bab ii tinjauan pustaka 1.1 penelitian...
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Penelitian Terdahulu
Damoerin, dkk (2011), menguji pengaruh cerucuk dalam skala laboratorium
dengan media tanah komposit. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
perkuatan tanah dengan cerucuk pada tanah komposit. Penelitian ini
menitikberatkan pada pengaruh panjang dan diameter cerucuk terhadap tegangan
deviator (deviator stress) terhadap regangan (strain). Hasil penelitian
disimpulkan, penambahan cerucuk memberikan pengaruh pada peningkatan nilai
kohesi (c’) dan penurunan nilai sudut geser ( ). Penggunaan cerucuk panjang
menghasilkan nilai kohesi terbesar pada tanah komposit.
Yudiawati dan Marzuki (2011), melakukan pengujian lapangan dengan
menggunakan pondasi bujursangkar lebar (B) = 1 m dan diameter cerucuk 5 cm.
Pengujian ini bertujuan mengetahui pengaruh variasi jarak, variasi panjang
cerucuk, dan variasi luas area cerucuk terhadap penurunan. Hasil pemberian
cerucuk di sekitar area pondasi meningkatkan daya dukung pondasi dan
mengurangi penurunan yang terjadi.
Hadi, 1990 dalam Muhrozi 2011 melakukan penelitian studi daya dukung
tiang cerucuk pada model skala kecil difokuskan pada daya dukung pondasi
telapak bercerucuk dengan ukuran 20 x 20 cm2. Penelitian ini menggunakan alat
vane shear test untuk mengukur kohesi tanah akibat pemasangan cerucuk. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa jarak tiang cerucuk yang lebih dekat/pendek serta
jumlah cerucuk yang semakin banyak akan menyebabkan terjadinya peningkatan
daya dukung pondasi telapak yang cukup besar (https://www.box.com/s, 31
Oktober 2012).
Putra, dkk (2009), melakukan penelitian laboratorium dengan menggunakan
cerucuk bambu diameter 0,3 cm dan panjang 7,5 cm – 15 cm. Penelitian ini
didasarkan pada variasi panjang dan diameter cerucuk serta pengaruh model
pemasangan cerucuk, yaitu secara horisontal dan vertikal dan dimasukkan dalam
5
alat kuat tekan bebas (unconfined strength test). Berdasarkan hasil penelitian
kekuatan cerucuk vertikal lebih baik dari horisontal, makin panjang dan rapat
cerucuk maka kekuatan makin tinggi, serta kadar air makin rendah
(http://www.websipil.com/url, diakses 6 Juli 2013).
Tjandra (2009), melakukan penelitian perkuatan pondasi lama akibat
pembangunan pondasi baru. Penelitian ini didasarkan pada pengaruh galian yang
dilakukan dekat bangunan lama. Pondasi lama pada penelitian ini berupa pondasi
telapak dan pondasi tiang. Perkuatan yang dipakai adalah Cylinder Type Sheet
Pile (CTSP). Berdasarkan hasil penelitian pemasangan CTSP pada pondasi
bangunan lama akan secara signifikan mengurangi penurunan yang terjadi pada
pondasi footing dan pondasi tiang (http://repository.petra.ac.id, 18 Juli 2013).
Prawono, dkk (1999), melakukan penelitian sudut penyebaran beban pada
tanah lempung. Penelitian dimodelkan dalam skala laboratorium, dimana tanah
lempung diisi dalam sebuah drum dan dilapisi pasir urug di atasnya. Penelitian ini
menunjukkan bahwa sudut penyebaran beban tergantung dari pasir urug yang
dipakai, semakin padat pasir urug semakin besar sudut penyebaran yang terjadi
(http://cpanel.petra.ac.id/ejournal, 18 Juli 2013).
1.2 Tanah
Tanah adalah himpunan mineral, bahan organik, dan endapan-endapan yang
relatif lepas (loose), yang terletak di atas batuan dasar (bedrock). Ikatan antara
butiran yang relatif lemah dapat disebabkan oleh karbonat, zat organik, atau
oksida-oksida yang mengendap diantara partikel-partikel. Ruang diantara partikel-
partikel dapat berisi air, udara ataupun keduanya. Proses pelapukan batuan atau
proses geologi lainnya yang terjadi di dekat permukaan bumi membentuk
terjadinya tanah.
Wesley (2012) membagi dua jenis tanah, yaitu:
1. Tanah residu (residual soil)
Tanah yang terbentuk langsung oleh pelapukan kimiawi pada tempat
pembentukannya di atas batuan asal.
6
2. Tanah yang terangkut (transported soil)
Tanah yang dibawa oleh air sungai karena tererosi dan kemudian mengendap
lapisan demi lapisan.
