bab ii tinjauan pustaka 2.1 jalan dan klasifikasinya ii final.pdf · t gantung d beton tak...

63
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, jalan didefinisikan sebagai prasarana transportasi darat. Jalan meliputi bagian- bagiannya, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapan jalan. Jalan diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/ atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. 2.1.1 Klasifikasi jalan berdasarkan sistem jaringan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan menyebutkan bahwa berdasarkan sistem jaringan, jalan dikelompokkan menjadi jalan dalam sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder. a. Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan sebagai prasarana distribusi barang dan/ atau jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan jalan menghubungkan semua simpul wilayah yang berwujud pusat-pusat kegiatan nasional. b. Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan.

Upload: vokiet

Post on 07-Feb-2018

253 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jalan dan Klasifikasinya

Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, jalan

didefinisikan sebagai prasarana transportasi darat. Jalan meliputi bagian-

bagiannya, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapan jalan. Jalan

diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas

permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/ atau air, serta di atas

permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.

2.1.1 Klasifikasi jalan berdasarkan sistem jaringan

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan menyebutkan

bahwa berdasarkan sistem jaringan, jalan dikelompokkan menjadi jalan dalam

sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder.

a. Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan dengan peranan

pelayanan sebagai prasarana distribusi barang dan/ atau jasa untuk

pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan jalan

menghubungkan semua simpul wilayah yang berwujud pusat-pusat kegiatan

nasional.

b. Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan dengan

peranan pelayanan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa untuk

masyarakat di dalam kawasan perkotaan.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

8

2.1.2 Klasifikasi jalan berdasarkan fungsinya

Berdasarkan fungsinya, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang

Jalan, mengelompokkan jalan menjadi:

a. Jalan arteri adalah jalan umum sesuai dengan fungsinya sebagai sarana

angkutan utama dengan bercirikan sebagai prasarana pelayanan lalu lintas

dengan asal-tujuan berjarak jauh, berkecepatan rata-rata tinggi, serta jalan

masuk dibatasi secara berdaya guna.

b. Jalan kolektor adalah jalan umum dengan fungsinya sebagai sarana angkutan

umum yang bercirikan sebagai prasarana pelayanan lalu-lintas dengan asal-

tujuan yang berjarak sedang, berkecepatan rata-rata sedang, serta jalan masuk

dibatasi.

c. Jalan lokal adalah jalan sesuai dengan fungsinya sebagai prasarana angkutan

lokal yang dengan bercirikan sebagai pelayanan lalu lintas dengan asal-tujuan

yang berjarak dekat, dan berkecepatan rata-rata rendah, serta dengan jalan

masuk tidak dibatasi.

d. Jalan lingkungan adalah jalan sesuai dengan fungsinya sebagai prasarana

angkutan lingkungan yang bercirikan dengan pelayanan lalu lintas dengan

asal-tujuan yang berjarak dekat, dan berkecepatan rata-rata rendah.

2.1.3 Klasifikasi jalan berdasarkan statusnya

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, berdasarkan

statusnya, jalan dikelompokkan menjadi jalan nasional, jalan provinsi, jalan

kabupaten, jalan kota dan jalan desa.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

9

a. Jalan nasional adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah pusat berdasarkan

fungsinya meliputi jalan arteri atau jalan kolektor dari sistem jaringan jalan

primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi dan bisa juga berupa jalan

strategis nasional dan/ atau jalan tol.

b. Jalan provinsi adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah provinsi yang sesuai

dengan fungsinya meliputi jalan kolektor dari sistem jaringan jalan primer

yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/ kota atau

antar ibukota kabupaten/ kota dan bisa juga berupa jalan strategis provinsi.

c. Jalan kabupaten adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah kabupaten yang

sesuai fungsinya meliputi jalan lokal dari sistem jaringan jalan primer yang

menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota

kecamatan, atau bisa juga jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten

dengan pusat kegiatan lokal sebagai jalan strategis kabupaten.

d. Jalan kota adalah jalan yang dikelola oleh pemerintah kota dalam sistem

jaringan jalan sekunder dengan fungsi menghubungkan antar pusat pelayanan

dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan

antar persil, dan menghubungkan antar pusat permukiman dalam kota.

e. Jalan desa adalah jalan yang menghubungkan kawasan dan/ atau antar

permukiman di dalam kecamatan, serta jalan lingkungan.

2.2 Jembatan

2.2.1 Pengertian jembatan

Menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, jembatan

adalah suatu konstruksi bangunan pelengkap sarana trasportasi jalan yang

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

10

menghubungkan suatu tempat ke tempat yang lainnya, yang dapat dilintasi oleh

sesuatu benda bergerak misalnya suatu lintas yang terputus akibat suatu rintangan

atau sebab lainnya, dengan cara melompati rintangan tersebut tanpa menimbun/

menutup rintangan itu dan apabila jembatan terputus maka lalu lintas akan

terhenti. Lintas tersebut bisa merupakan jalan kendaraan, jalan kereta api atau

jalan pejalan kaki, sedangkan rintangan tersebut dapat berupa jalan kenderaan,

jalan kereta api, sungai, lintasan air, lembah atau jurang.

Jembatan juga merupakan suatu bangunan pelengkap prasarana lalu lintas

darat dengan konstruksi terdiri dari pondasi, struktur bangunan bawah dan

struktur bangunan atas, yang menghubungkan dua ujung jalan yang terputus

akibat bentuk rintangan melalui konstruksi struktur bangunan atas. Jembatan

adalah jenis bangunan yang apabila akan dilakukan perubahan konstruksi, tidak

dapat dimodifikasi secara mudah, biaya yang diperlukan relatif mahal dan

berpengaruh pada kelancaran lalu lintas pada saat pelaksanaan pekerjaan.

Jembatan dibangun untuk dapat digunakan minimum 50 tahun. Ini berarti,

disamping kekuatan dan kemampuan untuk melayani beban lalu lintas, perlu

diperhatikan juga bagaimana pemeliharaan jembatan yang baik.

Karena perkembangan lalu lintas yang ada relatif besar, jembatan yang

dibangun, biasanya dalam beberapa tahun tidak mampu lagi menampung volume

lalu lintas, sehingga biasanya perlu diadakan pelebaran. Untuk memudahkan

pelebaran perlu disiapkan desain dari seluruh jembatan sehingga dimungkinkan

dilakukan pelebaran dikemudian hari, sehingga pelebaran dapat dilaksanakan

dengan biaya yang murah dan konstruksi menjadi mudah. Pada saat pelaksanaan

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

11

konstruksi jembatan harus dilakukan pengawasan dan pengujian yang tepat untuk

memastikan bahwa seluruh pekerjaan dapat diselesaikan, sesuai dengan tahapan

pekerjaan yang benar dan memenuhi persyaratan teknis yang berlaku, sehingga

dicapai pelaksanaan yang efektif dan efisien, biaya dan mutu serta waktu yang

telah ditentukan.

2.2.2 Klasifikasi jembatan

Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1993), tipe jembatan diidentifikasi

berdasarkan tipe bangunan atas, bahan dan asal bahan bangunan. Secara lengkap

kode klasifikasi jembatannya disajikan pada Tabel 2.1. Dalam tabel tersebut

terdapat tiga kolom antara lain kolom tipe bangunan atas, kolom bahan dan kolom

asal bahan bangunan. Pada kolom pertama terdapat kode-kode dan keterangan

mengenai tipe bangunan atas jembatan, pada kolom berikutnya tentang kode-kode

dan keterangan dari bahan penyusun jembatan dan pada kolom ketiga terdapat

kode-kode dan keterangan tentang asal bahan bangunan. Tabel tersebut tidak

dihubungkan paralel dari kiri ke kanan, namun pembacaannya disesuaikan dengan

jembatan yang ditinjau atau direncanakan. Sebagai contoh: misalkan suatu

jembatan memiliki bangunan atas gelagar (G), bahannya adalah beton (T) dan asal

bahan bangunannya adalah dari Indonesia (I) maka jembatan tersebut

diidentifikasi sebagai Jembatan GTI (Gelagar Beton Indonesia). Sistem klasifikasi

ini digunakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk

mengklasifikasikan jembatan pada program BMS.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

12

Tabel 2.1 Kode Identifikasi Jembatan

A Gorong-gorong pelengkung A Aspal A AustraliaB Gorong-gorong persegi B Baja B Belanda (Lama)Y Gorong-gorong pipa U Lantai baja gelombang C Karunia Berca IndonesiaC Kabel Y Pipa baja diisi beton D Belanda (lama)T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ WikaD Flat slab P Beton prategang G CigadingH Pile slab T Beton bertulang I IndonesiaP Pelat E Neoprene/ karet K BukakaV Voided F Teflon R AustriaE Pelengkung G Bronjong dan sejenisnya T Transbakrie

F Ferry J Alumunium UUnited Kingdom (Callender Hamilton)

G Gelagar K Kayu W Bailley/ AcrowM Gelagar komposit M Pasangan batu H Adhi KaryaO Gelagar boks S Pasangan bata J Jepang

U Gelagar tipe U OTanah biasa/ lempung/ timbunan P PPI

L Balok pelengkung R Kerikil/ pasir Y Wijaya KaryaN Rangka semi permanen X Bahan asli X Tidak ada strukturR Rangka V PVC M Amarta KaryaS Rangka sementara N Geotextile L Lain-lainK Lintasan kereta api W MacadamW Lintasan basah H Pasangan batu kosongX Lain-lain L Lain-lain

BahanTBA (Tipe Bangunan Atas) ABA (Asal Bahan Bangunan)

Sumber: Departemen PU (1993)

Sedangkan menurut Zainuddin (2013), jembatan dapat diklasifikasikan

menurut fungsi, material, bentuk struktur atas dan lama waktunya digunakan.

Menurut fungsinya jembatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Jembatan jalan raya berfungsi menghubungkan jalan raya.

b) Jembatan jalan rel berfungsi menghubungkan jalan rel.

c) Jembatan untuk talang air/ waduk berfungsi sebagai talang air/ waduk.

d) Jembatan untuk penyeberangan (pipa air, minyak, gas,pedestrian, dll).

Menurut materialnya jembatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Jembatan bambu.

b) Jembatan kayu.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

13

c) Jembatan beton bertulang (konvensional maupun prategang).

d) Jembatan baja (gelagar maupun rangka).

e) Jembatan komposit.

f) Jembatan pasangan batu kali/ bata.

Menurut bentuk struktur atas yang digunakan jembatan dapat diklasifikasikan

sebagai berikut:

a) Jembatan balok/ gelagar.

b) Jembatan pelat.

c) Jembatan pelengkung/ busur.

d) Jembatan rangka.

e) Jembatan gantung.

f) Jembatan cable stayed.

Menurut lama waktu digunakan jembatan dapat diklasifikasikan sebagai

berikut:

a) Jembatan sementara/ darurat: jembatan yang penggunaannya hanya

bersifat sementara yakni menunggu hingga selesainya pekerjaan

pembangunan jembatan permanen diresmikan/ digunakan. Jembatan

darurat ini dapat berupa: jembatan kayu.

b) Jembatan semi permanen: jembatan sementara yang dapat ditingkatkan

menjadi jembatan permanen, misalnya dengan cara mengganti lantai

jembatan dengan bahan/ material yang lebih baik (kuat) dan awet,

sehingga kapasitas serta umur jembatan menjadi bertambah baik, misalnya

Jembatan Semi Permanen Australia.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

14

c) Jembatan permanen: jembatan yang penggunaannya bersifat permanen

serta mempunyai umur rencana, misalnya: jembatan baja, jembatan beton

bertulang, jembatan komposit.

2.2.3 Struktur jembatan

Menurut Zainuddin (2013), struktur jembatan adalah kesatuan antara elemen-

elemen konstruksi yang dirancang dari bahan konstruksi yang bertujuan menerima

beban-beban di atasnya baik berupa beban primer, sekunder, khusus dan beban

lainnya untuk diteruskan/ dilimpahkan hingga ke tanah dasar. Secara umum

konstruksi jembatan dibagi menjadi 4 (empat) bagian yaitu:

a) Bangunan atas.

