bab ii tinjauan pustaka 2.1. manajemen pendidikan 2.1.1...
TRANSCRIPT
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Manajemen Pendidikan
2.1.1. Konsep Manajemen Pendidikan
Konsep manajemen tentu kita harus tahu terlebih
dahulu apa itu manajemen. Banyak teori yang
menjelaskan tentang manajemen yang dinyatakan oleh
para pakar dengan teori yang berbeda-beda tetapi pada
hakekatnya mempunyai tujan yang sama.
Kata Manajemen berasal dari bahasa Inggris to
manage (kata kerja), management ( kata kerja), dan
manager untuk orang yang melakukan. Bila
diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi manajemen
(pengelolaan).
Manajemen menurut Husaini Usman (2014: 6) juga
menyatakan bahwa manajemen adalah serangkaian
kegiatan yang diarahkan langsung untuk penggunaan
sumber daya organisasi secara efektif dan efesien dalam
rangka mencapai tujuan organisasi. Meskipun banyak
definisi manajemen yang telah diungkapkan para ahli
sesuai pandangan dan pendekatannya masing-masing,
seperti Barnard (1938), Terry (1960), Gray ( 1982) dan
lain-lain , namun tidak satupun yang memuaskan.
Walaupun demikian, esensi manajemen dapat dipan-
dang, baik sebagai proses ( fungsi) yang meliputi POLC.
Pengetian Manajemen dalam arti luas adalah
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan (P3) sumber
daya organisasi untuk mencapai tujuan secara efektif dan
efisien. Manajemen dalam arti sempit adalah manajemen
sekolah/ madarasah yang meliputi: perencanaan
sekolah/ madarasah yang meliputi perencanaan program
sekolah/ madarasah, pelaksanaan program sekolah/
14
madarasah, kepemimpinan kepala sekolah/ madarasah,
pegawai/evaluasi, dan sistem informasikan sekolah/
madrasah.
Robin and Coulter (2009), menyatakan bahwa
“management is universally needed in all organizations”.
Manajemen diperlukan semua organisasi dan bersifat
universal. Manajemen bisa diterapkan pada: 1. semua
organisasi, kecil maupun besar, 2. Semua tipe organisasi,
financial dan non financial, 3. Semua tingkatan
organisasi, 4. Semua area organisasi (manufaktur,
pemasaran, SDM, dan lain-lain).
Fungsi manajemen menurut perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian. Robin and
Coulter (2009), perencanaan, pengorganisasian,
kepemimpinan, pengendalian. Kegiatan manajer secara
deskriptif sebagai berikut: 1. Personal Activities, 2.
Interactional Activities, 3. Administrative Activities, 4.
Technical Activities.
Manajemen adalah koordinasi dan pengawasan
terhadap pekerjaan orang lain, sehingga tujuan pekerjaan
betul-betul tercapai efektif dan efisien. (Stephen P
Robbins, May Coulter, 2009). Manajemen dapat
didefinisikan sebagai “proses perencanaan,
pengorganisasian, pengisian staf, pemimpinan, dan
pengontrolan untuk optimasi penggunaan sumber-
sumber dan pelaksanaan tugas-tugas dalam mencapai
tujuan organisasi secara efektif dan efisien”. Manajemen
adalah suatu proses dalam rangka mencapai tujuan
dengan bekerja bersama melalui orang-orang dan sumber
daya organisasi lainnya.
Menurut Ricky W. Griffin manajemen adalah
sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian,
pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk
mencapai sasaran secara efektif dan efesien. Efektif
15
berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan
perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang
ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai
dengan jadwal (http: //www.pengertianku.net-/2015/04
tgl 15-2-2016)
Dari penjelasan definisi tentang manajemen para
ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen
adalah suatu proses merencanakan, mengorganisasikan,
melaksanakan dan mengawasi dalam mengelola sumber
daya yang berupa manusia, uang, material, cara, waktu
dan informasi untuk mencapai tujuan yang efektif dan
efisien.
Telah disebutkan bahwa manajemen bisa dilakukan
dimana saja (organisasi) baik dalam lingkup kecil maupun
lingkup besar. Tidak ketinggalan juga di lembaga
pendidikan (sekolah) juga butuh yang namanya
manajemen. Manajemen yang dilaksanakan dalam dunia
pendidikan disebut manajemen pendidikan.
2.1.2. Manajemen Hubungan Sekolah dengan
Masyarakat
Hubungan sekolah dengan masyarakat pada
hakekatnya merupakan suatu sarana yang sangat
berperan dalam membina dan mengembangkan
pertumbuhan pribadi serta peserta didik di sekolah.
Dalam hal ini, sekolah sebagai sistem sosial merupakan
bagian integral dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu
masyarakat. Sekolah dan masyarakat memiliki hubungan
yang sangat erat dalam mencapai tujuan sekolah atau
pendidikan secara efektif dan efisien. Sebaliknya sekolah,
juga harus menunjang pencapaian tujuan atau
pemenuhan kebutuhan masyarakat, khususnya
kebutuhan pendidikan (Mulyasa, 2009: 50)
16
Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa
hubungan antara sekolah dengan masyarakat merupakan
hal yang sangat penting dalam meningkat-kan mutu
pendidikan di sekolah.
Disamping itu (Mulyasa, 2009: 163) menyebutkan
bahwa dalam rangka mewujudkan visi dan misi sekolah,
disarankan perlunya memberdayakan masyakarat dan
lingkungan sekolah secara optimal. Selain mengadakan
hubungan dengan masyakarakat, sekolah juga dituntut
untuk membina hubungan dengan pemerintah setempat,
misalnya pemuka-pemuka masyarakat, organisasi sosial,
seperti lembaga sosial desa dan sejenisnya, serta meminta
masukan kepada masyarakat atau pihak-pihak yang
membutuhkannya tentang program, kemajuan, dan
rencana-rencana untuk perbaikan sekolah.
Sekolah sekolah merupakan lembaga formal yang
diserahi mandat untuk mendidikan melatih dan
membimbing generasi muda bagi pernananya di masa
depan, sementara masyarakat merupakan pengguna jasa
pendidikan itu. Hubungannya sekolah dengan
masyarakat bertujuan antara lain untuk (1) memajukan
kualitas pemberlajaran, dan pertumbuhan anak; (2)
memperkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup
dan penghidupan masyakarat; (3) menggairahkan
masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sekolah.
Untuk merealisasikan tujuan tersebut, banyak cara yang
bisa dilakukan oleh sekolah dalam menarik simpati
masyarakat terhadap sekolah dan menjalin hubungan
yang harmonis antara sekolah masyarakat. Hal tersebut
antara lain dapat dilakukan dengan memberitahu
masyarakat memengenai program-program sekolah, baik
program yang telah dilaksanakan, yang sedang
dilaksanakan sehingga masyarakat mendapat gambaran
17
yang jelas tentang sekolah yang bersangkutan (Mulyasa,
2009: 50-51).
Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003
BAB IV pasal 1 disebutkan bahwa masyarakat berhak
berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Maka dari
itu sekolah merupakan lembaga sosial yang tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat lingkungannya, sebaliknya
masyarakatpun tidak dapat dipisahkan dari sekolah.
Dikatakan demikian, karena keduanya memiliki
kepentingan.
Dari beberapa pendapat tersebut sesungguhnya
saling mendukung. Jadi kerjasama antara sekolah dengan
masyarakat pada hakekatnya adalah suatu sarana yang
cukup mempunyai peranan yang menentukan dalam
rangka usaha mengadakan pembinaan, pertumbuhan,
dan pengembangan siswa di sekolah. Dengan adanya
hubungan kerja sama antara sekolah dengan masyarakat,
dapat dicapai perpaduan antara sarana sekolah dengan
masyarakat. Hubungan yang harmonis antara keduanya
dalam pengembangan program bersama bagi pembinaan
peserta didik, dapat mengurangi dan mencegah
kemungkinan anak berbuat nakal karena program yang
padat dan menarik tidak memberi kesempatan atau
kemungkinan kepada peserta didik untuk berkhayal atau
berbuat yang kurang baik.
2.2. Teori Evaluasi
2.2.1. Konsep Evaluasi
Kata Evaluasi berasal dari kata berbahasa inggris
yaitu “evaluation” yang diterjemahkan memberi penilaian
dengan membandingkan sesuatu hal dengan satuan
tertentu. Pengertian evaluasi yang bersumber dari kamus
18
Oxford Advanced Leaner’s Dictionary of Current English
Evaluasi adalah to find out, decide the amount or value
yang artinya suatu upaya untuk menentukan nilai atau
jumlah. Selain arti berdasarkan terjemahan, kata-kata
yang terkandung dalam definisi tersebut menunjukkan
bahwa kegiatan evaluasi harus dilakukan secara hati-
hati, bertanggung jawab, menggunakan strategi dan dapat
dipertanggungjawabkan (Suharsimi, 2007: 1).
