bab ii tinjauan pustaka 2.1. anatomi nasofaring 2.pdf · 2 fossa rossenmuler yang terletak di apeks...

33
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan lubang sempit yang terletak pada belakang rongga hidung. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi occiput dan ruas pertama tulang belakang. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orificium dari tuba Eustachian berada pada dinding samping dan pada bagian depan belakang terdapat ruangan berbentuk koana yang disebut dengan torus tubarius (Roezin, 2007). 2.1.1 Anatomi Fossa rossenmuller terletak pada bagian atas dan samping dari torus tubarius merupakan tempat asal munculnya sebagian besar karsinoma nasofaring dan paling sensitif terhadap penyebaran keganasan pada nasofaring (Lu, 2006). Fossa rossenmuler mempunyai hubungan anatomi dengan sekitarnya, sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis KNF. Tepat di atas apeks dari fossa rossenmuler terdapat foramen laserum, yang berisi arteri karotis interna dengan sebuah lempeng tipis fibrokartilago. Lempeng ini mencegah penyebaran KNF ke sinus kavernosus melalui karotis yang berjalan naik (Roezin, 2007).

Upload: ngothuan

Post on 03-Sep-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan lubang sempit yang terletak pada belakang rongga

hidung. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi occiput

dan ruas pertama tulang belakang. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung

melalui koana. Orificium dari tuba Eustachian berada pada dinding samping dan pada

bagian depan belakang terdapat ruangan berbentuk koana yang disebut dengan torus

tubarius (Roezin, 2007).

2.1.1 Anatomi

Fossa rossenmuller terletak pada bagian atas dan samping dari torus tubarius

merupakan tempat asal munculnya sebagian besar karsinoma nasofaring dan paling

sensitif terhadap penyebaran keganasan pada nasofaring (Lu, 2006).

Fossa rossenmuler mempunyai hubungan anatomi dengan sekitarnya,

sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis KNF. Tepat di atas apeks dari fossa

rossenmuler terdapat foramen laserum, yang berisi arteri karotis interna dengan

sebuah lempeng tipis fibrokartilago. Lempeng ini mencegah penyebaran KNF ke

sinus kavernosus melalui karotis yang berjalan naik (Roezin, 2007).

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

2

Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan

tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi ruang ini menjadi 3 kompartemen,

yaitu : 1) kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis dan n. alveolaris

inferior; 2) kompartemen poststiloid, yang berisi sarung karotis; dan 3) kompartemen

retrofaring, yang berisi kelenjar Rouviere. Kompartemen retrofaring ini berhubungan

dengan kompartemen retrofaring kontralateral, sehingga pada keganasan nasofaring

mudah terjadi penyebaran menuju kelenjar limfa leher kontralateral. Lokasi fossa

rossenmuler yang demikian itu dan dengan sifat KNF yang invasif, menyebabkan

mudahnya terjadi penyebaran KNF ke daerah sekitarnya yang melibatkan banyak

struktur penting sehingga timbul berbagai macam gambaran klinis (Lu, 2006).

Lapisan mukosa ialah daerah nasofaring yang dilapisi oleh mukosa dengan

epitel kubus berlapis semu bersilia pada daerah dekat koana dan daerah di sekitar

atap, sedangkan pada daerah posterior dan inferior nasofaring terdiri dari epitel

skuamosa berlapis. Daerah dengan epitel transisional terdapat pada daerah pertemuan

antara atap nasofaring dan dinding lateral (Gambar 2.1). Lamina propria seringkali

diinfiltrasi oleh jaringan limfoid, sedangkan lapisa submukosa mengandung kelenjar

serosa dan mukosa (Roezin, 2007).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

3

Gambar 2.1.

Anatomi Nasofaring (Nancy, 2005)

2.1.2 Sistem Aliran Darah dan Sistem Saraf

Pembuluh darah arteri utama yang mensuplai daerah nasofaring adalah arteri

faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan cabang

faringeal arteri sfenopalatina (Gambar 2.2). Semua pembuluh darah tersebut berasal

dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di

bawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah

superior dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya (Nancy, 2005)

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

4

Gambar 2.2

Pendarahan Nasofaring (Nancy, 2005).

Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas otot

konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris saraf

glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion

servikalis simpatikus (Gambar 2.3). Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal

dari saraf glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim

tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina

yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1) (Nancy, 2005).

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

5

Gambar 2.3.

Persarafan Nasofaring (Nancy, 2005)

2.1.3 Sistem Limfatik

Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas. Kelompok

pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang terdapat pada ruang

retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan fasia

prevertebra. Pada dinding lateral terutama di daerah tuba Eustachius paling kaya akan

pembuluh limfe. Aliran limfenya berjalan ke arah anterosuperior dan bermuara di

kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi

rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, rantai kelenjar ini terletak di bawah otot

sternokleidomastoid pada tiap prosessus mastoid. Beberapa kelenjar dari rantai

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

6

jugular letaknya sangat dekat dengan saraf-saraf kranial terakhir yaitu saraf

IX,X,XI,XII. Metastase ke kelenjar limfe ini dapat terjadi sampai dengan 75%

penderita KNF, yang mana setengahnya datang dengan kelenjar limfe bilateral

(Roezin, 2007).

