bab ii tinjauan pustaka 2.1 diabetes melitus ii.pdf1 bab ii tinjauan pustaka 2.1 diabetes melitus...
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya. Diabetes melitus tipe 1 mempunyai latar belakang kelainan
berupa kurangnya insulin secara absolut akibat proses autoimun, sedangkan
diabetes melitus tipe 2 mempunyai latar belakang resistensi insulin. Pada awalnya
resistensi insulin belum menyebabkan klinis diabetes. Sel beta pankreas masih
dapat mengkompensasi, sehingga terjadi hiperinsulinemia, kadar glukosa darah
masih normal atau sedikit meningkat, selanjutnya terjadi kelelahan sel beta
pankreas, baru terjadi DMT2 yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa
darah (ADA, 2014). Penderita DMT2 mengalami penurunan sensitivitas insulin
terhadap kadar glukosa, yang berakibat kadar glukosa yang tinggi. Keadaan ini
disertai dengan ketidakmampuan otot dan jaringan lemak untuk meningkatkan
ambilan glukosa, sehingga mekanisme ini menyebabkan meningkatnya resistensi
insulin perifer (Perkeni, 2014).
Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia sebagai akibat dari kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya (Abate dan Chandalia, 2001). Diabetes Melitus merupakan masalah
kesehatan yang komplek karena didalamnya terdapat peran berbagai problematika
fisiologi dan biokimia akibat kondisi dimana terdapat defisiensi insulin dan
gangguan fungsi insulin. Meningkatnya angka kejadian DMT2 banyak dipengaruhi
8
2
oleh pola hidup diabetogenik, yang melengkapi defek genetik yang sebelumnya
telah ada pada sel beta pankreas. Beberapa gaya hidup yang dimaksud adalah
asupan kalori yang berlebihan oleh karena cara makan atau pola makan yang salah,
mengkonsumsi banyak makanan tinggi kalori, serta pengeluaran kalori yang tidak
memadai terutama pada mereka yang jarang berolah raga dan aktifitas di luar
ruangan yang minimal (Meier dkk., 2011).
Tabel.2.1.
Kriteria diagnosis DM (Perkeni, 2014)
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
atau
2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7.0 mmol/L)
Puasa diartikan penderita tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
atau
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L) TTGO
yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan glukosa yang setara
dengan 75 g glukosa anhidrous yang dilarutkan kedalam air.
Pemeriksaan HbA1C ≥ 6,5 oleh ADA 2014 sudah dimasukkan menjadi salah satu
kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang terstandarisasi
dengan baik.
Pada individu sehat, hormon kunci untuk mengontrol glukosa darah adalah
glukagon dan insulin. Insulin adalah hormon pengatur glukosa darah, yang
menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel untuk digunakan sebagai sumber
energi, insulin diproduksi oleh sel beta Langerhans kelenjar pankreas (Stumvoll
dkk., 2010).
3
Setelah makan sekresi insulin akan meningkat sehingga terjadi pengambilan
glukosa postprandial di hati dan jaringan perifer sedangkan sekresi glukagon
berkurang. Pada saat kadar glukosa plasma rendah, sekresi glukagon akan
meningkatkan konsentrasi glukosa plasma dengan menstimulasi pemecahan
glikogen yang tersimpan dalam hati menjadi glukosa dan meningkatkan hepatic
gluconeogenesis. Glukagon berfungsi sebagai kontra regulasi insulin dalam
menjaga homeostasis glukosa normal (Theodorakis dkk., 2011).
Pada penderita DMT2, terdapat relatif kekurangan insulin sehingga regulasi
gula darah terganggu. Pada kondisi DMT2, walau pun kadar glukosa darah sudah
tinggi, pemecahan lemak dan protein menjadi glukosa (glukoneogenesis) di hati
tidak dihambat sehingga kadar glukosa darah makin meningkat (Abate dan
Chandalia, 2001). Jika dibiarkan kondisi ini akan berlanjut menjadi disregulasi
metabolik dimana kadar gula darah yang tinggi akan mengalami oksidasi dan
mencederai tubuh pada tingkat seluler. Disregulasi gula darah jika berlanjut akan
menimbulkan komplikasi bahkan kegawatan seperti ketoasidosis diabetik, koma
hiperosmolar non ketosis atau laktat asidosis. Pada tingkat organ akan terjadi mikro
angiopati dan makro angiopati. Kondisi ini bila berlanjut dapat mengakibatkan
kematian (Jain dan Saraf, 2010).
2.2 Perjalanan Alamiah Penderita DMT2
Patofisiologis DMT2 adalah penurunan fungsi sel beta secara progresif,
resistensi insulin yang menetap dan hilangnya efek inkretin (AACE, 2007; UKPDS,
2011). Walaupun demikian kejadian kronik hiperglikemia baru akan akan berlanjut
menjadi DMT2 jika sudah terjadi penurunan fungsi sel beta pankreas, biasanya
setelah periode panjang; kurang lebih 7-10 tahun sebelum DMT2 tersebut
4
didiagnosis (Pratley dan Weyer, 2001; Weyer dkk., 2001; Brown dkk., 2010).
Penyebabnya ternyata lebih berhubungan dengan disfungsi sel beta pankreas
dibandingkan adanya resistensi insulin. Hilangnya fase cepat pelepasan insulin
merupakan defek utama pada DMT2 (disamping peningkatan level glukosa
postprandial) (Brown dkk., 2010).
Gambar 2.1.
Perjalanan progresifitas DMT2 ( AACE, 2007; UKPDS, 2011)
Umumnya penderita DMT2 pasti memerlukan terapi kombinasi yang bekerja
pada berbagai defek patofisiologi. Usia muda sampai dewasa pertengahan dengan
peningkatan kadar glukosa puasa dan berat badan berlebih saat didiagnosis sebagai
DMT2, akan lebih cepat mengalami perburukkan dan lebih cepat memerlukan
penambahan terapi (Kellow dkk., 2011). Pemberian terapi untuk menurunkan kadar
glukosa pada penderita DMT2 secepat mungkin dapat menurunkan kegagalan
kendali. Data dari ADOPT menunjukkan thiazolidione mempunyai efikasi yang
lebih baik dibandingkan metformin maupun sulfonilurea (Kahn dkk., 2011).
Evaluasi terapi 2-3 bulan dilakukan pada pemberian monoterapi, dan bila tidak
tercapai target maka terapi mesti disesuaikan dengan penambahan jenis obat lain
5
(Nathan dkk., 2009); penambahan obat dengan target kerja berbeda harus diberikan
(Rodbar dan Jellinger, 2010). Perlu diketahui bahwa penyakit diabetes merupakan
multiorgan, multifaktorial bukan hanya disebabkan disfungsi sel beta dan resistensi
insulin pada jaringan perifer dan hati tetapi juga terjadi pada jaringan lemak
(peningkatan lipolisis), penurunan sekresi dan sensitifitas inkretin (gastrointestinal),
peningkatan sekresi glukagon (sel alfa), reabsopsi glukosa (ginjal) dan resistensi
insulin karena gangguan neurotransmiter pada sistem saraf pusat (otak). Pemberian
berbagai obat yang bekerja pada beberapa defek patofisiologi tersebut adalah wajar,
tetapi dengan pemberian berbagai jenis terapi tersebut akan meningkatkan risiko
baik efek samping, penurunan kepatuhan dan tentunya pertimbangan ekonomi
(Nathan dkk., 2009). Inkretin seperti GLP-1 agonis reseptor bekerja pada banyak
tempat patofiologi DMT2 seperti peningkatan sekresi insulin dan menurunkan
sekresi glukagon, efek pada otak, memperlambat pengosongan lambung,
menurunkan nafsu makan, dan efek preservasi sel beta pankreas (khan dkk., 2011).