Definisi evaluasi berbeda-beda sesuai dengan
pendapat dari masing-masing pakar evaluasi. Evaluasi
merupakan suatu istilah baru dalam kajian keilmuan
yang telah berkembang menjadi disiplin ilmu sendiri. Ilmu
kajian tentang evaluasi ini juga telah banyak memberikan
manfaat dan kontribusi dalam memberikan informasi
data, khususnya mengenai pelaksana program tersebut
yang dijadikan suatu keputusan. Menurut pandangan
Anderson (dalam Suharsimi, 2004: 1) Evaluasi sebagai
sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai
beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung
tercapainya tujuan. Sedangkan menurut Stufflebeam
(dalam Suharsimi, 2004: 1), mengungkapkan bahwa
evaluasi merupakan proses penggambaran, pencarian dan
pemberian informasi yang bermanfaat bagi pengambil
keputusan dalam menentukan alternatif keputusan.
2.2.2. Model Evaluasi CIPP
Model evaluasi CIPP ini merupakan salah satu dari
beberapa teknik evaluasi suatu program yang ada. Model
CIPP ini dikembangkan oleh Stufflebeam dan kawan-
kawan (1967) di Ohio State University. Model ini
berlandaskan pada keempat dimensi yaitu dimensi
context, dimensi input, dimensi process, dan dimensi
19
product. CIPP merupakan sebuah singkatan dari huruf
awal empat buah kata, yaitu:
Context evaluation : evaluasi terhadap konteks
Input evaluation : evaluasi terhadap masukan
Process evaluation : evaluasi terhadap proses
Product : evaluasi terhadap hasil
Keempat kata yang disebutkan dalam singkatan CIPP
tersebut merupakan sasaran evaluasi, yang tidak lain
adalah komponen dari proses sebuah program kegiatan.
Dengan kata lain, model CIPP adalah model evaluasi yang
memandang program yang dievaluasi sebagai sebuah
sistem.
Maksud dan tujuan Stufflebeam pada model
evaluasi CIPP ini adalah bermaksud dengan sejumlah
kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi
dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan
program yang dievaluasi, dan tujuan evalusinya adalah
sebagai:
a. Penetapan dan penyediaan informasi yang
bermanfaat untuk menilai keputusan alternatif;
b. Membantu audience untuk menilai dan
mengembangkan manfaat program pendidikan atau
obyek;
c. Membantu pengembangan kebijakan dan program.
Secara garis besar evaluasi model CIPP mencakup empat
macam keputusan: Perencanaan keputusan yang
mempengaruhi pemilihan tujuan umum dan tujuan
khusus.
a. Keputusan pembentukan atau structuring
b. Keputusan implementasi
c. Keputusan yang telah diteruskan, diteruskan dengan
modifikasi, dan atau diberhentikan secara total atas
dasar kriteria yang ada.
20
Tabel 2.1 Model Evaluasi CIPP
Aspek evaluasi Tipe Keputusan Jenis Pertanyaan
Context
evaluation
Keputusan yang
terencana
Apa yang harus
dilakukan?
Input
evaluation
Keputusan
terstruktur
Bagaimana kita
melakukannya?
Process
evaluation
Keputusan
implementasi
Apakah yang
dilakukan sesuai
rencana?
Product
evaluation
Keputusan yang
telah disusun
ulang
Apakah berhasil?
Sumber: The CIPP approach to evaluation (Robinsan,
2002)
Empat aspek Model Evaluasi CIPP (contex, input,
process, and output) membantu pengambilan keputusan
untuk menjawab empat pertanyaan dasar antara lain;
1) Apa yang harus dilakukan (What should we do?);
mengumpulkan dan menganalisa needs assessment
data untuk menentukan tujuan, prioritas dan
sasaran
2) Bagaimana kita melaksanakannya (How should we do
it?); sumber daya dan langkah-langkah yang
diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan dan
mungkin meliputi identifikasi program eksternal dan
material dalam mengumpulkan informasi
3) Apakah dikerjakan sesuai rencana (Are we doing it as
planned?); Ini menyediakan pengambil keputusan
informasi tentang seberapa baik program diterap-
kan. Dengan secara terus-menerus monitorring
program, pengambilan keputusan mempelajari
seberapa baik, pelaksanaan telah sesuai petunjuk
dan rencana, konflik yang timbul, dukungan staff
dan moral, kekuatan dan kelemahan
21
4) Apakah berhasil (Did it work?); Dengan mengukur
outcome dan membandingkannya pada hasil yang
diharapkan, pengambil-keputusan menjadi lebih
mampu memutuskan jika program harus
dilanjutkan, dimodifikasi, atau dihentikan sama
sekali.
Penggunaan pendekatan evaluasi model CIPP ini
banyak digunakan dalam rangka menjamin akuntabilitas
publik dari suatu program pendidikan. Stufflebeam CIPP
model dalam dua kepentingan, yakni pembuatan
keputusan (orientasi formatif) dan akuntabilitas (orientasi
sumatif), sebagai berikut:
Tabel 2.2 Tabel Pemanfaatan Evaluasi CIPP
Orientasi Formatif Orientasi Sumatif
Konteks Pedoman untuk
memilih tujuan dan
menentukan
prioritas
Mencatat
sejauhmana tujuan
yang dipilih berdasar
pada kebutuhan,
kesempatan, dan
masalah
Input Panduan dan
masukan untuk
memilih strategi
program maupun
rancangan
procedural
Mencatat strategi
dan rancangan yang
dipilih, serta alasan-
alasannya
Proses Panduan
implementasi
Mencatat proses
yang aktual
Produk Pedoman untuk
menghentikan,
melanjutkan,
memodifikasi atau
Merekam
ketercapaian
prestasi dan
perumusan kembali
22
instalasi program keputusan
keputusan
Sumber : The CIPP approach to evaluation (Robinson, 2002)
2.2.3. Langkah Evaluasi Model CIPP
Model CIPP ini menekankan pada peran sumatif.
Oleh karena itu, dalam evaluasi hasil model CIPP
memberikan posisi penting bagi peran sumatif. Informasi
yang dihasilkan evaluasi hasil CIPP digunakan untuk
menentukan apakah suatu program harus diganti , revisi
atau dihentikan Penggunaan model CIPP (Contexs, Input,
Process, Product) yaitu :
Tahap I
Evaluasi pada aspek 1 dan 2 (contexs dan input)
dilakukan dengan melihat pada wawancara narasumber
dan teori-teori yang berhubungan dengan peran dan
fungsi komite sekolah secara ideal. Peran dan fungsi
komite sekolah dengan feedback yang diperoleh setelah di
evaluasi.
Tahap II
Evaluasi proses dilakukan dengan mengobservasi
proses sesuai kriteria-kriteria tertentu, termasuk
didalamnya komite sekolah melakukan kegiatan atau
melaksanakan program pendidikan yang diharapkan
dalam Kemendiknas Nomor: 044/U/2002.
Tahap III
Evalauasi hasil (product evaluation) adalah tahap
akhir dan paling penting karena hasil kinerja komite
sekolah adalah tujuan yang telah ditetapkan maka
23
instrumennya ditetapkan berdasarkan domain yang
menjadi tujuan proses tertentu.
2.3. Mutu Pendidikan
Mutu dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang
memuaskan dan melampaui keinginan dan kebutuhan
pelanggan. Definisi ini disebut juga dengan istilah, mutu
sesuai dengan persepsi (quality in perception). Mutu ini
bisa disebut sebagai mutu yang hanya ada di mata orang
yang melihatnya. Ini merupakan definisi yang sangat
penting. Sebab, ada satu resiko yang seringkali kita
abaikan dari definisi ini, yakni kenyataan bahwa para
pelanggan adalah pihak yang membuat keputusan
terhadap mutu. Dan mereka melakukan penilaian
tersebut dengan merujuk pada produk terbaik yang bisa
bertahan dalam persaingan (Sallis, 2010: 56).
Sedangkan Crosby (dalam Hadis, 2010: 85)
menyebutkan bahwa mutu ialah conformance to
requirement (sesuai dengan kebutuhan). Suatu produk
memiliki mutu apabila sesuai dengan standar yang telah
ditentukan, standar mutu tersebut meliputi bahan baku,
proses produksi, dan produk jadi. Sejalan dengan hal
tersebut Deming (dalam Hadis, 2010: 85) mengemukakan
bahwa mutu ialah kesesuaian dengan kebutuhan pasar
atau konsumen.
Dalam kontek pendidikan, pengertian mutu
mencakup input, proses dan output pendidikan. Input
pendidikan adalah segala hal yang harus tersedia karena
dibutuhkan untuk berlangsungnya proses, meliputi
sumber daya dan perangkat lunak serta harapan-harapan
sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Kesiapan
input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung
24
dengan baik, sehingga kadar mutu input dapat diukur
dari tingkat kesiapan input (Widiyarti, 2010: 4)
Dari keempat pendapat diatas dapat dikatakan
bahwa Sallis menekankan pada kepuasan pelanggan dan
dapat melampaui keinginan dan kebutuhan pelanggan,
sedangkan Crosby dan Deming hanya kalau hasilnya
sudah sesuai dengan kebutuhan saja. Sedangkan dalam
kontek pendidikan, pengertian mutu mancakup input,
proses dan output pendidikan. Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa mutu pendidikan adalah hasil
pendidikan atau melampaui keinginan dan kebutuhan
pelanggan yang mencakup input, proses dan output
pendidikan.