Istilah pasir, lempung, lanau atau lumpur digunakan untuk menggambarkan
ukuran partikel pada batas ukuran butiran yang telah ditentukan dan untuk
menggambarkan sifat tanah yang khusus. Kebanyakan jenis tanah terdiri dari
banyak campuran, atau lebih dari satu macam partikel. Tanah lempung belum
tentu terdiri dari partikel lempung saja, akan tetapi dapat bercampur dengan
butiran-butiran ukuran lanau maupun pasir, dan mungkin terdapat campuran
bahan organik. Ukuran partikel tanah bervariasi dari lebih besar 100 mm sampai
dengan lebih kecil dari 0,001 mm (Hardiyatmo, 2011).
1.2.1 Penyelidikan Tanah
Tujuan penyelidikan tanah di lapangan adalah memperoleh informasi tentang
kondisi bawah permukaan dan sifat-sifat mekanis atau keteknikan dan sifat-sifat
fisik termasuk kemampuan memikul beban dari material alam yang digunakan
untuk struktur suatu bangunan teknik sipil (Hendarsin, 2003). Salah satu cara dari
penyelidikan tanah, yaitu cara pengeboran. Pengeboran dilakukan untuk
mendapatkan contoh dari tanah yang dapat diperiksa secara visual maupun
diamati pada laboratorium.
Salah satu metode pengeboran yang lazim digunakan adalah metode bor
tangan (hand bor). Menurut Wesley (2012), bor tangan mempergunakan berbagai
macam “auger” pada ujung bagian bawah dari serangkaian stang-stang (rods) bor.
Alat ini tidak dapat digunakan pada pasir yang terendam air. Bor tangan dapat
menembus sampai 10 m tapi umumnya kedalaman bor maksimum 6 sampai 8 m.
Pada tanah yang lunak sampai sedang, bor tangan dapat mencapai kedalaman
sekitar 5 m tanpa kesulitan.
Menurut Hendarsin (2003), ada berbagai macam bentuk mata bor salah
satunya mata bor bentuk Iwan. Bentuk mata bor Iwan terdiri dari dua keping plat
baja lengkung, pada bagian atasnya disambung membentuk tabung, tetapi dengan
bukaan yang berlawanan sama sekali. Pada bagian bawah terdiri dari dua pisau
7
menyerupai jari-jari tangan renggang yang berfungsi sebagai pemotong dan juga
penahan keluarnya tanah dari auger. Pengikat pegangan atau tambahan dipasang
pada bagian atas penyambung. Bentuk dari bor tangan ditunjukkan dalam Gambar
2.1.
Gambar 2.1 Bor Tangan Bentuk Iwan (Hendarsin, 2003).
1.2.2 Klasifikasi Tanah
Sifat-sifat tanah menjadi suatu hal yang penting karena berhubungan dengan
kekuatan tanah, usaha mengkorelasikan hasil-hasil uji klasifikasi sederhana
dengan tetapan-tetapan tanah diperlukan guna menyelesaikan masalah-masalah
perencanaan secara praktis. Masalah-masalah ini antara lain penentuan penurunan
bangunan, penentuan kecepatan air dalam uji koefisien permeabilitas, dan
menentukan kuat geser tanah.
Terdapat dua sistem klasifikasi yang sering digunakan, yaitu Unified Soil
Classification System dan AASHTO (American Association of State Highway and
Transportation Officials). Sistem-sistem ini menggunakan sifat-sifat indeks tanah
yang sederhana seperti distribusi ukuran butiran, batas cair dan indeks plastisitas.
Klasifikasi unified biasa dipakai dalam perencanaan bangunan sedangkan
AASHTO lebih banyak digunakan pada jalan raya. Pada sistem unified, tanah
diklasifikasikan ke dalam tanah berbutir kasar (kerikil dan pasir) jika kurang dari
50% lolos saringan nomor 200, dan sebagai tanah berbutir halus (lanau/lempung)
jika lebih dari 50% lolos saringan nomor 200. Dalam Tabel 2.2 ditunjukkan nilai-
nilai tipikal porositas (n), angka pori (e), kadar air (w), berat kering ( d ), dan
berat basah ( b ) untuk tanah asli (Terzaghi, 1943 dalam Hardiyatmo 2010).
8
Tabel 2.1 Nilai-nilai Tipikal n, e, w, d , dan b untuk Tanah Asli (Terzaghi, 1943 dalam Hardiyatmo 2010)
Macam Tanah
n
(%)
E w (%)
d kN/m3
b kN/m3
Pasir seragam, tidak padat Pasir seragam, padat Pasir berbutir campuran, tidak padat Pasir berbutir campuran, padat Lempung lunak sedikit organik Lempung lunak sangat organik
46 34
40 30 66 75
0,85 0,51 0,67 0,43 1,90 3,00
32 19 25 16 70 110
14,3 17,5
15,9 18,6
- -
18,9 20,9 19,9 21,6 15,8 14,3
1.3 Cerucuk Bambu Bambu merupakan jenis tanaman yang tumbuh di daerah tropis dan sub tropis.
Bambu biasanya dapat hidup dan tersebar di daerah Asia Pasifik, Afrika dan Amerika
(pada garis 46 º LU sampai 47º LS). Bambu dapat tumbuh dengan baik di daerah
yang beriklim lembab dan panas (www.sain-teknologi.co.id, 3 Agustus 2012).
