bab ii tinjauan pustaka 2.1. anatomi nasofaring 2.pdf · 2 fossa rossenmuler yang terletak di apeks...
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan lubang sempit yang terletak pada belakang rongga
hidung. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi occiput
dan ruas pertama tulang belakang. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana. Orificium dari tuba Eustachian berada pada dinding samping dan pada
bagian depan belakang terdapat ruangan berbentuk koana yang disebut dengan torus
tubarius (Roezin, 2007).
2.1.1 Anatomi
Fossa rossenmuller terletak pada bagian atas dan samping dari torus tubarius
merupakan tempat asal munculnya sebagian besar karsinoma nasofaring dan paling
sensitif terhadap penyebaran keganasan pada nasofaring (Lu, 2006).
Fossa rossenmuler mempunyai hubungan anatomi dengan sekitarnya,
sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis KNF. Tepat di atas apeks dari fossa
rossenmuler terdapat foramen laserum, yang berisi arteri karotis interna dengan
sebuah lempeng tipis fibrokartilago. Lempeng ini mencegah penyebaran KNF ke
sinus kavernosus melalui karotis yang berjalan naik (Roezin, 2007).
2
Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan
tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi ruang ini menjadi 3 kompartemen,
yaitu : 1) kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis dan n. alveolaris
inferior; 2) kompartemen poststiloid, yang berisi sarung karotis; dan 3) kompartemen
retrofaring, yang berisi kelenjar Rouviere. Kompartemen retrofaring ini berhubungan
dengan kompartemen retrofaring kontralateral, sehingga pada keganasan nasofaring
mudah terjadi penyebaran menuju kelenjar limfa leher kontralateral. Lokasi fossa
rossenmuler yang demikian itu dan dengan sifat KNF yang invasif, menyebabkan
mudahnya terjadi penyebaran KNF ke daerah sekitarnya yang melibatkan banyak
struktur penting sehingga timbul berbagai macam gambaran klinis (Lu, 2006).
Lapisan mukosa ialah daerah nasofaring yang dilapisi oleh mukosa dengan
epitel kubus berlapis semu bersilia pada daerah dekat koana dan daerah di sekitar
atap, sedangkan pada daerah posterior dan inferior nasofaring terdiri dari epitel
skuamosa berlapis. Daerah dengan epitel transisional terdapat pada daerah pertemuan
antara atap nasofaring dan dinding lateral (Gambar 2.1). Lamina propria seringkali
diinfiltrasi oleh jaringan limfoid, sedangkan lapisa submukosa mengandung kelenjar
serosa dan mukosa (Roezin, 2007).
3
Gambar 2.1.
Anatomi Nasofaring (Nancy, 2005)
2.1.2 Sistem Aliran Darah dan Sistem Saraf
Pembuluh darah arteri utama yang mensuplai daerah nasofaring adalah arteri
faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan cabang
faringeal arteri sfenopalatina (Gambar 2.2). Semua pembuluh darah tersebut berasal
dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di
bawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah
superior dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya (Nancy, 2005)
4
Gambar 2.2
Pendarahan Nasofaring (Nancy, 2005).
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas otot
konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris saraf
glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion
servikalis simpatikus (Gambar 2.3). Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal
dari saraf glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim
tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina
yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1) (Nancy, 2005).
5
Gambar 2.3.
Persarafan Nasofaring (Nancy, 2005)
2.1.3 Sistem Limfatik
Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas. Kelompok
pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang terdapat pada ruang
retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan fasia
prevertebra. Pada dinding lateral terutama di daerah tuba Eustachius paling kaya akan
pembuluh limfe. Aliran limfenya berjalan ke arah anterosuperior dan bermuara di
kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi
rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, rantai kelenjar ini terletak di bawah otot
sternokleidomastoid pada tiap prosessus mastoid. Beberapa kelenjar dari rantai
6
jugular letaknya sangat dekat dengan saraf-saraf kranial terakhir yaitu saraf
IX,X,XI,XII. Metastase ke kelenjar limfe ini dapat terjadi sampai dengan 75%
penderita KNF, yang mana setengahnya datang dengan kelenjar limfe bilateral
(Roezin, 2007).
2.2 Undifferentiated carcinoma nasopharynx.
2.2.1 Epidemiologi
Angka kejadian karsinoma nasofaring cukup tinggi tergantung dari letak
geografisnya (Korcum et al., 2006). Berdasarkan data International Agency for
Research on Cancer (IARC) pada tahun 2002 ditemukan sekitar 80.000 kasus baru
KNF di seluruh dunia dan sekitar 50.000 kasus meninggal diantaranya adalah berasal
dari Cina sekitar 40% . Di Indonesia angka kejadian karsinoma nasofaring cukup
tinggi, yakni 4,7 kasus baru per tahun per 1000 penduduk dan memberikan hasil yang
beragam, dengan laki-laki lebih banyak menderita KNF daripada perempuan dengan
2,5:1. Kelompok umur yang terbanyak terjadi adalah pada umur 41-50 tahun
(Giordano et al., 2008). Berdasarkan data registrasi kanker tahun 2010 di Bali,
karsinoma nasofaring menempati peringkat kelima dari seluruh karsinoma pada laki-
laki dan perempuan dengan jumlah 70 kasus, pada laki-laki menempati peringkat
pertama dengan jumlah 47 kasus dari seluruh karsinoma. Umur rata-rata penderita
KNF yaitu 45-55 tahun. Rasio laki-laki : perempuan yaitu 2-3 : 1. Di Bali rasio umur
tebanyak usia 35-45 tahun sebanyak 13 kasus, yang kedua usia 45-54 tahun sebanyak
11 kasus, dan yang ketiga usia 55-64 tahun sebanyak 8 kasus (Anonim, 2010).