2.2 Undifferentiated carcinoma nasopharynx.

2.2.1 Epidemiologi

Angka kejadian karsinoma nasofaring cukup tinggi tergantung dari letak

geografisnya (Korcum et al., 2006). Berdasarkan data International Agency for

Research on Cancer (IARC) pada tahun 2002 ditemukan sekitar 80.000 kasus baru

KNF di seluruh dunia dan sekitar 50.000 kasus meninggal diantaranya adalah berasal

dari Cina sekitar 40% . Di Indonesia angka kejadian karsinoma nasofaring cukup

tinggi, yakni 4,7 kasus baru per tahun per 1000 penduduk dan memberikan hasil yang

beragam, dengan laki-laki lebih banyak menderita KNF daripada perempuan dengan

2,5:1. Kelompok umur yang terbanyak terjadi adalah pada umur 41-50 tahun

(Giordano et al., 2008). Berdasarkan data registrasi kanker tahun 2010 di Bali,

karsinoma nasofaring menempati peringkat kelima dari seluruh karsinoma pada laki-

laki dan perempuan dengan jumlah 70 kasus, pada laki-laki menempati peringkat

pertama dengan jumlah 47 kasus dari seluruh karsinoma. Umur rata-rata penderita

KNF yaitu 45-55 tahun. Rasio laki-laki : perempuan yaitu 2-3 : 1. Di Bali rasio umur

tebanyak usia 35-45 tahun sebanyak 13 kasus, yang kedua usia 45-54 tahun sebanyak

11 kasus, dan yang ketiga usia 55-64 tahun sebanyak 8 kasus (Anonim, 2010).

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

7

Insiden tertinggi dilaporkan berasal dari provinsi Guandong dan daerah Guangxi

Cina Selatan yaitu mencapai lebih dari 50 per 100.000 orang pertahun. Etnis Cina

yang bermigrasi ke luar negeri juga mempunyai angka insiden yang tinggi, tetapi

etnis Cina yang lahir di Amerika Utara, mempunyai angka insiden yang rendah

dibandingkan dengan yang lahir di Cina (Chou et al., 2008). Temuan ini

mengindikasikan bahwa faktor genetik, etnik, dan lingkungan memegang peranan

penting terhadap meningkatnya KNF (Korcum et al., 2006).

Angka kejadian karsinoma nasofaring di Singapura, persentase terbesar

mengenai masyarakat keturunan Tionghoa (18,5 per 100.000 penduduk) disusul oleh

keturunan Melayu (6,5% per 100.000) dan keturunan Hindustan (0,5 per 100.000).

Karsinoma nasofaring jarang terjadi di Amerika serikat dan Eropa, dengan angka

kejadian 1 per 100.000 penduduk per tahun (Lu, 2006)

2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko

Karsinoma nasofaring adalah suatu keganasan dengan etiologi multifaktorial.

Faktor yang diduga terkait dengan timbulnya karsinoma nasofaring adalah genetik,

faktor lingkungan dan Virus Ebstein Barr (Korcum et al., 2006).

1. Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring bukan tumor genetik, kerentanan terhadap

karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol, ras yang

banyak sekali menderitanya adalah bangsa China (Desen, 2008). Beberapa penulis

melaporkan adanya kecenderungan orang dengan tipe HLA tertentu dapat menderita

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

8

karsinoma nasofaring. Tingginya angka insiden KNF di daerah Cina Selatan, baik

yang tinggal di Cina atau yang sudah bermigrasi, dan angka insiden sedang pada

populasi keturunan Cina campuran, diduga mempunyai hubungan genetik dalam

terjadinya karsinoma nasofaring. Analisis genetik pada etnis China menunjukkan

Histo-Kompatibilitas Mayor pada lokus HLA-A2, B17 dan BW46 dengan

peningkatan risiko terjadinya karsinoma nasofaring sebanyak dua kali lipat. Tetapi

pada penelitan di Amerika Utara gagal menunjukkan lokus HLA dengan peningkatan

risiko peningkatan karsinoma nasofaring (Levine et al., 2008).

Polimorfik genetik dari gen CYP-2 F1 menunjukkan dapat terjadi pada daerah

Guandong-China. Ketika polimorfik genetik CYP-2 F1 diselidiki dan dibantu dengan

polimorfik genetik yang multipel dari satu atau beberapa gen lain maka berpotensial

untuk berkembang dan berprogresif menjadi karsinoma nasofaring. Gen XRCC-1

penting didalam DNA yang diperbaiki. Hipotesis bahwa nukleotida polimorfik

tunggal XRCC-1 (codons 194Arg → Trp dan 399Arg → Gln) dihubungkan dengan

risiko karsinoma nasofaring dan interaksi dengan rokok serta tembakau. Genotip

XRCC-1 Trp yang bervariasi berhubungan dengan risiko perkembangan karsinoma

nasofaring terutama pada pria yang merokok. Pada bagian lain, dengan adanya Cyclin

D1 (kunci regulasi dari siklus sel) dan diubahnya aktifitas menunjukkan

perkembangan karsinoma (Desen, 2008)

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

9

2. Lingkungan

Paparan ikan asin dan makanan yang mengandung volatile nitrosamine

berhubungan dengan terjadinya karsinoma nasofaring. Dan telah terbukti bahwa

mengkonsumsi ikan asin sejak anak-anak meningkatkan risiko KNF di Cina Selatan

(Can et al., 2005; Lin, 2006).

