bab ii tinjauan pustaka 2.1 definisi serangan asma · 2017. 9. 7. · bab ii tinjauan pustaka 2.1...
TRANSCRIPT
53
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Serangan Asma
Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif (perburukan) dari gejala-
gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari
gejala-gejala tersebut. Serangan asma merupakan cerminan gagalnya tata laksana
asma jangka panjang, atau adanya pajanan dengan pencetus serangan asma (Rahajoe
dkk., 2015).
Serangan asma akut merupakan kegawatan medis yang lazim dijumpai di
Instalasi Gawat Darurat (IGD). Serangan asma yang tidak terkontrol mengakibatkan
terganggunya kehidupan sosial pasien beserta keluarga, dan mengeluarkan biaya yang
sangat mahal untuk biaya kesehatan. Edukasi mengenai serangan asma perlu
ditekankan, bahwa serangan asma dapat dicegah, setidaknya dapat dikurangi dengan
pengenalan dini dan terapi intensif. Pengurangan jumlah dan keparahan serangan
telah menjadi tujuan tata laksana serangan asma (Johnston dkk., 2006).
2.2. Epidemiologi Serangan Asma
Prevalens serangan asma saat ini diperkirakan meningkat diberbagai negara baik di
negara maju maupun negara berkembang. Dalam tiga puluh tahun terakhir ini telah
banyak dilakukan penelitian tentang prevalens asma anak di seluruh dunia. Belum
adanya definisi asma anak yang diterima secara universal menyebabkan kesulitan
dalam membandingkan dan menganalisis perbedaan prevalens asma antar negara,
54
serta dalam menilai perubahan prevalens asma dari waktu ke waktu ( Mohamed dkk.,
2007; Rahajoe dkk., 2015).
Data dari badan penelitian kesehatan di Amerika, pada tahun 2000 terdapat
sekitar 65 ribu kasus rawat inap karena serangan asma pada usia diatas 5 tahun.
Diantaranya diintubasi karena gagal napas yang berhubungan dengan serangan asma
akut. Pada tahun 2007, terdapat 0,64 juta kunjungan kasus asma anak di IGD dengan
157 ribu kasus rawat inap karena serangan asma. Sebuah survei dari 753 anak dengan
asma di tujuh negara di Eropa memperoleh 36% kasus kunjungan asma dalam 12
bulan sebelumnya, dan 8 % anak membutuhkan satu atau lebih kunjungan ke ruangan
emergensi. Persentase rawat inap dan kunjungan ke unit gawat darurat di Taiwan
diestimasikan menjadi 12% dan 25% pertahunnya. Prevalens asma di seluruh dunia
sangat bervariasi. Studi National Heart, Lung, and Blood Institute’s Severe Asthma
Research Program, persentase pasien asma dengan tiga kali atau lebih serangan asma
pertahun adalah 5% pada serangan ringan, 13% serangan sedang, dan 54% serangan
berat, menunjukkan bahwa serangan asma yang sering dapat dikaitkan dengan
keparahan penyakit. Khetsuriani dkk., pada tahun 2007 mendapatkan infeksi virus
pada saluran respiratori meningkatkan angka kejadian serangan asma pada 63,1%
pasien yang dibandingkan dengan 23,4% pasien asma yang terkontrol (RO= 5,6, KI
95%: 2,7 sampai 11,6). Walaupun beberapa virus telah ditemukan sebagai pencetus
asma, rinovirus adalah penyebab tersering yang menginduksi serangan asma pada
anak usia 6-17 tahun sebanyak 55%, pada bayi dan anak-anak prasekolah adalah
33%. Sensitasi terhadap alergen, khususnya terhadap lebih dari tiga pencetus, juga
55
berhubungan dengan serangan asma (RO= 2,05, KI 95%: 1,31 sampai 3,20)
(Khetsuriani dkk., 2007).
Di RSUP Sanglah Denpasar, kunjungan asma anak menunjukkan peningkatan
tiap tahunnya. Pada tahun 2000 kunjungan asma sebesar 1,7% dari total kunjungan,
tahun 2001 2,1% dari total kunjungan, tahun 2002 menjadi 2,3% total kunjungan, dan
pada tahun 2004 telah meningkat menjadi 3,9% total kunjungan ( Wati, 2007 ).