Sehingga saat ini terapi inkretin dipandang sebagai terapi yang idel pada penderita
DMT2 (Zinman, 2011).
Gambar 2.2.
Perjalanan terapi pada DMT2 (UKPDS, 2011)
6
2.3 Insulin
Insulin adalah polipeptida yang tersusun dari dua rantai asam amino yang
dihubungkan oleh struktur disulfida. Rantai pertama dan kedua masing-masing
mempunyai 21 dan 30 asam amino. Substitusi terjadi pada beberapa posisi dalam
kedua rantai tanpa mempengaruhi bioaktifitas (gambar 2.3). Insulin disintesis
sebagai suatu preprohormon dengan berat molekul sekitar 11.500 Dalton serta
merupakan prototipe untuk peptida yang diproses dari prekursor molekul yang lebih
besar. Preproinsulin bersifat hidrofobik dengan 23 asam amino yang digunakan
melalui proses metabolisme didalam sisterna retikulum endoplasm. Proses ini
menghasilkan proinsulin dengan berat molekul 9.000 Dalton yang diperlukan bagi
pembentukan jembatan disulfida yang sempurna (Butler dkk., 2010).
Gambar 2.3.
Struktur insulin manusia (Butler dkk., 2010)
Susunan proinsulin dimulai dari bagian terminal yaitu amino rantai B-peptida
C (penghubung) dan rantai A. Molekul proinsulin akan dipecah secara spesifik
sehingga terbentuk insulin matur dan peptida C dengan jumlah ekuimolar.
Proinsulin mempunyai panjang yang bervariasi antara 78 hingga 86 asam amino,
dengan variasi yang terdapat pada regio peptida C. Proinsulin memiliki kelarutan
dan titik isoelektrik yang sama dengan insulin, prekursor ini juga membentuk
7
heksamer dengan kristal Zeng dan bereaksi kuat dengan antiserum insulin (Drucker,
2001). Proinsulin memiliki bioaktifitas 5% kurang dari bioaktifitas insulin.
Sebagian proinsulin dilepas bersama insulin dan pada keadaan tertentu, lebih besar
dari pada biasanya. Karena waktu paruh proinsulin dalam plasma secara bermakna
lebih panjang dari pada waktu paruh insulin, sehingga insulin dan proinsulin bisa
bereaksi silang secara kuat dengan antiserum insulin yang menyebabkan
pemeriksaan radioimmuno assay untuk menentukan kadar insulin kadang-kadang
memperkirakan secara berlebihan bioaktivitas insulin dalam plasma (Dungan dan
Buse, 2005).
C-peptida merupakan molekul yang berbeda bila dilihat dari sudut pandang
sifat antigeniknya. Karena itu pemeriksaan immunoassay terhadap C-peptida dapat
membedakan apakah insulin yang ada disekresikan dari dalam dengan insulin yang
diberikan dari luar. Insulin dibentuk dalam retikulum endoplasma sel B, kemudian
diangkut ke kompleks golgi dan akan dibungkus dalam granula berselaput. Granula-
granula ini bergerak ke dinding sel, oleh proses yang diperantarai mikrotubulus,
kemudian bersatu dengan membran sel. Proses ini diakhiri pelepasan insulin secara
eksositosis. Insulin kemudian harus menyeberangi lamina-lamina basalis sel B,
melalui celah endotel kapiler untuk mencapai aliran darah (Drucker, 2001).
Pankreas manusia mensekresi 40-50 unit insulin perhari, yang
menggambarkan kira-kira 15-20% hormon yang disimpan dalam kelenjar pankreas.
Sekresi insulin adalah proses yang membutuhkan energi dan melibatkan sistem
mikrotubulus mikrofilamen dalam sel beta pankreas. Peningkatan konsentrasi
glukosa dalam plasma merupakan faktor fisiologik paling penting yang mengatur
sekresi insulin. Konsentrasi ambang bagi sekresi tersebut adalah kadar glukosa
8
puasa plasma (80-100 mg/dl) dan respon maksimal diperoleh pada kadar glukosa
yang berkisar dari 300 hingga 500 mg/dl (Kjems dkk., 2003).
Sejumlah hormon mempengaruhi pelepasan insulin. Preparat agonis alfa
adrenergik, khususnya epinefrin menghambat pelepasan insulin. Preparat agonis ß
adrenergik merangsang pelepasan insulin, yang mungkin dengan cara meningkatkan
c-AMP intrasel. Pajanan yang terus menerus dari hormon pertumbuhan, kortisol,
laktogen plasenta, estrogen dan progestin dalam jumlah yang berlebihan juga akan
meningkatkan sekresi insulin. Banyak obat yang dapat merangsang sekresi insulin,
senyawa sulfonilurea salah satunya, yang dewasa ini digunakan paling banyak
sebagai pengobatan pada manusia. Insulin disekresikan dalam sel Beta normal
sebagai reaksi terhadap stimulus glukosa dengan mode bifasik dengan lonjakan dini
(fase awal) yang diikuti dengan peningkatan sekresi insulin secara progresif (fase
kedua) sepanjang ada stimulus hiperglikemik. Dengan keberadaan resistensi insulin,
sekresi insulin sel B pankreas meningkat dengan cara kompensasi dan DMT2
berkembang bila peningkatan kompensasi dalam kadar insulin tidak lagi mencukupi
untuk menjaga euglikemia (Kjems dkk., 2003).
2.4 Sekresi dan Resistensi Insulin
Insulin berfungsi mengurangi produksi glukosa dalam tubuh (terutama dari
hepar) dan menyebabkan ambilan glukosa di otot dan jaringan adiposa. Insulin
menghambat digesti protein dari usus dan meningkatkan ambilan asam amino ke
dalam sel untuk dibentuk protein (Eckel dan Grundy, 2005). Selama periode 24
jam, 50% total insulin disekresi oleh pankreas pada keadaan basal, sedang sisanya
disekresikan bila ada makanan yang masuk. Sekresi insulin basal berkisal 18-32
9
unit/24 jam (0,7-1,3 mg). Respon sekresi insulin berlangsung cepat sesudah makan
dan meningkat 5 kali dari keadaan basal dan mencapai puncak dalam 60 menit.
Profil sekresi insulin normal ditandai oleh adanya serial pulsasi dari sekresi insulin.
Sesudah makan pagi terdapat 1,8 ± 0,2 pulsasi sekresi pada sukarelawan normal dan
mencapai puncak 42,8 ± 3,4 sesudah makan. Multipel pulsasi sekresi insulin
mencapai 4 kali juga didapatkan sesudah makan siang dan makan malam. Pada
interval 5 jam sesudah makan siang didapatkan rerata pulsasi sekresi 2,5 ± 0,3 dan
2,6 ± 0,2 sesudah makan malam. Pulsasi sekresi insulin yang tidak berhubungan
dengan makan terjadi pada waktu antara jam 23.00 hingga jam 06.00 hari
berikutnya, dan 3 jam sebelum makan pagi dengan rerata pulsasi sekresi 3,9 ± 0,3
pada subjek normal. Jadi selama periode 24 jam terdapat total 11,1 ± 0,5 pulsasi
pada subjek normal (Polansky dkk., 2008; Buse dkk.,2011).
