bab ii tinjauan pustaka 2.1 jalan dan klasifikasinya ii final.pdf · t gantung d beton tak...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jalan dan Klasifikasinya
Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, jalan
didefinisikan sebagai prasarana transportasi darat. Jalan meliputi bagian-
bagiannya, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapan jalan. Jalan
diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas
permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/ atau air, serta di atas
permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.
2.1.1 Klasifikasi jalan berdasarkan sistem jaringan
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan menyebutkan
bahwa berdasarkan sistem jaringan, jalan dikelompokkan menjadi jalan dalam
sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder.
a. Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan sebagai prasarana distribusi barang dan/ atau jasa untuk
pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan jalan
menghubungkan semua simpul wilayah yang berwujud pusat-pusat kegiatan
nasional.
b. Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan dengan
peranan pelayanan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa untuk
masyarakat di dalam kawasan perkotaan.
8
2.1.2 Klasifikasi jalan berdasarkan fungsinya
Berdasarkan fungsinya, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang
Jalan, mengelompokkan jalan menjadi:
a. Jalan arteri adalah jalan umum sesuai dengan fungsinya sebagai sarana
angkutan utama dengan bercirikan sebagai prasarana pelayanan lalu lintas
dengan asal-tujuan berjarak jauh, berkecepatan rata-rata tinggi, serta jalan
masuk dibatasi secara berdaya guna.
b. Jalan kolektor adalah jalan umum dengan fungsinya sebagai sarana angkutan
umum yang bercirikan sebagai prasarana pelayanan lalu-lintas dengan asal-
tujuan yang berjarak sedang, berkecepatan rata-rata sedang, serta jalan masuk
dibatasi.
c. Jalan lokal adalah jalan sesuai dengan fungsinya sebagai prasarana angkutan
lokal yang dengan bercirikan sebagai pelayanan lalu lintas dengan asal-tujuan
yang berjarak dekat, dan berkecepatan rata-rata rendah, serta dengan jalan
masuk tidak dibatasi.
d. Jalan lingkungan adalah jalan sesuai dengan fungsinya sebagai prasarana
angkutan lingkungan yang bercirikan dengan pelayanan lalu lintas dengan
asal-tujuan yang berjarak dekat, dan berkecepatan rata-rata rendah.
2.1.3 Klasifikasi jalan berdasarkan statusnya
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, berdasarkan
statusnya, jalan dikelompokkan menjadi jalan nasional, jalan provinsi, jalan
kabupaten, jalan kota dan jalan desa.
9
a. Jalan nasional adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah pusat berdasarkan
fungsinya meliputi jalan arteri atau jalan kolektor dari sistem jaringan jalan
primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi dan bisa juga berupa jalan
strategis nasional dan/ atau jalan tol.
b. Jalan provinsi adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah provinsi yang sesuai
dengan fungsinya meliputi jalan kolektor dari sistem jaringan jalan primer
yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/ kota atau
antar ibukota kabupaten/ kota dan bisa juga berupa jalan strategis provinsi.
c. Jalan kabupaten adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah kabupaten yang
sesuai fungsinya meliputi jalan lokal dari sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota
kecamatan, atau bisa juga jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten
dengan pusat kegiatan lokal sebagai jalan strategis kabupaten.
d. Jalan kota adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah kota dalam sistem
jaringan jalan sekunder dengan fungsi menghubungkan antar pusat pelayanan
dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan
antar persil, dan menghubungkan antar pusat permukiman dalam kota.
e. Jalan desa adalah jalan yang menghubungkan kawasan dan/ atau antar
permukiman di dalam kecamatan, serta jalan lingkungan.
2.2 Jembatan
2.2.1 Pengertian jembatan
Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, jembatan
adalah suatu konstruksi bangunan pelengkap sarana trasportasi jalan yang
10
menghubungkan suatu tempat ke tempat yang lainnya, yang dapat dilintasi oleh
sesuatu benda bergerak misalnya suatu lintas yang terputus akibat suatu rintangan
atau sebab lainnya, dengan cara melompati rintangan tersebut tanpa menimbun/
menutup rintangan itu dan apabila jembatan terputus maka lalu lintas akan
terhenti. Lintas tersebut bisa merupakan jalan kendaraan, jalan kereta api atau
jalan pejalan kaki, sedangkan rintangan tersebut dapat berupa jalan kenderaan,
jalan kereta api, sungai, lintasan air, lembah atau jurang.
Jembatan juga merupakan suatu bangunan pelengkap prasarana lalu lintas
darat dengan konstruksi terdiri dari pondasi, struktur bangunan bawah dan
struktur bangunan atas, yang menghubungkan dua ujung jalan yang terputus
akibat bentuk rintangan melalui konstruksi struktur bangunan atas. Jembatan
adalah jenis bangunan yang apabila akan dilakukan perubahan konstruksi, tidak
dapat dimodifikasi secara mudah, biaya yang diperlukan relatif mahal dan
berpengaruh pada kelancaran lalu lintas pada saat pelaksanaan pekerjaan.
Jembatan dibangun untuk dapat digunakan minimum 50 tahun. Ini berarti,
disamping kekuatan dan kemampuan untuk melayani beban lalu lintas, perlu
diperhatikan juga bagaimana pemeliharaan jembatan yang baik.
Karena perkembangan lalu lintas yang ada relatif besar, jembatan yang
dibangun, biasanya dalam beberapa tahun tidak mampu lagi menampung volume
lalu lintas, sehingga biasanya perlu diadakan pelebaran. Untuk memudahkan
pelebaran perlu disiapkan desain dari seluruh jembatan sehingga dimungkinkan
dilakukan pelebaran dikemudian hari, sehingga pelebaran dapat dilaksanakan
dengan biaya yang murah dan konstruksi menjadi mudah. Pada saat pelaksanaan
11
konstruksi jembatan harus dilakukan pengawasan dan pengujian yang tepat untuk
memastikan bahwa seluruh pekerjaan dapat diselesaikan, sesuai dengan tahapan
pekerjaan yang benar dan memenuhi persyaratan teknis yang berlaku, sehingga
dicapai pelaksanaan yang efektif dan efisien, biaya dan mutu serta waktu yang
telah ditentukan.
2.2.2 Klasifikasi jembatan
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1993), tipe jembatan diidentifikasi
berdasarkan tipe bangunan atas, bahan dan asal bahan bangunan. Secara lengkap
kode klasifikasi jembatannya disajikan pada Tabel 2.1. Dalam tabel tersebut
terdapat tiga kolom antara lain kolom tipe bangunan atas, kolom bahan dan kolom
asal bahan bangunan. Pada kolom pertama terdapat kode-kode dan keterangan
mengenai tipe bangunan atas jembatan, pada kolom berikutnya tentang kode-kode
dan keterangan dari bahan penyusun jembatan dan pada kolom ketiga terdapat
kode-kode dan keterangan tentang asal bahan bangunan. Tabel tersebut tidak
dihubungkan paralel dari kiri ke kanan, namun pembacaannya disesuaikan dengan
jembatan yang ditinjau atau direncanakan. Sebagai contoh: misalkan suatu
jembatan memiliki bangunan atas gelagar (G), bahannya adalah beton (T) dan asal
bahan bangunannya adalah dari Indonesia (I) maka jembatan tersebut
diidentifikasi sebagai Jembatan GTI (Gelagar Beton Indonesia). Sistem klasifikasi
ini digunakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk
mengklasifikasikan jembatan pada program BMS.
12
Tabel 2.1 Kode Identifikasi Jembatan
A Gorong-gorong pelengkung A Aspal A AustraliaB Gorong-gorong persegi B Baja B Belanda (Lama)Y Gorong-gorong pipa U Lantai baja gelombang C Karunia Berca IndonesiaC Kabel Y Pipa baja diisi beton D Belanda (lama)T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ WikaD Flat slab P Beton prategang G CigadingH Pile slab T Beton bertulang I IndonesiaP Pelat E Neoprene/ karet K BukakaV Voided F Teflon R AustriaE Pelengkung G Bronjong dan sejenisnya T Transbakrie
F Ferry J Alumunium UUnited Kingdom (Callender Hamilton)
G Gelagar K Kayu W Bailley/ AcrowM Gelagar komposit M Pasangan batu H Adhi KaryaO Gelagar boks S Pasangan bata J Jepang
U Gelagar tipe U OTanah biasa/ lempung/ timbunan P PPI
L Balok pelengkung R Kerikil/ pasir Y Wijaya KaryaN Rangka semi permanen X Bahan asli X Tidak ada strukturR Rangka V PVC M Amarta KaryaS Rangka sementara N Geotextile L Lain-lainK Lintasan kereta api W MacadamW Lintasan basah H Pasangan batu kosongX Lain-lain L Lain-lain
BahanTBA (Tipe Bangunan Atas) ABA (Asal Bahan Bangunan)
Sumber: Departemen PU (1993)
Sedangkan menurut Zainuddin (2013), jembatan dapat diklasifikasikan
menurut fungsi, material, bentuk struktur atas dan lama waktunya digunakan.
Menurut fungsinya jembatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Jembatan jalan raya berfungsi menghubungkan jalan raya.
b) Jembatan jalan rel berfungsi menghubungkan jalan rel.
c) Jembatan untuk talang air/ waduk berfungsi sebagai talang air/ waduk.
d) Jembatan untuk penyeberangan (pipa air, minyak, gas,pedestrian, dll).
Menurut materialnya jembatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Jembatan bambu.
b) Jembatan kayu.
13
c) Jembatan beton bertulang (konvensional maupun prategang).
d) Jembatan baja (gelagar maupun rangka).
e) Jembatan komposit.
f) Jembatan pasangan batu kali/ bata.
Menurut bentuk struktur atas yang digunakan jembatan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
a) Jembatan balok/ gelagar.
b) Jembatan pelat.
c) Jembatan pelengkung/ busur.
d) Jembatan rangka.
e) Jembatan gantung.
f) Jembatan cable stayed.
Menurut lama waktu digunakan jembatan dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a) Jembatan sementara/ darurat: jembatan yang penggunaannya hanya
bersifat sementara yakni menunggu hingga selesainya pekerjaan
pembangunan jembatan permanen diresmikan/ digunakan. Jembatan
darurat ini dapat berupa: jembatan kayu.
b) Jembatan semi permanen: jembatan sementara yang dapat ditingkatkan
menjadi jembatan permanen, misalnya dengan cara mengganti lantai
jembatan dengan bahan/ material yang lebih baik (kuat) dan awet,
sehingga kapasitas serta umur jembatan menjadi bertambah baik, misalnya
Jembatan Semi Permanen Australia.
14
c) Jembatan permanen: jembatan yang penggunaannya bersifat permanen
serta mempunyai umur rencana, misalnya: jembatan baja, jembatan beton
bertulang, jembatan komposit.
2.2.3 Struktur jembatan
Menurut Zainuddin (2013), struktur jembatan adalah kesatuan antara elemen-
elemen konstruksi yang dirancang dari bahan konstruksi yang bertujuan menerima
beban-beban di atasnya baik berupa beban primer, sekunder, khusus dan beban
lainnya untuk diteruskan/ dilimpahkan hingga ke tanah dasar. Secara umum
konstruksi jembatan dibagi menjadi 4 (empat) bagian yaitu:
a) Bangunan atas.
Bangunan atas jembatan adalah bagian dari elemen-elemen konstruksi yang
dirancang untuk memindahkan beban-beban yang diterima oleh lantai jembatan
hingga ke perletakan, sedangkan lantai jembatan adalah bagian jembatan yang
langsung menerima beban lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki. Jenis bangunan
atas jembatan pada umumnya ditentukan berdasarkan:
i. Bentang yang sesuai dengan perlintasan jalan, sungai atau keadaan lokasi
jembatan.
ii. Panjang bentang optimum untuk menekan biaya konstruksi total.
iii. Pertimbangan yang terkait pada pelaksanaan bangunan-bangunan bawah
dan pemasangan bangunan atas untuk mencapai nilai yang ekonomis.
iv. Pertimbangan segi pandang estetika.