Mutu merupakan hal yang penting dalam dunia
pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan merupakan
sasaran pembangunan dibidang pendidikan nasional dan
merupakan bagian integral dari upaya peningkatan
kualitas manusia Indonesia secara kaffah (menyeluruh)
(Mulyasa, 2009: 31). Sehingga pemerintah, dalam hal ini
Menteri Pendidikan Nasional telah mencanangkan
“Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan” pada tanggal 2
Mei 2002; dan lebih fokus lagi, setelah diamanatkan
dalam Undang-Undang Sisdiknas (2003) Bahwa Tujuan
Pendidikan Nasional adalah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, melalui peningkatan kualitas
pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan.
Menurut (Zamroni, 2007: 16) ada tiga perencanaan
strategi yang berkaitan dengan peningkatan mutu
sekolah, yaitu strategi yang menekankan pada hasil (The
Output Orientid Strategy), strategi yang menekankan pada
proses (The Process Orientid Strategy), dan strategi
komprehensif (The Comprehensive Strategy).
25
2.4. Kinerja Organisasi
2.4.1. Definisi Kinerja Organisasi
Definisi kinerja organisasi yang dikemukakan oleh
Bastian dalam Hessel Nogi (2005: 175) sebagai gambaran
mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas dalam
suatu organisasi, dalam mewujudkan sasaran, tujuan,
misi, dan visi organisasi tersebut.
Kinerja berasal dari kata job performance atau
actual performance yang berarti prestasu kerja atau
prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang.
Pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja
secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh oleh
seorang atau sekelompok orang dalam melaksanakan
fungsinya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan
kepadanya. Istilah kinerja merupakan terjemahan dari
performance yang disering diartikan oleh para
cendekiawan sebagai “penampilan”, “unjuk kerja”, atau
“prestasi” (Yeremias T. Keban, 2004: 191). Performance
atau kinerja merupakan hasil atau keluaran dari suatu
proses (Nurlaila, 2010: 71). Menurut pendekatan perilaku
dalam manajemen, kinerja adalah kuantitas atau kualitas
sesuatu yang dihasilkan atau jasa yang diberikan oleh
seseorang yang melakukan pekerjaan (Luthans, 2005:
165).
Kinerja merupakan prestasi kerja, yaitu
perbandingan antara hasil kerja dengan standar yang
ditetapkan (Dessler, 2000: 41). Kinerja adalah hasil kerja
baik secara kualitas maupun kuantitas yang dicapai oleh
seseorang dalam melaksanakan tugas sesuai
tanggungjawab yang diberikan (Mangkunagara, 2002: 22).
Kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang
serta keseluruhan selama periode tertentu dalam
melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai
26
kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau
sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih
dahulu telah disepakati bersama (Rivai dan Basri, 2005:
50). Sedangkan Mathis dan jackson (2006: 65)
menyatakan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa
yang dilakukan atau tidak dilakukan pegawai. Manajemen
kinerja adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan
untuk meningkatkan kinerja perusahaan atau organisasi,
termasuk kinerja masing-masing individu dan kelompok
kerja diperusahaan tersebut. Kinerja merupakan hasil
kerja dari tingkah laku (Amstrong, 1999: 15). Pengertian
kinerja ini mengaitkan antara basil kerja dengan tingkah
laku. Sebagai tingkah laku, kinerja merupakan aktivitas
manusia yang diarahkan pada pelaksanaan tugas
organisasi, sejumlah orang harus memainkan peranan
sebagai pemimpin sedangkan yang lainnya harus
memainkan peranan sebagai pengikut. Hubungan antara
individu dan kelompok dalam organisasi merupakan hasil
dari interaksi yang kompleks dan agresi kinerja sejumlah
individu dalam organisasi. Dari beberapa pengertian
diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah suatu
hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat
dicapai dalam periode tertentu oleh seseorang dalam
melaksanakan tugas sesuai tanggungjawab dan
wewenang yang diberikan.
Untuk mengetahui faktor yang memperngaruhi
kinerja organisasi, dilakukanlah pengkajian terhadap
beberapa teori kinerja. Secara teoritis dan tiga kelompok
variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja
yaitu: variebel individu, variabel organisasi dan variabel
psikologis. Ketiga kelompok variabel tersebut
mempengaruhi pada kinerja organisasi. Perilaku yang
berhubungan dengan kinerja adalah yang berkaitan
27
dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan
untuk mencapai sasaran suatu jabatan atau tugas.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, bahwa
kinerja organisasi merupakan suatu ketercapaian atau
hasil kerja sekelompok orang dalam kegaitan atau
aktifitas atau program yang telah direncanakan sesuai
tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk
mencapai sasaran sautu jabatan atau tugas dan
dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu.
2.4.2. Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Kinerja merupakan suatu capaian atau hasil kerja
dalam kegiatan atau aktivitas atau program yang telah
direncanakan sebelumnya guna mencapai tujuan serta
sasaran yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi dan
dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Dalam Yeremias T. Keban (2004: 203) untuk
melakukan kajian secara lebih mendalam tentang faktor-
faktor yang mempengaruhi efektivitas penilaian kinerja di
Indonesia, maka perlu melihat beberapa faktor penting
sebagai berikut:
a. Kejelasan tuntutan hukum atau peraturan
perundangan untuk melakukan penilaian secara
benar dan tepat. Dalam kenyataannya, orang menilai
secara subyektif dan penuh dengan bias tetapi tidak
ada suatu aturan hukum yang mengatur atau
mengendaikan perbuatan tersebut.
b. Manajemen sumber daya manusia yang berlaku
memiliki fungsi dan proses yang sangat menentukan
efektivitas penilaian kerja. Aturan main menyangkut
siapa yang harus menilai, kapan menilai, kriteria apa
yang digunakan dalam sistem penilaian kinerja
sebenarnya diatur dalam manajemen sumber daya
28
manusia tersebut. Dengan demikian manajemen
sumber daya manusia juga merupakan kunci utama
keberhasilan sistem penilaian kinerja.
c. Kesesuaian antara paradigma yang dianut oleh
manajemen suatu organisasi dengan tujuan penilaian
kinerja. Apabila paradigma yang dianut masih
berorientasi pada manajemen klasik, maka penilaian
selalu bias kepada pengukuran tabiat atau karakter
pihak yang dinilai, sehingga prestasi yang
seharusnya menjadi fokus utama kurang
diperhatikan.
d. Komitmen para pemimpin atau manajer organisasi
publik terhadap pentingnya penilaian suatu kinerja.
Bila mereka selalu memberikan komitmen yang tinggi
terhadap efektivitas penilaian kinerja, maka para
penilai yang ada dibawah otoritasnya akan selalu
berusaha melakukan penilaian secara tepat dan
benar.
Menurut Soesilo dalam Nesel Nogi (2005: 180),
Kinerja suatu organisasi dipengaruhi adanya faktor-faktor
berikut:
a. Struktur organisasi sebagai hubungan internal yang
berkaitan dengan fungsi yang menjalankan aktivitas
organisasi.
b. Kebijakan pengelolaan, berupa visi dan misi
organisasi.
c. Sumber daya manusia, yang berhubungan dengan
kualitas karyawan untuk bekerja dan berkarya
secara optimal.
d. Sistem informasi manajemen, yang berhubungan
dengan pengelolaan data base untuk digunakan
dalam mempertinggi kinerja organisasi.
e. Sarana dan prasarana yang dimiliki, yang
berhubungan dengan penggunaan teknologi bagi
29
penyelenggaraan organisasi pada setiap aktivitas
organisasi.
Selanjutnya Yuwono dkk. Dalam Hesel Nogi (2005:
180) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dominan
mempengaruhi kinerja suatu organisasi meliputi upaya
manajemen dalam menerjemahkan dan menyelaraskan
tujuan organisasi, budaya organisasi, kualitas sumber
daya manusia yang dimiliki organisasi dan kepemimpinan
yang efektif. Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja
organisasi baik publik maupun swasta.
