuk dukungan

    berupa bantuan nyata dalam merespon kebutuhan yang khusus

    seperti pelayanan barang dan bantuan finansial. c) Dukungan

    Informasi; berupa saran, nasehat atau berupa feed back individu

    yang mendukungnya. d) Dukungan Penilaian; dukungan dalam

    bentuk penilaian yang berisi penghargaan positif, dorongan maju

    atau persetujuan terhadap gagasan yang positif, dorongan maju atau

    persetujuan terhadap gagasan atau perasaan pada individu yang

    lainnya.

    Berdasarkan sumber dukungan, dukungan sosial dapat

    bersumber dari pasangan hidup (suami/istri), keluarga, rekan kerja

    dan atasan. Dukungan dari atasan dan rekan kerja dapat mereduksi

    beban yang diterima dalam pekerjaan, sedangkan dukungan dari

    pasangan hidup dan keluarga lebih berperan dalam bentuk dukungan

    emosional (Lestari, 2003).

  • 9

    2.3. Stress Kerja

    2.3.1. Pengertian Stress Kerja

    Perkataan stress berasal dari bahasa latin Stringere, yang

    digunakan pada abad XVII untuk menggambarkan kesukaran,

    penderitaan dan kemalangan. Kata stres seringkali digunakan untuk

    menunjuk gejala atau fakta yang kadang tidak sama atau bahkan

    beda sama sekali. Misal, bagi sebagian orang kata stres digunakan

    untuk menunjuk pada suatu keadaan fisis yang tengah dilanda

    berbagai tekanan yang tidak tertahankan dan melampaui batas

    ketahanannya. Sementara bagi yang lain digunakan untuk menunjuk

    gejala yang menghasilkan tekanan-tekanan itu. Bagi sebagian orang,

    stres adalah suatu kesatuan fisis yang berkait dengan perubahan-

    perubahan yang terjadi didalamnya, sedang bagi sebagian yang lain

    stres dianggap sesuatu yang bersifat subyektif dan hanya

    berhubungan dengan kondisi psikologis dan emosional seseorang.

    Di kalangan para pakar sampai saat ini belum terdapat kata sepakat

    dan kesamaan persepsi tentang batasan stres (Margiati, 1999).

    Hariandja, 2002 (dalam Tunjungsari, 2011) mendefinisikan

    stress sebagai ketegangan atau tekanan emosional yang dialami

    sesesorang yang sedang menghadapi tuntutan yang sangat besar,

    hambatan-hambatan, dan adanya kesempatan yang sangat penting yang

    dapat mempengaruhi emosi, pikiran dan kondisi fisik seseorang.

    Menurut Handoko (2001) stress adalah suatu kondisi

    ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi

    seseorang. Hasilnya, stress yang terlalu besar dapat mengancam

    kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan, yang akhirnya

  • 10

    mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya dan berarti mengganggu

    prestasi kerjanya.

    Luthans (2013) mendefinisikan stress sebagai respon adaptif

    terhadap situasi eksternal yang menghasilkan penyimpangan fisik,

    psikologis, dan atau perilaku pada anggota organisasi. Secara

    konseptual dan praktik, konflik dan stress adalah sama terutama dalam

    tingkat individu.

    2.3.2 Penyebab dan Gejala Stress Kerja

    Mangkunegara (2008) berpendapat bahwa: “Penyebab stress

    kerja, antara lain beban kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja

    yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja

    yang tidak sehat, otoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan

    dengan tanggung jawab, konflik kerja, perbedaan nilai antara karyawan

    dengan pemimpin yang frustasi dalam kerja”. (dalam Tunjungsari,

    2011).

    Handoko (2001) mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah

    kondisi kerja yang sering menyebabkan stress bagi para karyawan ,

    diantaranya adalah: Beban kerja yang berlebihan, tekanan atau desakan

    waktu, kualitas supervisi yang jelek, iklim politis yang tidak aman,

    umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai,

    kemenduaan peranan, frustasi, konflik antar pribadi dan antar

    kelompok, perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan,

    berbagai bentuk perusahaan. Menurut Doelhadi (1997) salah satu hal

    yang menyebabkan stres adalah faktor situasi, yaitu keadaan yang

    mengandung tuntutan yang berat dan mendesak. Apabila individu tidak

    merasakan tuntutan dari lingkungan sebagai stresor, maka individu

    tersebut tidak mengalami stres.