7
Insiden tertinggi dilaporkan berasal dari provinsi Guandong dan daerah Guangxi
Cina Selatan yaitu mencapai lebih dari 50 per 100.000 orang pertahun. Etnis Cina
yang bermigrasi ke luar negeri juga mempunyai angka insiden yang tinggi, tetapi
etnis Cina yang lahir di Amerika Utara, mempunyai angka insiden yang rendah
dibandingkan dengan yang lahir di Cina (Chou et al., 2008). Temuan ini
mengindikasikan bahwa faktor genetik, etnik, dan lingkungan memegang peranan
penting terhadap meningkatnya KNF (Korcum et al., 2006).
Angka kejadian karsinoma nasofaring di Singapura, persentase terbesar
mengenai masyarakat keturunan Tionghoa (18,5 per 100.000 penduduk) disusul oleh
keturunan Melayu (6,5% per 100.000) dan keturunan Hindustan (0,5 per 100.000).
Karsinoma nasofaring jarang terjadi di Amerika serikat dan Eropa, dengan angka
kejadian 1 per 100.000 penduduk per tahun (Lu, 2006)
2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko
Karsinoma nasofaring adalah suatu keganasan dengan etiologi multifaktorial.
Faktor yang diduga terkait dengan timbulnya karsinoma nasofaring adalah genetik,
faktor lingkungan dan Virus Ebstein Barr (Korcum et al., 2006).
1. Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring bukan tumor genetik, kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol, ras yang
banyak sekali menderitanya adalah bangsa China (Desen, 2008). Beberapa penulis
melaporkan adanya kecenderungan orang dengan tipe HLA tertentu dapat menderita
8
karsinoma nasofaring. Tingginya angka insiden KNF di daerah Cina Selatan, baik
yang tinggal di Cina atau yang sudah bermigrasi, dan angka insiden sedang pada
populasi keturunan Cina campuran, diduga mempunyai hubungan genetik dalam
terjadinya karsinoma nasofaring. Analisis genetik pada etnis China menunjukkan
Histo-Kompatibilitas Mayor pada lokus HLA-A2, B17 dan BW46 dengan
peningkatan risiko terjadinya karsinoma nasofaring sebanyak dua kali lipat. Tetapi
pada penelitan di Amerika Utara gagal menunjukkan lokus HLA dengan peningkatan
risiko peningkatan karsinoma nasofaring (Levine et al., 2008).
Polimorfik genetik dari gen CYP-2 F1 menunjukkan dapat terjadi pada daerah
Guandong-China. Ketika polimorfik genetik CYP-2 F1 diselidiki dan dibantu dengan
polimorfik genetik yang multipel dari satu atau beberapa gen lain maka berpotensial
untuk berkembang dan berprogresif menjadi karsinoma nasofaring. Gen XRCC-1
penting didalam DNA yang diperbaiki. Hipotesis bahwa nukleotida polimorfik
tunggal XRCC-1 (codons 194Arg → Trp dan 399Arg → Gln) dihubungkan dengan
risiko karsinoma nasofaring dan interaksi dengan rokok serta tembakau. Genotip
XRCC-1 Trp yang bervariasi berhubungan dengan risiko perkembangan karsinoma
nasofaring terutama pada pria yang merokok. Pada bagian lain, dengan adanya Cyclin
D1 (kunci regulasi dari siklus sel) dan diubahnya aktifitas menunjukkan
perkembangan karsinoma (Desen, 2008)
9
2. Lingkungan
Paparan ikan asin dan makanan yang mengandung volatile nitrosamine
berhubungan dengan terjadinya karsinoma nasofaring. Dan telah terbukti bahwa
mengkonsumsi ikan asin sejak anak-anak meningkatkan risiko KNF di Cina Selatan
(Can et al., 2005; Lin, 2006).
Faktor lingkungan lain yang merupakan faktor risiko terjadinya karsinoma
nasofaring adalah merokok. Orang yang merokok selama 10 tahun atau lebih
mempunyai risiko yang tinggi terhadap KNF. Penelitian menunjukkan adanya
paparan formaldehid bentuk uap dan asap yang terhirup berpengaruh paling besar
terhadap kejadian KNF, keduanya terbukti secara bersama-sama berpengaruh secara
signifikan terhadap kejadian KNF. Adanya radang kronik pada mukosa nasofaring
akan lebih mudah terpapar karsinogen lingkungan dan dapat menyebabkan karsinoma
nasofaring (Wee et al., 2010).