Secara detail Ruky dan Hesel Nogi (2005: 180)
mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh langsung
terhadap tingkat pencapaian kinerja organisasi sebagai
berikut:
a. Teknologi yang meliputi peralatan kerja dan metode
kerja yang digunakan untuk menghasilkan produk
dan jasa yang dihasilkan oleh organisasi, semakin
berkualitas teknologi yang digunakan, maka akan
semakin tinggi kinerja organisasi tersebut
b. Kualitas input atau material yang digunakan oleh
organisasi.
c. Kualitas lingkungan fisik yang meliputi keselamatan
kerja, penataan ruangan, dan kebersihan
d. Budayakan organisasi sebagi pola tingkah laku dan
pola kerja yang ada dalam organisasi yang
bersangkutan.
e. Kepemimpinan sebagai upaya untuk mengendalikan
anggota organisasi agar bekerja sesuai dengan
standar dan tujuan organisasil
f. Pengelolaan sumber daya manusia yang meliputi
aspek kompensasi, imbalan, promosi, dan lain-
lainnya.
30
Ini berarti menurut Atmosoeprapto, dalam Hesel
Nogi (2005:180) mengemukakan bahwa kinerja organisasi
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, secara
lebih lanjut kedua faktor tersebut diuraikan sebagai
berikut:
a. Faktor eksternal, yang terdiri dari:
1) Faktor politik, yaitu hal yang berhubungan
dengan keseimbangan kekuasaan Negara yang
berpengaruh pada kemanan dan ketertiban, yang
akan mempengaruhi ketenangan organisasi untuk
berkarya secara maksimal.
2) Faktor ekonomi, yaitu tingkat perkembangan
ekonomi yang berpengaruh pada tingkat
pendapatan masyarakat sebagai daya beli utnk
menggerakkan sektor-sektor lainnya sebagai
suatu sistem ekonomi yang lebih besar.
3) Faktor sosial, yaitu orientasi nilai yang
berkembang di masyarakat, yang mempengaruhi
pandangan mereka terhadap etos kerja yang
dibutuhkan bagi peningkatan kinerja organisasi.
b. Faktor internal, yang terdiri dari:
1) Tujuan organisasi, yaitu apa yang ingin dicapai
dan apa yang ingin diproduksi oleh suatu
organisasi.
2) Struktur organisasi, sebagai hasil design antara
fungsi yang akan dijalankan oleh unit organisasi
dengan struktur formal yang ada.
3) Sumber daya manusia, yaitu kualitas dan
pengelolaan anggota organisasi sebagai penggerak
jalannya organisasi secara keseluruhan.
4) Budaya organisasi, yaitu gaya dan identitas suatu
organisasi dalam pola kerja yang baku dan
menjadi citra organisasi yang bersangkutan.
31
Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan
bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi
tingkat kinerja dalam suatu organisasi. Namun secara
garis besarnya, faktor yang sangat dominan
mempengaruhi kinerja orgnasasi adalah faktor internal
(faktor yang datang dari dalam organisasi) dan faktor
eksternal (faktor yang datang dari luar organisasi). Setiap
organisasi akan mempunyai tingkat kinerja yang berbeda-
beda karena pada hakekatnya setiap organisasi memiliki
ciri atau karakteristik masing-masing sehingga
permasalahan yang dihadapi juga cenderung berbeda
tergantung pada faktor internal dan eksternal organisasi.
2.4.3. Penilaian Kinerja
Menurut Larry D. Stout dalam Hessel Nogi (2005:
174) mengemukakan bahwa pengukuran atau penilaian
kinerja organisasi merupakan proses mencatat dan
mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah
pencapaian misi (mission accomplishment) Melalui hasil
yang ditampilkan berupa produk jasa ataupun suatu
proses.
Berbeda dengan pernyataan yang dikemukakan
oleh Bastian (2001: 330) dalam Hessel (2005: 173) bahwa
pengukuran dan pemanfaatan penilaian kinerja akan
mendorong pencapaian tujuan organisasi dan akan
memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara
terus menerus. Secara rinci, Bastian mengemukakan
peranan penilaian pengukuran kinerja organisasi sebagai
berikut:
a. Memastikan pemahaman para pelaksana dan ukuran
yang digunakan untuk pencapaian prestasi,
b. Memastikan tercapainya skema prestasi yang
disepakati,
32
c. Memonitor dan mengevaluasi kinerja dengan
perbandingan antara skema kerja dan
pelaksanaannya,
d. Memberikan penghargaan maupun hukuman yang
objektif atas prestasi pelaksanaan yang telah diukur,
sesuai dengan sistem pengukuran yang telah
disepakati,
e. Menjadikannya sebagai alat komunikasi antara
bawahan dan pimpinan dalam upaya memperbaiki
kinerja organisasi,
f. Mengidentifikasi apakah kepuasan pelanggan sudah
terpenuhi,
g. Membantu proses kegiatan organisasi,
h. Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan
secara objektif,
i. Menunjukkan peningkatan yang perlu dilakukan,
j. Mengungkapkan permasalahan yang terjadi.
Begitu pentingnya penilaian kinerja bagi
keberlangsungan organisasi dalam pencapaian tujuan
maka perlu adanya indikator-indikator pengukuran
kinerja yang dipakai secara tepat dalam organisasi
tertentu.
Menurut agus Dwiyanto (2006: 49) penilaian kinerja
birokrasi publik tidak cukup dilakukan dengan
menggunakan indikator yang melekat pada birokrasi itu,
seperti efesiensi dan efektivitas, tetapi juga harus dilihat
dari indikator-indikator yang melekat pada pengguna
jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas dan
responsivitas. Penilaian kinerja dari sisi pengguna jasa
menjadi sangat penting karena birokrasi publik juga
muncul karena tujuan dan misi birokrasi publik
seringkali bukan hanya memiliki stakeholder yang banyak
dna memiliki kepentingan yang sering berbentu-ran satu
sama lainnya menyebabkan birokrasi publik mengalami
33
kesulitan untuk merumuskan misi yang jelas. Akibatnya,
ukuran kinerja organisasi publik di mata para stakeholder
juga berbeda-beda.
2.5. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan
terjemahan dari “School-based manajement”. Istilah ini
pertama kali muncul di Amerika Serikat pada saat
masyarakat mempertanyakan relevansi pendidikan
dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat
setempat (Mulyasa, 2009: 24). Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) merupakan salah satu upaya pemerintah
untuk mencapai keunggulan masyakarat bangsa dalam
penguasaan ilmu dan teknologi.
Dari segi bahasa, Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) berasal dari kata manajemen, Berbasis dan
Sekolah. Manajemen adalah proses penggunaan sumber
daya secara efektik dan efisien untuk mencapai sasaran.
Berbasis berasal dari kata dasar basis yang artinya dasar
atau asas. Sekolah adalah tempat untuk belajar
mengajar. Berdasarkan hal tersebut, maka MBS dapat
diartikan sebagai pengguna sumberdaya yang berasaskan
pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau
pembelajaran (Nurkolis, 2003: 1).
Sedangkan menurut (Permadi, 2010: 26)
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah model
pengelolaan yang memberikan otonomi atau kemandirian
kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan
partisipatif yang melibatkan secara langsung semua
warga sekolah sesuai dengan standar pelayanan yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat, provinsi, kabupaten
dan kota.
34
Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi,
mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi
diperoleh melalui keleluasan pengelola sumber daya yang
ada, partisipasi masyarakat, dan penyederhanaan
birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi
orangtua, kelenturan pengelolah sekolah, peningkatan
profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman
sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat
menumbuhkembangkan suasana yang kondusif.
Pemerataan pendidikan ini tampak pada tumbuhnya
partisipasi masyarakat, terutama masyarakat yang
mampu dan peduli, terhadap pendidikan, sedangkan
masyarakat yang kurang mampu akan menjadi
tanggunjawab pemerintah (Mulyasa, 2009: 13).
Dengan diterapkannya Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS), maka sekolah dapat mengoptimalkan
sumber daya yang tersedia untuk memajukan
sekolahnya, karena bisa lebih mengetahui peta kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman yang mungkin
dihadapi. Disamping itu sekolah lebih mengetahui
kebutuhannya, khususnya input dan output pendidikan
yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam
proses pendidikan sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan peserta didik.
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah
merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki
tingkat efektifitas tinggi serta memberikan beberapa
keuntungan yaitu: (1) Kebijaksanaan dan kewenangan
sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta
didik, orang tua, dan guru; (2) bertujuan bagaimana
memanfaatkan sumber daya lokal; (3) efektif dalam
melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran,
hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah,
35
moral guru, menajemen sekolah, rancang ulang sekolah,
dan perubahan perencanaan (Fattah, 2000: 17)
Dari keempat pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa Nurkolis memandang istilah MBS dari segi
leksikalnya yaitu sebagai pengguna sumberdaya yang
berasaskan pada sekolah itu sendiri, sedangkan Mulyasa
mengutamakan partisipasi masyarakat, Permadi dan
Fattah membahas tentang pemberian otonomi atau
kemandirian kepada sekolah dan mendorong pengambilan
keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung
semua warga sekolah. Berdasarkan pendapat-pendapat
tersebut, maka MBS dapat diartikan Pengelolaan
pendidikan yang memberikan otonomi yang seluas-
luasnya kepada sekolah untuk pengambilan keputusan
yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah
termasuk partisipasi masyarakat untuk meningkatkan
mutu pendidikan serta keunggulan masyarakat dan
bangsa.