Bangunan atas terdiri atas: gelagar induk, struktur tumpuan atau perletakan,
struktur lantai jembatan/ kendaraan, pertambatan arah melintang dan memanjang..
15
b) Bangunan bawah.
Bangunan bawah sebuah jembatan adalah bagian dari elemen-elemen struktur
yang dirancang untuk menerima beban konstruksi di atasnya dan dilimpahkan
langsung (berdiri langsung) pada tanah dasar atau bagian-bagian konstruksi
jembatan yang menyangga jenis-jenis yang sama dan memberikan jenis reaksi
yang sama pula. Bangunan bawah terdiri atas: pondasi yaitu bagian-bagian dari
sebuah jembatan yang meneruskan beban-beban langsung ke tanah dasar/ lapisan
tanah keras, Bangunan bawah (pangkul jembatan/ abutmen, pilar) yaitu bagian-
bagian dari sebuah jembatan yang memindahkan beban-beban dari perletakan ke
pondasi dan biasanya juga difungsikan sebagai bangunan penahan tanah. Analisa
struktur bawah ini harus dipertimbangkan mampu menahan semua gaya-gaya
yang bekerja, begitu pula tinjauan terhadap stabilitas sehingga aman terhadap
penggulingan dan penggeseran dengan angka keamanan yang cukup serta daya
dukung tanahnya masih dalam batas yang diijinkan.
c) Jalan pendekat (oprit)
Oprit adalah jalan yang menghubungkan antara ruas jalan dengan struktur
jembatan, atau jalan yang akan masuk ke jembatan. Oprit merupakan timbunan
material pilihan, biasanya berupa agregat yang berada di belakang abutment yang
dipadatkan sedemikian rupa untuk menghindari penurunan.
d) Bangunan pengaman
Bangunan pengaman adalah bangunan yang diperlukan untuk mengamankan
jembatan terhadap lalu lintas darat, lalu lintas air, penggerusan, dll.
16
2.2.4 Pemeliharaan jembatan
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.13/PRT/M/2011 tentang
Tata Cara Pemeliharaan dan Penilikan Jalan, berdasarkan tingkat dari kerusakan
suatu jembatan (nilai kondisi jembatan) maka pemeliharaan bangunan pelengkap
jalan termasuk didalamnya jembatan antara lain terdiri dari:
a) Pemeliharaan rutin
Pemeliharaan rutin dilakukan sepanjang tahun dan meliputi kegiatan:
pembersihan secara umum, pembuangan tumbuhan liar dan sampah,
pembersihan dan pelancaran drainase, perbaikan ringan, pengecatan sederhana
dan pemeliharaan permukaan lantai kendaraan.
b) Pemeliharaan berkala
Pemeliharaan berkala dilakukan secara berkala meliputi kegiatan: pengecatan
ulang, pelapisan permukaan aspal, penggantian lantai, penggantian kayu pada
jalur roda kendaraan, pembersihan jembatan secara mendetail, penggantian
siar muai (expansion joints), penggantian baut, penggantian elemen-elemen
sekunder/ kecil, perbaikan sandaran tangan (hand railings), perbaikan pagar
pengaman (guardrails), perbaikan patok pengarah (guide posts), menjaga
berfungsinya bagian-bagian yang bergerak (perletakan/ landasan, siar muai),
perkuatan elemen struktur sekunder, perbaikan tebing pada jalan pendekat dan
perbaikan aliran sungai di dekat bangunan pelengkap jalan.
c) Rehabilitasi
Rehabilitasi meliputi kegiatan perbaikan berat lantai kendaraan (sistem lantai),
perbaikan berat bangunan atas (struktur beton, baja, dan kayu), perbaikan
17
berat bangunan bawah, perkuatan struktur bangunan pelengkap jalan dan
pemeliharaan tanggap darurat.
d) Penggantian/ rekonstruksi
Penggantian/ rekonstruksi merupakan kegiatan penggantian seluruh atau
sebagian komponen bangunan pelengkap jalan tanpa meningkatkan kapasitas
bangunan pelengkap jalan.
2.2.5 Penilaian kondisi jembatan
Dalam rangka pemeliharaan jembatan perlu dilakukan pemeriksaan secara
rutin dan periodik. Jika didapatkan suatu kerusakan perlu dilanjutkan dengan
penyelidikan yang mendalam dalam rangka evaluasi, apakah perlu dilakukan
tindakan perbaikan, perkuatan atau penggantian, agar jembatan tetap berfungsi
sebagimana mestinya. Pemeriksaan secara detail dilaksanakan untuk menilai
secara akurat kondisi suatu jembatan. Semua komponen dan elemen jembatan
diperiksa dan kerusakan-kerusakan yang berarti dikenali dan didata. Untuk tujuan
pemeriksaan detail dan evaluasi dari kondisi jembatan secara menyeluruh, struktur
jembatan dibagi atas hirarki elemen yang terdiri atas 5 level, tertinggi adalah
level1, yaitu jembatan itu sendiri, dan level terendah adalah level 5, yaitu elemen
kecil secara individual dan bagian-bagian jembatan (Departemen PU, 1993).
Setelah elemen yang rusak dan bentuk kerusakan telah dicatat, nilai kondisi
diberikan. Sistem penilaian elemen yang rusak terdiri atas serangkaian pertanyaan
yang berjumlah 5 mengenai kerusakan yang ada. Setiap nilai diberi angka 1 dan 0,
sehingga subjektifitas selama pemeriksaan dapat diminimalkan dan penilaian
lebih konsisten.diberikan kepada elemen sesuai dengan kerusakan yang ada pada
18
setiap level hirarki jembatan,mulai dari level terendah yaitu level 5 sampai dengan
level tertinggi yaitu level 1 yang merupakan jembatan secara keseluruhan, elemen
atau kelompok elemen dinilai dengan diberikan suatu Nilai Kondisi antara 0 (nol)
dan 5 (lima), angka-angka tersebut mewakili jumlah dari kelima nilai yang
ditentukan menurut kriteria yang diberikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Sistem Penilaian Kondisi Elemen Jembatan
Nilai Kriteria Nilai Kondisi
Struktur (S) Berbahaya
Tidak Berbahaya
1
0
Kerusakan (R) Parah
Tidak Parah
1
0
Kuantitas (K) Lebih dari 50 %
Kurang dari 50 %
1
0
Fungsi (F) Elemen tidak berfungsi
Elemen masih berfungsi
1
0
Pengaruh (P) Mempengaruhi elemen lain
Tidak mempengaruhi elemen lain
1
0
Nilai Kondisi (NK) NK = S+R+K+F+P 0 s/d 5
(Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1993)
Setelah penilaian elemen pada tingkat 5, 4 atau 3, Nilai Kondisi untuk elemen
pada level yang lebih tinggi dalam hirarki ditentukan dengan cara mengevaluasi
sejauh mana kerusakan dalam elemen pada tingkatan yang lebih rendah
berpengaruh terhadap elemen pada tingkatan yang lebih tinggi, apakah elemen ini
dapat berfungsi dan apakah elemen lain pada tingkatan yang lebih tinggi
dipengaruhi oleh kerusakan-kerusakan tersebut, sehingga diperoleh Nilai Kondisi
Jembatan pada tingkatan 1.
19
2.2.6 Panjang dan lebar jembatan
Menurut Kementerian Pekerjaan Umum (2011), lebar jalur lalu lintas pada
jembatan harus sama dengan lebar jalur lalu lintas pada bagian ruas jalan di luar
jembatan, khusus untuk fungsi jalan arteri, lebar badan jalan pada jembatan harus
sama dengan lebar badan jalan pada bagian ruas jalan di luar jembatan. Standar
lebar lajur lalu-lintas untuk jalan sedang minimal adalah 2x3,5 meter. Lebar
jembatan secara total merupakan gabungan antara lebar jalur lalu-lintas dan lebar
trotoar.
Panjang jembatan diukur dari ujung expansion joint ke expansion joint
lainnya. Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1993), jembatan merupakan
bangunan pelengkap jalan yang memiliki panjang di atas 2 (dua) meter. Namun
dalam survei dan pemeriksaannya dibatasi mulai panjang minimum 6 (enam)
meter untuk memudahkan pelaksanaan survei.
Gambar 2.1 Panjang dan Lebar Jembatan
Sumber: Departemen PU, (1993)
20
2.3 Sistem Transportasi Makro
Menurut Tamin (2008), sistem transportasi makro dibentuk oleh sistem
transportasi yang lebih kecil atau disebut dengan sub sistem. Dari gambar
dibawah, dapat dijelaskan sistem transportasi makro dibentuk oleh tiga sub sistem
tranportasi mikro yaitu sub sistem kegiatan atau sub sistem tata guna lahan, sub
sistem jaringan, dan sub sistem pergerakan. Ketiga sub sistem tersebut akan
berinteraksi dan dikendalikan oleh sub sistem kelembagaan. Dalam tata guna
lahan, suatu lahan akan memiliki peruntukan untuk kegiatan tertentu. Peruntukan
lahan untuk kegiatan tertentu dalam sistem transportasi makro merupakan bagian
dari sub sistem tata guna lahan atau sub sistem kegiatan sebagai sub sistem yang
pertama, sub sistem ini merupakan sub sistem yang berbasis lokasi/ wilayah. Pada
sisi lain bahwa pergerakan lalu lintas disebabkan oleh proses pemenuhan
kebutuhan, dan telah kita ketahui bahwa kita tidak dapat memenuhi kebutuhan
kita pada suatu lahan tertentu. Pergerakan dari suatu lahan ke lahan yang lain akan
memerlukan sarana transportasi (moda transportasi) dan tempat bergeraknya
sarana transportasi (moda transportasi) tersebut akan memerlukan media
(prasarana) transportasi. Prasarana yang diperlukan untuk bergeraknya moda
transportasi merupakan sub sistem yang kedua yang disebut sub sistem jaringan.
Sedangkan sub sistem yang ketiga adalah moda transportasi tersebut yang disebut
sebagai sub sistem pergerakan yang berbasis sarana. Jika dijelaskan dalam suatu
gambar maka menurut Tamin (2008), interaksi sistem transportasi makro dapat
dilihat pada Gambar 2.2.
21
Menurut Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (2009), sistem transportasi
makro perlu dipecahkan menjadi sistem transportasi yang lebih kecil (mikro),
dimana masing-masing sistem mikro tersebut akan saling terkait dan saling
mempengaruhi. Sistem transportasi mikro tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sistem Kegiatan (Transport Demand)
b. Sistem Jaringan (Prasarana Transportasi/ Transport Supply)
c. Sistem Pergerakan (Lalu Lintas/ Traffic)
d. Sistem Kelembagaan.
Setiap penggunaan tanah atau sistem kegiatan akan mempunyai suatu tipe
kegiatan tertentu yang dapat “memproduksi” pergerakan (trip production) dan
dapat “menarik” pergerakan (trip attraction). Sistem tersebut dapat merupakan
suatu gabungan dari berbagai sistem pola kegiatan tata guna tanah (land use)
Sub Sistem Tata Guna
Lahan Sub Sistem Jaringan
Sub Sistem Pergerakan
Sub Sistem Kelembagaan
Gambar 2.2 Sistem Transportasi Makro Sumber: Tamin (2008)
22
seperti sistem pola kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Kegiatan
yang timbul dalam sistem ini membutuhkan pergerakan sebagai alat pemenuhan
kebutuhan yang perlu dilakukan setiap hari, yang tidak dapat dipenuhi oleh
penggunaan tanah bersangkutan. Besarnya pergerakan yang ditimbulkan tersebut
sangat berkaitan erat dengan jenis/ tipe dan intensitas kegiatan yang dilakukan.