Data teknis mengenai sifat fisik bambu adalah sebagai berikut:
1. Penyusutan bambu yang ditebang pada musim hujan sampai keadaan kering
udara adalah pada arah longitudinal sebesar 0,2 – 0,5 %, arah tangensial
sebesar 10 – 20 % dan arah radial sebesar 15 – 30 %.
2. Berat jenis bambu kering udara adalah 0,60 – 1.
3. Kuat lekat antara bambu kering dengan beton berkisar antara 2 – 4 kg/cm2.
Sifat-sifat mekanik bambu adalah sebagai berikut:
1. Tegangan tarik 600 – 4000 kg/cm2.
2. Tegangan tekan 250 – 600 kg/cm2.
3. Tegangan lentur 700 – 3000 kg/cm2.
4. Modulus elastisitas 100.000 – 300.000 kg/cm2.
Masyarakat di daerah pantai, rawa dan daerah pasang surut sering
menggunakan cerucuk bambu/dolken sebagai pondasi atau perkuatan tanah untuk
bangunan rumah atau gedung, bangunan jalan, bangunan drainase/irigasi, dan
bangunan lainnya.
9
Menurut Yudiawati dan Marzuki (2011), bangunan-bangunan yang ada di
Banjarmasin banyak menggunakan kayu galam sebagai cerucuk. Penggunaan ini
karena Kalimantan Selatan mempunyai deposit tanah lunak yang besar hingga
ketebalan 25 m.
Cerucuk bambu merupakan bambu yang dipotong dengan panjang tertentu
dan dipancang (tidak menggunakan alat berat) ke dalam tanah lunak dengan
maksud agar kapasitas dukung tanah bertambah. Perilaku cerucuk bambu yang
memotong bidang geser tanah di bawah pondasi merupakan salah satu fungsi dari
pondasi tiang yang selain menahan gaya guling juga meneruskan beban ke dalam
tanah.
Departemen Pekerjaan Umum telah menerbitkan pedoman teknis mengenai
syarat cerucuk yang digunakan untuk mendukung pondasi. Syarat ini dijelaskan
dalam Tabel 2.2 Persyaratan Cerucuk Kayu ( Departemen Pekerjaan Umum,
1999).
Tabel 2.2 Persyaratan Cerucuk Kayu (http://binamarga.pu.go.id/referensi, 31
Oktober 2012)
1.4 Kapasitas Dukung Pondasi Dangkal
Pondasi dangkal adalah pondasi yang dalam mendukung beban bangunan
hanya mengandalkan tahanan ujungnya saja, karena tahanan gesek dindingnya
kecil. Dalam perencanaan pondasi tanah akan mengalami keruntuhan. Keruntuhan
tanah adalah suatu fase dimana kekuatan tanah terlampaui seiring dengan
bertambahnya deformasi akibat penambahan beban. Berdasarkan hasil uji model,
(Vesic, 1963 dalam Hardiyatmo, 2011) membagi mekanisme keruntuhan pondasi
menjadi tiga macam seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.2, yaitu:
Uraian Persyaratan Diameter Minimum 8 cm, maksimum 15 cm Panjang Minimum 3,5 m, maksimum 6 in
Kelurusan Cukup lurus, tidak belok dan bercabang Kekuatan Minimum kelas kuat II PKKI 1973 Tegangan Minimum kelas kuat III untuk mutu A PKKI 1973
10
Gambar 2.2 Pola Keruntuhan Pondasi (Hardiyatmo, 2011).
1. Keruntuhan geser umum
Keruntuhan geser umum adalah keruntuhan pondasi terjadi menurut
bidang runtuh yang dapat diidentifikasi dengan jelas. Keruntuhan ini (Gambar
2.2 a) terjadi dalam waktu yang relatif mendadak, diikuti dengan penggulingan
pondasi.
2. Keruntuhan geser lokal
Tipe keruntuhan ini (Gambar 2.2 b) hampir sama dengan tipe keruntuhan
geser, namun bidang runtuh yang terbentuk tidak sampai mencapai permukaan
tanah. Dalam tipe keruntuhan geser lokal, terdapat sedikit penggembungan
tanah di sekitar pondasi, namun tidak terjadi penggulingan pondasi.
11
3. Keruntuhan penetrasi
Pada keruntuhan ini (Gambar 2.2 c), dapat dikatakan keruntuhan geser
tanah tidak terjadi. Akibat beban dan kondisi tanah yang lunak, pondasi
menembus tanah ke bawah. Baji tanah yang terbentuk di bawah dasar pondasi
hanya menyebabkan tanah menyisih dan bidang runtuh tidak terjadi sama
sekali.