Bangunan atas jembatan adalah bagian dari elemen-elemen konstruksi yang

dirancang untuk memindahkan beban-beban yang diterima oleh lantai jembatan

hingga ke perletakan, sedangkan lantai jembatan adalah bagian jembatan yang

langsung menerima beban lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki. Jenis bangunan

atas jembatan pada umumnya ditentukan berdasarkan:

i. Bentang yang sesuai dengan perlintasan jalan, sungai atau keadaan lokasi

jembatan.

ii. Panjang bentang optimum untuk menekan biaya konstruksi total.

iii. Pertimbangan yang terkait pada pelaksanaan bangunan-bangunan bawah

dan pemasangan bangunan atas untuk mencapai nilai yang ekonomis.

iv. Pertimbangan segi pandang estetika.

Bangunan atas terdiri atas: gelagar induk, struktur tumpuan atau perletakan,

struktur lantai jembatan/ kendaraan, pertambatan arah melintang dan memanjang..

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

15

b) Bangunan bawah.

Bangunan bawah sebuah jembatan adalah bagian dari elemen-elemen struktur

yang dirancang untuk menerima beban konstruksi di atasnya dan dilimpahkan

langsung (berdiri langsung) pada tanah dasar atau bagian-bagian konstruksi

jembatan yang menyangga jenis-jenis yang sama dan memberikan jenis reaksi

yang sama pula. Bangunan bawah terdiri atas: pondasi yaitu bagian-bagian dari

sebuah jembatan yang meneruskan beban-beban langsung ke tanah dasar/ lapisan

tanah keras, Bangunan bawah (pangkul jembatan/ abutmen, pilar) yaitu bagian-

bagian dari sebuah jembatan yang memindahkan beban-beban dari perletakan ke

pondasi dan biasanya juga difungsikan sebagai bangunan penahan tanah. Analisa

struktur bawah ini harus dipertimbangkan mampu menahan semua gaya-gaya

yang bekerja, begitu pula tinjauan terhadap stabilitas sehingga aman terhadap

penggulingan dan penggeseran dengan angka keamanan yang cukup serta daya

dukung tanahnya masih dalam batas yang diijinkan.

c) Jalan pendekat (oprit)

Oprit adalah jalan yang menghubungkan antara ruas jalan dengan struktur

jembatan, atau jalan yang akan masuk ke jembatan. Oprit merupakan timbunan

material pilihan, biasanya berupa agregat yang berada di belakang abutment yang

dipadatkan sedemikian rupa untuk menghindari penurunan.

d) Bangunan pengaman

Bangunan pengaman adalah bangunan yang diperlukan untuk mengamankan

jembatan terhadap lalu lintas darat, lalu lintas air, penggerusan, dll.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

16

2.2.4 Pemeliharaan jembatan

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.13/PRT/M/2011 tentang

Tata Cara Pemeliharaan dan Penilikan Jalan, berdasarkan tingkat dari kerusakan

suatu jembatan (nilai kondisi jembatan) maka pemeliharaan bangunan pelengkap

jalan termasuk didalamnya jembatan antara lain terdiri dari:

a) Pemeliharaan rutin

Pemeliharaan rutin dilakukan sepanjang tahun dan meliputi kegiatan:

pembersihan secara umum, pembuangan tumbuhan liar dan sampah,

pembersihan dan pelancaran drainase, perbaikan ringan, pengecatan sederhana

dan pemeliharaan permukaan lantai kendaraan.

b) Pemeliharaan berkala

Pemeliharaan berkala dilakukan secara berkala meliputi kegiatan: pengecatan

ulang, pelapisan permukaan aspal, penggantian lantai, penggantian kayu pada

jalur roda kendaraan, pembersihan jembatan secara mendetail, penggantian

siar muai (expansion joints), penggantian baut, penggantian elemen-elemen

sekunder/ kecil, perbaikan sandaran tangan (hand railings), perbaikan pagar

pengaman (guardrails), perbaikan patok pengarah (guide posts), menjaga

berfungsinya bagian-bagian yang bergerak (perletakan/ landasan, siar muai),

perkuatan elemen struktur sekunder, perbaikan tebing pada jalan pendekat dan

perbaikan aliran sungai di dekat bangunan pelengkap jalan.

c) Rehabilitasi

Rehabilitasi meliputi kegiatan perbaikan berat lantai kendaraan (sistem lantai),

perbaikan berat bangunan atas (struktur beton, baja, dan kayu), perbaikan

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

17

berat bangunan bawah, perkuatan struktur bangunan pelengkap jalan dan

pemeliharaan tanggap darurat.

d) Penggantian/ rekonstruksi

Penggantian/ rekonstruksi merupakan kegiatan penggantian seluruh atau

sebagian komponen bangunan pelengkap jalan tanpa meningkatkan kapasitas

bangunan pelengkap jalan.

2.2.5 Penilaian kondisi jembatan

Dalam rangka pemeliharaan jembatan perlu dilakukan pemeriksaan secara

rutin dan periodik. Jika didapatkan suatu kerusakan perlu dilanjutkan dengan

penyelidikan yang mendalam dalam rangka evaluasi, apakah perlu dilakukan

tindakan perbaikan, perkuatan atau penggantian, agar jembatan tetap berfungsi

sebagimana mestinya. Pemeriksaan secara detail dilaksanakan untuk menilai

secara akurat kondisi suatu jembatan. Semua komponen dan elemen jembatan

diperiksa dan kerusakan-kerusakan yang berarti dikenali dan didata. Untuk tujuan

pemeriksaan detail dan evaluasi dari kondisi jembatan secara menyeluruh, struktur

jembatan dibagi atas hirarki elemen yang terdiri atas 5 level, tertinggi adalah

level1, yaitu jembatan itu sendiri, dan level terendah adalah level 5, yaitu elemen

kecil secara individual dan bagian-bagian jembatan (Departemen PU, 1993).

Setelah elemen yang rusak dan bentuk kerusakan telah dicatat, nilai kondisi

diberikan. Sistem penilaian elemen yang rusak terdiri atas serangkaian pertanyaan

yang berjumlah 5 mengenai kerusakan yang ada. Setiap nilai diberi angka 1 dan 0,

sehingga subjektifitas selama pemeriksaan dapat diminimalkan dan penilaian

lebih konsisten.diberikan kepada elemen sesuai dengan kerusakan yang ada pada

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

18

setiap level hirarki jembatan,mulai dari level terendah yaitu level 5 sampai dengan

level tertinggi yaitu level 1 yang merupakan jembatan secara keseluruhan, elemen

atau kelompok elemen dinilai dengan diberikan suatu Nilai Kondisi antara 0 (nol)

dan 5 (lima), angka-angka tersebut mewakili jumlah dari kelima nilai yang

ditentukan menurut kriteria yang diberikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Sistem Penilaian Kondisi Elemen Jembatan

Nilai Kriteria Nilai Kondisi

Struktur (S) Berbahaya

Tidak Berbahaya

1

0

Kerusakan (R) Parah

Tidak Parah

1

0

Kuantitas (K) Lebih dari 50 %

Kurang dari 50 %

1

0

Fungsi (F) Elemen tidak berfungsi

Elemen masih berfungsi

1

0

Pengaruh (P) Mempengaruhi elemen lain

Tidak mempengaruhi elemen lain

1

0

Nilai Kondisi (NK) NK = S+R+K+F+P 0 s/d 5

(Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 1993)

Setelah penilaian elemen pada tingkat 5, 4 atau 3, Nilai Kondisi untuk elemen

pada level yang lebih tinggi dalam hirarki ditentukan dengan cara mengevaluasi

sejauh mana kerusakan dalam elemen pada tingkatan yang lebih rendah

berpengaruh terhadap elemen pada tingkatan yang lebih tinggi, apakah elemen ini

dapat berfungsi dan apakah elemen lain pada tingkatan yang lebih tinggi

dipengaruhi oleh kerusakan-kerusakan tersebut, sehingga diperoleh Nilai Kondisi

Jembatan pada tingkatan 1.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

19

2.2.6 Panjang dan lebar jembatan

Menurut Kementerian Pekerjaan Umum (2011), lebar jalur lalu lintas pada

jembatan harus sama dengan lebar jalur lalu lintas pada bagian ruas jalan di luar

jembatan, khusus untuk fungsi jalan arteri, lebar badan jalan pada jembatan harus

sama dengan lebar badan jalan pada bagian ruas jalan di luar jembatan. Standar

lebar lajur lalu-lintas untuk jalan sedang minimal adalah 2x3,5 meter. Lebar

jembatan secara total merupakan gabungan antara lebar jalur lalu-lintas dan lebar

trotoar.

Panjang jembatan diukur dari ujung expansion joint ke expansion joint

lainnya. Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1993), jembatan merupakan

bangunan pelengkap jalan yang memiliki panjang di atas 2 (dua) meter. Namun

dalam survei dan pemeriksaannya dibatasi mulai panjang minimum 6 (enam)

meter untuk memudahkan pelaksanaan survei.

Gambar 2.1 Panjang dan Lebar Jembatan

Sumber: Departemen PU, (1993)

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

20

2.3 Sistem Transportasi Makro

Menurut Tamin (2008), sistem transportasi makro dibentuk oleh sistem

transportasi yang lebih kecil atau disebut dengan sub sistem. Dari gambar

dibawah, dapat dijelaskan sistem transportasi makro dibentuk oleh tiga sub sistem

tranportasi mikro yaitu sub sistem kegiatan atau sub sistem tata guna lahan, sub

sistem jaringan, dan sub sistem pergerakan. Ketiga sub sistem tersebut akan

berinteraksi dan dikendalikan oleh sub sistem kelembagaan. Dalam tata guna

lahan, suatu lahan akan memiliki peruntukan untuk kegiatan tertentu. Peruntukan

lahan untuk kegiatan tertentu dalam sistem transportasi makro merupakan bagian

dari sub sistem tata guna lahan atau sub sistem kegiatan sebagai sub sistem yang

pertama, sub sistem ini merupakan sub sistem yang berbasis lokasi/ wilayah. Pada

sisi lain bahwa pergerakan lalu lintas disebabkan oleh proses pemenuhan

kebutuhan, dan telah kita ketahui bahwa kita tidak dapat memenuhi kebutuhan

kita pada suatu lahan tertentu. Pergerakan dari suatu lahan ke lahan yang lain akan

memerlukan sarana transportasi (moda transportasi) dan tempat bergeraknya

sarana transportasi (moda transportasi) tersebut akan memerlukan media

(prasarana) transportasi. Prasarana yang diperlukan untuk bergeraknya moda

transportasi merupakan sub sistem yang kedua yang disebut sub sistem jaringan.

Sedangkan sub sistem yang ketiga adalah moda transportasi tersebut yang disebut

sebagai sub sistem pergerakan yang berbasis sarana. Jika dijelaskan dalam suatu

gambar maka menurut Tamin (2008), interaksi sistem transportasi makro dapat

dilihat pada Gambar 2.2.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

21

Menurut Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (2009), sistem transportasi

makro perlu dipecahkan menjadi sistem transportasi yang lebih kecil (mikro),

dimana masing-masing sistem mikro tersebut akan saling terkait dan saling

mempengaruhi. Sistem transportasi mikro tersebut adalah sebagai berikut:

a. Sistem Kegiatan (Transport Demand)

b. Sistem Jaringan (Prasarana Transportasi/ Transport Supply)

c. Sistem Pergerakan (Lalu Lintas/ Traffic)

d. Sistem Kelembagaan.

Setiap penggunaan tanah atau sistem kegiatan akan mempunyai suatu tipe

kegiatan tertentu yang dapat “memproduksi” pergerakan (trip production) dan

dapat “menarik” pergerakan (trip attraction). Sistem tersebut dapat merupakan

suatu gabungan dari berbagai sistem pola kegiatan tata guna tanah (land use)

Sub Sistem Tata Guna

Lahan Sub Sistem Jaringan

Sub Sistem Pergerakan

Sub Sistem Kelembagaan

Gambar 2.2 Sistem Transportasi Makro Sumber: Tamin (2008)

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

22

seperti sistem pola kegiatan sosial, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Kegiatan

yang timbul dalam sistem ini membutuhkan pergerakan sebagai alat pemenuhan

kebutuhan yang perlu dilakukan setiap hari, yang tidak dapat dipenuhi oleh

penggunaan tanah bersangkutan. Besarnya pergerakan yang ditimbulkan tersebut

sangat berkaitan erat dengan jenis/ tipe dan intensitas kegiatan yang dilakukan.

