bab ii tinjauan pustaka 2.1 potensi limbah pertanian … · 2019. 2. 6. · penghalang proses...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Potensi Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ruminansia
Limbah pertanian baik berupa hasil sisa,hasil sampingan maupun hasil
buangan merupakan sumber bahan pakan alternatif yang sangat potensial. Produk
limbah dari tanaman pertanian mempunyai rasio yang tinggi dari produk utama
sehingga berpotensi menghasilkan bahan pakan dengan jumlah produksi yang
tinggi. Ginting (2004) mengungkapkan dari komoditas padidapat dihasilkan
limbah jerami padi dengan rasio 100% dari produk utama (gabah), dedak padi
10%, sekam 15–17%, dan beras pecah 4–5%, dari komoditas jagung dapat
dihasilkan jerami jagung 300%, dedak jagung 8–10%, dan tongkol jagung 10%,
dari komoditas kedele dihasilkan jerami kedele 100% dan bungkil kedele 70–
75%, dan dari ubi kayu dapat dihasilkan daun ubi 6–8%, dan onggok 55–59%.
Badan Pusat Statistik/BPS melaporkan produksi padi, jagung dan kedele di
Indonesia Tahun 2012 adalah masing-masing sebesar 69.056.126 ton gabah
kering giling (GKG), 19.387.022 ton pipilan jagung kering, dan 843.153 ton
kedele kering (BPS, 2014). Sehingga berdasarkan rasio produksi limbah dengan
produk utama dapat diperkirakan produksi limbah baik jerami maupun limbah
agroindustri dari ketiga komoditas tersebut adalah sebesar 154.668.074 ton yang
mampu mencukupi kebutuhan 43.461.349 ST dalam setahun (1 ST setara dengan
bobot hidup 325 kg dengan kebutuhan pakan 3% bobot hidup berdasarkan
kebutuhan bahan kering/BK) (Anggraeny dan Umiyasih, 2008). Sedangkan di
Bali produksi ketiga komoditas pangan tersebut adalah masing-masing 865.553
8
ton GKG, 61.873 ton jagung kering dan 8.210 ton kedele kering (BPS Bali, 2014)
dengan prediksi produksi limbah ketiga tanaman pangan tersebut sebesar
1.354.891 ton yang berarti dapat mencukupi kebutuhan 380.721 ST selama
setahun (Anggraeny dan Umiyasih, 2008). Disamping ketiga komoditas tersebut,
limbah pertanian yang potensial dimanfaatkan sebagai pakan di Bali adalah jerami
kacang tanah (4,61 ton Bahan Kering (BK)/Ha, jerami singkong (0,9 – 1,0 ton
BK/ha, limbah mete (19,19 ton/ha), limbah kopi (450 kg/ha) dan limbah kakao
(2,8 kg BK tepung kakao/pohon/tahun) (Yasa dan Adijaya, 2012).
Produksi limbah agroindustri dari ketiga komoditas pertanian tersebut
khususnya dedak padi, dedak jagung dan bungkil kedele adalah relatif lebih
sedikit dibandingkan dengan produksi jerami (Ginting, 2004; Marlina dan Askar,
2004) yaitu secara nasional pada Tahun 2012 masing-masing sekitar 6.905.613
ton, 1,938.702 ton dan 632.365 ton (BPS, 2012), sedangkan di Bali produksi
dedak padi dan dedak jagung diprediksi sekitar 86.555 ton dan 6.187 ton (BPS
Bali, 2014). Limbah agroindustri ini merupakan bahan pakan yang umum
dimanfaatkan oleh peternak. Pemanfaatan limbah agroindustri bagi ruminansia,
diarahkan sebagai pakan tambahan/suplemen mengingat kualitas dan kandungan
nutrien yang relatif tinggi (Tabel 2.2) (Marlina dan Askar, 2004; Utomo, 2004).
Jerami padi (Oriza sativa), jerami jagung (Zea mays) dan jerami kedele
(Glisine max) merupakan limbah tanaman pertanian dengan kuantitas produksi
yang tinggi dan berpotensi sebagai sumber pakan alternatif pengganti hijauan
segar. Berdasarkan rasio produk utama dan produk limbah dapat diprediksi
produksi jerami padi, jerami jagung dan jerami kedeledi Indonesia Tahun 2012
9
masing-masing berkisar 69.056.126 ton bahan kering/BK, 58.161.066 ton BK dan
843.153 ton BK. Sedangkan di Bali produksi jerami padi,jerami jagung dan jerami
kedele Tahun 2012 sekitar 865.553 ton BK, 185.619 ton BK dan 8.210 ton BK
(BPS Bali, 2014). Saat ini, tingkat pemanfaatan ketiga jerami tanaman pertanian
tersebut sebagai pakan adalah sekitar 50% untuk jerami padi, 80% untuk jerami
jagung dan sekitar 35% untuk jerami kedele (Yasa dan Adijaya, 2012).
Sebagai bahan pakan, jerami tanaman pertanian baik jerami padi, jerami
jagung, jerami kedele maupun jerami tanaman pertanian lainnya merupakan bahan
pakan kaya serat dengan kualitas nutrien yang relatif lebih rendah daripada limbah
agroindustri (Tabel 2.1 dan 2.2) (Marlina dan Askar, 2004; Toharmat et al., 2006).
Jerami tanaman pertanian umumnya mempunyai sifat bulky (amba) yang tinggi,
densitas rendah serta daya ikat dan daya larut dalam air yang rendah sehingga
akan menurunkan konsumsi dan kecernaan nutrien (Toharmat et al., 2006)
Tabel 2.1
Kandungan Nutrien Beberapa Limbah Pertanian
Jenis Bahan Kandungan Nutrien (%)
1
BK PK LK SK TDN
Jerami Padi 31,87 5,21 1,16 32,412 51,50
Jerami Jagung 21,69 9,66 2,21 39,68 60,24
Jerami Kacang Kedelai 30,39 14,10 3,54 20,97 61,59
Jerami Kacang Tanah 29,08 11,31 3,32 16,62 64,50
Jerami Kacang Hijau 21,93 15,32 3,59 26,90 55,52
Klobot jagung 42,56 3,40 2,55 23,32 66,41
Tongkol Jagung 76,61 5,62 1,58 25,55 53,08
Batang Ubi Kayu3 43,78 6,17 - 37,94 64,76
Kulit kopi 91,77 11,18 2,50 21,74 57,20
Kulit coklat 89,37 14,99 6,25 23,24 55,52 Sumber:
1)Wahyono dan Hardianto (2007),
2)Marlina dan Askar (2004),
3)Anggraeny dan
Umiyasih (2008)
Keterangan: BK=Bahan Kering, PK=Protein Kasar, LK=Lemak Kasar, SK=Serat kasar,
TDN=Total Digestible Nutrien
10
Tabel 2.2
Kandungan Nutrien Beberapa Limbah Agroindustri
Jenis Bahan1
Kandungan Nutrisi (%)
BK PK LK SK TDN
Dedak Padi 86,000 9.900 4,900 19,800 55.521
Sekam Padi2 95.714 3.123 1.740 36.136 -
Jerami Padi 86,000 3,700 1,700 35,900 39,000
Dedak Jagung/Empok 84.980 9.379 5.591 0.577 81.835
Tumpi Jagung 87.385 8.657 0.532 21.297 48.475
Dedak Gandum/Pollard 89.567 16.412 4.007 5.862 74.828
Tumpi Kedele 91.417 21.134 3.029 23.179 69.425
Bungkil Kedele 89.413 52.075 1.011 25.528 40.265
Ampas Tahu 10.788 25.651 5.317 14.527 76.000
Ampas Kecap 85.430 36.381 17.816 17.861 89.553
Ampas Gula Cair 34.314 5.106 6.237 8.014 54.956
Mollases 50.232 8.500 - - 63.000
Bungkil Kelapa 84.767 26.632 10.399 14.711 73.403
Bungkil Kopra 90.557 27.597 11.903 6.853 75.333
Bungkil Kelapa Sawit 92.524 14.112 11.903 10.772 67.435
Limbah Serabut Kelapa2 92.215 4.905 1.276 32.849 -
Onggok/Limbah ubi kayu2 20,580 0,560 - 10,120 -
Kulit Ubi Kayu3 17,450 5,150 1,290 15,200 74,730
Bungkil Kacang Tanah 91.447 36.397 17.242 0.895 71.721
Sumber: 1)
Wahyono dan Hardianto, 2007), 2)
Murni et al.(2008), 3)
Fitrotin et al (2006).
Keterangan: BK=Bahan Kering, PK=Protein Kasar, LK=Lemak kasar, SK=Serat Kasar,
TDN=Total Digestible Nutrien/Total Nutrien Tercerna
Pemanfaatan limbah pertanian khususnya jerami tanaman pertanian
sebagai pakan mempunyai berbagai keterbatasan sebagai akibat tingginya
kandungan serat kasar (Tabel 2.1) yang mengakibatkan nutrien yang terkandung
tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ternak (Krause et al., 2003). Mudita
et al. (2009-2013) menunjukkan pemanfaatan ransum berbasis limbah tanpa
aplikasi teknologi pengolahan akanmenurunkan produktivitas sapi bali maupun
kambing. Utomo (2004) juga mengungkapkan pemberian pakan jerami padi tanpa
suplementasi pada Sapi Peranakan Onggole (PO) mengakibatkan tidak terjadinya
kenaikan bobot badan ternak.
11
Pemanfaatan limbah jerami tanaman pertanian sebagai pakan harus
dibarengi dengan pemanfaatan teknologi pengolahan pakan dan/atau pemberian
pakan tambahan termasuk dengan memanfaatkan limbah agroindustri/limbah
industri tanaman pertanian yang mempunyai kandungan nutrien yang lebih baik
dari jerami tanaman pertanian (Tabel 2.2). Hasil penelitian Utomo dan Soejono
(1996) menunjukkan sapi PO yang diberi pakan basal jerami padi secara ad
libitum dengan suplementasi dedak halus sebanyak 25 g per kg bobot badan
metabolit (BB0,75
) menghasilkan pertambahan bobot badan/PBB 0,19 kg/h,
pemberian jerami padi disuplementasi campuran dedak halus dan tepung daun
lamtoro (50:50) sebanyak 25 g/kg BB0,75
menghasilkan pertambahan bobot badan
0,15 kg/h, sedangkan suplementasi dengan campuran dedak halus dan tepung
daun lamtoro (75:25) sebanyak 25g/kg BB0,75
menghasilkan PBB 0,22 kg/h.
Pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak kini mulai diarahkan pada
produksi pakan komplit (ransum) dalam upaya memaksimalkan potensi serta
memudahkan manajemen pemberiannya bagi petani peternak. Pemberian pakan
komplit akan menyediakan berbagai nutrien sesuai kebutuhan ternak secara
seimbang dan meningkatkan jumlah ternak yang mampu ditangani oleh seorang
peternak (Nahrowi, 2006). Disamping itu pemanfaatan pakan komplit akan
memungkinkan penambahan produksi/jumlah ternak yang dipelihara tanpa harus
dibatasi oleh luas lahan untuk penanaman hijauan makanan ternak. Wahyono dan
Hardianto (2004) mengungkapkan pemanfaatan pakan komplit khususnya
berbasis limbah pertanian dan agroindustri serta berbagai hasil sampingan lain
dalam usaha peternakan akan meningkatkan pertambahan bobot badan ternak
12
yang cukup tinggi, memperpendek waktu penggemukan ternak, meningkatkan
efisiensi tenaga kerja serta memperpanjang daya simpan bahan pakan.
Namun pemanfaatan bahan pakan asal limbah pertanian sebagai bahan
penyusun pakan komplit disinyalir belum dapat memenuhi kebutuhan optimal
bagi ternak, mengingat bahan pakan asal limbah pertanian umumnya mempunyai
kualitas yang rendah, kandungan serat tinggi, adanya senyawa anti nutrisi (lignin,
silika, kutin, theobromine, tannin, kafein, asam sianida, keratin,dll) serta
kandungan mineral (terutama Ca, P, Mg, Cu, Zn, Co, Mn, Fe dan S) dan vitamin
(Vitamin A dan E) rendah (Partama, 2006ab
; Kaunang, 2004). Pemberian pakan
tersebut (tanpa pengolahan) membawa konsekuensi rendahnya produktivitas
ternak, akibat pakan sulit dimanfaatkan ternak (kecernaan rendah) sehingga tidak
mampu memenuhi kebutuhan optimal bagi ternak.
2.2 Senyawa Lignoselulosa Sebagai Pembatas Utama Pemanfaatan Bahan
Pakan Limbah Pertanian
Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan mempunyai berbagai
keterbatasan terutama terkait rendahnya kandungan nutrient available dan
kecernaan nutrien yang terutama disebabkan adanya senyawa lignoselulosa yang
tinggi. Lignoselulosa merupakan komponen utama dinding sel tanaman yang
terdiri atas polimer selulosa, hemiselulosa, lignin dan beberapa bahan ekstraktif
lain yang berikatan secara kompak/kuat yang menghambat proses perombakan
nutrien (Gambar 2.1 dan 2.2).
Lignin secara kimia berikatan dengan komponen karbohidrat struktural
(selulosa dan/atau hemiselulosa) (Gambar 2.2) dan secara fisik bertindak sebagai
13
penghalang proses perombakan dinding sel bahan pakan oleh mikroba/enzim.
Semakin tinggi kandungan lignin dari suatu bahan pakan semakin sulit bahan
pakan tersebut terdegradasi/tercerna. Tabel 2.3 menunjukkan kandungan
lignoselulosa beberapa bahan pakan asal limbah pertanian. Pada tabel tersebut
tampak bahwa bahan pakan asal limbah pertanian mengandung lignin yang jauh
lebih tinggi daripada rerumputan/dedaunan, sehingga tingkat kecernaannya juga
lebih rendah (Howard et al., 2003; Toharmat, 2006).
Gambar 2.1. Hubungan antara Lignin, Selulosa dan Hemiselulosa pada Senyawa
Lignoselulosa (Boudet et al., 2003)
Gambar 2.2.Jenis Ikatan Antara Lignin dan Polisakarida.
A= Bensil Ester, B=Bensil Ether, C=Fenil Glikosida (Perez et al., 2002)
14
Tabel 2.3
Kandungan Senyawa Lignoselulosa Beberapa Bahan Pakan
No Bahan Pakan1
Komposisi Lignoselulosa (%)
Selulosa Hemiselulosa Lignin
1 Jerami Padi1;2
32-35 24-25 12-18
2 Sekam Padi3 36 15 19
3 Dedak Padi4 27 37 5
4 Jerami gandum 30 50 15
5 Tongkol jagung 45 35 15
6 Batang Jagung2;3
15-35 15-35 8-19
7 Jerami Sorgum2 33 18 15
8 Serbuk Gergaji Kayu2 55 14 21
9 Kulit Kacang Tanah 25-30 25-30 30-40
10 Biji Kapas 80-95 5-20 0
11 Baggas Tebu1:2
33,4 30 18,9
12 Bagas Molases2;3
33-40 24-30 25-29
13 Rumput-Rumputan 25-40 25-50 10-15
14 Dedaunan 15-20 80-85 0
Sumber: 1)
Howard et al,(2003),2)
Saha (2003), 3)
Chandel et al.(2007), 4)
Baig et al.(2016)
Lignoselulosa merupakan komponen pembangun dinding sel tanaman
yang terbentuk seiring dengan perkembangan dan umur tanaman. Dinding sel
tanaman muda terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan pektin. Perkembangan dan
peningkatan umur tanaman akan diikuti dengan terjadi kristalisasi selulosa dan
pengerasan fibril selulosa oleh lignin membentuk suatu senyawa lignoselulosa
yang keras (Howard et al., 2003; Perez et al., 2002).
Susunan dinding sel tanaman terdiri dari lamela tengah (M), dinding
primer (P) serta dinding sekunder (S) yang terbentuk selama pertumbuhan dan
pendewasaan sel yang terdiri dari lamela transisi (S1), dinding sekunder utama
(S2) dan dinding sekunder bagian dalam (S3) (Gambar 2.3). Dinding primer
mempunyai ketebalan 0,1-0,2µm dan mengandung jaringan mikrofibril selulosa
yang mengelilingi dinding sekunder yang relatif lebih tebal (Chahal dan Chahal
15
1998). Selulosa pada setiap lapisan dinding sekunder terbentuk sebagai lembaran
tipis yang tersusun oleh rantai panjang residu ß-D-glukopiranosa yang berikatan
melalui ikatan ß-1,4 glukosida yang disebut serat dasar (elementary fiber).
Sejumlah serat dasar jika terjalin secara lateral akan membentuk mikrofibril.
Mikrofibril mempunyai struktur dan orientasi yang berbeda pada setiap lapisan
dinding sel (Perez et al., 2002). Lapisan dinding sekunder terluar (S1) mempunyai
struktur serat menyilang, lapisan S2 mempunyai mikrofibril yang paralel terhadap
poros lumen dan lapisan S3 mempunyai mikrofibril yang berbentuk heliks.
Mikrofibril dikelilingi oleh hemiselulosa dan lignin. Bagian antara dua dinding sel
disebut lamela tengah (M) dan diisi dengan hemiselulosa dan lignin. Hemiselulosa
dihubungkan oleh ikatan kovalen dengan lignin. Selulosa secara alami terproteksi
dari degradasi dengan adanya hemiselulosa dan lignin.
Gambar 2.3. Konfigurasi Dinding Sel Tanaman (Perez et al., 2002)
Komponen Selulosa
Selulosa adalah komponen utama penyusun dinding sel tanaman yang
merupakan polimer linier D-glukosa yang terikat pada ikatan β-1,4 glikosida
(Gambar 2.4). Kandungan selulosa pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar
16
35 – 50% dari berat kering tanaman (Perez et al., 2002). Bangun dasar selulosa
berupa suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Rantai panjang selulosa
terhubung secara bersama melalui ikatan hidrogen dan gaya van der waals (Perez
et al. 2002). Selulosa mengandung sekitar 50-90% bagian berkristal dan sisanya
bagian amorf (Perez et al., 2002).