Faktor lingkungan lain yang merupakan faktor risiko terjadinya karsinoma

nasofaring adalah merokok. Orang yang merokok selama 10 tahun atau lebih

mempunyai risiko yang tinggi terhadap KNF. Penelitian menunjukkan adanya

paparan formaldehid bentuk uap dan asap yang terhirup berpengaruh paling besar

terhadap kejadian KNF, keduanya terbukti secara bersama-sama berpengaruh secara

signifikan terhadap kejadian KNF. Adanya radang kronik pada mukosa nasofaring

akan lebih mudah terpapar karsinogen lingkungan dan dapat menyebabkan karsinoma

nasofaring (Wee et al., 2010).

3. Virus Epstein Barr (VEB)

Virus Epstein-Barr adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dngan

timbulnya karsinoma nasofaring. Penderita karsinoma nasofaring terbukti terinfeksi

VEB dan genom virus dapat diidentifikasikan pada sel tumor. VEB merupakan suatu

virus gamma herpes yang mengandung DNA yang termasuk dalam keluarga herpes

viridae yang ditemukan oleh Ied Tony Epstein dan Yvone Barr pada tahun 1964.

Pada undifferentiated nasopharyng carcinoma, VEB menginfeksi sel epitel

nasofaring bagian posterior fossa Rosenmuller’s di Waldeyer’s ring. Walaupun

hubungan reseptor VEB pada sel epitel tidak tampak, tetapi permukaan protein

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

10

mengandung antigen yang dihubungkan dengan sel B. Reseptor CD21 dapat

diuraikan dan VEB banyak masuk ke sel nasofaring berupa igA-mediated

endocytosis. VEB dapat juga dideteksi pada karsinoma insitu, suatu prekursor

undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Infeksi laten VEB sangat penting dalam

perkembangan menuju displasia yang berat pada KNF. Displasia merupakan lesi awal

yang dapat terdeteksi, yang diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa karsinogen

lingkungan. Hal ini berkaitan dengan kehilangan alel pada lengan pendek kromosom

3 dan 9 yang menyebabkan inaktivasi beberapa tumor suppressor genes, terutama

p14, p15, p16. Karsinogen yang berkaitan belum ditemukan dengan perkembangan

KNF. Area displasia ini merupakan asal dari tumor namun belum cukup untuk

menyebabkan perkembangan yang progresif. Pada stadium laten, infeksi VEB dapat

mengacu pada perkembangan displasia yang lebih berat. Didapatkan kerusakan gen

pada kromosom 12 dan kehilangan alel pada 11q, 13q, dan 16q dapat memicu

terjadinya kanker invasif dan metastasis sering dihubungkan dengan mutasi p53 dan

ekspresi chaderin yang menyimpang (gambar 2.4) (Korcum et al., 2006).

EBNA1 dan LMP1 yang merupakan produk onkogen VEB terbukti

menyebabkan transformasi dan imortalisasi limfosit B. Adanya partikel VEB pada

jaringan tumor spesimen biopsi penderita KNF secara konsisten, mendukung

hipotesis VEB sebagai faktor etiologi utama pada KNF (Hsiao et al., 2009).

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

11

Gambar 2.4

Pathogenesis karsinoma nasofaring (Tao, 2007)

2.2.3 Klasifikasi

Klasifikasi WHO tahun 1978 untuk karsinoma nasofaring (1) Keratinizing

squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin atau intercellular bridge

atau keduanya. (2) Non Keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai dengan

batas sel yang jelas (pavement cell pattern). (3) Undifferentiated carcinoma ditandai

oleh pola pertumbuhan sinsitial, sel-sel polygonal berukuran besar atau sel dengan

bentuk spindel, anak inti yang menonjol dan stroma dengan infiltrasi sel-sel radang

limfosit. Sedangkan klasifikasi WHO tahun 2005 membagi karsinoma nasofaring

menjadi (1) Keratinizing squamous cell carcinoma. Tipe KNF ini menunjukkan

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

12

diferensiasi skuamous dengan adanya intercellular bridges, dan keratin dalam

gambaran histologinya; (2) Nonkeratinizing carcinoma yang mencakup tipe

berdiferensiasi dan tipe tidak berdiferensiasi (undifferentiated). Tumor ini umumnya

lebih radiosensitif dan mempunyai hubungan yang kuat dengan EBV. (2.1)

Differentiated nonkeratinizing carcinoma. Sel-sel tumor menunjukkan diferensiasi

dengan maturasi sel skuamous. (2.2.) Undifferentiated carcinoma. Sel-sel tumor

dengan bentuk inti oval atau bulat vesikular dengan anak inti menonjol. Batas antar

sel tidak jelas dan dengan hubungan antar sel yang sinsitial; (3). Basaloid squamous

cell carcinoma. Merupakan tipe histologi yang jarang, terdiri dari komponen basaloid

dan komponen skuamous (Chan et al., 2005).

2.2.4. Gambaran Klinis

Gejala dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan

infeksi saluran nafas atas. Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan

gejala telinga. Ini terjadi karena tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring.

Timbul keluhan pilek berulang dengan ingus yang bercampur darah. Kadang-kadang

dapat dijumpai epistaksis. Tumor juga dapat menyumbat muara tuba eustachius,

sehingga pasien mengeluhkan rasa penuh di telinga, rasa berdenging kadang-kadang

disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini umumnya unilateral, dan

merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma nasofaring. Sehingga bila timbul

berulang-ulang dengan penyebab yang tidak diketahui perlu diwaspadai sebagai

karsinoma nasofaring (Roezin, 2007).