Pergerakan tersebut, baik berupa pergerakan manusia dan/ atau barang, jelas
membutuhkan suatu moda transportasi (sarana) dan media (prasarana) tempat
moda transportasi tersebut dapat bergerak. Prasarana transportasi yang diperlukan
merupakan sistem mikro kedua yang biasa dikenal sebagai Sistem Jaringan,
meliputi jaringan jalan raya, kereta api, terminal bus, stasiun kereta api, bandara
dan pelabuhan laut.
Interaksi antara Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan akan menghasilkan
suatu pergerakan manusia dan/ atau barang dalam bentuk pergerakan kendaraan
dan/ atau orang (pejalan kaki). Suatu sistem pergerakan yang aman, cepat,
nyaman, murah dan sesuai dengan lingkungannya, akan dapat tercipta jika
pergerakan tersebut diatur oleh suatu sistem rekayasa dan manajemen lalu lintas
yang baik. Permasalahan kemacetan yang sering terjadi di kota-kota besar/ sedang
di Indonesia biasanya timbul karena kebutuhan transportasi lebih besar dibanding
prasarana transportasi yang tersedia, atau prasarana transportasi tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya. Perubahan pada sistem kegiatan jelas akan
mempengaruhi sistem jaringan melalui suatu perubahan tingkat pelayanan pada
sistem pergerakan. Begitu juga perubahan pada sistem jaringan dapat
mempengaruhi sistem kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksesibilitas
23
dari sistem pergerakan tersebut. Selain itu, sistem pergerakan berperanan penting
dalam mengakomodir suatu sistem pergerakan agar tercipta suatu sistem
pergerakan yang lancar, aman, cepat, nyaman, murah dan sesuai dengan
lingkungannya. Pada akhirnya juga pasti akan mempengaruhi kembali sistem
kegiatan dan sistem jaringan yang ada. Ketiga sistem transportasi mikro ini saling
berinteraksi satu sama lain yang terkait dalam suatu sistem transportasi makro.
Dalam upaya untuk menjamin terwujudnya suatu sistem pergerakan yang
aman, nyaman, lancar, murah dan sesuai dengan lingkungannya, maka dalam
sistem transportasi makro terdapat suatu sistem mikro lainnya yang disebut Sistem
Kelembagaan. Sistem ini terdiri atas individu, kelompok, lembaga, instansi
pemerintah serta swasta yang terlibat dalam masing-masing sistem mikro. Sistem
kelembagaan (instansi) yang berkaitan dengan masalah transportasi adalah
sebagai berikut:
I. Sistem Kegiatan: Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
(Bappenas), Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Provinsi, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Kabupaten/ Kota.
II. Sistem Jaringan: Kementerian Perhubungan, Balai Lalu-lintas Angkutan
Sungai Danau dan Penyeberangan, Dinas Perhubungan Provinsi, Dinas
Perhubungan Kabupaten/ Kota, Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat, Direktorat Jenderal Bina Marga, Balai Besar
Pelaksanaan Jalan Nasional, Satker Pelaksanaan Jalan, Dinas PU Provinsi,
serta Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten/ Kota.
24
III. Sistem Pergerakan: Kementerian Perhubungan dan Kepolisian Negara RI
melalui Direktorat Lalu Lintasnya.
Bappenas, Bappeda, dan Pemda berperanan penting dalam menentukan
sistem kegiatan melalui kebijakan perwilayahan, regional maupun sektoral.
Kebijakan sistem jaringan secara umum ditentukan oleh Kementerian
Perhubungan serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (dalam
hal ini melalui Direktorat Jenderal Bina Marga). Sistem Pergerakan diatur oleh
Kementerian Perhubungan dan dinas-dinas perhubungan di daerah, Kepolisian
melalui direktorat lalu lintasnya, masyarakat sebagai pemakai jalan (road user)
dan lain-lain. Kebijakan yang diambil tentunya dapat dilaksanakan dengan baik
melalui peraturan yang secara tidak langsung juga memerlukan sistem penegakan
hukum yang baik. Secara umum dapat disebutkan bahwa pemerintah, swasta dan
masyarakat seluruhnya harus ikut berperan dalam mengatasi masalah kemacetan,
sebab hal ini merupakan tanggung jawab bersama yang harus dipecahkan secara
tuntas dan jelas memerlukan pemeliharaan yang serius.
2.4 Kawasan Strategis Pariwisata, Transportasi, Budaya dan Alam di
Provinsi Bali
2.4.1 Kawasan strategis pariwisata nasional di Provinsi Bali
Menurut PP Nomor 51 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025, disebutkan bahwa terdapat 88
(delapan puluh delapan) Kawasan Strategis Pariwisatan Nasional (KSPN). Dari 88
25
(delapan puluh delapan) buah KSPN tersebut 11 (sebelas) diantaranya terdapat di
Provinsi Bali. Kesebelas KSPN yang terletak di Provinsi Bali tersebut antara lain:
a. KSPN Kintamani-Danau Batur dan sekitarnya.
b. KSPN Kuta-Sanur-Nusa Dua dan Sekitarnya.
c. KSPN Bali Utara/ Singaraja dan sekitarnya.
d. KSPN Karangasem-Amuk dan sekitarnya.
e. KSPN Taman Nasional Bali Barat dan sekitarnya.
f. KSPN Tulamben-Amed dan sekitarnya.
g. KSPN Bedugul dan sekitarnya.
h. KSPN Nusa Penida dan sekitarnya.
i. KSPN Ubud dan sekitarnya.
j. KSPN Besakih-Gunung Agung dan sekitarnya.
k. KSPN Menjangan, Pemuteran dan sekitarnya.
2.4.2 Kawasan strategis transportasi nasional di Provinsi Bali
Menurut Perda Provinsi Bali No 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029, sistem jaringan transportasi di Provinsi
Bali terdiri dari sistem jaringan transportasi darat, laut dan udara. Kawasan
strategis sistem jaringan transportasi nasional di Provinsi Bali antara lain:
a) Pelabuhan penyeberangan yaitu Pelabuhan Gilimanuk di Jemberana dan
Pelabuhan Padangbai di Kabupaten Karangasem.
b) Terminal Type A yaitu Terminal Mengwi di Kabupaten Badung
c) Pelabuhan laut utama yaitu Pelabuhan Benoa di Denpasar, Pelabuhan Celukan
Bawang di Buleleng dan Pelabuhan Tanah Ampo di Kabupaten Karangasem.
26
d) Bandar Udara (Bandara) Internasional yaitu Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai
di Kabupaten Badung.
e) Terminal Barang (Cargo) Ubung di Kota Denpasar.
2.4.3 Kawasan strategis tempat suci, cagar budaya dan alam di Provinsi
Bali
Menurut Perda Provinsi Bali No 6 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 kawasan tempat suci yang ada di
Provinsi Bali meliputi radius kesucian Pura Kahyangan baik Pura Sad Kahyangan,
Pura Dang Kahyangan maupun Pura Kahyangan Jagat lainnya. Pura kahyangan
yang terletak di lokasi studi antara lain:
a) Pura Kahyangan Jagat di Kota Denpasar antara lain:
1. Pura Griya Tanah Kilap di Kelurahan Pemogan.
2. Pura Prapat Nunggal di Kelurahan Pedungan.
3. Pura Dalem Pangembak di Kelurahan Sanur.
4. Pura Candi Narmada di Kelurahan Pemogan.
5. Pura Sakenan di Desa Serangan.
b) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Badung
1. Pura Uluwatu di Desa Pecatu.
2. Pura Padedekan di Desa Mengwi.
3. Pura Dalem Puri Puserjagat di Desa Sobangan.
4. Pura Pucak Mangu di Desa Tinggan.
5. Pura Pucak Bon di Desa Bon.
27
6. Pura Dalem Solo di Desa Sedang.
7. Pura Pucak Gegelang di Desa Nungnung.
8. Pura Hyang Api di Desa Samuan.
9. Pura Kancing Gumi di Desa Sulangi.
10. Pura Bukit Sari Sangeh di Desa Sangeh.
11. Pura Taman Ayung di Mengwi
c) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Gianyar
1. Pura Gunung Raung di Desa Taro.
2. Pura Samuan Tiga di Bedulu.
3. Pura Erjeruk di Desa Sukawati.
4. Pura Masceti di Desa Medahan.
5. Pura Gunung Kawi di Desa Sebatu.
6. Pura Dalem Pingit di Desa Sebatu.
7. Pura Tirta Empul di Desa Manukaya.
8. Pura Pusering Jagat di Desa Pejeng.
9. Pura Penataran Sasih di Desa Pejeng.
10. Pura Kebo Edan di Desa Pejeng.
11. Pura Gua Gajah di Desa Bedulu.
12. Pura Pangukur-ukuran di Desa Pejeng Kelod.
13. Pura Selukat di Desa Keramas.
14. Pura Bukit Jati di Desa Samplangan.
15. Pura Bukit Darma di Desa Buruan.
28
d) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Tabanan
1. Pura Tambawaras di Desa Sangketan.
2. Pura Muncaksari di Desa Sangketan.
3. Pura Batukaru di Desa Wongaya Gede
4. Pura Batu Belig di Desa Rijasa.
5. Pura Besikalung di Desa Jati Luwih.
6. Pura Teratai Bang di Desa Candi Kuning.
7. Pura Tanah Lot di Desa Beraban.
8. Pura Luhur Serijong di Desa Batu Lumbang.
9. Pura Luhur Natar Sari di Desa Apuan.
10. Pura Pucak Geni di Desa Cau Belayu.
e) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Klungkung
1. Pura Dasar Buana di Desa Gelgel.
2. Pura Segara Watuklotok di Desa Tojan.
3. Pura Goa Lawah di Desa Pesinggahan.
4. Pura Penataran Peed di Desa Ped.
5. Pura Goa Giri Putri di Desa Suana.
6. Pura Segara Peed di Desa Ped.
7. Pura Taman Peed di Desa Ped.
8. Pura Agung Kentel Gumi di Desa Tusan.
Menurut Undang-undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, terdapat
127 cagar budaya di Indonesia namun belum satupun yang ditetapkan di Provinsi
29
Bali. Namun UNESCO pada tahun 2011, melalui Surat Identifikasi No.1194
Tahun 2011 mencatat Kawasan Persawahan dan Subak Jati Luwih di Tabanan
sebagai Cagar Budaya Dunia. Terdapat beberapa cagar alam dan taman nasional
di Provinsi Bali. Menurut SK Menteri Pertanian RI Nomor: 716/Kpts/Um/9/74, 29
September 1974 terdapat Cagar Alam Batukaru di Kabupaten Tabanan seluas
1.762,80 Ha dan Cagar Alam Sangeh di Desa Sangeh, Kabupaten Badung seluas
10 Ha. Menurut SK Menteri Pertanian No. 169/Kpts/Um/3/1978 tanggal 10 Maret
1978 di Bali juga ditetapkan sebuah taman nasional yaitu Taman Nasional Bali
Barat di Kabupaten Jemberana dan Buleleng.
2.5 Analisis Multikriteria
Menurut Tamin (2008), analisis ini menggunakan persepsi stakeholders
terhadap kriteria atau peubah yang dibandingkan dalam pengambilan keputusan.
Analisis multikriteria memiliki sejumlah kelebihan jika dibandingkan dengan
proses pengambilan keputusan informal yang saat ini digunakan antara lain:
i. Proses pengambilan keputusan dilakukan secara terbuka bagi semua pihak
berkepentingan.
ii. Peubah atau kriteria yang digunakan dapat lebih luas, baik kuantitatif
maupun yang kualitatif.
iii. Pemilihan peubah tujuan dan kriteria terbuka untuk dianalisis dan diubah
jika dianggap tidak sesuai.
iv. Nilai dan bobot ditentukan secara terbuka sesuai dengan persepsi pihak
terkait yang dilibatkan (stakeholders).
30
v. Memberikan arti lebih terhadap proses komunikasi dalam pengambilan
keputusan, diantara para penentu kebijakan, dan dalam hal tertentu dengan
masyarakat luas.