2.6. Komite Sekolah
2.6.1. Komite Sekolah
Komite Sekolah yang berkedudukan disetiap satuan
pendidikan, merupakan badan mandiri yang tidak
memiliki hubungan hierarkis dengan lembaga
pemerintahan. Komite Sekolah dapat terdiri dari satuan
pendidikan atau beberapa satuan pendidikan dalam
pendidikan atau beberapa satuan pendidikan yang
dikelola oleh suatu penyelenggaraan pendidikan, atau
karena pertimbangan lain, tanpa intervensi dengan
lembaga pemerintahan (Masaong dan Ansar, 2007: 165)
Sedangkan (Hasbullah, 2006: 90) menyatakan
bahwa pada dasarnya Komite Sekolaj berada di tengah-
tengah antara orang tua murid, murid, guru, masyarakat
36
setempat, dan kalangan swasta. Asas legalitas Komite
Sekolah yang bermuat dalam UU Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya dalam
pasal 56 (3) sebagai berikut : Komite Sekolah/ Madrasah,
sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana
prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat
satuan pendidikan”.
Dari ketiga pendapat tersebut dapat kita simpulkan
bahwa pendapat Masaong, Ansar dan Hasbullah
menekankan pada kedudukan Komite Sekolah,
sedangkan menurut UU nomor 20 Tahun 2003
menekankan pada tujuan pembentukkan Komite Sekolah,
yaitu peningkatan mutu pelayanan.
Jadi Komite Sekolah adalah suatu lembaga mandiri
yang berkedudukan disetiap satuan pendidikan, serta
merupakan badan mandiri yang tidak memiliki hubungan
hierarki dengan lembaga pemerintahan yang berada
ditengah-tengah antara orang tua murid, murid, guru,
masyarakat setempat, dan kalangan masyarakat
setempat, dan kalangan swasta yang dibentuk dan
berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan
memberikan pertimbaganm arahan dan dukungan
tenaga, sarana prasarana, serta pengawasan pendidikan
pada tingkat satuan pendidikan.
Kepengurusan dan keanggotaan dalam Komite
Sekolah harus mencerminkan orangtua siswa dan
masyarakat. Kepengurusan dan keanggotaan Komite
Sekolah meliputi: (1) perwakilan orangtua siswa, (2) tokoh
masyarakat seperti kepala dusun, ulama, budayawan,
dan sebagainya, (3) anggota masyarakat seperti LSM
peduli pendidikan, (4) pejabat pemerintah setempat, (5)
dunia usaha dan dunia industri (DUDI), (6) pakar
37
pendidikan, (7) organisasi profesi tenaga kependidikan
seperti PGRI, (8) perwakilan siswa, dan atau alumni
(Haryanto, 2008: 96).
Sedangkan tujuan Komite Sekolah adalah: (1)
Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa
masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan
program pendidikan di satuan pendidikan; (2)
Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta
masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan di
satuan pendidikan; (3) Menciptakan suasana dan kondisi
transparan, akuntabel, dan demokratis dalam
penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang
bermutu disatuan pendidikan (Haryanto, 2008: 81).
2.6.2. Peran Komite Sekolah
Tugas dan fungsi Dewan Sekolah/ Komite Sekolah
antara lain: (1) menetapkan AD dan ART Komite Sekolah,
memberi masukan terhadap muatan RAPBS dan Rencana
Strategik Pengembangan serta Standar Pelayanan
Sekolah; (2) menentukan dan membantu kesejahteraan
personal, mengkaji pertanggung jawaban dan
implementasinya; (3) mengkaji kinerja sekolah dan
melakukan internal auditing (school self assessment),
merekomendasikan, menerima Kepala Sekolah dan Guru.
Tugas, Dewan Sekolah/Komite Sekolah membantu
menetapkan visi, misi dan standar pelayanan, menjaga
jaminan mutu sekolah (quality assurance), memelihara,
mengembangkan potensi, menggali sumber dana,
mengevaluasi, merenovasi, mengidentifikasi, dan
mengelola kontribusi masyarakat terhadap sekolah
(Satori, 2001: 71).
Sedangkan menurut Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 044/U/2002 Tentang Dewan Pendidikan
38
dan Komite Sekolah menyebutkan bahwa Komite Sekolah
mengemban peran sebagai : (1) Pemberi pertimbangan
(advisary agency); (2) Pendukung (supporting agency); dan
(4) Penghubung (mediator agency). Disamping itu
(Haryanto, 2008: 81) menyebutkan bahwa Komite Sekolah
mengemban empat peran sebagai berikut: (1) pemberi
pertimbangan, (2) pendukung, (3) pengawas, dan (4)
Mediator. Keempat peran Komite Sekolah tersebut bukan
peran yang berdiri sendiri, melainkan peran yang saling
terkait antara peran yang satu dengan peran lainya.
2.6.3. Kinerja Komite Sekolah
Kinerja berasal dari bahasa inggris yaitu
“performance”. Dalam Kamus Lengkap Inggris-Indonesia,
diartikan pertunjukan, perbuatan, daya guna, prestasi,
pelaksanaan, penyelenggaraan, pagelaran (Adi Gunawan,
2002: 279). Para pakar banyak memberikan definisi
tentang kinerja, diantaranya adalah: (Husain Umar, 2004:
76) mengatakan bahwa pengertian kinerja adalah
keseluruhan kemampuan individu untuk kerja secara
optimal dan berbagai sasaran yang telah diciptakan
dengan pengorbanan rasio kecil dibandingkan dengan
hasil yang dicapai. Sedangkan Smith yang dikutip oleh
(Mulyasa, 2003: 136) menyatakan bahwa kinerja adalah
merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses. Jadi
kinerja merupakan pencapaian atas apa yang sudah
direncanakan, baik oleh pribadi maupun oleh organisasi.
Dari uraian-uraian diatas menunjukkan bahwa Adi
Gunawan mengartikan kinerja sama dengan prestasi
kerja, sedangkan Husain Umar kemampuan seseorang
untuk bekerja sedemikian rupa sehingga mencapai tujuan
kerja secara optimal dengan pengorbanan rasio kecil
dibandingkan dengan hasil yang dicapai dan Mulyasa
39
merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses
organisasi.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa Kinerja adalah Hasil kerja atau prestasi kerja
seseorang atau organisasi yang dapat dicapai secara
optimal dengan pengorbanan rasio kecil dibandingkan
dengan hasil yang dicapai.
Yang dimaksud dengan kinerja dalam penelitian ini
adalah tingkat ketercapaian prestasi kerja dari Komite
Sekolah, sesuai dengan peran dan fungsinya, yaitu
sebagai badan pertimbangan, pendukung, pengontrol dan
penghubung di SD Negeri Purwosari 1 Sayung Demak,
yang dapat diuraikan sebagai berikut:
2.6.3.1 Kinerja Komite Sekolah dalam
Perannya Sebagai Badan Pemberi
Pertimbangan (advisory agency)
Komite Sekolah memiliki peran sebagai advisory
agency, badan yang memberi pertimbangan kepada
sekolah atau yayasan. Idealnya sekolah dan yayasan
pendidikan harus meminta pertimbangan kepada Komite
Sekolah dalam merumuskan kebijakan, program dan
kegiatan sekolah, termasuk juga dalam merumuskan visi,
misi dan tujuan sekolah yang bersifat given, di sekolah
swasta dengan ciri khas tertentu (Haryanto, 2008: 81).
Menurut Tim Pengembangan Komite Sekolah Ditjen
Dikdasmen (Depdiknas: 2004), peran Komite Sekolah
diantaranya adalah sebagai badan pemberi pertimbangan
(advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan
kebijakan pendidikan di satuan pendidikan yang terdiri
dari identifikasi sumber daya pendidikan dalam
masyarakat; memberikan masukan untuk penyusunan
RAPBS; menyelenggarakan rapat RAPBS (Sekolah, orang
40
tua siswa masyarakat); memberikan pertimbangan
perubahan RAPBS; ikut mengesahkan RAPBS bersama
kepala sekolah; memberikan masukan terhadap proses
pembelajaran kepada para guru; identifikasi potensi
sumber daya pendidikan dalam masyarakat; memberikan
pertimbagan tentang sarana dan memberikan
pertimbangan tentang anggaran yang dapat dimanfaatkan
di sekolah.
2.6.3.2. Kinerja Komite Sekolah dalam
Perannya Sebagai Pemberi Dukungan
(supporting agency)
Komite Sekolah sebagai supporting agency, yaitu
badan yang memberikan dukungan kerja berupa dana,
tenaga, dan pikiran. Jika dahulu peran BP3 lebih sebagai
pendukung dana, maka penekanan peran Komite Sekolah
seharusnya buka aspek dana saja tetapi juga aspek
lainnya, terutama berupa gagasan dalam rangka
penyelenggaraan dan peningkatan mutu pendidikan
(Haryanto, 2008: 82).