Prevalens serangan asma menurut Martinez pada tahun 2001, serangan asma
ditahun 2000 dialami oleh 63,1% pasien yang didiagnosis asma, angka ini tidak
berubah di tahun 2001-2004. Untuk kunjungan ke gawat darurat terjadi peningkatan
antara tahun 1992 dan 1995 sebanyak 57,3% menjadi 71% per 100.000 orang. Pada
tahun 2002 terjadi peningkatan menjadi 68,9% dari sebelumnya rata-rata 59,8% pada
tahun 2001 (Rahajoe dkk., 2015).
2.3 Patofisiologi Serangan Asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen,
virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri atas
reaksi asma dini (early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma
reaction = LAR). Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat
terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi subakut atau kronik. Pada keadaan ini terjadi
inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa infiltrasi sel-sel inflamasi terutama
eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus (Supriyatno
dkk., 2008; Rahajoe dkk., 2015)
56
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal yang
kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak
ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membran
basal. Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi sal mast. Selain sel mast, sel lain
yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel
epitel jalan napas, netrofil, trombosit, limfosit dan monosit. Inhalasi alergen akan
mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin
juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan
mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel
jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga memperbesar reaksi yang terjadi. Mediator inflamasi secara langsung
maupun tidak langsung menyebabkan serangan asma, melalui sel efektor sekunder
seperti eosinofil, neutrofil, trombosit, dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga
mengeluarkan mediator yang kuat seperti lekotriens. Tromboksan, platelet activating
factor (PAF), dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini
menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperreaktivitas bronkus
(Pedoman Pengendalian Penyakit Asma, Depkes RI, 2009; Rahajoe dkk., 2015) .
Eksaserbasi atau serangan asma dapat terjadi beberapa hari. Sebagian besar
berhubungan dengan infeksi saluran napas, yang paling sering adalah akibat
rinovirus. Rinovirus dapat menginduksi respon inflamasi intrapulmonari. Pada pasien
asma, peradangan terjadi dengan derajat obstruksi yang bervariasi serta dapat
memperberat hiperreaktivitas bronkial. Respon inflamasi ini melibatkan aktivasi dan
57
masuknya eosinofil dan atau neutrofil, yang dimediasi oleh penglepasan sitokin atau
kemokin sel T ataupun sel epitel bronkial (Rahajoe dkk., 2015; GINA 2017).
Kejadian utama pada serangan asma akut adalah obstruksi saluran respiratori
secara luas, yang disebabkan oleh kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edema
mukosa karena inflamasi saluran respiratori, dan sumbatan mukus. Sumbatan yang
terjadi tidak secara merata di seluruh paru. Perubahan tahanan saluran respiratori
yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus menyebabkan tidak padu padannya
ventilasi dengan perfusi. Sumbatan atau penyempitan ini menyebabkan peningkatan
tahanan saluran respiratori, terperangkapnya udara dan distensi paru yang berlebihan
(hiperinflasi). Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru sehingga
terjadinya peningkatan kerja napas. Peningkatan tekanan intrapulmonal karena
ekspirasi melalui saluran respiratori yang menyempit dan hal ini dapat semakin
mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran respiratori, sehingga
meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal ini
berpotensi memengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung (Nievas dkk.,
2013; Rahajoe dkk., 2015).
Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan perubahan pada gas darah dengan
menurunnya kadar PaCO2 dan dijumpainya alkalosis respiratori akibat dari
hiperventilasi untuk mengkompensasi hipoksia yang terjadi pada awal serangan.
Obstruksi saluran respiratori yang berat, akan mengakibatkan kelelahan otot
respiratori dan hipoventilasi alveolar sehingga terjadi hiperkapnia dan asidosis
respiratori. Selain itu, dapat terjadi asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan
58
produksi asam laktat oleh otot respiratori. Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan
vasokonstriksi pulmonal dan dapat merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan
berkurang atau tidak dan mengakibatkan risiko terjadinya atelektasis (Nievas dkk.,
2013; Rahajoe dkk., 2015).
2.4 Faktor-faktor Risiko Serangan Asma
Untuk berkembang menjadi asma, terdapat hubungan yang kompleks antara faktor
genetik dan faktor lingkungan. Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan
mengenai faktor genetik tetapi mengenai karakteristik faktor lingkungan masih belum
begitu jelas.
Beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma (Pedoman
Pengendalian Penyakit Asma, Depkes RI, 2009):
a. Sensitisasi, yaitu sesorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila
terpajan dengan pemicu (inducer/sensitizer) maka akan timbul sensitisasi pada
dirinya.
b. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma.
Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu
(enhacer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses
inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis
berhubungan dengan hiperreaktivitas bronkus.
c. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus
(trigger) maka akan terjadi serangan asma.
59
2.4.1 Alergen
Saat seseorang tersensitasi terhadap suatu alergen, maka alergen dapat menyebabkan
eksaserbasi atau serangan asma, bahkan dalam jumlah yang sangat kecil, alergen ini
bisa menyebabkan banyak perubahan pada paru orang yang tersensitisasi. Reaksi
inflamasi yang melibatkan eosinofil dan atau neutrofil yang diperantarai oleh sitokin
dapat terjadi setelah paparan pada alergen dalam level sub-bronkokonstriksi yang
berulang. Paparan ini kemungkinan bisa menyebabkan inflamasi persisten dari
saluran respiratori dan beberapa aspek remodeling saluran respiratori, seperti deposisi
kolagen pada lapisan subepitel (GINA, 2017). Faktor risiko serangan asma yang
termasuk alergen adalah tungau debu rumah, , rontokan binatang peliharaan, serbuk
sari (Rahajoe dkk., 2015).
2.4.1.1 Binatang Peliharaan
Alergen hewan peliharaan merupakan alergen didalam rumah (indoor) sama seperti
tungau debu rumah yang banyak dijumpai di negara tropis, juga terdapat di negara-
negara dengan 4 musim. Alergen diluar rumah (outdoor) seperti serbuk sari ( pollen)
khususnya di negara-negara 4 musim ( Santosa, 2008)
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, dan burung
bisa menjadi sumber alergen inhalan. Sumber penyebab serangan asma adalah
paparan terhadap alergen protein yang ditemukan pada bulu binatang, maupun ludah
binatang. Alergen tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar 3-4 mikron)
dan dapat terbang di udara sehingga dapat menyebabkan serangan asma (Wibisono
dkk, 2010). Alergen binatang peliharaan seperti kucing (Fel d1) dan anjing (Can f1)
60
dapat mencetuskan serangan asma melalui reaksi hipersenstivitas tipe cepat maupun
tipe lambat yang berhubungan dengan reaktivitas bronkial (Wibisono dkk, 2010).
Penelitian potong lintang di RSUP. Sardjito, Yogyakarta menemukan bahwa
keberadaan hewan berbulu di dalam rumah dapat memengaruhi frekuensi serangan
asma (Wicaksono, 2009)
Walaupun beberapa penelitian menunjukkan bahwa paparan terhadap serpihan
binatang peternakan dari sejak dini memberikan risiko rendah didalam perkembangan
atopi dan asma, tetapi penemuan paparan terhadap binatang peliharaan seperti kucing
dan anjing masih belum konsisten. Dibeberapa studi, paparan dengan kucing dan
anjing dapat sebagai faktor proteksi terhadap sensitisasi alergi lain dan asma, tetapi
pada studi lain paparan terhadap anjing dan kucing merupakan risiko yang rendah
terjadinya serangan asma (Subbarao dkk,2009).
Paparan serpihan binatang peliharaan merupakan faktor pencetus asma pada
anak yang juga sering dilaporkan (Laisina dkk., 2007). Shaaban (2012) menemukan
bahwa paparan terhadap kucing meningkatkan kejadian kekambuhan asma (RO=4,5,
IK 95%: 2,1 sampai 9,7). Murray dkk., pada tahun 2006 menyatakan paparan
terhadap alergen kucing dan anjing meningkatkan angka kejadian kekambuhan asma.
Paparan terhadap alergen kucing dan anjing dikenal dapat mencetuskan serangan
asma, dan juga dapat memengaruhi tingkat keparahan penyakit antara individu yang
peka, tapi peranannya terhadap sensitisasi dan penyakit alergi masih menjadi
perdebatan (Salo dkk., 2009). Sanya dkk., pada tahun 2014 melaporkan tinggal
bersama binatang peliharaan secara statistik tidak ada hubungan bermakna
61
meningkatkan angka kejadian kekambuhan asma. Penelitian kontroversi yang
mengatakan paparan dini terhadap kucing dapat mencegah asma, dapat dijelaskan
dengan teori hipotesis hygiene. Pada studi kohort, 181 anak usia 1-4 tahun dengan
asma (didefinisikan sebagai lebih atau sama dengan tiga kali episode wheezing), 31
anak dilaporkan bahwa paparan dengan alergen kucing pada 2 tahun pertama
berhubungan dengan peningkatan sensitasi terhadap alergen kucing pada usia 4 tahun
(RO= 5,6, IK 95%: 1,1 sampai 29). Serangan asma berat tidak hanya cenderung
terjadi pada anak yang tinggi terpapar dengan alergen kucing dan asap rokok
(RO=3,0, IK 95%: 0,7 sampai 12,2), tetapi juga bisa terjadi pada anak yang rendah
terpapar dengan alergen kucing dan asap rokok (RO=18, IK 95%: 3,2 sampai 101)
(Dick dkk., 2013).