Sensitifitas insulin menurun dimulai sejak masa pubertas demikian pula kadar
insulin puasa meningkat 2-3 kali sesudah masa prapubertas (Grumbach dan Styne,
2003). Pada pengamatan selama 7 tahun, terjadi peningkatan rerata insulin puasa
10-25%, peningkatan rerata glukosa puasa 7-10% tanpa membedakan ras dan jenis
kelamin. Prediktor terkuat terjadinya peningkatan insulin dan glukosa adalah
peningkatan massa tubuh dalam 7 tahun. Insulin puasa meningkat 5 µU/ml tiap
peningkatan IMT 5 kg/m2 (p < 0,05) dan insulin puasa meningkat 2,5 µU/ml tiap
peningkatan 0,08 unit rasio pinggang/pinggul (p < 0,05) (Folsom dkk., 2004).
Resistensi insulin adalah kondisi di mana jumlah normal insulin tidak
memadai untuk menghasilkan respon insulin normal dari lemak, otot dan sel hati.
Resistensi insulin dalam sel lemak mengurangi efek insulin dan mengakibatkan
peningkatan hidrolisis trigliserida yang disimpan (Stumvoll dkk., 2010).
10
Peningkatan mobilisasi depot lipid akan meningkatkan asam lemak bebas
dalam plasma darah. Resistensi insulin dalam sel otot mengurangi pengambilan
glukosa dan penyimpanan lokal glukosa sebagai glikogen, sedangkan resistensi
insulin dalam sel hati mempengaruhi sintesis glikogen dan kemampuan untuk
menekan produksi glukosa (Girard, 2008).
Peningkatan konsentrasi asam lemak darah sehubungan dengan resistensi
insulin dapat mengurangi pengambilan glukosa otot, dan meningkatkan produksi
glukosa hati, sehingga berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi glukosa
darah. Kadar plasma insulin yang tinggi dan glukosa yang tinggi akibat resistensi
insulin diyakini merupakan awal dari sindrom metabolik dan DMT2, termasuk
komplikasinya (Asmar, 2011).
Pada orang dengan metabolisme normal, insulin dilepaskan dari sel beta
Langerhans pankreas setelah makan ( " postprandial " ), dan berikatan pada reseptor
di jaringan sensitif insulin misalnya otot dan adiposa untuk menyerap glukosa. Hal
ini akan menurunkan kadar glukosa darah. Sel beta kemudian menurunkan produksi
insulin setelah kadar glukosa darah turun, dimana glukosa darah dipertahankan
sekitar 5 mmol / L ( mM ) (90 mg / dL ). Pada penderita dengan resistensi insulin,
kadar normal insulin yang ada tidak berefek baik pada otot dan sel-sel adiposa,
sehingga hasilnya kadar glukosa tetap lebih tinggi dari normal. Untuk
mengkompensasi hal ini, pankreas dirangsang untuk melepaskan lebih banyak
insulin sehingga terjadi hiperinsulinemia (Hui, 2005).
Berbagai kondisi dapat membuat jaringan tubuh lebih resisten terhadap
insulin. Diantaranya adalah infeksi (dimediasi oleh sitokin TNFa) dan asidosis.
Pemberian insulin sendiri dapat menyebabkan resistensi insulin; setiap kali sebuah
11
sel terpapar insulin, produksi GLUT-4 (reseptor glukosa tipe 4) pada membran sel
menurun. Hal ini menyebabkan kebutuhan akan meningkat untuk memperoleh
suplai insulin, yang kemudian mengurangi kembali GLUT-4 (Timothy James
Kieffer dan Habener, 2009).
Resistensi insulin sering ditemukan pada orang dengan adipositas visera yaitu
kandungan jaringan lemak yang tinggi di bawah dinding otot perut, yang berbeda
dengan adipositas subkutan atau lemak antara kulit dan dinding otot (khususnya di
tempat lain pada tubuh, seperti pinggul atau paha), hipertensi, hiperglikemia dan
dislipidemia yang disertai trigliserida yang tinggi, partikel small dense low-density
lipoprotein (sdLDL), dan penurunan kadar kolesterol HDL. Sehubungan dengan
adipositas viseral, banyak bukti menunjukkan adanya hubungan erat dengan
resistensi insulin. Pertama, tidak seperti jaringan adiposa subkutan, sel-sel adiposa
viseral menghasilkan sejumlah besar sitokin pro-inflamasi seperti tumor necrosis
factor-alpha (TNF-a), dan interleukin-1 serta interleukin-6 (Perfetti dan Merkel,
2000).
Pada beberapa model eksperimental, sitokin pro-inflamasi ini sangat
mengganggu aksi normal insulin dalam lemak dan sel-sel otot, dan mungkin
menjadi faktor utama dalam menyebabkan resistensi insulin seluruh tubuh yang
diamati pada penderita dengan adipositas viseral. Banyak perhatian pada produksi
sitokin pro-inflamasi yang terfokus kepada jalur IKK-beta/NF-kappa-B, jaringan
protein yang meningkatkan transkripsi gen sitokin. Kedua, adipositas viseral terkait
dengan akumulasi lemak dalam hati, suatu kondisi yang dikenal sebagai penyakit
hati berlemak non alkohol (NAFLD). Substansi hasil yang berlebihan pada NAFLD
adalah pelepasan asam lemak bebas ke dalam aliran darah (karena meningkatnya
12
lipolisis), dan peningkatan produksi glukosa hepatik, yang keduanya mempunyai
efek memperburuk resistensi insulin perifer dan meningkatkan kecenderungan
DMT2 (Philippe, 2009).
2.5 Fisiologi dan Patologi GLP-1
2.5.1 Penemuan Hormon Inkretin
Bayliss dan starling menemukan secretin pada 1902, saat itu berkembang
teori bahwa saluran pencernaan mampu merangsang pelepasan hormon pankreas
melalui sinyal yang dilepaskan sebagai respon adanya nutrisi di saluran pencernaan.
Pada 1906 Moore mencoba menawarkan kemungkinan menyembuhkan diabetes
dengan menggunakan ekstrak duodenum. Zunz dan Labarre menyambut ide ini
dengan melakukan serangkaian percobaan dengan ekstrak usus, yang mampu
membuat hewan percobaannya menjadi hipoglikemia. Mereka memperkenalkan
istilah INKRETIN untuk substansi kimia yang terkandung dari ekstrak usus
tersebut.
Perkembangan pesat penelitian mengenai inkretin dimulai setelah
ditemukannya Radioimmunoassay tahun 1960 oleh Yalow dan Berson (Girard,
2008). Pada 1969, Uger dan Eisentraut memberikan nama ‘Entero Insular Axis’
untuk mengambarkan hubungan antara saluran pencernaan dan pankreas (Green dan
Flatt, 2007). Creutzfelt memperkirakan aksis ini melibatkan beberapa komponen
diantaranya nutrisi, serat saraf, dan sinyal yang signifikan dari usus kepada
pankreas yang mampu merangsang pengeluaran beberapa hormon seperti: insulin,
glukagon dan somatostatin. Lebih jauh lagi Creutzfelt memberikan batas pada aksis
entero insular sebagai suatu proses yang melibatkan nutrisi pada saluran cerna,
khususnya karbohidrat. Dimana akan dilepaskannya suatu sinyal fisiologis yang
13
akan menstimulasi pelepasan insulin saat kadar gula darah mulai meningkat (Holst
dkk., 2009).