3. Virus Epstein Barr (VEB)
Virus Epstein-Barr adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dngan
timbulnya karsinoma nasofaring. Penderita karsinoma nasofaring terbukti terinfeksi
VEB dan genom virus dapat diidentifikasikan pada sel tumor. VEB merupakan suatu
virus gamma herpes yang mengandung DNA yang termasuk dalam keluarga herpes
viridae yang ditemukan oleh Ied Tony Epstein dan Yvone Barr pada tahun 1964.
Pada undifferentiated nasopharyng carcinoma, VEB menginfeksi sel epitel
nasofaring bagian posterior fossa Rosenmuller’s di Waldeyer’s ring. Walaupun
hubungan reseptor VEB pada sel epitel tidak tampak, tetapi permukaan protein
10
mengandung antigen yang dihubungkan dengan sel B. Reseptor CD21 dapat
diuraikan dan VEB banyak masuk ke sel nasofaring berupa igA-mediated
endocytosis. VEB dapat juga dideteksi pada karsinoma insitu, suatu prekursor
undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Infeksi laten VEB sangat penting dalam
perkembangan menuju displasia yang berat pada KNF. Displasia merupakan lesi awal
yang dapat terdeteksi, yang diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa karsinogen
lingkungan. Hal ini berkaitan dengan kehilangan alel pada lengan pendek kromosom
3 dan 9 yang menyebabkan inaktivasi beberapa tumor suppressor genes, terutama
p14, p15, p16. Karsinogen yang berkaitan belum ditemukan dengan perkembangan
KNF. Area displasia ini merupakan asal dari tumor namun belum cukup untuk
menyebabkan perkembangan yang progresif. Pada stadium laten, infeksi VEB dapat
mengacu pada perkembangan displasia yang lebih berat. Didapatkan kerusakan gen
pada kromosom 12 dan kehilangan alel pada 11q, 13q, dan 16q dapat memicu
terjadinya kanker invasif dan metastasis sering dihubungkan dengan mutasi p53 dan
ekspresi chaderin yang menyimpang (gambar 2.4) (Korcum et al., 2006).
EBNA1 dan LMP1 yang merupakan produk onkogen VEB terbukti
menyebabkan transformasi dan imortalisasi limfosit B. Adanya partikel VEB pada
jaringan tumor spesimen biopsi penderita KNF secara konsisten, mendukung
hipotesis VEB sebagai faktor etiologi utama pada KNF (Hsiao et al., 2009).
11
Gambar 2.4
Pathogenesis karsinoma nasofaring (Tao, 2007)
2.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi WHO tahun 1978 untuk karsinoma nasofaring (1) Keratinizing
squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin atau intercellular bridge
atau keduanya. (2) Non Keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai dengan
batas sel yang jelas (pavement cell pattern). (3) Undifferentiated carcinoma ditandai
oleh pola pertumbuhan sinsitial, sel-sel polygonal berukuran besar atau sel dengan
bentuk spindel, anak inti yang menonjol dan stroma dengan infiltrasi sel-sel radang
limfosit. Sedangkan klasifikasi WHO tahun 2005 membagi karsinoma nasofaring
menjadi (1) Keratinizing squamous cell carcinoma. Tipe KNF ini menunjukkan
12
diferensiasi skuamous dengan adanya intercellular bridges, dan keratin dalam
gambaran histologinya; (2) Nonkeratinizing carcinoma yang mencakup tipe
berdiferensiasi dan tipe tidak berdiferensiasi (undifferentiated). Tumor ini umumnya
lebih radiosensitif dan mempunyai hubungan yang kuat dengan EBV. (2.1)
Differentiated nonkeratinizing carcinoma. Sel-sel tumor menunjukkan diferensiasi
dengan maturasi sel skuamous. (2.2.) Undifferentiated carcinoma. Sel-sel tumor
dengan bentuk inti oval atau bulat vesikular dengan anak inti menonjol. Batas antar
sel tidak jelas dan dengan hubungan antar sel yang sinsitial; (3). Basaloid squamous
cell carcinoma. Merupakan tipe histologi yang jarang, terdiri dari komponen basaloid
dan komponen skuamous (Chan et al., 2005).
2.2.4. Gambaran Klinis
Gejala dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan
infeksi saluran nafas atas. Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan
gejala telinga. Ini terjadi karena tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring.
Timbul keluhan pilek berulang dengan ingus yang bercampur darah. Kadang-kadang
dapat dijumpai epistaksis. Tumor juga dapat menyumbat muara tuba eustachius,
sehingga pasien mengeluhkan rasa penuh di telinga, rasa berdenging kadang-kadang
disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini umumnya unilateral, dan
merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma nasofaring. Sehingga bila timbul
berulang-ulang dengan penyebab yang tidak diketahui perlu diwaspadai sebagai
karsinoma nasofaring (Roezin, 2007).
13
Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas sehingga
pada umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan karena tumor primer
telah meluas ke organ sekitar nasofaring atau mengadakan metastasis regional ke
kelenjar getah bening servikal (Roezin, 2007).
Menurut Formula Digby (Tabel 2.1), setiap gejala klinis mempunyai nilai
diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan karsinoma nasofaring. Bila
jumlah nilai mencapai 50, diagnosis klinik karsinoma nasofaring dapat dipertanggung
jawabkan (Roezin, 2005).
Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi tumor
primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnostik histopatologi, juga
menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan
prognosis (Roezin, 2007).
Tabel 2.1.
Formula Digby (Roezin, 2005)
GEJALA KLINIK NILAI
Dapat dilihat atau diraba tumor padat dalam nasofaring 25
Kelenjar limfe leher membesar 25
Gejala khas hidung (epistaksis, obstruksi) 15
Gejala khas telinga (kurang pendengaran, tinnitus) 5
Paralisis satu atau lebih syaraf otak (diplopia, neuralgia, trigeminus) 5
Sakit kepala mulai unilateral 5
Eksoptalmus unilateral/ bengkak di rahang/ bengkak di temporal 5
14
2.2.5 Gambaran Morfologi
2.2.5.1 Makroskopis
Tumor dapat berupa massa yang menonjol pada mukosa dan memiliki
permukaan halus, bernodul dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan atau massa
yang menggantung dan infiltratif. Namun terkadang tidak dijumpai lesi pada
nasofaring (Chan et al., 2005).
2.2.5.2 Mikroskopis Undifferentiated carcinoma nasopharynx.
Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma nasopharynx memperlihatkan
gambaran sinsitial dengan batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan
vesikular, dijumpai anak inti. Sel-sel tumor sering tampak terlihat tumpang tindih.
Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai infiltrat sel radang dalam
jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga sebagai
lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma,
eosinofil, epiteloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang) (Chan et al.,
2005).
Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiated yaitu tipe
Regauds, yang terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang
dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfosit (Gambar 2.5). Yang kedua
tipe Schmincke, sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus dan bercampur dengan sel-
sel radang (Gambar 2.6). Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell malignant
lymphoma (Chan et al., 2005)
15
Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan antara
karsinoma nasofaring dan large cell malignant lymphoma, dimana inti dari
karsinoma nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan
berjumlah satu, dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophilik. Inti dari malignant
lymphoma biasanya pinggirnya lebih iregular, kromatin kasar dan anak inti lebih
kecil dan berwarna basofilik atau amphofilik. Terkadang undifferentiated memiliki
sel-sel dengan bentuk oval atau spindel (Chan et al., 2005).
Gambar 2.5.
Undifferentiated carcinoma “Regaud type”, terdiri dari sel-sel yang membentuk
sarang-sarang padat (Chan, 2005)
16
Gambar 2.6.
Undifferentiated carcinoma “Schmincke type”, terdiri sel-sel yang tumbuh
membentuk gambaran sinsisial yang difus (Chan, 2005)
2.2.6. Pemeriksaan Penunjang
2.2.6.1. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara
rinoskopi posterior, nasofaringoskopi serta fibernaso faringoskopi (Roezin, 2007).
2.2.6.2 Radiologi
Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor yang
menginvasi pada jaringan sekitarnya dengan menggunakan :
17
1. Computed Tomografi (CT), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan ikat
lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif mendeteksi
erosi tulang, terutama pada dasar tengkorak.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging yang
multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan tumor dari
peradangan. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi metastase pada
retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor
ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat mendeteksinya (Roezin, 2007).
2.2.6.3 Serologi
Ekspresi spesifik viral messenger RNAs atau produk gen secara konsisten
dapat dideteksi pada tumor dengan pemeriksaan insitu hibridisasi dan tekhnik
imunohistokimia. Dapat juga dideteksi dengan tekhnik PCR pada material yang
diperoleh pada dari aspirasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah bening
leher (Chan et al., 2005).
2.2.6.4. Pemeriksaan Patologi
1. Biopsi aspirasi jarum halus pada kelenjar getah bening serikalis
Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan sitologi
biopsi aspirasi kelenjar getah bening servikalis (Chan et al., 2005)
2. Biopsi
Konfirmasi pasti diagnosis KNF diperoleh dari hasil biopsi positif yang
diambil dari tumor di nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari
hidung dan dari mulut (Chan et al., 2005).
18
2.2.7 Penatalaksanaan
National Comprehensive Cancer Network (2010), mengajukan suatu skema
penatalaksanaan karsinoma nasofaring (Gambar 2.7) dengan kombinasi kemoterapi
dan radioterapi (Yang et al,2012).
Gambar 2.7
Terapi Karsinoma Nasofaring berdasarkan NCCN (2010)
2.2.7.1 Radioterapi
Radioterapi sebagai gold standard untuk karsinoma nasofaring sudah dimulai
sejak lama. Hasil radioterapi untuk karsinoma nasofaring dini sebenarnya cukup baik,
respon lengkap sekitar 80%-100%. Sedangkan untuk karsinoma nasofaring stadium
lanjut loko regional, respon radioterapi menurun tajam dengan angka ketahanan hidup
5 tahun yang kurang dari 40%. Respon tumor terhadap radioterapi secara keseluruhan
sebesar 25%-65% (Chang, 2006). Radioterapi sebagai terapi utama pada karsinoma
nasofaring diberikan untuk yang belum ada metastasis jauh. Radiasi yang diberikan
19
diharapkan dapat memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang kelangsungan
hidup penderita (Qu et al., 2012)
Pertimbangan pemilihan radiasi sebagai pengobatan pilihan utama untuk
karsinoma nasofaring terutama didasarkan fakta bahwa secara histopatologis
kebanyakan (75%-95%) karsinoma dari jenis undifferentiated carcinoma
nasopharynx yang sangat radiosensitif. Alasan lainnya adalah faktor anatomi
nasofaring yang terletak di dasar tengkorak dengan banyak organ vital menyebabkan
tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh daerah bebas tumor (free margin)
sangat sulit (Qu et al., 2012).