Gambar 2.4. Bangun Dasar Selulosa (Perez et al., 2002)
Ikatan β-1,4 glukosida pada serat selulosa dapat dipecah menjadi monomer
glukosa dengan hidrolisis asam atau enzimatis. Kesempurnaan pemecahan
selulosa pada saluran pencernaan ternak tergantung pada ketersediaan kompleks
enzim selulase. Saluran pencernaan manusia dan ternak non ruminansia tidak
mempunyai enzim yang mampu memecah ikatan ß-1,4 glukosida sehingga tidak
dapat memanfaatkan selulosa.
Ternak ruminansia dengan bantuan enzim yang dihasilkan oleh mikroba
rumen dapat memanfaatkan selulosa sebagai sumber energi. Pencernaan selulosa
oleh mikroba dalam sel merupakan proses yang kompleks yang meliputi
penempelan sel mikroba pada selulosa, hidrolisis selulosa dan fermentasi yang
menghasilkan asam lemak terbang/Vollatile Fatty Acids/VFA (Arora, 1995).
17
Efisiensi pemanfaatan selulosa sebagai sumber energi bagi ruminansia
sangat tergantung pada kemampuan ternak/mikroba rumen ternak untuk memutus
ikatan yang memproteksi selulosa dari serangan enzim selulase. Selulosa dan
hemiselulosa pada lignoselulosa tidak dapat dihidrolisis secara sempurna oleh
enzim selulase dan hemiselulase kecuali lignin yang ada pada bahan pakan limbah
tersebut dilarutkan, dihilangkan atau dikembangkan terlebih dahulu (Murni et al.,
2008; Perez et al., 2002).
Komponen Hemiselulosa
Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat
molekul rendah yang merupakan polimer dari pentosa (xylosa, arabinosa),
heksosa (mannose, glukosa, galaktosa) dan asam-asam gula (Perez al., 2002;
Saha, 2003). Komposisi hemiselulosa adalah 15-30% dari berat kering bahan
lignoselulosa. Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa membentuk
mikrofibril yang meningkatkan stabilitas dinding sel. Hemiselulosa juga berikatan
silang dengan lignin membentuk jaringan kompleks lignoselulosa
(lignohemiselulosa) dan memberikan struktur yang kuat (Howard et al,2003).
Hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi
monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa, arabinosa dan
4-0 methyl-glukoronik, D-galacturonic dan D-glukoronik (Gambar 2.5). Gula–
gula tersebut terikat oleh ikatan β-1,4 dan β-1,3 glukosida (Perez et al., 2002).
Berbeda dengan selulosa, hemiselulosa bukan polimer homogenous. Komponen
hemiselulosa dari bahan berkayu yang keras sebagian besar terdiri dari xylan.
18
Sedangkan bahan berkayu yang lunak, komponen hemiselulosanya lebih banyak
mengandung glukomannan (Saha, 2003).
Gambar 2.5. Bangun Molekul Hemiselulosa (Perez et al., 2002)
Pada sebagian besar tanaman, xylan merupakan heteropolisakarida dengan
rantai utama homopolimer adalah unit-unit ikatan 1,4-β-D-xylopyranosa. Xilan
pada kayu keras umumnya terdapat dalam komfigurasi O-asetil-4-O-
methylglucuronoxylan, dalam bentuk arabino-4-O-methylglucuronoxylan pada
kayu lunak, sedangkan xylans pada rumput dan tanaman tahunan biasanya dalam
bentuk arabinoxylans (Collin et al., 2005).
Disamping xylosa, xylan juga mengandung arabinosa, asam glucoronik
atau 4-0-methyl ether, asetat, ferulik dan asam p-coumarin. Sedangkan xylan dari
sumber yang lain, seperti rumput-rumputan, biji-bijian, kayu lunak maupun kayu
keras mempunyai komposisi yang berbeda dengan birch wood (Roth), dimana
xylannya mengandung 89,3% silosa, 1% arabinosa, 1,4% glukosa dan 8,3% asam
anhydrouronic (Saha, 2003). Xylan dari dedak padi mengandung 46% xylosa,
44,9% arabinosa, 1,4% glukosa, dan 8,3% asam anhidrouronik (Shibuya dan
Iwasaki, 1985). Arabinoxylan dari gandum mengandung 65.8% xylosa, 33.5%
arabinose, 0,1 % mannose, 0,1 % galaktose, dan 0,3% glucose (Gruppen et al.,
1992). Xylan serat jagung mengandung 48-54%xylosa, 33-35% arabinosa, 5-11 %
galaktosa, dan 3-6% asam glucuronic (Doner dan Hicks, 1997).
19
Komponen Lignin
Lignin merupakan polimer/makromolekul polifenolik kompleks dengan
struktur aromatik yang terbentuk melalui unit-unit penilpropan yang berhubungan
secara bersama oleh beberapa ikatan berbeda seperti arylglycerol-β-aryl ether (β–
O-4), phenylcoumaran (β -5), non-cyclic benzyl aryl ether (α-O-4), biphenyl (5-
5), diaryl ether (4-O-5), 1,2-diarylpropane (β-1), resinol (β-β), serta ikatan
lainnya (Gambar 2.6) (Perez et al. 2002; Abdelaziz et al., 2016; Datta et al.,
2017). Cater et al. (2014) mengungkapkan lignin adalah polimer yang bersifat
hidrofobik komplek (bersifat tidak larut dalam air) dari senyawa aromatik yang
tersusun oleh unit-unit phenilprofan (syringyl, guaiacyl dan p-hydroxyphenyl)
yang terikat bersama-sama dalam struktur tiga dimensi. Lignin terbentuk melalui
polimerasi tiga dimensi derivat dari sinamil alkohol terutama ρ-kumaril, coniferil
dan sinapil alkohol dengan bobot molekul mencapai 11.000 (Gambar 2.7 – 2.8)
(Perez et al. 2002; Rahikainen et al., 2013).
Gambar 2.6 Berbagai Tife Ikatan dalam Molekul Lignin
(Sumber Datta et al., 2017)
20
Para Kumaril Alkohol Koniferil Alkohol Sinapil Alkohol Model Kerangka C
Gambar 2.7. Senyawa Penyusun Lignin (Perez et al. 2002)
Gambar 2.8. Struktur Bangun Lignin (Adler, 1977)
Lignin terutama terkonsentrasi pada lamela tengah dan lapisan S2 dinding
sel yang terbentuk selama proses lignifikasi jaringan tanaman. Lignin tidak hanya
mengeraskan mikrofibril selulosa, tetapi juga berikatan secara fisik dan kimia
dengan hemiselulosa. Pembentukan lignin terjadi secara intensif setelah proses
penebalan dinding sel terhenti. Pembentukan dimulai dari dinding primer dan
dilanjutkan ke dinding sekunder. Pembatasan fermeabilitas dinding sel tanaman
terjadi akibat adanya efek kimia dan fisik yang dihasilkan oleh lignin. Efek kimia,
yaitu adanya hubungan lignin-karbohidrat serta asetilisasi hemiselulosa. Efek fisik
terjadi akibat lignin membungkus mikrofibril dalam suatu matriks hidrofobik dan
21
terikat secara kovalen dengan hemiselulosa. Hubungan antara lignin-karbohidrat
berperan dalam mencegah hidrolisis polimer selulosa (Rahikainen et al., 2013).
Lignin sulit didegradasi karena strukturnya yang kompleks dan heterogen
yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman yang
memberikan bentuk kokoh serta proteksi terhadap serangga, patogen serta
degradasi mikroba. Adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter berperanan penting
dalam mempengaruhi sifat ketahanan lignin terhadap hidrolisis (Adler, 1977;
Rahikainen et al., 2013). Adanya senyawa aromatik seperti biphenil, phenol,
anisols, diaryl-eter pada struktur lignin menambah sifat ketidaklarutan/ketahanan
lignin terhadap proses hidrolisis (Silva et al., 2010).
Kandungan lignin bervariasi pada berbagai biomassa tanaman. Fraksi
lignin tertinggi umumnya terdapat pada tanaman berkayu lunak (softwood) yaitu
25 – 32% dari bahan kering, sedangkan tanaman berkayu keras (hardwood)
mempunyai kadar lignin relatif lebih rendah yaitu 18 - 25% (Mutturi et al., 2014).
Kandungan lignin berbagai biomassa tanaman telah disajikan pada Tabel 2.3.
Di laboratorium, asam tanat/tannic acid sering dijadikan sebagai substrat
sumber lignin akibat kemiripan struktur molekulnya (Pointing, 1999; Wahyudi
dan Bachruddin, 2005; Hagerman, 2010; Kameshwar dan Qin, 2017). Pointing
(1999) mengungkapkan bahwa asam tanat merupakan substrat yang umum
dipakai sebagai sumber lignin seperti dalam metode tannic acid agar (Bavendamn
test) yang diperkenalkan sejak tahun 1928. Hagerman (2010) mengungkapkan
bahwa asam tanat adalah senyawa polifenolik dengan struktur aromatik yang
merupakan ester kompleks molekul glukosa dengan asam galat yang dihubungkan
oleh ikatan ester terdiri atas gugus hidroksil alifatik pada inti glukosa (Gambar
2.9). Asam tanat termasuk kelompok tannin terhidrolisis (
juga banyak dijumpai pada jaringan vaskuler tanaman
senyawa antinutrisi dan
aktivitas mikroba sebagaimana
sebagai akibat adanya kemampuan membentuk struktur kompleks dengan
protein/senyawa mengandung N/nitrogen, selulosa, hemiselulosa, pektin dan
mineral-mineral (Silva
Gambar 2.9. Struktur Bangun
2.3 Peranan Bakteri dalam Perombakan Senyawa Lignoselulosa
2.3.1 Peranan Bakteri
Lignin merupakan
terikat secara kovalen dengan selulosa dan hemiselulosa pada sel tanaman/hijauan
pakan yang mempengaruhi pemanfaaatannya bagi ternak.
untuk menahan degradasi
khas/acak dengan bobot molekul yang tinggi.
alam merupakan hasil aktivitas mikroorganisme, namun hanya sedikit jenis
bakteri yang diketahui mampu mendegradasi molekul lignin (Lofti, 2014).
oleh ikatan ester terdiri atas gugus hidroksil alifatik pada inti glukosa (Gambar
). Asam tanat termasuk kelompok tannin terhidrolisis (hydrolized tannin
banyak dijumpai pada jaringan vaskuler tanaman serta
senyawa antinutrisi dan resisten terhadap proses degradasi
sebagaimana pula yang ditunjukkan oleh senyawa lignin
sebagai akibat adanya kemampuan membentuk struktur kompleks dengan
protein/senyawa mengandung N/nitrogen, selulosa, hemiselulosa, pektin dan
mineral (Silva et al., 2010).
Gambar 2.9. Struktur Bangun Asam Tanat (Hagerman, 2010)
Peranan Bakteri dalam Perombakan Senyawa Lignoselulosa
Bakteri dalam Perombakan Lignin
Lignin merupakan polimer aromatik terdiri dari unit fenilprofanoid yang
terikat secara kovalen dengan selulosa dan hemiselulosa pada sel tanaman/hijauan
mempengaruhi pemanfaaatannya bagi ternak. Kemampuan lignin
untuk menahan degradasi dapat dikaitkan dengan struktur polimer
dengan bobot molekul yang tinggi. Degradasi lignin secara komplit di
alam merupakan hasil aktivitas mikroorganisme, namun hanya sedikit jenis
bakteri yang diketahui mampu mendegradasi molekul lignin (Lofti, 2014).
22
oleh ikatan ester terdiri atas gugus hidroksil alifatik pada inti glukosa (Gambar
hydrolized tannin) yang
bersifat sebagai
resisten terhadap proses degradasi sebagian besar
pula yang ditunjukkan oleh senyawa lignin
sebagai akibat adanya kemampuan membentuk struktur kompleks dengan
protein/senyawa mengandung N/nitrogen, selulosa, hemiselulosa, pektin dan
Asam Tanat (Hagerman, 2010)
Peranan Bakteri dalam Perombakan Senyawa Lignoselulosa
polimer aromatik terdiri dari unit fenilprofanoid yang
terikat secara kovalen dengan selulosa dan hemiselulosa pada sel tanaman/hijauan
Kemampuan lignin
uktur polimernya yang
Degradasi lignin secara komplit di
alam merupakan hasil aktivitas mikroorganisme, namun hanya sedikit jenis
bakteri yang diketahui mampu mendegradasi molekul lignin (Lofti, 2014).
23
Biodegradasi lignin dari komplek lignoselulosa melibatkan proses yang
meliputi proses depolimerisasi dan pemecahan cincin aromatik. Enzim
ekstraseluler akan mengoksidasi lignin melalui 3 tahap yaitu: 1) Oksidasi ikatan
β–O–4 dari komponen arylglycerol; 2) Pemecahan cincin aromatik yang sebagian
besar mengikuti jalur β-ketoadipatik; 3) Pembentukan struktur karbonat siklik dari
gabungan oksidasi β–O–4 dengan pecahan cincin aromatik (Datta et al., 2017).
Gambar 2.10. Struktur 3 Dimensi dari Enzim Pendegradasi Lignin
(Sumber Datta et al., 2017)
Perez et al. (2002) mengungkapkan degradasi lignin secara sempurna
merupakan respon dari aktivitas tiga kelompok utama enzim ekstraseluler yaitu
lignin-peroksidase/Li-P, mangan-peroksidase/Mn-P, dan lakase/Lac. Datta et al.
(2017) mengungkapkan bakteri dan fungi pendegradasi lignin dapat memproduksi
paling tidak 5 enzim ekstraseluler utama yang terdiri atas lignin-peroksidase/LiP,
manganese-dependent peroksidase/MnP, versatile peroksidase/VP, lakase/Lac,
dan dye-decolorizing peroksidase/DyPs (Gambar 2.10). Selain itu enzim-enzim
seperti aril alkohol dehydrogenase, phenol oksidase, cellobiose, aromatic acid
reductase, vanilat hidroksilase, dioksigenase, dan katalase mempunyai peranan
24
penting dalam proses degradasi lignin (Aarti et al., 2015). Enzim ini terutama
dihasilkan oleh fungi, namun beberapa jenis bakteri seperti Streptomyces ssp.,
Thermobifida fusca, Rhodococcus jostii, Bacillus subtilis, B. licheniformis, dan
Pseudomonas flurrescens juga menghasilkan enzim sejenis (Olsson, 2016).
Lignin Peroksidase (EC 1.11.1.14, Li-P, Ligninase) merupakan enzim
glikosilat mengandung hemeprotein dengan grup prostetik FerriProtoporfirin
yang membutuhkan hidrogen peroksida/H2O2 untuk mengkatalisasi oksidasi unit
lignin non fenolik dan mineralisasi komponen aromatik yang keras/kompak.
Oksidasi lignin oleh lignin peroksidase (LiP) terjadi melalui transfer elektron,
pemecahan non katalitik berbagai ikatan/rantai lignin, dan pembukaan cincin
aromatik. Siklus katalitik dari LiP terdiri dari satu reaksi oksidasi dan dua reduksi,
dengan tahap-tahapan sebagai berikut; 1) Oksidasi dua elektron dari native enzim
(enzim asal) ferric lignin Peroksidase [LiP-Fe (III)] oleh H2O2 membentuk
senyawa intermediet I oxo-ferryl [Fe (IV)]; 2) Proses reduksi dari senyawa I oleh
substrat pereduksi aromatik non-fenolik (A) untuk membentuk senyawa II melalui
penambahan 1 elektron; 3) Terakhir, siklus oksidasi berakhir saat senyawa II
dikembalikan ke keadaan ferik awal melalui pengikatan satu/lebih elektron dari
substrat pereduksi A (Gambar 2.11) (Datta et al., 2017).
Gambar 2.11 Siklus Katalisis dari Lignin-Peroksidase (Datta et al., 2017)
25
Perez et al. (2002) mengungkapkan Lignin peroksidase (LiP) memotong
jalur utama perombakan lignin yaitu ikatan Cα-Cβ molekul lignin dan berbagai
reaksi post enzimatic (Gambar 2.12). Data et al. (2017) menambahkan bahwa LiP
mempunyai potensial redoks tinggi (1,2 V pada pH 3) serta mampu mengoksidasi
secara langsung struktur fenolik dan non fenolik dari lignin tanpa perantara.
Gambar 2.12. Pemotongan ikatan Cα-Cβ molekul lignin dan pembentukan senyawa
intermediet (Perez et al., 2002)
Enzim Mangan-Peroksidase/Mn-P (EC. 1.11.1.13, Mn-P) merupakan
hemeperoksidase ekstraseluler yang membutuhkan Mn2+
sebagai substrat
pereduksinya (Steffen, 2003). Mn-P mengoksidasi Mn2+
menjadi Mn3+
dan H2O2
sebagai katalis untuk menghasilkan gugus peroksida. Mn3+
yang dihasilkan dapat
berdifusi ke dalam substrat dan mengaktifkan proses oksidasi yang mengubah
struktur fenolik menjadi radikal fenoksil. Mn3+
yang terbentuk sangat reaktif dan
membentuk kompleks dengan chelating asam organik seperti asam oksalat/malat
(Kishi et al., 1994). Dengan bantuan chelator, ion Mn3+
distabilkan dan dapat
menembus kedalam jaringan substrat. Hal ini didukung aktivitas kation radikal
dari veratril alkohol dan enzim penghasil H2O2. Proses diakhiri bergabungnya O2
26
ke dalam struktur lignin (De Jong et al., 1994). Radikal fenoksil yang dihasilkan
selanjutnya bereaksi dan akhirnya melepaskan CO2 (Suparjo, 2008).