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

13

Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas sehingga

pada umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan karena tumor primer

telah meluas ke organ sekitar nasofaring atau mengadakan metastasis regional ke

kelenjar getah bening servikal (Roezin, 2007).

Menurut Formula Digby (Tabel 2.1), setiap gejala klinis mempunyai nilai

diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan karsinoma nasofaring. Bila

jumlah nilai mencapai 50, diagnosis klinik karsinoma nasofaring dapat dipertanggung

jawabkan (Roezin, 2005).

Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi tumor

primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnostik histopatologi, juga

menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan

prognosis (Roezin, 2007).

Tabel 2.1.

Formula Digby (Roezin, 2005)

GEJALA KLINIK NILAI

Dapat dilihat atau diraba tumor padat dalam nasofaring 25

Kelenjar limfe leher membesar 25

Gejala khas hidung (epistaksis, obstruksi) 15

Gejala khas telinga (kurang pendengaran, tinnitus) 5

Paralisis satu atau lebih syaraf otak (diplopia, neuralgia, trigeminus) 5

Sakit kepala mulai unilateral 5

Eksoptalmus unilateral/ bengkak di rahang/ bengkak di temporal 5

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

14

2.2.5 Gambaran Morfologi

2.2.5.1 Makroskopis

Tumor dapat berupa massa yang menonjol pada mukosa dan memiliki

permukaan halus, bernodul dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan atau massa

yang menggantung dan infiltratif. Namun terkadang tidak dijumpai lesi pada

nasofaring (Chan et al., 2005).

2.2.5.2 Mikroskopis Undifferentiated carcinoma nasopharynx.

Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma nasopharynx memperlihatkan

gambaran sinsitial dengan batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan

vesikular, dijumpai anak inti. Sel-sel tumor sering tampak terlihat tumpang tindih.

Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai infiltrat sel radang dalam

jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga sebagai

lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma,

eosinofil, epiteloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang) (Chan et al.,

2005).

Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiated yaitu tipe

Regauds, yang terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang

dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfosit (Gambar 2.5). Yang kedua

tipe Schmincke, sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus dan bercampur dengan sel-

sel radang (Gambar 2.6). Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell malignant

lymphoma (Chan et al., 2005)

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

15

Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan antara

karsinoma nasofaring dan large cell malignant lymphoma, dimana inti dari

karsinoma nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan

berjumlah satu, dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophilik. Inti dari malignant

lymphoma biasanya pinggirnya lebih iregular, kromatin kasar dan anak inti lebih

kecil dan berwarna basofilik atau amphofilik. Terkadang undifferentiated memiliki

sel-sel dengan bentuk oval atau spindel (Chan et al., 2005).

Gambar 2.5.

Undifferentiated carcinoma “Regaud type”, terdiri dari sel-sel yang membentuk

sarang-sarang padat (Chan, 2005)

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

16

Gambar 2.6.

Undifferentiated carcinoma “Schmincke type”, terdiri sel-sel yang tumbuh

membentuk gambaran sinsisial yang difus (Chan, 2005)

2.2.6. Pemeriksaan Penunjang

2.2.6.1. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara

rinoskopi posterior, nasofaringoskopi serta fibernaso faringoskopi (Roezin, 2007).

2.2.6.2 Radiologi

Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor yang

menginvasi pada jaringan sekitarnya dengan menggunakan :

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

17

1. Computed Tomografi (CT), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan ikat

lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif mendeteksi

erosi tulang, terutama pada dasar tengkorak.

2. Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging yang

multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan tumor dari

peradangan. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi metastase pada

retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor

ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat mendeteksinya (Roezin, 2007).

2.2.6.3 Serologi

Ekspresi spesifik viral messenger RNAs atau produk gen secara konsisten

dapat dideteksi pada tumor dengan pemeriksaan insitu hibridisasi dan tekhnik

imunohistokimia. Dapat juga dideteksi dengan tekhnik PCR pada material yang

diperoleh pada dari aspirasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah bening

leher (Chan et al., 2005).

2.2.6.4. Pemeriksaan Patologi

1. Biopsi aspirasi jarum halus pada kelenjar getah bening serikalis

Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan sitologi

biopsi aspirasi kelenjar getah bening servikalis (Chan et al., 2005)

2. Biopsi

Konfirmasi pasti diagnosis KNF diperoleh dari hasil biopsi positif yang

diambil dari tumor di nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari

hidung dan dari mulut (Chan et al., 2005).

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

18

2.2.7 Penatalaksanaan

National Comprehensive Cancer Network (2010), mengajukan suatu skema

penatalaksanaan karsinoma nasofaring (Gambar 2.7) dengan kombinasi kemoterapi

dan radioterapi (Yang et al,2012).

