bab ii tinjauan pustaka 2.1. perilaku unsur...
TRANSCRIPT
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PERILAKU UNSUR MINOR DALAM PELEBURAN
TEMBAGA
2.1.1. Unsur-unsur minor dalam fasa leburan tembaga
Termodinamika dapat digunakan untuk memprediksi perilaku unsur minor
di dalam lelehan tembaga. Untuk menggunakan prinsip-prinsip
termodinamika ini diperlukan beberapa asumsi. Asumsi utama adalah
bahwa proses berlangsung sampai tercapai kesetimbangan kimia . Karena
proses peleburan tembaga berlangsung pada temperatur tinggi dan terjadi
turbulensi yang kuat sehingga secara kinetik proses berlangsung dengan
cepat. Menurut Harris13), komposisi matte industri sangat dekat dengan
garis Cu2S-FeS pada sistem terner Cu-S-Fe sehingga seringkali matte
tembaga dianggap terikat secara kovalen (gambar 2.1). Perilaku
termodinamik matte tembaga berkadar tinggi dapat dijelaskan dengan teori
lelehan ionik. Dalam kondisi sebenarnya matte tembaga terdiri dari
campuran ionik dan kovalen tapi fenomena yang berkaitan dengan
distribusi unsur minor dapat dijelaskan lebih baik dengan menggunakan
teori ionik.
Dalam teori ionik matte tembaga digambarkan sebagai jejaring ion
kompleks yang terdiri dari ion S2- yang besar dan ion Cu+ dan Fe2+ yang
berukuran kecil. Gambar 2.2 berikut menunjukkan perbandingan
gambaran ukuran ion dari beberapa eleman yang ada dalam leburan
tembaga. Dalam matte grade (kandungan tembaga dalam lelehan) tinggi,
arsen dan antimoni sebagian besar berada dalam bentuk molekul. Karena
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7
ukurannya yang relatif besar dibandingkan dengan ion Cu2+ dan Fe2+,
maka mereka akan menggantikan S2- dalam lelehan.
Gambar 2.1 Diagram terner Cu-Fe-S14)
Gambar 2.2 Pengaruh valensi pada ukuran ion13)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8
Komponen-komponen fasa terak sebagian berada dalam bentuk ionik.
Dalam tanur peleburan tembaga, terak sebagian besar terdiri dari kation
besi dan anion silikat yang saling berhubungan berbentuk cincin (Gambar
2.3).
Gambar 2.3 Struktur terak15)
Setelah melalui proses dalam tanur konversi (converting furnace)
diperoleh tembaga dalam bentuk blister. Dalam blister struktur lelehan
tembaga tidak dalam bentuk ionik tetapi dalam bentuk kovalen. Dengan
demikian teori ionik tidak dapat digunakan untuk menggambarkan
distribusi unsur minor di dalam lelehan tembaga. Dalam blister unsur
minor berada dalam bentuk bebasnya (atomik).
Terjebaknya unsur minor dalam lelehan blister tembaga, serta proses
pemisahan yang tidak sesuai dengan kondisi ideal menyebabkan masih
adanya unsur minor dalam blister tembaga. Untuk itu diperlukan proses
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9
pemurnian guna mendapatkan kandungan tembaga yang sesuai dengan
spesifikasi anoda tembaga. Mekanisme yang sering digunakan untuk
pemisahan unsur minor ke fasa terak adalah oksidasi.
Spesi metalik atau sulfat dapat juga masuk ke dalam terak yang
diakibatkan oleh terbatasnya kelarutan fisik unsur minor dalam bentuk
tersebut atau dapat juga disebabkan terperangkapnya matte dalam terak.
Hal ini tidak dapat diabaikan karena lebih dari 25% keberadaan unsur
minor di dalam terak disebabkan oleh terperangkapnya blister dalam terak.
Fenomena ini disebabkan oleh tingginya proses turbulensi yang
disebabkan oleh desain alat dan proses produksi.
Selain ke dalam terak unsur minor juga dapat terbuang dalam bentuk gas
melalui proses penguapan menjadi fasa gas. Penguapannya merupakan
proses sederhana yang melibatkan transfer massa spesi dari fasa lelehan ke
fase gas. Potensial transfer spesi menjadi gas proporsional dengan tekanan
uap spesi dalam lelehan didefinisikan dalam persamaan 2.113).