Pergerakan tersebut, baik berupa pergerakan manusia dan/ atau barang, jelas

membutuhkan suatu moda transportasi (sarana) dan media (prasarana) tempat

moda transportasi tersebut dapat bergerak. Prasarana transportasi yang diperlukan

merupakan sistem mikro kedua yang biasa dikenal sebagai Sistem Jaringan,

meliputi jaringan jalan raya, kereta api, terminal bus, stasiun kereta api, bandara

dan pelabuhan laut.

Interaksi antara Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan akan menghasilkan

suatu pergerakan manusia dan/ atau barang dalam bentuk pergerakan kendaraan

dan/ atau orang (pejalan kaki). Suatu sistem pergerakan yang aman, cepat,

nyaman, murah dan sesuai dengan lingkungannya, akan dapat tercipta jika

pergerakan tersebut diatur oleh suatu sistem rekayasa dan manajemen lalu lintas

yang baik. Permasalahan kemacetan yang sering terjadi di kota-kota besar/ sedang

di Indonesia biasanya timbul karena kebutuhan transportasi lebih besar dibanding

prasarana transportasi yang tersedia, atau prasarana transportasi tidak dapat

berfungsi sebagaimana mestinya. Perubahan pada sistem kegiatan jelas akan

mempengaruhi sistem jaringan melalui suatu perubahan tingkat pelayanan pada

sistem pergerakan. Begitu juga perubahan pada sistem jaringan dapat

mempengaruhi sistem kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksesibilitas

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

23

dari sistem pergerakan tersebut. Selain itu, sistem pergerakan berperanan penting

dalam mengakomodir suatu sistem pergerakan agar tercipta suatu sistem

pergerakan yang lancar, aman, cepat, nyaman, murah dan sesuai dengan

lingkungannya. Pada akhirnya juga pasti akan mempengaruhi kembali sistem

kegiatan dan sistem jaringan yang ada. Ketiga sistem transportasi mikro ini saling

berinteraksi satu sama lain yang terkait dalam suatu sistem transportasi makro.

Dalam upaya untuk menjamin terwujudnya suatu sistem pergerakan yang

aman, nyaman, lancar, murah dan sesuai dengan lingkungannya, maka dalam

sistem transportasi makro terdapat suatu sistem mikro lainnya yang disebut Sistem

Kelembagaan. Sistem ini terdiri atas individu, kelompok, lembaga, instansi

pemerintah serta swasta yang terlibat dalam masing-masing sistem mikro. Sistem

kelembagaan (instansi) yang berkaitan dengan masalah transportasi adalah

sebagai berikut:

I. Sistem Kegiatan: Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional

(Bappenas), Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)

Provinsi, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda)

Kabupaten/ Kota.

II. Sistem Jaringan: Kementerian Perhubungan, Balai Lalu-lintas Angkutan

Sungai Danau dan Penyeberangan, Dinas Perhubungan Provinsi, Dinas

Perhubungan Kabupaten/ Kota, Kementerian Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat, Direktorat Jenderal Bina Marga, Balai Besar

Pelaksanaan Jalan Nasional, Satker Pelaksanaan Jalan, Dinas PU Provinsi,

serta Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten/ Kota.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

24

III. Sistem Pergerakan: Kementerian Perhubungan dan Kepolisian Negara RI

melalui Direktorat Lalu Lintasnya.

Bappenas, Bappeda, dan Pemda berperanan penting dalam menentukan

sistem kegiatan melalui kebijakan perwilayahan, regional maupun sektoral.

Kebijakan sistem jaringan secara umum ditentukan oleh Kementerian

Perhubungan serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (dalam

hal ini melalui Direktorat Jenderal Bina Marga). Sistem Pergerakan diatur oleh

Kementerian Perhubungan dan dinas-dinas perhubungan di daerah, Kepolisian

melalui direktorat lalu lintasnya, masyarakat sebagai pemakai jalan (road user)

dan lain-lain. Kebijakan yang diambil tentunya dapat dilaksanakan dengan baik

melalui peraturan yang secara tidak langsung juga memerlukan sistem penegakan

hukum yang baik. Secara umum dapat disebutkan bahwa pemerintah, swasta dan

masyarakat seluruhnya harus ikut berperan dalam mengatasi masalah kemacetan,

sebab hal ini merupakan tanggung jawab bersama yang harus dipecahkan secara

tuntas dan jelas memerlukan pemeliharaan yang serius.

2.4 Kawasan Strategis Pariwisata, Transportasi, Budaya dan Alam di

Provinsi Bali

2.4.1 Kawasan strategis pariwisata nasional di Provinsi Bali

Menurut PP Nomor 51 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan

Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025, disebutkan bahwa terdapat 88

(delapan puluh delapan) Kawasan Strategis Pariwisatan Nasional (KSPN). Dari 88

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

25

(delapan puluh delapan) buah KSPN tersebut 11 (sebelas) diantaranya terdapat di

Provinsi Bali. Kesebelas KSPN yang terletak di Provinsi Bali tersebut antara lain:

a. KSPN Kintamani-Danau Batur dan sekitarnya.

b. KSPN Kuta-Sanur-Nusa Dua dan Sekitarnya.

c. KSPN Bali Utara/ Singaraja dan sekitarnya.

d. KSPN Karangasem-Amuk dan sekitarnya.

e. KSPN Taman Nasional Bali Barat dan sekitarnya.

f. KSPN Tulamben-Amed dan sekitarnya.

g. KSPN Bedugul dan sekitarnya.

h. KSPN Nusa Penida dan sekitarnya.

i. KSPN Ubud dan sekitarnya.

j. KSPN Besakih-Gunung Agung dan sekitarnya.

k. KSPN Menjangan, Pemuteran dan sekitarnya.

2.4.2 Kawasan strategis transportasi nasional di Provinsi Bali

Menurut Perda Provinsi Bali No 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029, sistem jaringan transportasi di Provinsi

Bali terdiri dari sistem jaringan transportasi darat, laut dan udara. Kawasan

strategis sistem jaringan transportasi nasional di Provinsi Bali antara lain:

a) Pelabuhan penyeberangan yaitu Pelabuhan Gilimanuk di Jemberana dan

Pelabuhan Padangbai di Kabupaten Karangasem.

b) Terminal Type A yaitu Terminal Mengwi di Kabupaten Badung

c) Pelabuhan laut utama yaitu Pelabuhan Benoa di Denpasar, Pelabuhan Celukan

Bawang di Buleleng dan Pelabuhan Tanah Ampo di Kabupaten Karangasem.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

26

d) Bandar Udara (Bandara) Internasional yaitu Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai

di Kabupaten Badung.

e) Terminal Barang (Cargo) Ubung di Kota Denpasar.

2.4.3 Kawasan strategis tempat suci, cagar budaya dan alam di Provinsi

Bali

Menurut Perda Provinsi Bali No 6 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 kawasan tempat suci yang ada di

Provinsi Bali meliputi radius kesucian Pura Kahyangan baik Pura Sad Kahyangan,

Pura Dang Kahyangan maupun Pura Kahyangan Jagat lainnya. Pura kahyangan

yang terletak di lokasi studi antara lain:

a) Pura Kahyangan Jagat di Kota Denpasar antara lain:

1. Pura Griya Tanah Kilap di Kelurahan Pemogan.

2. Pura Prapat Nunggal di Kelurahan Pedungan.

3. Pura Dalem Pangembak di Kelurahan Sanur.

4. Pura Candi Narmada di Kelurahan Pemogan.

5. Pura Sakenan di Desa Serangan.

b) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Badung

1. Pura Uluwatu di Desa Pecatu.

2. Pura Padedekan di Desa Mengwi.

3. Pura Dalem Puri Puserjagat di Desa Sobangan.

4. Pura Pucak Mangu di Desa Tinggan.

5. Pura Pucak Bon di Desa Bon.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

27

6. Pura Dalem Solo di Desa Sedang.

7. Pura Pucak Gegelang di Desa Nungnung.

8. Pura Hyang Api di Desa Samuan.

9. Pura Kancing Gumi di Desa Sulangi.

10. Pura Bukit Sari Sangeh di Desa Sangeh.

11. Pura Taman Ayung di Mengwi

c) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Gianyar

1. Pura Gunung Raung di Desa Taro.

2. Pura Samuan Tiga di Bedulu.

3. Pura Erjeruk di Desa Sukawati.

4. Pura Masceti di Desa Medahan.

5. Pura Gunung Kawi di Desa Sebatu.

6. Pura Dalem Pingit di Desa Sebatu.

7. Pura Tirta Empul di Desa Manukaya.

8. Pura Pusering Jagat di Desa Pejeng.

9. Pura Penataran Sasih di Desa Pejeng.

10. Pura Kebo Edan di Desa Pejeng.

11. Pura Gua Gajah di Desa Bedulu.

12. Pura Pangukur-ukuran di Desa Pejeng Kelod.

13. Pura Selukat di Desa Keramas.

14. Pura Bukit Jati di Desa Samplangan.

15. Pura Bukit Darma di Desa Buruan.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

28

d) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Tabanan

1. Pura Tambawaras di Desa Sangketan.

2. Pura Muncaksari di Desa Sangketan.

3. Pura Batukaru di Desa Wongaya Gede

4. Pura Batu Belig di Desa Rijasa.

5. Pura Besikalung di Desa Jati Luwih.

6. Pura Teratai Bang di Desa Candi Kuning.

7. Pura Tanah Lot di Desa Beraban.

8. Pura Luhur Serijong di Desa Batu Lumbang.

9. Pura Luhur Natar Sari di Desa Apuan.

10. Pura Pucak Geni di Desa Cau Belayu.

e) Pura Kahyangan Jagat di Kabupaten Klungkung

1. Pura Dasar Buana di Desa Gelgel.

2. Pura Segara Watuklotok di Desa Tojan.

3. Pura Goa Lawah di Desa Pesinggahan.

4. Pura Penataran Peed di Desa Ped.

5. Pura Goa Giri Putri di Desa Suana.

6. Pura Segara Peed di Desa Ped.

7. Pura Taman Peed di Desa Ped.

8. Pura Agung Kentel Gumi di Desa Tusan.

Menurut Undang-undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, terdapat

127 cagar budaya di Indonesia namun belum satupun yang ditetapkan di Provinsi

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

29

Bali. Namun UNESCO pada tahun 2011, melalui Surat Identifikasi No.1194

Tahun 2011 mencatat Kawasan Persawahan dan Subak Jati Luwih di Tabanan

sebagai Cagar Budaya Dunia. Terdapat beberapa cagar alam dan taman nasional

di Provinsi Bali. Menurut SK Menteri Pertanian RI Nomor: 716/Kpts/Um/9/74, 29

September 1974 terdapat Cagar Alam Batukaru di Kabupaten Tabanan seluas

1.762,80 Ha dan Cagar Alam Sangeh di Desa Sangeh, Kabupaten Badung seluas

10 Ha. Menurut SK Menteri Pertanian No. 169/Kpts/Um/3/1978 tanggal 10 Maret

1978 di Bali juga ditetapkan sebuah taman nasional yaitu Taman Nasional Bali

Barat di Kabupaten Jemberana dan Buleleng.

2.5 Analisis Multikriteria

Menurut Tamin (2008), analisis ini menggunakan persepsi stakeholders

terhadap kriteria atau peubah yang dibandingkan dalam pengambilan keputusan.

Analisis multikriteria memiliki sejumlah kelebihan jika dibandingkan dengan

proses pengambilan keputusan informal yang saat ini digunakan antara lain:

i. Proses pengambilan keputusan dilakukan secara terbuka bagi semua pihak

berkepentingan.

ii. Peubah atau kriteria yang digunakan dapat lebih luas, baik kuantitatif

maupun yang kualitatif.

iii. Pemilihan peubah tujuan dan kriteria terbuka untuk dianalisis dan diubah

jika dianggap tidak sesuai.

iv. Nilai dan bobot ditentukan secara terbuka sesuai dengan persepsi pihak

terkait yang dilibatkan (stakeholders).