Gambar 2.7

Terapi Karsinoma Nasofaring berdasarkan NCCN (2010)

2.2.7.1 Radioterapi

Radioterapi sebagai gold standard untuk karsinoma nasofaring sudah dimulai

sejak lama. Hasil radioterapi untuk karsinoma nasofaring dini sebenarnya cukup baik,

respon lengkap sekitar 80%-100%. Sedangkan untuk karsinoma nasofaring stadium

lanjut loko regional, respon radioterapi menurun tajam dengan angka ketahanan hidup

5 tahun yang kurang dari 40%. Respon tumor terhadap radioterapi secara keseluruhan

sebesar 25%-65% (Chang, 2006). Radioterapi sebagai terapi utama pada karsinoma

nasofaring diberikan untuk yang belum ada metastasis jauh. Radiasi yang diberikan

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

19

diharapkan dapat memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang kelangsungan

hidup penderita (Qu et al., 2012)

Pertimbangan pemilihan radiasi sebagai pengobatan pilihan utama untuk

karsinoma nasofaring terutama didasarkan fakta bahwa secara histopatologis

kebanyakan (75%-95%) karsinoma dari jenis undifferentiated carcinoma

nasopharynx yang sangat radiosensitif. Alasan lainnya adalah faktor anatomi

nasofaring yang terletak di dasar tengkorak dengan banyak organ vital menyebabkan

tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh daerah bebas tumor (free margin)

sangat sulit (Qu et al., 2012).

2.2.7.2. Kemoterapi

Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata

dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada

keadaan kambuh (Tang et al., 2011).

2.2.7.3. Operasi

Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher

radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar

pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer

sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi.

(Feng et al., 2010).

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

20

2.2.7.4. Imunoterapi

Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring

adalah virus Epstein-Barr, maka penderita karsinoma nasofaring dapat diimunoterapi

(Feng et al., 2010).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian penghambat COX-2

terhadap penderita tumor memberikan hasil yang positif melalui efek kemopreventif

dan radiosensititizer. Pemberian penghambat COX-2 dapat meningkatkan efek terapi

standar serta mengurangi progresivitas KNF.

2.2.8 Prognosis

Angka ketahanan hidup dipengaruhi oleh usia (lebih baik pada pasien usia

muda), staging klinik dan lokasi dari metatasis regional ( lebih baik pada yang

homolateral dibandingkan pada metastasis kontralateral dan metastasis yang terbatas

pada leher atas dibandingkan dari leher bawah). Studi terakhir dengan menggunakan

TNM Staging System menunjukkan 5 years survival rate untuk stadium I 98%,

stadium II A-B 95%, stadium III 86%, dan stadium IV A-B 73%. Secara

mikroskopis, prognosis lebih buruk pada keratinizing squamous cell carcinoma

dibandingkan dengan yang lainnya (Roezin, 2005).

Untuk non keratinizing squamous cell carcinoma, prognosis buruk bila

dijumpai anaplasia dan atau plemorfism, proliferasi sel yang tinggi ( dihitung dari

mitotik atau dengan proliferasi yang dihubungkan dengan marker imunohistokimia ),

sedikitnya jumlah sel radang limfosit, tingginya densitas dari S-100 protein yang

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

21

positif untuk sel-sel dendritik, dijumpai banyak pembuluh darah kecil, dijumpai

ekspresi Her2/neu (Roezin, 2005).

2.3 Cyclooxygenase-2

2.3.1 Biologi Cyclooxygenase

Cyclooxygenase atau prostaglandin H2 synthase (PGHS) merupakan enzim

yang mengkatalisis dua langkah awal yaitu siklooksigenasi dan peroksidasi pada

biosintesis prostaglandin (PG) dari asam arakhidonat (AA) . Asam arakhidonat (20-

carbon polyunsaturated fatty acid) merupakan prekursor dari prostaglandin dan

ditemukan hampir sebagian besar pada membran fosfolipid dari sel (Sonawane et al.,

2011).

Biosintesis prostaglandin terjadi melalui tiga langkah. Langkah pertama pada

sintesis prostaglandin adalah hidrolisis fosfolipid untuk menghasilkan arakhidonat

bebas dimana reaksi ini dikatalisasi oleh fosfolipase A. Langkah berikutnya

merupakan reaksi kunci yang dikatalisasi oleh COX dimana dua molekul oksigen

diinsersikan ke dalam asam arakhidonat untuk menghasilkan prostaglandin G2

(PGG2) intermediate yang tidak stabil dan kemudian secara cepat dikonversi menjadi

prostaglandin H2 (PGH2) oleh aktivitas peroksidase dari COX. Langkah ketiga

terjadi saat spesifik isomerase mengubah PGH2 menjadi berbagai prostaglandin

lainnya seperti PGE2, prostaglandin F2α (PGF2α), prostaglandin D2 (PGD2),

prostasiklin (PGI2) dan tromboksan (TXA2) (Gambar 2.8) ( Sonawane et al., 2011;

Zarghi dan Arfaei, 2011).

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

22

Gambar 2.8

Metabolisme Asam Arakidonat Melalui Kerja COX (Sonowane et al., 2011)

Cyclooxygenase merupakan bagian integral dari membran terutama membran

mikrosomal. Melalui pemeriksaan mikroskop fluorescence dan tehnik pewarnaan

histofluoresence menunjukkan bahwa Cyclooxygenase-1 (COX-1) dan COX-2

berlokasi pada retikulum endoplasma dan membran inti, COX-2 konsentrasinya lebih

tinggi pada membran inti (Stasinopoulos, 2008).