1.4.1 Analisis Terzaghi
Analisis kapasitas dukung (Terzaghi, 1943 dalam Hardiyatmo, 2011)
didasarkan pada anggapan-anggapan, sebagai berikut:
1. Pondasi berbentuk memanjang tak terhingga,
2. Tanah di bawah dasar pondasi homogen,
3. Berat tanah di atas dasar pondasi digantikan dengan beban terbagi rata sebesar
po= Df ,
4. Tahanan geser tanah di atas dasar pondasi diabaikan,
5. Dasar pondasi kasar,
6. Bidang keruntuhan terdiri dari lengkung spiral logaritmis dan linier,
7. Baji tanah yang terbentuk di dasar pondasi dalam kedudukan elastis dan
bergerak bersama-sama dengan dasar pondasi,
8. Pertemuan antara sisi baji dan dasar fondasi membentuk sudut sebesar sudut
gesek dalam tanah ( ),
9. Berlaku prinsip superposisi.
Analisis kapasitas dukung menurut Terzaghi ditunjukkan seperti dalam
Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Analisis Kapasitas Dukung Menurut Terzaghi (Hardiyatmo, 2011).
12
Kapasitas dukung ultimit (ultimit bearing capacity) (qu) didefinisikan sebagai
beban maksimum per satuan luas di mana masih dapat mendukung beban tanpa
mengalami keruntuhan. Kapasitas dukung ultimit dinyatakan dalam Persamaan
2.1.
qu A
Pu ..............................................................................................................(2.1)
dengan:
qu : kapasitas dukung ujung ultimit (kN/m²),
Pu : beban ultimit (kN),
A : luas pondasi (m²).
Persamaan umum kapasitas dukung Terzaghi seperti dalam Persamaan 2.2.
qu = c2Nc + Df 1 Nq + 0,5 2 BN ....................................................................(2.2)
dengan:
qu : kapasitas dukung ultimit (kN/m2),
c2 : kohesi tanah di bawah dasar pondasi (kN/m2),
1 : berat volume tanah di atas dasar pondasi (kN/m2),
2 : berat volume tanah di bawah dasar pondasi (kN/m3), Df : kedalaman pondasi (m),
B : lebar atau diameter pondasi (m),
Nc,Nq,Nγ : faktor kapasitas dukung.
a. Pengaruh bentuk pondasi
Pengaruh bentuk-bentuk pondasi yang lain Terzaghi memberikan
pengaruh faktor bentuk terhadap kapasitas dukung ultimit yang didasarkan
pada analisis pondasi memanjang sebagai berikut:
1. Pondasi bujur sangkar:
qu = 1,3cNc + poNq + 0,4 BN ..........................................................(2.3)
2. Pondasi lingkaran:
qu = 1,3cNc + poNq + 0,3 B N .........................................................(2.4)
13
3. Pondasi empat persegi panjanag:
qu = cNc (1+0,3B/L) + poNq + 0,5 B N (1-0,2 B/L).........................(2.5)
dengan:
qu : kapasitas dukung ultimit (kN/m2),
c : kohesi tanah (kN/m2),
po : tekanan overburden pada dasar pondasi (kN/m2),
: berat volume tanah yang dipertimbangkan terhadap kedudukan
muka air tanah (kN/m3),
Df : kedalaman pondasi (m),
B : lebar atau diameter pondasi (m),
L : panjang pondasi (m).
Faktor kapasitas dukung Nc, Nq, dan N bergantung pada sudut
gesek dalam ( ) tanah di bawah dasar pondasi. Nilai-nilai faktor
kapasitas dukung Nc, Nq,dan N dijelaskan dalam Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Faktor Kapasitas Dukung Nc, Nq,dan Nγ (Hardiyatmo, 2011)
Keruntuhan geser umum Keruntuhan geser lokal Nc Nq Nγ Nc’ Nq’ Nγ’
0 5
10 15 20 25 30 34 35 40 45 48 50
5,7 7,3 9,6 12,9 17,7 25,1 37,2 52,6 57,8 95,7
172,3 258,3 347,6
1,0 1,6 2,7 4,4 7,4 12,7 22,5 36,5 41,4 81,3 173,3 287,9 415,1
0,0 0,5 1,2 2,5 5,0 9,7 19,7 35,0 42,4
100,4 297,5 780,1 1153,2
5,7 6,7 8,0 9,7
11,8 14,8 19,0 23,7 25,2 34,9 51,2 66,8 81,3
1,0 1,4 1,9 2,7 3,9 5,6 8,3 11,7 12,6 20,5 35,1 50,5 65,6
0,0 0,2 0,5 0,9 1,7 3,2 5,7 9,0 10,1 18,8 37,7 60,4 87,1
14
b. Pengaruh muka air tanah
Berat volume tanah sangat dipengaruhi oleh kadar air dan kedudukan air
tanah, Terzaghi juga memperhitungkan pengaruh muka air tanah. Beberapa
kondisi muka air tanah ditunjukkan dalam Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Pengaruh Muka Air Tanah pada Pondasi (Hardiyatmo, 2011).