Konsep yang dikembangkan dalam analisis multikriteria adalah:
i. Analisis sudah mempertimbangkan semua peubah secara komprehensif
dengan tetap menjaga proses ilmiah dari proses pengambilan keputusan
yang dilakukan.
ii. Banyak faktor yang harus dipertimbangkandan kepentingan pihak yang
harus diakomodasi.
iii. Penetapan pilihan dilakukan dengan memperhatikan sejumlah tujuan
dengan mengembangkan sejumlah tujuan dengan mengembangkan
sejumlah kriteria yang terukur.
iv. Skoring adalah preferensi alternatif terhadap kriteria tertentu.
v. Pembobotan adalah penilaian relatif antar kriteria.
Menurut Tamin (2008), pendekatan analisis multikriteria dapat
direpresentasikan seperti terlihat pada gambar berikut ini:
Gambar 2.3 Proses Pemilihan Alternatif dalam Analisis Multikriteria
Sumber: Tamin (2008).
Tahapan kegiatan pengambilan keputusan dalam analisis multikriteria , secara
singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
Usulan Pemeliharaan
Kriteria Penilaian
Analisis Multikriteria
Prioritas Pemeliharaan
31
a) Indikasi jumlah alternatif pemeliharaan yang akan dipilih.
b) Meninjau dominansi suatu pilihan terhadap pilihan lainnya, terjadi ketika
kinerja suatu alternatif sama atau lebih baik untuk semua kriteria terhadap
alternatif lainnya.
c) Melakukan pembobotan dengan menggunakan matriks pair wise comparison.
d) Skoring kinerja tiap alternatif dengan memberikan penilaian terukur terhadap
kriteria secara kualitatif ataupun kuantitatif.
e) Mengalikan bobot setiap kriteria dengan skor kinerja alternatif pada kriteria
tersebut.
f) Menjumlahkan nilai setiap kriteria sehingga didapatkan nilai total suatu
alternatif
g) Meranking nilai tersebut sehingga didapatkan prioritas alternatif.
Tingkat kepentingan setiap kriteria diperoleh dari proses wawancara dengan
mencari persepsi dari berbagai stakeholder. Stakeholder yang diambil adalah pada
tingkat pengambil keputusan dari instansi terkait. Proses wawancara dilakukan
dengan menggunakan kuesioner dimana stakeholder diminta untuk mengurutkan
kriteria yang ada, mulai dari yang paling penting sampai dengan kriteria yang
tingkat kepentingannya paling rendah. Dari hasil wawancara tersebut maka
kemudian dapat ditentukan bobot dari setiap kriteria.
Salah satu model pendukung keputusan multikriteria dikembangkan oleh
Thomas L. Saaty. Model tersebut disebut Metode Analytical Hierarchy Process
(AHP). AHP menguraikan masalah multi faktor atau multikriteria yang kompleks
menjadi suatu hirarki. Hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah
32
permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level
pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, subkriteria, dan
seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu
masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang
kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan
tampak lebih terstruktur dan sistematis (Saaty, 1986).
Menurut Muslich (2009), metode lain dalam pengambilan keputusan dalam
situasi multikriteria antara lain:
1. Metode timbangan.
Metode timbangan dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan
dengan kriteria/ pertimbangan yang dapat diukur dan dapat juga dipergunakan
untuk kriteria/ pertimbangan yang memiliki ukuran yang sama. Langkah-langkah
dari metode ini adalah dengan memberikan skor sebagai timbangan dari masing-
masing kriteria/ pertimbangan, sebagai ukuran kuantitatif yang harus dipenuhi.
Kelemahan dari metode ini adalah apabila keputusan tersebut diperuntukan untuk
kepentingan publik, maka ukuran kuantitatif yang ditentukan atau skor yang
diberikan sebagai timbangan harus diuji secara reabilitas dan validitas sehingga
menjadi skor yang reabel dan valid terhadap kepentingan publik tersebut.
2. Metode minimisasi penyimpangan.
Metode ini adalah suatu metode untuk menyelesaikan situasi permasalahan
dimana masing-masing kriteria/ pertimbangan memiliki ukuran kuantitatif dengan
skor yang sama. Seperti halnya dengan metode timbangan kelemahan dari metode
ini apabila keputusan tersebut diperuntukan untuk kepentingan publik, maka
33
ukuran kuantitatif yang ditentukan atau skor yang diberikan sebagai timbangan
harus diuji secara reabelitas dan validitas sehingga menjadi skor yang reabel dan
valid terhadap kepentingan publik tersebut
3. Metode eleminasi.
Metode ini digunakan pada situasi masalah dengan tujuan/ kriteria yang tidak
dapat dinyatakan secara kuantitatif tetapi masing-masing kriteria/ pertimbangan
telah dirumuskan urutan prioritasnya secara kualitatif, jadi pada metode ini urutan
prioritas merupakan tingkat skala prioritas yang diukur secara kualitatif.
2.5.1 Penentuan skala prioritas dengan analytical hierarchy process (AHP)
Dalam penyelesaian persoalan dengan metode AHP, menurut Saaty (1986),
dijelaskan pula beberapa prinsip dasar metode AHP yaitu:
1. Dekomposisi.
Setelah mendefinisikan permasalahan, maka perlu dilakukan dekomposisi
yaitu memecah persoalan utuh menjadi unsur-unsurnya sampai yang sekecil
kecilnya.
2. Comparative Judgment.
Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen
pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan di atasnya.
Penilaian ini merupakan inti dari metode AHP, karena akan berpengaruh
terhadap prioritas elemen-elemen.
3. Synthesis of Priority.
Dari setiap matriks pairwise comparison, vektor eigen-nya mendapat prioritas
lokal, karena pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk
34
melakukan global harus dilakukan sintesis diantara prioritas lokal. Prosedur
melakukan sintesis berbeda menurut bantuk hirarki.
4. Logical Consistency.
Konsistensi memiliki dua makna yang pertama bahwa obyek-obyek yang
serupa dapat dikelompokkan sesuai keragaman dan relevansinya. Kedua
adalah tingkat hubungan antar obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria
tertentu.
Beberapa keuntungan menggunakan metode AHP sebagai alat analisis adalah:
i. Dapat memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk
beragam persoalan yang tak berstruktur.
ii. Dapat memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem
dalam memecahkan persolan kompleks.
iii. Dapat menangani saling ketergantungan elemen–elemen dalam suatu
sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
iv. Mencerminkan kecendrungan alami pikiran untuk memilah–milah eleman-
elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat belaian dan mengelompokan
unsur-unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
v. Memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk
mendapatkan prioritas.
vi. Melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang
digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
vii. Menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebijakan setiap
alternatif.
35
viii. Mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem
dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-
tujuan mereka.
ix. Tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil representatif
dari penilaian yang berbeda-beda.
x. Memungkinkan orang memperluas definisi mereka pada suatu persoalan
dan memperbaiki pertimbangan serta pengertian mereka melalui
pengulangan.
AHP dapat digunakan dalam memecahkan berbagai masalah diantaranya
untuk mengalokasikan sumber daya, analisis keputusan manfaat atau biaya,
menentukan peringkat beberapa alternatif, melaksanakan perencanaan ke masa
depan yang diproyeksikan dan menetapkan prioritas pengembangan suatu unit
usaha dan permasalahan kompleks lainnya.
Hirarki adalah alat yang paling mudah untuk memahami masalah yang
kompleks dimana masalah tersebut diuraikan ke dalam elemen-elemen yang
bersangkutan, menyusun elemen-elemen tersebut secara hirarki dan akhirnya
melakukan penilaian atas elemen tersebut sekaligus menentukan keputusan mana
yang diambil. Proses penyusunan elemen secara hirarki meliputi pengelompokan
elemen komponen yang sifatnya homogen dan menyusunan komponen tersebut
dalam level hirarki yang tepat. Hirarki juga merupakan abstraksi struktur suatu
sistem yang mempelajari fungsi interaksi antara komponen dan dampaknya pada
sistem. Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling terkait tersusun dalam suatu
sasaran utama (ultimate goal) turun ke sub-sub tujuan, ke pelaku (aktor) yang
36
memberi dorongan dan turun ke tujuan pelaku, kemudian kebijakan-kebijakan,
strategi-strategi tersebut. Adapun abstraksi susunan hirarki keputusan antara lain
sebagai berikut:
1) Level 1 : Fokus/ sasaran/ goal
2) Level 2 : Faktor/ kriteria
3) Level 3 : Alternatif/ subkriteria
Menurut Saaty (1986), Struktur hirarki dalam metode AHP, terlebih dahulu
dengan merumuskan tujuan yang akan dicapai, dilanjutkan dengan penentuan
kriteria serta alternatif yang memungkin untuk dilakukan. Kriteria yang
menempati hirarki pada metode AHP harus memenuhi beberapa persyaratan
yaitu:
a. Lengkap: bahwa kriteria harus mencakup semua aspek yang penting, yang
digunakan dalam mengambil keputusan untuk pencapaian tujuan.
b. Operasional: setiap kriteria harus mempunyai arti bagi pengambil keputusan,
sehingga benar-benar dapat menghayati terhadap alternatif yang ada.
c. Tidak berlebihan: bahwa setiap kriteria pada dasarnya tidak boleh memiliki
pengertian yang sama atau tumpang tindih.
Sedangkan kelemahan metode AHP adalah: ketergantungan model AHP pada
input utamanya. Input utama ini berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal
ini melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti
jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru. Beberapa contoh aplikasi
Analytical Hierarchy Process antara lain untuk membuat suatu set alternatif,
perencanaan, merancang sistem, menentukan prioritas, memilih kebijakan terbaik
37
setelah menemukan satu set alternatif, alokasi sumber daya dan memastikan
stabilitas sistem dan menentukan kebutuhan/ persyaratan.
2.5.2 Nilai dan definisi pendapat kuantitatif
Dalam pengambilan keputusan hal yang perlu diperhatikan adalah pada saat
pengambilan data, dimana data ini diharapkan dapat mendekati nilai
sesungguhnya. Derajat kepentingan pelanggan dapat dilakukan dengan
pendekatan perbandingan berpasangan. Perbandingan berpasangan sering
digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari elemen dan kriteria yang
ada. Perbandingan berpasangan tersebut diulang untuk semua elemen dalam tiap
tingkat. Elemen dengan bobot paling tinggi adalah pilihan keputusan yang layak
dipertimbangkan untuk diambil. Untuk setiap kriteria dan alternatif kita harus
melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yaitu
membandingkan setiap elemen yang lainnya pada setiap tingkat hirarki secara
berpasangan sehingga nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat
kualitatif.
Untuk mengkuantitifkan pendapat kualitatif tersebut digunakan skala
penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kualitatif).
Menurut Saaty (1986) untuk berbagai permasalahan skala 1 sampai dengan 9
merupakan skala terbaik dalam mengkualitatifkan pendapat, dengan akurasinya
berdasarkan nilai RMSD (Root Mean Square Deviation) dan MAD (Median
Absolute Deviation). Nilai dan definisi pendapat kualitatif dalam skala
perbandingan Saaty seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.3.
38
Tabel 2.3
Nilai dan Definisi Pendapat Kuantitatif dalam Skala Perbandingaan Saaty
Intensitas Kepentingan
Definisi
Keterangan
1 Sama Penting
Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama terhadap tujuan
3 Agak Penting
Pengalaman dan pertimbangan sedikit mendukung satu elemen atas elemen lain
5 Penting Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat mendukung satu elemen atas elemen lain
7 Sangat Penting
Pengalaman dan pertimbangan sangat kuat mendukung satu elemen atas elemen lain
9 Mutlak Penting
Bukti yang mendukung elemen yang satu atas yang lain memiliki penegasan yang tinggi
2,4,6,8 Nilai-nilai Antara
Kompromi diperuntukan untuk dua pertimbangan yang berbeda
Kebalikan (1/ n)
Jika untuk elemen i mendapatkan satu angka dibandingkan dengan elemen j maka j mempunyai nilai kebalikannya dibandingkan dengan i.
