bab ii tinjauan pustaka 2.1 staphylococcus...

21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Staphylococcus aureus Gambar 1. Koloni Staphylococcus aureus 2.1.1 Klasifikasi Klasifikasi Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut 14 : Kingdom : Bacteria Ordo : Bacillales Famili : Micrococcaceae Genus : Staphylococcus Spesies : Staphylococcus aureus 2.1.2 Morfologi dan Sifat Staphylococcus adalah bakteri berbentuk sferis yang tumbuh bergerombol seperti buah anggur dengan ukuran diameter sekitar 0,5-1,5μm. Staphylococcus

Upload: dinhtruc

Post on 26-Apr-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Staphylococcus aureus

Gambar 1. Koloni Staphylococcus aureus

2.1.1 Klasifikasi

Klasifikasi Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut14:

Kingdom : Bacteria

Ordo : Bacillales

Famili : Micrococcaceae

Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus

2.1.2 Morfologi dan Sifat

Staphylococcus adalah bakteri berbentuk sferis yang tumbuh bergerombol

seperti buah anggur dengan ukuran diameter sekitar 0,5-1,5µm. Staphylococcus

aureus merupakan bakteri gram positif fakultatif anaerob yang tumbuh pada suhu

optimum 34º C, menghasilkan pigmen kuning keemasan, tidak menghasilkan

spora dan tidak motil.15 Staphylococcus aureus mampu menghasilkan enzim

katalase yang berperan dalam proses pengubahan hidrogen peroksida (H2O2)

menjadi hydrogen (H2) dan oksigen (O2), karena hal tersebut Staphylococcus

aureus dikatakan bersifat katalase positif dimana hal ini dapat membedakannya

dari genus Streptococcus. Staphylococcus aureus juga menunjukkan kemampuan

untuk menghasilkan enzim koagulase yang dapat membedakannya dari

Staphylococcus jenis lainnya, seperti Staphylococcus epidermidis.16 Sifatnya

sebagai bakteri komensal dalam tubuh manusia yang jumlahnya berimbang

dengan flora normal lainnya.17 S.aureus pada manusia diantaranya ditemukan

pada hidung, kulit, tenggorokan dan lain-lain.18

2.1.3 Patogenesis dan Manifestasi Klinis

Dari semua genus Staphyloccous, Staphylococcus aureus merupakan

spesies yang paling virulen dan patogen bagi manusia. S. aureus mempunyai

kemampuan adaptasi pada lingkungan yang berbeda dan dapat berkolonisasi pada

kulit manusia, kuku, lubang hidung, dan membran mukosa dan dapat menyebar ke

manusia lain melalui kontak fisik dan aerosol.19 Kolonisasi S. aureus sangat

penting untuk mengetahui infeksinya.20

S. aureus menyebabkan persebaran infeksi yang luas mulai dari kulit, luka

dan jaringan dalam infeksi yang lebih mengancam nyawa seperti pneumonia,

endokarditis, arthritis septik dan sepsis. Bakteri ini termasuk salah satu bakteri

penyebab infeksi nosokomial terbanyak. S. aureus juga menyebabkan keracunan

makanan, scalded-skin syndrome, toksik syok sindrom, melalui toksin yang

berbeda-beda.21

Berbagai faktor virulensi berkontribusi pada kemampuan S. aureus

menyebabkan infeksi (Gambar 2); enzim, racun, protein adhesi, permukaan sel

protein, faktor yang membantu bakteri untuk menghindari pertahanan kekebalan

tubuh bawaan, dan resistensi antibiotik menengahi kelangsungan hidup bakteri

dan invasi jaringan di tempat infeksi.22 Terlebih toksin tertentu penyebab entitas

penyakit tertentu.