  • 11

    Kondisi tertentu dalam lingkungan merupakan sumber potensial

    bagi munculnya stres. Bagaimana bentuk stres yang dihayati tergantung

    dari karakteristik yang unik dari individu yang bersangkutan serta

    penghayatannya tehadap faktor-faktor dari lingkungan yang potensial

    memunculkan stres padanya, walaupun hampir setiap kelompok orang

    dihadapkan pada jenis atau kondisi stress yang serupa, tetapi hal ini

    akan menghasilkan reaksi yang berbeda, bahkan dalam menghadapi

    jenis stress atau kondisi yang sama setiap individu dapat berbeda-beda

    pola reaksinya (Tunjungsari, 2011). Sarafino,1990 (dalam Solihat,

    2009) mengatakan bahwa stress bersumber dari tiga hal, yaitu dari diri

    individu (sources within the person); dari keluarga (sources in the

    family); dari lingkungan dan masyarakat (sources in the community and

    society). Luthans (2013) berpendapat penyebab stress bisa dari luar

    dan dalam organisasi, dari kelompok yang dipengaruhi karyawan dan

    dari karyawan itu sendiri.

    Gambar 2.1 Model stress kerja versi Cartwright dan Cooper

    (Sumber : http://setabasri01.blogspot.co.id/2011/01/job-stress-dan-job-

    satisfaction.html, di unduh 15/10/2015)

    Dilihat dari model Cartwright and Cooper diatas, ada

    beberapa gejala stress kerja : (1) Gejala Individual : tekanan darah

    http://setabasri01.blogspot.co.id/2011/01/job-stress-dan-job-satisfaction.htmlhttp://setabasri01.blogspot.co.id/2011/01/job-stress-dan-job-satisfaction.html

  • 12

    naik, depressed mood, makan-minum berlebih, iritabilitas, dada

    nyeri; (2) Gejala Organisasi : sering bolos, keluar masuk kerja,

    hubungan kerja tidak baik, kendali kualitas buruk.

    Gambar 2.2 Model of Stressors, Stress, and Outcomes versi Ivancevich,

    Konopaske dan Matteson, Organizational, Behavior and Management Eight

    Edition, 2008 (dalam Lindawati, 2014)

    Sumber : Lindawati, 2014

    Dilihat dari Skema pada Gambar 2.2 Model of Stressors,

    Stress, and Outcomes versi Ivancevich, Konopaske dan Matteson,

    gejala perilaku yang dihasilkan oleh stres kerja adalah

    ketidakhadiran dan pergantian pegawai. Gejala kognitif yang

    dihasilkan oleh stres kerja seperti salah dalam mengambil keputusan,

    kurang konsentrasi dalam bekerja dan mudah tersinggung, apatis dan

    frustasi. Sedangkan gejala fisiologis yang dihasilkan oleh stres kerja

    seperti naiknya tekanan darah dan penyakit jantung koroner. Model

    tersebut menyatakan bahwa hubungan antara stres dan hasil

    (individu dan organisasi) tidak selalu secara langsung, demikian juga

    dengan hubungan antara stresor dan stres. Hubungan ini mungkin

    dipengaruhi oleh moderator stres. Perbedaan individu seperti usia,

  • 13

    mekanisme dukungan sosial, dan kepribadian diperkenalkan sebagai

    moderator potensial. (Lindawati, 2014).

    Gejala stres menurut Braham (dalam Harianto et. al. 2008)

    dapat berupa tanda-tanda sebagai berikut :

    Fisik, yaitu sulit tidur atau tidur lidak teratur, sakit kepala, sulit

    buang air besar, adanya gangguan pencernaan, radang usus, kulit

    gatal-gatal, punggung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan leher

    terasa tegang, keringat berlebihan, berubah selera makan, tekanan

    darah tinggi atau serangan jantung, kehilangan energi.

    Emosional, yaitu marah-marah mudah tersinggung dan terlalu

    sensitif gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah,

    sedih, mudah menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap orang

    lain dan mudah bermusuhan serta mudah menyerang, dan kelesuan

    mental.

    Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat

    menurun, sulit untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan,

    pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja .

    Interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain,

    kepercayaan pada orang lain menurun, mudah mengingkari janji

    pada orang lain, sering mencari kesalahan orang lain atau

    menyerang dengan kata-kata, dan mudah menyalahkan orang lain..