Menurut Tim Pengembangan Komite Sekolah Ditjen
Dikdasmen (Depdiknas: 2004), komponen dan indikator
kinerja Komite Sekolah terkait pada peran sebagai badan
pendukung (supporting agency) adalah; mobilisasi guru
sukarelawan untuk menanggulangi kekurangan guru di
sekolah; mobilisasi tenaga kependidikan non guru untuk
mengisi kekurangan di sekolah; memantau kondisi sarana
dan prasarana yang ada di sekolah; mobilisasi bantuan
sarana dan prasarana sekolah; mengevaluasi pelaksanaan
dukungan sarana dan prasarana sekolah; memantau
kondisi anggaran pendidikan di sekolah; memobilisasi
dukungan terhadap anggaran pendidikan di sekolah;
mengkoordinasikan dukungan terhadap anggaran
41
pendidikan di sekolah; mengevaluasi pelaksanaan
dukungan anggaran di sekolah.
2.6.3.3. Kinerja Komite Sekolah dalam
Perannya Sebagai Badan Pengontrol
(controlling agency)
Komite Sekolah memiliki peran sebagai controlling
agency, badan yang melaksanakan pengawasan sosial
kepada sekolah. Pengawasan ini tidak sebagai
pengawasan institusional sebagaimana yang dilakukan
lembaga maupun badan pengawasan, seperti inspektorat,
atau badan pemeriksa keuangan, maupun badan
pengawasan fungsional lainya. Pengawasan sosial yang
dilakukan lebih memiliki implikasi sosial, dan lebih
dilaksanakan secara preventif, seperti ketika sekolah
menyusun RAPBS, atau ketika sekolah manyusun
laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat
(Haryanto, 2008: 82).
Sedangkan menurut Tim Pengembangan Komite
Sekolah Ditjen Dikdasmen (Depdiknas: 2004), komponen
dan indikator kinerja Komite Sekolah terkait pada
perannya sebagai badan pengontrol (controlling agency)
adalah: mengontrol proses perencanaan keputusan di
sekolah; mengontrol proses perencanaan pendidikan di
sekolah; pengawasan terhadap kualitas program sekolah;
memantau organisasi sekolah; memantau penjadwalan
program sekolah; memantau alokasi anggarn untuk
pelaksanaan program sekolah; memantau partisipasi
stake holder pendidikan dalam pelaksanaan program
sekolah; memantau hasil ujian akhir; memantau angka
partisipasi sekolah; memantau angka mengulang sekolah;
memantau angkat bertahan sekolah.
42
2.6.3.4. Kinerja Komite Sekolah dalam
Perannya Sebagai Badan Penghubung
(mediator agency)
Komite Sekolah memiliki peran sebagai mediator
agency antara sekolah dengan orang tua dan masyarakat.
Keberadaan Komite Sekolah di lembaga pendidikan akan
menjadi tali pengikat ukhuwah antara sekolah dengan
orang tua dan masyarakat. Dengan demikian diharapkan
akan menjadi kunci dalam upaya peningkatan mutu
pendidikan (Haryanto, 2008: 83).
Menurut Tim Pengembangan Komite Sekolah Ditjen
Dikdasmen (Depdiknas: 2004), komponen indikator
kinerja Komite Sekolah terkait pada peran sebagai badan
penghubung (mediator agency) adalah: menjadi
penghuhung antara Komite Sekolah dengan masyarakat,
Komite Sekolah dengan sekolah, dan Komite Sekolah
dengan Dewan Pendidikan; mengidentifikasi aspirasi
masyarakat untuk perencanaan pendidikan; membuat
usulan kebijakan dan program pendidikan kepada
sekolah; mensosialisasikan kebijakan dan program
sekolah kepada masyarakat; memfasilitasi berbagai
masukan kebijakan program terhadap sekolah;
menampung pengaduan dan keluhan terhadap kebijakan
dan program sekolah; mengkomunikasikan pengaduan
dan keluhan masyarakat terhadap sekolah;
mengidentifikasi kondisi sumber daya di sekolah;
mengidentifikasi sumber-sumber daya masyarakat;
memobilisasi bantuan masyarakat untuk pendidikan di
sekolah; mengkoordinasikan bantuan masyarakat.
Untuk menjalankan perannya itu, Komite Sekolah
memiliki fungsi yaitu mendorong tumbuhnya perhatian
dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu. Badan itu juga melakukan
43
kerja sama dengan masyarakat, baik perorangan maupun
organisasi, dunia usaha dan dunia industri, pemerintah,
dan DPRD berkenan dengan penyelengga-raan pendidikan
yang bermutu Dikdasmen (Depdiknas: 2004).
Fungsi lainnya adalah menampung dan
menganalisis aspirasi, pandangan, tuntutan, dan berbagai
kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
044/U/2002 Tentang Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah menyebutkan bahwa fungsi Komite Sekolah
adalah (1) mendorong tumbuhnya perhatian dan
komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu; (2) melakukan kerja sama
dengan masyarakat (perorangan/organisasi/dunia
usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; (3)
menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan,
dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh
masyarakat (4) memberikan masukan, pertimbangan, dan
rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai
kebijakan dan program pendidikan, Rencana Anggaran
Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS), Kriteria kinerja
satuan pendidikan, kriteria tenaga kependidikan, kriteria
fasilitas pendidikan, dan hal ini yang terkait dengan
pendidikan; (5) mendorong orang tua dan masyarakat
berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung
peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan; (6)
menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; (7)
melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan,
program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di
satuan pendidikan. Semua organisasi seharusnya
memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
AD/ART, begitu pula Komite Sekolah. Dalam Keputusan
44
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 Tentang
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah juga menyebutkan
bahwa Komite Sekolah juga menyebutkan bahwa Komite
Sekolah wajib memiliki AD dan ART, yang sekurang-
kurangnya memuat (1) nama dan tempat kedudukan; (2)
dasar, tujuan dan kegiatan; (3) Keanggotaan dan
kepengurusan; (4) hak dan kewajiban anggota dan
pengurus; (5) keuangan; (6) mekanisme dan rapat-rapat;
dan (7) perubahan AD dan ART, serta pembubaran
organisasi.
2.6.4. Indikator Kinerja
MC. Donald dan Lawton dalam Ratminto dan Atik
Septi Winarsih (2005: 174) mengemukakan indikator
kinerja antara lain: mengemukakan indikator kinerja
antara lain: output oriented measures throughtput,
efficiency, effectiveness, Selanjutnya indikator tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
a. Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang
menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik
antara masukan dan keluaran dalam
penyelenggaraan publik.
b. Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya
tujuan yang telah ditetapkan, baik dalam bentuk
target, sasaran jangka panjang maupun misi
organisasi.
45
Adapun indikator kinerja Komite Sekolah yang
diakses dari Tim Pengembang Komite Sekolah Ditjen
Dikdasmen (Depdiknas: 2004) dapat dilihat pada tabel
dibawah ini!
Tabel 2.4.
Indikator Kinerja Komite Sekolah dalam Perannya
Sebagai Badan Pertimbangan (Advisory Agency)
Peran
Komite
Sekolah
Fungsi
Manajemen
Pendidikan
Indikator Kinerja
Badan
Pertimbangan
(Advisory
Agency)
1. Perencaan
Sekolah
a. Identifikasi sumber daya
pendidikan dalam
masyarakat
b. Memberikan masukan
untuk penyusunan
RAPBS.
c. Penyelenggarakan rapat
RAPBS (sekolah, orang
tua siswa, Masyarakat)
d. Memberikan
pertimbangan RAPBS.
e. Ikut mengesahkan
RAPBS bersama kepala
sekolah
2. Pelaksanaan
Program
a. Kurikulum
b. PBM
c. Penilaian
a. Memberikan masukan
terhadap proses
pengelolaan pendidikan
di sekolah.
b. Memberikan masukan
terhadap proses
pembelajaran kepada
para guru.
3. Pengelolan a. Identifikasi potensi
46
Sumber daya
pendidikan
a. SDM
b. S/P
c. Anggaran
sumber daya pendidikan
dalam masyarakat.
b. Memberikan
pertimbangan tentang
tenaga kependidikan
yang dapat
diberbantukan di
sekolah.
c. Memberikan
pertimbangan tentang
sarana dan prasarana
yang dapat
diperbantukan di
sekolah.
d. Memberikan
pertimbangan tentang
anggaran yang dapat
dimanfaatkan di sekolah.
47
Tabel 2.5.
Indikator Kinerja Komite Sekolah dalam Perannya
Sebagai Badan Pendukung (Supporting Agency)
Peran
Komite
Sekolah
Fungsi
Manejemen
Pendidikan
Indikator Kinerja
Badan
Pendukung
(Supporting
Agency)
1. Pengelola
sumber daya
a. Memantau ketenagaan
pendidikan di sekolah.
b. Mobilisasi guru
sukarelawan untuk
menanggulangi
kekurangan guru di
sekolah.
c. Mobilisasi tenaga
kependidikan non guru
untuk mengisi
kekurangan di sekolah.