1. Gambar 2.4a, menunjukkan muka air tanah terletak sangat dalam jika
dibandingkan dengan lebar pondasi atau z ˃ B. Untuk kondisi ini, nilai
dalam suku ke-2 dan ke-3 dari persamaan umum kapasitas dukung pondasi
dipakai b atau d . Parameter kuat geser yang digunakan dalam hitungan
adalah parameter kuat geser dalam tinjauan tegangan efektif (c’ dan ’).
2. Bila muka air tanah terletak di atas atau sama dengan dasar pondasi
(Gambar 2.4b), maka yang dipakai dalam suku persamaan ke-3 harus
γ’, karena zona geser terletak di bawah pondasi sepenuhnya terendam air.
Pada kondisi ini, nilai po pada suku persamaan ke-2, menjadi:
po= γ’ + (Df – dw) + b dw....................................................................(2.6)
dengan, γ’ = γ sat - γ w dan dw = kedalaman muka air tanah.
Jika muka air tanah berada di permukaan atau kedalaman muka air
tanah=0, maka pada suku persamaan ke-2 dan ke-3 dipakai berat volume
apung (γ’).
3. Gambar 2.4c, terlihat bahwa muka air tanah terletak pada kedalaman z di
bawah dasar pondasi (z ˂ B), nilai pada suku persamaan ke-2 digantikan
dengan b bila tanahnya basah, dan d bila tanahnya kering. Oleh karena
massa tanah dalam zona geser sebagian terendam air, yang diterapkan
dalam persamaan kapasitas dukung suku ke-3 dapat didekati dengan,
15
rt = ' + (z/B)( b - ' )......................................................................(2.7)
dengan, rt = berat volume tanah rata-rata.
Untuk tanah yang berpermeabilitas rendah, analisis kapasitas dukung kritis
terjadi pada kondisi jangka pendek atau segera sesudah selesai pelaksanaan.
Untuk itu, analisis harus didasarkan pada kondisi tak terdrainase dengan
menggunakan parameter-parameter tegangan total (cu dan u). Untuk tanah yang
berpermeabilitas tinggi, karena air dapat terdrainase, maka kedudukan kritisnya
harus didasarkan pada kondisi terdrainase, yaitu dipakai parameter-parameter
tegangan efektif (c’ dan ’).
1.4.2 Analisis Skempton untuk Pondasi pada Tanah Lempung
Menurut Skempton (1951) dalam Hardiyatmo (2011) mengusulkan
persamaan kapasitas dukung ultimit pondasi yang terletak pada lempung jenuh
dengan memperhatikan faktor bentuk dan kedalaman pondasi. Pada sembarang
kedalaman pondasi empat persegi panjang yang terletak pada tanah lempung,
Skempton menyarankan pemakaian faktor pengaruh bentuk pondasi (Sc) yang
ditunjukkan dalam Persamaan 2.8.
Sc = (1 + 0,2B/L).................................................................................................(2.8)
dengan B : lebar, dan L : panjang pondasi.
Faktor kapasitas dukung Nc untuk bentuk pondasi tertentu diperoleh dengan
mengalikan faktor bentuk Sc dengan Nc pada pondasi memanjang yang besarnya
dipengaruhi pula oleh kedalaman pondasi (Df).
Pondasi di permukaan (Df = 0)
Nc(permukaan) = 5,14 untuk pondasi memanjang...................................................(2.9)
Nc (permukaan) = 6,20 untuk pondasi lingkaran dan bujur sangkar......................(2.10)
Pondasi pada kedalaman 0 ˂ Df ˂ 2,5 B
Nc =
BDf2,01 Nc(permukaan)............................................................................(2.11)
16
Pondasi pada kedalaman Df ˃ 2,5B
Nc = 1,5 Nc (permukaan)..........................................................................................(2.12)
Faktor kapasitas dukung Skempton (1951) merupakan nilai fungsi dari Df /B
dan bentuk pondasi. Untuk pondasi empat persegi panjang dengan panjang L dan
lebar B, kapasitas dukung dihitung dengan mengalikan Nc pondasi bujur sangkar
dengan faktor:
0,84 + 0,16 B/L.................................................................................................(2.13)
Pondasi empat persegi panjang, kapasitas dukung ultimit dinyatakan dengan
Persamaan 2.14 dan Persamaan 2.15 untuk kapasitas dukung ultimit netto:
qu = (0,84 + 0,16 B/L)cuNc(bs) + Df ..............................................................(2.14)
Kapasitas dukung ultimit netto:
qun = (0,84 + 0,16 B/L)cuNc(bs)..........................................................................(2.15)
dengan: qu : kapasitas dukung ultimit (kN/m2),
qun : kapasitas dukung ultimit netto (kN/m2),
cu : kohesi tanah pada kondisi undrained (kN/m2),
Nc : faktor kapasitas dukung Skempton,
Nc(bs) : faktor kapasitas dukung Nc untuk pondasi bujur sangkar.