  • 14

    2.4. Kinerja

    Prawirosentono, 2006 (dalam Supriadi 2013) mengartikan

    kinerja sebagai hasil kerja yang dapat dicapai oleh pegawai atau

    sekelompok pegawai dalam suatu organisasi, sesuai dengan

    wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam upaya

    mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak

    melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika. Sejalan

    dengan pendapat tersebut, Harbani Pasolong, 2007 (dalam Supriadi,

    2013) mengatakan kinerja pegawai adalah hasil kerja perseorangan

    dalam suatu organisasi.

    Menurut Keputusan Lembaga Administrasi Negara Republik

    Indonesia Nomor: 598/IX/6/X/1999 tentang Pedoman Penyusunan

    Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, kinerja adalah

    gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan /

    program / kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi

    dan visi suatu organisasi.

    Menurut pendapat Hasibuan (dalam Supriadi 2013), kinerja

    pegawai dapat dikatakan baik atau dapat dinilai dari beberapa hal :

    a) Kesetiaan; seorang pegawai dikatakan memiliki kesetiaan jika ia

    melakukan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh

    tanggung jawab terhadap amanah yang diberikan organisasi.

    b) Prestasi kerja; merupakan hasil kerja yang dicapai pegawai dalam

    melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Pada umumnya

    prestasi kerja seorang pegawai dipengaruhi oleh kecakapan,

    keterampilan, pengalaman dan kesanggupan pegawai dalam

    melaksanakan tugas dan fungsinya. Namun demikian prestasi

    kerja seorang pegawai tidak hanya tergantung dari kemampuan

  • 15

    dan keahlian yang bersangkutan untuk menyelesaikan suatu

    pekerjaan.

    c) Kedisiplinan; sejauh mana pegawai dapat mematuhi peraturan-

    peraturan yang ada dan melaksanakan instruksi yang diberikan

    kepadanya. Disiplin dapat diartikan melaksanakan apa yang telah

    disetujui bersama antara pimpinan dengan para pegawai baik

    persetujuan tertulis, lisan ataupun berupa peraturan-peraturan dan

    kebiasaan-kebiasaan.

    d) Kreatifitas; yaitu kemampuan pegawai dalam mengembangkan

    ide-ide dan mengeluarkan potensi yang dimiliki dalam

    menyelesaikan pekerjaannya sehingga pegawai dapat bekerja

    dengan lebih berdaya guna dan berhasil guna.

    e) Kerjasama; yaitu kemampuan pegawai untuk bekerja sama

    dengan pegawai lain dalam menyelesaikan suatu tugas yang

    ditentukan, sehingga hasil pekerjaannya akan semakin baik.

    f) Kecakapan; dapat diukur dari tingkat pendidikan pegawai yang

    disesuaikan dengan pekerjaan yang menjadi tugasnya.

    g) Tanggungjawab; adalah kesanggupan seorang pegawai

    menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan

    sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani menerima

    resiko pekerjaan yang dilakukan.

    Pengakuan sosial juga bisa menjadi salah satu pendorong

    untuk meningkatkan kinerja, sebagaimana dikatakan oleh Luthans

    (2013) bahwa memberikan penghargaan non finansial berupa

    umpan balik kinerja dan perhatian/pengakuan sosial bisa menjadi

    salah satu metode yang efektif untuk meningkatkan kinerja

    karyawan.

  • 16

    2.5. Dampak Stigma Negatif Terhadap Perilaku Kerja (Stress

    Kerja dan Kinerja)

    Berbagai bentuk stigma negatif terhadap PNS seperti misalnya

    PNS loyalitasnya masih rendah, tidak disiplin, malas bekerja, (lihat

    sinarharapan.co/news/read/23298/menguji-loyalitas-pns), kinerja PNS

    lambat (lihat http://www.beritasatu.com/pelayanan-publik/222082-

    menpan-dan-rb-penilaian-pns-kita-buruk-di-publik.html), dan bentuk

    stigma negatif terhadap PNS lainnya diduga berdampak terhadap stress

    kerja dan berdampak terhadap kinerja para pegawai di Pemerintah

    Kota Salatiga, karena dimungkinkan berbagai tudingan tersebut bisa

    memunculkan rasa frustasi dalam diri PNS. Sebagaimana pendapat

    Handoko (2001), bahwa sejumlah kondisi kerja yang salah satunya

    adalah frustasi bisa menyebabkan stress kerja bagi karyawan.