2. Pengelolaan
Sarana dan
Prasarana
a. Memantau kondisi
antara sarana dan
prasarana yang ada
disekolah.
b. Mobilisasi bantuan
sarana dan prasarana
sekolah.
c. Mengkoordinasi
dukungan sarana dan
prasarana sekolah
d. Mengevaluasi
pelaksanaan dukungan
sarana dan prasarana
sekolah.
3. Pengelolaan
Anggaran
a. Memantau kondisi
anggaran pendidikan di
sekolah.
48
b. Memobilisasi dukungan
terhadap anggaran
pendidikan di sekolah.
c. Mengkoordinasikan
dukungan terhadap
anggaran pendidikan di
sekolah.
d. Mengevaluasi
pelaksanaan dukungan
anggaran di sekolah.
49
Tabel 2.6.
Indikator Kinerja Komite Sekolah dalam Perannya
Sebagai Badan Pengontrol (Controlling Agency)
Peran
Komite
Sekolah
Fungsi
Manejemen
Pendidikan
Indikator Kinerja
Badan
Pengontrol
(Controlling
Agency)
1. Mengontrol
perencanaan
pendidikan di
sekolah
a. Mengontrol proses
pengambilan keputusan di
sekolah.
b. Mengontrol kualitas
kebijakan di sekolah.
c. Mengontrol proses
perencanaan pendidikan di
sekolah.
d. Pengawasan terhadap
kualitas perencanaan
sekolah
e. Pengawasan terhadap
kualitas program sekolah.
2. Memantau
pelaksanaan
program
sekolah
a. Memantau organisasi
sekolah
b. Memantau penjadwalan
program sekolah
c. Memantau alokasi
anggaran untuk
pelaksanaan program
sekolah.
d. Memantau sumber daya
pelaksana program sekolah.
e. Memantau partisipasi stake
holder pendidikan dalam
pelaksanaan program
sekolah.
3. Memantau a. Memantau hasil ujian
50
output
pendidikan
akhir.
b. Memantau angka
partisipasi sekolah
c. Memantau angka
mengulang sekolah
d. Memantau angka bertahan
di sekolah
51
Tabel 2.7.
Indikator Kinerja Komite Sekolah dalam Perannya
Sebagai Badan Penghubung (Mediator Agency)
Peran
Komite
Sekolah
Fungsi
Manejemen
Pendidikan
Indikator Kinerja
Badan
Penghubung
(Mediator
Agency)
1. Perencanaan a. Menjadikan penghubung
antara Komite sekolah
dengan masyarkat, Komite
Sekolah dengan sekolah,
dan Komite Sekolah
dengan Dewan Pendidikan.
b. Mengidentifikasi aspirasi
masyarakat untuk
perencanaan pendidikan.
c. Membuat usulan
kebijakan dan program
pendidikan kepada
sekolah.
2. Pelaksanaan
program
a. Mensosialisasikan
kebijakan dan program
sekolah kepada
masyarakat.
b. Memfasilitasi berbagai
masukan kebijakan
program terhadap sekolah.
c. Menampung pengaduan
dan keluhan terhadap
kebijakan dan program
sekolah.
d. Mengkomunikasikan
pengaduan dan keluhan
masyarakat terhadap
sekolah.
52
3. Pengelolaan
sumber daya
pendidikan
a. Mengidentifikasi kondisi
sumber daya di sekolah.
b. Mengidentifikasi sumber-
sumber daya masyarakat.
c. Memobilisasi bantuan
masyarakat untuk
pendidikan di sekolah.
d. Mengkoordinasikan
bantuan masyarakat.
2.7. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang berhubungan dengan Kinerja
Komite Sekolah, yang dilaksanakan oleh peneliti
diantaranya adalah yang dilakukan oleh Mulyati (2009)
yang dalam penelitiannya meneliti peran komite sekolah
dalam meningkatkan mutu pendidikan di SDN Ngegong
Kota Madiun menyimpulkan bahwa peran Komite Sekolah
di sekolah tersebut berjalan baik sehingga berdampak
pada mutu sekolah, manajemen sekolah dan hasil belajar
siswa.
Sedangkan penelitian yang dilakukan Asri
Yumilarsih (2015) dalam bentuk Tesis dengan judul
Kinerja Komite Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu
Pendidikan Di SMP N 24 Semarang, hasil penelitiannya
diantaranya pertama: komite sekolah memberikan
pertimbangan pada sekolah dalam penyusunan visi-misi
sekolah, komite memberikan masukan dan pertimbangan
untuk kegiatan sekolah. Kedua: perencanaan dalam hal
sebagai pendukung (supporting agency) baik berwujud
finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam
penyelenggara pendidikan disatuan pendidikan. Ketiga:
dalam perannya sebagai penghubung (mediator agency)
antara sekolah dan masyarakat terinci pada program
53
kegiatan komite sekolah. Komite sebagai mediasi antara
sekolah dengan pemerintah, elemen masyarakat, wali
murid serta dunia industri. Keempat: komite sekolah
sebagai pengontrol (controlling agency) dalam transparansi
dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran
pendidikan disatuan pendidikan.
Penelitian Ali Mursidi (2013) dalam bentuk jurnal
dengan judul Pengelolaan komite sekolah dalam
peningkatan mutu pendidikan di SD Islam Al Azhar 29
Semarang. Hasilnya adalah pengelolaan komite sekolah
dalam peningkatan mutu pendidikan sudah cukup baik.
Dilaksanakan dengan pengoptimalkan empat peran
komite sekolah, yakni: advisory agency, supporting
agency, controlling agency, dan mediator agency.
Penelitian lain dilakukan Agus Budi Santoso dan
Sumani pada tahun 2014 dalam bentuk jurnal yang
berjudul Peranan Komite Sekolah Dalam Meningkatkan
Mutu Pendidikan Dasar di Kota Madiun. Hasil dari
penelitiannya adalah Komite sekolah telah melakukan
kerjasama dengan sekolah dalam meningkatkan sarana
dan prasarana sekolah guna meningkatkan mutu
pendidikan. Sejalan dengan penelitian Murjini (2015) yang
berjudul evaluasi pendidikan dalam peningkatan mutu
pendidikan (studi di SD Negeri Sukomarto Jumo
Temanggung. Hasil penelitiannya ditemukan kinerja
komite sekolah sebagai badan pertimbangan, badan
pendukung, badan pengontrol, dan badan pendukung
belum seluruhnya berhasil dibuktikan kinerja Komite
Sekolah sebagai penghubung antara Komite Sekolah dan
Dewan Pendidikan belum maksimal.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Mawan Kriswantoro (2013) yang
menyimpulkan bahwa Komite Sekolah telah
melaksanakan perannya sebagai badan pertimbangan,
54
pendukung dan penghubung. Namun hal pengontrol
kebijakan dan program sekolah, Komite Sekolah belum
sepenuhnya melaksanakannya, karena Komite Sekolah
sebagai organisasi organisasi yang bersifat sosial dan
masing-masing anggota Komite mempunyai kesibukan
dalam profesi masing-masing sehingga belum mampu
melaksanakan kontrol secara langsung di sekolah.
Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh
A.T. Alabi (2012) dengan penelitiannya yang berjudul
Utilization of Commitee System and Secondary School
Principals’ Administrative Effectiveness in Ilorin
Metropolis, Nigeria. Pemanfaatan Sistem Komite dan
Keefektifan Administrasi Kepala Sekolah Menengah (SMP,
SMA) di Kota Ilorin, Nigeria, yang menyimpulkan bahwa:
Administrasi yang efektif merupakan prasyarat bagi
keberhasilan administrasi sekolah menengah. maksud
dari hal tersebut adalah bahwa, perkembangan dari
hubungan yang harmonis di sekolah menengah oleh
kepala sekolah melalui pemanfaatan sistem komite
membantu dalam meningkatkan hasil pendidikan dan
meningkatkan hasil pendidikan secara optimal. Semakin
banyaknya kebutuhan akan melibatkan lebih banyak staf
di sekolah menengah administrasi telah membuat
argumen untuk penggunaan komite lebih masuk akal.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Joyce
Nyandoro (2013) dengan penelitiannya yang berjudul
“Effective Of School Development Commitee In Financial
Management In Chimanimami West Circuit Primary Schools
In Zimbabwe” (Keefektifan Komite Sekolah dalam
Membangun Manajemen Keuangan di Cimani-cimani
Barat Studi di Sekolah Dasar Zimbabwe) yang
menyimpulkan bahwa: Ada tiga kegagalan yang muncul
dari penelitian ini. Pertama beberapa pengembangan
sekolah komite di Chimanimani lingkungan seberlah
55
barat dioperasikan tanpa undang-undang pasal 87 tahun
1992. Kegagalan kedua untuk mematuhi Undang-Undang
pasal 87 tahun 1992 yang telah mendapatkan
persetujuan mengalami penurunan pemahaman isinya
oleh sebagian komite pengembangan sekolah. Kegagalan
ketiga oleh masyarakat untuk membentuk komite
pengembangan sekolah yang efektif yang bisa menggalang
dana dari berbagai sumber.