(2.1)
Keterangan:
pi : tekanan uap unsur
i : bentuk metalik, sulfida atau oksida dari unsur minor
γ : koefisien aktivitas Raoult
xi : fraksi mol unsur minor
Pio : tekanan uap unsur minor murni
Penghilangan pengotor pada tembaga dapat dilakukan dengan cara transfer
ke dalam terak atau melalui penguapan. Semua peleburan tembaga
mengembangkan sendiri kondisi optimum sebagai parameter operasi. Hal
ini menyebabkan perbedaan distribusi unsur minor. Untuk mengetahui
kuantitas distribusi unsur minor dalam tanur peleburan maka digunakan
koefisien partisi dan koefisien distribusi (sub bab 2.1.3).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10
2.1.2. Termodinamika unsur minor dalam leburan tembaga
Unsur-unsur minor yang terlarut dalam leburan tembaga blister terdiri dari:
Fe, As, Pb, Zn, Se, Bi, Sb, Cd, Te, Ni dan S. Dari diagram Ellingham-
Richardson pada Gambar 2.2 terlihat pada temperatur rata-rata operasi
1473K reaksi oksidasi yang memiliki nilai ΔGo lebih negatif cenderung
lebih mudah berlangsung.
Gambar 2.4 Diagram Ellingham untuk reaksi oksidasi21)
Aktivitas pengotor dalam leburan dipengaruhi oleh nilai koefisien
aktivitasnya. Koefisien aktivitas ini dapat meningkat atau menurun
tergantung pada keberadaan unsur terlarut lain di dalam leburan logam.
Koefisien aktivitas logam pengotor terlarut dalam leburan tembaga
dicantumkan pada Tabel 2.1.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11
Tabel 2.1 Koefisien Aktivitas Raoult pada 1523 K13)
Dari data pada Tabel 2.1 dapat disimpulkan bahwa unsur As dan Sb di
dalam logam tembaga cenderung lebih stabil daripada Bi, Ni dan Pb,
karena secara umum koefisien aktivitas sebanding dengan kelarutan.. Hal
ini secara teoretis menguntungkan ditinjau dari termodinamika proses
oksidasi untuk mempertahankan As di dalam fasa logam.
Antrekowitsch3) mencoba menggambarkan hubungan antara temperatur
dan koefisien aktivitas, sehingga didapatkan diagram seperti yang terlihat
di gambar 2.5.
Gambar 2.5 Koefisien aktivitas beberapa logam dalam lelehan tembaga3)
As 0,0007
Sb 0,02
Bi 2,3
Pb 4,9
Ni 2,5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 12
Dari Gambar 2.5 terlihat bahwa dengan semakin meningkatnya suhu
dalam leburan tembaga, koefisien aktivitas Zn dan Sn meningkat,
sehingga dapat disimpulkan bahwa pada aktivitas pengotor tetap,
konsentrasinya menurun. Hal sebaliknya berlaku untuk pengotor Fe, Pb,
dan Ni, konsentrasinya dalam leburan cenderung meningkat dengan
naiknya suhu. Dengan demikian proses oksidasi untuk menurunkan Zn dan
Sn dalam leburan akan semakin baik pada suhu yang semakin tinggi dan
sebaliknya bagi unsur Fe, Pb, dan Ni.
Pembentukan oksida suatu pengotor dalam leburan akan terjadi jika
aktivitas oksigen dalam leburan lewat jenuh. Pada kelarutan oksigen yang
lewat jenuh tersebut, kesetimbangan akan terjadi antara pengotor dalam
leburan dan oksidanya. Oksida yang terbentuk akan terdorong ke fasa
terak. Oksida ini dapat dikelompokkan berdasarkan kemampuannya untuk
memasok atau mengakomodasi oksigen. Oksida yang dapat
mengakomodasi ion oksigen dikenal sebagai oksida asam, dan sebaliknya
yaitu oksida basa. Oksida yang mampu bersifat sebagai oksida asam dalam
terak basa dan berlaku sebagai oksida basa dalam terak asam adalah oksida
amfoter. Dalam pemurnian oksidasi, terak mempunyai kemampuan untuk
mengoksidasi unsur-unsur terlarut dalam leburan. Kemampuan ini dikenal
dengan kapasitas oksidasi terak. Terak yang mempunyai kapasitas oksidasi
yang tinggi adalah terak yang dapat memasok oksigen terlarut yang tinggi
ke dalam leburan di bawahnya. Salah satu terak yang sering digunakan
dalam proses pemurnian oksidasi adalah terak fayalit (gambar 2.6).
Antrekowitsch3) menunjukkan bahwa koefisien aktivitas oksida logam
adalah fungsi dari temperatur, potensial oksigen dan komposisi terak.
Pengaruh temperatur terhadap koefisien aktivitas dalam terak fayalit
ditunjukkan pada gambar 2.7.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13
Gambar 2.6 Diagram terner untuk terak fayalit14)
Gambar 2.7 Koefisien aktivitas oksida logam pada terak fayalit3)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 14
Dari gambar 2.7 terlihat bahwa nilai koefisien aktivitas NiO, SnO dan ZnO
cenderung turun dengan naiknya temperatur, sehingga lebih stabil berada
di dalam terak. Sedangkan koefisien aktivitas Cu2O dan PbO cenderung
stabil dengan kenaikan temperatur. Dapat disimpulkan kenaikan
temperatur akan meningkatkan konsentrasi NiO, SnO dan ZnO dalam
terak fayalit tetapi tidak berpengaruh pada konsentrasi Cu2O dan PbO.