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

30

v. Memberikan arti lebih terhadap proses komunikasi dalam pengambilan

keputusan, diantara para penentu kebijakan, dan dalam hal tertentu dengan

masyarakat luas.

Konsep yang dikembangkan dalam analisis multikriteria adalah:

i. Analisis sudah mempertimbangkan semua peubah secara komprehensif

dengan tetap menjaga proses ilmiah dari proses pengambilan keputusan

yang dilakukan.

ii. Banyak faktor yang harus dipertimbangkandan kepentingan pihak yang

harus diakomodasi.

iii. Penetapan pilihan dilakukan dengan memperhatikan sejumlah tujuan

dengan mengembangkan sejumlah tujuan dengan mengembangkan

sejumlah kriteria yang terukur.

iv. Skoring adalah preferensi alternatif terhadap kriteria tertentu.

v. Pembobotan adalah penilaian relatif antar kriteria.

Menurut Tamin (2008), pendekatan analisis multikriteria dapat

direpresentasikan seperti terlihat pada gambar berikut ini:

Gambar 2.3 Proses Pemilihan Alternatif dalam Analisis Multikriteria

Sumber: Tamin (2008).

Tahapan kegiatan pengambilan keputusan dalam analisis multikriteria , secara

singkat dapat diuraikan sebagai berikut:

Usulan Pemeliharaan

Kriteria Penilaian

Analisis Multikriteria

Prioritas Pemeliharaan

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

31

a) Indikasi jumlah alternatif pemeliharaan yang akan dipilih.

b) Meninjau dominansi suatu pilihan terhadap pilihan lainnya, terjadi ketika

kinerja suatu alternatif sama atau lebih baik untuk semua kriteria terhadap

alternatif lainnya.

c) Melakukan pembobotan dengan menggunakan matriks pair wise comparison.

d) Skoring kinerja tiap alternatif dengan memberikan penilaian terukur terhadap

kriteria secara kualitatif ataupun kuantitatif.

e) Mengalikan bobot setiap kriteria dengan skor kinerja alternatif pada kriteria

tersebut.

f) Menjumlahkan nilai setiap kriteria sehingga didapatkan nilai total suatu

alternatif

g) Meranking nilai tersebut sehingga didapatkan prioritas alternatif.

Tingkat kepentingan setiap kriteria diperoleh dari proses wawancara dengan

mencari persepsi dari berbagai stakeholder. Stakeholder yang diambil adalah pada

tingkat pengambil keputusan dari instansi terkait. Proses wawancara dilakukan

dengan menggunakan kuesioner dimana stakeholder diminta untuk mengurutkan

kriteria yang ada, mulai dari yang paling penting sampai dengan kriteria yang

tingkat kepentingannya paling rendah. Dari hasil wawancara tersebut maka

kemudian dapat ditentukan bobot dari setiap kriteria.

Salah satu model pendukung keputusan multikriteria dikembangkan oleh

Thomas L. Saaty. Model tersebut disebut Metode Analytical Hierarchy Process

(AHP). AHP menguraikan masalah multi faktor atau multikriteria yang kompleks

menjadi suatu hirarki. Hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

32

permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level

pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, subkriteria, dan

seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu

masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang

kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan

tampak lebih terstruktur dan sistematis (Saaty, 1986).

Menurut Muslich (2009), metode lain dalam pengambilan keputusan dalam

situasi multikriteria antara lain:

1. Metode timbangan.

Metode timbangan dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan

dengan kriteria/ pertimbangan yang dapat diukur dan dapat juga dipergunakan

untuk kriteria/ pertimbangan yang memiliki ukuran yang sama. Langkah-langkah

dari metode ini adalah dengan memberikan skor sebagai timbangan dari masing-

masing kriteria/ pertimbangan, sebagai ukuran kuantitatif yang harus dipenuhi.

Kelemahan dari metode ini adalah apabila keputusan tersebut diperuntukan untuk

kepentingan publik, maka ukuran kuantitatif yang ditentukan atau skor yang

diberikan sebagai timbangan harus diuji secara reabilitas dan validitas sehingga

menjadi skor yang reabel dan valid terhadap kepentingan publik tersebut.

2. Metode minimisasi penyimpangan.

Metode ini adalah suatu metode untuk menyelesaikan situasi permasalahan

dimana masing-masing kriteria/ pertimbangan memiliki ukuran kuantitatif dengan

skor yang sama. Seperti halnya dengan metode timbangan kelemahan dari metode

ini apabila keputusan tersebut diperuntukan untuk kepentingan publik, maka

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

33

ukuran kuantitatif yang ditentukan atau skor yang diberikan sebagai timbangan

harus diuji secara reabelitas dan validitas sehingga menjadi skor yang reabel dan

valid terhadap kepentingan publik tersebut

3. Metode eleminasi.

Metode ini digunakan pada situasi masalah dengan tujuan/ kriteria yang tidak

dapat dinyatakan secara kuantitatif tetapi masing-masing kriteria/ pertimbangan

telah dirumuskan urutan prioritasnya secara kualitatif, jadi pada metode ini urutan

prioritas merupakan tingkat skala prioritas yang diukur secara kualitatif.

2.5.1 Penentuan skala prioritas dengan analytical hierarchy process (AHP)

Dalam penyelesaian persoalan dengan metode AHP, menurut Saaty (1986),

dijelaskan pula beberapa prinsip dasar metode AHP yaitu:

1. Dekomposisi.

Setelah mendefinisikan permasalahan, maka perlu dilakukan dekomposisi

yaitu memecah persoalan utuh menjadi unsur-unsurnya sampai yang sekecil

kecilnya.

2. Comparative Judgment.

Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen

pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan di atasnya.

Penilaian ini merupakan inti dari metode AHP, karena akan berpengaruh

terhadap prioritas elemen-elemen.

3. Synthesis of Priority.

Dari setiap matriks pairwise comparison, vektor eigen-nya mendapat prioritas

lokal, karena pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

34

melakukan global harus dilakukan sintesis diantara prioritas lokal. Prosedur

melakukan sintesis berbeda menurut bantuk hirarki.

4. Logical Consistency.

Konsistensi memiliki dua makna yang pertama bahwa obyek-obyek yang

serupa dapat dikelompokkan sesuai keragaman dan relevansinya. Kedua

adalah tingkat hubungan antar obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria

tertentu.

Beberapa keuntungan menggunakan metode AHP sebagai alat analisis adalah:

i. Dapat memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk

beragam persoalan yang tak berstruktur.

ii. Dapat memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem

dalam memecahkan persolan kompleks.

iii. Dapat menangani saling ketergantungan elemen–elemen dalam suatu

sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

iv. Mencerminkan kecendrungan alami pikiran untuk memilah–milah eleman-

elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat belaian dan mengelompokan

unsur-unsur yang serupa dalam setiap tingkat.

v. Memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk

mendapatkan prioritas.

vi. Melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang

digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.

vii. Menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebijakan setiap

alternatif.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

35

viii. Mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem

dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-

tujuan mereka.

ix. Tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil representatif

dari penilaian yang berbeda-beda.

x. Memungkinkan orang memperluas definisi mereka pada suatu persoalan

dan memperbaiki pertimbangan serta pengertian mereka melalui

pengulangan.

AHP dapat digunakan dalam memecahkan berbagai masalah diantaranya

untuk mengalokasikan sumber daya, analisis keputusan manfaat atau biaya,

menentukan peringkat beberapa alternatif, melaksanakan perencanaan ke masa

depan yang diproyeksikan dan menetapkan prioritas pengembangan suatu unit

usaha dan permasalahan kompleks lainnya.

Hirarki adalah alat yang paling mudah untuk memahami masalah yang

kompleks dimana masalah tersebut diuraikan ke dalam elemen-elemen yang

bersangkutan, menyusun elemen-elemen tersebut secara hirarki dan akhirnya

melakukan penilaian atas elemen tersebut sekaligus menentukan keputusan mana

yang diambil. Proses penyusunan elemen secara hirarki meliputi pengelompokan

elemen komponen yang sifatnya homogen dan menyusunan komponen tersebut

dalam level hirarki yang tepat. Hirarki juga merupakan abstraksi struktur suatu

sistem yang mempelajari fungsi interaksi antara komponen dan dampaknya pada

sistem. Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling terkait tersusun dalam suatu

sasaran utama (ultimate goal) turun ke sub-sub tujuan, ke pelaku (aktor) yang

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

36

memberi dorongan dan turun ke tujuan pelaku, kemudian kebijakan-kebijakan,

strategi-strategi tersebut. Adapun abstraksi susunan hirarki keputusan antara lain

sebagai berikut:

1) Level 1 : Fokus/ sasaran/ goal

2) Level 2 : Faktor/ kriteria

3) Level 3 : Alternatif/ subkriteria

Menurut Saaty (1986), Struktur hirarki dalam metode AHP, terlebih dahulu

dengan merumuskan tujuan yang akan dicapai, dilanjutkan dengan penentuan

kriteria serta alternatif yang memungkin untuk dilakukan. Kriteria yang

menempati hirarki pada metode AHP harus memenuhi beberapa persyaratan

yaitu:

a. Lengkap: bahwa kriteria harus mencakup semua aspek yang penting, yang

digunakan dalam mengambil keputusan untuk pencapaian tujuan.

b. Operasional: setiap kriteria harus mempunyai arti bagi pengambil keputusan,

sehingga benar-benar dapat menghayati terhadap alternatif yang ada.

c. Tidak berlebihan: bahwa setiap kriteria pada dasarnya tidak boleh memiliki

pengertian yang sama atau tumpang tindih.

Sedangkan kelemahan metode AHP adalah: ketergantungan model AHP pada

input utamanya. Input utama ini berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal

ini melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti

jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru. Beberapa contoh aplikasi

Analytical Hierarchy Process antara lain untuk membuat suatu set alternatif,

perencanaan, merancang sistem, menentukan prioritas, memilih kebijakan terbaik

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

37

setelah menemukan satu set alternatif, alokasi sumber daya dan memastikan

stabilitas sistem dan menentukan kebutuhan/ persyaratan.

2.5.2 Nilai dan definisi pendapat kuantitatif

Dalam pengambilan keputusan hal yang perlu diperhatikan adalah pada saat

pengambilan data, dimana data ini diharapkan dapat mendekati nilai

sesungguhnya. Derajat kepentingan pelanggan dapat dilakukan dengan

pendekatan perbandingan berpasangan. Perbandingan berpasangan sering

digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari elemen dan kriteria yang

ada. Perbandingan berpasangan tersebut diulang untuk semua elemen dalam tiap

tingkat. Elemen dengan bobot paling tinggi adalah pilihan keputusan yang layak

dipertimbangkan untuk diambil. Untuk setiap kriteria dan alternatif kita harus

melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yaitu

membandingkan setiap elemen yang lainnya pada setiap tingkat hirarki secara

berpasangan sehingga nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat

kualitatif.

Untuk mengkuantitifkan pendapat kualitatif tersebut digunakan skala

penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kualitatif).

Menurut Saaty (1986) untuk berbagai permasalahan skala 1 sampai dengan 9

merupakan skala terbaik dalam mengkualitatifkan pendapat, dengan akurasinya

berdasarkan nilai RMSD (Root Mean Square Deviation) dan MAD (Median

Absolute Deviation). Nilai dan definisi pendapat kualitatif dalam skala

perbandingan Saaty seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.3.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

38

Tabel 2.3

Nilai dan Definisi Pendapat Kuantitatif dalam Skala Perbandingaan Saaty

Intensitas Kepentingan

Definisi

Keterangan

1 Sama Penting

Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama terhadap tujuan

3 Agak Penting

Pengalaman dan pertimbangan sedikit mendukung satu elemen atas elemen lain

5 Penting Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat mendukung satu elemen atas elemen lain

7 Sangat Penting

Pengalaman dan pertimbangan sangat kuat mendukung satu elemen atas elemen lain

9 Mutlak Penting

Bukti yang mendukung elemen yang satu atas yang lain memiliki penegasan yang tinggi

2,4,6,8 Nilai-nilai Antara

Kompromi diperuntukan untuk dua pertimbangan yang berbeda

Kebalikan (1/ n)

Jika untuk elemen i mendapatkan satu angka dibandingkan dengan elemen j maka j mempunyai nilai kebalikannya dibandingkan dengan i.