Tanah yang berpermeabilitas rendah, untuk tinjauan stabilitas jangka pendek,
air akan selalu berada di dalam rongga butiran tanah saat geseran berlangsung.
Karena itu, untuk tanah kohesif yang terletak di bawah muka air tanah, yang
digunakan dalam perencanaan kapasitas dukung selalu dipakai sat , serta tidak
terdapat gaya angkat ke atas akibat tekanan air di dasar pondasi (Giroud et al.,
1973 dalam Hardiyatmo, 2011).
1.4.3 Faktor Aman
Faktor aman didefinisikan sebagai perbandingan antara besarnya kapasitas
dukung tanah terhadap beban struktur yang terjadi di atasnya. Faktor aman sering
dipakai sebagai kriteria dalam perencanaan pondasi, terutama untuk melihat
apakah pondasi aman terhadap bahaya keruntuhan tanah. Faktor aman yang
17
digunakan sebagai acuan adalah F=3. Penentuan besarnya faktor aman seperti
dalam Persamaan 2.16.
F u ......................................................................................................(2.16)
dengan:
F : faktor aman,
qu : kapasitas dukung ultimit netto (kN/m2),
q : beban struktur (kN/m2).
1.5 Kapasitas Dukung Pondasi Tiang dalam Tanah Kohesif
1.5.1 Kapasitas Dukung Tiang dalam Tanah Kohesif
Kapasitas dukung kelompok tiang tidak selalu sama dengan kapasitas dukung
pondasi tiang tunggal yang berada dalam kelompoknya. Hal ini terjadi jika tiang
dipancang dalam lapisan pendukung yang mudah mampat atau dipancang pada
lapisan tanah yang tidak mudah mampat, namun di bawahnya terdapat lapisan
lunak. Kondisi ini, stabilitas kelompok tiang tergantung dari dua hal, yaitu
kapasitas dukung tanah di sekitar dan di bawah kelompok tiang dan pengaruh
penurunan konsolidasi tanah yang terletak di bawah kelompok tiang. Kapasitas
dukung kelompok tiang dinyatakan dalam Persamaan 2.17.
Qg = 2D(B + L)c + 1,3 cb Nc BL................................................................(2.17)
dengan,
Qg : kapasitas ultimit kelompok tiang (kN),
c : kohesi tanah di sekeliling kelompok tiang (kN/m2),
D : kedalaman tiang di bawah permukaan tanah (m),
cb : kohesi tanah di bawah kelompok tiang (kN/m2),
L : panjang kelompok tiang (m),
Nc : faktor kapasitas dukung.
Kapasitas ultimit tiang yang dipancang dalam tanah kohesif, adalah jumlah
tahanan gesek sisi tiang dan tahanan ujungnya. Besar tahanan gesek tiang
tergantung dari bahan dan bentuk tiang.
18
Tahanan ujung ultimit dinyatakan dalam Persamaan 2.18.
Qb = Ab cu Nc..............................................................................................(2.18)
dengan,
Qb : tahanan ujung bawah ultimit (kN),
Ab : luas penampang ujung bawah tiang (m2),
cu : kohesi tak terdrainasi (kN/m2),
Nc : faktor kapasitas dukung.
Tahanan gesek ultimit dinyatakan dalam Persamaan 2.19.
Qs = α cu As................................................................................................(2.19)
dengan,
Qs : tahanan gesek bawah ultimit (kN),
: faktor adhesi,
As : luas selimut tiang (m2),
cu : kohesi tak terdrainasi (kN/m2).
Untuk menentukan tahanan gesek tiang yang dipancang di dalam tanah
lempung digunakan faktor adhesi ( ) tiang pancang menurut McClelland, 1974
dalam Hardiyatmo, 2011. Faktor adhesi tiang pancang ditunjukkan dalam Gambar
2.5.
Gambar 2.5 Faktor Adhesi Tiang Pancang (McClelland, 1974, dalam Hardiyatmo 2011).
19
1.5.2 Efisiensi Tiang dalam Tanah Kohesif
Kapasitas dukung tiang gesek (friction pile) dalam tanah lempung akan
berkurang jika jarak tiang semakin dekat. Beberapa pengamatan menunjukkan,
kapasitas dukung total dari kelompok tiang gesek, khususnya tiang dalam tanah
lempung, sering lebih kecil daripada hasil kali kapasitas dukung tiang tunggal
dikalikan jumlah tiang dalam kelompoknya. Besarnya kapasitas dukung total
menjadi tereduksi dengan nilai reduksi yang tergantung dari ukuran, bentuk
kelompok, jarak, dan panjang tiang. Nilai pengali terhadap kapasitas dukung
ultimit tiang tunggal dengan memperhatikan pengaruh kelompok tiang, disebut
efisiensi tiang (Eg) (Hardiyatmo (2011).