2.1.3. Partisi dan distribusi pengotor (unsur minor) dalam leburan tembaga
2.1.3.1 Koefisien partisi
Partisi adalah bagian dari unsur yang berada dalam fasa tertentu dari total
umpan. Besaran dari partisi disebut koefisien partisi yang dapat
didefinisikan sebagai13):
% %
(2.2)
Dimana koefisien partisi dievaluasi untuk fasa j ( seperti matte, logam,
terak atau gas) dan M = As,Bi, Sb. Pb, Ni. Koefisien ini biasanya
digunakan sebagai pendekatan engineering untuk melihat distribusi unsur
minor. Koefisien partisi ini tidak dapat dikaitkan dengan besaran-besaran
termodinamika. Oleh karena itu didefinisikan koefisien distribusi.
2.1.3.2 Koefisien Distribusi
Koefisien distribusi adalah rasio komposisi logam diantara 2 fasa pada
kesetimbangan13)
⁄ %
% (2.3)
Keterangan :
L : koefisien distribusi
i : terak, gas pada sistem lelehan tembaga.
j : matte, tembaga,.
M : As, Sb, Bi, Pb, Ni
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 15
Pada sistem kesetimbangan seperti pada matte/terak atau tembaga/terak,
koefisien distribusi lebih akurat daripada koefisien partisi karena dapat
dikaitkan dengan termodinamika sistem. Untuk reaksi berikut :
(2.4)
Konstanta kesetimbangan (KT) pada temperatur T diberikan sebagai :
⁄ (2.5)
Dimana a, pada sistem terak/tembaga, adalah aktivitas dari spesi dan pO2
adalah tekanan parsial oksigen pada antarmuka terak/tembaga. Aktivitas
dari spesi didefinisikan dalam persamaan 2.6.
a = (γM) (χM) (2.6)
Keterangan:
γM : koefisien aktivitas unsur
χM : fraksi mol unsur
Dan fraksi mol (pers 2.6) dapat diubah ke fraksi massa dengan :
% (2.7)
Rasio distribusi untuk unsur M dapat diperoleh dengan menurunkan
persamaan 2.7 sehingga didapatkan:
/ ⁄
(2.8)
Keterangan:
/ : koefisien distribusi unsur M
KT : konstanta reaksi
pO2 : tekanan parsial oksigen
γMO : koefisien aktivitas oksida unsur M
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 16
γM : koefisien aktivitas unsur M
MWterak : massa unsur M dalam terak
MWtembaga : massa unsur M dalam tembaga
Penurunan persamaan 2.8 dapat dilihat di lampiran D
Pada temperatur tertentu Kt mempunyai nilai tetap dan telah diketahui.
Dengan demikian variasi rasio ini hanya bergantung dari tekanan parsial
oksigen dan koefisien aktivitas untuk sistem tembaga dan terak. Koefisien
aktivitas unsur di dalam terak ditentukan oleh sifat kimia terak. Di sisi lain,
tekanan parsial oksigen dan koefisien aktivitas dalam tembaga tergantung
dari parameter operasi seperti pengayaan oksigen dan grade tembaga.
Koefisien distribusi tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti berat
terak dan tembaga sebagaimana koefisien partisi. Sehingga walaupun ada
perubahan berat input nilai L akan tetap selama tidak ada perubahan secara
termodinamik.
Untuk tembaga dengan kesetimbangan tiga fasa (tembaga, terak dan gas)
koefisien partisi dapat diubah menjadi koefisien distribusi bila berat relatif
dari 2 fasa lelehan diketahui.
/ ⁄ (2.9)
Keterangan:
: koefisien partisi unsur M dalam tembaga
: koefisien partisi unsur M dalam terak
Penjumlahan koefisien partisi sama dengan satu atau dalam tanur
peleburan dapat ditulis:
1 (2.10)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 17
Jika partisi ke gas diketahui atau diasumsikan, dan uji tembaga dan
terak tersedia maka dapat diperoleh nilai partisi dari blister.
⁄
⁄
(2.11)
Sementara menurut Riveros19), koefisien distribusi dapat ditulis dalam
persamaan berikut:
/ %%
100 %
(2.12)
Dimana :
Mterak dan MM : berat rata-rata molekul terak dan berat molekul unsur M.
