bab ii tinjauan pustaka 2.1 komunikasi antar budayaeprints.umm.ac.id/54417/3/bab ii.pdfhal ini...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Antar Budaya
2.1.1 Pengertian Komunikasi Antar Budaya
Banyaknya budaya yang ada di Indonesia membuat semakin banyak pula
perbedaan. Sebagai seorang makhluk sosial yang diharuskan untuk melakukan
komunikasi, perbedaan tersebut seharusnya tidak menjadi penghalang dalam proses
komunikasi. Maka dari adanya perbedaan budaya yang melatarbelakangi
keberlangsungan komunikasi, munculah istilah komunikasi antar budaya.
Komunikasi antar budaya ditandai dengan adanya perbedaan budaya antara
sumber dan penerimanya. (Mulyana, Deddy dan Rakhmad, Jalaluddin, 2001: 20).
Sedangkan menurut Samovar, Porter dan McDaniel komunikasi antar budaya
melibatkan interaksi antara orang-orang yang persepsi budaya dan sistem simbolnya
cukup berbeda dalam suatu komunikasi (Samovar, LA., Porter, ER., McDaniel, RE,
2010:13).
Selain itu menurut Gehard Maletzke “ Intercultural communication is the
process of exchange of thoughts and meaning between people of differing cultures”.
(Komunikasi antar budaya adalah proses pertukaran pikiran dan makna di antara
orang yang berbeda kebudayaannya)
7
Dari ketiga definisi di atas dapat dilihat bahwa ketiga ahli tersebut
menekankan bahwa komunikasi antar budaya dapat terjadi ketika adanya perdedaan
budaya antar komunikan dan komunikatornya.
2.1.2 Fungsi Komunikasi Antar budaya
Seperti komunikasi pada umumnya, komunikasi antar budayapun juga
memiliki beberapa fungsi. Menurut Liliweri, fungsi dari komunikasi antar budaya
terbagi menjadi dua fungsi yakni fungsi pribadi dan fungsi sosial, di mana kedua
fungsi tersebut akan dijabarkan sebagai berikut (Liliweri, Alo, 2013: 36-44) :
1. Fungsi Pribadi
Di dalam fungsi pribadi masih terdapat empat fungsi yang telah disusun secara
rinci, diantaranya yakni sebagai berikut:
a. Menyatakan identitas sosial: Fungsi ini merupakan salah satu cara individu
untuk menunjukkan identitas sosialnya, melalui komunikasi verbal maupun
non verbal. Misal untuk menunjukkan suku bangsa, agama, pendidikan dan
pengetahuan.
b. Menyatakan Integrasi Sosial: Inti dari konsep integrasi adalah saling
menghargai perbedaan terutama budaya.
c. Menambah pengetahuan: Fungsi ini dapat berjalan ketika seseorang memiliki
sikap yang terbuka, mengenai budaya lain.
8
d. Melepaskan diri/ jalan keluar: Fungsi terakhir adalah untuk mencari jalan
keluar, baik dengan orang yang memiliki perilaku sama atau yang berbeda
sekalipun.
2. Fungsi Sosial
Seperti halnya fungsi pribadi, fungsi sosialpun memiliki beberapa fungsi yang
terperinci, diantaranya yakni sebagai berikut:
a. Pengawasan: Praktek komunikasi yang dilakukan oleh individu-individu yang
bebeda budaya memiliki fungsi untuk saling mengawasi. Hal ini bermanfaat
untuk melihat perkembangan mengenai lingkungan.
b. Menjembatani: Dalam hal ini komunikan dan komunikator adalah jembatan
bagi pesan yang akan disampaikan, agar tidak terjadi kesalah pahaman antara
keduanya.
c. Sosialisasi nilai: Fungsi mengajarkan serta mempekenalkan nilai-nilai suatu
budaya kepada masyarakat yang berbeda budaya. Salah satunya adalah untuk
memahami komunikasi non verbal agar tidak salah memaknai suatu hal dari
budaya yang bebeda.
d. Menghibur: Suatu pertunjukan yang berasal dari budaya yang berbeda bisa
menjadi suatu pertunjukkan yang menghibur masyarakat. Seperti orang Jawa
yang melihat tarian kecak saat sedang berada di Bali.
9
2.1.3 Proses Komunikasi Antar budaya
Pada hakikatnya proses komunikasi antar budaya merupakan suatu proses
yang interaktif, transaksional serta dinamis. Menurut Wahlstrom, komunikasi
dikatakan interaktif apabila komunikator dan komunikan melakukan komunikasi dua
arah, tetapi masih berada pada tahap rendah (Liliweri, Alo, 2013: 24).
Sedangkan tahap transaksional menurut Hybles dan Sandra, ialah pertukaran
pesan diantara kedua pelaku komunikasi telah memasuki tahap tinggi, misalkan
terdapat sikap saling mengerti atau memahami diantara keduanya. Sedangkan,
dikatakan dinamis karena, proses komunikasi tersebut berlangsung dalam keadaan
yang dapat berubah sesuai situasi dan kondisi. Terlebih dalam komunikasi
anatarbudaya, di mana kebudayaan adalah sebagai penghidup dari proses komunikasi
tersebut (Liliweri, Alo, 2013: 24-25).
Proses komunikasi antar budaya memiliki beberapa dimensi, diantaranya
(Ridwan, 2016:102) :
1. Komunikasi antar budaya merujuk pada bermacam tingkatan lingkup dan
kompleksitas organisasi sosial
2. Komunikasi antar budaya merujuk pada konteks sosial komunikasi antar
budaya yang meliputi organisasi, pendidikan, akulturasi imigan, difusi
inovasi dan sebagainya.
10
3. Saluran komunikasi dibagi atas saluran antarpribadi dan media massa.
Dimensi ketiga ini memengaruhi proses dari hasil keseluruhan proses
komunikasi antar budaya.
2.1.4 Unsur- Unsur Proses Komunikasi Antar budaya
Melihat definisi dari komunikasi antar budaya di atas, maka tedapat beberapa
unsur di dalamnya, diantarnya komunikator, komunikan, pesan/ simbol, media, efek/
umpan balik, suasana (setting dan context), serta gangguan (noise atau interfence). Di
mana hal tersebut akan dibahas satu persatu, sebagai berikut (Liliweri, Alo, 2013: 25-
31) :
1. Komunikator
Komunikator adalah orang yang memulai sebuah komunikasi kepada seorang
komunikan. Dalam komunikasi antar budaya komunikator merupakan
seseorang yang berasal dari latar belakang kebudayaan tertentu. Karakteristik
dari setiap komunikator menurut Howard Giles dan Arlene Franklyn-Strokes
juga bergantung dari latar belakang etnis dan ras, faktor usia dan jenis kelamin
hingga latar belakang politiknya.