Serpihan binatang peliharaan merupakan aeroallergen yang dapat
menyebabkan serangan asma, dapat dijelaskan sesuai dengan konsep Th1-Th2.
Hipotesis ini menyatakan bahwa paparan dini terhadap alergen menghalangi transisi
dari Th0 menjadi Th1, diikuti dengan berkembangnya IgE dan risiko terjadinya
alergi, inflamasi kronik, dan kemudian dapat mencetuskan serangan asma.
2.4.1.2 Tungau Debu Rumah
Sensitisasi terhadap tungau debu rumah (House Dust Mite) merupakan faktor risiko
yang sangat berhubungan dengan perkembangan asma pada dewasa dan anak. House
Dust Mite adalah alergen debu rumah yang paling sering menyebabkan asma.
Populasi HDM paling banyak di kasur, bantal dan karpet (Ramaih, 2006). Alergi
terhadap HDM disebabkan oleh bagian tubuh HDM yang mengandung alergen, yaitu
62
kutikula, organ seks dan saluran cerna. Selain HDM, telah dibuktikan bahwa feses
HDM dilapisi protein pada setiap butir partikelnya yang dapat menimbulkan reaksi
hipersensitivitas tipe I yang diperantarai oleh IgE spesifik dan mencetuskan serangan
asma (Kercsmar dkk., 2006; GINA , 2017)
2.4.2 Infeksi Respiratori Akut
Diperkirakan lebih dari 85% serangan asma pada anak usia sekolah dikarenakan
infeksi virus, dan rinovirus sebagai kuman patogen tersering pencetus asma.
Rinovirus (RV) adalah penyebab paling umum common cold, pada saluran respiratori
bagian atas karena merupakan bagian yang optimal untuk replikasi virus terutama
pada suhu 33o.(Singh dkk., 2006). Meskipun gejala pilek biasanya berlangsung 1
minggu atau kurang, penurunan aliran puncak dengan infeksi RV dapat bertahan
untuk rata-rata 2 minggu pada anak usia sekolah. Hubungan ini menunjukkan bahwa
infeksi RV tetap berada dalam epitel saluran napas bagian bawah pada pasien asma,
atau akibat dari infeksi RV yang tahap lanjut sehingga melepaskan sejumlah sitokin
dan mediator yang mungkin berfungsi untuk meningkatkan atau menambah
peradangan saluran napas. Infeksi RV menyebabkan infiltrasi neutrofil, limfosit, dan
eosinofil pada nasal dan mukosa bronkial. Neutrofil terakumulasi di saluran
respiratori selama fase akut saat common cold. Kadar IL-8(CXCL8), kemokine, dan
myeloperoxidase pada aspirasi nasal meningkat pada anak selama infeksi RV yang
sedang menginduksi serangan asma. Rinovirus juga menstimulasi limfosit untuk
menginduksi produksi interferon-γ dan proliferasi T-cell melalui aktivasi eosinofil
dan monosit. Rinovirus juga meningkatkan responsi bronkial terhadap histamin pada
63
pasien asma. Respon yang berlebihan terhadap histamin ini berhubungan dengan
peningkatan jumlah limfosit submukosa. Peningkatan produksi histamin dan respon
terhadap histamin sangat berperan dalam serangan asma pada infeksi RV (Sears dkk.,
2006; Yamaya, 2012).
Virus saluran respiratori lain pada anak yang terdeteksi sebagai pencetus
kekambuhan asma termasuk respiratory syncytial virus (RSV), influenza,
coronavirus, human meta-pneumovirus (hMPV), parainfluenza virus, adenovirus, dan
bocavirus (Kercsmar dkk., 2012; Ahanchian dkk., 2012). Sejauh ini korelasi antara
infeksi respiratori dengan kejadian asma masih merupakan kontroversi. Tetapi hal ini
tidak berlaku pada infeksi respiratory syncyal virus (RSV) diusia dini yang
mengakibatkan infeksi saluran pernapasan bawah, dan infeksi RSV merupakan
merupakan faktor pencetus serangan asma (Rahajoe dkk., 2015; GINA, 2017).