Mengacu pada batasan Cruetzfetl, saat itu Gastric inhibitory polipeptide (GIP)
yang dapat disebut sebagai Inkretin. GIP saat itu dikenal sebagai enterogastron oleh
karena mampu menghambat pelepasan asam lambung sebagai akibat kehadiran
lemak di lumen saluran pencernaan (Girard, 2008). Dupre pada 2003
mengemukakan pandangan bahwa GIP tidak hanya merupakan suatu enterogastron
tetapi juga suatu Inkretin. Hal ini didasarkan pada percobaan yang dilakukannya,
dimana peningkatan aktifitas insulin lebih bermakna pada pemberian GIP dan
glukosa dibandingkan glukosa saja. Lebih jauh lagi ditemukan bahwa GIP yang
timbul sebagai hasil dari konsumsi lemak tidak akan menimbulkan release insulin
bila tidak disertai kehadiran glukosa. Kondisi ini sebenarnya merupakan efek
protektif terhadap pelepasan insulin dimana efek hipoglikemia tidak akan muncul.
Kondisi inilah pula yang menyebabkan selain disebut sebagai Gastric inhibitory
polipeptide oleh karena menghambat sekresi asam lambung, GIP juga dikenal
sebagai Glucose-dependent Insulinotropik Polipeptide. Sehubungan dengan
fungsinya sebagai Enterogastron dan Inkretin, GIP banyak ditemukan pada daerah
tengah dari villus duodenum, serta sangat sedikit pada jejenum (Salvatore dkk.,
2007).
GIP merupakan Inkretin pertama yang ditemukan. Tetapi para ahli pada 1970,
meyakini adanya inkretin kedua setelah GIP. Hal ini dipertimbangkan dari adanya
sekresi hormon Pankreas yang menyerupai respon inkretin pada saluran cerna saat
hewan percobaan diberikan ekstrak usus yang telah dimurnikan dari GIP. Penelitian
dilakukan pada anglefish, dimana ditemukan adanya suatu Glucose related peptide
14
(GRP) sebagai glukagon related peptide yang dikodekan pada gen hewan ini. Secara
genetik GRP memiliki homologi yang kuat dengan GIP. GRP diyakini merupakan
inkretin berdasarkan analisa mRNA yang sesuai pada pankreas dan saluran
pencernaan Anglefish. Disamping itu ternyata ditemukan bahwa mRNA yang
dikloning dari manusia dan tikus identik dengan mRNA pankreas Anglefish.
Setelah adanya temuan ini para ahli semakin bersemangat mengidentifikasi adanya
inkretin selain GIP. Berdasarkan analisa c-DNA preproglukagon pada manusia
ditemukan homologi dengan c-DNA GRP Anglefish, yang sekarang dikenal sebagai
GLP-1. Maka disimpulkanlah bahwa GLP-1 merupakan inkretin kedua setelah GIP
(Theodorakis dkk., 2011).
GIP merupakan suatu hormon yang dilepaskan oleh sel K duodenum. Sel K
terletak terbanyak pada awal duodenum. Pelepasan GIP merupakan respon dari
penyerapan glukosa dan lemak. Sedangkan GLP-1 disintesis dan dilepaskan oleh
sel enteroendokrine, sel L, yang terletak pada distal ileum dan usus besar. Sel L
merupakan suatu sel dengan banyak granula sekretin pada daerah basal lamina. Sel
L merupakan sel terbanyak kedua setelah sel enterochromafin. Sel L banyak
terdapat pada distal jejenum, ileum, kolon dan terbanyak di rektum. Sel L
ditemukan pada fetus manusia pada usia gestasi 8 minggu pada ileum serta 12
minggu pada kolon (Theodorakis dkk., 2011).
GIP merupakan suatu peptide aktif 42 asam amino dengan berat molekul 4984
Da. Sedangkan GLP-1 merupakan suatu peptida non aktif 37 asam amino dengan
berat molekul 3298 Da, dimana terdapat enam asam amino pada akhir N-terminal.
Bentuk aktif dari GLP-1 adalah suatu gugus 17-36 amida. Konsentrasi kedua
inkretin ini dalam plasma adalah 5-10 Pmaol / L dan meningkatkan dalam 5-15
menit dari asupan glukosa pada makan. GLP-1 memiliki dua bentuk molekul yang
15
beredar yaitu GLP-17-37 dan GLP-17-36 amida. Dalam sirkulasi, GIP dan GLP-1
dapat menurun dengan cepat sebagai akibat metabolime serta inaktivasi oleh enzim
dipeptidyl peptidase 4 (DPP4) yang kemudian dikeluarkan lewat ginjal. Waktu
paruh kedua inkretin ini sekitar 1-2 menit untuk GLP-1 serta 5-7 menit untuk GIP
(Girard, 2008).
2.5.2 Struktur GLP-1
Gen proglukagon manusia terletak pada kaki panjang dari kromosom 2 yang
memiliki 6 ekson dan 5 intron (Hansotia dkk., 2004). Melalui proses transkripsi dan
translasi dari gen proglukagon sel L pada usus memproduksi GLP-1 (Gromada
dkk., 2007; Dunning dkk., 2007). GLP-1 tersebut tidak aktif sampai diikat oleh
NH2 dari asam amino 1 - 6. (Sinclair dkk., 2012). Suatau peptide aktif hormon
termasuk GLP-1 (7-36) dan GLP-1 (7-37). Sel L didistribusikan pada usus tetapi
paling banyak pada jejunum, ilium, kolon dan sebagainya. (Schirra dkk., 2009).
Gambar. 2.4.
Struktur GLP-1 (Deacon, 2004)
2.5.3 Sekresi dan Regulasi GLP-1
Sekresi fase awal GLP-1 diinisiasi oleh pencernaan makanan dan biasanya
berlangsung 30-60 menit. Fase ini dikendalikan dari proksimal ke distal, kombinasi
16
dengan neural dan hormon mediator (Hansotia dkk., 2004). Siklus proksimal ke
distal telah banyak diduga tetapi belum ditetapkan pada manusia (Theodorakis dkk.,
2011). Fase kedua berlangsung 1-3 jam karena adanya interaksi langsung antara
bahan makanan dengan sel L (Deacon, 2004, Sinclair dkk., 2012). Kadar plasma
dari bioaktif GLP-1 berkisar 5-10 pmol/L pada keadaan puasa ( Deacon, 2004).
Mekanisme regulasi sekresi GLP-1 dipengaruhi oleh nutrient, neuron dan
endokrin (Deacon, 2004). Pelepasan GLP-1 terjadi karena asupan nutrient (Dunning
dkk., 2007). Sebagai bukti kadar GLP-1 dalam sirkulasi akan meningkat 2-3 kali
sebagai respon terhadap asupan glukosa (Deacon, 2004). Lemak dan karbohidrat
dapat menstimulasi sekresi GLP-1 dengan cara kontak langsung dengan mukosa
usus halus. Pada manusia, makanan mengandung protein tidak akan meningkatkan
sekresi GLP-1, tetapi proses pencernaan campuran asam amino nampaknya
berpengaruh pada sekresi GLP-1 (Deacon, 2004; Dunning dkk., 2007).
Sekresi GLP-1 juga berhubungan dengan pengosongan lambung terutama
laju pencernaan nutrient ke dalam usus kecil; makanan cair menyebabkan pelepasan
GLP-1 lebih tinggi daripada bahan makanan padat. Beberapa studi telah
membuktikan adanya peran nervus vagus dalam mediasi signal nutrient pada
duodenum untuk mengontrol sekresi GLP-1 di distal usus halus (Deacon, 2004;
Hansotia dkk., 2004), dan regulasi vagus yang bersifat kolinergik dan muskarinik
tersebut telah dapat dijelaskan. Sistem nervus simpatik dan persarafan non
kolinergik non adrenergik juga telah dijelaskan terlibat dalam regulasi GLP-1
(Deacon, 2004). Sistem enteroendokrin antara duodenum dan jejunum mungkin
juga terlibat dalam regulasi sekresi GLP-1 (Schirra dkk., 2009). Signal endokrin
dari bagian proksimal usus halus mungkin juga memegang peranan dalam sekresi
GLP-1 seperti pada GIP (Deacon, 2004).