Komunikator A Komunikan B
Kebudayaan A Kebudayaan B
11
2. Komunikan
Komunikan merupakan pihak yang menerima suatu pesan dari komunikator.
Dalam komunikasi antar budaya komunikan memiliki latar belakang
kebudayaan yang berbeda dari komunikator. Ada tiga bentuk pemahaman
komunikan ketika memahami isi pesan, yakni: (1) kognitif, di mana
komunikan menerima suatu isi pesan yang menurutnya benar, (2) afektif,
komunikan tidak hanya merasa benar, mereka juga menyukai isi pesan
tersebut, (3) overt action, dalam tahap ini komunikan akan terdorong untuk
melakukan sesuatu atas pesan tersebut karena merasa pesan tersebut benar dan
baik.
3. Pesan/ Simbol
Pesan merupakan gagasan atau sesuatu hal yang disampaikan oleh
komunikator berupa simbol. Dalam komunikasi antar budaya simbol-simbol
tersebut harus dipahami dan diwaspadai, karena perbedaan budaya akan
menghasilkan pemaknaan yang berbeda atas isi pesan tersebut.
4. Media
Dalam komunikasi antar budaya media merupakan alat untuk mengirim pesan.
Media dapat berupa media tertulis (surat, telegram), juga media massa (cetak),
dan media elektronik.
12
5. Efek atau Umpan Balik
Umpan balik merupakan reaksi atau tanggapan yang diberikan komunikan
kepada komunikator terhadap pesan yang telah disampaikan. Sehingga
komunikan dan komunikator harus memahami betul pesan yang disampaikan,
terlebih dalam komunikasi antar budaya, agar tidak menimbulkan bias.
6. Suasana
Suasana menjadi salah satu faktor penting dalam komunikasi antar budaya.
Ketepatan waktu, tempat dan situasipun mempengaruhi bagaimana komunikasi
antar budaya tersebut dapat berlangsung. Maka dari itu terkadang hal ini
disebut sebagai setting of communication.
7. Gangguan
Gangguan merupakan segala sesuatu yang menghambat penyampaian pesan
dalam komunikasi antar budaya. Gangguan ini dapat terjadi dari unsur-
unsurkomunikasi yang ada, seperti perbedaan status sosial dari komunikator
dan komunikan. Selain itu juga dapat terjadi karena kesalahan dalam
memberikan makna pesan, sehingga pesan yang sampai tidak sesuai.
Sementara dalam buku Komunikasi Antar budaya Mengubah Persepsi dan
Sikap Dalam Meningkatkan Keativitas Manusia milik Aang Ridwan juga dikatakan
bahwa unsur-unsur proses komunikasi antar budaya juga terdiri dari tujuh unsur yang
sama seperti milik Alo Liliweri yaitu (2016: 105-107) :
13
a. Komunikator
b. Komunikan
c. Peran atau symbol
d. Media
e. Efek dan Umpan Balik
f. Suasana
g. Gangguan
Dari beberapa unsur di atas dapat diketahui bahwa ketujuh unsur di atas
sangat penting dalam proses terjadinya komunikasi antar budaya, dan ketika ada
ketimpangan dalam salah satu unsur tersebut maka akan berpengaruh pula pada
proses komunikasi antar budaya yang sedang terjadi. Para pelaku komunikasi antar
budaya harus memahami betul unsur-unsur tersebut untuk menunjang keberhasilan
komunikasi antar budaya yang sedang dibangun.
2.1.5 Hambatan Komunikasi Antar budaya
Menurut Novinger, reaksi negatif dan evaluatif terhadap sebudah budaya
dalam komunikasi antar budaya dapat memicu sebuah hambatan komunikasi.Evaluasi
yang bersifat negatif tersebut dapat menyebabkan ketidaksukaan dan penghindaran.
Hal ini dikarenakan budaya asing dianggap menyimpang atau berbeda dari norma
yang di anut oleh budaya asli di suatu tempat. (Ridwan, 2016: 114)
14
Gambar 2.1 Hambatan Potensial Komunikasi Antar budaya
Sumber: Ridwan, 2016: 117
1) Hambatan Presepsi
Secara garis besar hambatan presepsi dibagi menjadi dua yakni hambatan
presepsi yang dibentuk secara budaya dan hambatan presepsi individu yang
15
terletak dalam kerangka budaya. Beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya hambatan presepsi tersebut dapat dilihat dalam bagan beikut:
Gambar 2.2 Hambatan Presepsi
Sumber: Ridwan, 2016: 25
2) Hambatan Verbal
Hambatan verbal merupakan bagain dari hambatan behavior, verbal sendiri
berarti bahasa. Seperti yang ditunjukkan pada bagan 2.1 mengenai hambatan
potensial komunikasi antar budaya, hambatan verbal dipengaruhi oleh
berberapa faktor seperti, aksen, irama, konotasi, konteks, idiom, penggunaan
kesopanan, keheningan serta style.
16
3) Hambatan Nonverbal
Hambatan nonverbal masih masuk dalam hambatan behavior, menurut Tracy
(Ridwan, 2016:119) ada beberapa faktor yang berpotensi menghambat
komunikasi antar budaya, diantaranya:
a) Kronemik ( penerimaan akan waktu)
b) Kinesik, yang dibagi menjadi gestur, kontak mata, ekspresi wajah, postur
dan bau
c) Proxemik yang dibagi menjadi:
1. Fixed- feature space (ruang tetap yang memberitahu hal-hal yang
dilakukan, tempat, dan cara melakukan)
2. Semifixed- featured space (ruang semitetap, menambahakan fungsinya
pada objek yang dapat dipindah)
3. Informal Space (mencakup jarak yang dibuat dalam komunikasi
interpersonal, bersifat variasi berdasar budaya).
d) Karakter fisik yang terbagi atas artefak dan penampilan fisik
e) Vocal atau karakteristik kemampuan berbicara (Speech characteristic)
Sedangkan menurut Barna dan Ruben (Ridwan, 2016:120), hambatan komunikasi
antar budaya dibagi menjadi lima, yaitu:
17
1) mengabaikan perbedaan antara antar individu yang berbeda kelompok;
2) mengabaikan perbedaan antara kelompok kultural yang berbeda;
3) mengabaikan perbedaan dalam makna;
4) melanggar adat kebiasaan kultural;
5) menilai perbedaan secara negatif.