Oksidasi lignin dan senyawa fenolik lain oleh Enzim Mn-P tergantung
pada ion Mn bebas. Substrat pereduksi utama dalam siklus katalitik Mn-P adalah
Mn2+
yang secara efesien mereduksi senyawa I (Mn-P compound I) menjadi
senyawa II (Mn-P compound II), menghasilkan Mn3+
yang selanjutnya
mengoksidasi substrat organik. Mn2+
berikatan dengan chelator asam organik
untuk menstabilkan Mn3+
. Siklus katalitik Mn-P dimulai dengan pengikatan H2O2
atau peroksida organik dengan enzim Ferric alami dan pembentukan kompleks
besi peroksida (Gambar 2.13)(Perez et al., 2002).
Gambar 2.13. Siklus katalitik Mn-P (Sumber: Perez et al., 2002)
Pemecahan ikatan oksigen peroksida membutuhkan Fe4+
-oxo-porphyrin-
radicalcomplex dalam pembentukan Mn-P compound I. Kemudian ikatan
dioksida dipecah dan dikeluarkan satu molekul airnya. Reaksi berlangsung sampai
terbentuknya Mn-P compound II. Ion Mn2+
bekerja sebagai donor 1-elektron
untuk senyawa antara forfirin dan dioksidasi menjadi Mn3+
. Mn3+
merupakan
oksidan kuat yang mengoksidasi senyawa fenolik tetapi tidak dapat memecah unit
non-fenolik lignin (Perez et al., 2002).
Reaksi awal Mn
menjadi radikal fenoksil yang terdapat dalam mesomer yang berbeda (Gambar
2.14). Secara simultan chelat asam organik dioksidasi menjadi feroksil dan radikal
lain menghasilkan superoksida yang
menjadi eter peroksida
membentuk struktur alifatik. Selanjutnya sistem enzim Mn
menjadi CO2 dan radikal alifatik
menghasilkan CO2 dan bahan organik seperti asam format
Gambar 2.14. Skema
Versatil Peroksidase
kemampuan katalitik seperti LiP dan MnP yang mampu mentransformasi senyawa
lignin tanpa perantara eksternal.
molekul hibrida dengan beberapa tempat pengikatan termasuk Mn
mengoksidasi Mn2+
seperti MnP dan LiP. Namun, tidak seperti MnP, VP memiliki
kemampuan ganda mengoksidasi berbagai substrat
atau rendah termasuk Mn
aromatic (Datta et al., 2017)
Reaksi awal Mn3+
dengan cincin fenolik adalah suatu oksidasi 1 elektron
menjadi radikal fenoksil yang terdapat dalam mesomer yang berbeda (Gambar
). Secara simultan chelat asam organik dioksidasi menjadi feroksil dan radikal
lain menghasilkan superoksida yang akan bereaksi dengan radikal ber
menjadi eter peroksida, selanjutnya mengalami pembelahan cincin
struktur alifatik. Selanjutnya sistem enzim Mn-P membelah gugus ini
dan radikal alifatik yang kemudian berreaksi dengan dioksida
dan bahan organik seperti asam format (Perez et al
. Skema perombakan struktur aromatik lignin oleh Mn
(Perez et al., 2002)
Versatil Peroksidase/VP (EC 1.11.1.16) merupakan enzim
kemampuan katalitik seperti LiP dan MnP yang mampu mentransformasi senyawa
lignin tanpa perantara eksternal. Enzim VP memiliki karakteristik
molekul hibrida dengan beberapa tempat pengikatan termasuk Mn
seperti MnP dan LiP. Namun, tidak seperti MnP, VP memiliki
mengoksidasi berbagai substrat dengan potensi redoks tinggi
suk Mn2+
, struktur fenolik dan non-fenolik serta
., 2017)
27
dengan cincin fenolik adalah suatu oksidasi 1 elektron
menjadi radikal fenoksil yang terdapat dalam mesomer yang berbeda (Gambar
). Secara simultan chelat asam organik dioksidasi menjadi feroksil dan radikal
bereaksi dengan radikal berinti karbon
mengalami pembelahan cincin dan
P membelah gugus ini
reaksi dengan dioksida
et al., 2002).
ktur aromatik lignin oleh Mn-P
/VP (EC 1.11.1.16) merupakan enzim dengan
kemampuan katalitik seperti LiP dan MnP yang mampu mentransformasi senyawa
Enzim VP memiliki karakteristik arsitektur
molekul hibrida dengan beberapa tempat pengikatan termasuk Mn2+
dan mampu
seperti MnP dan LiP. Namun, tidak seperti MnP, VP memiliki
dengan potensi redoks tinggi
k serta alkohol
28
Enzim Laccase/Lac (EC 1.10.3.2, benzenediol:oxygenoxidoreductase)
merupakan enzim pengoksidasi mengandung tembaga yang dapat mereduksi 4
elektron oksigen melalui oksidasi berbagai senyawa organik seperti fenol,
polifenol, anilin dan beberapa senyawa anorganik melalui mekanisme transfer
elektron (Kunamneni et al., 2008). Laccase dapat merombak senyawa fenolik,
mengoksidasi amina aromatik dan senyawa lain melalui reduksi molekul oksigen
menjadi H2O (Aarti et al., 2015). Madhavi dan Lele (2009) mengungkapkan
laccase mereduksi O2 menjadi H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi
pembentukan radikal bebas (Gambar 2.15).
Gambar 2.15. Skema Oksidasi Komponen Fenolik dari Lignin oleh Laccase
(Madhavi dan Lele, 2009)
Adanya senyawa perantara (pro-oksidan) seperti 2,2’azino-bis/3-ethyl
benzothiazoline-6-sulphonic acid (ABTS); 3-Hydroxy anthranilic acid/HAA; N-
hydroxybenzotriazol/HBT; violuric acid (VLA); N-hydroxyphtalimide (HPI); N-
hydroxyacetanilide (NHA), Laccase dapat menghasilkan daya oksidasi tinggi
terhadap komponen nonfenolik lignin seperti gugus metil aromatik, benzyl
alkohol, hidrokarbon polisiklik aromatik, veratryl alcohol maupun pewarna tekstil
(Gambar 2.16).
29
Gambar 2.16 Skema Oksidasi Komponen Non-Fenolik dari Lignin oleh Laccase
(Madhavi dan Lele, 2009)
Ishihara (1980) menyatakan Laccase adalah enzim pengoksidasi melalui
proses demitilasi yang mengubah gugus metoksi menjadi methanol. Disamping itu
terdapat kelompok enzim fenol oksidase (laccase dan tirosinase) yang
mengoksidasi gugus δ dan p-fenol serta gugus amina menjadi kuinon dan
memberi perubahan warna terhadap substansi fenolik 1-naftol dan p-kresol. Datta
et al. (2017) mengungkapkan sebagian besar enzim bekerja pada substrat spesifik,
namun aktivitas enzim Laccase berbeda yaitu mempunyai aktivitas pada berbagai
substrat seperti polifenol, diphenol, benzenethiol, serta amina aromatik.
Enzim Dye-Decolorizing Peroksidase/DyP (Reactive-Blue-5:hydrogen-
peroxide oxidoreductase. EC1.11.1.19) merupakan peroksidase berbasis heme
yang dapat memecah lignin yang dimediasi senyawa radikal. DyP adalah enzim
bifungsional yang mempunyai aktivitas oksidatif serta hidrolitik. DyP secara
filogenik berbeda dari peroksidase lain karena memiliki lipatan mirip ferroksin
dan alfha (Gambar 2.10). Namun, mekanisme oksidasinya mirip dengan VP dan
MnP. DyP dikelompokkan menjadi empat jenis: A, B, C, dan D (Tabel 2.4)
30
(Colpa et al., 2014). Semua jenis DyP memiliki aktivitas peroksidase, namun,
mempunyai nilai spesifisitas substrat yang berbeda. Selain mendegradasi lignin,
DyP juga mengoksidasi pewarna, β-karoten, sulfida aromatik (Colpa et al., 2014),
aromatik metoksilat non-fenolik, Mn2, dan pewarna sintetis dengan bilangan
redoks tinggi seperti pewarna antrakuinon dan azo (Datta et al., 2017).
Tabel 2.4 Karakteristik Kelompok Enzim Dye-Decolorizing Peroksidase/DyP
DyP Nama Protein Mikroba Penghasil Struktur Kristal Sumber
A EfeB/YcdB Escherichia coli O157 (2Y4E with PPIX) Liu et al. (2011)
DyPA Rhodococcus jostii RHA1 - Ahmad et al. (2011)
TfuDyP Thermobifida fusca Bloois et al. (2010)
BsDyP (YwbN) Bacillus subtilis Santos et al. (2013)
B DyPB Rhodococcus jostii RHA1 3QNR + 3QNS Roberts et al. (2011)
TyrA Shewanella oneidensis 2IIZ + 2HAG Zubieta et al. (2007)
BtDyP Bacteriodes thetaiotaomicron 2GVK Zubieta et al. (2007)
PpDyP Pseudomonas putida Sezer et al. (2013)
DyPPa Pseudomonas aeruginosa PKE117 Li et al. (2012)
C DyP2 Amycolatopsis sp. 75iv2 4G2C Brown et al. (2012)
AnaPX (AnaDyP) Anabaena sp. PCC 7120 Ogola et al. (2009)
D BadDyP/TcDyP Bjerkandera adusta Dec 1 2D3Q [ Sugano et al. (2007)
AauDyP I (AjP I) Auricularia auricula-judae 4AU9 Lier et al. (2010)
MsP1 dan MsP2 Mycetinis scorodonius Scheibner et al. (2008)
TAP (TalDyP) Termitomyces albuminosus Johjima et al. (2007)
PoDyP Pleurotus ostreatus Faraco et al. (2007)
Sumber: Colpa et al., 2014
Perombakan lignin umumnya dilakukan pada lingkungan aerobik, namun
pada lingkungan anaerobik seperti lingkungan rumen, tanah, tubuh serangga,
maupun aquatik, perombakan lignin juga berlangsung yang menghasilkan asam
organik, alkohol aromatik, amina, CO2 dan CH4 (Kajikawa et al., 2000; Chandra
et al., 2015). Di alam, perombakan lignin merupakan hasil aktivitas sekelompok
mikroorganisme dengan enzim ekstraseluler non-spesifik yang merombak lignin
yang mempunyai struktur acak dengan bobot molekul tinggi.
31
Beberapa kelompok bakteri diketahui mampu merombak senyawa lignin
menjadi komponen penyusunnya serta memproduksi sejumlah/seperangkat enzim
oksidatif yang dapat memodifikasi lignin untuk dipecah melalui proses hidrolisis
atau demetilisasi (Lotfi, 2014). Aarti et al. (2015) mengungkapkan bahwa enzim
memegang peranan penting dalam proses degradasi lignin oleh spesies bakteri.
Mekanisme perombakan lignin oleh bakteri lebih spesifik dibandingkan fungi
karena umumnya setiap 1 spesies bakteri hanya dapat memutus 1 tife ikatan/rantai
dari lignin. Sehingga perombakan senyawa lignin dilakukan oleh berbagai jenis
bakteri/konsorsium bakteri atau kombinasi bakteri dengan fungi. Lang et al.
(2000) mengungkapkan kehadiran bakteri dan yeast pada batang tanaman dapat
menjadi trigger/pemicu pertumbuhan white rot fungi maupun brown rot fungi.
Bakteri Pseudomonas (ordo Pseudomonadales), Cellulomonas (ordo
Actinomycetales), Streptomyces (ordo Actinomycetales), dan genus lain dari ordo
Actinomycetales mampu memproduksi Laccase ekstraseluler dan peroksidase
(Lynd et al., 2002). Yang (2007) menunjukkan bahwa Pseudomanas sp.
merupakan bakteri pendegradasi lignin paling efisien yang tidak hanya mampu
mendegradasi lignin alami tetapi juga mendegradasi cincin aromatik. Bakteri
Aeromonas, Aneurinibacillus, Bacillus, Enterobacter, Actynomycetes,
Flavobacterium, Klebsiella, Pseudomonas, Rhodococcus, maupun Sellulomonas
juga mempunyai kemampuan enzimatis merombak cincin aromatik (aromatic
ring) dan rantai samping lignin (Hernandes et al., 1994; Abdelaziz et al., 2016).
Lotfi (2014) menambahkan bakteri dari genus Alcaligenes, Arthrobacter, dan
Nocardia mampu mendegradasi cincin aromatik penyusun makromolekul lignin.
32
Geib et al. (2008) menyatakan bakteri saluran cerna rayap seperti Rhodococcus
erythropolis, Sphingomonas sp., Microbacterium sp., Brucella melitensis,
Ochrobacterium sp., Burkholderia sp., mampu mendegradasi senyawa aromatik.
Martani et al. (2003) mengungkapkan bakteri dari genus Micrococcus
(isolat SPH-9) dan Bacillus (isolat SPH-10) yang diisolasi dari sampah domestik
mampu mendegradasi lignin (lindi hitam) masing-masing sebesar 75% dan 78%.
Prihantini et al. (2011) mengungkapkan isolat bakteri TLiD dan BOpR mampu
mendegradasi lignin dan organochlorin (lignolitik) jerami padi sampai 100% pada
fermentasi hari ke-7. Sedangkan substrat kraft lignin mampu didegradasi sebesar
37% oleh bakteri Bacillus sp. pada suhu 30oC selama 6 hari (Hanafy et al., 2008).
Lotfi (2014) mengungkapkan Streptomyces viridosporus T7A dan/atau
Aneurinibacillus aneurinilyticus merombak lignin melalui proses depolimerisasi,
Pseudomonas paucimobilis SYK-6 mampu memecah berbagai senyawa dimerik
dari lignin, Azotobacter sp. HM121 mampu memecah lignin melalui proses
mineralisasi dan pelarutan, Bacillus sp. dan Paenibacillus sp. mampu merombak
kraft lignin. Bacillus subtilis, B. atrophaeus, B. licheniformis, B. pumilus,
Streptomyces cyaneus, S. coelicolor, S. griseus, S. ipomea, S. lavendulae, Serratia
marcescens dan Thermus thermophilus mampu memproduksi Laccase untuk
merombak lignin melalui proses demineralisasi dan pelarutan (Data et al., 2017).
Phenol oksidase dari Streptomyces cyaneus mempunyai kontribusi lebih tinggi
dari peroksidase dalam pemecahan lignin (Berrocal et al., 2000). Ruttiman et al.
(1991) mengungkapkan bahwa bakteri pendegradasi lignin juga berperanan dalam
perombakan lebih lanjut senyawa intermediet hasil degradasi jamur.
33
2.3.2 Peranan Bakteri dalam Perombak Selulosa
Degradasi selulosa merupakan proses pemecahan polimer anhidroglukosa
menjadi molekul yang lebih sederhana. Proses ini menghasilkan oligo, tri atau
disakarida seperti selobiosa, selotriosa, monomer glukosa, CO2 dan H2O.
Degradasi selulosa dapat dilakukan secara biologis (aktivitas enzim mikroba),
fisik maupun kemis. Sejumlah mikroba mampu menghidrolisis selulosa sampai
taraf tertentu. Maranatha (2008) menyebutkan mikroba selulolitik dari kelompok
bakteri mempunyai tingkat pertumbuhan cepat dan aktivitas selulolitik tinggi.
Mikroba selulolitik khususnya bakteri banyak ditemukan pada tanah tanah
pertanian, hutan, jaringan hewan, saluran pencernaan herbivora baik rumen,
kolon, sekum maupun hipopotamus (bagian bawah lambung pseudoruminan),
rayap (air liur, sel tubuh, saluran pencernaan maupun sarangnya) serta pada
tumbuhan yang membusuk/mati. Bakteri di alam yang bersifat selulolitik antara
lain; Bacillus subtilis, Bacillus macerans, Bacillus sp., Clostridium (C.
acetobutylicum, C. thermocellum), Acidothermus, Pseudomonas florescens,
Rhodothermus (Howard et al., 2003; Anindyawati, 2010), Erwinia, Acetovibrio,
Mikrobispora, Cellulomonas, Cellovibrio, Streptomyces murinus, Sclerotium
rolfisii (Duff and Murray, 1996), Fibrobacter succinogenes, Ruminococcus albus,
Ruminococcus flavefaciens, Butytrivibrio fibrisolvens (Lynd et al., 2002). Lind et
al. (2002) menambahkan pada kondisi aerob, bakteri pendegradasi selulosa
didominasi oleh bakteri dari ordo Actinomycetales (phylum Actinobacteria),
sedangkan pada kondisi anaerob didominasi oleh ordo Clostridiales (phylum
Firmicutes) (Tabel 2.5).