17
2.5.4 Metabolisme GLP-1
Sekresi GLP-1 dari Sel L usus yang dilepaskan ke dalam sirkulasi akan
segera dipecah oleh GPP-4 menjadi GLP-1 (9-36) dan GIP (9-37) (Gromada dkk.,
2007). Waktu paruh GLP-1 pada manusia kurang dari 2 menit (Sinclair dkk., 2012).
GPP-4 adalah plasma membran glikoprotein ektopeptidase dengan berat 110 kilo
Dalton yang diekpresikan pada permukaan sel endotel dan epitel, konsentrasi
terbanyaknya pada manusia dilaporkan pada usus kecil, sumsum tulang dan ginjal.
(Volmer dkk., 2008). Enzim ini dipecah pada penultimat alanin residu untuk
memproduksi NH2 terminal yang dapat menyebabkan stimulus pelepasan insulin
melalui reseptor GLP-1 (Sinclair dkk., 2012). Endopeptidase netral 24.11(NEP
24.11 atau disebut juga neprilisin) adalah membran yang dibalut oleh zink
metalopeptidase (Plamboeck dkk., 2005). Ini akan memecah peptida pada nukleasid
C terminal dari GLP-1, molekul dan dibersihkan sisa-sisa metabolisme (Deacon,
2004; Volmer dkk., 2008). Pengeluaran klirens GLP-1 primernya melalui ginjal
(Deacon, 2004; Hansotia dkk., 2004).
2.5.5 Fisiologi GLP-1
GLP-1 menstimulasi sekresi insulin memegang peranan yang penting untuk
mempertahankan homeostasis glukosa. GLP-1 juga peningkatan biosintesis insulin
GLP-1r dan banyak ditemukan pada sel Beta, sel Alpa dan sel gamma pankreas
(Deacon, 2004). Inhibisi dari pelepasan glukagon oleh GLP-1 dapat terjadi karena
efek langsung maupun tidak langsung melalui pelepasan somatostatin. Fungsi
inhibisi tidak tergantung glukosa (Deacon, 2004; Sinclair dkk., 2012). GLP-1 tidak
akan menyebabkan terjadinya hipoglikemia (Gromada dkk., 2007). Sebaliknya
GLP-1 memegang peranan pada homeostasis glukosa dengan cara mengatur secara
18
langsung regulasi glukosa hepatik dan peningkatan sintesis glukogen, oksidasi dan
utilisasi glukosa (Deacon, 2004). GLP-1 meningkatkan massa sel beta pankreas
dengan cara menstimulus proliferasi dan neogenesis sel beta serta menghambat
apoptosis (Holst dkk., 2009) dan meningkatkan viabilitas (Deacon, 2004) serta
mengambil peranan pada regulasi CAS phase 3 dan regulasi antiapoptik protein
BCL-2 (Hansotia dkk., 2004). Sebagai akibatnya GLP-1 juga menurunkan nafsu
makan dan memperlambat pengosongan lambung. Fungsi ini biasanya berhubungan
dengan sistem nervus vagus (Dunning dkk., 2007). Oleh sebab itu dipandang
sebagai terapi ideal diabetes.
Gambar 2.5.
Fisiologis GLP-1 dalam menurunkan kadar glukosa (Dunning dkk., 2007).
2.5.6 Mekanisme Kerja GLP-1 pada Sel Beta Pankreas
GLP-1 bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor G Protein (GPCRs)
(Sinclair dkk., 2012). Ikatan GLP-1 dengan reseptor ini pada sel beta menyebabkan
peningkatan c-AMP intraseluler sehingga terjadi eksositosis insulin melalui dua
mekanisme berbeda : PKA dependen dan PKA independen (Epac pathways)
19
(Combettes dkk., 2006). Setelah aktivasi PKA dan c-AMP guanine nukleotida
exchange factor II (cAMP-GEF II) akan memfasilitasi terbentuknya molekul-
molekul yang terlibat dalam sekresi insulin oleh GLP-1 (Dunning dkk., 2007).
GLP-1 mempengaruhi potensial membran sel beta pankreas dengan cara
menghambat K-ATP dan KV channels dan memfasilitasi depolarisasi membran.
Perubahan ini akan menyebabkan peningkatan calcium channel voltage gate dengan
akibatnya masuknya kalsium dan inisiasi eksositosis insulin dependen kalsium
(Deacon, 2004; Dunning dkk., 2007). Sebagai tambahan GLP-1 menghambat
aktivitas dari KV channels menyebabkan repolarisasi sel beta (Deacon, 2004).
Gambar 2.6.
Mekanisme kerja GLP1 pada Sel B pankreas (Deacon, 2004)
Efek anti apoptotik GLP-1 adalah diakibatkan karena aktivasi c-AMP dan
phospotilidinositol 3 kinase (PI3KA). Kedua jalur ini saling mengisi. Jalur c-AMP
dimediasi oleh aktivasi respon elemen binding protein (kreb) dan interaksi dengan
koaktivator tolc 2 (Tranduser dari aktivitas krebs), keduanya akan menyebabkan
20
aktivasi ekspresi gen reseptor insulin substrak 2 dan menuntun pada protein kinase
b (PKB) (Combettes dkk., 2006). GLP-1 merangsang ekspresi gen insulin melalui
aktivasi dari faktor inti pada T sel teraktivasi (N fat) dan aktivasi sinyal
ekstraseluler regulative kinase (ERK) dengan mekanisme dependen pada mitogen-
activated protein kinase-kinase (MAPKK atau MEK) (Combettes dkk., 2006; Holst
dkk., 2009). GLP-1 juga meningkatkan aktivitas duodenal homeobox 1 (PDX-1)
yang menyebabkan regulasi dari ekspresi gen (Combettes dkk., 2006).
Aktivasi reseptor GLP-1 mencetuskan stimulasi dari PI3K melalui 2 jalur.
Aktivasi PI3K melalui down stream target: Mitogen activated protein kinase
(MAPK), ERK, PKC, dan PKB dalam sel beta PKC dan MAPK berhubungan
dengan proliferasi GLP-1. Sementara ERK dan MAPK menyebabkan diferensiasi
sel beta. Mekanisme molekuler pada regulasi pankreas oleh GLP-1 tidak
sepenuhnya dipahami sehingga diperlukan studi yang lebih lanjut (Combettes dkk.,
2006).
2.6 Hubungan GLP-1 dan Sekresi Insulin Postprandial
Pada pemberian beban glukosa oral dan intravenus didapatkan efek inkretin
dapat memacu sekresi insulin sebanyak 2/3 dari kapasitas total pada subjek dengan
non diabetes, sedangkan efek tersebut pada DMT2 kurang dari 20% (Nauck
dkk.,2006). Penurunan respon inkretin memberikan kontribusi pada disregulasi
insulin dan sekresi glukagon khususnya pada periode postprandial sehingga
menyebabkan hiperglikemia (Pratley dan Weyer, 2001). Eviden memperlihatkan
penurunan respon inkretin pada penderita DMT2 diakibatkan karena penurunan
respon sekresi GLP-1 postprandial (Toeft nielsen dkk.,2001).
21
Gambar 2.7.
Efek GLP-1 terhadap Sekresi Insulin postprandial (Nauck dkk.,2006)
Gambar 2.8.
Penurunan respon sekresi GLP-1 postprandial ( Toeft nielsen dkk., 2001)
2.7 Terapi Diabetes Melitus Tipe II
Penelitian UKPDS dan Studi Kumamoto pada penderita DMT2
menunjukkan target glikemik terapi DMT2 yang menghasilkan perbaikan prognosis
jangka panjang. Hasil penelitian klinik dan epidemiologik menunjukkan bahwa
dengan menurunkan kadar glukosa maka kejadian komplikasi mikrovaskuler dan
22
neuropati akan menurun. Target kadar glukosa darah yang terbaik berdasarkan
pemeriksaan harian dan HbA1C sebagai indeks glikemia kronik belum diteliti
secara sistematik. Tetapi hasil penelitian Diabetes Control and Complication Trial
(DCCT) (pada penderita diabetes tipe 1) dan UKPDS (pada penderita diabetes tipe
2) mengarahkan gol pencapaian kadar glikemik pada rentang nondiabetik. Dari
kedua studi tersebut bahkan pada grup penderita yang mendapat pengobatan
intensif, kadar HbA1C tidak dapat dipertahankan pada rentang nondiabetik.
Studi tersebut mencapai kadar rata-rata HbA1C ~7% yang merupakan 4SD
diatas rata-rata non diabetik (DCCT, 2013). Target glikemik yang paling baru
adalah dari ADA yang dibuat berdasarkan kepraktisan dan projeksi penurunan
kejadian komplikasi, yaitu HbA1C < 7%. Konsensus ini menyatakan bahwa kadar
HbA1C ≥ 7% harus dianggap sebagai alarm untuk memulai atau mengubah terapi
dengan target HbA1C < 7%.
Para ahli juga menyadari bahwa target ini mungkin tidak tepat atau tidak
praktis untuk penderita tertentu, dan penilaian klinik dengan mempertimbangkan
potensi keuntungan dan kerugian dari rejimen yang lebih intensif perlu
diaplikasikan pada setiap penderita. Faktor-faktor seperti harapan hidup, risiko
hipoglikemia dan adanya CVD perlu menjadi pertimbangan pada setiap penderita
sebelum memberikan regimen terapi yang lebih intensif (ADA, 2014). Dikenal 4
pilar pengobatan pasien-pasien DMT2 yakni edukasi, pengaturan diet, latihan fisik,
dan obat (Perkeni, 2014) sedangkan menurut ADA pengobatan ini dibagi menjadi
kelompok non farmakologis (modifikasi pola hidup) dan farmakologis (ADA, 2014)
23
2.7.1 Modifikasi Pola Hidup
Modifikasi pola hidup merupakan terapi non farmakologis yang meliputi
edukasi, pengaturan pola diet, latihan fisik (Perkeni, 2014). Modifikasi pola hidup
merupakan dasar terapi setiap pasien DMT2, dikarenakan pola hidup yang buruk
merupakan faktor resiko terjadinya DMT2 (UKPDS, 2011). Beberapa penelitian
telah membuktikan bahwa pengaturan pola hidup yang baik dikaitkan dengan
kendali glisemik yang lebih baik (Nathan dkk., 2008). Hal ini terutama dikarenakan
dengan pengaturan pola hidup yang baik dapat menurunkan kejadian resistensi
insulin (Folsom dkk., 2004).
Edukasi yang baik akan mempengarui prilaku pasien DMT2, dengan tingkat
pengetahuan yang lebih baik ternyata dapat meningkatkan kendali glisemik pasien-
pasien DMT2 (Da Qing study, 2007; Finnish study, 2003). Edukasi yang diberikan
kepada penderita DMT2 meliputi pemahaman tentang: perjalanan penyakit
diabetes, perlunya pengendalian dan pemantauan diabetes, penyulit dan risikonya,
intervensi farmakologis dan non farmakologis, cara pemantauan gula darah mandiri
dan pemahaman tentang hasil pemantauan, mengatasi sementara keadaan darurat
antara lain hipoglikemia, pentingnya latihan jasmani yang teratur, pentingnya
perawatan diri, dan keadaan khusus yang dihadapi seperti : hiperglikemia pada
kehamilan (ADA, 2014; Perkeni, 2014).
Pengaturan makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori
dan zat gizi masing-masing individu telah dikaitkan dengan keberhasilan kendali
glisemik pada pesien-pasien DMT2 (Da Qing study, 2007; Finnish study, 2003).
Perlu ditekankan tentang pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan,
jumlah dan jenis makanan. Jumlah kalori yang dibutuhkan dihitung berdasarkan
24
kebutuhan kalori basal 25-30 kalori/kgbb, ditambah dan dikurangi bergantung pada
beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan. Makanan
sejumlah kalori tersebut kemudian dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi
(20%), siang (30%) dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%).
Untuk diabetisi yang menderita penyakit lain, makanan diatur dengan
menyesuaikan dengan penyakit penyertanya. Komposisi makanan yang dianjurkan
terdiri dari karbohidrat 45-65% totao asupan kalori, lemak 20-25% kebutuhan
kalori, dan protein 15-20% kebutuhan kalori (ADA, 2014; Perkeni, 2014).
Kegiatan jasmani sehari-hari seperti berjalan kaki, menggunakan tangga,
berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani dilakukan secara teratur 3-4 kali
seminggu selama 30 menit ternyata berkaitan erat dengan kendali glisemik yang
lebih baik (DPP, 2002). Latihan jasmani yang dianjurkan adalah yang bersifat
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani
ini disesuaikan dengan usia dan status kesegaran jasmani (ADA, 2014; Perkeni,
2014).
2.7.2 Metformin
Efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose output” dan
menurunkan kadar glukosa puasa (Kirpichnikov dkk., 2002). Mekanisme kerja
molekular metformin belum sepenuhnya dipahami. Beberapa teori yang ada
meliputi : metformin menghambat kerja respirasi mitokondria, aktivasi AMP-
activated protein kinase (AMPK), inhibisi sekresi glukagon melalui hambatan pada
c-AMP, inhibis pada mitokondrial glycerophosphate dehydrogenase (Rena dkk.,
2013) dan efek pada mikrobakteri pada usus (Burcelin, 2013). Metformin dapat
meningkatkan sensitivitas kerja insulin di perifer, terutama pada otot skeletal yang
25
difasilitasi glucose transporter-4 (Rena dkk., 2013). Hal inilah yang mendasari
pemberian metformin pada pasien-pasien DMT2, terutama pada awal-awal
diagnosis dan pada keadaan prediabetes (ADA, 2014). Metformin dapat
meningkatkan sekresi GLP-1 pada pasien DMT2 (Eduardo dkk., 2001). Efek kerja
ini diperkirakan karena kerja metformin pada usus (Burcelin, 2013). Disamping itu
efek ini juga dikarenakan efek antagonis glucagon dari metformin tersebut (Miller
dkk., 2013).
Gambar 2.9.
Pemberian metformin meningkatkan kadar GLP-1 (Eduardo dkk., 2001)
Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan HbA1C sebesar ~ 1,5%.
Pada umumnya metformin dapat ditolerir oleh penderita. Efek yang tidak
diinginkan yang paling sering dikeluhkan adalah keluhan gastrointestinal.