Dari beberapa pendapat di atas dapat dilihat faktor utama yang menimbulkan
terjadinya hambatan dalam komunikasi antar budaya adalah penilaian secara negatif
kepada kelompok budaya yang berbeda, kesalapahaman presepsi, faktor bahasa dan
kesalahan komunikasi nonverbalpun ikut mempengaruhi hal tersebut. Hal-hal seperti
itu sebisa mungkin untuk dihindari dalam proses komunikasi antar budaya agar dapat
meminimalisir hambatan komunikasi.
1.1.6 Teori Jarak Sosial
Konsep jarak sosial menurut Edward T. Hall membahas mengenai jarak
seseorang dalam berinteraksi. Para pelaku komunikasi dapat saling berbicara tetapi
tidak saling menyentuh. Jarak sosial menitik beratkan pada pengukuran dekat jauhnya
suasana psikologis antara individu dari kelompok tertentu menuju individu dari
kelompok lain. Teori jarak sosial dikembangkan oleh Bogardus, teori ini
dikembangkan kedalam konsep social distance, yang merupakan skala untuk
mengukur bagaimana tingkat kedekatan atau jarak yang dirasakan oleh orang-orang
yang berbeda etnik atau ras. Jarak sosial bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti
18
kelompok primer, adanya kelompok dominan dan stereotip kelompok. Seperti yang
diungkapkan oleh Sears, dkk (1994) bahwa ketika ada dua etnis dalam satu wilayah
tidak berbaur dengan akrab, maka kemungkinan akan terjadi prasangka dalam
wilayah tersebut. Sehingga dengan begitu akan menimbulkan sebuah jarak sosial, di
mana semakin besar prasangka yang muncul, maka akan semakin besar jarak sosial
yang timbul. Menurut Walgito (2011) orang dengan jarak sosial yang dekat akan
membawa interaksi yang lebih intens dibandingkan dengan orang yang jarak
sosialnya jauh. Jarak sosial didasari oleh tiga hal berikut, diantaranya:
a. Prasangka (Prejudice)
Menurut Bennet dan Jannet prasangkan merupakan sikap antipasti yang
disebabkan oleh generalisasi yang salah kemudian diekspresikan sebagai
sebuah perasaan. Efek yang ditimbulkan adalah menjadikan orang lain
menjadi sasaran prasangka. Seperti mengkambing hitamkan seseorang dari
etnis lain berdasarkan perasaannya sendiri (Liliweri, 2002:15).
b. Stereotip
Menurut Johnson stereotip merupakan suatu keyakinan atau kepercayaan
seseorang terhadap orang lain yang didasari oleh pengetahuan dan
pengalaman. Sehingga keyakinan tersebut memunculkan dampak untuk
memperkirakan perbedaan antar kelompok sebagai ciri khas kelompok
tersebut yang belum tentu benar (Liliweri, 2002:16)
19
c. Diskriminasi
Diskriminasi merupakan hasil dari prasangka dan stereotip pada kelompok
tertentu yang memunculkan sebuah tindakan jarak sosial. Diskriminasi
merupakan perilaku negatif yang membahayakan suatu anggota kelompok
tertentu. Akan tetapi hubungan komunikasi yang baik bisa mengurangi
diskriminasi.
2.1.7 Teori Pengelolaan Kecemasan/Ketidakpastian (Anxiety Uncertainty
Management) (William Gudykunst)
Teori Pengelolaan Kecemasan/Ketidakpastian (Anxiety Uncertainty
Management) milik William Gudykunst merupakan teori penyempurnaan
berkelanjutan dari teori milik Berger dan Calabrese (1975) tentang pengurangan
ketidakpastian, teori Stephan dan Stephan (1985) tentang kecemasan antar kelompok
dan teori Tajfel (1981); Tajfel & Turner (1986) tentang indentitas sosial (Berger, dkk,
2014: 656).
Teori Gudykunst tentang pengelolaan kecemasan/ ketidak pastian
(anxiety/uncertainty management, AUM) berkembang pertama kali pada tahun 1985.
Teori ini ditujukan secara langsung dan spesifik untuk menjelaskan “efektivitas
komunikasi” yang didefinisikan adanya kesamaan antara makna termaksud si
pengirim dan interpretasi penerima di dalam proses komunikasi antar budaya. Teori
ini berpendirian bahwa kemampuan dalam mengelola kecemasan dan ketidakpastian
tersebut dapat meningkatkan efektivitas komunikasi antar budaya.
20
Teori AUM menyatakan bahwa efektivitas komunikasi dapat terjadi bila
dilakukan dengan metode mindful pada tingkatan kecemasan dan ketidakpastian
seseorang dalam proses interaksinya. Metode tersebut akan berjalan apabila masing-
masing pihak yang terlibat dalam komunikasi tersebut dapat meminimalkan
kesalapahaman budaya dengan cara mereduksi presepsi yang negative, perilaku
etnosentrisme, prasangka dan stereotip.Selain itu, situasi mindful juga akan tercapai
ketika keduanya mampu mengelola kecemasan dan ketidakpastian yang dihadapi
(Darmastuti, 2013: 112).
Dalam versi terbaru tahun 2005, teori AUM menawarkan 47 aksioma yang
terbagi menjadi enam kategori. Setiap aksioma menjelaskan vaiabel spesifik yang
mempengaruhi level anxiety dan uncertainty (berger, dkk, 2014: 657). Berikut
merupakan 10 aksioma dari Gudykunst, diantaranya (Darmastuti, 2013: 115):
1. Self and Self-Concept (Diri dan Konsep Diri)
Pemahaman mengenai diri dan konsep diri didasarkan pada aksioma kelima
dari pandangan Gudykunst yang merupakan kemajuan melihat harga diri
ketika berinteraksi dengan orang asing atau yang berbeda budaya guna
mengatur kecemasan.
2. Motivation to interect with strangers (motivasi untuk berinteraksi dengan
orang asing)
Pemahaman ini didasarkan pada aksioma ketujuh yang menyatakan bahwa
kebutuhan untuk bersosialisasi merupakan dorongan yang berat untuk
21
seseorang membangun sebuah interaksi dengan orang yang berbeda budaya.
Kondisi ini akan menghasilkan kemajuan untuk mengatur kecemasan.