Sumber: Saaty (1986)
2.5.3 Proses-proses dalam metode analytical hierarchy process (AHP)
Adapun Proses-proses yang terjadi pada metode AHP adalah sebagai berikut
(Saaty, 1986):
a. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.
b. Membuat struktur hirarki yang diawali tujuan umum dilanjutkan dengan
kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria paling bawah.
c. Membuat matrik perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi
relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap kriteria yang setingkat di atasnya.
39
d. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh judgment
(keputusan) sebanyak n x ((n-1)/ 2) buah, dengan n adalah banyaknya elemen
yang dibandingkan.
e. Menghitung nilai eigen vektor dan menguji konsistensinya. Jika nilainya lebih
dari 10 persen maka penilaian data judgment harus diperbaiki dan
pengambilan data diulangi lagi.
f. Mengulangi langkah c,d dan e untuk setiap tingkatan hirarki.
2.5.4 Matrik perbandingan berpasangan
Skala perbandingan berpasangan didasarkan pada nilai–nilai fundamental
analytical hierarchy process (AHP) dengan pembobotan dari nilai 1 untuk sama
penting sampai 9 untuk sangat penting sekali sesuai dengan Tabel 2.3. Dari
susunan matrik perbandingan berpasangan dihasilkan sejumlah prioritas yang
merupakan pengaruh relatif sejumlah elemen pada elemen di dalam tingkat yang
ada di atasnya. Perhitungan eigen vector dengan mengalikan elemen-elemen pada
setiap baris dan mengalikan dengan akar n, dimana n adalah elemen. Kemudian
melakukan normalisasi untuk menyatukan jumlah kolom yang diperoleh. Dengan
membagi setiap nilai dengan total nilai pembuat keputusan bisa menentukan tidak
hanya urutan ranking prioritas setiap tahap perhitungannya tetapi juga besaran
prioritasnya. Kriteria tersebut dibandingkan berdasarkan opini setiap pembuat
keputusan dan kemudian diperhitungkan prioritasnya.
2.5.5 Perhitungan bobot elemen
Perhitungan bobot elemen dilakukan dengan menggunakan suatu matriks.
Bila dalam suatu sub sistem operasi terdapat ‘n” elemen operasi yaitu elemen-
40
elemen operasi A1, A2, A3, ...An, maka hasil perbandingan secara berpasangan
elemen-elemen tersebut akan membentuk suatu matrik pembanding.
Perbandingan berpasangan dimulai dari tingkat hirarki tertinggi, dimana suatu
kriteria digunakan sebagai dasar pembuatan perbandingan. Bentuk matrik
perbandingan berpasangan bobot elemen diperlihatkan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4
Matrik Perbandingan Berpasangan Bobot Elemen
Sumber: Saaty (1986)
Bila elemen A dengan parameter i, dibandingkan dengan elemen operasi A
dengan parameter j, maka bobot perbandingan elemen operasi Ai berbanding Aj
dilambangkan dengan Aij maka:
a(ij) = Ai / Aj, dimana: i,j = 1,2,3,...n .............................................. (1)
Bila vektor-vektor pembobotan operasi A1,A2,... An maka hasil
perbandingan berpasangan dinyatakan dengan vektor W, dengan W = (W1, W2,
W3....Wn) maka nilai Intensitas kepentingan elemen operasi Ai terhadap Aj yang
dinyatakan sama dengan aij.
Dari penjelasan tersebut di atas maka matrik perbandingan berpasangan
(pairwise comparison matrik), dapat digambarkan menjadi matrik perbandingan
preferensi seperti diperlihatkan pada Tabel 2.5.
A1 A2 …….. An
A1 A11 Ann …….. A1nA2 A21 A22
…….. A2n…… …… …… …….. ……..An An1 An2 …….. Ann
41
Tabel 2.5 Matrik Perbandingan Berpasangan Intensitas Kepentingan
W1 W2 …….. Wn
W1 W1/W1 W1/W2 …….. W1/WnW2 W2/W1 W2/W2 …….. W2/Wn
…… …… …… …….. ……..…… …… …… …….. ……..Wn Wn/W1 Wn/W2 …….. Wn/Wn
Sumber: Saaty (1986)
Nilai Wi/Wj dengan i,j = 1,2,…,n dijajagi dengan melibatkan responden yang
memiliki kompetensi dalam permasalahan yang dianalisis. Matrik perbandingan
preferensi tersebut diolah dengan melakukan perhitungan pada tiap baris tersebut
dengan menggunakan rumus:
Wi = n√(ai1 x ai2 x ai3,….x ain) …………………………….. (2)
Matrik yang diperoleh tersebut merupakan eigen vektor yang juga merupakan
bobot kriteria. Bobot kriteria atau eigen vektor adalah ( Xi), dimana:
Xi = (Wi / Σ Wi) ...................................................... (3)
Dengan nilai eigan vektor terbesar (λmaks) dimana:
λmaks = Σ aij.Xj ..................................................... (4)
2.5.6 Perhitungan konsistensi dalam metode AHP
Matrik bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan
tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal sebagai berikut:
1. Hubungan Kardinal: aij – ajk = aik
2. Hubungan ordinal: Ai > Aj, Aj > Ak maka Ai > Ak
Hubungan di atas dapat dilihat dari dua hal sebagai berikat:
a. Dengan melihat preferensi multiplikatif misalnya keselamatan lalu lintas lebih
penting 4 kali dari kerusakan jalan, dan kerusakan jalan lebih penting 2 kali
42
dari kemacetan maka keselamatan lalu lintas lebih penting 8 kali dari
kemacetan.
b. Dengan melihat preferensi trasitif, misalnya keselamatan lalu lintas lebih
penting dari kerusakan jalan dan kerusakan jalan lebih penting dari
kemacetan, maka keselamatan lalu lintas lebih penting dari kemacetan.
Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan
tersebut, sehingga matrik tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini dapat terjadi
karena tidak konsisten dalam preferensi seseorang, contoh konsistensi matrik
sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Konsistensi Matrik
i j ki 1 4 2
A = j 1/4 1 1/2k 1/2 2 1
Sumber: Saaty (1986)
Matrik A tersebut konsisten karena:
aij x ajk = aik ---- = 4 x ½ = 2
aik x akj = aij ---- = 2 x 2 = 4
ajk x aki = aji ---- = ½ x ½ = ¼
Permasalahan di dalam metode analytical hierarchy process adalah
pengukuran pendapat terhadap responden, karena konsistensi tidak dapat
dipaksakan. Pengumpulan pendapat antara satu kriteria dengan kriteria yang lain
adalah bebas satu sama lain, dan hal ini dapat mengarah pada tidak konsistennya
jawaban yang diberikan. Pengulangan wawancara pada sejumlah responden dalam
43
waktu yang sama kadang diperlukan apabila derajat inkonsistensi atau
penyimpangan terhadap konsistensi dinilai besar. Penyimpangan terhadap
konsistensi dinyatakan dengan indeks konsistensi didapat rumus:
λ maks. – n IC = ................................................................. (5) n -1
Keterangan:
IC = Konsistensi indek
λmaks = Nilai eigen vektor maksimum,
n = Ukuran matrik.
Matrik random dengan skala penilaian 1 sampai dengan 9 beserta
kebalikannya disebut sebagai Random Indeks (RI). Nilai ramdom indek, setiap
ordo matriks seperti diperlihatkan pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Nilai Random Indek
Ordo Matrik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
RI 0 0 0,58 0,9 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49
Sumber: Saaty (1986)
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan 500 sampel, jika keputusan
numerik diambil secara acak dari skala 1/9, 1/8, 1, 2, ,9 akan memperoleh rata-
rata konsistensi untuk matriks dengan ukuran berbeda. Perbandingan antara IC
dan RI untuk suatu matriks didefinisikan sebagai concistency ratio (CR). Untuk
model analytical hierarchy proces, matrik perbandingan dapat diterima jika nilai
rasio konsistensi tidak lebih dari 0,1 (10%).
IC CR = ≤ 0,1 (OK) ......................................... (6) RI
44
Keterangan:
IC = Konsistensi indek
RI = Random indek
CR = Konsistensi rasio
2.5.7 Penggabungan pendapat responden
Menurut Marimin (2004), pada dasarnya AHP dapat digunakan untuk
mengolah data dari satu responden. Namun demikian dalam aplikasinya penilaian
kriteria dan alternatif dilakukan oleh beberapa ahli yang mutidisiplioner.
Konsekuensinya pendapat beberapa ahli tersebut perlu dicek konsistensinya satu
persatu. Pendapat yang konsisten tersebut kemudian digabungkan menjadi satu
gabungan pendapat dengan menggunakan rumus rata-rata geometri (geometric
mean).
퐺푀 = 푋푖
Atau dapat disederhanakan menjadi:
퐺푀 = √푋1.푋2.푋3 … .푋푛 ...................................................................... (7)
Keterangan:
GM = Geometric mean
Xi = Penilaian responden ke-i
Xi.X2.Xn...Xn = Perkalian seluruh penilaian responden
n = Jumlah responden
45
2.5.8 Model matematis penentuan skala prioritas
Model matematis adalah suatu sistem persamaam matematik yang digunakan
untuk meyelesaikan suatu permasalahan, sehingga penyelesaiannya lebih
sederhana. Dari pembobotan kriteria total responden di atas setelah dihitung rata-
ratanya selanjutnya dihitung prioritasnya dengan sistem persamaan matematis
(Brodjonegoro,1991).Berdasarkan hirarki AHP yang terdiri dari tujuan, kriteria
dan subkriteria/ alternatif, maka model matematis jembatan dapat disusun. Suatu
jembatan misalnya disebut “ Jembatan A “ sebagai salah satu alternatif jembatan
yang akan ditangani dengan skala prioritas jembatan A, secara kuantitatif
misalkan adalah sebesar “ Y “. Besarnya nilai “Y” akan dipengaruhi oleh
beberapa kriteria, misalkan kriteria Ca, Cb,…Ci. Dengan masing-masing kriteria
memiliki pengaruh kuantitatif terhadap “Y” adalah sebesar a, b, c…i. Dari uraian
tersebut di atas maka secara matematik besarnya nilai “ Y “ sebagai skala prioritas
terhadap “Jembatan A” yang akan ditangani adalah sebesar:
Y = a.Ca + b.Cb + c.Cc + d.Cd + …..+ i .Ci
Dimana:
y =Skala prioritas jembatan yang ditinjau, diukur secara kuantitatif
berdasarkan pengaruh kriteria Ca, Cb, Cc, Cd, …, Ci.
a = Bobot kuantitatif pengaruh kriteria A terhadap skala prioritas
b = Bobot kuantitatif pengaruh kriteria B terhadap skala prioritas
c = Bobot kuantitatif pengaruh kriteria C terhadap skala prioritas
d = Bobot kuantitatif pengaruh kriteria D terhadap skala prioritas
i = Bobot kuantitatif pengaruh kriteria i terhadap skala prioritas
46
Nilai a, b, c , d,… i, akan ditentukan dengan menggunakan metode Analytical
Hierarchy Process (AHP) level 2, yang kemudian akan terdistribusi persentasenya
pada bobot pengaruh kuantitatif subkriterianya terhadap kriteria masing-masing.
Sedangkan nilai kriteria Ca, Cb, Cc, Cb, …, Ci bernilai akan terdistribusi kepada
subkriteria yang berpengaruh terhadap masing-masing kriterianya. Sehingga
dengan model matematis persamaan 7 akan berkembang menjadi:
Y = (a1.Ca1+a2.Ca2+…+an.Can) + (b1.Cb1+b2.Cb2+….+bn.Cbn) + (c1.Cc1
+c2.Cc2+….+cn.Ccn) + (d1.Cd1+d2.Cd2+…+dn.Cdn) + …..+ (in.Cin+….)