Sumber: Saaty (1986)

2.5.3 Proses-proses dalam metode analytical hierarchy process (AHP)

Adapun Proses-proses yang terjadi pada metode AHP adalah sebagai berikut

(Saaty, 1986):

a. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.

b. Membuat struktur hirarki yang diawali tujuan umum dilanjutkan dengan

kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria paling bawah.

c. Membuat matrik perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi

relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap kriteria yang setingkat di atasnya.

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

39

d. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh judgment

(keputusan) sebanyak n x ((n-1)/ 2) buah, dengan n adalah banyaknya elemen

yang dibandingkan.

e. Menghitung nilai eigen vektor dan menguji konsistensinya. Jika nilainya lebih

dari 10 persen maka penilaian data judgment harus diperbaiki dan

pengambilan data diulangi lagi.

f. Mengulangi langkah c,d dan e untuk setiap tingkatan hirarki.

2.5.4 Matrik perbandingan berpasangan

Skala perbandingan berpasangan didasarkan pada nilai–nilai fundamental

analytical hierarchy process (AHP) dengan pembobotan dari nilai 1 untuk sama

penting sampai 9 untuk sangat penting sekali sesuai dengan Tabel 2.3. Dari

susunan matrik perbandingan berpasangan dihasilkan sejumlah prioritas yang

merupakan pengaruh relatif sejumlah elemen pada elemen di dalam tingkat yang

ada di atasnya. Perhitungan eigen vector dengan mengalikan elemen-elemen pada

setiap baris dan mengalikan dengan akar n, dimana n adalah elemen. Kemudian

melakukan normalisasi untuk menyatukan jumlah kolom yang diperoleh. Dengan

membagi setiap nilai dengan total nilai pembuat keputusan bisa menentukan tidak

hanya urutan ranking prioritas setiap tahap perhitungannya tetapi juga besaran

prioritasnya. Kriteria tersebut dibandingkan berdasarkan opini setiap pembuat

keputusan dan kemudian diperhitungkan prioritasnya.

2.5.5 Perhitungan bobot elemen

Perhitungan bobot elemen dilakukan dengan menggunakan suatu matriks.

Bila dalam suatu sub sistem operasi terdapat ‘n” elemen operasi yaitu elemen-

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

40

elemen operasi A1, A2, A3, ...An, maka hasil perbandingan secara berpasangan

elemen-elemen tersebut akan membentuk suatu matrik pembanding.

Perbandingan berpasangan dimulai dari tingkat hirarki tertinggi, dimana suatu

kriteria digunakan sebagai dasar pembuatan perbandingan. Bentuk matrik

perbandingan berpasangan bobot elemen diperlihatkan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4

Matrik Perbandingan Berpasangan Bobot Elemen

Sumber: Saaty (1986)

Bila elemen A dengan parameter i, dibandingkan dengan elemen operasi A

dengan parameter j, maka bobot perbandingan elemen operasi Ai berbanding Aj

dilambangkan dengan Aij maka:

a(ij) = Ai / Aj, dimana: i,j = 1,2,3,...n .............................................. (1)

Bila vektor-vektor pembobotan operasi A1,A2,... An maka hasil

perbandingan berpasangan dinyatakan dengan vektor W, dengan W = (W1, W2,

W3....Wn) maka nilai Intensitas kepentingan elemen operasi Ai terhadap Aj yang

dinyatakan sama dengan aij.

Dari penjelasan tersebut di atas maka matrik perbandingan berpasangan

(pairwise comparison matrik), dapat digambarkan menjadi matrik perbandingan

preferensi seperti diperlihatkan pada Tabel 2.5.

A1 A2 …….. An

A1 A11 Ann …….. A1nA2 A21 A22

…….. A2n…… …… …… …….. ……..An An1 An2 …….. Ann

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

41

Tabel 2.5 Matrik Perbandingan Berpasangan Intensitas Kepentingan

W1 W2 …….. Wn

W1 W1/W1 W1/W2 …….. W1/WnW2 W2/W1 W2/W2 …….. W2/Wn

…… …… …… …….. ……..…… …… …… …….. ……..Wn Wn/W1 Wn/W2 …….. Wn/Wn

Sumber: Saaty (1986)

Nilai Wi/Wj dengan i,j = 1,2,…,n dijajagi dengan melibatkan responden yang

memiliki kompetensi dalam permasalahan yang dianalisis. Matrik perbandingan

preferensi tersebut diolah dengan melakukan perhitungan pada tiap baris tersebut

dengan menggunakan rumus:

Wi = n√(ai1 x ai2 x ai3,….x ain) …………………………….. (2)

Matrik yang diperoleh tersebut merupakan eigen vektor yang juga merupakan

bobot kriteria. Bobot kriteria atau eigen vektor adalah ( Xi), dimana:

Xi = (Wi / Σ Wi) ...................................................... (3)

Dengan nilai eigan vektor terbesar (λmaks) dimana:

λmaks = Σ aij.Xj ..................................................... (4)

2.5.6 Perhitungan konsistensi dalam metode AHP

Matrik bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan

tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal sebagai berikut:

1. Hubungan Kardinal: aij – ajk = aik

2. Hubungan ordinal: Ai > Aj, Aj > Ak maka Ai > Ak

Hubungan di atas dapat dilihat dari dua hal sebagai berikat:

a. Dengan melihat preferensi multiplikatif misalnya keselamatan lalu lintas lebih

penting 4 kali dari kerusakan jalan, dan kerusakan jalan lebih penting 2 kali

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

42

dari kemacetan maka keselamatan lalu lintas lebih penting 8 kali dari

kemacetan.

b. Dengan melihat preferensi trasitif, misalnya keselamatan lalu lintas lebih

penting dari kerusakan jalan dan kerusakan jalan lebih penting dari

kemacetan, maka keselamatan lalu lintas lebih penting dari kemacetan.

Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan

tersebut, sehingga matrik tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini dapat terjadi

karena tidak konsisten dalam preferensi seseorang, contoh konsistensi matrik

sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Konsistensi Matrik

i j ki 1 4 2

A = j 1/4 1 1/2k 1/2 2 1

Sumber: Saaty (1986)

Matrik A tersebut konsisten karena:

aij x ajk = aik ---- = 4 x ½ = 2

aik x akj = aij ---- = 2 x 2 = 4

ajk x aki = aji ---- = ½ x ½ = ¼

Permasalahan di dalam metode analytical hierarchy process adalah

pengukuran pendapat terhadap responden, karena konsistensi tidak dapat

dipaksakan. Pengumpulan pendapat antara satu kriteria dengan kriteria yang lain

adalah bebas satu sama lain, dan hal ini dapat mengarah pada tidak konsistennya

jawaban yang diberikan. Pengulangan wawancara pada sejumlah responden dalam

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

43

waktu yang sama kadang diperlukan apabila derajat inkonsistensi atau

penyimpangan terhadap konsistensi dinilai besar. Penyimpangan terhadap

konsistensi dinyatakan dengan indeks konsistensi didapat rumus:

λ maks. – n IC = ................................................................. (5) n -1

Keterangan:

IC = Konsistensi indek

λmaks = Nilai eigen vektor maksimum,

n = Ukuran matrik.

Matrik random dengan skala penilaian 1 sampai dengan 9 beserta

kebalikannya disebut sebagai Random Indeks (RI). Nilai ramdom indek, setiap

ordo matriks seperti diperlihatkan pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Nilai Random Indek

Ordo Matrik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

RI 0 0 0,58 0,9 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49

Sumber: Saaty (1986)

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan 500 sampel, jika keputusan

numerik diambil secara acak dari skala 1/9, 1/8, 1, 2, ,9 akan memperoleh rata-

rata konsistensi untuk matriks dengan ukuran berbeda. Perbandingan antara IC

dan RI untuk suatu matriks didefinisikan sebagai concistency ratio (CR). Untuk

model analytical hierarchy proces, matrik perbandingan dapat diterima jika nilai

rasio konsistensi tidak lebih dari 0,1 (10%).

IC CR = ≤ 0,1 (OK) ......................................... (6) RI

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

44

Keterangan:

IC = Konsistensi indek

RI = Random indek

CR = Konsistensi rasio

2.5.7 Penggabungan pendapat responden

Menurut Marimin (2004), pada dasarnya AHP dapat digunakan untuk

mengolah data dari satu responden. Namun demikian dalam aplikasinya penilaian

kriteria dan alternatif dilakukan oleh beberapa ahli yang mutidisiplioner.

Konsekuensinya pendapat beberapa ahli tersebut perlu dicek konsistensinya satu

persatu. Pendapat yang konsisten tersebut kemudian digabungkan menjadi satu

gabungan pendapat dengan menggunakan rumus rata-rata geometri (geometric

mean).

퐺푀 = 푋푖

Atau dapat disederhanakan menjadi:

퐺푀 = √푋1.푋2.푋3 … .푋푛 ...................................................................... (7)

Keterangan:

GM = Geometric mean

Xi = Penilaian responden ke-i

Xi.X2.Xn...Xn = Perkalian seluruh penilaian responden

n = Jumlah responden

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

45

2.5.8 Model matematis penentuan skala prioritas

Model matematis adalah suatu sistem persamaam matematik yang digunakan

untuk meyelesaikan suatu permasalahan, sehingga penyelesaiannya lebih

sederhana. Dari pembobotan kriteria total responden di atas setelah dihitung rata-

ratanya selanjutnya dihitung prioritasnya dengan sistem persamaan matematis

(Brodjonegoro,1991).Berdasarkan hirarki AHP yang terdiri dari tujuan, kriteria

dan subkriteria/ alternatif, maka model matematis jembatan dapat disusun. Suatu

jembatan misalnya disebut “ Jembatan A “ sebagai salah satu alternatif jembatan

yang akan ditangani dengan skala prioritas jembatan A, secara kuantitatif

misalkan adalah sebesar “ Y “. Besarnya nilai “Y” akan dipengaruhi oleh

beberapa kriteria, misalkan kriteria Ca, Cb,…Ci. Dengan masing-masing kriteria

memiliki pengaruh kuantitatif terhadap “Y” adalah sebesar a, b, c…i. Dari uraian

tersebut di atas maka secara matematik besarnya nilai “ Y “ sebagai skala prioritas

terhadap “Jembatan A” yang akan ditangani adalah sebesar:

Y = a.Ca + b.Cb + c.Cc + d.Cd + …..+ i .Ci

Dimana:

y =Skala prioritas jembatan yang ditinjau, diukur secara kuantitatif

berdasarkan pengaruh kriteria Ca, Cb, Cc, Cd, …, Ci.

a = Bobot kuantitatif pengaruh kriteria A terhadap skala prioritas

b = Bobot kuantitatif pengaruh kriteria B terhadap skala prioritas

c = Bobot kuantitatif pengaruh kriteria C terhadap skala prioritas

d = Bobot kuantitatif pengaruh kriteria D terhadap skala prioritas

i = Bobot kuantitatif pengaruh kriteria i terhadap skala prioritas

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

46

Nilai a, b, c , d,… i, akan ditentukan dengan menggunakan metode Analytical

Hierarchy Process (AHP) level 2, yang kemudian akan terdistribusi persentasenya

pada bobot pengaruh kuantitatif subkriterianya terhadap kriteria masing-masing.

Sedangkan nilai kriteria Ca, Cb, Cc, Cb, …, Ci bernilai akan terdistribusi kepada

subkriteria yang berpengaruh terhadap masing-masing kriterianya. Sehingga

dengan model matematis persamaan 7 akan berkembang menjadi:

Y = (a1.Ca1+a2.Ca2+…+an.Can) + (b1.Cb1+b2.Cb2+….+bn.Cbn) + (c1.Cc1

+c2.Cc2+….+cn.Ccn) + (d1.Cd1+d2.Cd2+…+dn.Cdn) + …..+ (in.Cin+….)

