bab ii tinjauan pustaka 2.1 pencegahan dan...

22
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) 2.1.1 Konsep Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) adalah suatu upaya yang ditujukan untuk mencegah transmisi penyakit menular di semua tempat pelayanan kesehatan (Minnesota Department of Health, 2014). Pencegahan memiliki arti mencegah agar tidak terjadi infeksi, sedangkan pengendalian memiliki arti meminimalisasi resiko terjadinya infeksi. Dengan demikian, tujuan utama dari pelaksanaan program ini adalah mencegah dan mengendalikan infeksi dengan cara menghambat pertumbuhan dan transmisi mikroba yang berasal dari sumber di sekitar penderita yang sedang dirawat (Darmadi, 2008). 2.1.2 Cakupan Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya Kemenkes RI (2011), menuliskan bahwa ada sepuluh hal yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan PPI, yaitu: a. Kebersihan tangan Praktek membersihkan tangan adalah upaya mencegah infeksi yang disebarkan melalui tangan dengan menghilangkan semua kotoran dan debris serta menghambat dan membunuh mikroorganisme pada kulit. Menjaga kebersihan tangan ini dilakukan segera setelah sampai di tempat kerja, sebelum kontak dengan pasien atau melakukan tindakan untuk pasien, selama melakukan

Upload: buixuyen

Post on 06-May-2018

237 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)

2.1.1 Konsep Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) adalah suatu upaya yang ditujukan

untuk mencegah transmisi penyakit menular di semua tempat pelayanan kesehatan

(Minnesota Department of Health, 2014). Pencegahan memiliki arti mencegah

agar tidak terjadi infeksi, sedangkan pengendalian memiliki arti meminimalisasi

resiko terjadinya infeksi. Dengan demikian, tujuan utama dari pelaksanaan

program ini adalah mencegah dan mengendalikan infeksi dengan cara

menghambat pertumbuhan dan transmisi mikroba yang berasal dari sumber di

sekitar penderita yang sedang dirawat (Darmadi, 2008).

2.1.2 Cakupan Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah

Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya

Kemenkes RI (2011), menuliskan bahwa ada sepuluh hal yang perlu dilakukan

dalam pelaksanaan PPI, yaitu:

a. Kebersihan tangan

Praktek membersihkan tangan adalah upaya mencegah infeksi yang disebarkan

melalui tangan dengan menghilangkan semua kotoran dan debris serta

menghambat dan membunuh mikroorganisme pada kulit. Menjaga kebersihan

tangan ini dilakukan segera setelah sampai di tempat kerja, sebelum kontak

dengan pasien atau melakukan tindakan untuk pasien, selama melakukan

11

tindakan (jika secara tidak sengaja terkontaminasi) dan setelah kontak atau

melakukan tindakan untuk pasien. Secara garis besar, kebersihan tangan

dilakukan pada air mengalir, menggunakan sabun dan/atau larutan antiseptik,

dan diakhiri dengan mengeringkan tangan dengan kain yang bersih dan kering

(Kemenkes RI, 2011).

b. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

Alat Pelindung Diri (APD) telah lama digunakan untuk melindungi pasien dari

mikroorganisme yang ada pada petugas kesehatan. Namun, dengan munculnya

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dan Hepatitis C, serta

meningkatnya kembali kasus Tuberculosis (TBC), pemakaian APD juga

menjadi sangat penting dalam melindungi petugas. Alat pelindung diri

mencakup sarung tangan, masker, alat pelindung mata, topi, gaun, apron,

pelindung kaki, dan alat pelindung lainnya (Kemenkes RI, 2011).

c. Penatalaksanaan peralatan pasien dan linen

Konsep ini meliputi cara memproses instrumen yang kotor, sarung tangan,

linen, dan alat yang akan dipakai kembali dengan menggunakan larutan klorin

0,5%, mengamankan alat-alat kotor yang akan tersentuh serta memilih proses

penanganan yang akan digunakan secara tepat. Penatalaksanaan ini dapat

dilakukan dengan precleaning, pencucian dan pembersihan, Desinfeksi Tingkat

Tinggi (DTT), serta sterilisasi (Kemenkes RI, 2011).