FM dan fO : koefisien aktivitas unsur M dan oksigen
y : setengah valensi unsur M dalam oksida
K : konstanta kesetimbangan reaksi
% : persentasi oksigen dalam tembaga
: koefisien aktivitas oksida
Sehingga dari persamaan 2.12 koefisien distribusi terutama akan
bergantung dari dua variabel:
1. Derajat oksidasi sistem yang diukur dari kandungan oksigen yang ada
di dalam tembaga, atau dengan tekanan oksigen kesetimbangan
2. Koefisien aktivitas dari oksida pengotor di dalam terak γMoy, yang
dikendalikan melalui komposisi kimia terak.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 18
2.1.4 Perilaku unsur minor dalam proses pemurnian anoda
2.1.4.1 Pengaruh grade tembaga
Distribusi unsur minor dalam tembaga pada kesetimbangan dengan terak
proses pemurnian anoda pada umumnya diturunkan dari teori
kesetimbangan terak dan matte. Secara umum distribusi unsur antara terak
dengan matte dapat dipakai untuk menganalogikan distribusi antara
tembaga dengan terak dengan catatan hubungan termodinamika, aktivitas
dan koefisien aktivitas dalam tembaga harus disesuaikan karena perbedaan
struktur dengan matte.
Secara teoritis, pengaruh kadar matte pada kesetimbangan matte/terak
dapat dilihat dari persamaan 2.8.
/ ⁄
(2.8)
Gambar 2.8 Pengaruh kadar tembaga terhadap
koefisien distribusi arsen13)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 19
Dari kurva 2.8 terlihat bahwa koefisien distribusi arsen cenderung
meningkat dengan semakin meningkatnya kadar Cu. Dari persamaan / (Persamaan 2.8) terlihat bahwa tekanan parsial oksigen pada
antarmuka dan γM di matte adalah variabel yang dipengaruhi oleh kadar
Cu. KT tetap pada temperatur tertentu dan γMO bergantung dari sistem
terak yang digunakan. Tekanan parsial oksigen pada lelehan tembaga oleh
persamaan:
3 2 ⁄ (2.13)
Konstanta kesetimbangan reaksinya adalah:
⁄ (2.14)
Sehingga tekanan parsial oksigen dapat ditulis :
⁄
(2.15)
Kadar besi di dalam matte (%Fe)matte memiliki pengaruh langsung pada
potensial oksigen sistem oleh aFeS seperti terlihat dari persamaan diatas
% ⁄ . Kandungan besi dalam
matte mungkin adalah indikasi terbaik dari tekanan parsial oksigen. Tetapi
indikasi yang biasa digunakan dalam dunia industri adalah berdasarkan
grade Cu (%Cu dalam matte). Metode ini memang tidak seakurat %Fe
tetapi cukup memberikan hasil yang memuaskan karena tembaga adalah
unsur logam utama.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 20
Gambar 2.9 Diagram fasa biner Cu dan As13)
Afinitas suatu unsur terhadap tembaga dapat dievaluasi secara kualitatif
dengan melihat diagram fasa biner. Pada daerah konsentrasi rendah,
keberadaan beberapa fasa stabil menunjukkan tingginya afinitas antara
kedua logam. Diagram fasa biner unsur minor dengan tembaga dapat
dilihat dari gambar 2.9. Terlihat bahwa pada konsentrasi Cu besar dan As
kecil, arsen dan tembaga berada dalam fasa stabilnya. Untuk mengetahui
pengaruh grade matte terhadap konsentrasi unsur minor dapat dilihat dari
koefisien aktivitas unsur minor. Seperti terlihat di gambar 2.10 ,
dan semakin kecil dengan meningkatnya grade matte. Maka untuk Bi
dan Sb nilai / akan naik dengan meningkatnya grade matte
karena dominannya pO2. Sedangkan untuk arsen peningkatan /
disebabkan oleh efek dominan dari kenaikan dengan meningkatnya
tekanan parsial oksigen.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21
Gambar 2.10 Pengaruh grade matte terhadap
koefisien aktivitas unsur terlarut13)
Untuk blister perilaku unsur minor dalam lelehan dapat dianalogikan
dengan kondisi dalam matte. Akan tetapi ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam penggunaannya. Dalam matte unsur-unsur berada
dalam bentuk ionik sedangkan dalam blister unsur-unsur berada dalam
bentuk atomik/kovalen. Perubahan kadar tembaga dalam matte relatif
besar dimana gradenya berkisar antara 40-70% sementara dalam blister
grade blister berkisar antara 97-99,8%. Kadar sulfur dalam blister jauh
lebih kecil (0,001-0,03%) daripada matte karena sebagian besar sulfur
telah teroksidasi dalam proses di tanur konversi.