Penyakit infeksi pernapasan menunjukkan hubungan yang bermakna dengan penyakit
asma (RO 2,95: 95% IK: 2,84 sampai 3,05) (Oemiati dkk., 2010). Berbagai
mekanisme yang terlibat telah menjelaskan peranan virus dalam asma dan penyakit
alergi lain, termasuk peranan Ig E dan limfosit T. Mekanisme virus menginduksi
kekambuhan asma belum dimengerti sepenuhnya , tetapi kemungkinan infeksi
menyebabkan cedera pada epitel bronkus, reaksi inflamasi karena infeksi dan
pengaruh kofaktor yang lain (paparan alergen yang bersamaan atau pelepasan
mediator) sehingga akibat kerusakan epitel tersebut dapat memudahkan absorbsi dan
pajanan pada reseptor di epitel bronkus. Dapat pula terjadi penurunan fungsi reseptor
adrenergik β sehingga terjadi ketidakseimbangan hiperreaktivitas bronkus. Selain itu
infeksi virus menimbulkan produksi interferon yang dapat meningkatkan pelepasan
64
mediator alergi. Infeksi virus juga dapat menginduksi produksi antibodi Ig E
(Santosa, 2008).
Infeksi dengan pandemik influenza A pada tahun 2009, juga menginduksi
serangan asma terutama pada anak-anak (Yamaya, 2012). Studi case-control di
Mesir, infeksi saluran respiratori seperti common cold merupakan risiko terjadinya
kekambuhan asma dengan didapatkan rasio odd 3,8 (RO. 95 % IK: 2,6-5,6)
(Shaaban dkk., 2012).
2.4.3 Iritan
Beberapa iritan pencetus serangan asma adalah asap rokok, asap bakaran sampah,
asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering, makanan minuman dingin, penyedap
rasa, pengawet makanan, pewarna makanan (Rahajoe dkk., 2015).
2.4.3.1 Asap Rokok
Asap rokok merupakan iritan yang mengandung beberapa partikel yang dapat dihirup
seperti hidrokarbon polisiklik, karbonmonoksida, nikotin, nitrogen dioksida, dan
akrolein. Asap rokok dapat menyebabkan kerusakan epitel bersilia, menurunkan
klirens mukosiliar, dan menekan aktivitas fagosit serta efek bakterisid makrofag
alveoli sehingga terjadi hiperreaktivitas bronkus (Santosa, 2008).
Paparan asap rokok meningkatkan keparahan dan frekuensi serangan asma
pada anak. Anak dengan asma yang orang tuanya merokok, setidaknya dua kali lebih
mungkin untuk menderita asma dengan gejala sepanjang tahun dibandingkan dengan
anak-anak yang orangtuanya tidak merokok. Mengi dan diagnosis asma pada anak
65
lebih sering terjadi pada anak-anak yang hidup dengan perokok dan prevalens asma
meningkat seiring dengan jumlah perokok yang tinggal di rumah. Anak dengan asma
juga cenderung memiliki gangguan pemulihan serangan asma setelah rawat inap jika
kembali ke rumah di mana ada seorang perokok (Costa dkk., 2014).
Studi terdahulu di Amerika, pada 199 anak penderita asma yang diteliti, 53
orang tinggal dengan satu orang dewasa yang merokok dan 30 orang tinggal dengan
dua orang dewasa yang merokok, didapatkan resiko terserang serangan asma lebih
tinggi pada anak yang tinggal dengan dua orang dewasa yang merokok (RR 1,8, 95%
CI: 1,4-2,2) (Dick dkk., 2013). Pada studi longitudinal di Amerika, mengukur
paparan terhadap asap rokok pada 1.444 anak dengan asma dan paparan terhadap
nitrogen dioxide (NO2) pada 663 anak diantaranya selama periode lebih dari 9 bulan,
menunjukkan peningkatan gejala pada yang terpapar NO2, tetapi hanya pada anak
yang non-atopi dengan relative risk =1,89, 95% konfiden interval 1,1 sampai 2,8
(Costa dkk.,2014)
2.4.3.2 Udara Dingin
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pencetus terjadinya serangan
asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan,
musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan) karena meningkatnya
konsentrasi partikel alergenik (Rengganis, 2008; GINA , 2017). Dimana partikel
tersebut dapat menyapu pollen sehingga terbawa oleh air dan udara. Perubahan
tekanan atmosfer dan suhu memperburuk asma dan pengeluaran lendir yang
66
berlebihan. Ini terjadi karena kelembaban yang tinggi, hujan badai selama musim
dingin. Udara yang kering dan dingin menyebabkan sesak (Ramaiah, 2006).