2.2.7.2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata
dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada
keadaan kambuh (Tang et al., 2011).
2.2.7.3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar
pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer
sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi.
(Feng et al., 2010).
20
2.2.7.4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, maka penderita karsinoma nasofaring dapat diimunoterapi
(Feng et al., 2010).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian penghambat COX-2
terhadap penderita tumor memberikan hasil yang positif melalui efek kemopreventif
dan radiosensititizer. Pemberian penghambat COX-2 dapat meningkatkan efek terapi
standar serta mengurangi progresivitas KNF.
2.2.8 Prognosis
Angka ketahanan hidup dipengaruhi oleh usia (lebih baik pada pasien usia
muda), staging klinik dan lokasi dari metatasis regional ( lebih baik pada yang
homolateral dibandingkan pada metastasis kontralateral dan metastasis yang terbatas
pada leher atas dibandingkan dari leher bawah). Studi terakhir dengan menggunakan
TNM Staging System menunjukkan 5 years survival rate untuk stadium I 98%,
stadium II A-B 95%, stadium III 86%, dan stadium IV A-B 73%. Secara
mikroskopis, prognosis lebih buruk pada keratinizing squamous cell carcinoma
dibandingkan dengan yang lainnya (Roezin, 2005).
Untuk non keratinizing squamous cell carcinoma, prognosis buruk bila
dijumpai anaplasia dan atau plemorfism, proliferasi sel yang tinggi ( dihitung dari
mitotik atau dengan proliferasi yang dihubungkan dengan marker imunohistokimia ),
sedikitnya jumlah sel radang limfosit, tingginya densitas dari S-100 protein yang
21
positif untuk sel-sel dendritik, dijumpai banyak pembuluh darah kecil, dijumpai
ekspresi Her2/neu (Roezin, 2005).
2.3 Cyclooxygenase-2
2.3.1 Biologi Cyclooxygenase
Cyclooxygenase atau prostaglandin H2 synthase (PGHS) merupakan enzim
yang mengkatalisis dua langkah awal yaitu siklooksigenasi dan peroksidasi pada
biosintesis prostaglandin (PG) dari asam arakhidonat (AA) . Asam arakhidonat (20-
carbon polyunsaturated fatty acid) merupakan prekursor dari prostaglandin dan
ditemukan hampir sebagian besar pada membran fosfolipid dari sel (Sonawane et al.,
2011).
Biosintesis prostaglandin terjadi melalui tiga langkah. Langkah pertama pada
sintesis prostaglandin adalah hidrolisis fosfolipid untuk menghasilkan arakhidonat
bebas dimana reaksi ini dikatalisasi oleh fosfolipase A. Langkah berikutnya
merupakan reaksi kunci yang dikatalisasi oleh COX dimana dua molekul oksigen
diinsersikan ke dalam asam arakhidonat untuk menghasilkan prostaglandin G2
(PGG2) intermediate yang tidak stabil dan kemudian secara cepat dikonversi menjadi
prostaglandin H2 (PGH2) oleh aktivitas peroksidase dari COX. Langkah ketiga
terjadi saat spesifik isomerase mengubah PGH2 menjadi berbagai prostaglandin
lainnya seperti PGE2, prostaglandin F2α (PGF2α), prostaglandin D2 (PGD2),
prostasiklin (PGI2) dan tromboksan (TXA2) (Gambar 2.8) ( Sonawane et al., 2011;
Zarghi dan Arfaei, 2011).
22
Gambar 2.8
Metabolisme Asam Arakidonat Melalui Kerja COX (Sonowane et al., 2011)
Cyclooxygenase merupakan bagian integral dari membran terutama membran
mikrosomal. Melalui pemeriksaan mikroskop fluorescence dan tehnik pewarnaan
histofluoresence menunjukkan bahwa Cyclooxygenase-1 (COX-1) dan COX-2
berlokasi pada retikulum endoplasma dan membran inti, COX-2 konsentrasinya lebih
tinggi pada membran inti (Stasinopoulos, 2008).
Saat ini diketahui ada 3 family enzim ini yaitu COX-1, COX-2, dan yang
terbaru diidentifikasi adalah Cyclooxygenase-3 (COX-3), yang memiliki kesamaan
aktivitas enzimatik tetapi memiliki fungsi dan pola ekspresi yang berbeda. COX-1
dan COX-2 mempunyai perbedaan dalam kemampuannya untuk memakai sumber
asam arakhidonat endogen, baik pada sel fibroblast maupun pada sel immune. COX-
23
2 dapat memanfaatkan asam arakhidonat endogen dan Cox-1 tidak. Hal yang paling
penting membedakan antara COX-1 dan COX-2 adalah perbedaan regulasi dari
ekspresi dan distribusinya pada jaringan. COX-3 merupakan varian dari COX-1,
mRNA COX-3 pada manusia memiliki panjang 5,2 kb. COX-1, COX-2, dan COX-3
memiliki persamaan yaitu responnya tergantung dari rangsangan hormon, faktor
pertumbuhan, pharbol ester, faktor inflamasi dan sitokin (Bertagnolli, 2008; Zhao et
al, 2008).