3. Reaction to strangers (reaksi terhadap orang asing)
Pemahaman ini merujuk pada aksioma 12, 15 dan 16, di mana dalam aksioma
12 dikatakan bahwa kemampuan memproses informasi dengan kompleks
tentang orang yang berasal dari budaya berbeda akan mempermudah dalam
memahami perilaku seseorang tersebut secara akurat.
Aksioma 15 mengatakan bahwa kemampuan untuk bersikap toleran terhadap
seseorang yang berbeda budaya akan memudahkan untuk mengatur kecemasan
dan memprediksi tingkah laku orang tersebut secara akurat. Sementara
aksioma 16 mengatakan bahwa kemampuan untuk berempati dengan orang
yang berbeda budaya akan mempermudah dalam memprediksi perilakunya
secara akurat.
4. Social Categorization of stragers (kategori sosial untuk orang asing)
Untuk memahami hal ini, Gudikunst menggunakan aksioma 20 dan 25, di
mana aksioma 20 mengatakan bahwa kesamaan personal yang didapatkan
antara orang yang berbeda budaya akan mempermudah orang tersebut dalam
mengelola kecemasan dan mempermudah dalam memprediksi tingkah laku
seseorang yang berbeda budaya.
22
Aksioma 25 mengatakan bahwa kesiapan seseorang untuk menghadapi
kekerasan dari orang lain yang berbeda budaya, sangat ditentukan oleh
ekspektasi yang dibentuk di awal. Kondisi ini akan membuat seeorang mampu
untuk mengatur kecemasan dan mengurangi keyakinan diri dalam memprediksi
tingkah laku lawan bicara.
5. Situational Precesses (proses-proses situasional)
Pemahaman ini didasarkan pada aksioma 27, yang mengatakan bahwa situasi
yang tidak formal akan menurunkan kecemasan ketika berkomunikasi dengan
orang yang berbeda budaya. Kondisi ini akan membangun kepercayaan diri
untuk memprediksi tingkah laku orang tersebut.
6. Connection with Strangers (koneksi dengan orang asing)
Untuk pemahaman ini Gudikunst menggunakan aksioma 31 dan 37, di mana
dalam aksioma 31 dikatakan bahwa daya tarik terhadap seseorang yang
berbeda budaya akan membuat seseorang menurunkan kecemasannya.
Sedangkan aksioma 37 mengataka bahwa kerjasama yang dilakukan dengan
orang lain yang berasal dari budaya berbeda akan membantu menurunkan
kecemasan seseorang.
23
2.2 Tinjauan tentang stereotip
2.2.1 Pengertian Stereotip
Stereotip merupakan salah satu akibat dari adanya kesalahan persepsi, di mana
jika diteruskan dalam komunikasi antar budaya khusu nya, hal ini akan menjadi
sebuah hambatan.
Menurut Psikolog Abbate, Boca, dan Bocchiaro dalam buku Komunikasi
Lintas Budaya Communication Between Cultures milik Samovar, LA., Porter, ER.,
McDaniel, RE, 2010:203 stereotip merupakan susunan kognitif yang mengandung:
a. pengetahuan, menurut Notoatmodjo merupakan hasil dari proses melihat,
merasakan dan berfikir yang menjadi dasar bagi seseorang untuk bersikap.
Sebagian besar pengetahuan berasal dari indera pendengaran dan indera
pengelihatan (Anonim, 2015).
b. kepecayaan, dalam hal ini yang dimaksud adalah kepercayaan seseorang
mengenai agama dan juga adat istiadat yang dianut (Mulyana dan Rakhmat,
2000:36-37).
c. harapan si penerima mengenai kelompok sosial manusia, dalam hal ini yang
diharapkan ialah perilaku yang sesuai dengan presepsi dari seseorang yang
membrikan stereotip (Mulyana, 2008: 240).
Lain dengan definisi yang diungkapkan oleh Larry A. Samovar, Richard E. Porter
dan Edwin R.McDaniel, stereotip merupakan bentuk kompleks dari pengelompokan
24
yang secara mental mengatur pemahaman anda dan mengatur sikap anda dalam
menghadapi orang-orang tertentu (Samovar, dkk, 2010:203). Sementara menurut
Mufid, stereotip adalah sebuah cara pandang terhadap suatu kelompok sosial di mana
cara pandang tersebut lalu digunakan pada setiap anggota kelompok tersebut (Mufid,
2009:260).
Dari ketiga definisi tersebut terdapat penekanan bahwa stereotip tersebut dapat
mempengaruhi sikap seseorang mengenai apa yang dia percaya. Ketiganya
menekankan pada cara pandang antar individu. Lebih ringkasnya stereotip merupakan
tuduhan atau pengelompokan mengenai suatu kelompok tertentu yang belum
diketahui kebenarannya.
Dalam konteks Komunikasi Antar Budaya, stereotip juga bervariasi dalam
beberapa dimensi, antara lain (Mufid, 2010: 60) :
1. Dimensi arah: tanggapan bersifat positif atau negatif;
2. Dimensi intensitas: seberapa jauh seseorang percaya pada stereotip yang
dipercayai;
3. Dimensi keakuratan: seberapa tepat suatu stereotip dengan kenyataan yang
biasa ditemui;
4. Dimensi isi: sifat-sifat khusus yang diterapkan pada kelompok tertentu.
Stereotip terdiri dari dua macam yaitu stereotip positif dan stereotip negatif,
namun sebagian besar orang beranggapan bahwa stereotip itu negatif tetapi bisa
memungkinkan stereotip itu positif (Mufid, 2010: 27) :
25
a. Stereotip Positif
Merupakan dugaan atau gambaran yang bersifat positif terhadap kondisi suatu
kelompok tertentu. Hal ini dapat menciptakan suatu hubungan yang harmonis
antar kelompok budaya.
b. Stereotip Negatif
Stereotip Negatif merupakan dugaan atau gambaran yang bersifat negatif yang
dibebankan kepada suatu kelompok tertentu. Apabila stereotip yang hadir dalam
masyarakat adalah stereotip yang negatif terhadap suatu kelompok tertentu, hal
ini akan menjadi sebuah ancaman, sehingga dapat menghambat komunikasi
keduanya karena terbangun jarak akibat stereotip tersebut. Bahkan lebih dari itu,
stereotip terhadap suatu kelompok akan memicu terjadinya konflik antar
kelompok, padahal stereotip yang terbangun pada suatu kelompok tertentu
belum tentu dapat dibuktikan kebenarannya.
Namun di samping itu stereotip juga memiliki sebuah fungsi lainnya,
diantaranya (Mufid, 2010: 54):
a. Menggambarkan suatu kondisi kelompok
b. Memberikan dan membentuk citra kepada kelompok
c. Membantu seseorang dari suatu kelompok untuk mulai bersikap terhadap
kelompok lainnya
d. Melalui stereotip ini kita dapat menilai keadaan suatu kelompok
26
2.2.1.1. Macam-macam stereotip
Stereotip memiliki beragam macamnya, diantaranya ialah (Mulyana,
2008:238):
1. Stereotip berdasarkan jenis kelamin, misalnya: laki-laki kuat sedangkan
perempuan lemah
2. Stereotip berdasarkan etnis, misalnya: Batak kasar sedangkan Jawa lembut atau
halus
3. Stereotip berdasarkan negara, misalnya: Jerman orangnya kaku, dan Indonesia
orangnya ramah
4. Stereotip berdasarkan usia,misalnya: orang yang umurnya lebih tinggi akan
selalu berbicara menggurui kepada orang yang berumur di bawahnya.
5. Stereotip berdasarkan ekonomi, misalnya: orang yang tingkat ekonominya
tinggi akan berpenampilan mewah, sedangkan orang dengan tingkat ekonomi
yang biasa, akan berpenampilan sederhana.
2.2.1.2 Penyebab Stereotip
Sesuatu hal yang terjadi tentunya memiliki penyebab atau faktor pendorong,
begitu pula dengan stereotip. Menurut Baron dan Paulus, ada beberapa faktor yang
berperan diantaranya (Mulyana, Deddy, 2007: 239-240) :
1. Manusia cenderung membagi dunia ini ke dalam dua kategori: kita dan
mereka.. Oleh karena itu hal yang terjadi ialah, kurangnya informasi mengenai
27
diri seorang individu, dan lupa mengenai karakter masing-masing dari setiap
individu.
2. Seperti yang diungkapkan oleh Lippmann: “ tidak melihat dulu, lalu
mendefinisikan; mendefinisikan dulu dan kemudian melihat.” Dengan kata
lain, tidak berusaha mengenal terlebih dahulu mengenai individu tersebut,
cinderung mengasumsikan atau mendefinisikan terlebih dahulu seorang
individu berdasarkan informasi yang belum jelas kebenarannya.
Sementara dalam buku milik Mufid (2009: 261) disebutkan beberapa faktor
yang mempengaruhi terjadinya stereotip, diantaranya ialah:
1. Manusia butuh sesuatu untuk menyederhanakan realitas kehidupan yang bersifat
kompleks
2. Manusia butuh sesuatu untuk menghilangkan rasa cemas (anxiety) ketika
berhadapan dengan lingkungan baru, sehingga memunculkan stereotip
3. Manusia butuh cara yang ekonomis untuk membentuk gambaran dari dunia
sekitarnya
4. Manusia mengandalkan informasi dari pihak lain, dalam hal ini media sebagai
jendela dunia, hal ini mendorong terjadinya duplikasi stereotip.
Dari beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat dilihat faktor terpenting dari
munculnya sebuah strereotip adalah informasi. Ketika seorang individu tidak jeli
28
dalam mencari informasi, atau hanya mengandalkan satu sisi informasi saja, maka
disitu akan muncul sebuah stereotip yang dapat membahayakan.
2.2.2 Stereotip Budaya
Stereotip budaya merupakan salah satu jenis dari stereotip yang sudah
dijelaskan di atas. Pada stereotip budaya yang golongkan adalah kebiasaan dari suatu
kelompok tertentu. Sebagai contoh seperti yang telah dituliskan oleh Samovar, Porter
dan McDaniel dalam buku Komunikasi Lintas Budaya Communication Between
Cultures bahwa ketika orang dari budaya lain menyimpulkan bahwa semua orang
Amerika menggunakan topi baseball kemanapun mereka pergi dan kebanyakan dari
mereka memakan makanan cepat saji.
Hal tersebutlah yang disebut stereotip budaya, di mana orang dari kelompok
budaya lain mengasumsikan karakteristik anggota kelompok budaya lainnya yang
kebenarannya masih diragukan atau bisa jadi salah. Seperti yang dikatakan oleh
Huntington bahwa karakteristik budaya yang terpenting ini meliputi empat hal
diantaranya (Samovar, LA., Porter, ER., McDaniel, RE, 2010: 31)
1. Bahasa
2. Agama
3. Tradisi
4. Kebiasaan
Oleh karena itu stereotip budaya menjadi sangat terkenal, karena sangat mudah
dibuat. Ketika seseorang dari budaya lain menyamaratakan seseorang yang berasal
29
dari kelompok budaya yang berbeda, itu sudah menjadi suatu sikap stereotip budaya.
Seperti halnya budaya Jawa yang dianggap bahwa oang-orang dari suku Jawa
cinderung santun, bertindak pelan-pelan, rendah hati, dan halus tutur katanya.
Scarborough pernah mengungkapkan mengenai hubungan komunikasi antar
budaya dan stereotip. Ia mengatakan “Ketika menyamaratakan sekelompok orang,
sama seperti yang dilakukan dalam menjelaskan budaya, kita berhadapan dengan isu
stereotip.”
Maka dari itu ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghindari
sebuah stereotip terutama stereotip budaya, diantaranya:
1. Generalisasi budaya harus dilihat sebagai taksiran, bukan sebagai hal yang
mutlak. Artinya, ketika memiliki pengalaman baik atau buruk dengan
seseorang yang berasal dari budaya tertentu, maka hal tesebut tidak bisa
dijadikan sebagai tolak ukur untuk menilai seluruh anggota kelompok
tersebut sama baik atau buruknya.
2. Ketika membuat generalisasi, hal tersebut harus berhubungan dengan apa
yang disebutkan oleh Scarborough sebagai “nilai-nilai inti”. Di mana dalam
mengelompokkan suatu kelompok budaya tertentu, harus mengetahui
dahulu kebiasaan-kebiasaan budayanya. Karena bisa saja apa yang mereka
lakukan terhadap itu adalah salah satu kebiasaan yang dianggap biasa di
dalam budayanya (Samovar, LA., Porter, ER., McDaniel, RE, 2010:50-52).
30
2.2.3. Budaya Jawa
Berbicara masalah kebudayaan Jawa, seperti diketahui, bahwa kebudayaan Jawa
telah tua umurnya sepanjang orang Jawa ada sejak itu pula orang Jawa memiliki citra
progresif dengan mengekspresikan karyanya lewat budaya. Budaya Jawa adalah
pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-
cita, ide dan semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan
hidup lahir batin (Endraswara, 2005: 1).
Budaya Jawa lahir dan berkembang, pada awalnya, di pulau Jawa yaitu suatu
pulau yang panjangnya lebih dari 1.200 km dan lebarnya 500 km bila diukur dari
ujung-ujungnya yang terjauh. Letaknya di tepi sebelah selatan kepulauan Indonesia,
kurang lebih tujuh derajat di sebelah selatan garis khatulistiwa (Endraswara, 2005: 6).
Budaya Jawa bersifat sinkretis yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu,
Hindu- Jawa, dan Islam serta animisme. Menurut Achmadi seperti dikutip
Endraswara (2005: 12-13), bahwa dalam segala perkembangannya itu, kebudayaan
Jawa masih tetap pada dasar hakikinya, yang menurut berbagai kitab Jawa Klasik dan
peninggalan lainnya dapat dirumuskan dengan singkat sebagai berikut:
a) Orang Jawa percaya dan berlindung kepada Sang Pencipta, Zat Yang
Mahatinggi, penyebab dari segala kehidupan, adanya dunia dan seluruh alam
semesta dan hanya ada Satu Tuhan, Yang awal dan Yang akhir;
b) Orang Jawa yakin bahwa manusia adalah bagian dari kodrat alam. Manusia dan
kodrat alam senantiasa saling mempengaruhi namun sekaligus manusia harus
sanggup melawan kodrat untuk mewujudkan kehendaknya, cita-cita, atupun
31
fantasinya untuk hidup selamat sejahtera dan bahagia lahir batin. Hasil
perjuangannya (melawan kodrat) berarti kemajuan dan pengetahuan bagi
lingkungan atau masyarakatnya. Maka terjalin kebersamaan dan hidup rukun
dengan rasa saling menghormati, tenggang rasa, budi luhur, rukun damai;
c) Rukun damai berarti tertib pada lahirnya dan damai pada batinnya, sekaligus
membangkitkan sifat luhur dan perikemanusiaan. Orang Jawa menjunjung
tinggi amanat semboyan memayu hayuning bawana yang artinya memelihara
kesejahteraan dunia.
Dasar hakiki kebudayaan Jawa mengandung banyak unsur, termasuk adab pada
umumnya, adat-istiadat, sopan santun, kaidah pergaulan (etik), kesusastraan,
kesenian, keindahan (estetika), mistik, ketuhanan, falsafah dan apapun yang termasuk
unsur kebudayaan pada umumnya (Endraswara, 2005 : 3).
2.3 Tinjauan Efektivitas Komunikasi
2.3.1 Definisi Efektivitas Komunikasi
Semua orang yang melakukan komunikasi pasti memiliki harapan. Harapan
tersebut tentunya menginginkan apa yang dikomunikasikan atau pesan yang
disampaikan berhasil sampai di telinga komunikan dengan maksud yang tepat dan
dapat menimbulkan sebuah efek. Persoalan utama dalam efektivitas komunikasi ialah
sejauh mana motif komunikasi dari seorang komunikan terwujud pada diri
komunikan.
32
Komunikasi yang efektif dilihat dari sejauh mana komunikator mampu
beorientasi kepada komunikannya. Hal yang perlu diperhatikan di sini ialah
pemilihan bentuk pesan, makna pesan, struktur pesan, dan cara penyajiannya,
termasuk pemilihan media (Vardiansyah, 2004:111).
Komunikasi dapat efektif apabila pesan diterima dan dimengerti sebagaimana
maksud oleh pengirim pesan, kemuadian pesan ditindak-lanjuti dengan sebuah
perbuatan oleh penerima pesan dan tidak ada hambatan untuk hal itu (Daryanto,
2010:147). Sementara menurut Stephen R. Covey (Mufid, 2009: 129) komunikasi
yang efektif adalah komunikasi yang mengandalkan kepercayaan (trust) dan empati,
ketika seseorang ingin membuat sebuah pesan cepat sampai maka, hubungan manusia
harus dibangun terlebih dahulu di dalamnya. Penyebab dari segala kesulitan dalam
komunikasi ialah harapan yang berbeda dengan tujuan.
Maka dari kedua definisi di atas maka dapat dipahami bahwa sebuah
efektivitas komunikasi akan timbul diawali dengan rasa saling percaya, sehingga akan
memudahkan komunikator dalam menyampaikan pesan kepada komunikan karena
sudah terjalinnya hubungan manusia di antara keduanya. Hal yang penting diingat
juga bahwa pemilihan media juga mempengaruhi efektivitas komunikasi.
2.3.2 Faktor Penentu Efektivitas Komunikasi
Komunikasi yang efektif tentunya tidak hanya berlangsung begitu saja. Akan
ada faktor-faktor penentu untuk menjadikan komunikasi tersebut menjadi efektif.
33
Menurut Steward L Tubbs komunikasi dapat dikatakan efektif ketika terdapat paling
tidak lima indikasi didalamnya, antara lain (Ilaihi, 2010: 157):
1. Pengertian, Maksud atau isi pesan dari komunikator tersampaikan secara jelas
dan benar kepada penerima pesan atau komunikan.
2. Kesenangan, Tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan
informasi dan pengertian. Misalkan dengan mengucapkan “selamat pagi”, hal
ini tidak lantas dimaksudkan untuk mencari keterangan atau informasi.
Komunikasi seperti ini ditujukan untuk menimbulkan kesenangan, sehingga
timbul hubungan antar individu yang hangat, akrab dan menyenangkan.
3. Pengaruh pada sikap, komunikator dapat memberikan pengaruh terhadap
sikap audiens atau komunikannya atau disebut dengan komunikasi persuasif.
Komunikasi persuasif memerlukan pemahaman tentang faktor-faktor pada diri
komunikator dan pesan yang menimbulkan efek pada komunikan.
4. Hubungan sosial yang semakin baik, komunikasi bertujuan untuk
menumbuhkan hubungan sosial yang baik dalam hal interaksi, pengendalian,
kekuasaan dan cinta kasih.
5. Tindakan, yang dimaksudkan tindakan dalam hal ini ialah tindakan persuasi,
di mana dalam hal ini efektivitas komunikasi diukur dari bagaimana tindakan
nyata yang dilakukan oleh komunikan. Untuk menimbulkan tindakan,
sebelumnya harus dibentuk terlebih dahulu pengertian, membentuk dan
mengubah sikap.