2.1.4.2 Pengaruh oksigen terlarut
Untuk membentuk oksida arsen bereaksi dengan oksigen yang terlarut
dalam lelehan tembaga. Semakin besar kandungan oksigen terlarut,
semakin banyak arsen yang teroksidasi seperti yang ditunjukkan di gambar
2.11. dari gambar 2.11 terlihat bahwa pada kosentrasi oksigen tertentu
(>7000ppm) koefisien distribusi arsen turun. Fenomena ini mungkin
disebabkan arsen dari terak melarut kembali ke dalam tembaga akibat
turunnya koefisien aktivitas arsen dalam lelehan tembaga. Menurut
Acuna1) hal tersebut disebabkan pada konsentrasi oksigen terlarut yang
tinggi, peningkatan kandungan oksigen terlarut justru cenderung
menurunkan koefisien aktivitas arsen dalam lelehan tembaga.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 22
Gambar 2.11 Pengaruh oksigen terlarut pada
koefisien distribusi arsen1)
2.1.4.3 Pengaruh Temperatur
Pada umumnya proses oksidasi adalah proses eksotermik dimana reaksi
berlangsung lebih baik pada temperatur yang relatif lebih rendah. Tetapi
proses pemurnian oksidasi adalah proses yang berlangsung pada
temperatur tinggi dengan tujuan agar secara kinetik proses oksidasi
berlangsung dengan cepat. Pengaruh temperatur terhadap pemisahan arsen
ke dalam terak juga dapat dilihat dari pengaruh temperatur terhadap
koefisien aktivitas. Zhong25) merumuskan suatu persamaan yang
menunjukkan pengaruh temperatur terhadap koefisien aktivitas:
9,09 1,3 . 10 (1473 K≤ T ≤1533 K) (2.16)
Dari persamaan 2.16 tampak bahwa dengan kenaikan temperatur koefisien
aktivitas arsen akan semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi temperatur operasi yang digunakan maka semakin stabil arsen
didalam tembaga.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 23
2.2 PERILAKU UNSUR MINOR DALAM TERAK 2.2.1 Bahan imbuh
Salah satu cara untuk mengatur koefisien aktivitas dalam proses
pemurnian tembaga adalah dengan penggunaan bahan imbuh yang sesuai.
Dengan penambahan bahan imbuh maka diharapkan didapatkan terak
dengan kondisi yang dibutuhkan. Bahan imbuh tersebut dapat
dikelompokkan menjadi16):
1. Bahan imbuh alkali
Bahan imbuh alkali (Na2CO3, CaCO3, CaO, Li2CO3, K2CO3)
digunakan untuk meningkatkan kebasaan terak dan menurunkan
koefisien aktivitas oksida arsen dan antimoni di dalam terak.
Reaksi antara unsur minor dan bahan imbuh sebagai berikut:
3 2 , 3 5
3 . 3
3 2 , 3 5
3 .
2. Bahan imbuh asam
Senyawa karbonat atau oksida basa lainnya tidak cocok digunakan
dalam penghilangan Pb ke fasa terak dikarenakan PbO bersifat oksida
basa. Penghilangan Pb dapat dilakukan dengan penambahan oksida
asam seperti SiO2, P2O5, atau B2O3 karena sifatnya yang menurunkan
koefisien aktivitas PbO. Reaksi yang menjelaskan penghilangan Pb
adalah sebagai berikut:
.
3. Bahan imbuh halida
Senyawa klorida dan fluorida diinjeksikan dalam bentuk padatan atau
gas sehingga akan membentuk senyawa halida dengan unsur minor
yang mudah menguap dari fasa leburan. Senyawa yang sering
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 24
digunakan adalah SF6. Reaksi penghilangan As, Sb, atau Bi dengan
menginjeksikan SF6 adalah sebagai berikut:
2 , ,
2 , ,
Dari percobaan laboratorium yang dilakukan oleh Larouche(17)
didapatkan bahwa proses oksidasi unsur minor tersebut dengan urutan
sebagai berikut: Sb-As-Bi. Selain SF6 halida lain yang dapat
digunakan adalah klorida. Klorida dapat digunakan dalam bentuk
padatan seperti MgCl2, CaCl2, dll.oleh karena itu reaksinya terdiri dari
dua macam reaksi yaitu rekasi dekomposisi dan reaksi dengan unsur
minor:
, ,
, , , ,
2.2.2 Kebasaan terak
Penambahan bahan imbuh dalam proses pemurnian oksidasi
mempengaruhi sifat terak yang dihasilkan dari proses tersebut. Salah satu
sifat yang dipengaruhi adalah indeks kebasaan terak. Indeks kebasaan
terak didefinisikan sebagai1):
% / % (2.17)
Arsen adalah unsur yang amfoter, dalam kata lain dapat bersifat sebagai
basa maupun asam. Oleh karena itu arsen secara teoritis seharusnya dapat
teroksidasi dengan baik pada kondisi terak asam dan basa. Tetapi dari
urutan tingkat kebasaan oksidanya (gambar 2.12)15) terlihat bahwa oksida
arsen cenderung bersifat asam, akibatnya arsen akan lebih mudah masuk
ke dalam terak yang bersifat basa. Hasil studi Acuna1) juga menunjukkan
bahwa nilai koefisien distribusi arsen meningkat dengan naiknya indeks
kebasaan terak (gambar 2.13)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 25
Gambar 2.12 Urutan tingkat kebasaan oksida unsur-unsur15)
Gambar 2.13 Pengaruh indeks kebasaan terhadap koefisien
distribusi arsen1)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 26
2.2.3 Teori aktivitas unsur-unsur di dalam terak
Dalam menentukan koefisien aktivitas unsur dalam terak, ada beberapa
teori yang menjelaskan perilaku unsur di dalam terak. Teori-teori tersebut
terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu teori ionik dan teori molekul.