Gambar 2. Faktor virulensi Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus memiliki dinding sel yang terdiri dari

peptidoglikan, peptidoglikan mempunyai aktifitas seperti endotoksin,

menstimulasi keluarnya sitokin dari makrofag yaitu interleukin-1 dan aktifasi

komplemen, kapsul akan mencegah fagositosis PMN, adanya toksin dan enzim

yang dihasilkan untuk merusak sel inang.18,19 Selain itu, faktor dari

Staphylococcus aureus yang menyebabkan sukarnya penanganan infeksi adalah

adanya resistensi bakteri terhadap antibiotik.18

2.1.4 Resistensi Antibiotik dan Pengobatan

Pada awalnya penisilin digunakan sebagai terapi infeksi Staphylococcus

aureus. Kemudian, resistensi muncul ketika ditemukan strain elemen genetik β-

lactamase, dan hari ini 80% dari semua strain S.aureus merupakan resisten

penisilin. Obat selanjutnya yang diperkenalkan untuk mengobati infeksi S.aureus

adalah semisintetik yaitu oksasilin atau metisilin, namun tidak lama setelah itu

ditemukan isolat resisten metisilin.21

Berdasarkan hasil studi Antimicrobial Resistance in Indonesia, pada tahun

2000-2004 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan RSUP dr. Kariadi Semarang,

membuktikan bahwa sudah terdapat kuman multi-resisten seperti MRSA

(Methicillin Resistant Staphylococcus aureus) dan bakteri penghasil ESBL

(Extended Spectrum Beta Lactamases).7

Pengobatan terhadap infeksi S.aureus biasanya menggunakan berbagai

jenis antibiotik seperti tetrasiklin, vankomisin, atau penisilin resisten β-lactamase.

Perbedaan jenis obat yang diberikan dipertimbangkan dari angka resistensi bakteri

terhadap suatu antibiotik, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Endang Sri

Lestari dkk tahun 2009 menyatakan bahwa dari 361 kultur positif S.aureus 67,9%

masih sensitif terhadap seluruh antibiotik yang diujikan, 32,1% resisten terhadap

satu atau dua agen antiobitik, 21,1% resisten terhadap satu jenis antibiotik dan

10,5% resisten terhadap dua atau lebih antibiotik, angka tersebut diperoleh dari

sampel yang dirawat di rumah sakit dan tidak dirawat di rumah sakit.23 Adapun

antibiotik yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah tetrasiklin, oksasilin,

gentamisin, eritromisin, klorampenikol dan trimetropim-sulfametoksazol.23

2.2 Obat Tradisional

Tanaman obat telah lama digunakan dan penggunaannya tersebar baik di

Negara maju maupun Negara berkembang. Menurut WHO sekitar 80% penduduk

di Negara berkembang menggunakan pengobatan tradisional yang sebagian besar

berasal dari tanaman.8

Banyak tanaman yang tumbuh di Negara ini dapat digunakan sebagai

tanaman obat mengingat Indonesia sebagai Negara yang memiliki

keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setalah Brazil. Pemakaian obat

tradisional untuk berbagai macam pengobatan sudah lama dipraktikan oleh

masyarakat Indonesia. Dorongan masyarakat pada saat ini untuk kembali ke alam

(back to nature) sangat besar karena pengobatan dengan menggunakan bahan

sintetik kimia (obat-obat kimia) cukup mahal dan memiliki efek samping yang

serius.24

Untuk mendukung hal tersebut maka dilakukan pengembangan obat

tradisional melalui penelitian-penelitian ilmiah terbaru dan diproduksi secara

modern agar bisa dimanfaatkan sebagai obat untuk kepentingan kesehatan dan

kesejahteraan masyarakat. Proses saintifikasi tersebut sangat penting agar

penggunaan obat tradisional tidak berdasarkan pengalaman saja tetapi memiliki

bukti ilmiah sehingga bisa digunakan dalam sistem pelayanan kesehatan formal

yang modern.25

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun

2012 tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional, obat tradisional adalah bahan

atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian,

atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun digunakan untuk

pengobatan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.26

2.2.1 Bentuk Sediaan Obat Tradisional

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia:

661/Menkes/SK/VII/1994 Tentang Persyaratan Obat Tradisional terdapat bentuk-

bentuk sediaan obat tradisional, antara lain27:

a. Rajangan

Sediaan obat tradisional berupa potongan simplisia, campuran simplisia,

atau campuran simplisia dengan sediaan galenik, yang penggunaannya

dilakukan dengan pendidihan atau penyeduhan dengan air panas.

b. Serbuk

Sediaan obat tradisional berupa butiran homogen dengan derajat halus

yang cocok, bahan bakunya berupa simplisia sediaan galenik, atau

campurannya.

c. Pil

Sediaan padat obat tradisional berupa massa bulat, bahan bakunya berupa

serbuk simplisia, sediaan galenik, atau campurannya.

d. Dodol atau Jenang

Sediaan padat obat tradisional bahan bakunya berupa serbuk simplisia,

sediaan galenik atau campurannya.

e. Pastiles

Sediaan padat obat tradisional berupa lempengan pipih umumnya

berbentuk segi empat, bahan bakunya berupa campuran serbuk simplisia,

sediaan galenik, atau campuran keduanya.

f. Kapsul

Sediaan obat tradisional yang terbungkus cangkang keras atau lunak,

bahan bakunya terbuat dari sediaan galenik dengan atau tanpa bahan

tambahan.

g. Tablet

Sediaan obat tradisional padat kompak dibuat secara kempa cetak, dalam

bentuk tabung pipih, silindris, atau bentuk lain, kedua permukaannya rata

atau cembung, dan terbuat dari sediaan galenik dengan atau tanpa bahan

tambahan.

h. Cairan obat dalam

Sediaan obat tradisional berupa larutan emulsi atau suspensi dalam air,

bahan bakunya berasal dari serbuk simplisia atau sediaan galenik dan

digunakan sebagai obat dalam.

i. Sari atau ekstrak

Cairan obat dalam dengan tujuan tertentu diperbolehkan mengandung

etanol.

j. Cairan obat luar

Sediaan obat tradisional berupa larutan suspensi atau emulsi, bahan

bakunya berupa simplisia, sediaan galenik dan digunakan sebagai obat

luar.

k. Salep atau krim

Sediaan setengah padat yang mudah dioleskan, bahan bakunya berupa

sediaan galenik yang larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep atau

krim yang cocok dan digunakan sebagai obat luar.

2.3 Tumbuhan Kedondong Laut

Gambar 3. Tumbuhan kedondong laut

2.3.1 Taksonomi dan Morfologi Tumbuhan Kedondong Laut

Dalam sistematika (taksonomi), tumbuhan kedondong laut dapat

diklasifikasikan sebagai berikut28:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Apiales

Famili : Araliaceae

Genus : Polyscias

Spesies : Polyscias fruticosa

Nama umum tumbuhan adalah kedondong laut. Tumbuhan ini dikenal

masyarakat Indonesia dengan nama daerah yaitu: Puding (Melayu), Kedongdong

laut (Sunda), Kadungdung petedhan (Madura), Bombu (Makasar), Keudem rintek

(Minahasa), Gurabati (Ternate), dan Dewu papua (Ambon).29

Pohon kedondong ini adalah perdu tegak atau pohon kecil yang tingginya

mencapai 2-3. Berbatang tegak, berkayu, bulat, dan hijau kekuningan. Daunnya

bulat telur, rata atau keriting, tepinya bergerigi halus tersusun ganda. Pertulangan

daun menyirip, berukuran 8–15 cm × 3–7 cm. Bunganya berjumlah 5-8 kuntum

yang tersusun dalam payung, dan perhiasan bunganya berwarna hijau dan

berukuran kecil. Buahnya tergolong buah buni, bulat, dan berwarna hijau

keunguan. Bijinya bulat pipih berwarna hitam. Sedangkan akarnya tergolong akar

tunggang berwarna coklat.9

Kedondong laut memiliki daun kelipatan 3 yang berbentuk seperti bulu

burung, dengan bagian atas yang memendek dengan panjang 5 sampai 10 cm.