12

d. Pengelolaan limbah

Pengelolaan limbah merupakan salah satu upaya kegiatan PPI berupa

pengelolaan limbah rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, baik limbah

yang terkontaminasi maupun yang tidak terkontaminasi (Kemenkes RI, 2011).

e. Pengendalian lingkungan rumah sakit

Tujuan pengendalian lingkungan rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya

adalah untuk menciptakan lingkungan yang bersih, aman, dan nyaman.

Pengendalian lingkungan secara baik dapat meminimalkan atau mencegah

transmisi mikroorganisme dari lingkungan kepada pasien, petugas, pengunjung

dan masyarakat di sekitar rumah sakit atau fasilitas kesehatan (Kemenkes RI,

2011).

f. Kesehatan karyawan/perlindungan pada petugas kesehatan

Petugas kesehatan beresiko terinfeksi bila terpapar kuman saat bekerja. Upaya

rumah sakit atau fasilitas kesehatan untuk mencegah transmisi ini adalah

membuat program pencegahan dan pengendalian infeksi pada petugasnya,

misalnya dengan pemberian imunisasi (Kemenkes RI, 2011).

g. Penempatan/isolasi pasien

Penerapan program ini diberikan pada pasien yang telah atau sedang dicurigai

menderita penyakit menular. Pasien akan ditempatkan dalam suatu ruangan

tersendiri untuk meminimalkan proses penularan pada orang lain (Kemenkes

RI, 2011).

13

h. Hygiene respirasi/etika batuk

Semua pasien, pengunjung, dan petugas kesehatan perlu memperhatikan

kebersihan pernapasan dengan cara selalu menggunakan masker jika berada di

fasilitas pelayanan kesehatan. Saat batuk, sebaiknya menutup mulut dan hidung

menggunakan tangan atau tissue (Kemenkes RI, 2011).

i. Praktik menyuntik yang aman

Jarum yang digunakan untuk menyuntik sebaiknya jarum yang steril dan sekali

pakai pada setiap kali suntikan (Kemenkes RI, 2011).

j. Praktik lumbal pungsi

Saat melakukan prosedur lumbal pungsi sebaiknya menggunakan masker untuk

mencegah transmisi droplet flora orofaring (Kemenkes RI, 2011).

2.2 Pemilahan Limbah Rumah Sakit

2.2.1 Pengertian Limbah Rumah Sakit

Limbah rumah sakit adalah semua limbah hasil dari kegiatan rumah sakit dalam

bentuk padat, cair, pasta (gel), serta gas yang dapat mengandung mikroorganisme

patogen bersifat infeksius, bahan kimia beracun, dan sebagian bersifat radioaktif.

Limbah rumah sakit bisa mengandung berbagai macam mikroorganisme

tergantung pada jenis rumah sakit dan tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum

dibuang (Djohan & Halim, 2013).

2.2.2 Jenis-jenis Limbah Rumah Sakit

Djohan & Halim (2013) membagi jenis-jenis limbah berdasarkan bentuk dan

bahayanya.

14

A. Berdasarkan bentuk

1. Limbah padat

Limbah padat rumah sakit adalah limbah berbentuk padat hasil kegiatan

rumah sakit yang terdiri atas limbah non medis, limbah medis padat,

limbah infeksius, dan limbah sangat infeksius (Djohan & Halim, 2013).

2. Limbah cair

Limbah cair adalah semua bentuk air buangan termasuk tinja hasil kegiatan

rumah sakit, yang kemungkinan mengandung mikroorganisme, bahan

kimia beracun, dan radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan (Rohani &

Setio, 2010).

3. Limbah gas

Limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas yang merupakan hasil

kegiatan pembakaran di rumah sakit seperti insinerator, dapur,

perlengkapan generator, anastesi, dan pembuatan obat sitotoksik (Rohani &

Setio, 2010).

B. Berdasarkan bahaya

1. Limbah Non Medis

Limbah non medis merupakan limbah hasil kegiatan rumah sakit di luar

kegiatan medis. Limbah ini bisa berasal dari dapur, perkantoran, taman dan

halaman, serta unit pelayanan. Contohnya: karton, kaleng dan botol, serta

sampah dari ruangan pasien yang dapat dimanfaatkan kembali apabila ada

teknologinya (Djohan & Halim, 2013).