Tetapi karena unsur minor di dalam terak berada dalam bentuk ionik maka
digunakan teori ionik untuk menjelaskan perilaku unsur minor tersebut.
Teori ionik sendiri dikelompokkan menjadi tiga yaitu8):
1. Teori Temkin
Menurut Temkin, terak adalah larutan yang seluruhnya terdisosiasi
kedalam bentuk ion tanpa ada interaksi antara ion dengan muatan yang
sama. Sehingga lelehan garam atau oksida kemudian dapat
diasumsikan terdiri dari dua larutan ideal, kation dan anion. Dengan
hipotesis tersebut maka dapat dituliskan aktivitas ion sebagai berikut:
Σ (2.18)
Σ (2.19)
Keterangan :
a : aktivitas kation(i+) atau anion (j-)
N : molalitas unsur dalam larutan
n : mol unsur dalam larutan
Untuk menggambarkan kondisi standar dari komponen ij dalam larutan
ini maka ditentukan kesetimbangan sebagai berikut:
(2.20)
Energy bebas reaksi diatas adalah nol sehingga Δ . Jika
unsur murni dalam kesetimbangan dengan ionnya dianggap sebagai
kondisi standar maka energi bebas adalah nol dan K = 1:
1 (2.21)
Sehingga aktivitas ij dapat ditulis : .
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 27
2. Teori Flood
Teori Flood sebagian berdasarkan teori Temkin dan menganggap
kesetimbangan terdiri dari unsur terlarut dalam fasa logam dan unsur
penyusunnya dalam terak. Sebagai contoh kesetimbangan antara
sulfur-oksigen diantara logam dan terak :
(2.22)
konstanta kesetimbangan dapat ditulis:
.
. (2.23)
Menurut definisi Temkin aktivitas anion S2- dan O2- sama dengan
fraksi anion dan . Sehingga konstanta kesetimbangan
akan menjadi:
% . .
% . .′. (2.24)
Dimana: ′ % .
% .
f : fraksi ionik
dengan mengikuti hukum Henry maka nilai K mendekati nilai K’
3. Teori Mason
Teori Mason dapat digunakan untuk menghitung aktivitas oksida basa
di dalam terak silikat. Menurut Mason, terak adalah larutan kompleks
yang mengandung anion polimer silikat, derajat polimerisasi diatur
dengan karakter dan kuantitas oksida basa yang tersedia. Sehingga
terak yang sangat basa akan mengandung silika yang sebagian besar
berada dalam bentuk dan terak yang lebih asam akan
mengandung ion , , , … . , , semua
berada dalam kondisi kesetimbangan satu dengan yang lain.
Kesetimbangan masing-masing dapat ditulis:
(2.25)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 28
(2.26)
(2.27)
Karena semua reaksi terdiri dari penambahan tetrahedron silika pada
rantai yang ada, dapat diasumsikan sebagai pendekatan pertama bahwa
energi bebas sama pada konstanta kesetimbangan.
. (2.28)
.
. (2.29)
.
. (2.30)
ΣN + . . (2.31)
Ketika hanya terdapat ion silikat dan ion oksigen, teori Temkin
memberikan:
ΣN 1 (2.32)
Sehingga
Kandungan silika ditentukan dari analisa kimia, dapat dikaitkan
dengan sebagai berikut:
(2.33)
…..