Saat ini diketahui ada 3 family enzim ini yaitu COX-1, COX-2, dan yang

terbaru diidentifikasi adalah Cyclooxygenase-3 (COX-3), yang memiliki kesamaan

aktivitas enzimatik tetapi memiliki fungsi dan pola ekspresi yang berbeda. COX-1

dan COX-2 mempunyai perbedaan dalam kemampuannya untuk memakai sumber

asam arakhidonat endogen, baik pada sel fibroblast maupun pada sel immune. COX-

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

23

2 dapat memanfaatkan asam arakhidonat endogen dan Cox-1 tidak. Hal yang paling

penting membedakan antara COX-1 dan COX-2 adalah perbedaan regulasi dari

ekspresi dan distribusinya pada jaringan. COX-3 merupakan varian dari COX-1,

mRNA COX-3 pada manusia memiliki panjang 5,2 kb. COX-1, COX-2, dan COX-3

memiliki persamaan yaitu responnya tergantung dari rangsangan hormon, faktor

pertumbuhan, pharbol ester, faktor inflamasi dan sitokin (Bertagnolli, 2008; Zhao et

al, 2008).

2.3.2 Cyclooxygenase, Prostaglandin, Karsinoma

Family COX adalah enzim yang terdiri dari 2 anggota, COX-1 adalah enzim

yang terekspresi di banyak organ dan COX-2 hanya terekspresi pada jaringan tertentu

saja, termasuk plasenta, otak dan ginjal. Dimana COX-2 ekspresinya meningkat oleh

sejumlah rangsangan, termasuk sitokin, faktor pertumbuhan dan onkogen (Howe,

2007; Surowiak, 2010).

Kedua enzim COX ini mengkatalisis asam arakidonat menjadi PGG2 dan

sesudah itu menjadi PGH2, yang berperan sebagai substrat untuk isomerisasi

multipel yang secara sendirinya berespon untuk generasi untuk menghasilkan

eikosanoid, termasuk PGE2, PGI2 dan TXA2. Prostaglandin terutama PGE2 akan

memodulasi terbentuknya tumor. Misalnya PGE2 berikatan secara spesifik dengan

reseptor protein G-couple reseptor pada permukaan sel epitel, dan akan menstimulasi

rangkaian sinyal pertumbuhan dan motilitas. Didalam sel-sel epitel PGE2 akan

menekan apoptosis dengan meningkatkan ekspresi BCL2 dan juga meningkatkan

ekspresi Mitogen-Activated Protein Kinase (MAPK) yang dapat meningkatkan

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

24

migrasi sel atau lebih invasif dan mengaktivasi Epidermal Growth Factor Reseptor

(EGFR). Selanjutnya, PGE2 akan menginduksi angiogenesis, sehingga memiliki

kemampuan untuk tumbuh dan bermetastasis (Howe, 2007).

Gambar 2.9

Peranan COX-2 pada Perkembangan Karsinoma (Klimek et al., 2009)

2.3.3 Peranan COX-2 pada Karsinoma Nasofaring

Beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa level enzim COX-2 meningkat pada

beberapa kanker, seperti karsinoma kolorektal, karsinoma sel skuamous kepala dan

leher, serta beberapa kanker paru-paru dan payudara. Faktor yang kemungkinan

berperan dalam peningkatan ekspresi COX-2 adalah sitokin, faktor pertumbuhan,

mediator inflamasi, agen perusak DNA dan agen oksidasi. Pada manusia dan model

binatang level COX-2 ditemukan lebih tinggi pada adenokarsinoma tipe intestinal

dibandingkan pada lesi prakanker seperti familial adenomatous polyposis . Mirip

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

25

pada beberapa karsinoma sel skuamous kepala dan leher, level COX-2, PG, seperti

PG2α, PGE2 dan metabolisnya ditemukan lebih tinggi daripada jaringan normal

(Divvella, 2010). Peningkatan ekspresi protein COX-2 sejalan dengan peningkatan

progresifitas invasi epitelium karsinoma nasofaring dari sel normal kemudian

menjadi displasia dan menjadi karsinoma (Widiastuti et al., 2011). Tidak ada

hubungan antara sub tipe histologi karsinoma nasofaring antara keratinizing

squamous cell carcinoma dan non keratinizing carcinoma dengan tampilan COX-2.

Didapatkan tampilan COX-2 sedang pada non keratinizing carcinoma dan derajat

tampilan sedang pada keratinizing squamous cell carcinoma. Sel kanker

mengekspresikan protein COX-2 dalam kadar tinggi dan ekspresi yang berlebihan

pada COX-2 berhubungan dengan prognosis yang buruk terutama pada

undifferentiated carcinoma nasopharynx (Tan dan Putti, 2005).

2.3.4 Peranan COX-2 pada Angiogenesis.

Angiogenesis merupakan proses pembentukan pembuluh darah baru yang

terjadi secara normal dan sangat penting dalam proses pertumbuhan dan

perkembangan. Pertumbuhan jaringan pembuluh darah baru sangat penting untuk

proliferasai sel kanker, karena proliferasi bergantung pada suplai oksigen, zat

makanan dan pembuangan zat sisa yang adekuat. Angiogenesis juga berperan penting

dalam penyebaran sel kanker. Sel-sel kanker dapat menembus masuk ke dalam

pembuluh darah ataupun limfe, bersirkulasi melalui aliran vaskular, dan kemudian

berproliferasi pada tempat yang lain atau metastasis. Tanpa lintasan angiogenesis,

sebuah tumor hanya akan berkembang hingga memiliki diameter sekitar 1–2 mm, dan

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

26

setelah itu perkembangan tumor akan terhenti. Sebaliknya, dengan angiogenesis,

sebuah tumor akan berkembang hingga melampaui ukuran diameter 2 milimeter.