Keterangan:

Y =Skala prioritas jembatan yang ditinjau, diukur secara kuantitatif

berdasarkan pengaruh kriteria Ca, Cb, Cc, Cd, …, Ci.

a1...an = Bobot kuantitatif pengaruh subkriteria Can terhadap Kriteria Ca.

b1...bn = Bobot kuantitatif pengaruh subkriteria Cbn terhadap Kriteria Cb.

c1...cn = Bobot kuantitatif pengaruh subkriteria Ccn terhadap Kriteria Cc.

d1...dn = Bobot kuantitatif pengaruh subkriteria Cdn terhadap Kriteria Cd.

in...Cin = Bobot kuantitatif pengaruh subkriteria Cin terhadap Kriteria Ci.

2.6 Populasi dan Sampel

2.6.1 Populasi

Menurut Sugiyono (2012), pengertian populasi adalah wilayah generalisasi

yang terdiri atas: objek/ subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya. Sedangkan menurut Hasan (2003), pengertian populasi secara

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

47

sederhana dapat dikatakan bahwa populasi adalah semua obyek penelitian. Nilai

populasi adalah semua nilai baik hasil perhitungan maupun pengukuran, baik

kuantitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang

lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifatnya.

Margono (2004), menyebutkan bahwa populasi adalah keseluruhan objek

penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan,

gejala-gejala, nilai tes, atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang

memiliki karaktersitik tertentu di dalam suatu penelitian. Kaitannya dengan

batasan tersebut, populasi dapat dibedakan berikut ini:

1. Populasi terbatas atau populasi terhingga, yakni populasi yang memiliki batas

kuantitatif secara jelas karena memiliki karakteristik yang terbatas.

2. Populasi tak terbatas atau populasi tak terhingga, yakni populasi yang tidak

dapat ditemukan batas-batasnya, sehingga tidak dapat dinyatakan dalam

bentuk jumlah secara kuantitatif.

Margono (2004), menyatakan bahwa persoalan populasi penelitian harus

dibedakan ke dalam sifat berikut ini:

1. Populasi yang bersifat homogen, yakni populasi yang unsur-unsurnya

memiliki sifat yang sama, sehingga tidak perlu dipersoalkan jumlahnya secara

kuantitatif.

2. Populasi yang bersifat heterogen, yakni populasi yang unsur-unsurnya

memiliki sifat atau keadaan yang bervariasi, sehingga perlu ditetapkan batas-

batasnya, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

48

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa populasi bukan sekedar

jumlah yang ada pada objek atau subjek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh

karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh subjek atau objek tersebut. Jadi populasi

bukan hanya orang tetapi juga obyek dan berbeda-beda alam yang lain. Populasi

juga bukan sekedar jumlah yang ada pada obyek/ subyek yang dipelajari, tetapi

meliputi seluruh karakteristik/ sifat yang dimiliki oleh subyek atau obyek itu.

2.6.2 Sampel

Pengertian sampel menurut Sugiyono (2009), adalah bagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Pengukuran sampel merupakan

langkah untuk menentukan besarnya sampel yang akan diambil dalam

melaksanakan penelitian dalam suatu obyek. Untuk menentukan besarnya sampel

bisa dilakukan dengan perhitungan statistik atau berdasarkan estimasi penelitian.

Pengambilan sampel ini harus dilakukan sedemikian rupa sehingga diperoleh

sampel yang benar-benar dapat berfungsi atau dapat menggambarkan keadaan

populasi yang sebenarnya. Dengan istilah lain, sampel harus representatif. Bila

populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada

populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti

dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipelajari

dari sampel itu, kesimpulannya akan diberlakukan untuk populasi. Untuk itu

sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif.

Margono (2004), menyatakan bahwa sampel adalah sebagai bagian dari

populasi, sebagai contoh (wakil) yang diambil dengan menggunakan cara-cara

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

49

tertentu. Penggunaan sampel dalam kegiatan penelitian dilakukan dengan

berbagai alasan. Margono (2004), mengungkapkan beberapa alasan tersebut yaitu:

a. Ukuran populasi

Dalam hal populasi tak terbatas (tak terhingga) berupa parameter yang

jumlahnya tidak diketahui dengan pasti, pada dasarnya bersifat konseptual.

Karena itu sama sekali tidak mungkin mengumpulkan data dari populasi

seperti itu.

b. Masalah biaya

Besar-kecilnya biaya tergantung juga dari banyak sedikitnya objek yang

diselidiki. Semakin besar jumlah objek, maka semakin besar biaya yang

diperlukan, lebih-lebih bila objek itu tersebar di wilayah yang cukup luas.

Oleh karena itu, sampling ialah satu cara untuk mengurangi biaya.

c. Masalah waktu

Penelitian sampel selalu memerlukan waktu yang lebih sedikit daripada

penelitian populasi. Sehubungan dengan hal itu, apabila waktu yang tersedia

terbatas, dan keimpulan diinginkan dengan segera, maka penelitian sampel,

dalam hal ini, lebih tepat.

d. Percobaan yang sifatnya merusak

Banyak penelitian yang tidak dapat dilakukan pada seluruh populasi karena

dapat merusak atau merugikan. Misalnya, tidak mungkin mengeluarkan semua

darah dari tubuh seseorang pasien yang akan dianalisis keadaan darahnya,

juga tidak mungkin mencoba seluruh neon untuk diuji kekuatannya. Karena

itu penelitian harus dilakukan hanya pada sampel.

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

50

e. Masalah ketelitian

Masalah ketelitian adalah salah satu segi yang diperlukan agar kesimpulan

cukup dapat dipertanggungjawabkan. Ketelitian, dalam hal ini meliputi

pengumpulan, pencatatan, dan analisis data. Penelitian terhadap populasi

belum tentu ketelitian terselenggara. Peneliti akan bosan dalam melaksanakan

tugasnya. Untuk menghindarkan itu semua, penelitian terhadap sampel

memungkinkan ketelitian dalam suatu penelitian.

f. Masalah ekonomis

Pertanyaan yang harus selalu diajukan oleh seorang peneliti; apakah kegunaan

dari hasil penelitian sepadan dengan biaya, waktu dan tenaga yang telah

dikeluarkan? Jika tidak, mengapa harus dilakukan penelitian? Dengan kata

lain penelitian sampel pada dasarnya akan lebih ekonomis daripada penelitian

populasi.

Menurut Suharsimi (2002), apabila subyeknya kurang dari 100 orang, lebih

baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi.

Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10%-15% atau

20%-25%, tergantung setidak-tidaknya dari:

a. Kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga dan dana.

b. Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subyek, karena hal ini

menyangkut banyak sedikitnya data.

c. Besar kecilnya resiko yang di tanggung oleh peneliti.

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

51

2.6.3 Teknik sampling

Menurut Sugiyono (2009), teknik pengambilan sampel adalah suatu teknik

untuk mendapatkan sampel pada suatu penelitian agar sampel tersebut

representatif terhadap populasi/ sosial situation yang diwakilinya. Teknik

sampling adalah teknik pengambilan sampel. Teknik sampling pada dasarnya

dapat dikelompokan menjadi dua yaitu Probability Sampling dan Nonprobability

Sampling.

Probability sampling adalah suatu teknik pengambilan sampel yang mana

memberikan peluang yang sama untuk setiap unsur/ anggota populasi/ social

situation (penelitian kualitatif) untuk menjadi sampel. Teknik ini terdiri dari:

Simple random sampling, Proportionate stratified random sampling,

Disproportionate stratified random sampling, dan Area/ cluster sampling.

Non probability sampling adalah suatu teknik pengambilan sampel yang

mana memberikan peluang yang tidak sama untuk setiap unsur/ anggota populasi/

sosial situation untuk menjadi sampel. Teknik ini terdiri dari:

a. Sistematis sampling:

Sistematis sampling adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan nomor

urut tertentu dari anggota populasi/ social situation yang telah diberi nomor

urut tertentu.

b. Sampling kuota:

Sampling kuota adalah teknik pengambilan sampel pada suatu populasi/ social

situation yang telah memenuhi jumlah unsur/ anggota tertentu.

Page 46: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

52

c. Sampling insidental:

Sampling insidental adalah teknik sampling yang diambil secara insidental

atau kebetulan. Sampling ini digunakan pada penelitian yang sangat umum

dan semua usur/ anggota populasi memahami topik penelitian.

d. Purposive sampling:

Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan

tertentu, sesuai dengan persyaratan yang disyaratkan dalam penelitian yang

akan dilaksanakan, karena tidak semua unsur/ anggota populasi/ social

situation memahami tentang topik dari penelitian tersebut. Umumnya sampel/

responden dalam metode ini memiliki keahlian sesuai dengan topik penelitian

yang dilaksanakan. Sampel/ responden yang diambil pada metode ini

umumnya disebut dengan responden expert.

e. Sampel jenuh:

Sampel jenuh adalah metode sampling dengan mengambil semua unsur/

anggota populasi/ social situation menjadi sampel. Metode ini disebabkan

karena jumlah unsur/ anggota populasi/ social situation sangat sedikit.

f. Snowball sampling:

Snowball sampling adalah teknik pengambilan sampel yang diawali dengan

jumlah yang kecil, dan bilamana data yang akan diambil kurang memenuhi

persyaratan sesuai dengan yang diperlukan maka sampel ini ditambah sampai

semua data yang diperlukan didapat.

Dari teknik non probability sampling di atas karena penelitian ini spesifik

pada obyek penelitian jembatan maka dipilih teknik purposive sampling.

Page 47: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

53

2.6.4 Batasan sampel

Topik penelitian ini adalah mengenai program pemeliharaan jembatan dengan

studi kasus di Satker Pelaksanaan Jalan Nasional Metropolitan Denpasar. Karena

topik penelitian bersifat khusus dengan tujuan tertentu di bidang jembatan maka

dalam teknik pengambilan sampel, termasuk memakai teknik purposive sampling.

Menurut Sugiyono (2009), pada teknik purposive sampling, sampel dibatasai

yaitu hanya responden yang dianggap sebagai pakar/ ahli/ ekspertist yang

memiliki kompetensi terdiri dari meraka yang memiliki kewenangan/ kebijakan

untuk memutuskan, tugas yang bersifat rutinitas dan profesi sehubungan dengan

topik yang diteliti, atau mereka yang memiliki kemampuan akademik, sesuai

dengan topik penelitian.

2.6.5 Kriteria sampel

Berdasarkan batasan sampel di atas maka dapat disusun kriteria sampel yang

memenuhi salah satu kriteria seperti disebutkan dibawah ini:

a) Memiliki kewenangan/ kebijakan untuk mengusulkan dan atau memutuskan

tentang pemeliharaan jembatan. Dalam hal ini sampel adalah di pejabat dan

anggota dewan yang berperan dalam proses penentuan kebijakan dalam

mengusulkan dan memutuskan pemeliharaan jembatan.

b) Memiliki tugas yang bersifat rutinitas tentang perencanaan, pemrograman,

pelaksanaan dan pengawasan jembatan. Dalam hal ini sampel adalah

pegawai, analisis dan petugas yang memiliki rutinitas perencanaan,

pemrograman, pelaksanaan dan pengawasan jembatan.

Page 48: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

54

c) Mempunyai Profesi sehubungan dengan topik yang diteliti. Dalam hal ini

sampel adalah profesional yang memiliki profesi yang berhubungan dengan

pemeliharaan jembatan.

d) Memiliki kemampuan akademik, sesuai dengan topik penelitian. Dalam hal ini

sampel adalah akademisi dan tokoh masyarakat yang memiliki kemampuan

akademis dan memahami tentang pemeliharaan jembatan.

Menurut Ulwan (2014), memilih sampel berdasarkan purposive sampling

tergantung kriteria apa yang digunakan. Peneliti turun langsung ke tempat (area,

wilayah, lokasi) tertentu dimana banyak anggota populasi dimaksud berada.