34
Selanjutnya untuk mengidentifikasi apakah sebuah komunikasi tersebut telah
efektif atau belum, maka ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan. Menurut
Ilaihi dalam bukunya, ada beberapa faktor yang menentukan keefektifan sebuah
komunikasi, diantaranya (Ilaihi, 2010: 158-161):
1. Kejelasan tujuan dan target
Semakin spesifik tujuan dan taget maka komunikasi yang dihasilkan akan
semakin baik, karena komunikasi tersebut akan semakin fokus. Dalam kondisi
factual komunikan dapat diukur dengan pendekatan model Product Lifetime
Cycle yang meliputi empat tahap sebagai berikut:
a. Tahap lahir, dimana pada tahap ini ide, pemikiran, konsep dan eksistensi
belum memiliki target yang besar, akan tetapi memiliki potensi yang besar
b. Tahap Tumbuh, tahap ini merupakan tahap transisi di mana ide, pemikian,
konsep dan eksistensi tersebut dapat diterima oleh komunikan. Hal ini
ditandai dengan apresiasi yang terus bertambah
c. Tahap Dewasa, tahap di mana permintaan berada di posisi maksimal, tidak
mengalami peningkatan dan petumbuhannystagnan.
d. Tahap Turun, di mana pangsa pasar tidak dapat dipertahanankan.
2. Kejelasan target audiens
Kejelasan target audiens menjadi salah satu faktor penentu, dikarenakan
ketika target audiens semakin jelas maka efek komunikasi yang dihasilkan
akan semakin tepat sasaran. Maka dari itu penting untuk membuat sebuah
35
klasifikasi target audiens untuk melihat proses dari yang tidak tahu sama
sekali hingga akhirnya akan tahu, mendukung dan ikut terlibat.
3. Strategi pesan
Keberhasilan komunikasi akan terlihat ketika pesan yang disampaikan telah
sampai secara benar kepada penerimanya. Untuk itu ada beberapa hal yang
penting untuk dipersiapakan dalam menyampaikan pesan, diantaranya fokus
pesan yang akan disampaikan dan cara menyampaikannya. Semakin
sederhana penyampaiannya maka akan semakin mudah pesan tersebut
dipahami.
4. Strategi media
Pemilihan media juga menjadi salah satu faktor penentu keefektifan
komunikasi. Komunikator harus tau media apa yang tepat untuk sarana
penyampaian pesannya.
2.3.3 Teknik Komunikasi Efektif
Teknik komunikasi efektif menurut Daryanto (2010: 151) bergantung pada
beberapa hal, diantaranya:
1. Teknik Komunikasi Efektif - Cara Penyampaian Pesan
Penyampaian pesan dapat dilakukan dengan gestures/ isyarat, gerak-gerik,
barang dan ekspresi. Untuk karakteristik penyampaian pesanpun ada
bermacam-macam, diantaranya sebagai berikut:
36
a) Repetition: pengulangan pesan yang dilakukan individu secara lisan.
b) Contradiction: pertentangan pesan untuk disampaikan
c) Subtituion: Pengganti dari pesan
d) Complementing: Melengkapi pesan verbal
e) Accenting: Penekanan yang digaris bawahi
Jadi untuk menyampaikan suatu pesan, komunikator harus memahami
karakteristik pesan di atas. Agar dalam penyampaiannya nanti tidak ada
kesalahan atau ketidak jelasan pesan.
2. Teknik Komunikasi Efektif - Peran Bahasa
Menurut Collins Cobuild (Daryanto, 2011: 152) bahasa merupakan suatu
sistem yang terdiri dari seperangkat bunyi dan lambang tertulis dan digunakan
oleh orang-orang pada suatu negara atau wilayah tertentu untuk berbicara dan
menulis.
Dengan demikian maka, untuk menghasilkan sebuah komunikasi yang efektif
maka komunikator harus mengetahui bahasa yang digunakan oleh
komunikannya. Selain itu untuk meminimalisir kesalahan, komunikator dapat
menggunakan bahasa pengganti, atau bahasa universal yang diketahui oleh
kedua belah pihak.
3. Teknik Komunikasi Efektif – Berbicara
Cara berkomunikasi yang baik adalah berbicara dengan cara yang tepat.
Berbicara tentunya membutuhkan sebuah keterampilan. Selain keterampilan
37
untuk berbicara dengan baik seorang komunikator harus memperhatikan gaya
bicaranya agar dapat menimbulkan daya tarik. Beberapa hal harus
diperhatikan ketika berbicara ialah: pakaian yang serasi, pandangan mata, raut
muka, sikap badan, suara, tulisan, senyum, berjabat tangan, terlihat senang
dan sukses, nama dan daya tarik.
4. Teknik Komunikasi Efektif - Menciptakan hubungan baik
Menciptakan hubungan yang baik tentunya juga sangat berguna untuk
menghasilkan komunikasi yang efektif. Menciptakan hubungan baik yang
dimaksud adalah, dengan berbicara jujur, menampilkan rasa empati terhadap
sesama, memberikan gambaran mengenai apa yang dikomunikasiakan dan
juga mengedepankan komunikasi untuk memecahkan sebuah masalah.
Dengan begitu pihak yang terlibat atau komunikan akan merasa nyaman
berkomunikasi dengan komunikator dan akan memberikan efek dari
komunikasi tersebut.
5. Teknik Komunikasi Efektif - Mendengar dengan baik
Menjadi pendengar yang baik juga akan meningkatkan efektivitas
komunikasi. Strategi komunikator saat berkomunikasi juga berpengaruh pada
psikologi komunikan untuk dapat mendengarkan komunikator dengan baik.
Menjadi pendengar yang baik dapat dilakukan dengan hal-hal berikut:
a) Perhatikan dengan saksama,
b) Pahami apa yang disampaikan,
38
c) Ingat apa yang disampaikan,
d) Samakan interpetasi dan
e) Beri respon atas apa yang telah di sampaikan.
6. Teknik Komunikasi Efektif – Komunikasi Respektif
Komunikasi respektif adalah komunikasi yang saling menghargai diantara
para pelaku komunikasi. Fungsinya adalah untuk membangun kepercayaan
orang lain terhadap diri sendiri. Ada beberapa prinsip dari komunikasi
respektif, diantaranya:
a) Berprasangka positif
b) Berorientasi pada solusi
c) Kejujuran
d) Perasaan
e) Feeling
f) Komunikasi
2.3.4 Prinsip Dasar Komunikasi Efektif
Seperti komunikasi pada umumnya, keefektifan suatu komunikasi juga
didasarkan pada suatu prinsip. Prinsip-prinsip tersebut menurut Ilaihi terbagi menjadi
dua prinsip yaitu prinsip berbicara efektif dan mendengar yang aktif (Ilaihi, 2010:
163-164).