15

2. Limbah Medis

Limbah medis merupakan limbah hasil kegiatan pelayanan medis,

perawatan gigi, farmasi, atau sejenis, pengobatan, serta penelitian atau

pendidikan yang menggunakan bahan-bahan beracun dan infeksius

berbahaya atau bisa membahayakan jika tidak dilakukan pengamanan

tertentu (Djohan & Halim, 2013).

Limbah medis dapat digolongkan, sebagai berikut: (Djohan & Salim, 2013)

a. Golongan A

Dressing bedah (kasa/perban, kapas, plester), swab (kain/kasa

penyeka), dan semua limbah terkontaminasi, bahan linen kasus penyakit

infeksi, seluruh jaringan tubuh manusia, hewan dari laboratorium, serta

hal lain yang berkaitan dengan swab dan dressing.

b. Golongan B

Syringe (suntikan) bekas, jarum, catridge (kemasan yang keras untuk

obat), pecahan gelas, dan benda tajam lainnya.

c. Golongan C

Limbah laboratorium dan postpartum kecuali yang masuk golongan A

d. Golongan D

Limbah bahan kimia dan farmasi tertentu

e. Golongan E

Pelapis bed-pan disposable, urinoir, incontinence-pad dan stamag

bags.

16

2.2.3 Pengelolaan Limbah Rumah sakit

A. Konsep Pengelolaan Limbah Rumah Sakit

Pengelolaan limbah rumah sakit adalah salah satu upaya kegiatan pencegahan

infeksi di rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2011).

Pengelolaan limbah rumah sakit dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang

dilakukan terhadap limbah, dimulai dari tahap pengumpulan di tempat sumber,

pengangkutan, penyimpanan/penampungan serta tahap pengolahan akhir

(pemusnahan/pembuangan) (Djohan & Halim, 2011). Pengelolaan limbah yang

benar dimulai dari pemilahan limbah di tempat yang menjadi sumber limbah

tersebut dihasilkan (Rohani & Setio, 2010).

Semua petugas harus mengerti dan pernah dilatih tentang cara penanganan limbah

yang benar. Pemberian warna dan label pada tempat limbah yang telah disepakati

bersama dalam satu institusi kesehatan akan memudahkan pengelolaan sehingga

biaya yang digunakan lebih efisien (Rohani & Setio, 2010).

B. Tujuan Pengelolaan Limbah Rumah Sakit

Rohani & Setio (2010), menyebutkan bahwa tujuan dari pengelolaan limbah

rumah sakit adalah:

1. Melindungi petugas dari perlukaan

2. Melindungi petugas kesehatan dan masyarakat sekitar terhadap penyebaran

infeksi

3. Membuang bahan-bahan berbahaya (bahan toksik dan radioaktif) dengan

aman.

17

C. Ketentuan-ketentuan dalam Pengelolaan Limbah Rumah Sakit

Djohan & Salim (2013), menuliskan tentang ketentuan-ketentuan yang perlu

diperhatikan dalam pengelolaan limbah rumah sakit, antara lain:

1. Bangsal harus memiliki minimal dua macam tempat limbah, satu untuk limbah

medis (dilapisi kantung plastik kuning) dan satunya lagi untuk limbah non

medis (dilapisi kantung plastik warna hitam).

2. Semua limbah dari kamar operasi dianggap sebagai limbah medis.

3. Semua limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis dianggap sebagai

limbah non medis

4. Semua limbah yang keluar dari unit patologi dianggap sebagai limbah medis

dan perlu dinyatakan aman sebelum dibuang.

Persyaratan tempat/wadah penampung limbah non medis, sebagai berikut:

(Djohan & Salim, 2013)

1. Terbuat dari bahan yang kuat, cukup ringan, tahan karat, kedap air dan

mempunyai permukaan yang mudah dibersihkan pada bagian dalamnya,

misalnya fiberglass.

2. Mempunyai tutup yang mudah dibuka dan ditutup tanpa mengotori tangan.

3. Terdapat minimal satu buah untuk setiap kamar atau sesuai dengan kebutuhan.

4. Limbah tidak boleh dibiarkan dalam wadahnya melebihi 3x24 jam atau apabila

2/3 bagian kantong sudah terisi oleh limbah sudah harus diangkut supaya tidak

menjadi perindukan vektor penyakit atau binatang pengganggu.