2.3.2 Cyclooxygenase, Prostaglandin, Karsinoma
Family COX adalah enzim yang terdiri dari 2 anggota, COX-1 adalah enzim
yang terekspresi di banyak organ dan COX-2 hanya terekspresi pada jaringan tertentu
saja, termasuk plasenta, otak dan ginjal. Dimana COX-2 ekspresinya meningkat oleh
sejumlah rangsangan, termasuk sitokin, faktor pertumbuhan dan onkogen (Howe,
2007; Surowiak, 2010).
Kedua enzim COX ini mengkatalisis asam arakidonat menjadi PGG2 dan
sesudah itu menjadi PGH2, yang berperan sebagai substrat untuk isomerisasi
multipel yang secara sendirinya berespon untuk generasi untuk menghasilkan
eikosanoid, termasuk PGE2, PGI2 dan TXA2. Prostaglandin terutama PGE2 akan
memodulasi terbentuknya tumor. Misalnya PGE2 berikatan secara spesifik dengan
reseptor protein G-couple reseptor pada permukaan sel epitel, dan akan menstimulasi
rangkaian sinyal pertumbuhan dan motilitas. Didalam sel-sel epitel PGE2 akan
menekan apoptosis dengan meningkatkan ekspresi BCL2 dan juga meningkatkan
ekspresi Mitogen-Activated Protein Kinase (MAPK) yang dapat meningkatkan
24
migrasi sel atau lebih invasif dan mengaktivasi Epidermal Growth Factor Reseptor
(EGFR). Selanjutnya, PGE2 akan menginduksi angiogenesis, sehingga memiliki
kemampuan untuk tumbuh dan bermetastasis (Howe, 2007).
Gambar 2.9
Peranan COX-2 pada Perkembangan Karsinoma (Klimek et al., 2009)
2.3.3 Peranan COX-2 pada Karsinoma Nasofaring
Beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa level enzim COX-2 meningkat pada
beberapa kanker, seperti karsinoma kolorektal, karsinoma sel skuamous kepala dan
leher, serta beberapa kanker paru-paru dan payudara. Faktor yang kemungkinan
berperan dalam peningkatan ekspresi COX-2 adalah sitokin, faktor pertumbuhan,
mediator inflamasi, agen perusak DNA dan agen oksidasi. Pada manusia dan model
binatang level COX-2 ditemukan lebih tinggi pada adenokarsinoma tipe intestinal
dibandingkan pada lesi prakanker seperti familial adenomatous polyposis . Mirip
25
pada beberapa karsinoma sel skuamous kepala dan leher, level COX-2, PG, seperti
PG2α, PGE2 dan metabolisnya ditemukan lebih tinggi daripada jaringan normal
(Divvella, 2010). Peningkatan ekspresi protein COX-2 sejalan dengan peningkatan
progresifitas invasi epitelium karsinoma nasofaring dari sel normal kemudian
menjadi displasia dan menjadi karsinoma (Widiastuti et al., 2011). Tidak ada
hubungan antara sub tipe histologi karsinoma nasofaring antara keratinizing
squamous cell carcinoma dan non keratinizing carcinoma dengan tampilan COX-2.
Didapatkan tampilan COX-2 sedang pada non keratinizing carcinoma dan derajat
tampilan sedang pada keratinizing squamous cell carcinoma. Sel kanker
mengekspresikan protein COX-2 dalam kadar tinggi dan ekspresi yang berlebihan
pada COX-2 berhubungan dengan prognosis yang buruk terutama pada
undifferentiated carcinoma nasopharynx (Tan dan Putti, 2005).
2.3.4 Peranan COX-2 pada Angiogenesis.
Angiogenesis merupakan proses pembentukan pembuluh darah baru yang
terjadi secara normal dan sangat penting dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan. Pertumbuhan jaringan pembuluh darah baru sangat penting untuk
proliferasai sel kanker, karena proliferasi bergantung pada suplai oksigen, zat
makanan dan pembuangan zat sisa yang adekuat. Angiogenesis juga berperan penting
dalam penyebaran sel kanker. Sel-sel kanker dapat menembus masuk ke dalam
pembuluh darah ataupun limfe, bersirkulasi melalui aliran vaskular, dan kemudian
berproliferasi pada tempat yang lain atau metastasis. Tanpa lintasan angiogenesis,
sebuah tumor hanya akan berkembang hingga memiliki diameter sekitar 1–2 mm, dan
26
setelah itu perkembangan tumor akan terhenti. Sebaliknya, dengan angiogenesis,
sebuah tumor akan berkembang hingga melampaui ukuran diameter 2 milimeter.