Persamaan efisiensi tiang menurut Converse-Labare formula dapat dilihat
dalam Persamaan 2.20 :
Eg= mn
nmmn90
)1()1'(1
.............................................................................(2.20)
dengan,
Eg : efisiensi kelompok tiang,
m : jumlah baris tiang,
n’ : jumlah tiang dalam satu baris,
θ : arc tg d/s, dalam derajat,
s : jarak pusat ke pusat tiang (m),
d : diameter tiang (m).
Kapasitas dukung ultimit kelompok tiang:
Qg = Eg n Qu..............................................................................................(2.21)
dengan,
Eg : efisiensi kelompok tiang,
Qg : beban maksimum kelompok tiang yang menyebabkan keruntuhan (kN),
Qu : beban maksimum tiang tunggal yang menyebabkan keruntuhan (kN),
n : jumlah tiang dalam kelompok.
20
1.6 Analisis Beban
Analisis beban dalam pondasi dangkal digunakan anggapan bahwa pelat
pondasi merupakan struktur yang kaku sempurna, berarti pelat pondasi tidak
mengalami deformasi akibat beban yang bekerja. Struktur tanah merupakan bahan
bergradasi, sehingga tanah dianggap tidak mampu menahan gaya tarik (menerima
tegangan tarik). Tanah hanya mampu menerima tegangan desak, sedangkan
besarnya tegangan di masing-masing titik pada pelat pondasi, sebanding dengan
penurunan yang terjadi pada pelat pondasinya (Suryolelono, 2004). Berikut
dijelaskan beban-beban yang harus ditopang dalam analisis pondasi, yaitu:
1. Beban titik Sentris (P)
Jenis beban ini berupa beban kolom, atap, lantai dan dinding yang disalurkan
atau didukung oleh kolom bawah dari suatu bangunan. Beban titik sentris
merupakan resultan gaya-gaya vertikal yang bekerja pada bangunan tersebut.
2. Beban terbagi rata
Beban ini dapat berupa beban di atas lantai bawah, beban pelat pondasi itu
sendiri atau beban tanah yang ada di atas pelat pondasi.
3. Kombinasi Beban
Jumlah keseluruhan beban dari beban titik sentris ditambah dengan beban
terbagi rata.
1.7 Analisis Tegangan Regangan
Tegangan (stress) didefinisikan sebagai perbandingan antara tekanan yang
bekerja (P) pada benda dengan luas penampang benda (A). Regangan (strain)
didefinisikan sebagai perbandingan antara tegangan ( ) dengan modulus
elastisitas (E). Persamaan tegangan-regangan ditunjukkan dalam Persamaan 2.22
dan Persamaan 2.23.
=AP ........................................................................................................(2.22)
dengan: σ : tegangan (kN/m2),
P : tekanan (kN),
21
A : luas penampang (m2).
=E .........................................................................................................(2.23)
dengan:
: regangan (%),
E : modulus elastisitas tanah (kN/m2),
: tegangan (kN/m2).
Kurva hubungan tegangan-regangan ditunjukkan dalam Gambar 2.6
Gambar 2.6. Kurva Hubungan Tegangan-Regangan (www.google.com/imgres, 21 November 2013).
Menurut Nasution (2009), terdapat tiga daerah pada kurva tegangan-
regangan:
1. Daerah Elastis
Dimulai dari titik 0 (nol) pada kurva, yang berarti pertambahan panjang adalah
nol pada saat beban nol, dan dibatasi dengan batas proposional. Material pada
daerah ini mengikuti hukum Hooke sampai tegangan mencapai batas
proposional.
2. Daerah Strain Hardening
Daerah strain-hardening (penguatan regangan) ditandai dengan adanya
peningkatan tegangan pada kurva tegangan-regangan, yang berarti diperlukan
22
adanya peningkatan tegangan untuk tiap pertambahan regangan.Tegangan
maksimum pada kurva disebut dengan regangan tarik batas atau kuat batas
(ultimate strength).
3. Daerah Rupture
Daerah Rupture (runtuh) merupakan daerah dimana perpanjangan terjadi
dengan beban yang berkurang, sampai akhirnya material putus.