18

Persyaratan tempat/wadah penampung limbah medis, sebagai berikut: (Rohani &

Setio, 2010).

1. Terbuat dari bahan yang kuat, cukup ringan, tahan karat, kedap air dan

mempunyai permukaan yang mudah dibersihkan pada bagian dalamnya,

misalnya fiberglass

2. Di setiap sumber penghasil limbah medis harus tersedia tempat pewadahan

yang terpisah dengan limbah non medis

3. Kantung plastik diangkat setiap hari atau kurang sehari apabila 2/3 bagian telah

terisi limbah.

4. Untuk benda-benda tajam hendaknya ditampung pada tempat khusus (safety

box) seperti botol atau karton yang aman.

5. Tempat pewadahan limbah padat medis infeksius dan sitotoksis yang tidak

langsung kontak dengan limbah harus segera dibersihkan dengan larutan

desinfektan apabila akan dipergunakan kembali, sedangkan untuk kantong

plastik yang telah dipakai dan kontak langsung dengan limbah tidak boleh

digunakan lagi.

D. Pemilahan Limbah Rumah Sakit

Pengelolaan limbah dilakukan mulai dari identifikasi limbah,

pemisahan/pemilahan dan pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan, serta

pemusnahan/pembuangan (Kemenkes RI, 2011).

19

1. Identifikasi limbah

Pada tahap ini, limbah diidentifikasi berdasarkan jenisnya, yaitu padat, cair,

tajam, infeksius, non infeksius, gas, bahan beracun, atau radioaktif (Djohan &

Salim, 2013; Kemenkes RI, 2011).

2. Pemilahan dan pengumpulan limbah

Pemisahan limbah harus dimulai dari unit atau sumber penghasil limbah, serta

dipisahkan dan ditempatkan berdasarkan jenisnya (Kemenkes RI, 2011).

a) Limbah non medis

Limbah non medis anorganik (kertas, plastik, botol kemasan, dan lain-lain)

dikumpulkan dalam bak sampah berwarna kuning yang sudah dilapisi

plastik hitam sedangkan limbah non medis organik (sisa-sisa

makanan/minuman, daun-daun kering) dikumpulkan dalam bak sampah

berwarna hijau yang telah dilapisi dengan plastik hitam. Limbah non medis

dengan volume besar baik organik maupun anorganik dapat langsung

diangkut ke tempat penampungan sementara jika tidak memungkinkan

untuk ditampung di bak sampah (Djohan & Halim, 2013).

b) Limbah medis

Limbah medis terdiri atas limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda

tajam, limbah kontainer bertekanan, dan limbah kandungan logam berat

tinggi (Djohan & Halim, 2013). Tabel 2.1 berikut ini adalah tabel yang

menjelaskan cara dan ketentuan pemilahan dan pengumpulan limbah medis.

20

Tabel 2.1. Detail Warna dan Lambang Label Wadah Limbah Medis

No Kategori Warna

Kantung

Plastik

Lambang Keterangan

1 Radioaktif Merah

Kantung boks timbal

dengan simbol

radioaktif

2 Sangat Infeksius Kuning

Kantung plastik kuat

dan antibocor atau

kontainer yang dapat

disterilisasi dengan

otoklaf

3 Infeksius Kuning

Plastik kuat dan

antibocor atau kontainer

4 Sitotoksik Ungu - Kontainer plastik kuat

dan antibocor

5 Limbah kimia dan farmasi Cokelat - Kantung plastik atau

kontainer

Sumber: Rohani & Setio, 2010

3. Pengangkutan

Prinsip pengangkutan limbah baik medis maupun non medis adalah sama.

Berikut cara-cara pengangkutan limbah menurut Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia (Kemenkes RI, 2011: Djohan & Halim, 2013):

a) Setiap hari limbah diangkat dari tempat penampungan sementara

b) Limbah diangkut menggunakan kereta dorong khusus

c) Kereta dorong harus kuat, mudah dibersihkan, tertutup

d) Tidak boleh ada limbah yang tercecer

e) Sebaiknya lift pengangkut limbah berbeda dengan lift pasien

f) Petugas yang menangani limbah harus menggunakan pelindung diri

g) Kantong limbah medis padat harus aman dari jangkauan manusia dan

binatang.