Oleh karena itu, sel tumor memiliki kemampuan untuk mensekresi protein yang dapat

mengaktivasi lintasan angiogenesis. Dari berbagai protein yang dapat mengaktivasi

lintasan angiogenesis seperti acidic fibroblast growth factor, angiogenin epidermal

growth factor, G-CSF, HGF, interleukin-8, placental growth factor, platelet-derived

endothelial growth factor, scatter factor, transforming growth factor-alpha, TNF-α

dan molekul kecil seperti adenosine 1-butyryl glycerol, nikotinamida, prostaglandin

E1 dan E2, terdapat dua protein yang sangat penting bagi pertumbuhan tumor yaitu

VEGF dan basic fibroblast growth factor (bFGF). Kedua protein ini disekresi oleh

berbagai jenis sel kanker dan beberapa jenis sel normal. (Nishida et al., 2006).

Sekresi VEGF atau bFGF akan mengikat pada sel endotelial dan mengaktivasi

sel tersebut untuk memicu lintasan metabolisme yang membentuk pembuluh darah

baru. Sel endotelial akan memproduksi sejumlah enzim MMP yang akan melakukan

degradasi terhadap jaringan matriks ekstraselular yang mengandung protein dan

polisakarida berfungsi sebagai jaringan ikat yang menyangga jaringan parenkim

dengan mengisi ruang di sela-sela selnya. Degradasi jaringan tersebut memungkinkan

sel endotelial bermigrasi menuju jaringan parenkim, melakukan proliferasi dan

diferensiasi menjadi jaringan pembuluh darah yang baru (Pang dan Poon, 2006).

Angiogenesis diperlukan untuk menstabilkan koloni tumor yang baru

terbentuk dan untuk menyokong pertumbuhan massa tumor. COX-2 dan PG

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

27

(misalnya PGE2 dan PGI2) merupakan faktor potensial yang penting pada

angiogenesis tumor. Cyclooxygenase-2 secara konsisten terekspresi dalam

pembentukan pembuluh darah baru dalam tumor dan pembuluh darah di sekitar. Efek

pro-angiogenik dari COX-2 dapat meningkatkan ekspresi dari VEGF.

Immunoreaktivitas COX-2 juga berhubungan dengan immunoreaktivitas VEGF pada

kanker kolorektal dan metastasis hati pada kanker kolorektal (Bertagnolli, 2008).

Overekspresi COX-2 berkorelasi dengan meningkatnya ekspresi VEGF pada

angiogenesis karsinoma hepatoselular. Penelitian ini memakai Heb-B HCC cell line,

merupakan sel hepatosit karsinoma yang membawa gen HBV. Clone Heb-B, yang

merupakan cell line dengan overekspresi COX-2 menunjukkan ekspresi VEGF yang

lebih tinggi dibandingkan dengan clone yang tidak mengekspresikan COX-2 (Zhao

et al., 2008).

2.3.5 Ekspresi COX-2 pada karsinoma nasofaring

Prostaglandin endoperoxidase sintesa-2 atau COX-2 adalah enzim kunci

dalam produksi prostaglandin. Enzim ini ditemukan meningkat pada bebagai

keganasan, seperti pada kolon, paru, payudara, kepala leher, dan dipengaruhi oleh

berbagai sitokin, hormon, dan promotor tumor. Prostaglandin dan isoenzim COX-2

dapat membantu proses karsinogenesis dengan merubah proses sel normal seperti

proliferasi sel, angiogenesis, apoptosis, imunomodulasi dan metabolism karsinogen.

Overproduksi dari PGE2 sebagai akibat peningkatan COX-2 juga dapat mengirimkan

sinyal yang tidak sesuai pada sel, sehingga merangsang pertumbuhan sel atau

mengurangi apoptosis (Zhao et al., 2008; Sonowane et al., 2011).

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

28

Analisis imunohistokimia memperlihatkan COX-2 terekspresi kuat pada sel-

sel ganas karsinoma nasofaring dan tidak terekspresi atau terekspresi lemah pada

nasofaring normal (Xu et al., 2006). Penelitian lain juga menyebutkan COX-2 kuat

pada karsinoma tiroid dan kolorektal (Ji et al., 2012). Penelitian yang dilakukan pada

vulva, ternyata COX-2 terekspresi paling tinggi pada inflamasi dibandingkan dengan

lesi displasia maupun kanker yang invasif, dan tidak berhubungan dengan

peningkatan derajat diferensiasi tumor (Mozes et al., 2005; Ristimaki et al., 2012).

Sel kanker mengekspresikan protein COX-2 dalam kadar tinggi dan ekspresi

yang berlebihan pada COX-2 berhubungan dengan prognosis yang buruk terutama

pada undifferentiated carcinoma nasopharynx. Peningkatan ekspresi protein COX-2

sejalan dengan peningkatan progresifitas invasi epitelium karsinoma nasofaring dari

sel normal kemudian menjadi displasia dan menjadi karsinoma (Widiastuti et al.,

2011).

2.4 Imunohistokimia

Imunohistokimia merupakan suatu proses mengidentifikasi protein spesifik

pada jaringan atau sel dengan menggunakan antibodi. Tempat pengikatan antara

antibodi dengan protein spesifik diidentifikasi dengan marker yang biasanya

dilekatkan pada antibodi dan bisa divisualisasi secara langsung atau dengan

mengidentifikasi marker. Marker dapat berupa senyawa berwarna, zat berfluoresensi,

logam berat, label radioaktif atau enzim (Anonim, 2012 ).