    Dalam teori peran (role theory) ditegaskan bahwa stress dapat

    mengurangi kinerja, karena stress dapat merusak perilaku seseorang

    (pshychological well-being) (Keaveney et.al. 1992 dalam Lestari,

    2003). Meskipun stress berpotensi menurunkan kinerja, ada

    pandangan lain yang berpendapat jika stress juga bisa berpotensi

    meningkatkan kinerja; sebagaimana pendapat Dientsbier (1989)

    kinerja pegawai justru akan menurun jika mereka merasakan tingkat

    stress yang rendah atau tidak ada sama sekali, karena mereka tidak

    merasa tertantang atau terdorong untuk mencapai kinerja yang

    tinggi. Sebaliknya stress yang terlalu tinggi akan mendorong

    pegawai hanya terfokus pada usaha untuk mengatasi stress tersebut

    dibandingkan dengan usahanya untuk meningkatkan kinerja. Pada

    tingkatan moderat, stress dapat mendorong pegawai untuk bekerja

    http://www.beritasatu.com/pelayanan-publik/222082-menpan-dan-rb-penilaian-pns-kita-buruk-di-publik.htmlhttp://www.beritasatu.com/pelayanan-publik/222082-menpan-dan-rb-penilaian-pns-kita-buruk-di-publik.html

  • 17

    lebih baik tanpa harus mencurahkan energinya untuk mengatasi

    stress (dalam Lestari, 2003).

    Doelhadi (1997) berpendapat bahwa salah satu hal yang

    menyebabkan stress adalah faktor situasi, yaitu keadaan yang

    mengandung tuntutan yang berat dan mendesak. Akan tetapi

    sebaliknya apabila individu tidak merasakan tuntutan dari

    lingkungan sebagai stresor, maka individu tersebut tidak mengalami

    stress. Dari hasil penelitian Daniel, et.al. 2005 menunjukkan bahwa

    apresiasi kepada pegawai bisa membantu meningkatkan semangat

    kerja, stress yang lebih rendah, menurunkan ketidakhadiran dan

    perputaran, dan meningkatkan produktivitas (dalam Mardalis et.al.,

    2012).

    Menurut pendapat Lestari (2003) terdapat hubungan langsung

    antara variabel-variabel stress dengan variabel-variabel hasil kerja,

    namun dukungan sosial dapat mempengaruhi hubungan tersebut

    dengan mengubah sikap pegawai dalam bereaksi terhadap stress

    yang berkaitan dengan situasi-situasi tertentu.

    2.6 Pengembangan Hipotesis

    Berdasar latar belakang permasalahan dan landasan pemikiran

    yang telah diuraikan, maka hipotesis dapat dirumuskan sebagai

    berikut:

    Stigma negatif berpengaruh terhadap stress kerja PNS di

    Pemerintah Kota Salatiga;

    Dukungan sosial berperan sebagai variabel moderasi dalam

    hubungan stigma negatif terhadap stress kerja PNS di Pemerintah

    Kota Salatiga;

  • 18

    Stress kerja berpengaruh terhadap kinerja PNS di Pemerintah

    Kota Salatiga;

    2.7 Kerangka Pemikiran Teoritis

    Berdasarkan telaah teoritis yang dilakukan pada bagian

    awal, selanjutnya dibentuk sebuah model penelitian yang akan

    menjadi kerangka penelitian dan panduan bagi pemecahan masalah

    yang diajukan dalam penelitian ini. Penelitian ini memiliki beberapa

    variabel, diantaranya variabel stigma negatif (X1), variabel

    dukungan sosial sebagai variabel moderasi (X2), variabel stress kerja

    (Y1), dan variabel kinerja (Y2). Model dalam penelitian ini dapat

    digambarkan sebagai berikut :

    Gambar 2.4 Model Kerangka Pemikiran

    X1 Y1 Y2

    X2

    H1 : Stigma negatif berpengaruh terhadap stress kerja PNS di

    Pemerintah Kota Salatiga;

    STIGMA NEGATIF STRESS KERJA KINERJA

    DUKUNGAN SOSIAL

  • 19

    H2 : Dukungan sosial berperan sebagai variabel moderasi dalam

    hubungan stigma negatif terhadap stress kerja PNS di

    Pemerintah Kota Salatiga

    H3 : Stress kerja berpengaruh terhadap kinerja PNS di Pemerintah

    Kota Salatiga