21

4. Penyimpanan/penampungan

Kemenkes RI (2011) menuliskan tentang ketentuan penyimpanan limbah

rumah sakit sebagai berikut:

a) Limbah disimpan di tempat penampungan sementara khusus

b) Limbah ditempatkan di dalam kantung plastik dan diikat dengan kuat

c) Setiap kantung plastik limbah atau bak penampung diberi label sesuai

dengan kategori limbah

d) Tempat penyimpanan atau penampungan sementara limbah harus di area

yang terbuka, terjangkau oleh kendaraan, aman dan selalu dijaga

kebersihannya, serta berada dalam kondisi kering.

5. Pemusnahan

Kemenkes RI (2011) menuliskan tentang ketentuan pemusnahan limbah rumah

sakit sebagai berikut:

a. Limbah infeksius dan limbah benda tajam dimasukkan dalam insinerator

b. Limbah non infeksius dibawa ke tempat pembuangan limbah umum

c. Limbah cair dibuang dalam wastafel di ruang spoelhok

d. Limbah faeces dan urine dibuang di dalam Water Closet (WC)

2.2.4 Peran Perawat dalam Pengelolaan Limbah Rumah Sakit

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) pada dasarnya merupakan tanggung

jawab semua pihak yang ada di dalam lingkungan rumah sakit. Darmadi (2008),

menyebutkan bahwa dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi tenaga

keperawatan merupakan pelaksana terdepan. Hal ini disebabkan oleh petugas

perawatan (perawat) selalu bersama pasien selama 24 jam penuh.

22

Indonesia Public Health Information (2014) juga menyebutkan bahwa perawat

memiliki peran pertama dalam tugas pengelolaan limbah rumah sakit, yaitu tugas

memilah limbah medis dan non medis. Hal ini didukung pula oleh Djohan &

Halim (2013), yang menyatakan bahwa tenaga perawat merupakan salah satu

tenaga pengelola limbah padat dimana perawat bertugas memisahkan limbah

medis dan non medis di setiap unit pelayanan fungsional tempat perawat

bersangkutan bekerja.

Perawat harus memilah sampah medis, sampah non medis, sampah/limbah

infeksius, limbah patologi, benda tajam, dan menempatkannya pada wadah sesuai

jenisnya atau sesuai ketentuan yang ada di rumah sakit (Djohan & Halim, 2013).

Pendapat ini didukung oleh Sudiharti & Solikhah (2012) melalui suatu studi

pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta

yang menyatakan bahwa proses pemisahan limbah rumah sakit dilakukan oleh

petugas kesehatan khususnya perawat yang berada di setiap unit pelayanan

sedangkan pengolahan sampah selanjutnya dilakukan oleh petugas kebersihan

yang berada di rumah sakit.

Sebuah survei pendahuluan oleh Muchsin, dkk (2013) di RSUD Aceh Tamiang

khususnya pada ruangan yang menghasilkan limbah medis, menunjukkan bahwa

perawat memiliki peran yang cukup banyak dalam melakukan pelayanan

keperawatan (misalnya, menyuntik, memasang selang infus, mengganti cairan

infus, melakukan perawatan luka, memasang selang urine, perawatan dalam

pemberian obat, dan lain-lain). Hal ini menyebabkan perawat menjadi orang

23

pertama yang berperan memastikan limbah medis akan berada pada tempat yang

aman atau tidak (wadah penampungan limbah medis), sebelum limbah ini

diangkut ke tempat pemusnahan.

2.3 Perilaku Perawat dalam Memilah Limbah Medis dan Non Medis

2.3.1 Perilaku

A. Konsep Perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang

bersangkutan (Notoatmodjo, 2012). Perilaku manusia dapat timbul karena adanya

stimulus dan respons serta dapat diamati baik secara langsung maupun tidak

langsung. Stimulus ini bisa berasal dari dalam diri (internal) ataupun dari luar diri

(eksternal) manusia yang bersangkutan (Sunaryo, 2010).