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

29

Terdapat dua metode dasar identifikasi antigen dalam jaringan dengan

imunohistokimia, yaitu metode langsung (direct method) dan tidak langsung (indirect

method).

a. Metode langsung (direct method)

Metode langsung merupakan metode pengecatan satu langkah karena hanya

melibatkan satu jenis antibodi, yaitu antibodi yang terlabel, contohnya anti serum

terkonjugasi fluorescein isothiocyanate (FITC) atau rodhamin.

b. Metode tidak langsung (indirect method).

Metode ini menggunakan dua macam antibodi, yaitu antibodi primer (tidak berlabel)

dan antibodi sekunder (berlabel). Antibodi primer bertugas mengenali antigen yang

diidentifikasi pada jaringan (first layer), sedangkan antibodi sekunder akan berikatan

dengan antibodi primer (second layer). Antibodi kedua merupakan anti-antibodi

primer. Pelabelan antibodi sekunder diikuti dengan penambahan substrat berupa

kromogen. Kromogen merupakan suatu gugus fungsi senyawa kimiawi yang dapat

membentuk senyawa berwarna bila bereaksi dengan senyawa tertentu. Penggunaan

kromogen fluorescent dye seperti FITC, rodhamin, dan Texas-red disebut metode

immunofluorescence, sedangkan penggunaan kromogen enzim seperti peroksidase,

alkali fosfatase, atau glukosa oksidase disebut metode immunoenzyme

(Anonim,2012).

Sel yang mengekspresikan COX-2 akan tampak berwarna coklat pada

sitoplasma sel ganas. Penilaian ekspresi COX-2 dibuat berdasarkan analisis

persentase sel tumor yang positif dan intensitas pewarnaan. Berdasarkan persentase

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

30

sel ganas yang menunjukkan overekspresi COX-2 maka dibagi menjadi 3 (0-3) yaitu:

0 (tidak terwarnai), 1 (<10% sel dari seluruh sel ganas terwarnai), 2 (10-50% sel dari

seluruh sel ganas terwarnai), 3 (> 50% sel dari seluruh sel ganas terwarnai).

Berdasarkan intensitas sel-sel ganas yang menunjukkan overeksprei COX-2 maka

dibagi menjadi 3 skala (0-3) yaitu: 0 (negatif), 1 (lemah), 2 (sedang), 3 (kuat) (Tan

dan Putti, 2005).

Skor persentase dari sel tumor, sesuai dengan penelitian sebelumnya

digunakan skor immunoreaktif, diperoleh dengan mengalikan skor % sel ganas yang

mengekspresikan COX-2 dengan skor intensitas. Skor imunoreaktif 4 atau lebih

dinilai sebagai ekspresi COX-2 positif, skor imunoreaktif kurang dari 4 dinyatakan

sebagai COX-2 negatif (Gambar 2.10) (Tan dan Putti, 2005).

Gambar 2.10

A. Lemah (intensitas 1 dari 3). B. Sedang (intensitas 2 dari 3). C. Kuat (intensitas

3 dari 3). D. Tidak terpulas COX-2 pada epitel nasofaring normal (Tan dan

Putti, 2007).

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

31

Antibodi primer CD31 mengenali glikoprotein 1000 Da pada sel endothelial

dan 130 kDa pada trombosit. CD31 bereaksi secara lemah dengan zona lapisan sel B,

sel T perifer dan neutrofil. CD31 dapat mendeteksi antigen yang berhubungan dengan

sel endotel vaskular dan telah digunakan sebagai penanda terhadap ganas atau jinak

suatu gangguan vaskular pada manusia, infiltrasi leukemia myeloid, dan megakariosit

dalam susum tulang normal. Ketika dibandingkan dengan faktor VIII dan CD34

penelitian menunjukkan bahwa CD31 merupakan penanda yang lebih unggul untuk

angiogenesis yang dilaporkan dapat memprediksi rekurensi tumor. CD31 bersama

dengan faktor VIII dan CD34 digunakan dalam panel pemeriksaan untuk

menandakan sarkoma Kaposi’s dan angiosarkoma. Kontrol CD31 terdapat pada

tonsil, angiosarkoma, atau karsinoma kolon. Sel yang mengekspresikan CD31 pada

sitoplasma dan membran (Anonim, 2009).

Untuk penghitungan microvessel density, pulasan CD31 dinilai pada pembesaran

lemah (10x) untuk area yang menunjukkan peningkatan pembuluh darah (hot spots).

Pada area hotspot dilihat pada pembesaran 400x dengan mikroskop cahaya binokuler

CX-21. Empat lapang pandang pada 1 slide dipilih untuk mewakili area seluas 1

mm2. Intratumoral dan peritumoral microvessel (pembuluh darah dengan diameter ˂

50μm tanpa lapisan muskular) dihitung jumlah microvessel pada masing-masing

empat lapang pandang, dan hasilnya digabungkan untuk mendapatkan

microvessel/mm2 (Gambar 2.11) (Taweevisit et al., 2010; Tan dan Putti, 2005).

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi

32

Gambar 2.10.

A. Hasil pewarnaan imunohistokimia dengan hasil MVD tinggi dan B. MVD rendah

(Hasibuan, 2014).

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Nasofaring 2.pdf · 2 Fossa rossenmuler yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi