bab ii tinjauan pustaka 2.1 kerangka konsep · 2020-03-11 · bab ii tinjauan pustaka . 2.1...

19
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Konsep Pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang dikelilingi oleh simbol- simbol. Manusia menciptakan beragam simbol dengan tujuan untuk menjelaskan kondisi nyata atau sebenarnya. Oleh karenanya simbol dapat dikatakan sebagai penamaan dari seorang manusia pada suatu benda atau suatu objek tertentu. Contoh sederhana dari simbol ialah pemberian nama dari orang tua kepada anaknya. Nama digunakan untuk menjadi tanda bagi anak yang notabenenya merupakan objek nyata atau empiris. Berbagai bidang keilmuan mengembangkan beragam simbol berupa konsep. Mohtar Maso‟ed (1994: 93-94) menjelaskan bahwasannya konsep merupakan abstraksi yang merepresentasikan suatu objek, sifat suatu objek, atau suatu fenomena tertentu. Mas‟oed menambahkan, seyogyanya konsep ialah kata yang melambangkan gagasan atau pemikiran dan digunakan untuk menyederhanakan dunia empiris yang kompleks. Sebagai contoh, beberapa konsep yang dikenal yakni, “demokrasi”, “perang”, “damai” dan sebagainya. Berdasarkan judul penelitian mengenai rivalitas hegemoni Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok melalui kebijakan Chinese Dream dan Free and Open Indo-Pacific di kawasan Indo-Pasifik pada tahun 2017-2018, maka konsep yang berikutnya akan dijabarkan ialah kawasan Indo-Pasifik, hegemoni dan rivalitas.

Upload: others

Post on 25-May-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Konsep

Pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang dikelilingi oleh simbol-

simbol. Manusia menciptakan beragam simbol dengan tujuan untuk menjelaskan

kondisi nyata atau sebenarnya. Oleh karenanya simbol dapat dikatakan sebagai

penamaan dari seorang manusia pada suatu benda atau suatu objek tertentu.

Contoh sederhana dari simbol ialah pemberian nama dari orang tua kepada

anaknya. Nama digunakan untuk menjadi tanda bagi anak yang notabenenya

merupakan objek nyata atau empiris.

Berbagai bidang keilmuan mengembangkan beragam simbol berupa

konsep. Mohtar Maso‟ed (1994: 93-94) menjelaskan bahwasannya konsep

merupakan abstraksi yang merepresentasikan suatu objek, sifat suatu objek, atau

suatu fenomena tertentu. Mas‟oed menambahkan, seyogyanya konsep ialah kata

yang melambangkan gagasan atau pemikiran dan digunakan untuk

menyederhanakan dunia empiris yang kompleks. Sebagai contoh, beberapa

konsep yang dikenal yakni, “demokrasi”, “perang”, “damai” dan sebagainya.

Berdasarkan judul penelitian mengenai rivalitas hegemoni Amerika

Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok melalui kebijakan Chinese Dream dan

Free and Open Indo-Pacific di kawasan Indo-Pasifik pada tahun 2017-2018,

maka konsep yang berikutnya akan dijabarkan ialah kawasan Indo-Pasifik,

hegemoni dan rivalitas.

8

Gambar 1.

Peta Kawasan Indo-Pasifik

Sumber: Dive The World: https://www.dive-the-world.com/maps-

indian-pacific-ocean.php, 28 Agustus 2018.

2.1.1 Kawasan Indo-Pasifik

Konsep Indo-Pasifik pertama kali diperkenalkan di dalam tulisan

ilmiah pada tahun 2007 oleh Gurpreet Khurana berjudul “Security of Sea

Lines: Prospects for India-Japan Cooperation”. Istilah „Indo-Pasifik‟

digunakan untuk merujuk pada kombinasi Samudra Hindia dan Samudra

Barat Pasifik – termasuk perairan lepas Asia Timur dan Asia Tenggara

(Khurana, 2017: 1). Dewasa ini signifikansi Indo-Pasifik sebagai suatu

kawasan menjadi perhatian internasional pasca pidato kenegaraan Menteri

Pertahanan Australia, Stephen Smith, pada kegiatan Shangri-La Dialogue

tahun 2012 sebagai berikut, (Scott, 2012:85-86):

“Seperti yang beberapa sebut ... Indo-Pasifik. Apapun labelnya ...

implikasi dari pergeseran historis kepada Indo-Pasifik terus terungkap ...

Di antara pemain kunci – seperti Tiongkok, India dan Amerika Serikat ...

Indo-Pasifik telah bangkit sebagai wilayah signifikan bagi strategi global

termasuk pertumbuhan proyeksi kekuatan militer negara-negara di Indo-

Pasifik. Samudra Hindia dan Samudra Pasifik terbentang di Kepulauan

Asia Tenggara timbul sebagai sistem strategis tunggal”.

9

Bishoyi (2015: 92) dalam Journal of Defence Studies menegaskan

bahwasannya kawasan Indo-Pasifik menjadi penting dalam mengukur

perdamaian dan kesejahteraan dunia karena kawasan ini tidak hanya

merepresentasikan aspek geografi, melainkan lebih dari pada itu

merupakan pusat gravitasi perekonomian, politik dan kepentingan

strategis. Indo-Pasifik hadir terlepas dari pendikotomian regional secara

tradisional – layaknya regionalisme berbasis ruang geografis – melainkan

mengarah pada kecenderungan persaingan kekuatan. Persaingan kekuatan

yang dimaksud mendapatkan titik pengejawantahannya seperti tajuk “a

free and open Indo-Pacific” oleh Presiden Donald Trump yang hanya

berselang beberapa minggu setelah Tiongkok memasukan implementasi

Belt Road Initiative (BRI) secara konstitusional dalam Kongres Partai

Komunis Tiongkok ke-19, 24 Oktober 2017 (Soong, 2018: 12-13).

Di sisi lain, aspek keamanan dan politik ikut berkelindan dengan

letak Indo-Pasifik yang begitu signifikan, khususnya bila melihat fakta

bahwa lebih dari 90 persen transportasi perdagangan dunia melalui jalur

laut, sehingga negara yang mampu memenuhi kebutuhan pengamanan

kemaritiman dan berpengaruh pada manuver politik di kawasan Indo-

Pasifik secara langsung akan menaikan posisi tawar negara tersebut. Nilai

penting Indo-Pasifik pada aspek keamanan dan politik yang dimaksud

kemudian ditambah dengan kekayaan gas alam yang menjadi bahan bakar

industri dunia; terdiri atas banyak titik vital perdagangan dunia, termasuk

Selat Malaka; dan menjadi daerah dengan beragam sengketa wilayah,

semisal sengketa Laut Tiongkok Selatan yang mengandung nilai keamanan

– bilamana dijadikan pangkalan militer – dan sengketa Kepulauan

Senkaku atau Diayou antara Jepang dan Tiongkok.

Berhubungan dengan penelitian mengenai rivalitas hegemoni RRT

dan AS di kawasan Indo-Pasifik, maka peneliti menilai penjabaran

konseptual berguna pada dua aspek. Aspek pertama ialah mengenai

kepentingan memperjelas tata letak atau posisi Indo-Pasifik, sehingga

menjadi mudah mengidentifikasi geografis kawasan tersebut. Aspek kedua

10

ialah menjadi langkah awal penggambaran signifikansi kawasan Indo-

Pasifik, khususnya bilamana berangkat dari pidato Stephen Smith tahun

2012.

2.1.2 Hegemoni

Secara terminologi, istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani

kuno, „hegemonia‟, yang berarti dominasi atau penindasan suatu elemen

kepada elemen yang lain di dalam suatu sistem. Sejalan dengan sisi

historis kebahasaannya, dewasa ini ide utama dari konsep hegemoni

diidentikan dengan keberadaan kekuatan dominan tunggal di dalam sistem

internasional untuk memastikan stabilitas politik dan ekonomi

internasional. Stabilitas yang dimaksud hanya dapat terjadi bilamana

entitas tertentu memiliki posisi dan kapabilitas serta kekuasaan untuk

menetapkan aturan dan norma dalam sistem internasional. Di lain sisi,

Barry Gills dalam “Hegemony and Social Change” menjelaskan

bahwasannya suatu negara dapat menjadi hegemoni ketika memiliki

kombinasi karakteristik yang stabil dan kuat antara militer, politik dan

ekonomi (Chase Dunn, dkk., 1994: 371).

Pertama, negara hegemon harus mempunyai kekuatan militer kuat,

bahkan diusahakan menjadi yang terkuat bila dibandingkan dengan rival-

rivalnya. Kekuatan militer yang dimaksud dewasa ini diidentikan dengan

jumlah populasi; luas wilayah negara; nilai anggaran militer; total personel

militer; armada angkatan darat, laut dan udara; dan senjata nuklir sebagai

alat terbaru untuk mengindikasikan besarnya kekuatan militer suatu

negara. Semakin banyak jumlah unit alutsista dari indikator yang

dimaksud, serta semakin baik kualitas unit tersebut – kebaharuan produksi

dan kekuatan, serta jarak jangkau – maka semakin tinggi kesempatan

menjadi hegemoni militer.

Kedua, negara hegemoni memiliki pengaruh politik yang besar dan

hubungan asosiatif dengan banyak negara, termasuk dengan negara-negara

besar. Maksud dari hegemoni politik ini ialah bahwa negara yang

11

bertujuan untuk menjadi hegemon – dan negara yang telah menjadi

hegemon – ditentukan dari pengaruh politik yang diciptakan. Penciptaan

pengaruh tersebut secara umum dilakukan melalui kerangka kerja sama

multilateral, melalui organisasi pemerintahan internasional

(intergovernmental organizations, IGOs) sehingga terjadi relasi

dependensi antara negara kuat dengan negara kecil, yang mana bermuara

pada pengaruh politik asimetris dengan negara hegemon berada di puncak

kekuasaan. Selain itu, hegemoni politik dapat diejawantahkan melalui

usaha-usaha penciptaan stabilitas suatu kawasan tertentu.

Ketiga, hegemoni ekonomi bekerja dengan aliansi-aliansinya guna

mengarahkan ekonomi global sehingga hasil keluaran dari institusi

internasional tersebut sejalan dengan nilai dan keinginan aliansi.

Mengarahkan ekonomi dan mengadakan keinginan aliansi inilah yang

selanjutnya dimaknai Yazid (2015: 68-69) sebagai barang publik (public

good). Barang publik tersebut dapat berupa pemberian bantuan tunai atau

piutang dari negara hegemon kepada negara subordinat; pengadaan

infrastruktur semisal jalan, jembatan, jalur kereta dan pelabuhan yang

bertujuan memudahkan arus ekonomi (dari produksi hingga konsumsi);

atau pembentukan badan yang mampu mempengaruh sistem

perekonomian dunia melalui kebijakan keuangan, dalam hal ini dapat

berupa bank multinasional atau bank konvensional yang dijalankan oleh

satu negara tertentu.

Merangkum poin-poin pemikiran Barry Gills, penulis sepakat

dengan Snidal (1985: 581) bilamana negara-negara memandang

keberadaan aktor hegemon sebagai kondisi saling menguntungkan, akan

tetapi hegemoni bukan merupakan suatu kondisi yang rigid dan permanen.

Artinya ialah hegemoni dari suatu negara tidak merupakan akhir dari

dinamika hubungan internasional, dikarenakan kemungkinan-

kemungkinan akan hadirnya negara lain yang berkompetisi akan

menghantarkan dunia pada transformasi. Sesuai dengan nosi tersebut,

Robert Cox dalam “Hegemony and Social Change” kemudian menarasikan

12

sebagai berikut: “hegemoni tidak pernah selesai. Selalu ada beberapa

oposisi yang diprovokasi oleh suatu tatanan hegemonik, beberapa

kontradiksi dihasilkan yang menuntun pada transformasi” (Chase Dunn,

dkk., 1994: 366).

Adapun berkaitan dengan penelitian rivalitas hegemoni antara

Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Amerika Serikat (AS) ini, peneliti

menggunakan konsep hegemoni dengan beberapa tujuan. Tujuan pertama,

berkenaan dengan karakteristik atau ciri-ciri guna mengidentifikasi

bagaimana kebijakan RRT dan AS dipakai sebagai instrumen mengejar

hegemoni di kawasan Indo-Pasifik. Kedua, konsep hegemoni diuraikan

dengan tujuan memahami alasan dibalik keputusan negara-negara di

kawasan Indo-Pasifik untuk mendukung salah satu dari RRT dan AS

mencapai keadaan hegemon – entah dengan alasan keterpaksaan maupun

dikarenakan ketiadaan pilihan lain. Di sisi lain konsep hegemoni juga

penting sebagai pengingat bahwa hegemoni itu sendiri bersifat dinamis,

sehingga baik RRT maupun AS berkesempatan untuk menjadi negara

hegemon di kawasan Indo-Pasifik.

2.1.3 Rivalitas

Terminologi rivalitas telah relatif lama menjadi bagian dari

leksikon pengkaji ilmu hubungan internasional, di mana pada tataran yang

sederhana rivalitas diasosiasikan dengan perasaan kebencian dan

kompetisi antara negara-negara. Hubungan rivalitas kemudian menjadi

sulit terputus dikarenakan setiap pihak mengartikan tindakan lawannya

dalam konteks ancaman. Di sisi lain, rivalitas antara dua negara yang

cenderung setara ini menjadikan situasi sulit diubah lantaran pihak-pihak

tersebut tidak bisa mengatasi atau menegasi satu sama lain. Akan tetapi,

guna pendapatkan konsep operasional yang lebih mendalam, peneliti

sependapat dengan tiga komponen rivalitas menurut Diehl dan Goertz

(2000: 19-26), yakni konsistensi ruang, waktu atau durasi dan persaingan

militerisasi.

13

1) Konsistensi ruang – terdiri atas dua aspek, yakni adanya sepasang

negara yang saling bersaing (dyadic) dan kemungkinan terjadi konflik

di masa depan dengan negara yang sama. Berangkat dari aspek

pertama, Diehl dan Goertz (2000) menyadari bahwa rivalitas pada

umumnya berlangsung antara sepasang negara yang berkompetisi

secara berulang-ulang dalam periode waktu tertentu. Fakta akan

persaingan dyadic selanjutnya tidak serta-merta menghilangkan

keterlibatan aliansi-aliansi yang terpolarisasi di dalam dua negara

rival. Dengan kata lain, rivalitas dyadic juga berarti kehadiran

organisasi internasional yang diawaki kedua negara untuk ikut serta

dalam proses rivalitas. Aspek berikutnya ialah potensi kemunculan

konflik antara negara rival, baik konflik terbuka maupun konflik

tertutup. Konflik tertutup yang dimaksud ialah persaingan seperti yang

terjadi pada fase Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni

Soviet.

2) Waktu atau durasi – ciri khas dari rivalitas ialah penekanannya pada

durasi. Oleh karenanya komponen kedua dari rivalitas ialah sifatnya

yang temporal. Adapun berdasarkan jenis durasinya, rivalitas dibagi

menjadi tiga jenis. Pertama adalah rivalitas sporadis atau isolatif, di

mana rivalitas terjadi di antara sepasang negara. Kedua ialah rivalitas

proto, terdiri dari konflik yang berulang-ulang antara negara yang

sama. Ketiga adalah enduring rivalries, yakni konflik yang terjadi

berulang-ulang dalam rentang waktu yang panjang;

3) Persaingan militerisasi – hubungan rivalitas dapat berarti penggunaan

alat-alat militer dalam penerapan kebijakan luar negeri. Ketika suatu

negara terlibat dalam rivalitas, negara tersebut memiliki tujuan-tujuan

yang bertentangan terhadap suatu barang yang langka, contohnya

adalah perebutan hegemoni.

Alghafli (2015: 15) membagi rivalitas ke dalam dua jenis, yakni

rivalitas abadi dan rivalitas strategis. Rivalitas abadi menekankan pada

persistensi konflik sepanjang waktu di mana dua negara menumpuk

14

sejarah peperangan. Di pihak lain, relasi rivalitas yang terbangun antara

RRT dan AS merupakan rivalitas strategis yang mana rivalitas tergambar

dari hubungan belligerent antara dua sisi, dikarakterisasi dengan kompetisi

terkait tujuan yang saling bertentangan, dan mengarah pada kebijakan luar

negeri yang kontradiktif atau berlawanan. Rival strategis mengantisipasi

kemungkinan serangan dari pihak kompetitor dengan asumsi berdasarkan

kebijakan yang dicanangkan oleh kompetitor tersebut sehingga secara

berkesinambungan menciptakan proses reaktif atau saling memperbaharui

kebijakan (Colaresi, Rasler & Thompson., 2008: 27).

Konsep rivalitas menjadi penting dalam penelitian ini dikarenakan

berfungsi untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya hubungan rivalitas

yang terjadi antara RRT dan AS di kawasan Indo-Pasifik tahun 2017-2018.

Pertama, melihat relasi RRT dan AS di Indo-Pasifik yang cenderung

terealisasi dalam bentuk kompetisi, berdasarkan definisi rivalitas. Kedua,

menyelidiki aktivitas RRT dan AS berdasarkan komponen-komponen

rivalitas, dalam hal ini apakah memiliki konsistensi ruang – khususnya

dyadic – yang jelas, berlangsung dalam periode waktu tertentu, dan

keterlibatan tindakan militerisasi. Terakhir, instrumen untuk memastikan

keberadaan karakteristik rivalitas strategis antara RRT dan AS di mana

saling terjadi kebijakan luar negeri balasan atau reaksioner antara kedua

negara.

2.2 Kerangka Teori

Teori adalah suatu pandangan mengenai apa yang telah terjadi, oleh

karenanya berteori dapat dikatakan sebagai pekerjaan menggambarkan apa yang

telah terjadi dan mengapa hal tersebut terjadi sehingga pada satu titik yang

memungkinkan seseorang untuk meramalkan persitiwa yang terjadi di masa

mendatang berdasarkan pola dari kejadian di masa lalu (Mas‟oed 1994: 185).

Berangkat dari pengertian teori sebagai alat untuk menjelaskan, bahkan

memprediksi suatu fenomena, maka peneliti kemudian berusaha menjabarkan

teori kebijakan luar negeri dan realisme struktural ofensif.

15

2.2.1 Teori Kebijakan Luar Negeri

Penjelasan mengenai analisis kebijakan luar negeri meliputi proses

dan hasil dari pembuatan keputusan dengan mempertimbangkan referensi

dan konsekuensi dari kebijakan tersebut. Hudson (2005: 2) melihat proses

yang dimaksud dimulai dengan penyelidikan, penentuan prioritas tujuan,

penilaian persetujuan dan seterusnya. Dikarenakan proses panjang

pencanangan kebijakan – luar negeri – maka sifat dari rantai

pertimbangannya ialah multifaktor dan multilevel. Multifaktor berarti

penjelasan dan atau pertimbangan kebijakan meliputi berbagai variabel

penjelas dan multidisiplin, yakni pada ranah ekonomi, politik, keamanan

dan lain sebagainya. Di sisi lain, multilevel mengindikasikan poros analisis

kebijakan dapat ditelaah dari berbagai tingkatan, mulai dari tingkat

individu hingga sistem internasional.

Bilamana berfokus pada level analisis sistem, kondisi internasional

yang anarki menghasilan tindakan-tindakan negara untuk mengamankan

diri sendiri. Level sistem tidak berfokus pada kebijakan luar negeri satuan

negara tertentu, namun pada konteks di mana kebijakan luar negeri

tersebut dibentuk (Hudson, 2014: 173). Menggunakan istilah yang

berbeda, pemahaman akan signifikansi dan situasi dalam suatu kawasan

atau regional menjadi penting sebagai pelengkap mengartikan intensi

negara. Berkenaan dengan level sistem dalam pengambilan kebijakan luar

negeri terdapat beberapa pemikiran menurut Hudson (2014: 175), yakni:

1) Meningkatkan kapabilitas, namun lebih memilih bernegosiasi

dibandingkan bertengkar;

2) Bertengkar atau melawan dari pada gagal untuk meningkatkan

kapabilitas;

3) Menentang aktor tunggal ataupun koalisisi yang memiliki

kecenderungan mengungguli di dalam sistem.

Selanjutnya, pada level analisis sistem secara umum, asumsi utama

yang memenuhi narasi hubungan internasional ialah keadaan di mana

semua aktor politik cenderung tidak senang dengan status quo pada

16

beberapa isu dan di sisi lain terdapat kasus-kasus yang mana aktor politik

berusaha mempertahankan status quo. Sejalan dengan fenomena tersebut,

Palmer dan Morgan (2006: 21) menyatakan, “Kami mengidentifikasi

bahwa kebijakan luar negeri pertama bernilai untuk menghasilkan

perubahan atau kedua untuk mempertahankan keadaan”. Kebijakan luar

negeri suatu negara diperuntukan untuk mengubah di saat keadaan tidak

sesuai dengan keinginan negara, serta kebijakan luar negeri akan

digunakan untuk mempertahankan bilamana ada negara lain yang berusaha

mengubah tatanan politik internasional.

Selanjutnya, teori kebijakan luar negeri digunakan untuk

menganalisis kebijakan luar negeri Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan

Amerika Serikat (AS), yakni berturut-turut Chinese Dream dan Free and

Open Indo-Pacific. Sifat kebijakan luar negeri yang multifkator digunakan

untuk melihat kebijakan Chinese Dream dan Free and Open Indo-Pacific

yang mencakup beberapa ranah atau sektor implementasi, serta sifat

multilevel dipakai guna mengetahui level analisis pada tingkatan sistem

internasional. Berikutnya tiga asumsi Hudson (2014) digunakan sebagai

dasar mengidentifikasi jenis kebijakan RRT dan AS melalui Chinese

Dream dan Free and Open Indo-Pacific di Indo-Pasifik pada tahun 2017-

2018.

2.2.2 Realisme Struktural Ofensif

Realisme struktural mengkritisi generasi sebelumnya, realisme

klasik. Kenneth Waltz dan John Mearsheimer adalah dua pemikir yang

paling diasosiasikan dengan realisme struktural. Pada awalnya realisme

klasik berpandangan bahwa situasi konfliktual antara negara-negara

merupakan hasil dari sifat alami manusia yang egois. Sifat egosentris

manusia kemudian diejawantahkan ke dalam tatanan negara, di mana

negara berusaha untuk terus-menerus mengejar kekuasaan. Berbeda

dengan realisme klasik, realisme struktural atau yang juga dikenal sebagai

neorealisme menegaskan lebih kepada hubungan sebab akibat antara

17

tindakan negara dan hasilnya di dalam sistem internasional. Anarki tidak

serta merta berarti kondisi chaos, namun situasi di mana tidak memiliki

pemerintahan dunia, layaknya pemerintahan domestik yang memiliki

kuasa untuk mengatur masyarakatnya. Dalam istilah yang berbeda,

realisme struktural menekankan bahwa politik internasional hanya dapat

dimengerti pada penjelasan mengenai struktur dunia dan bahwa struktur

yang dimaksud berasal dari perbedaan kapabilitas dan kekuatan negara

(Waltz, 2003: 36).

Secara umum, pendekatan realisme struktural melihat pentingnya

kekuatan koersif di dalam panggung internasional, yakni ketika distribusi

kekuatan dari relasi internasional menjadi asimetris atau tidak berimbang,

maka akan memunculkan suatu hegemon. Untuk tujuan tersebut, suatu

negara harus terlebih dahulu memiliki kekuatan militer guna secara

langsung mengontrol rivalnya dan kekayaan ekonomi guna

mempertahankan kekuatan militer (Dirzauskaite & Ilinca, 2017: 24). Lebih

lanjut, realisme struktural terbagi berdasarkan cara memandang pengejaran

kekuatan, yakni realisme defensif dan realisme ofensif. Realisme defensif

menyarankan negara-negara untuk tidak memaksimalkan kekuatan hingga

pada tahap menjadi hegemon dikarenakan berpotensi menimbulkan

konflik. Di sisi berbeda, Mearsheimer (2006: 75) menilai bahwa negara

harus selalu mencari kesempatan untuk meningkatkan kekuatannya dan

akhir dari tujuan itu ialah menjadi hegemoni lantaran cara tersebut

merupakan langkah terbaik memastikan keberlangsungan negara.

“realisme ofensif berpendapat bahwa negara harus selalu mencari

kesempatan untuk menambak kekuatan dan harus melakukannya kapan

pun memungkinkan. Negara harus memaksimalisasi kekuatan, dan

tujuan akhirnya adalah menjadi hegemoni, dikarenakan hegemoni

merupakan hal terbaik untuk menjamin keberlangsungan”.

Secara simultan, Mearsheimer (2001: 30-32) memberikan lima inti

pemikiran dasar realisme struktural dan bagaimana pemikiran tersebut

memberikan tiga pola kebiasaan negara. Pemikiran tersebut ialah struktur

sistem internasional yang anarki; kepemilikan kapabilitas militer negara,

18

yang mana berpotensi mengancam negara lain; ketidakpastian akan intensi

negara lain sehingga suatu negara wajib bersiap bilamana suatu saat terjadi

agresi; survival atau keberlangsungan sebagai tujuan utama negara; dan

negara-negara sebagai aktor rasional, di mana mereka sadar akan kondisi

eksternal serta berpikir strategis tentang cara-cara menangani kondisi

eksternal tersebut. Adapun dalam literasi yang sama, Mearsheimer melihat

tiga pola kebiasan negara – ketakutan, self-help atau membantu diri sendiri

dan maksimalisasi kekuatan. Realisme ofensif menyatakan bahwa aktor-

aktor sistem internasional tidak saling mempercayai satu sama lain,

bertujuan untuk memastikan keberlangsungan negaranya dan mencari

peningkatan kekuatan yang berimplikasi pada ketakutan aktor lainnya.

Berangkat dari kesadaran self-help, di mana negara-negara cenderung

memikirkan kepentingan diri sendiri, hanya terdapat satu cara guna merasa

aman, yaitu menjadi negara hegemon.

Mearsheimer (2001: 40-42) membedakan hegemoni global dari

hegemoni kawasan. Menurutnya, hegemoni berarti dominasi sistem, yang

diinterpretasikan sebagai keseluruhan dunia. Hegemoni global menjadi

mungkin, namun sepanjang sejarah dunia, capaian terbaik dari suatu

negara harus terbatas pada hegemoni regional dan regional lainnya yang

berdekatan, termasuk Amerika Serikat pasca Perang Dingin. Negara yang

mencapai hegemoni regional (kawasan) kemudian cenderung mencegah

negara di regional-regional lain sebelum menyamai capaiannya tersebut.

Selanjutnya, hegemon regional berusaha untuk memotong kesempatan

negara lain untuk menjadi hegemon, terlepas dari asal regional negara

tersebut, dikarenakan ketakutan bahwa rivalnya akan lebih mendominasi.

Pada akhirnya, situasi ideal bagi negara kuat ialah menjadi satu-satunya

hegemon regional di dunia.