Monoterapi metformin jarang disertai dengan hipoglikemia; dan metformin dapat
digunakan secara aman tanpa menyebabkan hipoglikemia pada prediabetes. Efek
nonglikemik yang penting dari metformin adalah tidak menyebabkan penambahan
berat badan atau menyebabkan panurunan berat badan sedikit. Disfungsi ginjal
merupakan kontraindikasi untuk pemakaian metformin karena akan meningkatkan
risiko asidosis laktik; komplikasi ini jarang terjadi tetapi fatal (Nathan dkk., 2008).
26
2.7.3 Sulfonilurea
Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan
sekresi insulin. Dari segi efikasinya, sulfonilurea tidak berbeda dengan metformin,
yaitu menurunkan HbA1C ~ 1,5%. Efek yang tidak diinginkan adalah hipoglikemia
yang bisa berlangsung lama dan mengancam hidup. Episode hipoglikemia yang
berat lebih sering terjadi pada orang tua. Risiko hipoglikemia lebih besar dengan
chlorpropamide dan glibenklamid dibandingkan dengan sulfonylurea generasi
kedua yang lain. Sulfonilurea sering menyebabkan penambahan berat badan ~ 2 kg.
Kelebihan sulfonilurea dalam memperbaiki kadar glukosa darah sudah maksimal
pada setengah dosis maksimal, dan dosis yang lebih tinggi sebaiknya dihindari
( Nathan dkk., 2008).
Gambar 2.10.
Rekomendasi umum terapi antihiperglikemia DTM2 (ADA, 2014)
27
2.7.4 Glinide
Glinide menstimulasi sekresi insulin akan tetapi golongan ini memiliki
waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek dari pada sulfonilurea dan harus
diminum dalam frekuensi yang lebih sering. Golongan glinide dapat merunkan
HbA1C sebesar ~ 1,5 % Risiko peningkatan berat badan pada glinide menyerupai
sulfonilurea, akan tetapi risiko hipoglikemia nya lebih kecil (Nathan dkk., 2008).
2.7.5 Penghambat α-Glukosidase
Penghambat α-glukosidase bekerja menghambat pemecahan polisakharida
di usus halus sehingga monosakharida yang dapat diabsorpsi berkurang; dengan
demikian peningkatan kadar glukosa postprandial dihambat. Monoterapi dengan
penghambat α-glukosidase tidak mengakibatkan hipoglikemia. Golongan ini tidak
seefektif metformin dan sulfonilurea dalam menurunkan kadar glukosa darah;
HbA1C dapat turun sebesar 0,5– 0,8 %. Meningkatnya karbohidrat di kolon
mengakibatkan meningkatnya produksi gas dan keluhan gastrointestinal. Pada
penelitian klinik, 25-45% partisipan menghentikan pemakaian obat ini karena efek
samping tersebut (Nathan dkk., 2008).
2.7.6 Thiazolidinedione (TZD)
TZD bekerja meningkatkan sensitivitas otot, lemak dan hepar terhadap
insulin baik endogen maupun eksogen. Data mengenai efek TZD dalam
menurunkan kadar glukosa darah pada pemakaian monoterapi adalah penurunan
HbA1C sebesar 0,5-1,4 %. Efek samping yang paling sering dikeluhkan adalah
penambahan berat badan dan retensi cairan sehingga terjadi edema perifer dan
peningkatan kejadian tidak terkendali jantung kongestif (Nathan dkk., 2008).
28
2.7.7 Insulin
Insulin merupakan obat tertua untuk diabetes, paling efektif dalam
menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat, insulin
dapat menurunkan setiap kadar HbA1C sampai mendekati target terapeutik. Tidak
seperti obat antihiperglikemik lain, insulin tidak memiliki dosis maximal. Terapi
insulin berkaitan dengan peningkatan berat badan dan hipoglikemia (Nathan dkk.,
2008).
2.7.8 GLP-1r agonis atau GLP-1 analog
2.7.8.1 GLP-1 Manusia
GLP-1 telah dipelajari pada manusia yang menderita diabetes sejak tahun
1992 yang mana telah dibuktikan bahwa penyuntikkan intravenous peptide tersebut
pada penderita-penderita dengan DMT2 akan menurunkan glukosa postprandial
dan menandai penurunan kebutuhan insulin setelah makan (Deacon, 2004) jangka
pendek maupun jangka panjang setelah pemberian intravenous atau subkutan GLP-
1 juga menunjukkan penurunan glukosa pada penderita diabetes. Enam minggu
pemberian kontinous GLP-1 secara pompa subkutan pada penderita-penderita
DMT2 tidak saja menunjukkan penurunan glukosa darah puasa sebesar 4,3 mmol/L
dan menurunkan HbA1C sebesar 1.3% tetapi juga menandai peningkatan kapasitas
maksimal dari sekresi insulin (Zander dkk., 2002). Secara invivo terapi GLP-1
menunjukkan waktu paruh plasma yang rendah dan klirens melalui ginjal secara
cepat (Levy dkk., 2010).
2.7.8.2 Agonis GLP-1 reseptor
2.7.8.2.1 Exendin 4
Exendin 4 (EX 4) adalah 39 asam peptide yang diisolisasi dari sekresi
kelenjar ludah binatang gila monster tahun 1992 (Combettes dkk., 2006). Ini
29
merupakan agonis yang poten dari GLP-1r yang secara invivo potensinya
dilaporkan mencapai 5-10 kali lebih besar dari GLP-1 sendiri. Ex 4 membagi 53%
asam amino yang identik dengan GLP-1 dan bersifat resisten terhadap pemecahan
DPP-4 ( Sinclair dkk., 2012). Resistensi ini dikonfirmasi dengan adanya glisin pada
posisi rantai 2 (Deacon, 2004). Waktu paruh dalam tubuh manusia berkisar 2-4 jam
sehingga dapat diberikan 2-3 kali perhari untuk mencapai serum konsentrasi terapi
(Deacon, 2004). Level HbA1C menurun pada terapi DMT2 dengan sulfonilurea dan
atau metformin juga ditemukan pada Ex 4 monoterapi (Nauck dkk., 2004). Sebagai
tambahan Ex 4 memperbesar atau mempertahankan ukuran sel beta. Terapi Ex 4
selama stadium prediabetik dapat mencegah perkembangan menjadi diabetes;
eksperimen binatang telah membuktikan bahwa terapi Ex 4 akan menunda
terjadinya diabetes pada tikus (Deacon, 2004).
2.7.8.2.2 Exenatide
Exenatide (exendin 4 sintetik) yang dijual dengan nama Byeta, merupakan
agonis reseptor GLP-1 pertama yang berlisensi di Amerika dikeluarkan april 2005
(Combettes dkk., 2006). Pada terapi pendek maupun 30 hari studi klinik exenatide
menurunkan gula darah puasa maupun post prandial pada penderita-penderita
DMT2 (Deacon, 2004; Sinclair dkk., 2012). Pemberian exenatide tidak akan
menyebabkan penurunan respon kounter regulasi pada saat terjadi hipoglikemia
(Deacon, 2004).