34
Tabel 2.5 Karakteristik Morfologi Bakteri Selulolitik
Kondisi
Lingkungan
Genus Contoh Spesies Gram Bentuk Suhu
Tumbuh
Pergerakan/
Alat gerak
Sistem Selulase
Aerob Cellulomonas C. flavigena,
C. uda
+ Rod/
Batang
Termofil Flagella Nonkompleks,
sel bebas
Cellvibrio C.fulvus, C. gilvus - Curved
rod
Mesofil Flagella Nonkompleks,
sel bebas
Cytophaga C. hutchinsonii - Rod/
Batang
Mesofil Meluncur
/ Gliding
Nonkompleks,
sel bebas
Pseudomonas P. fluorescens _ Rod/
Batang
Mesofil Flagella Nonkompleks,
sel bebas
Streptomyces S. reticuli + Rod
berfilamen Mesofil Non-
Motile
Nonkompleks,
sel bebas
Thermobifida T. fusca + Rod
berfilamen Termofil Non-
motil
Nonkompleks,
sel bebas
Anaerob Butyrivibrio B. fibrisolvens + Curved
rod
Mesofil Flagella Nonkompleks
Bacillus B. pumilis + Rod/
Batang
Mesofil Flagella Nonkompleks,
sel bebas
Clostridium C. thermocellum,
C.cellulolyticum
+ Rod/
batang
Termo-
Mesofil
Flagella Kompleks, ikatan
sel utama
Eubacterium E. cellulosolvens + Rod Mesofil Non-
motile
-
Fibrobacter F. succinogenes - Rod Mesofil Non
Motile
Kompleks, Sel
Terikat
Hallocella H. celluloica - Rod Mesofil Flagella Nonkompleks,
sel bebas
Spirochaeta S. thermophila + Spiral Termofil - Nonkompleks,
sel bebas
Ruminococcus R. albus,
R. flavefaciens
+ Coccus Mesofil Non-
motile
Kompleks, Sel
Terikat
Sumber: Lind et al. (2002)
Perez et al. (2002) mengungkapkan bahwa aktivitas selulolitik bakteri
dilakukan secara ekstraseluler melalui dua sistem, yaitu: 1) Sistem hidrolitik,
melalui produksi enzim hidrolase yang merombak selulosa dan hemiselulosa, dan
2) Sistem oksidatif dan sekresi lignase ekstraseluler melalui depolimerisasi lignin.
Lebih lanjut diungkapkan perombakan selulosa secara enzimatis berlangsung
karena adanya kompleks enzim selulase bersifat spesifik untuk menghidrolisis
ikatan β-1,4-glikosidik, rantai selulosa dan derivatnya. Lyind et al. (2002)
mengungkapkan terdapat tiga (3) tife enzim selulase yang utama yaitu 1) Endo-
35
glukanase/1,4-β-D-glucan-4-glucanohydrolase (EC 3.2.1.4), 2) Eksoglukanase
terdiri atas 1,4-β-D-glucan glucanohydrolase/cellodextrinase (EC 3.2.1.74) dan
1,4-β-D-glucan cellobiohydrolases/cellobiohydrolase (EC 3.2.1.91), dan 3) β-
glukosidase/ β-glucoside glucohydrolase (EC 3.2.1.21).
Gambar 2.17. Proses Degradasi Selulosa menjadi Glukosa (Lynd et al., 2002)
Perez et al. (2002) menunjukkan bahwa perombakan selulosa oleh bakteri
selulolitik berlangsung melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah
menguraikan polimer selulosa secara random/acak oleh enzim carboxymethil
celulase/CMC-ase atau endo β-1,4 glukanase dengan cara memecah ikatan β 1-4
yang ada di dalam struktur selulosa kristalin/amorf sehingga terbentuk ujung
rantai yang baru (oligodekstrin). Tahap kedua adalah penguraian selulosa dari
ujung pereduksi dan non-pereduksi oleh eksoglukanase (selodektrinase dan
selobiohydrolase) melalui pemotongan ujung-ujung rantai selulosa sehingga
menghasilkan disakarida dan tetrasakarida (selobiosa). Tahap ketiga (terakhir)
adalah tahap penguraian selobiosa menjadi glukosa oleh enzim β-glukosidase
(Gambar 2.17).
36
Kirk (1983) menggambarkan proses degradasi selulosa secara lebih
mendetail yang melibatkan kompleks enzim selulase yaitu; 1) enzim endo-1.4-β-
glukanase, 2) enzim ekso-1.4-β-glukanase, 3) enzim β-glukosidase, 4) enzim
glukosa oksidase, 5) enzim selubiosa oksidase, dan 6 ) enzim sellubiosa quinon
oksidoreduktase dengan mekanisme kerja seperti ditunjukkan pada Gambar 2.18
Gambar 2.18 Mekanisme Kerja Enzim dalam Perombakan Selulosa
[ ①
endo endo-1.4-β-glukanase, ②
ekso-1.4-β-glukanase, ③β-glukosidase,
④glukosa oksidase,
⑤selubiosa oksidase, dan
⑥sellubiosa quinon
oksidoreduktase] (Kirk, 1983)
Lynd et al. (2002) mengungkapkan beberapa mikroorganisme mampu
menghasilkan multifunction glukanase yang terdiri dari beberapa enzim selulase
dan hemiselulase, sehingga konsep 1 (satu) enzim satu aktivitas tidak berlaku
pada semua kasus. Ditambahkannya bahwa multifunction protein adalah suatu
protein enzim yang terdiri dari satu tife (tife tunggal) dari suatu rantai polipeptida
tetapi mempunyai berbagai aktivitas katalitik/aktivitas enzimatis. Sebagai contoh;
Cel A dari Caldocellum saccharolyticum diidentifikasi menghasilkan 2 jenis
selulase yaitu endo-glukanase dan ekso-glukanase. XyIA dari Neocallimastrix
pantriciarum mempunyai dua kemampuan katalitik yang dominan (Zhou et al.,
37
1994 dalam Howard et al., 2003). Lynd et al. (2002) menambahkan bahwa 1
spesies bakteri dapat memproduksi berbagai jenis enzim, seperti Cellulomonas sp.
paling sedikit memproduksi 6 enzim endoglukanase dan paling sedikit 1 enzim
eksoglukanase. Bakteri thermofilus berfilamen yaitu Thernmobifida fusca juga
menghasilkan 6 selulase yaitu 3 endoglukanase (E1, E2 dan E5), 2 eksoglukanase
(E3 dan E6) dan 1 selulase dengan aktivitas endoglukanase dan eksoglukanase
Leschine (1995) dan Kumar et al. (2008) mengungkapkan bahwa dalam
kondisi anaerob, kompleks enzim selulase (endo-glukanase, ekso-glukanase
maupun glukosidase) serta enzim pendegradasi komponen serat kasar lainnya
diorganisir kedalam multiprotein enzim yang disebut “cellulosome/selulosom”
yang bekerja secara sinergis dalam hidrolisis selulosa kristalin (Gambar 2.19).
Komponen utama dan aksi katalitik dari selulosom Clostridium thermocellum
disajikan pada Tabel 2.6.
Gambar 2.19. Komponen Multi Protein Enzim Selulosom dari Bakteri dan Pola
Perombakan Komponen Selulosa (Kumar et al., 2008)
Kumar et al. (2008) mengemukakan bahwa kompleks enzim selulase
dalam formasi selulosom memungkinkan aktivitas enzim pendegradasi serat
dinding sel akan bekerja terpadu dengan sinergisisme yang optimal di dekat sel
38
bakteri. Formasi selulosom juga akan mempercepat pemanfaatan produk hidrolisis
sehingga keberlangsungan/kontinyuitas perombakan selulosa dan serat dinding sel
lainnya oleh kompleks enzim selulase akan terjaga dan efisien. Formasi selulosom
dari Clostridium thermocellum merupakan salah satu contoh yang mempunyai
efisiensi tinggi dalam mendegradasi selulosa mikrokristalin (Lamed dan Bayer,
1988 dalam Kumar et al., 2008). Struktur selulosom dari C. thermocellum terdiri
dari protein scaffoldin nonkatalitik (CipA) multi-modular, mengandung sembilan
cohesins, empat module-X dan modular pengikat selulosa/cellulose binding
module/CBM. Scaffoldin bergerak ke dinding sel melalui kohesin domain tipe II.
Terdapat 22 module katalitik terdiri atas 9 module dengan aktivitas endoglucanase
(CelA, CelB, CelD, CelE, CelF, CelG, CelH, CelN, CelP), 4 module beraktivitas
exoglucanase (CbhA, CelK, CelO, CelS), 5 menunjukkan aktivitas hemiselulase
(XynA, XynB, XynV, XynY, XynZ), 1 dengan aktivitas chitinase (ManA) dan 1
dengan aktivitas lichenase (LicB). Modula ini memiliki gugus-gugus dockerin
yang dapat berhubungan dengan kohesin protein CipA untuk membentuk selulosa
Tabel 2.6 Komponen Selulosom dari Clostridium termocellum
Komponen Selulosom Deskripsi/Peranan Komponen Selulosom Deskripsi/Peranan
CipA (c) Scafooldin XynA; XynU Xylanase
CelJ Selulase CelD Endoglukanase
CbhA Cellobiohidrolase XynC Xylanase
XynY Xylanase XynD Xylanase
CelH Endoglukanase ManA Mannanase
CelK Cellobiohydrolase CelT Endoglukanase
XynZ Xylanase CelB Endoglukanase
CelE Endoglukanase CelG Endoglukanase
CelS (c) Eksoglukanase CseP (Belum diketahui)
CelF Endoglukanase ChiA Chitinase
CelN Endoglukanase CelA Endoglukanase
CelQ Endoglukanase XynB; XynV Xylanase
CelO Cellobiohydrolase LicB Lichenase
Sumber: Kumar et al., 2008
39
Multi protein enzim selulosom dapat diproduksi oleh 1 mikroba dan/atau
multi kultur mikroorganisme. Leschine (1995) telah menguraikan aktivitas kerja
multi protein enzim selulosom yang dihasilkan oleh berbagai mikroorganisme
yang disajikan pada Gambar 2.20. Mikroba selulolitik menghasilkan enzim yang
mendepolimerisasi selulosa, sehingga menghasilkan selobiose, selodekstrin, dan
beberapa glukosa. Gula-gula ini segera difermentasi oleh bakteri sakariolitik dan
selulolitik lainnya sehingga konsentrasi selobiosa kembali rendah sehingga
mencegah penghambatan kerja sistem kompleks enzim selulase akibat
penumpukan produk hidrolisis selulosa (selobiosa). Enzim nonselulolitik
pendegradasi selobiosa memainkan peran penting pada proses ini dan
menghasilkan CO2, H2, asam organik (asetat, propionat, butirat), dan alkohol.
Sangat sedikit H2 lolos ke atmosfir karena langsung dimanfaatkan methanogen/
homoacetogen. Methanogenes menggunakan H2 untuk mengkonversi CO2
menjadi CH4, dan homoacetogenes menggunakan H2 untuk mengkonversi CO
menjadi asetat. Asetat dan/atau asam organik lain (seperti asam format) akan
digunakan oleh beberapa spesies metanogenik untuk membentuk CH4 dan CO2.
Bakteri sintrofik memegang peranan dalam konversi selulosa menjadi CH4 dan
CO2. Mikroba ini memfermentasi asam lemak seperti propionat, butirat, atau
alkohol membentuk asetat, CO2, dan H2, namun bakteri sintrofik tumbuh sangat
lambat, sehingga fermentasi VFA biasanya merupakan faktor pembatas laju
perombakan selulosa secara anaerob.
40
Gambar 2.20 Perombakan Selulosa Secara Anaerob oleh Konsorsium Mikroba
Lynd et al. (2002) menambahkan bahwa pada kondisi anaerobik obligat
(strictly anaerobic), bakteri selulolitik memproduksi glukosa 1 fosfat (G-1-P)
melalui aktivitas cellobiose phosphorylase (CbP) dan cellodextrin phosphorylase
(CdP) yang dimetabolisme menjadi glukosa 6 fosfat yang merupakan pusat dari
katabolisme gula pada jalur Embden-Meyerhoff. Semua spesies bakteri tersebut
memproduksi asam asetat dan CO2 dalam jumlah substansial, sedangkan secara
individual bervariasi yang sebagian besar merupakan produk turunan dari hasil
oksidasi intraseluler dari piridin nukleotida. Pada Clostridium sp. dan R. albus,
etanol dan H2 adalah produk turunan akhir utama pada lingkungan alami, dan
asetil coenzim A (Acetyl-CoA) adalah kunci asosiasi dengan flux karbon untuk
produksi etanol dan asetat. Bakteri rumen F. succinogenes dan R. favefaciens
memproduksi suksinat dalam jumlah besar yang akan dikonversi oleh bakteri lain
menjadi propionat. Produksi suksinat terjadi melalui fiksasi netto dari CO2 oleh
phosphoenol piruvat/PEP carboxykinase yang merupakan konversi lanjutan dari
oksaloacetat menjadi malat dan suksinat. Laktat diproduksi dalam jumlah besar
41
oleh berbagai spesies sakarolitik anaerobik yang umumnya bukan produk utama
dari selulolitik anaerobik yang mempunyai laju pertumbuhan yang relatif lambat
dalam gula terlarut. Suatu pengecualian ditunjukkan Anaerocellum thermophilum
yang mempunyai pertumbuhan lebih cepat dibandingkan bakteri selulolitik
lainnya, yang memproduksi laktat sebagai produk akhir fermentasi selulosa.
Kemampuan degradasi selulosa berbagai bakteri bervariasi yang
dipengaruhi oleh jenis/spesies, substrat maupun lingkungan. Petre et al. (1999)
mengungkapkan bahwa kemampuan mikroba selulolitik merombak/mendegradasi
selulosa dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu; (1) ukuran dan permeabilitas
enzim selulolitik dan molekul lain yang terlibat dalam kaitannya dengan sifat
ukuran dan permukaan dari fibril/serat sel dan ruang antara mikrofibril dan
molekul selulosa dari daerah/bagian amorf, (2) derajat kristalinitas selulosa, (3)
dimensi/ukuran sel selulosa, (4) konformasi dan kekakuan stereoskopis unit
anhidroglukosa; (5) derajat polimerisasi molekul selulosa; dan (6) sifat komponen
dimana selulosa berikatan. Ditambahkannya bahwa tingkat kristalinitas selulosa
merupakan salah satu parameter utama yang mempengaruhi laju degradasi
enzimatis oleh hidrolisis. Oleh karena itu, tingkat degradasi merupakan fungsi dari
sifat permukaan selulosa yang memungkinkan akses enzim ke molekul polimer.
2.3.3 Peranan Bakteri dalam Perombakan Hemiselulosa
Degradasi hemiselulosa merupakan proses pemecahan polimer hetero
polisakarida menjadi molekul lebih sederhana. Proses ini menghasilkan monomer
yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa, arabinosa dan 4-0 methyl-
glukoronik, D-galacturonic dan D-glukoronik (Perez et al., 2002).
42
Beg et al. (2001); Perez et al. (2002); Howard et al. (2003) maupun Saha
(2003) mengungkapkan bahwa mengingat komponen utama dari hemiselulosa
adalah xilan dan mannan, maka enzim yang berperan penting dalam proses
degradasi hemiselulosa adalah kompleks enzim xylanase dan mananase. Lebih
lanjut Saha (2003) mengungkapkan bahwa degradasi secara total dari xilan
membutuhkan kompleks enzim yang bekerja secara sinergis, yaitu enzim endo-
1,4-β-xilanase, exo-xylanase, 1,4-β-xilosidase, dan beberapa enzim penunjang
seperti α-L-arabinofuranosidase, α-glucuronidase. acetylxylan esterase, ferulic
acid esterase, and p-coumaril esterase yang berperanan dalam hidrolisis berbagai
komponen xylan (Gambar 2.21-2.22), sedangkan untuk mendegradasi mannan
secara total membutuhkan adanya kompleks mananase yang terdiri dari; endo-β-
D-mannanase, exo-β-mannosidase, β-D-glucosidase, acetyl mannan esterase, dan
α-galactosidase untuk memutus rantai utama dan rantai samping dari struktur
bangun mannanosa (Gambar 2.23-2.24).
Gambar 2.21. Degradasi Xylan secara Enzimatik (Sumber: Beg et al., 2001)
43
Pada proses perombakan xylan, enzim endo-1,4-β-xylanase bertugas
menghidrolisis secara acak bangun utama ikatan β-1,4-xylosa dari kerangka rantai
silan, enzim ekso-β-xilanase menghidrolisis ujung pereduksi dan non pereduksi
ikatan β-1,4-xylosa menghasilkan silooligomer/silooligosakarida (xylobiosa) yang
selanjutnya akan dihidrolisis menjadi unit silosa tunggal dan/atau
xylooligosakarida rantai pendek oleh β-silosidase. Enzim α-arabinofuranosidase
menghidrolisis ujung nonpereduksi α-arabinofuranosa dari arabinoxylan, Enzim
α-D-glukoronidase menghidrolisis ikatan α-1,2-glikosidik dari asam 4-0-metil-D-
glukoronik rantai samping silan. Acetylxylan esterase menghidrolisis rantai asetil
ester pada acetyl silan, enzim kumaril esterase menghidrolisis gugus kumaril ester
pada xylan, sedangkan enzim feruril esterase menghidrolisis gugus feruloil ester
pada xilan. Olempska-Beer (2004) menambahkan bahwa selanjutnya feruloil
esterase akan menghidrolisis ikatan ester antara substitusi arabinosa dan asam
ferulik. Feruloil esterase melepaskan hemiselulosa dari lignin sehingga lebih
mudah didegradasi hemiselulase lain.
Dekker (1985) mengungkapkan bahwa senyawa kompleks xylan seperti
arabinoglucoronoxylan, arabinoxylan dan glukuronoxylan oleh enzym endo-β-
xylanase dirombak menjadi oligosakarida mengandung xylosa. Selanjutnya oleh
endo-β-xylanase, β-D-xylosidase, α-L-arabinosidase dan α-D-glukuronidase akan
dirombak menjadi xylosa, arabinosa, dan asam glukuronat. Disamping itu enzim
α-L-arabinosidase dan α-D-glukoronidase dapat pula merombak senyawa
kompleks arabinoglucoronoxylan, arabinoxylan dan glukuronoxylan menjadi
arabinosa dan asam glukoronat atau menjadi xylan yang selanjutnya dirombak
44
oleh endo-β-xylanase menjadi oligosakarida mengandung xylosa. Selanjutnya
enzim endo- β-xylanase dan β-D-xylosidse menjadi xylosa (Gambar 2.22).