Oleh karena itu, sel tumor memiliki kemampuan untuk mensekresi protein yang dapat
mengaktivasi lintasan angiogenesis. Dari berbagai protein yang dapat mengaktivasi
lintasan angiogenesis seperti acidic fibroblast growth factor, angiogenin epidermal
growth factor, G-CSF, HGF, interleukin-8, placental growth factor, platelet-derived
endothelial growth factor, scatter factor, transforming growth factor-alpha, TNF-α
dan molekul kecil seperti adenosine 1-butyryl glycerol, nikotinamida, prostaglandin
E1 dan E2, terdapat dua protein yang sangat penting bagi pertumbuhan tumor yaitu
VEGF dan basic fibroblast growth factor (bFGF). Kedua protein ini disekresi oleh
berbagai jenis sel kanker dan beberapa jenis sel normal. (Nishida et al., 2006).
Sekresi VEGF atau bFGF akan mengikat pada sel endotelial dan mengaktivasi
sel tersebut untuk memicu lintasan metabolisme yang membentuk pembuluh darah
baru. Sel endotelial akan memproduksi sejumlah enzim MMP yang akan melakukan
degradasi terhadap jaringan matriks ekstraselular yang mengandung protein dan
polisakarida berfungsi sebagai jaringan ikat yang menyangga jaringan parenkim
dengan mengisi ruang di sela-sela selnya. Degradasi jaringan tersebut memungkinkan
sel endotelial bermigrasi menuju jaringan parenkim, melakukan proliferasi dan
diferensiasi menjadi jaringan pembuluh darah yang baru (Pang dan Poon, 2006).
Angiogenesis diperlukan untuk menstabilkan koloni tumor yang baru
terbentuk dan untuk menyokong pertumbuhan massa tumor. COX-2 dan PG
27
(misalnya PGE2 dan PGI2) merupakan faktor potensial yang penting pada
angiogenesis tumor. Cyclooxygenase-2 secara konsisten terekspresi dalam
pembentukan pembuluh darah baru dalam tumor dan pembuluh darah di sekitar. Efek
pro-angiogenik dari COX-2 dapat meningkatkan ekspresi dari VEGF.
Immunoreaktivitas COX-2 juga berhubungan dengan immunoreaktivitas VEGF pada
kanker kolorektal dan metastasis hati pada kanker kolorektal (Bertagnolli, 2008).
Overekspresi COX-2 berkorelasi dengan meningkatnya ekspresi VEGF pada
angiogenesis karsinoma hepatoselular. Penelitian ini memakai Heb-B HCC cell line,
merupakan sel hepatosit karsinoma yang membawa gen HBV. Clone Heb-B, yang
merupakan cell line dengan overekspresi COX-2 menunjukkan ekspresi VEGF yang
lebih tinggi dibandingkan dengan clone yang tidak mengekspresikan COX-2 (Zhao
et al., 2008).
2.3.5 Ekspresi COX-2 pada karsinoma nasofaring
Prostaglandin endoperoxidase sintesa-2 atau COX-2 adalah enzim kunci
dalam produksi prostaglandin. Enzim ini ditemukan meningkat pada bebagai
keganasan, seperti pada kolon, paru, payudara, kepala leher, dan dipengaruhi oleh
berbagai sitokin, hormon, dan promotor tumor. Prostaglandin dan isoenzim COX-2
dapat membantu proses karsinogenesis dengan merubah proses sel normal seperti
proliferasi sel, angiogenesis, apoptosis, imunomodulasi dan metabolism karsinogen.
Overproduksi dari PGE2 sebagai akibat peningkatan COX-2 juga dapat mengirimkan
sinyal yang tidak sesuai pada sel, sehingga merangsang pertumbuhan sel atau
mengurangi apoptosis (Zhao et al., 2008; Sonowane et al., 2011).
28
Analisis imunohistokimia memperlihatkan COX-2 terekspresi kuat pada sel-
sel ganas karsinoma nasofaring dan tidak terekspresi atau terekspresi lemah pada
nasofaring normal (Xu et al., 2006). Penelitian lain juga menyebutkan COX-2 kuat
pada karsinoma tiroid dan kolorektal (Ji et al., 2012). Penelitian yang dilakukan pada
vulva, ternyata COX-2 terekspresi paling tinggi pada inflamasi dibandingkan dengan
lesi displasia maupun kanker yang invasif, dan tidak berhubungan dengan
peningkatan derajat diferensiasi tumor (Mozes et al., 2005; Ristimaki et al., 2012).
Sel kanker mengekspresikan protein COX-2 dalam kadar tinggi dan ekspresi
yang berlebihan pada COX-2 berhubungan dengan prognosis yang buruk terutama
pada undifferentiated carcinoma nasopharynx. Peningkatan ekspresi protein COX-2
sejalan dengan peningkatan progresifitas invasi epitelium karsinoma nasofaring dari
sel normal kemudian menjadi displasia dan menjadi karsinoma (Widiastuti et al.,
2011).
2.4 Imunohistokimia
Imunohistokimia merupakan suatu proses mengidentifikasi protein spesifik
pada jaringan atau sel dengan menggunakan antibodi. Tempat pengikatan antara
antibodi dengan protein spesifik diidentifikasi dengan marker yang biasanya
dilekatkan pada antibodi dan bisa divisualisasi secara langsung atau dengan
mengidentifikasi marker. Marker dapat berupa senyawa berwarna, zat berfluoresensi,
logam berat, label radioaktif atau enzim (Anonim, 2012 ).