B. Jenis-jenis Perilaku

Notoatmodjo (2010), mengelompokkan perilaku menjadi dua, yaitu:

1. Perilaku Tertutup (Covert behaviour)

Perilaku tertutup terjadi bila reaksi terhadap stimulus masih belum dapat diamati

oleh orang lain secara jelas. Respon seseorang masih terbatas pada perhatian,

perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan.

Misalnya, seorang perawat tahu tentang limbah medis dan non medis serta cara

pemilahannya (pengetahuan) kemudian perawat tersebut berusaha memberikan

tanggapannya tentang limbah medis dan pemilahannya (sikap).

24

2. Perilaku Terbuka (Overt behaviour)

Perilaku terbuka terjadi apabila reaksi terhadap stimulus tersebut sudah berupa

tindakan atau praktik yang bisa diamati orang lain dari luar. Misalnya, perawat

membuang limbah medis dan non medis pada tempatnya sesuai ketentuan

pemilahan limbah.

2.3.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Perawat dalam

Memilah Limbah Medis dan Non Medis

Perilaku seseorang dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal

baik dari dalam maupun dari luar subyek. Faktor-faktor ini disebut determinan.

Green (1980) menyebutkan bahwa ada tiga faktor utama yang mempengaruhi

perilaku, yaitu: (Notoatmodjo, 2010)

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)

Faktor–faktor ini adalah faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku

seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai,

tradisi, dan sebagainya. Contohnya, seorang perawat mau memilah limbah

medis dan non medis karena perawat tersebut tahu dan yakin bahwa

tindakannya itu dapat meminimalkan resiko terjadinya penularan infeksi.

a. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang

terhadap suatu obyek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,

telinga, dan sebagainya). Sebagian besar penginderaan seseorang didapatkan

melalui indera penglihatan (mata) dan indera pendengaran (telinga).

25

Pengetahuan seseorang akan suatu obyek memiliki tingkat yang berbeda-

beda. Pengetahuan dibagi menjadi enam tingkat, yaitu: (Notoatmodjo, 2010)

1) Tahu (know) dan mengingat kembali (recall) diartikan sebagai

kemampuan mengingat kembali sesuatu yang pernah diketahui.

Misalnya, perawat tahu bahwa limbah medis dan non medis dapat

menjadi wadah berkembangbiaknya mikroorganisme.

2) Pemahaman (Comprehension) merupakan suatu kemampuan untuk

memahami tentang suatu objek atau materi. Pada tingkatan ini, individu

diminta untuk bisa menginterpretasikan secara benar tentang obyek yang

dilihatnya. Misalnya, perawat yang memahami tentang cara pemilahan

limbah medis dan non medis tidak hanya bisa menyebutkan jenis-jenis

sampah dan cara membuangnya, tetapi perawat tersebut juga bisa

menjelaskan kenapa tindakan pemilahan ini perlu dilakukan.

3) Penerapan (Application) diartikan sebagai kemampuan untuk

menerapkan secara benar mengenai suatu hal yang diketahui dalam

situasi yang sebenarnya. Misalnya, seorang perawat yang telah paham

tentang proses pengelolaan limbah, perawat tersebut harus dapat

membuat perencanaan program pengelolaan limbah di tempat perawat

tersebut bekerja.

4) Analisis (Analisis) diartikan sebagai kemampuan untuk menjabarkan

materi atau objek ke dalam suatu struktur atau bagan yang masih ada

kaitannya satu sama lain. Indikasi bahwa seorang individu sudah

26

mencapai tahap ini adalah apabila individu tersebut sudah dapat

mengelompokkan atau membuat diagram tentang suatu obyek.

5) Sintesis (Syntesis) diartikan sebagai kemampuan untuk menghubungkan

bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata

lain sintesis adalah suatu kemampuan individu membuat rangkuman dari

formulasi-formulasi yang telah ada. Misalnya, seseorang dapat meringkas

dan membuat dengan kata-kata sendiri tentang hal yang didengar atau

dilihatnya.

6) Evaluasi (Evaluation) diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan

penilaian terhadap suatu objek atau materi.