Keterangan:
Y =Skala prioritas jembatan yang ditinjau, diukur secara kuantitatif
berdasarkan pengaruh kriteria Ca, Cb, Cc, Cd, …, Ci.
a1...an = Bobot kuantitatif pengaruh subkriteria Can terhadap Kriteria Ca.
b1...bn = Bobot kuantitatif pengaruh subkriteria Cbn terhadap Kriteria Cb.
c1...cn = Bobot kuantitatif pengaruh subkriteria Ccn terhadap Kriteria Cc.
d1...dn = Bobot kuantitatif pengaruh subkriteria Cdn terhadap Kriteria Cd.
in...Cin = Bobot kuantitatif pengaruh subkriteria Cin terhadap Kriteria Ci.
2.6 Populasi dan Sampel
2.6.1 Populasi
Menurut Sugiyono (2012), pengertian populasi adalah wilayah generalisasi
yang terdiri atas: objek/ subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Sedangkan menurut Hasan (2003), pengertian populasi secara
47
sederhana dapat dikatakan bahwa populasi adalah semua obyek penelitian. Nilai
populasi adalah semua nilai baik hasil perhitungan maupun pengukuran, baik
kuantitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang
lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifatnya.
Margono (2004), menyebutkan bahwa populasi adalah keseluruhan objek
penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan,
gejala-gejala, nilai tes, atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang
memiliki karaktersitik tertentu di dalam suatu penelitian. Kaitannya dengan
batasan tersebut, populasi dapat dibedakan berikut ini:
1. Populasi terbatas atau populasi terhingga, yakni populasi yang memiliki batas
kuantitatif secara jelas karena memiliki karakteristik yang terbatas.
2. Populasi tak terbatas atau populasi tak terhingga, yakni populasi yang tidak
dapat ditemukan batas-batasnya, sehingga tidak dapat dinyatakan dalam
bentuk jumlah secara kuantitatif.
Margono (2004), menyatakan bahwa persoalan populasi penelitian harus
dibedakan ke dalam sifat berikut ini:
1. Populasi yang bersifat homogen, yakni populasi yang unsur-unsurnya
memiliki sifat yang sama, sehingga tidak perlu dipersoalkan jumlahnya secara
kuantitatif.
2. Populasi yang bersifat heterogen, yakni populasi yang unsur-unsurnya
memiliki sifat atau keadaan yang bervariasi, sehingga perlu ditetapkan batas-
batasnya, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
48
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa populasi bukan sekedar
jumlah yang ada pada objek atau subjek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh
karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh subjek atau objek tersebut. Jadi populasi
bukan hanya orang tetapi juga obyek dan berbeda-beda alam yang lain. Populasi
juga bukan sekedar jumlah yang ada pada obyek/ subyek yang dipelajari, tetapi
meliputi seluruh karakteristik/ sifat yang dimiliki oleh subyek atau obyek itu.
2.6.2 Sampel
Pengertian sampel menurut Sugiyono (2009), adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Pengukuran sampel merupakan
langkah untuk menentukan besarnya sampel yang akan diambil dalam
melaksanakan penelitian dalam suatu obyek. Untuk menentukan besarnya sampel
bisa dilakukan dengan perhitungan statistik atau berdasarkan estimasi penelitian.
Pengambilan sampel ini harus dilakukan sedemikian rupa sehingga diperoleh
sampel yang benar-benar dapat berfungsi atau dapat menggambarkan keadaan
populasi yang sebenarnya. Dengan istilah lain, sampel harus representatif. Bila
populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada
populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti
dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipelajari
dari sampel itu, kesimpulannya akan diberlakukan untuk populasi. Untuk itu
sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif.
Margono (2004), menyatakan bahwa sampel adalah sebagai bagian dari
populasi, sebagai contoh (wakil) yang diambil dengan menggunakan cara-cara
49
tertentu. Penggunaan sampel dalam kegiatan penelitian dilakukan dengan
berbagai alasan. Margono (2004), mengungkapkan beberapa alasan tersebut yaitu:
a. Ukuran populasi
Dalam hal populasi tak terbatas (tak terhingga) berupa parameter yang
jumlahnya tidak diketahui dengan pasti, pada dasarnya bersifat konseptual.
Karena itu sama sekali tidak mungkin mengumpulkan data dari populasi
seperti itu.
b. Masalah biaya
Besar-kecilnya biaya tergantung juga dari banyak sedikitnya objek yang
diselidiki. Semakin besar jumlah objek, maka semakin besar biaya yang
diperlukan, lebih-lebih bila objek itu tersebar di wilayah yang cukup luas.
Oleh karena itu, sampling ialah satu cara untuk mengurangi biaya.
c. Masalah waktu
Penelitian sampel selalu memerlukan waktu yang lebih sedikit daripada
penelitian populasi. Sehubungan dengan hal itu, apabila waktu yang tersedia
terbatas, dan keimpulan diinginkan dengan segera, maka penelitian sampel,
dalam hal ini, lebih tepat.
d. Percobaan yang sifatnya merusak
Banyak penelitian yang tidak dapat dilakukan pada seluruh populasi karena
dapat merusak atau merugikan. Misalnya, tidak mungkin mengeluarkan semua
darah dari tubuh seseorang pasien yang akan dianalisis keadaan darahnya,
juga tidak mungkin mencoba seluruh neon untuk diuji kekuatannya. Karena
itu penelitian harus dilakukan hanya pada sampel.
50
e. Masalah ketelitian
Masalah ketelitian adalah salah satu segi yang diperlukan agar kesimpulan
cukup dapat dipertanggungjawabkan. Ketelitian, dalam hal ini meliputi
pengumpulan, pencatatan, dan analisis data. Penelitian terhadap populasi
belum tentu ketelitian terselenggara. Peneliti akan bosan dalam melaksanakan
tugasnya. Untuk menghindarkan itu semua, penelitian terhadap sampel
memungkinkan ketelitian dalam suatu penelitian.
f. Masalah ekonomis
Pertanyaan yang harus selalu diajukan oleh seorang peneliti; apakah kegunaan
dari hasil penelitian sepadan dengan biaya, waktu dan tenaga yang telah
dikeluarkan? Jika tidak, mengapa harus dilakukan penelitian? Dengan kata
lain penelitian sampel pada dasarnya akan lebih ekonomis daripada penelitian
populasi.
Menurut Suharsimi (2002), apabila subyeknya kurang dari 100 orang, lebih
baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi.
Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10%-15% atau
20%-25%, tergantung setidak-tidaknya dari:
a. Kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga dan dana.
b. Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subyek, karena hal ini
menyangkut banyak sedikitnya data.
c. Besar kecilnya resiko yang di tanggung oleh peneliti.
51
2.6.3 Teknik sampling
Menurut Sugiyono (2009), teknik pengambilan sampel adalah suatu teknik
untuk mendapatkan sampel pada suatu penelitian agar sampel tersebut
representatif terhadap populasi/ sosial situation yang diwakilinya. Teknik
sampling adalah teknik pengambilan sampel. Teknik sampling pada dasarnya
dapat dikelompokan menjadi dua yaitu Probability Sampling dan Nonprobability
Sampling.
Probability sampling adalah suatu teknik pengambilan sampel yang mana
memberikan peluang yang sama untuk setiap unsur/ anggota populasi/ social
situation (penelitian kualitatif) untuk menjadi sampel. Teknik ini terdiri dari:
Simple random sampling, Proportionate stratified random sampling,
Disproportionate stratified random sampling, dan Area/ cluster sampling.
Non probability sampling adalah suatu teknik pengambilan sampel yang
mana memberikan peluang yang tidak sama untuk setiap unsur/ anggota populasi/
sosial situation untuk menjadi sampel. Teknik ini terdiri dari:
a. Sistematis sampling:
Sistematis sampling adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan nomor
urut tertentu dari anggota populasi/ social situation yang telah diberi nomor
urut tertentu.
b. Sampling kuota:
Sampling kuota adalah teknik pengambilan sampel pada suatu populasi/ social
situation yang telah memenuhi jumlah unsur/ anggota tertentu.
52
c. Sampling insidental:
Sampling insidental adalah teknik sampling yang diambil secara insidental
atau kebetulan. Sampling ini digunakan pada penelitian yang sangat umum
dan semua usur/ anggota populasi memahami topik penelitian.
d. Purposive sampling:
Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan
tertentu, sesuai dengan persyaratan yang disyaratkan dalam penelitian yang
akan dilaksanakan, karena tidak semua unsur/ anggota populasi/ social
situation memahami tentang topik dari penelitian tersebut. Umumnya sampel/
responden dalam metode ini memiliki keahlian sesuai dengan topik penelitian
yang dilaksanakan. Sampel/ responden yang diambil pada metode ini
umumnya disebut dengan responden expert.
e. Sampel jenuh:
Sampel jenuh adalah metode sampling dengan mengambil semua unsur/
anggota populasi/ social situation menjadi sampel. Metode ini disebabkan
karena jumlah unsur/ anggota populasi/ social situation sangat sedikit.
f. Snowball sampling:
Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel yang diawali dengan
jumlah yang kecil, dan bilamana data yang akan diambil kurang memenuhi
persyaratan sesuai dengan yang diperlukan maka sampel ini ditambah sampai
semua data yang diperlukan didapat.
Dari teknik non probability sampling di atas karena penelitian ini spesifik
pada obyek penelitian jembatan maka dipilih teknik purposive sampling.
53
2.6.4 Batasan sampel
Topik penelitian ini adalah mengenai program pemeliharaan jembatan dengan
studi kasus di Satker Pelaksanaan Jalan Nasional Metropolitan Denpasar. Karena
topik penelitian bersifat khusus dengan tujuan tertentu di bidang jembatan maka
dalam teknik pengambilan sampel, termasuk memakai teknik purposive sampling.
Menurut Sugiyono (2009), pada teknik purposive sampling, sampel dibatasai
yaitu hanya responden yang dianggap sebagai pakar/ ahli/ ekspertist yang
memiliki kompetensi terdiri dari meraka yang memiliki kewenangan/ kebijakan
untuk memutuskan, tugas yang bersifat rutinitas dan profesi sehubungan dengan
topik yang diteliti, atau mereka yang memiliki kemampuan akademik, sesuai
dengan topik penelitian.
2.6.5 Kriteria sampel
Berdasarkan batasan sampel di atas maka dapat disusun kriteria sampel yang
memenuhi salah satu kriteria seperti disebutkan dibawah ini:
a) Memiliki kewenangan/ kebijakan untuk mengusulkan dan atau memutuskan
tentang pemeliharaan jembatan. Dalam hal ini sampel adalah di pejabat dan
anggota dewan yang berperan dalam proses penentuan kebijakan dalam
mengusulkan dan memutuskan pemeliharaan jembatan.
b) Memiliki tugas yang bersifat rutinitas tentang perencanaan, pemrograman,
pelaksanaan dan pengawasan jembatan. Dalam hal ini sampel adalah
pegawai, analisis dan petugas yang memiliki rutinitas perencanaan,
pemrograman, pelaksanaan dan pengawasan jembatan.
54
c) Mempunyai Profesi sehubungan dengan topik yang diteliti. Dalam hal ini
sampel adalah profesional yang memiliki profesi yang berhubungan dengan
pemeliharaan jembatan.
d) Memiliki kemampuan akademik, sesuai dengan topik penelitian. Dalam hal ini
sampel adalah akademisi dan tokoh masyarakat yang memiliki kemampuan
akademis dan memahami tentang pemeliharaan jembatan.
Menurut Ulwan (2014), memilih sampel berdasarkan purposive sampling
tergantung kriteria apa yang digunakan. Peneliti turun langsung ke tempat (area,
wilayah, lokasi) tertentu dimana banyak anggota populasi dimaksud berada.