…. (2.34)
1 3
⁄ (2.35)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 29
Teori molekul yang dajukan oleh Schenck23) mengasumsikan kondisi ideal
dari semua molekul yang ada di dalam terak. oksida-oksida sederhana
(CAO, MgO, FeO Al2O3, MnO,dll) bergabung untuk membentuk molekul
kompleks seperti CaAl2O4, Ca4P2O4, dll , atau tetap berada dalam kondisi
bebas. Tiap-tiap oksida kemudian akan berada dalam bentuk yang berbeda
dalam kondisi setimbang dan bergantung pada kandungan relatif dari
oksida lain. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut maka ditentukan
terlebih dahulu semua molekul yang mungkin terbentuk. Misal pada terak
yang mengandung FeO, CaO, dan SiO2, molekul yang mungkin terbentuk
sebagian besar adalah FeO,CaO,Ca2SiO4, CaSiO3, FeSiO3, FeSiO4,
Ca2Si2O6 dan Ca4Si2O8. Untuk menentukan fraksi mol diperlukan delapan
persamaan. Tiga diantaranya diperoleh dari kesetimbangan massa. Untuk
kalsium oksida persamaan dan kesetimbangan massa dapat ditulis:
S O 2 S O 2 S O 4 S O (2.36)
Jumlah mol total dari , dan didapatkan dari hasil analisa
kimia terak. Sedangkan lima persamaan yang lain diturunkan dari
konstanta kesetimbangan:
2 . /
2 /
Dengan menyelesaikan delapan persamaan tersebut maka akan
dimungkinkan untuk menentukan fraksi mol dari spesi sebenarnya yang
akan terdapat di dalam terak yang berada dalam kondisi ideal. Dalam
kesetimbangan logam-terak hanya spesi bebas yang dapat ikut dalam
reaksi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 30
2.2.4 Kapasitas arsen
Untuk mengetahui kemampuan terak mengikat unsur minor dalam bentuk
oksidanya maka salah satu metode yang umum digunakan adalah
perhitungan kapasitas unsur minor. Reddy11) membuat suatu model untuk
memprediksi nilai kapasitas arsenat di dalam terak. Dalam sistem MO-
SiO2 kesetimbangan reaksi arsenik dapat ditulis dengan:
⁄ (2.37)
Konstanta kesetimbangan KM untuk reaksi :
4523
4
2
23
OAsMO
MM Paa
AsOaK =
(2.38)
kapasitas arsenat yang didefinisikan oleh Reddy :
45
34
2
34
)%(
OAsAsO Pa
AsOwtC
−
=−
(2.39)
penggabungan persamaan 2.38 dan 2.39 menghasilkan persamaan untuk
kapasitas arsenat sebagai:
423
34
2334 )%(
AsOM
MOMAsO a
aKAsOwtC −=−
(2.40)
untuk terak basa ( 0 < 2SiOX < 0,33) kapasitas arsenat ditentukan dari nilai
KM dan aMO yang telah diketahui. Aktivitas arsenat 423 AsOMa relatif
terhadap cairan M3/2AsO4 yang didinginkan pada temperatur sangat rendah
sebagai kondisi standar:
)21(100
)()[%(
24
22423
423
34
SiOAsO
MOSiOSiOMOAsOMAsOM XM
MMXMAsOwta
−
−+=
−γ
(2.41)
dimana 423 AsOMγ adalah koefisien aktivitas Henrian. Substitusi dari
persamaan 2.40 dan 2.41 akan menghasilkan persamaan kapasitas arsenat
untuk lelehan basa di dalam sistem biner MO-SiO2:
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 31
)]([)21(100
22423
2434
23
MOSiOSiOMOAsOM
SiOAsOMOMAsO MMXM
XMaKC
−+
−=−
γ (2.42)
untuk terak yang asam ( 0,33 < 2SiOX <1 ) arsen larut dalam terak MO-
SiO2 yang mengandung spesi polimer. Diasumsikan bahwa ion −34AsO dan
−44SiO membentuk rantai polimer dan bebas dari ion −2O . Untuk larutan
encer, volume fraksi dari ion As di larutan dapat dianggap :
Si
AsAs n
n=φ
(2.43)
Sehingga kapasitas arsenat dapat dituliskan :
42322
2434 )]([
100 23
AsOM
As
MOSiOSiOMO
SiOAsOMOMAsO aMMXM
XMaKC
φ−+
=−
(2.44)
Untuk terak multikomponen, Reddy(11) menuliskan persamaan kapasitas
arsen sebagai berikut:
(2.45)
2.3 KINETIKA REAKSI OKSIDASI UNSUR-UNSUR MINOR
Kinetika proses dalam tanur anoda dapat dianalogikan dengan kinetika
proses pengikatan pengotor dalam terak pada pembuatan baja, yaitu
kinetika reaksi oksidasi oleh oksigen di dalam udara tiup dengan unsur-
unsur minor di dalam leburan logam. Proses di dalamnya melibatkan
reaksi simultan komponen-komponen pada antarmuka berbagai fasa pada
temperatur tinggi.
{ }4
34
2
5/ 4As AsO T
AsOAs O
L M nC
Pγ− =
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 32
Pengetahuan mengenai laju reaksi atau kinetika dibutuhkan untuk
memprediksi perubahan yang terjadi dalam proses yang lebih khusus
sebagai fungsi dari waktu hingga proses tersebut mencapai kesetimbangan.
Laju keseluruhan dari reaksi bergantung pada sifat masing-masing fasa
yang terlibat di dalam reaksi serta tahapan kinetika yang berjalan dari
keadaan awal hingga akhir. Pada prinsipnya sebuah reaksi yang
melibatkan lebih dari dua fasa adalah kombinasi dua reaksi terpisah yang
melibatkan dua fasa sekaligus.