2.4.3.3 Makanan
Monosodium glutamat adalah bumbu pelengkap yang mempunyai cita rasa yang kuat
dan merupakan turunan kimia asam glutamat yang sering ditambahkan pada makanan
(Zhou dkk., 2012). Makanan produk industri dengan pewarna buatan seperti
tartazine, pengawet (metabisulfit), dan MSG juga bisa mencetus serangan asma
(Purnomo, 2008; GINA, 2017). Penelitian-penelitian sebelumnya, menunjukkan
bahwa ada hubungan MSG menyebabkan kekambuhan asma namun beberapa
penelitian lainnya tidak dapat menunjukkan bukti dasar hubungan yang bermakna
antara MSG dengan asma (Afdal, 2012; Zhou dkk, 2012). Alergi makanan sering
sekali tidak terdiagnosis sebagai salah satu pencetus serangan asma meskipun
penelitian membuktikan alergi makanan sebagai pencetus bronkokontriksi yang
diperantarai oleh IgE pada 2%- 5% anak asma (Ramailah, 2006). Beberapa makanan
seperti susu sapi, ikan laut, kacang berperan menjadi pencetus serangan asma
(Handayani dkk., 2004).
2.4.4 Aktivitas fisis
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas
jasmani atau olahraga yang berat. Olahraga berat seperti mengendarai sepeda, lari
cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas
terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut ( Kercsmas dkk., 2012; Rengganis,
2008).
67
1.4.5 Sindrom nefrotik
Sindrom nefrotik adalah merupakan suatu penyakit kronik yang dapat menyerang
semua umur, tetapi terutama menyerang anak yang berusia antara 2-6 tahun, anak
lelaki lebih banyak menderita dibandingkan anak perempuan dengan rasio 3:2.
Sindrom nefrotik dapat ditegakkan dengan gejala klinik yang khas yaitu: proteinuria
masif atau proteinuria nefrotik (didalam urin terdapat protein ≥ 40 mg/m2lpb/jam atau
> 50 mg/kgbb/24 jam,atau rasio albumin/kreatinin pada urin sewaktu dipstick ≥2 +),
Hipoalbuminemia (albumin <2,5 g/dl), sembab, dan hiperlipidemia (kolesterol serum
>200 mg/dl) (Wei dkk., 2014).
Hubungan antara sindrom nefrotik idiopatik dengan alergi telah dilaporkan
sejak lebih dari 50 tahun. Sejak tahun 1970, beberapa penelitian kasus kontrol
memperoleh bahwa peningkatan IgE lebih sering pada anak dengan sindrom nefrotik
dibandingkan dengan anak normal. Kadar TH2 berhubungan dengan sitokin seperti
IL-4 dan IL-13 yang ditemukan diregulasi pada pasien sindrom nefrotik idiopatik
yang relaps. Interleukin-4 dan IL-13 adalah penting dalam pengalihan isotope IgE sel
B, dan IL-13 juga terlibat dalam modulasi peradangan eosinofil dan perekrutan
monosit dan limfosit T. Pelepasan IgE oleh sel B merupakan kunci dari kaskade
inflamasi alergi pada asma alergi.
1.4.6 Riwayat penyakit paru kongenital
Kelainan paru bawaan mencakup malformasi adenomatoid kistik kongenital
(MAKK), emfisema lobaris kongenital, sekuestrasi bronkopulmoner, dan kista
bronkogenik. Lesi yang mengisi ruang kosong (space occupying lessions) yang
68
paling sering di rongga thoraks adalah hernia diafragmatik kongenital, MAKK,
sekuestrasi bronkopulmoner, dan hidrothoraks fetal. Memahami patogenesis penyakit
paru kongenital merupakn hal yang sulit dan membingungkan. Menurut satu teori
lama, banyak lesi ini disebabkan oleh pertumbuhan paru yang kurang. Teori yang lain
berhubungan dengan obstruksi jalan napas dengan diplastik paru sekunder.