Sebanyak yang dianggap cukup memadai untuk memperoleh data penelitian yang
mencerminkan (representatif) keadaan populasi. Data dari sampel purposive
dianggap sudah cukup apabila bisa menggambarkan (menjawab) apa yang
menjadi tujuan dan permasalahan penelitian. Tentu tidak tepat jika beberapa
orang, sebanyak mungkin jauh lebih baik dan angka pastinya tidak ada.
2.6.6 Teknik pengumpulan data
Menurut Sugiyono (2009), berdasarkan sumbernya data dibedakan menjadi
dua yaitu:
1. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian langsung secara
empirik kepada pelaku langsung atau yang terlibat langsung dengan
menggunakan teknik pengumpulan data tertentu.
55
2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari pihak lain atau hasil penelitian
pihak lain.
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat dikumpulkan dengan
teknik sebagai berikut:
a. Penelitian lapangan (Field Reasearch)
Penelitian di lapangan adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memperoleh
data primer yaitu data yang diperoleh melalui:
1. Pengamatan (Observation), yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan
mengamati secara langsung objek yang diteliti.
2. Wawancara (Interview), yaitu teknik pengumpulan data dengan cara tanya
jawab dengan pimpinan atau pihak yang berwenang atau bagian lain yang
berhubungan langsung dengan objek yang diteliti.
3. Kuesioner, yaitu teknik pengumpulan data dengan membuat daftar
pertanyaan yang berkaitan dengan objek yang diteliti, diberikan kepada
pimpinan atau pihak yang berwenang atau bagian lain yang berhubungan
langsung dengan objek yang diteliti.
b. Penelitian kepustakaan (Library Reasearch)
Penelitian kepustaan adalah penelitian yang dimaskudkan untuk memperoleh data
sekunder yaitu data yang merupakan faktor penunjang yang bersifat teoritis
kepustakaan.
56
2.7 Kuesioner
Menurut Kasnodiharjo (1993), ada 3 macam kuesioner/ formulir isian yang
sering digunakan dalam pengumpulan data yaitu:
a) Formulir isian untuk keperluan administrasi.
b) Formulir isian untuk observasi.
c) Daftar pertanyaan (kuesioner).
Dari ketiga jenis macam kuesioner tersebut maka dalam kajian pustaka ini akan
dibahas mengenai daftar pertanyaan (kuesioner).
Menurut Kasnodiharjo (1993), kuesioner adalah suatu sarana dalam
pengumpulan data untuk memperoleh gambaran yang sebenarnya tentang suatu
keadaan. Kuesioner mempunyai peranan penting sebab didalamnya mencakup
semua tujuan penelitian dari survei/ penelitian. Disamping sudah tercakupnya
tujuan dari surveinya, suatu kuesioner yang baik harus juga memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Mudah ditanyakan.
2. Mudah dijawab.
3. Mudah diproses.
Pengertian mudah dalam hal ini sangat relatif dan tergantung dari jenis
surveinya maupun petugas yang melakukannya. Pengumpulan data menggunakan
daftar pertanyaan biasanya dilakukan dengan wawancara. Kuesioner sebenarnya
sudah mencakup dua jenis daftar isian pertama dan kedua dan sifatnya lebih luas
dan lengkap. Hal ini disebabkan antara pewawancara (interviewer) dengan
responden sehingga memungkinkan didapatkannya jawaban yang lebih akurat.
57
2.7.1 Masalah-masalah mendasar dalam menyusun kuesioner
Menurut Kasnodiharjo (1993), masalah penting yang sering timbul dari
penggunaan kuesioner dalam suatu survei adalah adanya variasi dari responden
terutama menyangkut tingkat pendidikan, perbedaan daerah dimana responden
tinggal dan latar belakang pekerjaan. Bagaimanapun juga baiknya pemilihan
responden (sampel), perbedaan-perbedaan individual tetap ada/ muncul. Oleh
karena itu jauh sebelum menyusun suatu kuesioner kita harus menyadari hal-hal
yang demikian. Dengan adanya perbedaan/ variasi dari responden tersebut,
mungkin dalam penggunaan kuesioner akan timbul antara lain hal-hal sebagai
berikut:
1. Responden tidak mengerti pertanyaan, jawaban yang diberikan tidak ada
hubungannya dengan pertanyaan yang diajukan.
2. Responden mengerti pertanyaannya, mempunyai informasi datanya, akan
tetapi mungkin tidak mengetahui mana informasi penting yang harus diingat.
Misalnya pertanyaan intensitas fogging dalam setahun dilakukan berapa kali,
responden mengerti apa itu fogging dan prosesnya namun tidak ingat
intensitasnya.
3. Responden mengerti pertanyaan, mempunyai informasi tetapi tidak mau
menjawab/ memberikan informasi yang dimaksud. Hal ini umumnya
menyangkut pertanyaan tentang masalah pribadi , seperti mengenai gaji, harta,
kepemilikan, dsb.
4. Responden mengerti pertanyaannya, mau menjawab, namun tidak mampu
mengemukakan. Ada tiga alasan kenapa responden tidak mampu
58
mengemukakan, antara lain: tidak mampu menguraikan jawaban, pertanyaan
diajukan ke orang yang tidak tepat dan responden tidak mengetahui
jawabannya.
2.7.2 Prinsip-prinsip pembuatan kuesioner
Menurut Kasnodiharjo (1993), pembuatan kuesioner perlu memperhatikan
masalah-masalah yang sering timbul sebagaimana diuraikan di atas. Sebagai
pedoman dalam penyusunan kuesioner berikut ini diuraikan bagaimana sebaiknya
suatu kuesioner yang sedapat mungkin harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Jelas
Kejelasan menyangkut kata-kata yang tepat supaya responden memahami
benar maksud pertanyaan yang diajukan. Ada kalanya suatu kata dapat
mempengaruhi jawaban responden. Jelas juga dimaksud menghindari
penggunaan kata-kata double negative dan menghindari penggabungan
beberapa pertanyaan kedalam satu pertanyaan. Jangan sampai terdapat
pertanyaan yang mengacu ke jawaban sebelumnya tetapi tanpa menyebutkan
secara jelas jawaban yang mana yang dimaksud. Pewawancara sebaiknya
menghindari pertanyaan yang terlalu luas batasannya.
2. Membantu ingatan responden
Pertanyaan harus dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan responden
untuk mengingat kembali hal-hal yang diperlukan untuk menjawab suatu
pertanyaan. Cara yang sering digunakan adalah dengan menggunakan time
line dengan mengambil suatu peristiwa penting yang mudah dingat responden.
59
3. Membuat responden bersedia menjawab
Bagaimanapun baiknya kuesioner akan tidak ada artinya kalau responden
tidak mau atau menolak memberi jawaban. Hal ini bisa terjadi karena susunan
pertanyaan ataupun kata-katanya kurang tepat. Usahakan tidak menanyakan
hal-hal yang sulit dan bersifat pribadi pada permulaan wawancara. Susunlah
pertanyaan tentang hal-hal yang mudah dijawab dan menyenangkan
responden.
4. Menghindari bias
Menghindari pemakaian jawaban yang memiliki arti sama dan multi tafsir.
5. Mudah mengutarakan
Agar lebih mudah dipahami dapat diberikan gambar atau ranking skala,
responden cukup hanya memilih jawaban mana yang dimaksud daripada harus
memahami kata-kata yang sulit.
6. Dapat menyaring responden
Penting sekali suatu pertanyaan dapat menyaring responden sebab kalau tidak
pertanyaan-pertanyaan tertentu mungkin tidak bisa dijawab karena ditanyakan
ke responden yang salah.
2.7.3 Jenis pertanyaan dalam kuesioner
Menurut Kasnodiharjo (1993), terdapat beberapa jenis pertanyaan dalam
kuesioner antara lain:
1. Free response
Jenis pertanyaan ini memiliki jawaban yang tidak terbatas dan terserah
kepada responden. Jenis pertanyaan ini biasanya digunakan untuk
60
mengetahui opini, persepsi atau motif tertentu dari responden. Pertanyaan
ini memberikan peluang kepada responden untuk menjawab apa yang dia
pikirkan, ketahui dan sebagainya. Kelamahan jenis pertanyaan ini adalah
sulit untuk ditabulasi/ diolah karena perbedaan interpretasi dari masing-
masing jawabannya.
2. Directed response
Berbeda dengan jenis pertanyaan free response, jenis pertanyaan directed
response ini sudah diarahkan tidak terlalu luas. Jawaban lebih terarah dan
lebih mudah untuk dibandingkan antara jawaban dari satu responden ke
lainnya karena hanya menyangkut masalah terbatas, kecil dan sama.
3. Multiple choice
Jenis pertanyaan ini jawabannya sudah disediakan dan responden tinggal
memilih satu jawaban yang sesuai dengan opininya. Keuntungan jenis
pertanyaan ini adalah tidak sulit menjawabnya karena memilih dan juga
mudah dalam pengolahan/ tabulasinya. Jenis pertanyaan ini baik
digunakan apabila kita sudah yakin dan tahu benar kemungkinan jawaban
dari pertanyaan yang diajukan.
4. Check list
Jenis pertanyaan ini adalah modifikasi dari multiple choice. Pada jenis
pertanyaan ini kita diberi kebebasan untuk memilih jawaban sebanyak
mungkin. Jawaban responden mungkin lebih dari satu dan bahkan semua
jawaban mungkin dipilih responden.
61
5. Ranking question
Pada jenis pertanyaan ini responden diminta untuk mengurutkan jawaban–
jawaban yang tersedia sesuai dengan pendapat responden.
6. Dichotomous question
Pada jenis pertanyaan ini responden hanya diberikan pilihan untuk
menjawab satu jawaban saja dari dua opsi yang telah disiapkan.
7. Open end question
Jenis pertanyaan ini biasanya digunakan untuk kualitatif research.
Pertanyaan biasanya dimulai dengan salah satu subyek dan atas dasar
jawaban responden maka dilanjutkan dengan pertanyaan yang disusun
sebagai kelanjutan dari jawaban tersebut.
2.7.4 Prosedur menyiapkan kuesioner
Menurut Kasnodiharjo (1993), dalam menyiapkan kuesioner diperlukan
urutan-urutan pembuatannya secara sistematik dan baik. Beberapa langkah dalam
pembuatan kuesioner adalah sebagai berikut:
1. Dalam pertanyaan harus sudah ditentukan informasi/ data apa yang
diperlukan dan dari sumber mana data tersebut diperoleh.
2. Informasi/ data yang ingin diperoleh dari sumber tersebut harus di daftar
mulai dari data pokok yang diperlukan dan seterusnya. Umumnya tidak
semua informasi yang ditanyakan akhirnya diperlukan. Pertanyaan yang
tidak penting sebaiknya dihilangkan. Pertanyaan harus didasarkan pada
kerangka pemikiran awal yang mengarahkan pemikiran kepada hipotesis
awal.
62
3. Mencoba menempatkan diri kita dalam posisi orang-orang yang akan
dijadikan responden. Hal-hal yang sulit dipahami dan sulit dijawab
sebaiknya disederhanakan agar lebih mudah dapat dipahami.
4. Menentukan urutan topik, topik mana sebagai pembuka wawancara dan
mana yang baik sebagai penutup wawancara.
5. Topik-topik/ item-itemnya perlu diurutkan, kemudian baru ditentukan
jenis pertanyaan apa yang akan digunakan.
6. Setelah menentukan pertanyaan apa yang akan digunakan kemudia
tuliskan susunan kata-kata untuk setiap pertanyaan. Pertanyaan harus jelas
agar mudah dipahami terutama hubungannya dengan elemen-elemen
penelitian dan pertanyaan sebelumnya.
7. Setelah penulisan selesai, tentukan formatnya. Sediakan ruangan yang
cukup untuk jawabannya. Kalau ada pertanyaan multiple choice atau
check list maka harus sudah disiapkan jawaban-jawabannya.