Penelitian Rogers (1974) dalam Indriyani dan Asmudji (2014),

mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, orang

tersebut mengalami beberapa proses dalam dirinya, yakni:

a) Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari atau mengetahui

adanya stimulus (obyek) terlebih dahulu. Misalnya, menyadari tentang

pentingnya pemilahan limbah medis dan non medis.

b) Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus (obyek), misalnya mulai

tertarik pada proses pemilahan limbah medis dan non medis.

c) Evaluation, yakni orang tersebut mulai menimbang-nimbang baik tidaknya

stimulus (proses pemilahan limbah medis dan non medis) tersebut bagi

dirinya.

d) Trial, yakni orang tersebut mulai mencoba perilaku baru tersebut (memilah

limbah medis dan non medis secara benar)

27

e) Adoption, yakni orang tersebut telah mampu berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Perilaku baru atau adopsi perilaku yang didasari oleh pengetahuan dan

kesadaran yang positif akan bersifat langgeng (long lasting) dibandingkan

dengan perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran.

Contohnya, perawat memilah limbah medis dan non medis di tempat yang

benar karena diperintahkan oleh atasannya tanpa mengetahui makna dan tujuan

pemilahan tersebut, maka dengan segera perilaku pemilahan ini tidak akan

dilakukan jika atasan dari perawat tidak ada (Notoatmodjo, 2012).

Berbagai penelitian dilakukan untuk melihat hubungan antara pengetahuan

dengan perilaku. Penelitian-penelitian tersebut menggambarkan bahwa

pengetahuan memiliki hubungan yang kuat dan positif dengan perilaku.

Pengetahuan yang tinggi akan meningkatkan perilaku yang baik (Kusnaryanti,

2005; Maironah, dkk, 2011; Sudiharti & Solikhah, 2012). Hasil-hasil penelitian

ditentang oleh penelitian dari Jasmawati, dkk (2012) yang menyatakan bahwa

tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku. Pada penelitian

Naktika (2010), peneliti masih menyarankan perlunya peningkatan

pengetahuan perawat melalui sosialisasi, penyuluhan maupun pelatihan tentang

pemilahan sampah.

Pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket yang menyatakan

tentang isi materi yang ingin diukur dari responden (Notoatmodjo, 2010).

28

b. Sikap (Attitude)

Sikap adalah respon tertutup seseorang stimulus atau obyek tertentu yang

sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi seseorang (senang-tidak senang,

setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Sikap melibatkan pikiran,

perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan lainnya (Notoatmodjo, 2010).

Notoatmodjo (2010), menyatakan bahwa sikap terdiri atas tiga komponen

pokok, yaitu:

1) Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep orang terhadap suatu obyek.

Misalnya bagaimana pendapat perawat tentang proses pemilahan limbah

medis dan non medis.

2) Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap obyek. Misalnya

bagaimana penilaian perawat terhadap pemilahan limbah medis dan non

medis, apakah perawat tersebut menganggap pemilahan limbah ini adalah

sesuatu hal yang penting atau tidak penting dalam upaya pencegahan dan

pengendalian infeksi.

3) Kecenderungan untuk bertindak. Misalnya, tindakan yang akan dilakukan

perawat bila melihat limbah medis dan non medis.

Ketiga komponen tersebut diatas secara bersama-sama membentuk sikap yang

utuh (total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini pengetahuan,

pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting (Notoatmodjo,

2010). Contoh, seorang perawat mendengar (tahu) tentang limbah medis dan

non medis (jenis-jenisnya, cara pemilahannya dan akibat jika tidak dipilah

29

dengan baik). Pengetahuan ini akan membuat perawat berpikir dan berusaha

agar akibat yang timbul karena pemilahan limbah yang kurang baik tidak

terjadi. Saat proses berpikir ini komponen emosi dan keyakinan perawat ikut

bekerja sehingga perawat tersebut berniat (kecenderungan bertindak)

melakukan pemilahan limbah. Perawat ini mempunyai sikap tertentu (berniat

melakukan pemilahan) terhadap objek tertentu yakni limbah medis dan non

medis.