Variabilitas dalam waktu dan tingkat keparahan obstruksi jalan napas bisa
menjelaskan frekuensi kejadian lesi sehingga didapatkan keluhan respiratori seperti
sesak napas, infeksi paru berulang (Biayyam dkk., 2010)
1.4.7 Penyakit jantung
Asma kardial merupakan salah satu diagnosa banding asma pada dewasa. Asma
kardial merupakan kongesti paru akibat gagal jantung yaitu gagal jantung kiri
(Pedoman pengendalian penyakit asma, 2009).
Pada gagal jantung kiri, kenaikan tekanan diastolik diteruskan secara retrograde
ke atrium kiri kemudian ke vena dan kapiler paru. Kenaikan tekanan hidrostatik
kapiler paru bila cukup tinggi (melebihi 20 mmhg), bisa menyebabkan transudasi
cairan ke dalam intersisium paru, dan menyebabkan keluhan-keluhan kongesti paru.
Pergerakan alveoli akan terganggu karena edema intersisial, proses pertukaran udara
juga terganggu sehingga penderita akan merasa sesak napas, suara pernapasan
menjadi berbunyi saat ekspirasi, terdengar bising ekspirasi dan fase ekpirasi menjadi
lebih panjang yang dikenal sebagai asma (kardial (Sitompul dkk., 2003).
2.5 Diagnosis Serangan Asma
69
Global Initiative for asthma 2017 mendefinisikan a flare-up atau serangan asma
adalah perburukan gejala klinis dan fungsi paru yang terjadi akut atau subakut dari
pasien asma. Istilah episode, serangan dan asma akut berat sering digunakan, tetapi
mempunyai banyak arti pada pasien.
Penilaian serangan asma berdasarkan anamnesis seperti memperoleh informasi
waktu mulainya dan pemicu serangan saat itu, gejala-gejala yang dikeluhkan untuk
menilai derajat serangan termasuk keterbatasan aktifitas fisis atau adanya gejala
anafilaksis, adanya faktor-faktor yang meningkatkan risiko kematian, riwayat
pengobatan yang telah diberikan. Pada pemeriksaan fisis dengan menilai derajat
kesadaran, tekanan darah, kemampuan bicara lengkap satu kalimat, retraksi dinding
dada, wheezing, komplikasi (anafilaksis, pneumonia, atelektasis, pneumothoraks)
serta tanda penyebab distres lain (misalnya tanda gagal jantung, benda asing,
obstruksi saluran napas atas) (Rahajoe dkk., 2015).
Untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas akibat obstruksi,
hiperreaktivitas dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya atopi pada pasien
dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang tersebut
diantaranya (Emergency Paediatric Asthma guideline, 2013; GINA 2017).
1. Saturasi oksigen
Pemeriksaan ini dilakukan dengan pulse oximetri sebelum diberikan
terapi oksigen atau 5 menit setelah terapi oksigen diberikan. Saturasi
oksgen normal pada anak adalah >95%. Saturasi <92% merupakan
70
indikasi rawat inap, sedangkan saturasi <90% diperlukan tatalaksana
yang agresif.
2. Spirometri
Pemeriksaan uji fungsi paru merupakan salah satu pemeriksaan yang
direkomendasikan pada serangan asma. Jika kondisi pasien
memungkinkan dapat dinilai PEF atau FEV1 sebelum diberikan terapi.
Pemeriksaan spirometri selanjutnya dapat dilakukan satu jam setelah
pemberian terapi awal dan diperiksa berkala sampai respon menjadi
komplit.
3. Analisa gas darah
Pemeriksaaan ini dilakukan atau dapat dipertimbangkan jika FEV1
<50% prediksi, atau pada pasien dengan serangan asma berat, atau
pasien yang memburuk dengan terapi awal.
4. Rontgen Thoraks
Pemeriksaan ini dipertimbangkan pada asma serangan berat atau
dicurigai adanya komplikasi yang menyertai dan adanya ancaman gagal
napas yang tidak membaik dengan pengobatan.
2.6 Klasifikasi berdasarkan keparahan serangan Asma
Klasifikasi kekerapan dibuat pada kunjungan-kunjungan awal dan dibuat berdasarkan
anamnesis (Camargo dkk., 2009; Rahajoe dkk., 2015; GINA, 2017 ).