39
1. Prinsip berbicara efektif
Indikasi dari prisip ini ialah: artikulasi yang jelas, hemat kata, bahasa yang
mudah dipahami, suara yang jelas. Sebuah komunikasi dikatakan efektif
apabila menaik untuk didengar, sasaran tercapai (informstif, ajakan atau
imbauan, agumentatif dan instuktif).
2. Mendengar dengan aktif
Mendengar juga salah satu bagian dari komunikasi. Ada sebuah ungkapan
mengatakan “Kalau ingin didengar orang maka belajarlah menjadi pendengar
yang baik”. Mendengar dengan aktif di sini yang dimaksud ialah, mendengar
untuk mengerti mengenai isi pesan yang disampaikan.
Adapun prinsip lain dari komunikasi yang efektif yang dikenal dengan hukum
REACH yang juga disebut “The 5 Inevitable Laws of Effective Communication”
yakni:
1. Respect : Dimana seorang komunikator harusnya dapat menghargai
komunikan atau menjaga diri orang lain.
2. Empathy : Kemampuan untuk menempatkan diri pada situasi yang sedang
dirasakan orang lain. Hal ini juga dapat diartikan kemampuan untuk
menerima masukan atau umpan balik dengan sikap yang positif.
3. Audible : Apa yang dikomunikasikan oleh komunikator dapat dimengerti
dengan baik.
40
4. Clarity : Pesan yang disampaikan tidak multi tafsir, atau tidak menimbulkan
berbgai penafsiran.
5. Humble : Tidak memandang rendah diri orang lain, berani mengakui
kesalahan, rendah hati, juga lemah lembut.
Dari beberapa pripsip di atas dapat dilihat bahwa dalam menghadirkan
komunikasi yang efektif, antara komunikan dan komunikator harus saling
menghargai satu sama lain. Mengerti kondisi sekitar, juga menjadi salah satu pripsip
agar komunikasi menjadi efektif. Meskipun kedua pendapat tersebut memiliki
perbedaan di butir-butir pripsipnya, namun makna yang berusaha disampaikan sama.
2.4 Kerangka Berpikir
Penelitian ini dilakukan pada perkumpulan mahasiswa Lombok yang
menunjukkan adanya indikasi komunikasi antar budaya. Hal tersebut disebabkan oleh
banyaknya perbedaan budaya yang di bawa oleh mahasiswa-mahasiswi yang datang
dari berbagai daerah. Salah satunya komunikasi yang terjadi antara mahasiswa etnik
Lombok sebagai budaya minoritas dan mahasiswa etnik Jawa sebagai budaya
mayoritas. Keduanya hidup berdampingan dan saling berinteraksi.
Hal ini seperti yang telah disebutkan pada teori jarak sosial, bahwa dalam
komunikasi antar budaya akan terdapat sebuah kelompok dominan. Di mana hal itu
akan memunculkan sebuah jarak sosial yang dapat disebabkan oleh munculnya
stereotip pada perilaku masyarakat Jawa sebagai kelompok dominan. Di mana jarak
41
sosial tersebut jika semakin jauh jaraknya akan memunculkan ke tidak akrab an
anatara masyarakat Jawa dan mahasiswa Lombok.
Penelitian ini juga berpijak pada teori dari William Gudikunst mengenai
pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian (AUM). Teori tersebut digunakan dalam
segala situasi yang menunjukkan adanya keraguan dan ketakutan dalam proses
komunikasi antar budaya, selain itu teori ini juga digunakan untuk melihat efektivitas
komunikasi yang terjadi diantara kebudayaan yang berbeda melalui metode midful.
Gudykunts mengatakan bahwa sebuah komunikasi antar budaya akan berjalan efektif
ketika kondisi psikis dari kedua pelaku komunikasi tersebut telah stabil. Kondisi
psikis yang dimaksud dalam hal ini ialah, kecemasan dan ketidakpastian yang muncul
akibat dari adanya perbedaan-perbedaan budaya. Penelitian ini berasumsi bahwa
sikap stereotip telah memunculkan sebuah keraguan, sehingga dalam proses
komunikasi yang berlangsung hal tersebut bisa menjadi faktor pemicu tidak
efektifnya sebuah komunikasi.
Bagan 2.1 Kerangka Berpikir
Stereotip
(Variabel X)
Efektivitas
Komunikasi
(Variabel Y)
42
2. 5 Definisi Konseptual
Definisi konseptual merupakan batas terhadap masalah-masalah variabel yang
dijadikan pedoman dalam penelitian, sehingga tujuan dan arahnya tidak menyimpang.
Dari rumusan masalah yang sudah ada, maka definisi konseptual yang terbentuk
dalam penelitian ini adalah:
1. Stereotip
Stereotip adalah sebuah cara pandang terhadap suatu kelompok sosial, di
mana cara pandang tersebut lalu digunakan pada setiap anggota kelompok
tersebut. Seperti yang terjadi pada stereotip budaya, di mana orang dari suatu
kelompok budaya mengasumsikan karakteristik kelompok budaya lain dengan
anggapan yang belum tentu benar. Karakteristik budaya tersebut meliputi
bahasa, agama, tradisi dan kebiasaan.
2. Efektivitas Komunikasi
Sebuah komunikasi dapat dikatakan efektif apabila pesan diterima dan
dimengerti sebagaimana maksud oleh pengirim pesan, kemudian pesan
ditindak-lanjuti dengan sebuah perbuatan oleh penerima pesan dan tidak ada
hambatan untuk hal itu. L Tubbs mengatakan bahwa komunikasi dapat
berjalan efektif apabila terdapat lima indikasi di dalamnya, diantaranya
pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan sosial yang baik, dan
tindakan.
43
2.6 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian,
di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat
pertanyaan. Arti dari kata sementara karena, jawaban yang diberikan baru didasarkan
pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh
melalui pengumpulan data (Sugiyono, 2009: 96).
Berdasarkan perumusan masalah yang sudah dibahas di bab sebelumnya, maka
hipotesis yang digunakan sebagai berikut :
H0 :. Tidak ada hubungan antara stereotip pada perilaku masyarakat Jawa dengan
efektivitas komunikasi di kalangan mahasiswa Lombok.
H1 :Ada hubungan antara stereotip pada perilaku masyarakat Jawa dengan
efektivitas komunikasi di kalangan mahasiswa Lombok.