Bagian bawah daun tumbuhan ini lebih besar dari bagian atasnya, dan memiliki

bentuk yang tajam serta bergerigi. Daun tumbuhan kedondong laut juga memiliki

aroma yang khas.10

2.3.2 Kandungan Kimia Daun Kedondong Laut

Menurut studi literatur, penelitian terhadap kandungan senyawa yang

terdapat dalam tumbuhan kedondong laut telah dilakukan oleh Sekolah Farmasi

ITB Bandung pada tahun 1994. Pemeriksaan fitokimia pendahuluan daun

kedondong laut ditemukan adanya senyawa flavonoida, steroida dan triterpenoida,

saponin serta tanin. Dari ekstrak etanol telah diisolasi suatu senyawa yang diduga

sebagai saponin triterpenoida . Dari fraksi n-heksana telah diisolasi suatu senyawa

yang diduga termasuk senyawa golongan steroida atau triterpenoida. Dari fraksi

etil asetat ditemukan adanya golongan senyawa asam fenolat yang diduga sebagai

asam p-hidroksi benzoat dan asam vanilat, serta satu senyawa yang belum

diidentifikasi. Flavonoida ditemukan pada ekstrak etanol, fraksi diklormetana,

fraksi etil asetat dan fraksi air. Dari fraksi air telah diisolasi suatu senyawa

flavonoida yang mirip kelompok auron.30

Alkaloid merupakan suatu senyawa yang bersifat basa sehingga

kemungkinan akan menekan pertumbuhan bakteri karena bakteri tumbuh pada pH

asam. Flavonoid dan tanin yang merupakan senyawa fenolik berinteraksi dengan

protein dinding sel yang menyebabkan presipitasi dan terdenaturasinya protein

dinding sel. Flavonoid memiliki sifat lipofilik sehingga dimungkinkan akan

merusak membran sel bakteri. Senyawa tanin diduga dapat merusak membran sel

bakteri. Sementara tanin diduga dapat mengerutkan dinding sel atau membran sel

sehingga mengganggu permeabilitas sel itu sendiri. Akibat terganggunya

permeabilitas, sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup sehingga

pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati.30

Saponin merupakan salah satu metabolit sekunder kedondong laut adalah

glikosida yang tersusun dari gula yang berikatan dengan aglikon memiliki struktur

yang terdiri dari rantai triterpenoid atau steroid dan bersifat non polar. Struktur

saponin tersebut menyebabkan saponin bersifat seperti sabun atau deterjen

sehingga saponin disebut sebagai surfaktan alami.31 Saponin mempunyai aktivitas

farmakologi yang cukup luas yaitu imunomodulator, antitumor, antiinflamasi, anti

jamur, antivirus, dan antibakteri. Saponin dapat merusak membran sitoplasma sel

bakteri sehingga dapat mengganggu protein membran. Saponin mempunyai

mekanisme menghambat sekaligus membunuh bakteri. Senyawa-senyawa kimia

ini yang dapat melisiskan bakteri dan dapat bekerja sebagai antibakteri alami.9

2.4 Pengesktrakan

2.4.1 Ekstraksi

Ekstraksi adalah istilah dalam bidang farmasi yang artinya pemisahan

bahan aktif baik pada tanaman maupun hewan dengan menggunakan pelarut

selektif sesuai standar prosedur ekstraksi.32 Standarisasi proses ekstraksi bertujuan

untuk memurnikan zat aktif dari zat lain dengan menggunakan perlarut tertentu,

proses standarisasi juga sangat berpengaruh pada kualitas obat herbal.33

Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan

menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai

kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi

dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel

dengan penyaringan. Ekstrak awal sulit dipisahkan melalui teknik pemisahan

tunggal untuk mengisolasi senyawa tunggal. Oleh karena itu, ekstrak awal perlu

dipisahkan ke dalam fraksi yang memiliki polaritas dan ukuran molekul yang

sama.25

Proses ekstraksi khususnya untuk bahan yang berasal dari tumbuhan

adalah sebagai berikut25:

1. Pengelompokan bagian tumbuhan (daun, bunga, dll), pengeringan dan

penggilingan bagian tumbuhan.

2. Pemilihan pelarut

3. Pelarut polar: air, etanol, metanol, dan sebagainya.

4. Pelarut semipolar: etil asetat, diklorometan, dan sebagainya.

5. Pelarut nonpolar: n-heksan, petrole-um eter, kloroform, dan sebagainya.

2.4.2 Metode Ekstraksi

Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada sifat bahan dan senyawa yang

akan diisolasi. Sebelum memilih suatu metode, target ekstraksi perlu ditentukan

terlebih dahulu. Ada beberapa target ekstraksi, diantaranya34:

1. Senyawa bioaktif yang tidak diketahui

2. Senyawa yang diketahui ada pada suatu organisme

3. Sekelompok senyawa dalam suatu organisme yang berhubungan secara

struktural.

Ada beberapa metode ekstraksi senyawa organik bahan alam yang umum

digunakan, antara lain35:

a. Maserasi

Maserasi merupakan proses perendaman sampel menggunakan pelarut

organik pada suhu ruangan. Proses ini sangat menguntungkan dalam

isolasi senyawa bahan alam karena melalui perendaman sampel tumbuhan

akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan

tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang

ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi

senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang

dilakukan. Pemilihan pengekstrak untuk proses maserasi akan memberikan

efektifitas yang tinggi melalui cara memerhatikan kelarutan senyawa

bahan alam pelarut tersebut.

b. Perkolasi

Perkolasi merupakan proses melewatkan pelarut organik pada sampel

sehingga pelarut akan membawa senyawa organik bersama-sama pelarut.

Efektifitas dari proses ini hanya akan lebih besar untuk senyawa organik

yang sangat mudah larut dalam pengekstrak yang digunakan.

c. Sokletasi

Proses sokletasi sangat baik untuk senyawa yang tidak terpengaruh oleh

panas. Penggunaan pengekstrak dalam proses ini akan dapat dihemat

karena terjadinya sirkulasi pengekstrak yang selalu membasahi sampel.

d. Destilasi uap

Proses destilasi uap banyak digunakan untuk senyawa organik yang tahan

pada suhu cukup tinggi, yaitu yang lebih tinggi dari titik didih pelarut yang

digunakan. Pada umumnya lebih banyak digunakan untuk minyak atsiri.

e. Pengempasan

Metode ini banyak digunakan dalam proses industri seperti pada isolasi

senyawa dari buah kelapa sawit dan isolasi katekin dari daun gambir.

Proses ini tidak menggunakan pelarut.

2.4.2.1 Maserasi

Maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi yang dilakukan melalui

perendaman serbuk bahan dalam larutan pengekstrak. Metode ini digunakan untuk

mengekstrak zat aktif yang mudah larut dalam cairan pengekstrak, tidak

mengembang dalam pengekstrak, serta tidak mengandung benzoin. Keuntungan

dari metode ini adalah peralatannya mudah ditemukan dan pengerjaannya

sederhana.36

Ada beberapa variasi metode maserasi, antara lain digesti, maserasi

melalui pengadukan kontinyu, remaserasi, maserasi melingkar, dan maserasi

melingkar bertingkat. Digesti merupakan maserasi menggunakan pemanasan

lemah (40-50°C). Maserasi pengadukan kontinyu merupakan maserasi yang

dilakukan pengadukan secara terus-menerus, misalnya menggunakan shaker,

sehingga dapat mengurangi waktu hingga menjadi 6-24 jam. Remaserasi

merupakan maserasi yang dilakukan beberapa kali. Maserasi melingkar

merupakan maserasi yang cairan pengekstrak selalu bergerak dan menyebar.

Maserasi melingkar bertingkat merupakan maserasi yang bertujuan untuk

mendapatkan pengekstrakan yang sempurna.36

Lama maserasi memengaruhi kualitas ekstrak yang akan diteliti. Lama

maserasi pada umumnya adalah 4-10 hari.37 Maserasi akan lebih efektif jika

dilakukan proses pengadukan secara berkala karena keadaan diam selama

maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Melalui usaha ini

diperoleh suatu keseimbangan konsentrasi bahan ekstraktif yang lebih cepat

masuk ke dalam cairan pengekstrak.38

2.4.3 Pelarut Ekstrak

Pemilihan jenis pelarut harus mempertimbangkan beberapa faktor antara

lain selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk

diuapkan dan harga pelarut. Larutan pengekstraksi yang digunakan disesuaikan

dengan kepolaran senyawa yang diinginkan. Menurut prinsip like dissolves like,

suatu pelarut akan cenderung melarutkan senyawa yang mempunyai tingkat

kepolaran yang sama. Pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan

sebaliknya.39

Flavonoid merupakan senyawa golongan polifenol yang terdistribusi luas

pada tumbuhan dalam bentuk glikosida yang berikatan dengan suatu gula, karena

itu flavonoid merupakan senyawa yang bersifat polar. Pelarut polar yang biasa

digunakan untuk ekstraksi flavonoid adalah metanol, aseton, etanol, air dan

isopropanol.39

Ekstraksi menggunakan pelarut etanol atau metanol biasa digunakan untuk

mengekstraksi kandungan kimia tanaman yang berupa komponen aromatik atau

komponen organik jenuh. Umumnya pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi

komponen yang aktif sebagai antimikroba digunakan pelarut metanol, etanol dan

air. Ekstraksi menggunakan pelarut etanol 96% karena etanol adalah pelarut

universal yang dapat menyari senyawa polar, nonpolar dan semi polar.40

2.5 Uji Aktivitas Antibakteri

Uji aktivitas antibakteri merupakan tes yang digunakan untuk menguji

kepekaan suatu bakteri terhadap zat antibakteri. Uji kepekaan/sensitivitas

bertujuan untuk mengetahui daya kerja/efektifitas dari suatu antibakteri dalam

membunuh bakteri.41

Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi dan metode

pengenceran. Disc diffusion test atau uji difusi disk dilakukan dengan mengukur

diameter zona bening (clear zone) yang merupakan petunjuk adanya respon

penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak.

Syarat jumlah bakteri untuk uji kepekaan/sensitivitas yaitu 105-108 CFU/mL.

Sedangkan, metode pengenceran dalam tabung dilakukan dengan tujuan untuk

mempertegas nilai MIC yang diperoleh dari hasil uji metode cakram kertas.41

2.5.1 Metode Difusi Kirby-Bauer

Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar. Cakram

kertas saring berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada medium padat yang

sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah diinkubasi,

diameter zona hambat sekitar cakram yang dipergunakan mengukur kekuatan

hambatan obat terhadap organisme uji. Metode ini dipengaruhi beberapa faktor

fisik dan kimia, selain faktor antara obat dan organisme (misalnya sifat medium

dan kemampuan difusi, ukuran molekular dan stabilitas obat). Meskipun

demikian, standarisasi faktor-faktor tersebut memungkinkan melakukan uji

kepekaan dengan baik.18

Salah satu uji sensitivitas dengan metode difusi agar menggunakan teknik

disc diffusion adalah metode Kirby Bauer, dalam uji sensitivitas metode Kirby

Bauer menggunakan media selektif, yaitu media Mueller Hinton.42

Mekanisme kerja metode Kirby Bauer cukup sederhana, pertama transfer

koloni bakteri uji pada media BHI cair, inkubasi 370C selama 18 jam. Pada umur

18 jam bakteri uji mengalami fase eksponensial atau logaritma (dimana bakteri

dalam fase aktif, metabolisme dan enzim yang terbentuk maksimal serta berada

pada fase patogenitas). Pisahkan beberapa tetes suspensi ke dalam tabung reaksi

yang berbeda, tambahkan NaCl fisiologis. Masukkan lidi kapas steril ke dalam

suspensi tersebut dan tekan lidi kapas pada dinding tabung, ratakan lidi kapas

yang diolesi suspensi ke seluruh permukaan media Mueller Hinton Agar dengan

ketebalan standar 0,6 cm. Diamkan ± 5 menit. Tempatkan disc antibiotik, inkubasi

340C selama 18 jam, amati zona pertumbuhan bakteri di sekitar disc dan ukur

diameter zona hambatannya.42

2.5.2 Media Penanaman Bakteri

Penanaman bakteri atau kultur dimaksudkan untuk menumbuhkan satu

jenis bakteri dalam suatu media. Media penanaman bakteri dapat berupa cairan,

setengah padat atau agar dan campuran keduanya.43

Uji aktivitas antibakteri salah satunya dipengaruhi oleh media, media

dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya44:

1) Keasaman. Keasaman media agar berkisar antara 7,2-7,4 pada temperatur

ruangan. Keasaman ini penting diperhatikan karena akan mempengaruhi

hasil tes aktivitas antibakteri terhadap bakteri.

2) Efek dari timidin atau timin. Media yang mengandung banyak timidin atau

timin dapat mengurangi zona hambat. Media Mueller Hinton mempunyai

kadar timidin yang rendah sehingga dapat digunakan sebagai media yang

baik untuk uji aktivitas antibakteri.

2.5.3 Mc Farland 0.5

Mc Farland 0.5 merupakan standar yang digunakan sebagai patokan

jumlah bakteri pada metode agar dilusi, broth-makro-mikrodilusi, metode disk

difusi dan anaerobik tes. Selain itu, Mc Farland 0.5 merupakan salah satu cara

yang dapat diaplikasikan untuk menyiapkan bakteri yang akan digunakan untuk

uji kemampuan antimikroba.45

Mc Farland 0.5 merupakan formula yang terdiri dari asam belerang 1%

dan barium klorida 1%, dengan perbandingan 99,5 : 0,5. Mc Farland 0.5

disetarakan dengan 108 cfu/mL. Mc Farland dimaksudkan untuk menggantikan

perhitungan bakteri satu per satu dan untuk memperkirakan kepadatan sel yang

digunakan pada prosedur pengujian antimikroba. Untuk menilai kekeruhannya

dapat digunakan spektrofotometer. Di samping Mc Farland 0.5 terdapat pula jenis

Mc Farland seperti Mc Farland 1.0, 2.0, 3.0, 4.0, 5.0, 6.0, 7.0 dan 8.0 yang

membedakan dengan Mc Farland 0.5 adalah perbandingan jumlah antara asam

belerang 1% dan barium klorida 1%.45

2.5.4 Daya Hambat

Daya hambat adalah kemampuan suatu zat untuk menghambat

pertumbuhan suatu tanaman atau mikroorganisme. Daya hambat yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah untuk melihat seberapa besar kemampuan daya

hambat akibat penggunaan ekstrak daun kedondong laut terhadap pertumbuhan

bakteri Staphylococcus aureus resisten metisilin. Daya hambat diukur

diameternya zona bening yang terbentuk pada media pertumbuhan.16

2.6 Kerangka Teori

Gambar 4. Kerangka teori

2.7 Kerangka konsep

Gambar 5. Kerangka konsep

Konsentrasi ekstrak daun

kedondong laut (Polyscias

fruticosa)

Penghambatan pertumbuhan

bakteri Staphylococcus

aureus resisten metisilin

Daun kedondong laut

(Polyscias fruticosa)

)

Flavonoid

Mengganggu Permeabilitas dinding sel

Tanin Saponin

Uji aktivitas antibakteri

Daya hambat pertumbuhan bakteri

Staphylococcus aureus resisten metisilin

Presipitasi dan

mendenaturasi

protein dinding sel

Mengerutkan

dinding atau

membran sel

Merusak

membran

sitoplasma sel

bakteri

Ekstraksi zat aktif

2.8 Hipotesis

2.8.1 Hipotesis Mayor

Ekstrak daun kedondong laut mampu menghambat pertumbuhan bakteri

Staphylococcus aureus resisten metisilin secara in vitro.

2.8.2 Hipotesis Minor

1. Ekstrak daun kedondong laut dengan konsentrasi 25% mampu

menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus resisten

metisilin secara in vitro.

2. Ekstrak daun kedondong laut dengan konsentrasi 50% mampu

menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus resisten

metisilin secara in vitro.

3. Ekstrak daun kedondong laut dengan konsentrasi 75% mampu

menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus resisten

metisilin secara in vitro.

4. Ekstrak daun kedondong laut dengan konsentrasi 100% mampu

menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus resisten

metisilin secara in vitro.

5. Adanya perbedaan pengaruh ekstrak daun kedondong laut dengan

konsentrasi 25%, 50%, 75%, dan 100% dalam menghambat pertumbuhan

bakteri Staphylococcus aureus resisten metisilin secara in vitro.