Berhubungan dengan penelitian rivalitas hegemoni RRT dan AS di

kawasan Indo-Pasifik, peneliti menempatkan realisme struktural dan

terkhususnya ofensif realisme untuk menjadi alat analisis motif RRT dan

AS untuk berturut-turut mencanangkan kebijakan Free and Open Indo-

19

Pacific sebagai bentuk reaksioner terhadap kebijakan Chinese Dream pada

tahun 2017-2018. Analisis yang dimaksud berangkat dari asumsi-asumsi

realisme struktural dan pola kebiasaan negara-negara di dalam sistem

internasional, serta bagaimana latar belakang negara yang telah menjadi

hegemon di regional asalnya melakukan rivalitas dengan negara di

regional lain.

2.3 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu digunakan sebagai alat perbandingan dan bagaimana

melihat orisinalitas penelitian ini. Lebih dari pada itu, penelitian terdahulu

merupakan cara peneliti mengisi kekosongan-kesongan yang belum sempat terisi

oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian terdahulu yang dimaksud di

antaranya skripsi Tana (2012), Fitriani (2012), Fitriyah (2012) dan Wibowo

(2017).

No. Peneliti Judul

Penelitian

Tujuan Penelitian Hasil Penelitian

1. Vika

Mayasari

Tana

(Universitas

Hasanuddin

Makassar,

2012)

Rivalitas

Kepentingan

Ekonomi

Amerika

Serikat dan

Republik

Rakyat China

dalam

Mendapatkan

Sumber Energi

di Indonesia

(Skripsi)

a. Menjelaskan

bentuk-bentuk

kepentingan

ekonomi antara

Amerika Serikat

dan Republik

Rakyat China,

serta upaya yang

telah dilakukan

oleh kedua

negara di

Indonesia.

b. Menjelaskan

persaingan

Amerika Serikat

dan Republik

Rakyat China

Kebangkitan ekonomi

Republik Rakyat

China membuat China

semakin agresif dalam

mencari energi. Hal

ini membuat

terjadinya persaingan

dengan Amerika

Serikat yang

merupakan negara

yang telah menjadi

aktor lama di

Indonesia dalam hal

energi. Kepentingan

ekonomi yang besar

membuat kedua

negara ini merasa

20

dalam

mendapatkan

sumber daya

energi di

Indonesia.

perlu untuk bekerja

sama dengan

Indonesia khususnya

terhadap sumber

energi yang dimiliki.

Pemerintah kedua

negara juga cukup

gencar menjalin kerja

sama dengan

Indonesia melalui

beberapa perundingan

ataupun kegiatan

untuk meningkatkan

kerja sama bilateral

dalam bidang energi.

Kedua negara juga

saling bersaing

mendapatkan energi

melalui akuisisi

ataupun dengan

pembelian sejumlah

perusahaan yang

memiliki nilai yang

esar dan strategis. Hal

ini semata-mata

dilakukan untuk

mengamankan

cadangan energi yang

dimiliki yang tentunya

dibutuhkan untuk

kegiatan ekonomi

masing-masing

negara.

21

2. Meita

Fitriani

(Universitas

Indonesia,

2012)

Persaingan

Amerika

Serikat dan

China di Asia

Tengah:

Perspektif

Keamanan

Energi (1997-

2007)

(Tesis)

a. Memahami

persaingan

Amerika Serikat

dan China di Asia

Tengah dalam

bidang energi

minyak periode

1997-2007.

b. Menganalisa

lebih dalam

mengenai konsep

keamanan energi.

Persaingan energi

yang akan terus

berlangsung dengan

membawa

kepentingan-

kepentingan di luar

energi guna saling

melemahkan pihak

oposisi dengan

kebijakan nasional.

3. Ikhrotul

Fitriyah

(Universitas

Muhammadi

yah Malang,

2012)

Strategi China

Dalam

Persaingan

Dengan

Amerika

Serikat Untuk

Memperebutka

n Hak

Eksplorasi

Minyak di

Sudan

(Skripsi)

Memahami strategi

yang dilakukan

China dalam

memperebutkan

hak eksplorasi

minyak di Sudan

dalam

persaingannya

dengan Amerika

Serikat.

China berupaya

mengimbangi

Amerika Serikat

dengan menjadi

oposisi. Dalam hal ini

China memberikat

paket bantuan

ekonomi dengan

memberikan pinjaman

bunga rendah serta

pembangunan tanpa

disertai berbagai

macam prasyarat.

Adapun China

memberikan

perlindungan

diplomatik kepada

pemerintah Sudan

yang dituduh

melakukan genosida.