29
Terdapat dua metode dasar identifikasi antigen dalam jaringan dengan
imunohistokimia, yaitu metode langsung (direct method) dan tidak langsung (indirect
method).
a. Metode langsung (direct method)
Metode langsung merupakan metode pengecatan satu langkah karena hanya
melibatkan satu jenis antibodi, yaitu antibodi yang terlabel, contohnya anti serum
terkonjugasi fluorescein isothiocyanate (FITC) atau rodhamin.
b. Metode tidak langsung (indirect method).
Metode ini menggunakan dua macam antibodi, yaitu antibodi primer (tidak berlabel)
dan antibodi sekunder (berlabel). Antibodi primer bertugas mengenali antigen yang
diidentifikasi pada jaringan (first layer), sedangkan antibodi sekunder akan berikatan
dengan antibodi primer (second layer). Antibodi kedua merupakan anti-antibodi
primer. Pelabelan antibodi sekunder diikuti dengan penambahan substrat berupa
kromogen. Kromogen merupakan suatu gugus fungsi senyawa kimiawi yang dapat
membentuk senyawa berwarna bila bereaksi dengan senyawa tertentu. Penggunaan
kromogen fluorescent dye seperti FITC, rodhamin, dan Texas-red disebut metode
immunofluorescence, sedangkan penggunaan kromogen enzim seperti peroksidase,
alkali fosfatase, atau glukosa oksidase disebut metode immunoenzyme
(Anonim,2012).
Sel yang mengekspresikan COX-2 akan tampak berwarna coklat pada
sitoplasma sel ganas. Penilaian ekspresi COX-2 dibuat berdasarkan analisis
persentase sel tumor yang positif dan intensitas pewarnaan. Berdasarkan persentase
30
sel ganas yang menunjukkan overekspresi COX-2 maka dibagi menjadi 3 (0-3) yaitu:
0 (tidak terwarnai), 1 (<10% sel dari seluruh sel ganas terwarnai), 2 (10-50% sel dari
seluruh sel ganas terwarnai), 3 (> 50% sel dari seluruh sel ganas terwarnai).
Berdasarkan intensitas sel-sel ganas yang menunjukkan overeksprei COX-2 maka
dibagi menjadi 3 skala (0-3) yaitu: 0 (negatif), 1 (lemah), 2 (sedang), 3 (kuat) (Tan
dan Putti, 2005).
Skor persentase dari sel tumor, sesuai dengan penelitian sebelumnya
digunakan skor immunoreaktif, diperoleh dengan mengalikan skor % sel ganas yang
mengekspresikan COX-2 dengan skor intensitas. Skor imunoreaktif 4 atau lebih
dinilai sebagai ekspresi COX-2 positif, skor imunoreaktif kurang dari 4 dinyatakan
sebagai COX-2 negatif (Gambar 2.10) (Tan dan Putti, 2005).
Gambar 2.10
A. Lemah (intensitas 1 dari 3). B. Sedang (intensitas 2 dari 3). C. Kuat (intensitas
3 dari 3). D. Tidak terpulas COX-2 pada epitel nasofaring normal (Tan dan
Putti, 2007).
31
Antibodi primer CD31 mengenali glikoprotein 1000 Da pada sel endothelial
dan 130 kDa pada trombosit. CD31 bereaksi secara lemah dengan zona lapisan sel B,
sel T perifer dan neutrofil. CD31 dapat mendeteksi antigen yang berhubungan dengan
sel endotel vaskular dan telah digunakan sebagai penanda terhadap ganas atau jinak
suatu gangguan vaskular pada manusia, infiltrasi leukemia myeloid, dan megakariosit
dalam susum tulang normal. Ketika dibandingkan dengan faktor VIII dan CD34
penelitian menunjukkan bahwa CD31 merupakan penanda yang lebih unggul untuk
angiogenesis yang dilaporkan dapat memprediksi rekurensi tumor. CD31 bersama
dengan faktor VIII dan CD34 digunakan dalam panel pemeriksaan untuk
menandakan sarkoma Kaposi’s dan angiosarkoma. Kontrol CD31 terdapat pada
tonsil, angiosarkoma, atau karsinoma kolon. Sel yang mengekspresikan CD31 pada
sitoplasma dan membran (Anonim, 2009).
Untuk penghitungan microvessel density, pulasan CD31 dinilai pada pembesaran
lemah (10x) untuk area yang menunjukkan peningkatan pembuluh darah (hot spots).
Pada area hotspot dilihat pada pembesaran 400x dengan mikroskop cahaya binokuler
CX-21. Empat lapang pandang pada 1 slide dipilih untuk mewakili area seluas 1
mm2. Intratumoral dan peritumoral microvessel (pembuluh darah dengan diameter ˂
50μm tanpa lapisan muskular) dihitung jumlah microvessel pada masing-masing
empat lapang pandang, dan hasilnya digabungkan untuk mendapatkan
microvessel/mm2 (Gambar 2.11) (Taweevisit et al., 2010; Tan dan Putti, 2005).
32
Gambar 2.10.
A. Hasil pewarnaan imunohistokimia dengan hasil MVD tinggi dan B. MVD rendah
(Hasibuan, 2014).