8. Format kuesioner sudah selesai termasuk didalamnya pertanyaan-
pertanyaan yang telah tersusun dan jawaban yang diperlukan, tetapi
kemngkinan terdpat kejanggalan-kejanggalan baik kata-kata maupun
susunannya. Oleh karena itu setelah format selesau perlu diteliti kembali
dan diperbaiki lagi apabila diperlukan.
9. Kalau sudah yakin semuanya benar dan sesuai dengan apa yang kita
harapkan maka tempatkan diri kembali sebagai responden. Dapatkah kita
menjawab semua pertanyaan tersebut dan hitunglah waktu yang
diperlukan. Kalau ternyata waktu yang diperlukan terlalu lama maka perlu
63
dipikirkan kembali apakah ada hal-hal yang dapat menghemat waktu
seperti menghilangkan pertanyaan yang tidak penting.
10. Kemudian tempatkan diri kita sebagai interviewer. Apakah pertanyaan-
pertanyaan tersebut sudah baik dan mudah ditanyakan. Apakah bahasanya
wajar, mudah dibaca dan mudah menulis jawabannya.
11. Agar kuesioner lebih baik lagi perlu dimintakan pendapat/ saran dari pihak
yang banyak tahu tentang topik/ masalah yang hendak kita survei.
12. Kuesioner kemudia diuji coba di lapangan dengan beberapa responden,
untuk mengetahui kemudahan penggunaannya. Berdasarkan hasil uji coba
maka maka diketahui mana pertanyaan yang perlu direvisi. Ada baiknya
setelah diperbaiki dilakukan uji coba sekali lagi jika biaya dan waktu
masih memungkinkan.
13. Setelah uji coba, kuesioner siap untuk diperbanyak dan siap untuk
digunakan dalam penelitian/ survei yang sebenarnya.
2.7.5 Skala pengukuran kuesioner
Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan
untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur,
sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan
data kuantitatif. Ada beberapa jenis skala pengukuran yaitu (Firdaus, 2008):
1. Skala Guttman
Adalah skala pengukuran yang digunakan bila peneliti ingin mendapat jawaban
yang tegas yaitu ya-tidak, benar-salah dan lain-lain.
64
2. Semantik Deferential
Adalah skala pengukuran yang digunakan untuk mengukur sikap/ karakteristik
seseorang. Bentuknya tidak pilihan ganda atau ceklist, tetapi tersusun dalam
satu garis kontinue yang jawabannya sangat positifnya paling kanan dan sangat
negatifnya paling kiri.yang didasarkan pada ranking, diurutkan dari jenjang
yang lebih tinggi sampai jenjang yang lebih rendah atau sebaliknya.
3. Rating Schale
Adalah skala pengukuran dimana data mentah yang diperoleh berupa angka
kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif.
4. Skala Likert
Adalah suatu interval pengukuran sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau
sekelompok orang tentang fenomena. Variabel yang akan diukur dijabarkan
menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan titik tolak
untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pernyataan atau
pertanyaan.
2.8 Penelitian Sebelumnya
2.8.1 Penelitian Tri Wiyono
Penelitian ini dilakukan pada tahun 2011 dengan judul penelitian: Sistem
Penentuan Prioritas Penanganan Pemeliharaan Jembatan di Kabupaten
Karanganyar. Tahapan penelitian meliputi; menentukan kriteria dan subkriteria
yang menjadi pertimbangan dalam menentukan prioritas penanganan jembatan,
melakukan pembobotan kriteria dan subkriteria dengan metode Proses Hirarki
65
Analisis, membuat sistem pendukung keputusan menggunakan aplikasi Microsoft
Office Excel 2007 untuk menentukan urutan prioritas penanganan pemeliharaan
jembatan. Berdasarkan hasil studi literatur dan diskusi/ wawancara terhadap 11
stakeholder digunakan lima kriteria dalam menentukan prioritas penanganan
jembatan antara lain sebagai berikut:
1. Kondisi kerusakan komponen jembatan.
2. Tingkat kepadatan lalu lintas.
3. Aksesibilitas jembatan.
4. Biaya penanganan.
5. Sistem pengadaan barang dan jasa.
Subkriteria yang digunakan oleh Wiyono dalam penelitiannya adalah:
1. Memerlukan penanganan.
2. Tidak memerlukan penanganan.
2.8.2 Penelitian Anthony Ompusunggu
Penelitian ini berjudul Penentuan Skala Prioritas Pemeliharaan Jembatan Di
Jalan Pantura Jawa Timur. Penelitian ini dimulai dari penentuan variabel-variabel/
kriteria-kriteria yang berpengaruh dalam penentuan skala prioritas pemeliharaan
jembatan berdasarkan sintesa kajian yang dipertegas oleh resonden expert.
Kemudian dilakukan pemilihan alternatif jembatan berdasarkan kriteria-kriteria
tersebut dengan menggunakan alat analisa multivariabel yaitu AHP. Tahap
selanjutnya dilakukan analisis sensitifitas untuk mengetahui kemapanan kriteria
yang digunakan dalam penelitian ini guna menentukan alternatif jembatan dalam
66
program pemeliharaan. Adapun kriteria dan subkriteria yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kriteria financial dengan subkriteria budget/ anggaran dan efisiensi biaya.
2. Kriteria transportasi dengan subkriteria yaitu LHR, kecepatan rata-rata dan
jalan alternatif.
3. Kriteria sosial dengan subkriteria jumlah penduduk.
4. Kriteria teknik dengan subkriteria jenis kerusakan dan waktu pelaksanaan.
2.8.3 Penelitian I Kadek Sutika
Pada Tahun 2010, I Kadek Sutika membuat suatu penelitian yang bertopik
Penentuan Skala Prioritas Pemeliharaan Ruas-Ruas Jalan Provinsi di Provinsi Bali
dengan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Struktur hirarki yang
didapat dalam penelitian ini terdiri atas 3 level. Level-1 ditempati oleh tujuan,
yaitu penentuan skala prioritas pemeliharaan ruas-ruas jalan, sedangkan pada
level-2 ditempati kriteria dan level-3 subkriteria. Adapun kriteria dan subkriteria
yang dipakai dalam penelitian ini antara lain:
1. Sistem kelembagaan, dengan subkriteria kesesuaian usulan terhadap
arahan Renstra dan kesesuaian usulan terhadap usulan Musrenbang.
2. Sistem jaringan, dengan subkriteria kondisi jalan dan fungsi jalan.
3. Sistem tata guna lahan dengan empat subkriteria antara lain keberadaan
jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan pariwisata, keberadaan
jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan perkantoran, keberadaan
jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan pertambangan dan
67
keberadaan jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan suci dan
tempat suci.
4. Sistem pergerakan dipengaruhi oleh subkriteria LHR Jalan.
2.8.4 Kajian pustaka terhadap kriteria penelitian sebelumnya
Berdasarkan penelitian sebelumnya, dapat diperoleh gambaran hirarki yang
telah digunakan dalam penelitian sejenis yang pernah dilaksanakan dengan obyek
penelitian yang berbeda. Struktur hirarki tersebut dapat digunakan sebagai
gambaran awal untuk penyusunan hirarki pada penelitian ini. Struktur hirarki
tersebut antara lain kriteria dan subkriteria pada penelitian sebelumnya. Pada
Tabel 2.8 dapat dilihat perbandingan kriteria pada penelitian sebelumnya.
Tabel 2.8 Kriteria yang Digunakan pada Penelitian Sebelumnya
Sutika Ompusunggu WiyonoSistem Jaringan Teknik Kondisi kerusakan komponen jembatan.Sistem Tata Guna Lahan Aksesibilitas jembatan.Sistem Pergerakan Transportasi Tingkat kepadatan lalu lintas.
Sosial Sistem Kelembagaan Financial Biaya penanganan.
Sistem pengadaan barang dan jasa. Sumber: Pengolahan Data, 2016.
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa ketiga peneliti menggunakan kriteria
yang memiliki pemahaman yang sama satu sama lainnya. Sutika menyebut
kriterianya dengan sistem jaringan yang terdiri dari subkriteria kondisi jalan dan
fungsi jalan, sementara Ompusunggu menyebutnya dengan kriteria teknik dengan
subkriteria jenis kerusakan dan waktu pelaksanaan. Pada penelitian lain, Wiyono
menyebut kriteria ini sebagai kriteria kondisi kerusakan jembatan yang pada
68
prinsipnya memiliki pemahaman yang sama dengan kriteria sistem jaringan oleh
Sutika maupun kriteria teknik oleh Ompusunggu. Dari ketiga kriteria tersebut
kriteria sistem jaringan dari Sutika bersifat lengkap, operasional, tidak berlebihan
dan mampu mengakomodir kriteria dari Ompusunggu dan Wiyono yang lebih
khusus sebagai subkriterianya, sehingga kriteria sistem jaringan dari Sutika dapat
dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam penelitian ini.
Sutika menyebut kriterianya yang kedua sebagai kriteria sistem tata guna
lahan yang merupakan perwujudan dari empat subkriteria antara lain keberadaan
jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan pariwisata, keberadaan jalan
untuk meningkatkan akses menuju kawasan perkantoran, keberadaan jalan untuk
meningkatkan akses menuju kawasan pertambangan dan keberadaan jalan untuk
meningkatkan akses menuju kawasan suci dan tempat suci. Sementara Wiyono
untuk kriteria ini menyebutnya dengan aksesibilitas jembatan dalam
menghubungkan suatu tata guna lahan. Ompusunggu tidak memiliki kriteria yang
memiliki kemiripan makna dengan kriteria dari Sutika dan Wiyono ini. Dari
kedua kriteria tersebut kriteria sistem tata guna lahan dari Sutika bersifat lengkap,
operasional, tidak berlebihan dan mampu mengakomodir kriteria dari Wiyono
yang lebih khusus sebagai subkriterianya, sehingga kriteria sistem tata guna lahan
dari penelitian Sutika dapat dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam
penelitian ini.
Kriteria selanjutnya dari Sutika adalah kriteria sistem pergerakan yang
merupakan perwujudan dari subkriteria lalu-lintas harian rata-rata. Pada penelitian
Ompusunggu, kriteria ini memiliki kemiripan dengan kriteria transportasi yang
69
merupakan perwujudan tiga subkriteria yaitu LHR, kecepatan rata-rata dan jalan
alternatif. Kriteria ini juga memiliki kemiripan makna dengan kriteria social
dalam penelitian Ompusunggu, karena faktor social tersebut merupakan
perwujudan dari subkriteria jumlah penduduk yang menyebabkan bangkitan dari
pergerakan itu sendiri. Dalam penelitian Wiyono terdapat kriteria tingkat
kepadatan lalu-lintas yang memiliki kemiripan makna dengan kriteria dari Sutika
maupun Ompusunggu. Dari ketiga kriteria tersebut kriteria sistem pergerakan dari
penelitian Sutika bersifat lebih lengkap, operasional, tidak berlebihan dan mampu
mengakomodir kriteria dari Ompusunggu dan Wiyono yang lebih khusus sebagai
subkriterianya, sehingga kriteria sistem pergerakan dari penelitian Sutika dapat
dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam penelitian ini.
Kriteria terakhir dalam penelitian Sutika adalah kriteria sistem kelembagaan
yang merupakan perwujudan dari subkriteria kesesuaian usulan terhadap arahan
Renstra dan kesesuaian usulan terhadap usulan Musrenbang. Kriteria ini memiliki
kemiripan dengan kriteria financial pada penelitian Ompusunggu. Kriteria Sutika
dan Ompusunggu itu juga memiliki kemiripan makna dengan kriteria biaya
penanganan dan kriteria sistem pengadaan barang pada penelitian Wiyono. Dari
ketiga kriteria tersebut kriteria sistem kelembagaan dari penelitian Sutika bersifat
lebih lengkap, operasional, tidak berlebihan dan mampu mengakomodir kriteria
dari Ompusunggu dan Wiyono yang lebih khusus sebagai subkriterianya,
sehingga kriteria sistem kelembagaan dari penelitian Sutika dapat
dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam penelitian ini.