Subkutan exenatide disuntikkan 2 x sehari sebelum sarapan dan makan
malam yang dikombinasikan dengan metformin, sulfonilurea atau keduanya secara
signifikan menurunkan level HbA1C dan glukosa puasa yang berkaitan dengan
penurunan berat badan (Buse dkk., 2011; Kendall dkk., 2005). Efek samping yang
paling sering adalah gejala gastrointestinal seperti mual, ditemukan sekitar 3% dari
30
semua penderita. Munculnya mual biasanya pada awal-awal minggu pertama saat
memulai terapi tapi akan berkurang pada proses selanjutnya. Gejala ini dapat
dihindari dengan memulai dosis yang rendah dan meningkatkan dosis dengan
interval 1 minggu (Nauck dkk., 2004). Terapi exenatide tidak berhubungan dengan
peningkatan insiden kardiovaskuler, tidak terkendalihati atau gangguan ginjal dan
hipoglikemia berat. Sebanyak 19-22% dari penderita-penderita yang menggunakan
exenatide akan membentuk antibodi antiexenatide tetapi antibodi ini tampaknya
tidak berpengaruh terhadap kendali gula (Deacon, 2004).
Pengalaman dengan menggunakan exenatide long acting release (LAR)
dengan subkutan injeksi setiap minggu sekali pada penderita-penderita DMT2
menunjukkan adanya penurunan glukosa darah puasa dan HbA1C yang lebih besar
dibanding dengan injeksi 2 kali sehari. Walaupun demikian pengalaman yang lebih
panjang dengan obat ini dengan menggunakan lebih banyak penderita belum
dilaporkan. Exenatide LAR saat ini sudah sampai pada fase ketiga yang
dibandingkan dengan injeksi 2 kali sehari (Drucker, 2007).
2.7.8.3 Analog GLP-1
2.7.8.3.1 Liraglutide
Liraglutide adalah analog GLP-1 kerja panjang yang berbeda dari GLP-1
yang klasik karena memiliki substitusi single asam amino dan berikatan dengan
rantai asam lemak. Rantai samping ini menyebabkan adanya pengikatan dengan
albumin sehingga menjaga peptide ini dari pemecahan DPP 4 (Deacon, 2004) waktu
paruhnya menjadi memanjang sekitar 11-15 jam pada manusia sehingga secara
farmakokinetik diberikan sekali sehari (Deacon, 2004; Holst dkk., 2009; Nauck
dkk., 2004).
31
Studi klinik menunjukkan bahwa liraglutide meningkatkan respon sel beta
pankreas terhadap hiperglikemia, meningkatkan sekresi insulin serta menurunkan
kadar glukagon plasma (Gromada dkk., 2007). Liraglutide juga menurunkan kadar
gula puasa, menurunkan glukosa postprandial dan HbA1C pada DMT2 (Deacon,
2004). Gejala samping yang sering termasuk mual, muntah dan sakit kepala
(Deacon, 2004; Nauck dkk., 2004). Tidak terbentuk antibodi pada penderita yang
menggunakan terapi liraglutide (Holst dkk., 2009). Liraglutide dan GLP-1 kalsik
menghambat apoptosis sel beta. Dimana liraglutide tampak lebih superior daripada
GLP-1 klasik (Holst dkk., 2009) sehingga liraglutide mungkin sangat berguna untuk
mempertahankan sel beta pankreas pada kedua tipe diabetes.
2.7.8.3.2 ALBUGON
Albugon (CJC 1131) adalah analog sintesis GLP-1 yang lain yang
diproduksi dari substitusi singel asam amino pada posisi kedua dan dilengketkan
dengan reaktan kimia pada karboksi terminal dan menyebabkan Albugon ini dapat
berikatan dengan serum albumin sehingga terlindungi dari degradasi oleh DPP4.
Waktu paruhnya sama dengan waktu paruh albumin sekitar 10-15 hari (Deacon,
2004; Nauck dkk., 2004; Sinclair dkk., 2012). Albugon menstimulus sekresi insulin,
menghambat intak makanan dan menstimulus neogenesis islet pada tikus percobaan
yang menderita DMT2 (Sinclar dkk., 2012). Secara klinis Albugon menurunkan
gula darah puasa dan postprandial dan berkurangnya berat badan pada penderita-
penderita diabetes (Deacon, 2004) walaupun protein rekombinan albumin GLP-1
seperti Albugon dan exenatide LAR diharapkan dapat memiliki waktu paruh yang
panjang secara farmakokinetik sampai satu minggu sekali pada penderita DMT2
32
masih sangat sedikit informasi klinis yang tersedia tentang efisikasi dan keamanan
dari obat-obat tersebut pada manusia (Drucker, 2007).
2.7.9 Inhibitor DPP4
Saat ini ada beberapa inhibitor DPP4 yang dalam uji klinik termasuk
isoleusin, tiazolidide (P32/98), P93/01, NVP-DPP728, Fildaglikin (LAF 237),
815541A, Sitaglikin (MK-0431), GSK 23A, Valin-pyrrolidide, dan saxaglitin
(BMS-47718) (Deacon, 2004; Volmer dkk., 2008; Lindsay dkk., 2005). Inhibitor
DPP4 meningkatkan GLP-1, meningkatkan respon sel beta terhadap glukosa,
meningkatkan sensifitas insulin pada DMT2 dan menghambat sekresi glukagon
(Volmer dkk., 2008), juga menurunkan glukosa puasa dan postprandial serta
HbA1C (Deacon, 2004). Studi klinis memperlihatkan bahwa DPP4 dapat
dipergunakan dalam terapi DMT2 pada awal stadium dari penyakit ini (Ahren dkk.,
2010) dan pasen-penderita yang memiliki kendali metabolik yang jelek dengan
HbA1C antara 8-9.5% (Deacon, 2004). Ristik dkk., telah membuktikan bahwa
fildaglitin dengan dosis 50 atau 100 mg sekali sehari selama 12 minggu secara
signifikan menurunkan level HbA1C pada DMT2 dan ternyata aman serta
ditoleransi dengan baik. Inhibitor DPP4 yang dikombinasi dengan GLP-1 akan
meningkatkan sekresi insulin (Ahren dkk., 2010). Studi klinis lain menunjukkan
bahwa sitaglitin secara dosis dependen menghambat aktivitas DPP4 plasma
sehingga terjadi peningkatan aktivitas GLP-1 dan GIP serta menurunkan glukagon
tanpa kejadian hipoglikemi (Herman dkk., 2007). Sitaglitin dan Fildaglitin telah
diregistrasi oleh FDA tahun 2006 (Combettes dkk., 2006).
Inhibitor DPP4 tidak berpengaruh terhadap berat badan dan nafsu makan
dari penderita diabetes dibandingkan dengan analog GLP-1, hal ini berkaitan
33
dengan lebih rendahnya kadar GLP-1 yang dapat dijangkau inhibitor DPP4.
Inhibitor DPP4 tidak menyebabkan mual dan dapat diberikan secara oral
(Arulmozhi dan Portha, 2006). Lebih dari 50% GLP-1 dalam sirkulasi akan
didegradasi oleh NEP-24.11 sehingga dengan kombinasi inhibisi DPP4 dan NEP-
24.11 menyebabkan inhibitor DPP4 adalah lebih superior daripada GLP-1 tetapi
dapat pula dikombinasi antar kedua obat tersebut (Plamboeck dkk., 2005).
Eksperimen binatang menunjukkan bahwa metformin menurunkan aktivitas plasma
DPP4, sehingga meningkatkan kendali glikemi (Green dan Flatt, 2007). Obat
metformin dapat dikombinasi dengan hormon inkretin (Lindsay dkk., 2005).
Walaupun demikian sebagai DPP4 (dikenal juga dengan CD 26) terlibat
dalam degradasi substrat peptide, memiliki efek samping secara sistemik
menghambat enzim ubikuitos. Walaupun demikian studi klinik telah menunjukkan
toleransi yang baik dan tanpa efek samping yang serius (Deacon, 2004).