Penelitian Kusnaryanti (2005) menyatakan bahwa ada hubungan antara sikap

dengan praktek perawat dalam mengelola limbah rumah sakit. Hasil penelitian

ini didukung pula oleh penelitian dari Maironah, dkk (2011) dan Sudiharti &

Solikhah (2012). Namun, penelitian Jasmawati, dkk (2011), menentang bahwa

ada hubungan antara sikap dengan perilaku petugas pengumpul sampah.

Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menggunakan skala Likert dengan

pilihan jawaban sangat setuju (5), setuju (4), ragu-ragu (3), tidak setuju (2), dan

sangat tidak setuju (1).

2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)

Faktor-faktor ini adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi

perilaku atau tindakan seperti sarana dan prasarana yang dapat menunjang

terjadinya perilaku (Notoatmodjo, 2012). Contoh perilaku akibat faktor

pemungkin ini adalah perawat-perawat sebuah ruangan di rumah sakit atau

fasilitas kesehatan yang sudah tahu tentang limbah medis dan pemilahannya

mengupayakan tempat/wadah penampungan limbah sesuai ketentuan tetapi

30

apabila ruangan tersebut tidak mampu mengadakan fasilitas wadah

penampungan ini, maka ruangan tersebut terpaksa menggunakan wadah atau

sarana yang ada dan tidak sesuai untuk membuang sampah medis dan non

medis.

Sarana prasarana yang diperlukan sehubungan dengan proses pemilahan

limbah medis adalah tempat sampah yang mudah dibuka tutup tanpa mengotori

tangan, tempat sampah yang terbuat dari bahan yang cukup kuat, ringan, tahan

karat, kedap air, dan mudah dibersihkan, kantung plastik kuning untuk

menampung limbah medis/infeksius, kantung hitam untuk menampung limbah

non medis, dan safety box untuk menampung limbah tajam (Rohani dan Setio,

2010).

Pentingnya sarana dan prasarana dalam perubahan perilaku, didukung oleh

hasil penelitian dari Kusnaryanti (2005) dan Maironah, dkk (2011). Dua

penelitian ini menyatakan bahwa ada hubungan yang kuat dan positif antara

ketersediaan fasilitas dengan perilaku pengelolaan limbah rumah sakit. Namun,

hasil penelitian ini ditentang oleh Jasmawati, dkk (2012) yang menunjukkan

bahwa tidak ada hubungan antara ketersediaan fasilitas dengan praktik petugas

pengumpul limbah medis.

3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors)

Pengetahuan, sikap, dan fasilitas yang tersedia kadang-kadang belum

menjamin terjadinya perilaku seseorang. Sering terjadi seseorang tahu manfaat

tentang pengolahan limbah yang baik dan juga telah mampu menyediakan

31

sarana untuk pengolahan limbah, namun orang tersebut tetap tidak mengelola

limbah dengan baik karena orang yang dipercaya atau orang yang dihormatinya

(kepala ruangan) belum melakukan pengelolaan limbah yang baik. Contoh ini

menjelaskan bahwa seseorang yang menjadi role model merupakan faktor

penguat bagi terjadinya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2010).

WHO dalam Notoatmodjo (2012), menambahkan bahwa apabila ada seseorang

yang dipercaya, maka apa yang dikatakan atau perbuatan orang itu cenderung

dicontoh. Orang-orang yang dianggap penting ini disebut kelompok referensi,

misalnya kepala ruangan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian dari

Kusnaryanti (2005) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara praktik

kepala ruangan sebagai role model dengan praktik perawat dalam pengelolaan

sampah medis.

Dalam hal pemilahan limbah medis dan non medis, kepala ruangan memiliki

peran antara lain: memberikan penjelasan tentang limbah medis dan non medis

serta cara pemilahannya, memberikan contoh atau menunjukkan cara memilah

limbah medis dan non medis secara benar, mengingatkan dan memperhatikan

tindakan staf dalam memilah limbah medis dan non medis secara benar,

memberikan kesempatan pada staf untuk menyampaikan permasalahan dan

membantu staf dalam mencari solusi untuk permasalahan yang berhubungan

dengan pemilahan limbah medis dan non medis, serta memberikan pujian

terhadap staf yang melakukan pemilahan limbah medis dan non medis secara

benar (Sugiyono, 2013).