Gambar 2.22 Skema Biodegradasi Xylan (Sumber: Dekker, 1985)
Perombakan total senyawa mannanosa dari hemiselulosa membutuhkan
kompleks enzim mananase yang terdiri dari; β-D-mannanase (EC 3.2.1.78)
(terdiri dari tyfe endo-β-D-mannanase dan ekso-β-D-mannanase), exo-β-
mannosidase (EC 3.2.1.25), α-galactosidase (EC 3.2.1.22), β-D-glucosidase (EC
3.2.1.21), dan acetyl mannan esterases (EC 3.1.1.6) untuk memutus rantai utama
dan rantai samping dari struktur bangun mannanosa (Dekker, 1985; Hagglund,
2002; Yeoman et al., 2010; Zyl et al., 2010; Shimizu et al., 2015) (Gambar 2.23).
Enzim endo β-D-mananase menghidrolisis secara acak bagian tengah ikatan β-1,4
dari mannan, galaktomannan dan/atau glukomannan. Enzim β-mannosidase
ARABINOGLUCORONOXYLANS
ARABINOXYLANS
GLUCORONOXYLANS
XYLOSE – OLIGOSACCHARIDES
OF MIXED CONSTITUTION
XYLOSE
ARABINOSE
GLUCORONIC ACID
XYLAN
OF LOW DS
ARABINOSE
GLUCORONIC ACID
XYLOSE – OLIGOSACCHARIDES
SOME OF MIXED CONSTITUTION
XYLOSE
α-L-arabinosidase
α-D-glucoronidase endo-β-xylanase
endo-β-xylanase endo-β-xylanase
β-D-xylosidase
α-L-arabinosidase
α-D-glucoronidase
endo-β-xylanase
β-D-xylosidase
45
(dikenal dengan β-1,4-D-mannoside mannohydrolase) mengkatalisis hidrolisis
unit mannose dari rantai samping ikatan mannosida nonpereduksi. Hagglund
(2002) menambahkan bahwa beberapa enzim β-mannosida mempunyai aktivitas
aktif baik pada rantai glukosida maupun mannosida serta mampu mendegradasi
manno-oligosakarida rantai panjang. Enzim α-galactosidase berperanan
memutuskan ikatan α-1,6 non pereduksi unit residu galaktosa. Enzim β-D-
glucosidase berperanan sebagai katalis pada hidrolisis terminal non pereduksi dari
residu glukosa dari oligosakarida, sedangkan enzim acetyl mannan esterases
berperanan dalam degradasi acetil heteromannan. Zyl et al. (2010) menambahkan
enzim ini mengkatalisis hidrolisis gugus acetil dari berbagai substrat.
Gambar 2.23 Degradasi Mannan Secara Enzimatik (Sumber: Zyl et al., 2010)
Dekker (1985) menunjukkan alur degradasi senyawa kompleks mannan
secara enzimatis yang dimulai dengan adanya aktivitas enzim α-D-galaktosidase
dan/atau endo β-mannanase yang merombak senyawa kompleks glukomannan
46
atau galaktoglukomannan, dimana enzim α-D-galaktosidase akan memecah
glukomannan atau galaktoglukomannan menjadi galaktosa dan glukomanan, yang
kemudian dilanjutkan oleh enzim endo-β-mannanase yang merombak
glukomannan menjadi mannosa oligosakarida yang selanjutnya akan dipecah
kembali menjadi mannosa dan glukosa oleh kerja enzim endo-β-mannanase, β-D-
glucosidase dan β-D-mannosidase. Disamping itu glukomannan dan/atau
galaktoglukomannan akan dirombak menjadi mannosa-oligosakarida oleh enzim
endo-β-mannanase yang selanjutnya diuraikan menjadi komponen penyusunnya
yaitu mannosa, glukosa dan galaktosa oleh aktivitas enzim endo-β-mannanase, β-
D-glukosidase, α-D-mannosidase dan β-D-mannosidase (Gambar 2.24).
Gambar 2.24. Skema Biodegradasi Mannanosa (Sumber: Dekker, 1985)
Berbagai mikroorganisme mampu menghasilkan enzim pendegradasi
hemiselulosa (hemiselulase), antara lain Trichoderma, Aspergillus, Bacillus sp,
Aeromonascaviae, Neurospora sitophila, Cryptococcus, Chaetomium, Humicola,
endo-β-mannanase
GALACTOGLUCOMANNANS
GLUCOMANNANS
endo-β-mannanase
MANNOSE OLIGOSACCHARIDES
OF MIXED CONSTITUTION
MANNOSE
GLUCOSE
GALACTOSE
GALACTOSE GLUCOMANNAN
α-d-galactosidase
endo-β-mannanase
β-D-glucosidase
β-D-mannosidase
MANNOSE
GLUCOSE
MANNOSE OLIGOSACCHARIDES
OF MIXED CONSTITUTION endo-β-mannanase
β-D-glucosidase
α-D-mannosidase
β-D-mannosidase
47
Talaromyces, Clostridium sp, dll (Chandel et al., 2007). Howard et al. (2003)
menunjukkan bakteri dengan aktivitas hemiselulase tinggi yaitu; Clostridium
stercoratium, Thermoanaerobacter ethanolicus, Pyrococcus furiosus, Bacillus
pumilus, B. subtilis, B. polymyxa, E. coli, Fibrobacter succinogenes (Tabel 2.7).
Tabel 2.7 Isolat Bakteri dan Aktivitas Enzim Hemiselulase yang Dihasilkan
Organisme 1 Enzym Substrat
Aktivitas Enzim
(μmol/menit/mg)
Suhu Optimum
(oC)
pH
optimum
Clostridium
stercorarium
Feruloyl esterase Ethyl Ferulate 88 65 8
Clostridium
stercorarium
α-L-arabino
furanosidase
alkyl-α-arabino
furanoside / /
883 NA NA
Thermoanaero-
bacter ethanolicus
β-1,4-xylosidase o-nitrophenyl-β-D-
xylopyranosida
1073 93 6
Thermoanaero-
bacter
saccharolyticum
α-Glucuronidase 4-O-methyl-
glucuronosyl-
xylotriose
9,6 50 6
Pyrococcus
furiosus
Exo-β-1,4-
mannosidase
p-nitrophenyl-β-D-
galactosida
31,1 105 7,4
Bacillus pumilis Endo 1,4-β–
Xylanase
β -1,4-D-Xylan 1780 40 6,5
Bacillus polymyxa β-Glucosidase 4-nitrophenyl-β-D-
glucopyranosida
2417 NA NA
Escherichia coli α-Galactosidase raffinose 27350 60 6,8
Fibrobacter
succinogenes
Acetyl xylan
esterase
Acetyl xylan 2933 NA NA
Bacillus subtilis
endo-β-1,4-
mannanase
kompleks mannans 514 NA NA
Bacillus subtilis mannan endo-1,4-
β-mannosidase
kompleks mannans 514 50 – 60 5 – 7
Bacillus subtilis Endo-α-1,5-
arabinanase
1,5-α-L-arabinan 429 60 6 – 8
Bacillus subtilis Endo-
galactanase
arabinogalactan 1790 48 6
Bacillus subtilis2 xylanase Birchwood and oat
spelt xylan
36633,4 60 5,8
Bacillus sp. SN52 xylanase Beechwood xylan 4511,9 55 7,5
Bacillus brevis
ATCC 82462
xylanase Jerami gandum 4380 55 7,0
Paenibacillus
macerans IIPSP32
xylanase Beechwood xylan 4170±23,5 60 4,5
Paenibacillus sp.
NF12
xylanase oatspelt xylan 3081,05±4,12 60 6,0
Bacillus
licheniformis3
β-mannanase glucomannan 251,41 NA NA
Sumber: 1Howard et al. (2003),2Kalim et al. (2015); 3Ge et al. (2016),
Keterangan: NA=Non-Analysis/Tidak dianalisis
48
Lee et al. (1985) mengungkapkan dari 20 strain Clostridium sp. diketahui
C.acetobutylicum NRRL B527 dan ATCC 824 menghasilkan xilanase terbanyak.
Strain NRRL B527 menghasilkan xilanase pada pH 5,2, sedangkan ATCC 824
menghasilkan xilanase, xilopiranosidase, dan arabinofuranosidase pada kondisi
anaerob. Marques et al. (1998) melaporkan Bacillus sp. menghasilkan xylanase
tahan panas dan alkali. Ellis dan Magnuson (2012) melaporkan Anoxybacillus
flavithermus TWXYL3 menghasilkan xylanase tahan panas dan alkali.
Mikroorganisme pendegradasi hemiselulosa secara anaerobik telah banyak
diisolasi dari berbagai sumber/lingkungan anaerobik dan beraktivitas melalui 3
tahapan utama, yaitu; 1) hidrolisis polimer hemiselulosa oleh kompleks enzim
hemiselulase menjadi senyawa sederhana/monomer, 2) fermentasi senyawa
monomer menjadi asam-asam organik, H2 dan CO2, dan 3) konversi lanjutan dari
asam-asam organik, hidrogen dan CO2 menjadi methan (Gambar 2.25).
Gambar 2.25. Degradasi Hemiselulosa oleh Mikroorganisme Anaerobik
(Sumber; Candra et al., 2015)
Hemiselulosa
Monomer (xylosa, mannosa, dll)
Hidrolisis
VFA rantai pendek (suksinat, laktat, alkohol)
H2 dan CO2 Asam Format
Asam Asetat
Acetogenesis
Acidogenesis
CH4 dan CO2
Methanogenesis
49
Schyns (1997) mengungkapkan bahwa hidrolisis xilan oleh mikroba
anaerob pada rumen dan/atau saluran pencernaan hewan lainnya memegang
peranan penting dalam metabolisme nutrien mahluk hidup. Ruminococcus,
Butyrivibrio, Bacteriodes, Prevotella dan Fibrobacter sp. adalah bakteri rumen
yang mempunyai aktivitas xylanolitik dan berbagai enzim xylanolitik dari
mikroba tersebut telah berhasil diisolasi. Lebih lanjut diungkapkan bahwa
Fibrobacter succinogenes diketahui juga menghasilkan enzim xylanase yaitu
acetyl xylan esterase, gluccurosidase, arabinofuranosidase, dan ferulic acid
esterase. Produk fermentasi utama dari F. succinogenes adalah suksinat, asetat,
format dan CO2. Zorec et al. (2014) mengungkapkan bakteri rumen Prevotella
bryantii dan Pseudobutyrivibrio xylanivorans menghasilkan xylanase dengan
efisiensi tinggi serta potensial sebagai probiotik pakan atau fermentor biogas.
Kalim et al. (2015) mengungkapkan bahwa mikroba dan/atau enzim xylanase
yang dihasilkan mempunyai peranan penting dalam dunia industri baik sebagai
penghasil bioetanol, pakan ternak, suplemen makanan xylo-oligosakarida/XOS,
produksi kertas, industri kue, produksi xylitol, minuman segar/bir.
2.4 Cairan Rumen dan Rayap Sebagai Sumber Bakteri Lignoselulolitik
2.4.1 Cairan Rumen Sebagai Sumber Bakteri Lignoselulolitik
Cairan rumen merupakan limbah rumah potong hewan yang mengandung
berbagai mikroba seperti dari bakteri, protozoa dan fungi (Arora, 1995) dan
menghasilkan berbagai enzim pendegradasi serat (Hungate, 1966). Kamra (2005)
mengungkapkan mikroba rumen ruminansia di daerah tropis yang mengkonsumsi
pakan kaya serat terdiri dari bakteri (1010
–1011
sel/ml, terdiri dari 50 genus),
50
protozoa bersilia (104–10
6/ml, terdiri dari 25 genus), dan fungi anaerob (10
3-10
5
zoospore/ml, terdiri dari 5 genus).
Perez et al. (2002) mengungkapkan dalam rumen terdapat berbagai bakteri
pendegradasi lignoselulosa. Bakteri Pseudomonas, Flavobacterium dan Bacillus
mempunyai kemampuan mendegradasi senyawa lignin secara anaerobic. Akin
dan Benner (1988) mengungkapkan bakteri rumen mempunyai aktivitas cukup
tinggi dalam merombak lignin menjadi gas terutama gas methan. Bakteri
pendegradasi selulosa merupakan kelompok bakteri dengan jumlah dan komposisi
terbanyak dalam rumen. Bakteri selulolitik dalam rumen antara lain Fibrobacter
succinogenes, Ruminococcus flavafaciens, Ruminococcus albus, Clostridium
lochheadii, Eubacterium cellulosolvens dan Butyrifibrio fibrisolvens, sedangkan
bakteri yang berfungsi sebagai pendegradasi hemiselulosa dalam rumen antara
lain Butirifibrio fibrisolvens, Bacteroides ruminocola, dan Ruminococcus
amylolytica (Weimer et al., 1999). Selain kelompok bakteri pendegradasi
lignoselulosa, dalam rumen terdapat pula bakteri pendegradasi gula antara lain
Triponema bryantii, Lactobacillus ruminus serta bakteri pendegradasi protein
antara lain Clostridium sporogenus, Bacillus licheniformis. Hasil penelitian
Suardana et al. (2007) menunjukkan dari cairan rumen sapi bali dapat diisolasi
bakteri asam laktat (BAL) dengan kemampuan antimikroba yang cukup luas baik
untuk bakteri gram positif maupun gram negatif, yaitu isolat SR21 (Lactococcus
lactis spp lactis 1) dan isolat SR54 (Lactobacillus brevis 1). Chiquette (2009)
mengungkapkan dalam saluran pencernaan ruminansia terdapat berbagai bakteri
probiotik dan penghasil asam laktat dari golongan Lactobacillus sp. (L.
51
acidophillus, L. casei, L. crispatus, L. gallinarum, dll) dan Bifidobacterium sp. (B.
adolescentis, B. breve, B. lactis, dll), bakteri asam laktat lain (Enterococcus
faecalis, Lactococcus lactis, Leuconostoc mesenteroides) dan bakteri non laktat
(Bacillus cereus, Propionibacterium freudenreichii).
Pada umumnya kelompok bakteri lignoselulolitik akan dominan pada
rumen bila ternak mengkonsumsi hijauan/pakan kaya serat. Tiga spesies bakteri
selulolitik yaitu Ruminococcus flavifaciens, Fibrobacter succinogenes dan
Ruminococcus albus bersifat kompetitif dalam rumen. Dalam kondisi jumlah
substrat cukup tersedia, ketiga spesies tersebut terdapat dalam jumlah hampir
seimbang tetapi bila jumlah substrat terbatas populasi Ruminococcus flavifaciens
akan lebih tinggi dibandingkan Fibrobacter succinogenes dan Ruminococcus
albus (Chen dan Weimer, 2001). Namun hasil penelitian Berra-Maillet et al.
(2004) menunjukkan bahwa populasi Fibrobacter succinogenes adalah paling
besar di dalam rumen sapi dan domba.
Adanya berbagai mikroba khususnya bakteri lignoselulolitik dan
diantaranya tergolong bakteri penghasil asam laktat yang mempunyai sifat anti
mikroba yang cukup luas dengan berbagai enzim pendegradasi dinding sel
merupakan faktor utama yang menyebabkan limbah isi rumen sangat potensial
dimanfaatkan sebagai fermentor/inokulan maupun feed suplemen berprobiotik.
(Dewi et al., 2013; Mudita et al., 2009;2010; 2012; 2013; Putri et al., 2009).
Penelitian Mudita et al. (2009; 2013); Putri et al. (2009) dan Wibawa et al.
(2009; 2010; 2011) menunjukkan limbah isi rumen kaya bakteri pendegradasi
serat dan dapat diproduksi menjadi bioinokulan/feed suplemen ransum berbasis
52
limbah pertanian. Penelitian Mudita et al. (2009) menunjukkan penggunaan 5-20
% cairan rumen mampu menghasilkan inokulan dengan populasi total bakteri
9,51–9,73 x 109CFU dan bakteri selulolitik 7,67 – 8,07 x 10
9CFU. Putri et al
(2009) mengungkapkan limbah rumen sapi bali dapat dimanfaatkan sebagai
sumber inokulan dalam proses fermentasi ransum berbasis limbah
nonkonvensional karena mengandung berbagai mikroba dan enzim pendegradasi
serat kasar. Dewi et al. (2013) juga mengungkapkan pemanfaatan 20 - 80%
limbah isi rumen menghasilkan feed suplemen dengan kandungan total bakteri
2,98 – 3,33 x 108 CFU dan bakteri selulolitik 2,5 – 2,87 x 10
8 CFU.
Pemanfaatan limbah padat/cair dari rumen yang kaya berbagai mikroba
sebagai inokulan dan/atau suplemen akan meningkatkan kualitas pakan/ransum
kaya serat, menurunkan kandungan serat kasar termasuk senyawa lignoselulosa
pakan, mengurangi kandungan senyawa antinutrisi, meningkatkan kecernaan
nutrien ransum/pakan serta mampu menghasilkan produktivitas ternak lebih tinggi
dengan emisi polutan lebih rendah (Ginting, 2004; Kaiser, 1984; Dewi et al.,
2013; Mudita et al., 2009; 2010; 2013; Putri et al., 2009; Wibawa et al., 2011).
2.4.2 Rayap Sebagai Sumber Bakteri Lignoselulolitik
Rayap (Termites) merupakan serangga pemakan/dekomposer kayu yang
sangat potensial dimanfaat sebagai sumber isolat/inokulan. Rayap dapat mencerna
lignoselulosa dengan menggunakan enzim selulase yang dihasilkan oleh rayap itu
sendiri dan simbion (Watanabe et al., 1998; Ohkuma, 2003). Watanabe et al.
(1998) mengungkapkan sel tubuh, air liur, saluran pencernaan serta sarang rayap
mengandung berbagai enzim pendegradasi serat. Purwadaria et al. (2003a,b
dan
53
2004) menyatakan saluran pencernaan rayap mengandung mikroba (bakteri,
protozoa maupun fungi), menghasilkan kompleks enzim selulase yaitu endo-β-D-
1.4-glukanase/CMC-ase, aviselase, eksoglukanase dan β-D-14-glukosidase, dan
hemiselulase (endo-1,4-β-xilanase dan enzim β-D-1,4-mannanase). Kamsani et al.
(2015) mengungkapkan bahwa beberapa isolat bakteri seperti Bacillus sp. B1,
Bacillus sp. B2 dan Brevibacillus sp. Br3 menghasilkan enzim lignoselulase
terdiri atas endoglukanase, eksoglukanase, β-glukosidase, xylanase, Lignin-
peroksidase, Mangan-peroksidase dan Lakase dengan aktivitas enzim tinggi.
Breznak (2000) mengungkapkan rayap tingkat rendah lebih banyak
bersimbiosis dengan protozoa sedangkan rayap tingkat tinggi lebih banyak
bersimbiosis dengan bakteri. Kato et al. (1998) dan Geib et al. (2008)
menunjukkan bakteri Rhodococcus erythropolis, Sphingomonas sp., Brucella
melitensis, Ochrobacterium sp., Burkholderia sp., dan Microbacterium sp. yang
diisolasi dari saluran pencernaan rayap mempunyai kemampuan mendegradasi
senyawa aromatik dari lignin. Kato et al. (1998) juga menunjukkan bahwa bakteri
asal rayap menghasilkan lignase yang mampu mendegradasi senyawa aromatik
dari lignin. Tokuda et al. (2004) mengungkapkan pada rayap tingkat rendah
(Mastotermitidae, Kalotermitidae, Rhinotermitidae dan Termopsidae), aktivitas
endoglukanase tertinggi ditemukan pada kelenjar saliva (45-86%), sedangkan
pada rayap tingkat tinggi (Macrotermitinae, Termitinae dan Nasutitermityinae ),
aktivitas endoglukanase tertinggi ditemukan di usus tengah (96-99%). Borji et al.
(2003) mengungkapkan bahwa beberapa isolat seperti Bacillus sp., Enterobacter
sp., dan Ochrabacterium sp. mempunyai kemampuan mendegradasi lignin dan
54
polisakarida dari jerami gandum. Enterobacter mempunyai kemampuan degradasi
dan tumbuh lebih cepat dari kedua isolat lainnya. Konig (2005) juga
mengungkapkan bahwa beberapa Bacillus dan Paenibacillus sp. berhasil diisolasi
dari saluran cerna rayap yang mempunyai peranan penting dalam perombakan
polisakarida dan senyawa aromatik. Spesies dari genus Bacillus merupakan
populasi terbanyak dengan jumlah populasi lebih dari 107 sel/ml isi saluran cerna.
Bakteri pendegradasi selulosa (selulolitik) seperti Bacillus cereus Razmin
A, Enterobacter aerogenes Razmin B, Enterobacter cloaceae Razmin C,
Chryseobacterium kwangyangense Strain Cb, Acinetobacter telah berhasil
diisolasi dari rayap Coptotermen curnignathus (Razmin et al., 2009). Sedangkan
Sukartiningrum (2012) berhasil mengisolasi bakteri xilanolitik dari rayap tanah
yaitu Bacillus anthraccis, Bacillus thuringiensis, Bacillus mycoides, Bacillus
acidicola, Bacillus halmapalus, Bacillus acidiceler,Escherichia coli, E.
fergusonii. E. albertii, Shigella dysenteriae, Citrobacter youngae, Salmonella
enterica subsp. indica, dan Enterobacter asburiae.
Kamsani et al. (2015) melaporkan bakteri Bacillus sp B1, Bacillus sp. B2,
dan Brevibacillus sp. Br3 yang diisolasi dari saluran cerna rayap Bulbitermes sp.
masing-masing mampu menghasilkan aktivitas enzim endoglukanase (138,77;
10,02; 3,46 U/g), eksoglukanase (10,17; 32,16; 14,19 U/g), β-glukosidase (2,38;
1,81; 5,45 U/g), xylanase (72,33; 66,33; 104,96 U/g), lignin peroksidase (577,03;
500,99; 648,60 U/g), manganeseperoksidase (47,73; 41,48; 36,93 U/g) dan lakase
(45,14; 71,18; 43,4 U/g) pada fermentasi substrat serbuk gergaji kayu selama 14
hari. Pada penelitian tersebut juga ditunjukkan kombinasi antara dua isolat, 3
55
isolat atau 4 isolat (dengan isolat jamur Aspergillus sp. A1) menghasilkan aktivitas
enzim lebih tinggi daripada penggunaan isolat tunggal (Gambar 2.26).
Gambar 2.26 Grafik Aktivitas Enzim (a) Endoglukanase, (b) Eksoglukanase, (C) β-
Glukosidase dari Isolat Tunggal atau Kombinasi Isolat antara Aspergillus fumigatus
(SK1 sebagai kontrol), A1 (Aspergillus sp. A1), B1 (Bacillus sp. B1), B2 (Bacillus sp.
B2), Br3 (Brevibacillus sp. Br3) [Sumber: Kamsani et al., 2015]
Purwadaria et al. (2003) menunjukkan ekstrak rayap segar mempunyai
aktivitas enzim pada dedak padi sebesar 25,30 µmol/g BK rayap, 8,32 µmol/g BK
rayap pada pollard, 0,56 µmol/g BK rayap pada tepung kedele dan 0,17 µmol/g
BK rayap pada tepung jagung. Purwadaria et al. (2004) mengungkapkan bahwa
bakteri yang diisolasi dari rayap G. montanus dan Termitidae yaitu Bacillus
larvae, B. pumilus, B. mycoides, Enterobacter sp., dan 1 isolat belum
teridentifikasi mampu menghasilkan diameter zone bening yang tinggi (1,7 – 4,0
cm) dengan nisbah daerah bening 3,6 – 10,0 kali.
56
Prabowo et al. (2007) menunjukkan ekstrak rayap mempunyai aktivitas
enzim CMC-ase yang sangat tinggi yaitu 0,6961-0,7638 U/mg atau 7,11-33,95
kali lebih besar dibandingkan dengan cairan rumen kerbau, bahkan 19,39-35,69
kali lebih besar daripada aktivitas enzim cairan rumen sapi, namun kombinasi
mikrobia dari ekstrak rayap dengan cairan rumen sapi atau ekstrak rayap dengan
cairan rumen kerbau menghasilkan aktivitas enzim CMC-ase yang sama bahkan
lebih besar dengan ekstrak rayap (tunggal) yaitu 0,1249; 0,1105 U/mg Vs 0,1197
U/mg. Hal ini disinyalir sebagai akibat mikobia selulolitik cairan rumen sapi dan
kerbau mempunyai aktivitas enzim ekso-glukanase dan β-glukosidase yang lebih
tinggi daripada mikrobia ekstrak rayap. Lebih lanjut diungkapkan peningkatan
aktivitas enzim ekso-glukanase dan β-glukosidase pada sistem kompleks enzim
selulase, akan meningkatkan aktivitas enzim CMC-ase, sebagai akibat produk
hasil degradasi enzim sebelumnya dapat segera dirubah oleh enzim selanjutnya.
2.5 Pemanfaatan Bakteri dalam Menunjang Produktivitas Sapi Bali
2.5.1 Peranan Bakteri Lignoselulolitik dalam Fermentasi Pakan Sapi
Fermentasi pakan merupakan teknologi pengolahan pakansecara biologis
yang mengakibatkan terjadinya perubahan kimia pada substrat sebagai hasil kerja
mikroorganismedan/atau produk mikroorganisme(enzim) dengan menghasilkan
produk tertentu (Tamada et al., 1999). Fermentasi pakan kaya serat seperti limbah
pertanian bertujuan merubah struktur fisik bahan pakan, pengawetan, mengurangi
kandungan anti nutrisidan mengurangi kehilangan nutrien-nutrien available bahan
pakan (Murni et al., 2008). Wahyono dan Hardianto (2004) menyatakan
fermentasi pakan adalah salah satu upaya meringankan kerja mikroba rumen
57
karena serat pakan mendapat aktivitas enzimatik dari mikroorganisme diluar
rumen sebelum pakan dikonsumsi ternak.Aplikasi teknologi fermentasi terbukti
aman dan tidak menimbulkan efek negatif baik bagi ternak, peternak/masyarakat
serta lingkungan (Tamada et al., 1999) serta mampu menghasilkan pakan yang
lebih palatable dibandingkan dengan teknologi amoniasi (Partama et al., 2006).
Fermentasi bahan pakan kaya serat seperti limbah tanaman pertanian
dilaksanakan oleh aktivitas kompleks enzim lignoselulolitik yang dihasilkan
bakteri dan/atau jamur pendegradasi serat kasar khususnya senyawa lignoselulosa
(lignoselulolitik) dengan mendegradasi setiap komponen lignoselulosa baik lignin,
selulosa maupun hemiselulosa menjadi gula sederhana, CO2 dan energi/panas
(Bansal et al., 2012; Howard et al., 2003). Pemanfaatan mikroba lignoselulolitik
sebagai bioinokulan dalam pembuatan silase (fermentasi bahan pakan kaya serat)
akan mempercepat dan memperbaiki proses fermentasi (penurunan pH,
peningkatan rasio laktat:asetat, menurunkan amonia), menurunkan kandungan
serat pakan, mengurangi senyawa antinutrisi dan meningkatkan kecernaan nutrien
(Ginting, 2004; Mudita et al., 2009; 2013; Wibawa et al., 2009; 2010; 2011).
Forano dan Flint (2000) mengungkapkan pemanfaatan/penambahan
bakteri dalam proses ensilase bertujuan meningkatkan degradasi komponen
dinding sel tanaman/bahan pakan, meningkatkan ketersediaan asam amino atau
menurunkan kehilangan amonia, meningkatkan ketersediaan nutrien lainnya
seperti fosfor, menurunkan kehilangan energi dalam bentuk metan atau
meningkatkan proporsi VFA, mencegah berbagai gangguan pencernaan seperti
asidosis, bloat maupun gangguan pencernaan lainnya, menurunkan atau
58
menghilangkan kandungan racun (detoksifikasi) bahan pakan/tanaman, mencegah
berbagai penyakit/pathogen bagi ternak atau manusia.
Berbagai jenis bakteri pendegradasi serat mempunyai peranan penting
dalam proses ensilase. Scheirlinck et al. (1989 dan 1990) mengungkapkan
penambahan Lactobacillus plantarum pada produksi silase bahan pakan dengan
kandungan karbohidrat mudah larut yang rendah merupakan hal yang sangat
penting. Hal ini mengingat Lactobacillus plantarum mampu menghasilkan enzim
alpha amylase, cellualase dan xylanase sehingga produksi asam laktat dapat
meningkat. Bakteri lignoselulolitik lainnya baik isolat murni mupun kultur
campuran/konsorsium dan dengan kompleks enzim yang diproduksinya terbukti
mampu menjadi inokulan dalam proses ensilase (fermentasi) pakan kaya serat
kasar termasuk limbah pertanian (Bansal et al., 2012: Imansyah, 2007: Mudita et
al., 2008; 2009; 2010; 2012; 2013; Wahyudi dan Bachruddin, 2005).
Imansyah (2007) mengungkapkan aktivitas mikroorganisme selama proses
fermentasi akan mengubah sifat bahan pakan dan menghasilkan produk/substrat
yang bermanfaat. Substrat yang mengalami fermentasi akan memiliki nilai
gizi/kualitas nutrien yang lebih tinggi daripada bahan asalnya. Hal ini dikarenakan
sifat katabolik dan anabolik mikroorganisme yang mampu memecah komponen
yang lebih kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah tercernadan
membentuk nutrien available yang bermanfaat bagi ternak. Selain berperanan
untuk mendegradasi senyawa kompleks, mikroorganisme juga mensintesis
vitamin-vitamin serta nutrien/unsur-unsur lain yang bermanfaat bagi pertumbuhan
ternak. Proses fermentasi akan merombak struktur/komposisi kimia jaringan
59
dinding sel dan pemutusan ikatan lignoselulosa, sehingga kecernaan bahan pakan
kaya serat akan mengalami peningkatan (Mudita et al., 2008; 2009;2012; 2013)
Proses fermentasi (ensilase) meliputi 2 fase yaitu fase aerobik dan fase
anaerobik. Fase aerobik terjadi dengan adanya oksigen, yang dimanfaatkan oleh
tanaman/bahan pakan dalam kondisi kandungan air yang tinggi untuk proses
respirasi. Enzim tanaman/pakan dan mikroba memanfaatkan oksigen dan
mengoksidasi karbohidrat mudah larut (water soluble carbohydrate/WSC)
menjadi CO2 dan energi/panas. Fase anaerobik dimulai setelah oksigen habis
untuk respirasi serta bakteri anaerobik berkembang pesat dan memulai proses
fermentasi dengan memanfaatkan WSC untuk menghasilkan asam laktat yang
akan menurunkan pH, sehingga membatasi pemecahan protein dan menghambat
pertumbuhan mikroba pembusuk seperti Enterobacteria dan Clostridia (Gambar
2.27 dan 2.28) Produksi asam laktat yang berlanjut akan menurunkan pH yang
dapat menghambat pertumbuhan semua mikroba.
Gambar 2.27. Perubahan selama proses ensilase (Sumber: Van Soest, 1994)
Terdapat tiga hal pokok yang harus diperhatikan dalam fermentasi bahan
pakan yaitu mempercepat penghilangan udara, menghasilkan asam laktat untuk
menurunkan pH, mencegah masuknya oksigen/O2 kedalam silo dan menghambat
60
pertumbuhan mikroba pembusuk selama penyimpanan (Gambar 2.27). Mikroba
(bakteri maupun mikroba lainnya) dalam proses fermentasi berperanan memacu
terciptanya kondisi asam dan anaerob dalam waktu singkat. Sehingga secara tidak
langsung akan menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk (Van Soest, 1994).
Gambar 2.28. Proses dan Faktor yang Mempengaruhi Proses Fermentasi
(Sumber: Murni et al., 2008)
Penghilangan oksigen sangat penting karena sel tumbuhan tidak langsung
mati pada saat pemanenan, namun sel tersebut terus bernapas/berespirasi. Apabila
oksigen masih terdapat pada silo, maka gula (plant sugars) akan teroksidasi.
Oksidasi gula tanaman akan menurunkan nilai energi dari hijauan dan secara tidak
langsung akan meningkatkan komponen serat yang memliki kecernaan rendah
bagi ternak. Respirasi tanaman juga mengakibatkan peningkatan kehilangan
bahan kering, mengganggu proses ensilase, menurunkan nilai nutrisi dan
kestabilan silase (Murni et al., 2008).
Mikroba khususnya bakteri lignoselulolitikn dalam mendukung proses
fermentasi membutuhkan adanya substrat mudah terfermentasi dalam bentuk
water soluble carbohydrate/WSC (karbohidrat mudah larut) yang cukup, buffering
61
capasity yang rendah dan kandungan bahan kering diatas 20% (McDonald et al.,
2002). Komponen gula mudah larut pada hijauan/pakan yang difermentasi
berguna sebagai substrat primer (primary substrate) bagi bakteri penghasil asam
laktat yang akan menurunkan pH atau derajat keasaman (acidity) pada silase
sehingga silase menjadi stabil dan awet dalam waktu lama. Apabila kandungan
gula substrat rendah, maka proses fermentasi tidak berjalan dengan baik sebagai
akibat pertumbuhan dan aktivitas bakteri asam laktat yang rendah sehingga pH
silase tinggi (pH >4,8). Lana dan Saransi (2004) mengklasifikasikan silase pakan
hijauan dinilai berkualitas (skor tinggi; 60) apabila silase menghasilkan pH<4,1,
namun apabila pH >4,8 silase akan diberi skor 0 (silase berkualitas rendah).
Kadar air bahan juga merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada
proses fermentasi. Kandungan air yang optimal pada bahan segar berkisar antara
60-70% atau 65% (Murni et al., 2008). Kadar air tersebut sangat mendukung
pertumbuhan dan aktivitas bakteri dalam proses fermentasi dan penghilangan
oksigen pada silo. Kandungan air yang terlalu tinggi akan memacu pertumbuhan
bakteri penghasil asam butirat dan amoniak yang menyebabkan produksi dan
konsentrasi asam butirat (butiryc acid) serta amonia yang tinggi, sehingga silase
akan memiliki keasaman rendah (pH tinggi) dan menyebabkan munculnya bau
menyengat pada silase sehingga tidak mau dikonsumsi oleh ternak.
Keberadaan bakteri pendegradasi serat pakan termasuk bakteri asam laktat
(BAL) akan mendukung terjaganya temperatur optimal selama proses fermentasi.
Keberadaan bakteri serta didukung adanya komponen gula mudah larut/WSC
akan mempercepat hilang/habisnya oksigen dalam silo. Hal ini mengingat reaksi
62
gula dengan oksigen akan menghasilkan CO2, H2O, dan panas. Panas dalam silo
harus dijaga dalam kondisi optimum (40–60oC) sehingga dapat mendukung proses
fermentasi dan aktivitas bakteri asam laktat secara optimal (Murni et al., 2008).
Aktivitas bakteri pendegradasi serat pakan dengan kompleks enzim
lignoselulasenya akan mendegradasi lignoselulosa bahan/pakan menjadi gula
sederhana sehingga menghasilkan silase dengan kualitas yang baik, yaitu silase
yang memiliki aroma harum/manis dengan sedikit asam, wangi dan merangsang
untuk mencicipi dan dengan warna seperti bahan segarnya (Lana, 1992; Murni et
al., 2008) serta kaya nutrient available (Kaiser, 1984).
Berbagai hasil penelitian telah menunjukkan peranan penting bakteri
lignoselulolitik (isolat murni maupun konsorsium/inokulan) beserta produknya
(enzim) dalam proses fermentasi bahan pakan kaya serat termasuk limbah
pertanian (Bansel et al., 2012; Mudita et al., 2008; 2009; 2013; Sasongko dan
Sugoro, 2004; Wibawa et al., 2009, 2010; 2011). Hasil penelitian Sasongko dan
Sugoro (2004) menunjukkan fermentasi jerami padi dengan isolat bakteri anaerob
dari cairan rumen kerbau mampu meningkatkan kecernaan bahan kering jerami
padi secara in-vitro. Hasil penelitian Wahyudi (2012) menunjukkan penambahan
isolat bakteri dan jamur pendegradasi lignoselulosa yang diisolasi dari saluran
pencernaan kerbau, kuda dan feses gajah mampu meningkatkan kecernaan serat
kasar, neutral detergent fiber/NDF, dan acid detergent fiber/ADF jerami padi.
Lebih lanjut diungkapkan penambahan isolat tunggal bakteri Enterococcus
casseliflavus menghasilkan peningkatan kecernaan serat kasar, NDF dan ADF
paling optimal yaitu sebesar 20,08%, 14,04% dan 7,78%.
63
Ekawati (2007) menunjukkan pemanfaatan isolat bakteri selulolitik
dengan kode S2, S6 dan S7 yang diisolasi dari tumpukan kompos mampu
berperanan dalam dekomposisi komponen lignoselulosa jerami padi melalui
penyusutan berat total substrat jerami sebesar 2,23-2,45% per hari, penurunan
kadar selulosa masing-masing sebesar 30,19%; 30,62%; 28,68% dan penurunan
kadar lignin masing-masing sebesar 5,59%; 6,00% dan 5,29%. Sedangkan
fermentasi jerami padi menggunakan inokulan Probion (produk Balitnak, Ciawi,
yang diproduksi dari isi rumen dan kompos) mampu meningkatkan kecernaan in-
vitro serat deterjen netral dari 39,80 % menjadi 58,97%, serta meningkatkan
konsentrasi asam asetat dan asam propionat masing-masing dari 595 μM dan 76,8
μM menjadi 842,7 μM dan 136,0 μM (Haryanto et al., 2004).
Hasil penelitian Mudita et al. (2009) menunjukkan pemanfaatan inokulan
konsorsium mikroba yang diproduksi dari 5 - 20% cairan rumen sapi bali mampu
menghasilkan silase ransum limbah nonkonvensional dengan kualitas yang cukup
baik. Pemanfaatan inokulan yang diproduksi dari cairan rumen sapi bali mampu
meningkatkan produksi N-NH3 (26,98-39,09%), VFA total (41,28-100,63%),
asam asetat (20,56-57,47%), asam propionat (136,33-200,53%), kecernaan bahan
kering (Kc.BK) dan bahan organik (Kc.BO) masing-masing 5,98–25,54% and
21,35–27,93%, menurunkan (P<0,05) kandungan serat kasar ransum (31,80-
40,56%), menurunkan pH substrat ransum sebesar 28,87-30,98% dan menurunkan
produksi emisi methan berdasarkan VFA total (25,46-39,20%) ransum berbasis
limbah nonkonvensional. Lebih lanjut diungkapkan inokulan yang diproduksi dari
cairan rumen sapi bali mengandung total fungi 3,25–3,57 x 103 sel/ml, total
64
bakteri 9,51–9,73 x 109 sel/ml, bakteri selulolitik 7,67–8,07 x 10
9 sel/ml, bakteri
amilolitik 5,73–6,87 x 108 sel/ml, dan bakteri proteolitik 4,83-5,03 sel/ml.
Suryahadi et al (1996) mengungkapkan bahwa kultur campuran dari cairan rumen
sapi mempunyai kemampuan degradasi selulosa sebesar 16,3%/hari, sedangkan
kultur murni yaitu Ruminococcus albus mempunyai kemampuan degradasi
selulosa sebesar 12,7%/hari.
Penelitian Mudita et al. (2012) juga menunjukkan hasil yang sejalan.
Fermentasi ransum limbah pertanian menggunakan inokulan yang diproduksi
memanfaatkan cairan isi rumen dan rayap menghasilkan silase ransum dengan
kualitas yang baik, meningkatkan kandungan protein kasar/PK ransum sebesar
10,5–17,18%, menurunkan serat kasar/SK sebesar 18,78–20,09%, meningkatkan
produksi NNH3, VFA total, asam asetat dan asam propionat masing-masing
41,83–43,78%;21,67–29,96%; 27,84–33,49%; 53,72–71,59%, menurunkan
produksi asam butirat 30,48-43,56%, serta meningkatkan Kc.BK dan Kc.BO
secara in-vitro masing-masing sebesar 22,73-30,60% dan 20,54-26,31%.
Dikemukakan pula bahwa inokulan tersebut mengandung total bakteri 11,96–
14,23x109 koloni/ml, bakteri selulolitik 6,33–8,00x10
9 koloni/ml dan bakteri
xylanolitik 4,87–6,91x109 koloni/ml.
Pemanfaatan enzim pendegradasi serat dalam proses fermenetasi bahan
pakan kaya serat seperti limbah pertanian juga menunjukkan hasil yang sangat
positif (Bansal et al., 2012; Wibawa et al., 2010). Bansal et al. (2012)
menunjukkan kompleks enzim xylanase-selulase yang dihasilkan oleh bakteri
Bacillus subtillis NS7 mampu mendegradasi serat lignoselulosa limbah pertanian
65
seperti jerami gandum, bagas (jerami) tebu, serabut kelapa dan serbuk gergaji
kayu menjadi gula reduksi baik silosa maupun glukosa. Lebih lanjut diungkapkan
jerami gandum menghasilkan gula reduksi tertinggi yaitu 345 mg/g, diikuti oleh
serabut kelapa 325 mg/g, bagas tebu 310 mg/g, dan serbuk gergaji kayu 270 mg/g.
Bahkan Bansal et al. (2012) mengungkapkan kompleks enzim xylanase-selulase
dari Basillus subtillis NS7 mempunyai efisiensi proses sakarifikasi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh peneliti lainnya.
Hasil penelitian Wibawa et al. (2010) menunjukkan suplementasi 0,25 –
0,50% enzim optyzim kompleks (mengandung selulase,hemiselulase, amylase,
protease, dan pektinase) pada proses fermentasi ransum berbasis limbah
nonkonvensional menggunakan 1,5% cairan rumen sapi bali mampu
meningkatkan kandungan energi dan protein kasar serta menurunkan kandungan
serat kasar silase ransum. Sedangkan hasil penelitian Lamid et al. (2010)
menunjukkan penambahan 5 % enzim lignoselulolitik dan 5% bakteri
lignoselulolitik dapat meningkatkan kualitas khususnya kandungan nutrien
ransum dan mampu meningkatkan produktivitas ternak domba.
2.5.2 Peranan Bakteri Lignoselulolitik dalam Proses Fermentasi Rumen dan
Produktivitas Ternak
Bioproses dalam rumen memegang peranan yang sangat penting dalam
metabolisme nutrien ternak ruminansia terutama yang diberi pakan kaya serat
seperti limbah pertanian. Fermentasi dalam rumen menyumbangkan kecernaan
bahan kering dan bahan organik sebesar 40 – 75% dari total kecernaan nutrien
pakan/ransum, menyediakan 20-80% asam amino, serta berbagai nutrien essensial
66
lainnya bagi proses metabolisme ternak ruminansia (Leng, 1997; Preston, 1995;
Owen dan Goetsch, 1988). Produk fermentasi rumen merupakan sumber nutrien
baik bagi mikroba rumen itu sendiri maupun induk semang (Kamra, 2005).
Fermentasi dalam rumen merupakan serangkaian proses degradasi bahan
pakan khususnya fraksi karbohidrat dan komponen nitrogen/protein pakan,
produksi VFA dan ATP yang berlangsung secara bersamaan serta proses sintesis
sel protein mikroba dari prekursor nitrogen (terutama NH3), kerangka karbon dan
sulfur (Bergen, 1977). Produk akhir fermentasi dalam rumen adalah VFA dan
biomassa mikroba yang menjadi sumber nutrien penting ruminansia. Ternak
ruminansia menggunakan VFA sebagai sumber energi, dan sel-sel mikroba rumen
sebagai sumber protein (asam amino) dan vitamin B kompleks (Chiba, 2014).
Fraksi karbohidrat merupakan komponen terbesar (60–85%) dari pakan
ruminansia termasuk ternak yang diberi pakan berbasis limbah pertanian akan
difermentasi oleh mikroba rumen menjadi senyawa lebih sederhana (Leng, 1997;
Preston, 1995; Sutardi, 1980). Tingkat degradasi dan produk yang dihasilkan
dipengaruhi jenis mikroba dan kualitas enzim yang dihasilkan (Perez et al., 2002).
Secara umum, fraksi karbohidrat baik berupa soluble carbohydrate/isi sel
(gula-gula sederhana dan pati) maupun insoluble carbohydrate/dinding sel/NDF
(selulosa, hemiselulosa yang juga berikatan dengan lignin) mengalami proses
fermentasi dalam 2 tahap. Tahap pertama adalah hidrolisis ekstraseluler
karbohidrat kompleks menjadi oligosakarida rantai pendek terutama disakarida
dan gula-gula sederhana. Tahap kedua adalah pemecahan oligosakarida dan gula-
gula sederhana menjadi asam lemak terbang/volatile fatty acid/VFA terdiri dari
67
asetat, propionat, butirat, valerat dan asam-asam lemak rantai cabang seperti asam
iso butirat, 2-metil butirat dan iso valerat, dimana sebagian besar akan langsung
diserap melalui dinding rumen untuk dimetabolisme dalam tubuh ternak (Gambar
2.29) (Preston dan Leng, 1986).
Gambar 2.29. Fermentasi Karbohidrat dalam Rumen
(Sumber: Preston dan Leng, 1986)
VFA merupakan sumber energi baik untuk mikroba rumen maupun ternak
ruminansia itu sendiri, yang jumlahnya bervariasi (80 – 160 mM) tergantung jenis
dan komposisi pakan serta waktu setelah pemberian pakan (Sutardi, 1979;
Bergman, 1990). Beberapa saat setelah pemberian pakan, produksi VFA akan
meningkat, dan setelah itu terjadi penurunan. Penurunan VFA dalam rumen dapat
mencapai konsentrasi terendahnya yaitu 30 mM dan peningkatannya dapat
mencapai konsentrasi 200 mM (France dan Djikstra, 2005). Konsentrasi VFA
maksimal umumnya terjadi setelah 2 – 4 jam pemberian pakan (Bergman, 1990)
terutama saat ternak diberi pakan hijauan segar atau pakan kaya biji-bijian.
68
Pemberian pakan kering/hay dapat memperlambat laju fermentasi dan konsentrasi
VFA umumnya <100 mM (Bergman, 1990). Lebih lanjut Bergman (1990)
mengungkapkan produksi VFA sangat dipengaruhi kemampuan mikroba rumen
dalam mendegradasi pakan.
Proporsi VFA parsial (terutama asetat, propionat, butirat) dalam rumen
memegang peranan penting dalam penyediaan energi bagi ternak ruminansia. Hal
ini mengingat fermentasi karbohidrat menghasilkan glukosa dalam jumlah yang
kecil yang dapat diabsorbsi, sehingga glukoneogenesis merupakan aktivitas
lanjutan dan metabolisme utama untuk penyediaan energi ruminansia. Propionat
merupakan satu-satunya VFA yang berkontribusi nyata sebagai prekursor utama
pembentukan glukosa (glukogenik). VFA dengan rantai karbon lebih besar seperti
valerat dan heptanoat juga dapat diproduksi menjadi glukosa tetapi jumlahnya
sangat kecil sehingga peranannya kurang signifikan (Bergman, 1990).
Orskov dan Ryle (1990) mengungkapkan bahwa sekitar 80% VFA yang
terbentuk selama proses fermentasi akan diserap melalui vili-vili yang terdapat
pada permukaan dinding rumen yang akan dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan energi bagi transfortasi aktif elektrolit-elektrolit, energi hidup
pokok,maupun “turn over” jaringan epitel rumen. Sisanya akan diserap melalui
omasum dan abomasum (Preston dan Leng, 1987).
Komponen protein pakan di dalam rumen mengalami proses hidrolisis
oleh enzim proteolitik (protease) yang dihasilkan mikroba proteolitik rumen
menjadi oligopeptida dan peptida-peptida sederhana selanjutnya dihidrolisis oleh
enzim peptidase membentuk asam amino. Sebagian asam amino diserap melalui
69
dinding rumen dan sebagian lagi dideaminasi menjadi asam alfa keto yang
menghasilkan amonia, VFA (khususnya VFA dengan rantai bercabang seperti
isobutirat, isovalerat dan 2 methyl butirat serta CO2 (Gambar 2.30) (Baldwin dan
Allison, 1983; Bergman, 1990).
Gambar 2.30 Skema Degradasi Protein Pakan pada Ternak Ruminansia
(Sumber: Chiba, 2014)
Proses perombakan komponen karbohidrat dan protein pakan merupakan
aktivitas utama yang mempengaruhi fermentasi dalam rumen, produk fermentasi
rumen dan penyediaan nutrien untuk ternak (Gabler dan Heinrichs, 2003).
Fermentasi karbohidrat dalam rumen akan menghasilkan monomer-monomer
sakarida/gula-gula sederhana dan VFA yang sebagian besar akan dimanfaatkan
dalam proses sintesis komponen isi sel dan dinding sel mikroba, serta
menghasilkan energi dalam bentuk Adenosin Tri Phosphate/ATP yang akan
dimanfaatkan oleh mikroba rumen sebagai sumber energi untuk proses sintesis
protein mikroba maupun aktivitas mikroba lainnya. Sedangkan hasil perombakan
komponen protein pakan dalam rumen baik dalam bentuk amonia dan asam amino
(dalam jumlah kecil) sebagian besar dimanfaatkan dalam sintesis protein dan
70
asam nukleat komponen tubuh mikroba rumen (Firkins et al., 2006; Leng, 1997).
McDonald et al. (2002) mengungkapkan konsentrasi N-NH3 yang optimal untuk
sintesis protein mikroba rumen berkisar 6 - 21 mMol atau 50 – 80 mg N/l (Leng,
1997) dan pemanfaatan N-NH3 untuk sintesis protein mikroba dipengaruhi pula
oleh ketersediaan/degradasi karbohidrat dalam rumen dalam bentuk gula-gula
sederhana (monomer sakarida), VFA dan energi dalam bentuk ATP. Namun saat
pemberian pakan kaya serat konsentrasi N-NH3 yang dibutuhkan lebih tinggi
yaitu 150-200 mg N/l (Leng, 1997). Sehingga optimalisasi bioproses dalam rumen
penting untuk meningkatkan suplai nutrien bagi ternak (Tebot et al., 2002).
Kualitas dan kuantitas produk fermentasi rumen baik VFA, amonia,
maupun protein mikroba dipengaruhi oleh jenis, kuantitas dan kualitas ransum,
waktu setelah pemberian pakan, lingkungan rumen serta jenis, populasi dan
aktivitas mikroba rumen (France dan Dijkstra, 2005; Sutardi, 1979). Mikroba
rumen khususnya bakteri pendegradasi serat berperanan penting dalam penentuan
kualitas dan kuantitas produk fermentasi rumen khususnya saat pemberian pakan
berserat (Hu dan Yu, 2005; 2006; Hyeon et al., 2013).
Secara umum, mikroba rumen terdiri atas 30 spesies bakteri (1010
-1011
/ml
cairan rumen), 40 spesies protozoa (105-10
7/ml) dan 5 spesies fungi (10
5/ml)
(Kamra, 1997). Chiba (2014) mengelompokan bakteri berdasarkan fungsinya
yaitu terkait substrat yang didegradasi (Tabel 2.8). Sedangkan Hespell (1981
dalam Chiba, 2014) menggolongkan bakteri berdasarkan karakteristik dan produk
yang dihasilkan seperti pada Tabel 2.9.
71
Tabel 2.8
Penggolongan Bakteri Berdasarkan Fungsi
No. Fungsi Keterangan
1 Cellulolytic Mencerna selulosa
2 Hemicellulolytic Mencerna hemiselulosa
3 Amylolytic Mencerna pati
4 Proteolytic Mencerna protein
5 Sugar utilizing Menggunakan mono dan disakarida
6 Acid utilizing Menggunakan asam laktat,, suksinat, malat
7 Ammonia producers Memproduksi amonia
8 Vitamin synthesizers Mensintesa vitamin
9 Methane producers Memproduksi methan
Sumber: Chiba (2014)
Tabel 2.9
Karakteristik Bakteri Rumen Berdasarkan Fungsi dan Produk yang Dihasilkan
Spesies Fungsi 1)
Produk 2)
Fibrobacter (Bacteroides) succinogenes C,A F,A,S
Ruminococcus albus C,X F,A,E,H,C
Ruminococcus flavefaciens C,X F,A,S,H
Butyrivibrio fibrisolvens C,X,PR F,A,L,B,E,H,C
Clostridium lochheadii C,PR F,A,B,E,H,C
Streptococcus bovis A,S,SS,PR L,A,F
Ruminobacter (Bacteroides) amylophilus A,P,PR F,A,S
Prevotella (Bacteroides) ruminocola A,X,P,PR F,A,P,S
Succinimonas amylolytica A,D A,S
Selenomonas ruminantium A,SS,GU,LU,PR A,L,P,H,C
Lachnospira multiparus P,PR,A F,A,E,L,H,C
Succinivibrio dextrinosolvens P,D F,A,L,S
Methanobrevibacter ruminantium M,HU M
Methanosarcina barkeri M,HU M,C
Treponema bryantii P,SS F,A,L,S,E
Megasphaera elsdenii SS,LU A,P,B,V,CP,H,C
Lactobacillus sp. SS L
Anaerovibrio lipolytica L,GU A,P,S
Eubacterium ruminantium SS F,A,B,C
Oxalobacter formigenes O F,C
Wolinella succinogenes HU S,C Keterangan:
1) C=cellulolitik; X=xylanolitik; A=amilolitik; D=dextrinolitik; P=pectinolitik; PR=proteolitik;
L=lipolitik; M=methanogenik; GU=glycerol-utilizing; LU=lactate-utilizing; SS= major soluble sugar
fermenter, HU= hydrogen utilizer; O=oxalate-degrading
2) F=format; A=acetat; E=ethanol; P=propionat; L=laktat; B= butirat; S=succinat; V = valerat; CP =
caproat; H=hidrogen; C=carbon dioxida; M = methan
Keberadaan bakteri dalam rumen, baik jenis, jumlah serta kemampuan
aktivitasnya sangat dipengaruhi oleh jenis dan kualitas pakan yang diberikan, feed
72
intake, substrat yang tersedia untuk fermentasi, ekosistem rumen khususnya
terkait interaksi antar mikroba dan adanya perlakuan khusus. Substrat dalam
pakan serta perlakuan tertentu akan mempengaruhi tipe bakteri yang tumbuh di
dalam rumen. Martin (1994) mengungkapkan pertumbuhan bakteri dalam rumen
dipengaruhi oleh ketersediaan unsur Carbon (C), sumber energi, dan kemampuan
bakteri dalam memfermentasi pakan. Perlakuan seperti defaunasi, suplementasi
dan transfer gen/mikroba tertentu secara langsung akan mempengaruhi jenis dan
populasi mikroba (Brooker, 1995; Gregg et al., 1995; Selinger et al., 1995).
Pemberian pakan kaya serat seperti limbah pertanian dapat meningkatkan
populasi mikroba fibrolitik (pendegradasi serat) yaitu populasi bakteri mencapai
1010
-1011
sel/ml cairan rumen yang terdiri lebih dari 50 genus; protozoa 104-10
6
sel/ml cairan rumen terdiri dari 25 genus; fungi 103-10
5 zoospora/ml cairan rumen
terdiri dari 5 genus; dan bacteriophage 108-10
9/ml cairan rumen (Kamra, 2005).
Bakteri pendegradasi lignoselulosa juga tumbuh dengan baik saat pemberian
pakan kaya serat (Akin dan Benner, 1988; Perez et al., 2002). Namun Brooker
(1995) mengungkapkan bahwa ruminansia di daerah tropis dan subtropis yang
mengkonsumsi pakan kaya serat mempunyai kondisi kritis dan produktivitas
rendah. Hal itu disebabkan oleh jumlah, jenis, populasi dan aktivitas mikroba
rumen yang rendah serta ketersediaan nutrien available yang mendukung
pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen juga rendah. Pada kondisi tersebut
manipulasi fungsi rumen baik modifikasi ekologi rumen maupun lingkungan
rumen penting dilakukan (Brooker, 1995; Orskov, 1995).
73
Cater et al. (2014) dan Orskov (1995) mengungkapkan tingkat degradasi
komponen serat kasar khususnya senyawa lignoselulosa dari pakan limbah
pertanian dalam rumen sangat ditentukan oleh jenis, populasi dan aktivitas enzim
dari kelompok bakteri lignoselulolitik yang ada dalam rumen, serta kondisi
lingkungan rumen termasuk didalamnya pasokan nutrient available. Hyeon et al.,
(2013) mengungkapkan keberadaan bakteri anaerob seperti Clostridium
stercorarium, Butyrivibrio fibrisolvens, Acetivibrio cellulolyticus, Bacteroides
cellulosolvens, Ruminococcus albus, Ruminococcus flavefaciens, Cellulomonas
fimi, dan Pyrococcus furiosus yang menghasilkan kompleks enzim selulolitik dan
hemiselulolitik berperanan penting dalam degradasi komponen serat kasar pakan
khususnya komponen selulosa dan hemiselulosa dalam rumen. Vicuna (1988) dan
Pothiraj et al. (2006) menyatakan keberadaan bakteri lignolitik dalam rumen
seperti Streptomycetes, Nocardia, Cellulomonas, Pseudemonas, Clostridium
thermocellum maupun Ruminococcus juga penting untuk membantu pemecahan
ikatan lignin dengan selulosa serta mendegradasi lignin menjadi komponen yang
lebih sederhana. Keberadaan bakteri lignoselulolitik (bakteri pendegradasi lignin,
selulosa maupun hemiselulosa) menentukan tingkat degradasi komponen
lignoselulosa serta kuantitas dan kualitas produk fermentasi rumen yang
dihasilkan (Hu dan Yu, 2005; Ward et al., 2008).
Chandra et al. (2015) mengungkapkan bahwa dalam proses perombakan
senyawa kompleks, sinergisitas aktivitas berbagai mikroba (bakteri) sangat
menentukan kuantitas dan kualitas produk fermentasi yang dihasilkan. Aktivitas
sinergis antara bakteri lignoselulolitik dan non sakarolitik akan meningkatkan
74
efektivitas fermentasi. Bakteri lignolitik dengan enzim ligninase (Li-P, Mn-P,
Lac, VF, DyP) akan mendegradasi lignin menjadi asam-asam organik, asam-asam
aromatik dan aldehida, amina, quinon, metan/CH4, karbondioksida/CO2, dan H20
(Glazer dan Nikaido, 2007; Chandra et al., 2015). Bakteri selulolitik dengan
enzim selulase (carboxymethilcelulase/CMC-ase/endo β-1,4 glukanase,
eksoglukanasedanβ-glukosidase/glukohydrolase) menghidrolisis komponen
selulosa pakan membentuk senyawa-senyawa sakarida/glukosa yang selanjutnya
segera dirombak menjadi VFA. Bakteri hemiselulolitik dengan enzim
hemiselulasenya (kompleks enzim xylanase maupun mannanase) akan merombak
senyawa hemiselulosa membentuk xylosa, mannosa, galaktosa, glukosa dan/atau
arabinosa. Sedangkan bakteri non-sakarolitik (acetogenes, metanogenes) akan
memfermentasi senyawa-senyawa sederhana (gula-gula/sakarida) menjadi asam-
asam organik (VFA), CO2, CH4 dan energi/panas
Tinggi rendahnya kemampuan pembentuk VFA dari perombakan senyawa
lignoselulosa oleh bakteri lignoselulolitik sangat ditentukan oleh jumlah populasi
dan aktivitas enzim spesies bakteri yang bersangkutan. Hungate (1966) dan
Brooker (1995) mengungkapkan pada dasarnya bakteri pendegradasi serat pada
ternak yang diberi pakan kualitas rendah pasti ada dalam rumen, namun
pertumbuhan dan aktivitasnya rendah sebagai akibat rendahnya pasokan nutrien
dan kondisi lingkungan rumen yang kurang kondusif. Aldrich et al. (1983) dan
Gregg et al. (1995) juga mengungkapkan rendahnya kemampuan degradasi serat
pakan diakibatkan oleh potensi genetik mikroba rumen itu sendiri khususnya
kemampuan mendegradasi serat lignoselulosa juga rendah. Lebih lanjut
75
diungkapkan bahwa manipulasi ekologi rumen khususnya melalui modifikasi
genetik mikroba rumen dan/atau penambahan spesies mikroba spesifik yang
mempunyai kemampuan unggul mendegradasi serat penting untuk dilakukan.
Hasil penelitian Brooker (1995) menunjukkan aplikasi teknik modifikasi
genetik mikroba rumen menggunakan plasmid endogen pJDB216 pada
Selenomonas ruminantum atau pBS42 dari Bacillus subtilis pada Butyrivibrio
fibrisolvens menunjukkan terjadinya peningkatan kemampuan degradasi substrat
dari mikroba inang, peningkatan produksi VFA dan peningkatan produktivitas
ternak. Russel dan Wilson (1988) juga mengungkapkan manipulasi genetik
bakteri dominan dalam rumen melalui penyisipan gen ke kromosom inang seperti
ekspresi gen endoglukanase dari Ruminococcus flavefaciens di Streptococcus
bovis atau xilanase dari jamur rumen Neocallimastix patriciarum di Butyrivibrio
fibrisolvens mampu meningkatkan degradasi serat, produksi VFA dan
produktivitas ternak. Namun Furano dan Flint (2000) mengingatkan manipulasi
genetik mikroba rumen harus dilakukan secara hati-hati dan terkontrol mengingat
penyisipan gen ke kromosom inang berpotensi menimbulkan berbagai hal negatif
bagi konsumen/manusia yang mengkonsumsi daging/produk yang dihasilkan dari
ternak tersebut. Disamping itu aplikasi teknologi tersebut membutuhkan biaya
yang relatif tinggi dan tingkat kestabilan dari rekombinan terkadang bervariasi.
Kegiatan manipulasi ekologi rumen khususnya peningkatan populasi
mikroba rumen yang menguntungkan dengan mengikuti pola alamiah merupakan
cara yang lebih bijak dan aman untuk dikembangkan (Brooker, 1995; Orskov,
1995; Tamada et al., 1999; Wina, 2005). Penambahan mikroba unggul (probiotik)
76
secara langsung baik secara oral, melalui pakan, maupun air minum terbukti
cukup efektif meningkatkan degradasi serat pakan, produksi metabolit rumen dan
produktivitas ternak (Brooker, 1995; Wina, 2005). Pemberian silase pakan juga
berpotensi sebagai sumber probiotik dan prebiotik yang dapat mengoptimalkan
pertumbuhan dan keseimbangan mikroflora rumen (Aldrich et al., 1983; Mudita et
al., 2009-2013; Tamada et al., 1999; Wibawa et al., 2009-2011).
Seo et al. (2010) dan Khan et al (2016) mengungkapkan pemanfaatan
mikroba baik secara individual maupun konsorsium (inokulan) pada ternak
ruminansia akan menjadi direct fed microbials/DFM (pakan protein sel tunggal)
atau probiotik yang mempunyai peranan ganda yaitu optimalisasi ekosistem dan
fermentasi rumen serta meningkatkan kesehatan tubuh ternak, metabolisme tubuh,
deposisi nutrien maupun produktivitas ternak secara keseluruhan (Gambar 2.31).
Khan et al. (2016) mengungkapkan istilah probiotik (dipopulerkan Fullner, 1989)
maupun DFM (diberikan oleh Dinas Makanan dan Obat-obatan dari Amerika)
merujuk pada organisme hidup yang dipakai sebagai pakan suplemen dan
memberikan pengaruh menguntungkan terhadap hewan inang melalui
peningkatan keseimbangan mikroba dalam usus/intestinum.
Khan et al. (2016) mengelompokkan mikroba yang umum dipakai sebagai
pakan protein sel tunggal/direct fed microbials/DFM bagi ruminansia menjadi 4
kelompok, yaitu: 1)Bakteri rumen, terdiri atas; a) bakteri penghasil asam laktat
yaitu: Selenomonas ruminantium, Megasphaera elsdenii dan Propionicbacterium
freudenreichi, b) bakteri pengguna dan pereduksi asam laktat, yaitu: Prevotella
bryantii, c) bakteri pendegradasi serat (fibrolitik), yaitu: Ruminococcus albus dan
77
R. flavefaciens, 2) Bakteri penghasil asam laktat, terdiri atas: Enterococcus spp.,
Streptococcus spp., Lactobacillus spp., dan Pediococcus spp., 3) Bakteri Lain,
terdiri atas Bifidobacterium spp., dan Bacillus spp., 4) Kultur Yeast/Fungi, terdiri
atas Saccharomyces cerevisiae, S. boulardii, Aspergillus oryzae, dan A. niger.
Gambar 2.31 Peranan Protein Sel Tunggal (Direct Fed Microbial) pada Ruminansia
(Sumber Khan et al,. 2016)
Seo et al. (2010) menguraikan mekanisme kerja dari direct fed microbial
(DFM) pada ternak ruminansia baik dalam rumen maupun pasca rumen. Dalam
rumen, DFM bakteri penghasil asam laktat beraktivitas melalui mekanisme
menjaga kestabilan suplai asam laktat, mengadaptasikan mikroflora rumen dengan
akumulasi asam laktat, menstimulasi bakteri pengguna asam laktat, menjaga
kestabilan pH rumen. DFM bakteri pengguna asam laktat beraktivitas dalam
rumen melalui mekanisme yaitu mengkonversi asam laktat menjadi VFA (oleh
Megasphaera elsdenii), memproduksi propionat dari asam laktat (oleh
78
Propionicbacterium spp.), meningkatkan efisiensi pakan, menurunkan produksi
methan, meningkatkan pH rumen. DFM fungi berperanan dengan mekanisme
kerja yaitu mereduksi oksigen yang terdapat dalam rumen, mencegah efek negatif
keberadaan dari asam laktat, menyediakan faktor pertumbuhan seperti asam-asam
organik maupun vitamin B, meningkatkan populasi dan aktivitas mikroba rumen,
meningkatkan produksi metabolit rumen seperti VFA maupun protein mikroba,
meningkatkan degradasi pakan dalam rumen.Sedangkan mekanisme kerja DFM
pasca rumen antara lain memproduksi senyawa antibacterial seperti asam,
bacteriosin, hidrogen peroksida maupun antibiotika, menurunkan pH saluran
cerna khususnnya usus sehingga menghambat pertumbuhan patogen, menjaga
keseimbangan mikroba dalam saluran cerna, berkompetisi dengan mikroba
patogen dalam kolonisasi jaringan mukosa maupun komponen nutrien pakan,
memproduksi dan menstimulasi enzim, serta menstimulasi respon imun inang.
Brooker (1995) mengungkapkan bahwa transfer bakteri Selenomonas
ruminantium subsp. lactilytica pada domba secara langsung dapat meningkatkan
produksi VFA parsial (Asetat, Propionat dan Butirat) dari domba yang diberi
pakan gandum. Lebih lanjut diungkapkan transfer bakteri tersebut juga mampu
berperanan untuk mencegah terjadinya acidosis melalui pencegahan penurunan
pH rumen yang tinggi serta mencegah terjadinya keracunan tannin.
Hasil penelitian Krause et al. (2001) menunjukkan penambahan (dosing)
mikroba rumen yang sudah terseleksi “Ruminococcus spp.” Pada domba dapat
meningkatkan populasi mikroba Ruminococcus spp dalam rumen selama dosing,
serta meningkatkan kecernaan serat pakan dan produksi metabolit rumen.
79
Pemberian Bioplus (produk campuran mikroorganisme dalam bentuk kering
produksi Balitnak, Ciawi) sebanyak 150 g/ekor(hanya 1 kali pemberian) pada
domba lokal yang diberi pakan rumput dan konsentrat mampu meningkatkan
kecernaan serat dari 104 g/h menjadi 117 g/h, kecernaan energi dari 1513 kkal/kg
pakan menjadi 1566 kkal/kg, serta meningkatkan konsentrasi VFA dari 38,52 mM
menajdi 44,61 mM (Prihardono, 2001). Hasil yang sejalan diperoleh Ngadiyono et
al. (2001) yang menunjukkan pemberian bioplus sebanyak 500g/ekor dalam 1 kali
pemberian pada sapi madura mampu meningkatkan konsumsi ransum dari 101
g/kg0,75
menjadi 109 g/kg0,75
, kecernaan bahan kering dari 65,04% menjadi
68,12%, dan pertambahan bobot badan ternak dari 0,55 kg menjadi 0,61 kg/e/h.
Wahyudi (2012) menunjukkan bahwa penambahan isolat bakteri dan
jamur pendegradasi lignoselulosa yang diisolasi dari saluran pencernaan kerbau,
kuda dan feses gajah mampu meningkatkan kecernaan serat kasar, neutral
detergent fiber/NDF, dan acid detergent fiber/ADF jerami padi. Lebih lanjut
diungkapkan penambahan isolat tunggal bakteri Enterococcus casseliflavus
menghasilkan peningkatan kecernaan serat kasar, NDF dan ADF paling optimal
yaitu sebesar 20,08%, 14,04% dan 7,78%. Lamid et al. (2010) menunjukkan
bahwa penambahan 5 % enzim lignoselulolitik dan 5% bakteri lignoselulolitik
dapat menghasilkan ransum berkualitas dan mampu meningkatkan produktivitas
ternak domba. Mudita et al. (2009; 2012) juga menunjukkan pemanfaatan
inokulan kultur mikroba mampu meningkatkan kecernaan nutrien, produksi
metabolit rumen, produktivitas ternak serta kesehatan lingkungan peternakan.
80
Pemanfaatan inokulan cairan rumen secara langsung sebagai inokulan
dalam produksi silase ransum limbah nonkonvensional (Mudita dan Wibawa,
2008; Wibawa et al., 2009-2011; Putri et al., 2009) mampu menghasilkan silase
berkualitas baik, meningkatkan kandungan bahan organik dan protein ransum,
menurunkan serat kasar, meningkatkan produksi VFA total, dan Asam propinat
silase ransum. Pemanfaatannya bagi ternak sapi dan/atau kambing PE mampu
menghasilkan produktivitas ternak yang baik, meningkatkan metabolit rumen,
profil kimia darah, serta menurunkan emisi polutan yang dihasilkan. Inokulan
bali-bio dan bali tani yang diproduksi menggunakan cairan rumen sapi bali (bali-
bio) dan ditambah rayap (bali tani) juga mampu meningkatkan produktivitas sapi
bali/kambing PE yang lebih baik dan dengan emisi polutan yang lebih rendah.