Sejalan dengan penelitian Ravik Karasidik dkk
berjudul Parrent Involvement on School Committees as
Sosial Capital to Improve Student Achivement yang dimuat
dalam jurnal International Excellens in Higher Education 4
(2013: 1-6). Penelitian ini mengupas bagaimana
partisipasi orang tau melalui komite sekolah dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa. Penelitian ini
menghasilkan tiga temuan kualitatif: sebagai besar
partisipasi orang tua hanya dalam bentuk pemenuhan
aspek material, seperti uang sekolah dan buku; sebagian
besar orang tua memiliki pemahaman yang salah bahwa
sekolah hanya harus tanggungjawab sepenuhnya
terhadap pendidikan anak; orang tua yang sibuk
cenderung tidak peduli terhadap perkembangan proses
belajar anak-anaknya.
Oleh karena itu, disarankan pertama bahwa
pemerintah melalui kantor-kantor provinsi memastikan
bahwa dalam melengkapi undang-undang pasal 87 Tahun
1992 dan panduan terkait lainnya dengan semua sekolah
untuk kesuksesan program desentralisasi keuangan.
Kedua, bahwa Kementerian Pendidikan, Seni, Olahraga
dan Kebudayaan melalui tim supervisi memastikan bahwa
komite pengembangan sekolah memahami kebijakan dari
kementerian melalui beberapa pelatihan sebelum
menerapkan kebijakan tersebut. Ketiga, para pembuat
kebijakan tersebut mengembangkan buku pegangan
56
untuk Komite Sekolah yang ditulis dalam bahasa yang
lebih sederhana untuk orang-orang level awam untuk
mengerti dan menggunakannya. Buku pegangan harus
mencakup isu-isu seperti bagaimana sumber,
penggunaan dan melestarikan sumber daya untuk
sekolah dan bagaimana untuk mendirikan komite
pengembangan sekolah yang efektif. Keempat, para
pembuat kebijakan juga membuat kebijakan responsif
terhadap komunitas yang berbeda sebuhungan dengan
ekonomi mereka, latar belakang dan kemampuan untuk
membangun komite pengembangan sekolah yang efektif.
Kelima, bahwa komite pengembangan sekolah harus
bekerja sebagai kelompok dan menjadi organisasi
pembelajaran, berbagai ide pada tingkat yang sama
kesulitan dan pengembangan strategi bahwa organisasi
non pemerintah, seperti SNV, program sekolah, yang lebih
baik dari Zimbabwe dan lainnya yang bekerja sama
dengan Kementerian Pendidikan, Seni, Olahraga dan
Budaya secara ekonomis menggunakan upaya mereka,
waktu dan dana untuk mencakup semua orang tua/wali
termasuk Para kepala desa setiap kali mereka
menyelenggarakan lokakarya/seminar untuk memastikan
mereka semua akrab dengan peran mereka sehingga
orang tua dan juga sebagai komite pengembang sekolah.
Dan akhirnya, bahwa menteri pendidikan tertinggi juga
turus andil melalui kebijakan kurikulum-nya untuk
menyertakan program desentralisasi dan manajemen
pembangunan pad guru untuk memastikan mereka
mereka akan membantu dalam pelatihan orang tua dan
anggota komite pengembangan sekolah. Peneliti cukup
yakin bahwa ini akan membantu pemerintah untuk
meningkatkan efektivitas komite pengembangan sekolah
di seluruh penjuru Negeri.
57
Peneliti lainnya berpendapat Zulkoflo Matondang
(2011) tentang komite sekolah dalam meningkatkan
kualitas manajemen sekolah di Kota Tebing Tinggi
Sumatera Utara dalam melaksanakan peran dan
fungsinya. Berdasarkan penelitian diperoleh
pemberdayaan komite sekolah masih rendah. Pengurus
komite banyak yang belum paham peran dan fungsinya
dalam mendukung program sekolah, dan masih sedikit
yang memiliki AD/ART.
Sedangkan Slamet Lesatari (2006: 71) dalam
jurnalnya juga mengatakan keberhasilan dalam
pemberdayaan komite sekolah dinilai berhasil jika telah
tercapai beberapa indikator yaitu: 1) Proses pembentu-
kan komite sekolah dilakukan secara demokrasi,
transparan dan akuntabel, 2) tidak ada lagi komite
sekolah stempel dan eksekutor, 3) bila ada permasalahan
antara Sekolah dan Komite Sekolah dapat diselesaikan
secara mandiri oleh tim fasilitator, 4) Secara berharap
diharapkan agar Komite Sekolah segera dapat
melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal.
Menurut Sri Wardiah, Murniati, Djailani (2015: 12)
Strategi komite sekolah merupakan salah satu faktor
keberhasilan program pendidikan yang meliputi
pengetahuan dan motivasi dalam peningkatan mutu
pendidikan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
bagaimana program komite sekolah, strategi/ pendekatan
komite sekolah dan kendala komite sekolah dalam
peningkatan mutu pendidikan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: 1) program komite sekolah dalam
peningkatan mutu pendidikan meliputi: rapat rutin
komite sekolah setiap semester, ikut mengesahkan
RKAS/RAPBS, Menyampaikan usulan dan rekomendari
kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas
pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah,
58
namun dalam pelaksanaannya belum efektif, 2) strategi
komite sekolah dalam peningkatan mutu penididkan
melalui kegiatan diantaranya: rapat rutin dengan warga
sekolah pada setiap akhir semester, bersama-sama
sekolah membuat rumusan visi dan misi sekolah,
menyusun RKAS/ RAPBS sertan mengembangkan potensi
kearah lebih baik, 3) kendala yang dihadapi komite
sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan adalah
kurangnya komunikasi antara sekolah dengan komite
sekolah, sehingga menyebabkan program komite sekolah
menjadi kurang efektif.
Dari beberapa penelitian diatas dapat disimpulkan
bahwa kinerja komite sekolah di berbagai tempat berbeda-
beda. Ada komite sekolah yang kinerjanya sudah sesuai
dengan peran dan fungsinya, sementara ditempat lain
belum bisa dilaksanakan.
Maka peneliti akan membahas tentang kinerja
komite di SD N Purwosari1 Sayung, kelebihan dan
kekurangan, faktor-faktor yang menghambat kinerja
komite sekolah sampai kepada sumber daya komite
sekolah serta peran dan fungsi komite sekolah sesuai
Kemendiknas 044/U/2002 yang menjadi landasan dasar
kinerja komite SD N Purwosari 1 Sayung. Peneliti juga
akan mengevaluasi kinerja komite sekolah dalam
peningkatan mutu pendidikan supaya nanti kinerja
komite sekolah yang ada di SD N Purwosari 1 Sayung
Demak bisa melaksanakan peran dan fungsi komite
sekolah secara maksimal sehingga mutu pendidikan yang
ada di SD N Purwosari 1 bisa meningkat menjadi lebih
baik dan berkembang kearah kemajuan.
59
2.8. Kerangka Pikir Penelitian
Untuk penyederhanaan Alur kerangka pikir dalam
penelitian evaluasi kontek, input, proses dan produk
(CIPP).
Maka peneliti mendeskripsikan penelitiannya
dengan menggunakan model evaluasi CIPP (Context, Input,
Process, Product), akan dilihat dari kinerja komite sekolah
secara ideal, menurut Kemendiknas 044/U/2002 tentang
peranan & fungsi komite secara ideal dan komprehenshif,
dengan model evaluasi CIPP (context, input, process,
product) nanti bisa dianalisis dari kontek, input, proses,
dan produk tekait kinerja komite sekolah.
Peranan komite sekolah sudah sesuai Kemendiknas
044/U/2002 atau belum sepenuhnya diimplementasikan,
diantaranya peran komite sekolah sebagai badan pemberi
pertimbangan, pendukung, pengontrol, dan mediator.
Kemudian faktor kendala atau hambatan yang dihadapi
pada pelaksanaan program, hasil dari evaluasi nanti akan
mendapat sebuah saran/ rekomendasi untuk perbaikan
kinerja komite sekolah sehingga mutu pendidikan yang
ada di SD N Purwosari 1 Sayung Demak.
60
Gambar 2.8 Kerangka berfikir
Konteks Input Proses Produk
EVALUASI KINERJA KOMITE SEKOLAH
DALAM PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
DI SD NEGERI PURWOSARI 1 KECAMATAN
SAYUNG DEMAK
(Model Evaluasi CIPP menurut Stufllebeam)
Pemberi
Pertimbangan
Pendukung Pengontrol Mediator
PERAN KOMITE SEKOLAH (Sesuai Kemendiknas
044/U/2002)
Mutu Pendidikan
Hambatan &
Saran