Sebanyak yang dianggap cukup memadai untuk memperoleh data penelitian yang

mencerminkan (representatif) keadaan populasi. Data dari sampel purposive

dianggap sudah cukup apabila bisa menggambarkan (menjawab) apa yang

menjadi tujuan dan permasalahan penelitian. Tentu tidak tepat jika beberapa

orang, sebanyak mungkin jauh lebih baik dan angka pastinya tidak ada.

2.6.6 Teknik pengumpulan data

Menurut Sugiyono (2009), berdasarkan sumbernya data dibedakan menjadi

dua yaitu:

1. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian langsung secara

empirik kepada pelaku langsung atau yang terlibat langsung dengan

menggunakan teknik pengumpulan data tertentu.

Page 49: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

55

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari pihak lain atau hasil penelitian

pihak lain.

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat dikumpulkan dengan

teknik sebagai berikut:

a. Penelitian lapangan (Field Reasearch)

Penelitian di lapangan adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memperoleh

data primer yaitu data yang diperoleh melalui:

1. Pengamatan (Observation), yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan

mengamati secara langsung objek yang diteliti.

2. Wawancara (Interview), yaitu teknik pengumpulan data dengan cara tanya

jawab dengan pimpinan atau pihak yang berwenang atau bagian lain yang

berhubungan langsung dengan objek yang diteliti.

3. Kuesioner, yaitu teknik pengumpulan data dengan membuat daftar

pertanyaan yang berkaitan dengan objek yang diteliti, diberikan kepada

pimpinan atau pihak yang berwenang atau bagian lain yang berhubungan

langsung dengan objek yang diteliti.

b. Penelitian kepustakaan (Library Reasearch)

Penelitian kepustaan adalah penelitian yang dimaskudkan untuk memperoleh data

sekunder yaitu data yang merupakan faktor penunjang yang bersifat teoritis

kepustakaan.

Page 50: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

56

2.7 Kuesioner

Menurut Kasnodiharjo (1993), ada 3 macam kuesioner/ formulir isian yang

sering digunakan dalam pengumpulan data yaitu:

a) Formulir isian untuk keperluan administrasi.

b) Formulir isian untuk observasi.

c) Daftar pertanyaan (kuesioner).

Dari ketiga jenis macam kuesioner tersebut maka dalam kajian pustaka ini akan

dibahas mengenai daftar pertanyaan (kuesioner).

Menurut Kasnodiharjo (1993), kuesioner adalah suatu sarana dalam

pengumpulan data untuk memperoleh gambaran yang sebenarnya tentang suatu

keadaan. Kuesioner mempunyai peranan penting sebab didalamnya mencakup

semua tujuan penelitian dari survei/ penelitian. Disamping sudah tercakupnya

tujuan dari surveinya, suatu kuesioner yang baik harus juga memenuhi

persyaratan sebagai berikut:

1. Mudah ditanyakan.

2. Mudah dijawab.

3. Mudah diproses.

Pengertian mudah dalam hal ini sangat relatif dan tergantung dari jenis

surveinya maupun petugas yang melakukannya. Pengumpulan data menggunakan

daftar pertanyaan biasanya dilakukan dengan wawancara. Kuesioner sebenarnya

sudah mencakup dua jenis daftar isian pertama dan kedua dan sifatnya lebih luas

dan lengkap. Hal ini disebabkan antara pewawancara (interviewer) dengan

responden sehingga memungkinkan didapatkannya jawaban yang lebih akurat.

Page 51: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

57

2.7.1 Masalah-masalah mendasar dalam menyusun kuesioner

Menurut Kasnodiharjo (1993), masalah penting yang sering timbul dari

penggunaan kuesioner dalam suatu survei adalah adanya variasi dari responden

terutama menyangkut tingkat pendidikan, perbedaan daerah dimana responden

tinggal dan latar belakang pekerjaan. Bagaimanapun juga baiknya pemilihan

responden (sampel), perbedaan-perbedaan individual tetap ada/ muncul. Oleh

karena itu jauh sebelum menyusun suatu kuesioner kita harus menyadari hal-hal

yang demikian. Dengan adanya perbedaan/ variasi dari responden tersebut,

mungkin dalam penggunaan kuesioner akan timbul antara lain hal-hal sebagai

berikut:

1. Responden tidak mengerti pertanyaan, jawaban yang diberikan tidak ada

hubungannya dengan pertanyaan yang diajukan.

2. Responden mengerti pertanyaannya, mempunyai informasi datanya, akan

tetapi mungkin tidak mengetahui mana informasi penting yang harus diingat.

Misalnya pertanyaan intensitas fogging dalam setahun dilakukan berapa kali,

responden mengerti apa itu fogging dan prosesnya namun tidak ingat

intensitasnya.

3. Responden mengerti pertanyaan, mempunyai informasi tetapi tidak mau

menjawab/ memberikan informasi yang dimaksud. Hal ini umumnya

menyangkut pertanyaan tentang masalah pribadi , seperti mengenai gaji, harta,

kepemilikan, dsb.

4. Responden mengerti pertanyaannya, mau menjawab, namun tidak mampu

mengemukakan. Ada tiga alasan kenapa responden tidak mampu

Page 52: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

58

mengemukakan, antara lain: tidak mampu menguraikan jawaban, pertanyaan

diajukan ke orang yang tidak tepat dan responden tidak mengetahui

jawabannya.

2.7.2 Prinsip-prinsip pembuatan kuesioner

Menurut Kasnodiharjo (1993), pembuatan kuesioner perlu memperhatikan

masalah-masalah yang sering timbul sebagaimana diuraikan di atas. Sebagai

pedoman dalam penyusunan kuesioner berikut ini diuraikan bagaimana sebaiknya

suatu kuesioner yang sedapat mungkin harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Jelas

Kejelasan menyangkut kata-kata yang tepat supaya responden memahami

benar maksud pertanyaan yang diajukan. Ada kalanya suatu kata dapat

mempengaruhi jawaban responden. Jelas juga dimaksud menghindari

penggunaan kata-kata double negative dan menghindari penggabungan

beberapa pertanyaan kedalam satu pertanyaan. Jangan sampai terdapat

pertanyaan yang mengacu ke jawaban sebelumnya tetapi tanpa menyebutkan

secara jelas jawaban yang mana yang dimaksud. Pewawancara sebaiknya

menghindari pertanyaan yang terlalu luas batasannya.

2. Membantu ingatan responden

Pertanyaan harus dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan responden

untuk mengingat kembali hal-hal yang diperlukan untuk menjawab suatu

pertanyaan. Cara yang sering digunakan adalah dengan menggunakan time

line dengan mengambil suatu peristiwa penting yang mudah dingat responden.

Page 53: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

59

3. Membuat responden bersedia menjawab

Bagaimanapun baiknya kuesioner akan tidak ada artinya kalau responden

tidak mau atau menolak memberi jawaban. Hal ini bisa terjadi karena susunan

pertanyaan ataupun kata-katanya kurang tepat. Usahakan tidak menanyakan

hal-hal yang sulit dan bersifat pribadi pada permulaan wawancara. Susunlah

pertanyaan tentang hal-hal yang mudah dijawab dan menyenangkan

responden.

4. Menghindari bias

Menghindari pemakaian jawaban yang memiliki arti sama dan multi tafsir.

5. Mudah mengutarakan

Agar lebih mudah dipahami dapat diberikan gambar atau ranking skala,

responden cukup hanya memilih jawaban mana yang dimaksud daripada harus

memahami kata-kata yang sulit.

6. Dapat menyaring responden

Penting sekali suatu pertanyaan dapat menyaring responden sebab kalau tidak

pertanyaan-pertanyaan tertentu mungkin tidak bisa dijawab karena ditanyakan

ke responden yang salah.

2.7.3 Jenis pertanyaan dalam kuesioner

Menurut Kasnodiharjo (1993), terdapat beberapa jenis pertanyaan dalam

kuesioner antara lain:

1. Free response

Jenis pertanyaan ini memiliki jawaban yang tidak terbatas dan terserah

kepada responden. Jenis pertanyaan ini biasanya digunakan untuk

Page 54: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

60

mengetahui opini, persepsi atau motif tertentu dari responden. Pertanyaan

ini memberikan peluang kepada responden untuk menjawab apa yang dia

pikirkan, ketahui dan sebagainya. Kelamahan jenis pertanyaan ini adalah

sulit untuk ditabulasi/ diolah karena perbedaan interpretasi dari masing-

masing jawabannya.

2. Directed response

Berbeda dengan jenis pertanyaan free response, jenis pertanyaan directed

response ini sudah diarahkan tidak terlalu luas. Jawaban lebih terarah dan

lebih mudah untuk dibandingkan antara jawaban dari satu responden ke

lainnya karena hanya menyangkut masalah terbatas, kecil dan sama.

3. Multiple choice

Jenis pertanyaan ini jawabannya sudah disediakan dan responden tinggal

memilih satu jawaban yang sesuai dengan opininya. Keuntungan jenis

pertanyaan ini adalah tidak sulit menjawabnya karena memilih dan juga

mudah dalam pengolahan/ tabulasinya. Jenis pertanyaan ini baik

digunakan apabila kita sudah yakin dan tahu benar kemungkinan jawaban

dari pertanyaan yang diajukan.

4. Check list

Jenis pertanyaan ini adalah modifikasi dari multiple choice. Pada jenis

pertanyaan ini kita diberi kebebasan untuk memilih jawaban sebanyak

mungkin. Jawaban responden mungkin lebih dari satu dan bahkan semua

jawaban mungkin dipilih responden.

Page 55: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

61

5. Ranking question

Pada jenis pertanyaan ini responden diminta untuk mengurutkan jawaban–

jawaban yang tersedia sesuai dengan pendapat responden.

6. Dichotomous question

Pada jenis pertanyaan ini responden hanya diberikan pilihan untuk

menjawab satu jawaban saja dari dua opsi yang telah disiapkan.

7. Open end question

Jenis pertanyaan ini biasanya digunakan untuk kualitatif research.

Pertanyaan biasanya dimulai dengan salah satu subyek dan atas dasar

jawaban responden maka dilanjutkan dengan pertanyaan yang disusun

sebagai kelanjutan dari jawaban tersebut.

2.7.4 Prosedur menyiapkan kuesioner

Menurut Kasnodiharjo (1993), dalam menyiapkan kuesioner diperlukan

urutan-urutan pembuatannya secara sistematik dan baik. Beberapa langkah dalam

pembuatan kuesioner adalah sebagai berikut:

1. Dalam pertanyaan harus sudah ditentukan informasi/ data apa yang

diperlukan dan dari sumber mana data tersebut diperoleh.

2. Informasi/ data yang ingin diperoleh dari sumber tersebut harus di daftar

mulai dari data pokok yang diperlukan dan seterusnya. Umumnya tidak

semua informasi yang ditanyakan akhirnya diperlukan. Pertanyaan yang

tidak penting sebaiknya dihilangkan. Pertanyaan harus didasarkan pada

kerangka pemikiran awal yang mengarahkan pemikiran kepada hipotesis

awal.

Page 56: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

62

3. Mencoba menempatkan diri kita dalam posisi orang-orang yang akan

dijadikan responden. Hal-hal yang sulit dipahami dan sulit dijawab

sebaiknya disederhanakan agar lebih mudah dapat dipahami.

4. Menentukan urutan topik, topik mana sebagai pembuka wawancara dan

mana yang baik sebagai penutup wawancara.

5. Topik-topik/ item-itemnya perlu diurutkan, kemudian baru ditentukan

jenis pertanyaan apa yang akan digunakan.

6. Setelah menentukan pertanyaan apa yang akan digunakan kemudia

tuliskan susunan kata-kata untuk setiap pertanyaan. Pertanyaan harus jelas

agar mudah dipahami terutama hubungannya dengan elemen-elemen

penelitian dan pertanyaan sebelumnya.

7. Setelah penulisan selesai, tentukan formatnya. Sediakan ruangan yang

cukup untuk jawabannya. Kalau ada pertanyaan multiple choice atau

check list maka harus sudah disiapkan jawaban-jawabannya.

8. Format kuesioner sudah selesai termasuk didalamnya pertanyaan-

pertanyaan yang telah tersusun dan jawaban yang diperlukan, tetapi

kemngkinan terdpat kejanggalan-kejanggalan baik kata-kata maupun

susunannya. Oleh karena itu setelah format selesau perlu diteliti kembali

dan diperbaiki lagi apabila diperlukan.