Reaksi oksidasi arsen oleh gas oksigen di dalam sistem tiga fasa gas-
logam-terak
3/2 5/4 (2.46)
terdiri dari :
1). reaksi gas-logam : pelarutan oksigen di dalam lelehan tembaga,
(O2)g → 2[O] (2.47)
Oksigen terlarut dituliskan sebagai [O].
2). reaksi logam-terak : pembentukan senyawa yang merupakan reaksi
antara arsen dan oksigen terlarut seperti terlihat dalam persamaan 2.46.
3/2 5/2 (2.46)
Secara khusus, reaksi oksidasi unsur arsen di dalam pemurnian tembaga
dapat dianalogikan dengan reaksi oksidasi mangan di dalam pemurnian
baja. Pada proses pemurnian tembaga, oksidasi unsur arsen yang terlarut di
dalam lelehan dengan atom oksigen hanya terjadi pada awal proses
penghembusan udara ketika konsentrasi arsen di dalam lelehan masih
relatif tinggi dan temperatur lelehan rendah. Selama pemurnian, reaksi
oksidasi arsen yang dominan adalah reaksi yang melibatkan logam utama
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 33
O2
terak
tembaga
[O]
[As]
antarmuka gas‐logam
antarmuka logam‐terak
O2 [O] [O]
[As] [As]
antarmuka gas‐logam antarmuka logam‐k
[Cu] [Cu] (Cu2O)
dan oksida logam utama (Cu dan Cu2O) yang terjadi pada antarmuka
logam-terak.
O2
Gambar 2.14 Skema Tanur Anoda selama Proses Deleading
Gambar 2.15 Antarmuka Antara Dua Fasa
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 34
Tahap-tahap yang terjadi selama proses deleading berlangsung adalah:
1). pelarutan molekul oksigen dari fasa gas hingga terdisosiasi menjadi atom-
atomnya di dalam lelehan tembaga yang dapat diuraikan lagi menjadi
beberapa tahap yaitu :
a. difusi (transfer massa) molekul oksigen melalui fasa gas menuju
antarmuka gas-logam,
b. reaksi kimia penguraian oksigen menjadi atom-atomnya pada antarmuka
gas-logam,
c. difusi atom oksigen meninggalkan antarmuka gas-logam menuju fasa
logam,
2). reaksi oksidasi unsur arsen dengan atom oksigen pada antarmuka gas-
logam selama awal proses penghembusan udara,
3). difusi produk dari antarmuka gas-logam menuju fasa logam,
4). difusi dari fasa logam menuju antarmuka logam-terak,
5). difusi dari antarmuka logam-terak menuju fasa terak,
6). difusi arsen dari fasa logam menuju antarmuka logam-terak,
7). difusi atom oksigen dari fasa logam menuju antarmuka logam-terak,
8). reaksi kimia arsen dengan atom oksigen pada antarmuka logam-terak,
Tiap tahap di atas dikenal sebagai tahap kinetika. Tahap kinetika yang
paling lambat akan mengendalikan laju dari proses keseluruhan sehingga
dinamakan tahap pengendali laju.
Pada berbagai kasus diamati bahwa suatu proses dikendalikan oleh reaksi
kimia pada temperatur rendah sedangkan pada temperatur tinggi tahap
yang paling lambat –sebagai pengendali proses– adalah tahap difusi8).
Hal ini disebabkan karena reaksi kimia sangat dipengaruhi oleh perubahan
temperatur sedangkan difusi tidak begitu terpengaruh.
Koefisien difusi merupakan fungsi linier dari temperatur,
kTD b6 r
= +π η
(persamaan Stokes-Einstein) (2.48)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 35
dengan D= koefisien difusi, b=tetapan (bergantung jenis partikel),
k= tetapan Boltzmann, T= temperatur mutlak,
r= jari-jari partikel, dan η= viskositas fluida.
Sedangkan tetapan laju reaksi kimia bergantung kepada temperatur secara
eksponensial,
EaRTk Ae
−= (persamaan Arrhenius) (2.49)
dengan k = tetapan laju reaksi, A= tetapan Arrhenius,
Ea = energi aktivasi, dan R= tetapan gas.
Dengan kata lain, jika temperatur dinaikkan sebesar dua kali, laju difusi
akan meningkat kira-kira sebanyak dua kali sedangkan laju reaksi
meningkat jauh lebih besar karena peningkatan temperatur selain
meningkatkan konstanta laju, juga menurunkan energi aktivasi reaksi
kimia.
Secara umum, proses yang dikendalikan oleh difusi memiliki nilai energi
aktivasi pada kisaran 1 hingga 3 kkal/mol sedangkan jika reaksi kimia
menjadi pengendali, energi aktivasi biasanya lebih besar dari 10 kkal/mol.
Proses yang dikendalikan oleh difusi sekaligus reaksi kimia memiliki nilai
energi aktivasi pada rentang 5-8 kkal/mol.