22

4. Yoga M.

Wibowo

(Universitas

Pasundan

Bandung,

2017)

Hubungan

Diplomasi Cina

dan

Pengaruhnya

Terhadap

Hubungan Cina

– Amerika

Serikat

a. Mengetahui

perkembangan

reformasi

ekonomi di Cina

dan liberalisasi

perdagangan di

Asia Timur.

b. Mengetahui

pertumbuhan

ekonomi dan

perkembangan

politik di

Kawasan Asia

Timur.

c. Mengetahui

pemberlakuan

pasar bebas di

Kawasan Asia

Timur.

d. Menganalisis

dinamika

ekonomi

internasional

Kawasan Asia

Timur.

Perubahan ekonomi

kawasan memiliki

pengaruh terhadap

perekonomian Cina.

Adapun hal tersebut

menimbulkan

keharusan bersama

dari negara-negara

Asia Timur guna

mengatur rencana

dibukanya kawasan

pasar bebas Asia

Timur.

23

Penelitian mengenai persaingan antara Amerika Serikat dan Republik

Rakyat Tiongkok telah dikerjakan oleh beberapa penulis sebelumnya dengan

dilengkapi dengan beberapa sudut pandang dan studi kasus spesifik yang berbeda.

Salah satu dari sudut pandang yang berbeda ialah penelitian mengenai persaingan

Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok dari perspektif keamanan energi

ataupun studi kasus spesifik mengenai persaingan kedua negara di Sudan.

Selanjutnya, yang menjadi penting sekaligus membedakan penelitian yang akan

dianalisis oleh peneliti ialah berkaitan dengan pencarian bagaimana rivalitas

antara Amerika Serikat dengan Republik Rakyat Tiongkok dilihat dari upayanya

untuk mendapatkan serta batasan penelitian pada Kawasan Indo-Pasifik yang

relatif baru dikenal – dikarenakan kawasan Indo-Pasifik menggabungkan

beberapa subdivisi samudra sekaligus, yakni Samudra Hindia, Samudra Pasifik

Tengah dan Samudra Pasifik Timur.

24

2.4 Kerangka Pikir Penelitian

Signifikansi Kawasan Indo-Pasifik

(Scott, 2012)

RRT: Chinese Dream

(Norton, 2015)

AS: Free & Open Indo-

Pacific (NSS, 2017)

Rivalitas RRT dan AS dalam Chinese Dream

dan Free & Open Indo-Pacific

(Colaresi, Rasler & Thompson., 2008: 27)

RRT atau AS menjadi Hegemoni

atas Indo-Pasifik

Realisme Struktural Ofensif

(Mearsheimer, 2001)

Teo

ri K

ebij

ak

an

Lu

ar

Neg

eri

(Hudso

n, 2005;

Pal

mer

&

Morg

an,

2006;

Hudso

n,

2014)

25

Kerangka pikir tersebut dimulai dengan kondisi geografis kawasan Indo-

Pasifik yang sangat luas dikarenakan menggabungkan Samudra Hinda dan

Samudra Pasifik Barat serta signifikansi Indo-Pasifik itu sendiri. Kondisi

geografis yang luas dan signifikansi Indo-Pasifik kemudian menjadi daya tarik

berbagai negara di kawasan tersebut, khususnya Republik Rakyat Tiongkok.

Republik Rakyat Tiongkok kemudian membangun Indo-Pasifik sesuai dengan

kebijakan Chinese Dream di mana meliputi sektor ekonomi, politik, dan

keamanan dan militer. Kebijakan Chinese Dream oleh Republik Rakyat Tiongkok

menyebabkan reaksi Amerika Serikat dalam kebijakan Free and Open Indo-

Pacific sesuai dengan lima asumsi realisme struktural – struktur sistem

internasional yang anarki; kepemilikan kapabilitas militer negara yang mana

berpotensi mengancam negara lain, ketidakpastian akan intensi negara lain

sehingga suatu negara wajib bersiap bilamana suatu saat terjadi agresi, survival

atau keberlangsungan sebagai tujuan utama negara, dan negara-negara sebagai

aktor rasional – dan tiga pola kebiasaan negara – ketakutan akan intensi negara

lain, self-help dan maksimalisasi kekuatan.

Bilamana berkaca dari realisme struktural, terkhususnya pada realisme

ofensif, maka kebijakan Chinese Dream dan Free and Open Indo-Pacific ialah

dua kebijakan rival guna mendapatkan hegemon regional atau pada sisi lain

Amerika Serikat bertujuan menghambat hegemon Republik Rakyat Tiongkok di

kawasan Indo-Pasifik lantaran ketakutan demi ketakutan. Adapun usaha Republik

Rakyat Tiongkok dapat dimaknai sebagai bentuk hambatannya terhadap usaha

Amerika Serikat menjadi hegemon global.