Tabel 2.1. Kriteria Penentuan Derajat Asma
Derajat asma Uraian kekerapan gejala asma
Intermiten Gejala asma < 6 kali / tahun atau jarak
antar gejala ≥ 6 minggu
71
Persisten ringan Episode gejala asma > 1 kali/ bulan, < 1
kali/minggu
Persisten sedang Episode gejala asma > 1 kali/ minggu,
namun tidak setiap hari
Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir setiap
hari
Keterangan :
a. Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dibuat setelah dibuat
diagnosis kerja asma dan dilakukan tata laksana umum (pengendalian
lingkungan, penghindaran pencetus) selama 6 minggu.
b. Jika sudah yakin diagnosis asma dan klasifikasi sejak kunjungan awal,
tata laksana dapat dilakukan sesuai klasifikasi.
c. Klasifikasi kekerapan ditujukan sebagai acuan awal penetapan jenjang
tata laksana jangka panjang.
d. Jika ada keraguan dalam menentukan klasifikasi kekerapan, masukan
ke dalam klasifikasi lebih berat.
1. Berdasarkan derajat beratnya serangan
Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala akut
yang memberat dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma.
a. Asma serangan ringan-sedang
b. Asma serangan berat
c. Serangan asma dengan ancaman henti napas
Tabel 2.2. Derajat Keparahan Serangan Asma (Clinical Practice Guidelines,
2012; GINA, 2017)
Asma serangan ringan
sedang
Asma serangan berat Serangan asma dengan
ancaman henti napas
Bicara dalam Bicara dalam kata Mengantuk
72
kalimat
Lebih senang
duduk daripada
berbaring
Tidak gelisah
Frekuensi napas
meningkat
Frekuensi nadi
meningkat
Retraksi minimal
SpO2 (udara kamar)
antara 90%-95%)
PEF > 50%
prediksi atau
terbaik
Duduk bertopang
lengan
Gelisah
Frekuensi napas
meningkat
Frekuensi nadi
meningkat
Retraksi jelas
SpO2 (udara
ruangan) < 90%
PEF ≤ 50%
prediksi atau
terbaik
Letargi
Suara napas tidak
terdengar
Pembagian asma berdasarkan derajat serangan digunakan sebagai dasar
penentuan tatalaksana.
2. Berdasarkan derajat kendali
Tujuan utama tata laksana asma adalah terkendalinya penyakit.Asma
terkendali adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat
pengendali dan kualitas hidup penderita baik.
a. Asma terkendali penuh (well controlled)
i. Tanpa obat pengendali: pada asma intermiten
ii. Dengan obat pengendali: pada asma persisten
(ringan/sedang/berat)
b. Asma terkendali sebagian (partly controlled)
c. Asma tidak terkendali (uncontrolled)
Tabel 2.3. Derajat kendali penyakit asma ( GINA,2017).
A. Penilaian Klinis (Dalam 6-8 minggu)
Manifestasi klinis Terkendali dengan /
tanpa obat pengendali
(bila semua kriteria
terpenuhi)
Terkendali sebagian
(minimal satu kriteria
terpenuhi)
Tidak terkendali
73
Gejala siang hari Tidak pernah (≤2
kali/minggu)
> 2 kali/minggu Tiga atau lebih kriteria
terkendali sebagian
Aktivitas terbatas Tidak ada Ada
Gejala malam hari Tidak ada Ada
Pemakaian pereda Tidak ada (≤2
kali/minggu)
> 2 kali/minggu
B. Penilaian risiko perjalanan asma (risiko eksaserbasi, ketidakstabilan, penurunan fungsi paru,
efek samping)
asma yang tidak terkendali, sering eksaserbasi, pernah masuk ICU karena asma, FEV1 yang
rendah, paparan terhadap asap rokok, mendapat pengobatan dosis tinggi.
Klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai keberhasilan tata laksana yang
tengah dijalani dan untuk penentuan naik jenjang (step-up),pemeliharaan
(maintenance), atau turun jenjang (step-down) tata laksana yang akan diberikan.
3. Berdasarkan keadaan saat ini
a. Tanpa gejala
b. Ada gejala
c. Serangan ringan sedang
d. Serangan berat
e. Ancaman gagal napas
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejala-
gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai
kombinasi dari gejala-gejala tersebut (Rahajoe dkk., 2015).
2.7 Komplikasi Serangan asma
Serangan asma yang berat dapat mengakibatkan komplikasi seperti fraktur tulang
rusuk, pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis, pneumonia dan status
asmatikus. Selain itu serangan asma yang berat seperti status asmatikus dapat
74
mengancam hidup, memerlukan perawatan karena berisiko mengalami gagal napas
(Lewis dkk., 2007)