9. Kalau sudah yakin semuanya benar dan sesuai dengan apa yang kita

harapkan maka tempatkan diri kembali sebagai responden. Dapatkah kita

menjawab semua pertanyaan tersebut dan hitunglah waktu yang

diperlukan. Kalau ternyata waktu yang diperlukan terlalu lama maka perlu

Page 57: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

63

dipikirkan kembali apakah ada hal-hal yang dapat menghemat waktu

seperti menghilangkan pertanyaan yang tidak penting.

10. Kemudian tempatkan diri kita sebagai interviewer. Apakah pertanyaan-

pertanyaan tersebut sudah baik dan mudah ditanyakan. Apakah bahasanya

wajar, mudah dibaca dan mudah menulis jawabannya.

11. Agar kuesioner lebih baik lagi perlu dimintakan pendapat/ saran dari pihak

yang banyak tahu tentang topik/ masalah yang hendak kita survei.

12. Kuesioner kemudia diuji coba di lapangan dengan beberapa responden,

untuk mengetahui kemudahan penggunaannya. Berdasarkan hasil uji coba

maka maka diketahui mana pertanyaan yang perlu direvisi. Ada baiknya

setelah diperbaiki dilakukan uji coba sekali lagi jika biaya dan waktu

masih memungkinkan.

13. Setelah uji coba, kuesioner siap untuk diperbanyak dan siap untuk

digunakan dalam penelitian/ survei yang sebenarnya.

2.7.5 Skala pengukuran kuesioner

Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan

untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur,

sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan

data kuantitatif. Ada beberapa jenis skala pengukuran yaitu (Firdaus, 2008):

1. Skala Guttman

Adalah skala pengukuran yang digunakan bila peneliti ingin mendapat jawaban

yang tegas yaitu ya-tidak, benar-salah dan lain-lain.

Page 58: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

64

2. Semantik Deferential

Adalah skala pengukuran yang digunakan untuk mengukur sikap/ karakteristik

seseorang. Bentuknya tidak pilihan ganda atau ceklist, tetapi tersusun dalam

satu garis kontinue yang jawabannya sangat positifnya paling kanan dan sangat

negatifnya paling kiri.yang didasarkan pada ranking, diurutkan dari jenjang

yang lebih tinggi sampai jenjang yang lebih rendah atau sebaliknya.

3. Rating Schale

Adalah skala pengukuran dimana data mentah yang diperoleh berupa angka

kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif.

4. Skala Likert

Adalah suatu interval pengukuran sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau

sekelompok orang tentang fenomena. Variabel yang akan diukur dijabarkan

menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan titik tolak

untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pernyataan atau

pertanyaan.

2.8 Penelitian Sebelumnya

2.8.1 Penelitian Tri Wiyono

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2011 dengan judul penelitian: Sistem

Penentuan Prioritas Penanganan Pemeliharaan Jembatan di Kabupaten

Karanganyar. Tahapan penelitian meliputi; menentukan kriteria dan subkriteria

yang menjadi pertimbangan dalam menentukan prioritas penanganan jembatan,

melakukan pembobotan kriteria dan subkriteria dengan metode Proses Hirarki

Page 59: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

65

Analisis, membuat sistem pendukung keputusan menggunakan aplikasi Microsoft

Office Excel 2007 untuk menentukan urutan prioritas penanganan pemeliharaan

jembatan. Berdasarkan hasil studi literatur dan diskusi/ wawancara terhadap 11

stakeholder digunakan lima kriteria dalam menentukan prioritas penanganan

jembatan antara lain sebagai berikut:

1. Kondisi kerusakan komponen jembatan.

2. Tingkat kepadatan lalu lintas.

3. Aksesibilitas jembatan.

4. Biaya penanganan.

5. Sistem pengadaan barang dan jasa.

Subkriteria yang digunakan oleh Wiyono dalam penelitiannya adalah:

1. Memerlukan penanganan.

2. Tidak memerlukan penanganan.

2.8.2 Penelitian Anthony Ompusunggu

Penelitian ini berjudul Penentuan Skala Prioritas Pemeliharaan Jembatan Di

Jalan Pantura Jawa Timur. Penelitian ini dimulai dari penentuan variabel-variabel/

kriteria-kriteria yang berpengaruh dalam penentuan skala prioritas pemeliharaan

jembatan berdasarkan sintesa kajian yang dipertegas oleh resonden expert.

Kemudian dilakukan pemilihan alternatif jembatan berdasarkan kriteria-kriteria

tersebut dengan menggunakan alat analisa multivariabel yaitu AHP. Tahap

selanjutnya dilakukan analisis sensitifitas untuk mengetahui kemapanan kriteria

yang digunakan dalam penelitian ini guna menentukan alternatif jembatan dalam

Page 60: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

66

program pemeliharaan. Adapun kriteria dan subkriteria yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kriteria financial dengan subkriteria budget/ anggaran dan efisiensi biaya.

2. Kriteria transportasi dengan subkriteria yaitu LHR, kecepatan rata-rata dan

jalan alternatif.

3. Kriteria sosial dengan subkriteria jumlah penduduk.

4. Kriteria teknik dengan subkriteria jenis kerusakan dan waktu pelaksanaan.

2.8.3 Penelitian I Kadek Sutika

Pada Tahun 2010, I Kadek Sutika membuat suatu penelitian yang bertopik

Penentuan Skala Prioritas Pemeliharaan Ruas-Ruas Jalan Provinsi di Provinsi Bali

dengan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Struktur hirarki yang

didapat dalam penelitian ini terdiri atas 3 level. Level-1 ditempati oleh tujuan,

yaitu penentuan skala prioritas pemeliharaan ruas-ruas jalan, sedangkan pada

level-2 ditempati kriteria dan level-3 subkriteria. Adapun kriteria dan subkriteria

yang dipakai dalam penelitian ini antara lain:

1. Sistem kelembagaan, dengan subkriteria kesesuaian usulan terhadap

arahan Renstra dan kesesuaian usulan terhadap usulan Musrenbang.

2. Sistem jaringan, dengan subkriteria kondisi jalan dan fungsi jalan.

3. Sistem tata guna lahan dengan empat subkriteria antara lain keberadaan

jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan pariwisata, keberadaan

jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan perkantoran, keberadaan

jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan pertambangan dan

Page 61: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

67

keberadaan jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan suci dan

tempat suci.

4. Sistem pergerakan dipengaruhi oleh subkriteria LHR Jalan.

2.8.4 Kajian pustaka terhadap kriteria penelitian sebelumnya

Berdasarkan penelitian sebelumnya, dapat diperoleh gambaran hirarki yang

telah digunakan dalam penelitian sejenis yang pernah dilaksanakan dengan obyek

penelitian yang berbeda. Struktur hirarki tersebut dapat digunakan sebagai

gambaran awal untuk penyusunan hirarki pada penelitian ini. Struktur hirarki

tersebut antara lain kriteria dan subkriteria pada penelitian sebelumnya. Pada

Tabel 2.8 dapat dilihat perbandingan kriteria pada penelitian sebelumnya.

Tabel 2.8 Kriteria yang Digunakan pada Penelitian Sebelumnya

Sutika Ompusunggu WiyonoSistem Jaringan Teknik Kondisi kerusakan komponen jembatan.Sistem Tata Guna Lahan Aksesibilitas jembatan.Sistem Pergerakan Transportasi Tingkat kepadatan lalu lintas.

Sosial Sistem Kelembagaan Financial Biaya penanganan.

Sistem pengadaan barang dan jasa. Sumber: Pengolahan Data, 2016.

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa ketiga peneliti menggunakan kriteria

yang memiliki pemahaman yang sama satu sama lainnya. Sutika menyebut

kriterianya dengan sistem jaringan yang terdiri dari subkriteria kondisi jalan dan

fungsi jalan, sementara Ompusunggu menyebutnya dengan kriteria teknik dengan

subkriteria jenis kerusakan dan waktu pelaksanaan. Pada penelitian lain, Wiyono

menyebut kriteria ini sebagai kriteria kondisi kerusakan jembatan yang pada

Page 62: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

68

prinsipnya memiliki pemahaman yang sama dengan kriteria sistem jaringan oleh

Sutika maupun kriteria teknik oleh Ompusunggu. Dari ketiga kriteria tersebut

kriteria sistem jaringan dari Sutika bersifat lengkap, operasional, tidak berlebihan

dan mampu mengakomodir kriteria dari Ompusunggu dan Wiyono yang lebih

khusus sebagai subkriterianya, sehingga kriteria sistem jaringan dari Sutika dapat

dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam penelitian ini.

Sutika menyebut kriterianya yang kedua sebagai kriteria sistem tata guna

lahan yang merupakan perwujudan dari empat subkriteria antara lain keberadaan

jalan untuk meningkatkan akses menuju kawasan pariwisata, keberadaan jalan

untuk meningkatkan akses menuju kawasan perkantoran, keberadaan jalan untuk

meningkatkan akses menuju kawasan pertambangan dan keberadaan jalan untuk

meningkatkan akses menuju kawasan suci dan tempat suci. Sementara Wiyono

untuk kriteria ini menyebutnya dengan aksesibilitas jembatan dalam

menghubungkan suatu tata guna lahan. Ompusunggu tidak memiliki kriteria yang

memiliki kemiripan makna dengan kriteria dari Sutika dan Wiyono ini. Dari

kedua kriteria tersebut kriteria sistem tata guna lahan dari Sutika bersifat lengkap,

operasional, tidak berlebihan dan mampu mengakomodir kriteria dari Wiyono

yang lebih khusus sebagai subkriterianya, sehingga kriteria sistem tata guna lahan

dari penelitian Sutika dapat dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam

penelitian ini.

Kriteria selanjutnya dari Sutika adalah kriteria sistem pergerakan yang

merupakan perwujudan dari subkriteria lalu-lintas harian rata-rata. Pada penelitian

Ompusunggu, kriteria ini memiliki kemiripan dengan kriteria transportasi yang

Page 63: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan dan Klasifikasinya II Final.pdf · T Gantung D Beton tak bertulang E Spanyol/ Wika ... Jembatan balok/ gelagar. b) Jembatan pelat. c) Jembatan pelengkung

69

merupakan perwujudan tiga subkriteria yaitu LHR, kecepatan rata-rata dan jalan

alternatif. Kriteria ini juga memiliki kemiripan makna dengan kriteria social

dalam penelitian Ompusunggu, karena faktor social tersebut merupakan

perwujudan dari subkriteria jumlah penduduk yang menyebabkan bangkitan dari

pergerakan itu sendiri. Dalam penelitian Wiyono terdapat kriteria tingkat

kepadatan lalu-lintas yang memiliki kemiripan makna dengan kriteria dari Sutika

maupun Ompusunggu. Dari ketiga kriteria tersebut kriteria sistem pergerakan dari

penelitian Sutika bersifat lebih lengkap, operasional, tidak berlebihan dan mampu

mengakomodir kriteria dari Ompusunggu dan Wiyono yang lebih khusus sebagai

subkriterianya, sehingga kriteria sistem pergerakan dari penelitian Sutika dapat

dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam penelitian ini.

Kriteria terakhir dalam penelitian Sutika adalah kriteria sistem kelembagaan

yang merupakan perwujudan dari subkriteria kesesuaian usulan terhadap arahan

Renstra dan kesesuaian usulan terhadap usulan Musrenbang. Kriteria ini memiliki

kemiripan dengan kriteria financial pada penelitian Ompusunggu. Kriteria Sutika

dan Ompusunggu itu juga memiliki kemiripan makna dengan kriteria biaya

penanganan dan kriteria sistem pengadaan barang pada penelitian Wiyono. Dari

ketiga kriteria tersebut kriteria sistem kelembagaan dari penelitian Sutika bersifat

lebih lengkap, operasional, tidak berlebihan dan mampu mengakomodir kriteria

dari Ompusunggu dan Wiyono yang lebih khusus sebagai subkriterianya,

sehingga kriteria sistem kelembagaan dari penelitian Sutika dapat

dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam penelitian ini.