Modulus elastisitas tanah berhubungan dengan kemampuan membentuk
kembali susunan tanah akibat regangan yang disebabkan beban di permukaan
tanah. Modulus elastisitas tanah ditunjukkan dalam Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Modulus Elastisitas Tanah (Hardiyatmo, 2011)
Macam Tanah E (kN/m2)
Lempung Sangat lunak 300-3000 Lunak 2000-4000 Sedang 4500-9000 Keras 7000-20000 Berpasir 30000-42500 Pasir Berlanau 5000-20000 Tidak padat 10000-25000 Padat 50000-100000 Pasir dan kerikil Padat 80000-200000 Tidak padat 50000-140000 Lanau 2000-20000 Loess 15000-60000 Serpih 140000-1400000
1.7.1 Penyebaran Tambahan Tegangan Metode Boussinesq
Menurut Boussinesq (1885) dalam Hardiyatmo (2011), menyatakan tambahan
tegangan vertikal akibat beban titik dianalisis dengan meninjau sistem tegangan
pada koordinat silinder. Tambahan tegangan menurut Boussinesq ditunjukkan
dalam Gambar 2.7. Anggapan-anggapan yang dipakai dalam teori Boussinesq
adalah:
23
1. Tanah merupakan bahan yang bersifat elastis, homogen, isotropis, dan semi tak
terhingga.
2. Tanah tidak mempunyai berat.
3. Hubungan tegangan-regangan mengikuti hukum hooke.
4. Distribusi tegangan akibat beban yang bekerja tidak bergantung pada jenis
tanah.
5. Distribus tegangan simetri terhadap sumbu vertikal (z).
6. Perubahan volume tanah diabaikan.
7. Tanah tidak sedang mengalami tegangan sebelum beban diterapkan.
Gambar 2.7 Tambahan Tegangan Menurut Boussinesq (Hardiyatmo, 2007).
Tambahan tegangan dan faktor pengaruh IB ditunjukkan dalam Persaman 2.24
dan Persamanan 2.25:
z = 2zQ IB......................................................................................................(2.25)
dengan:
z : tambahan tegangan vertikal pada kedalaman z (kN/m2),
Q : beban total (kN),
r : jarak titik tinjauan beban (m),
z : kedalaman (m).
24
IB=2/5
2)/(11
23
zr
.....................................................................................(2.26)
dengan; IB: faktor pengaruh beban titik Boussinesq.
1.7.2 Analisis Tegangan-Regangan pada Pondasi Menggunakan Plaxis 8.2
Plaxis 8.2 merupakan program yang berbasis pada analisis dengan
menggunakan metode elemen hingga (finite element method). Program ini
dimaksudkan sebagai alat bantu analisis dalam menyelesaikan masalah yang
berhubungan dengan ilmu geoteknik. Plaxis 8.2 dapat memodelkan masalah
geoteknik dalam bentuk digitalisasi sehingga dapat memberikan alternatif desain
serta penerapan teknologi tepat guna.
Plaxis 8.2 memungkinkan pengguna memasukkan data yang berhubungan
dengan analisis dengan menyediakan prosedur input serta output sebagai hasil dari
data yang dimasukkan. Output data antara lain dapat berupa perpindahan total,
tegangan-regangan, serta deformasi tanah yang kesemuanya dapat dijelaskan
dengan gambar berikut nilai output maupun kurva dari analisis data. Tampilan
utama dari Plaxis 8.2 ditunjukkan seperti dalam Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Tampilan Utama Plaxis 8.2.
25
Analisis tegangan-regangan dua dimensi menggunakan Plaxis 8.2 terdiri dari
4 (empat) tahapan pelaksanaan sebagai berikut:
1. Plaxis input, berisikan semua fasilitas untuk meng-input hal atau interface
yang diperlukan pada saat melakukan pemodelan.
a. Pemodelan geometri
Pertama-tama dilakukan pengaturan global dengan lingkaran (axy-
simetri) dengan jenis elemen segitiga dengan 15 nodal. Model axy-simetri
digunakan untuk sruktur berbentuk lingkaran dengan penampang radial
yang kurang lebih seragam dan kondisi pembebanan mengelilingi sumbu
aksial, dimana deformasi dan kondisi tegangan diasumsikan sama disetiap
arah radial.
Dilakukan penggambaran batasan geometri lapisan tanah. Batasan
penggambaran geometri horisontal berjarak 5b (lebar pondasi) dari titik
pusat pondasi. Untuk batasan vertikalnya adalah 8b (lebar pondasi) dari
dasar pondasi. Penggambaran model geometri diterapkan kondisi batas
standar, arah sumbu y adalah perletakan rol sedangkan pada arah sumbu x
adalah perletakan sendi. Pemodelan geometri ditunjukkan seperti dalam
Gambar 2.9.
Gambar 2.9. Pemodelan Geometri Pondasi Sumuran-Telapak Cerucuk Bambu.
26
b. Material
Model material tanah yang digunakan adalah Mohr-Coulomb, yaitu
model elastis-plastis sempurna dengan menggunakan 5 (lima) buah
parameter dasar berupa modulus Young (E), angka Poisson (v), kohesi (c),
sudut geser ( ) dan sudut dilatansi ( ). Jenis perilaku material yang
dipilih adalah perilaku takterdrainase sehingga tekanan air pori berlebih
akan terbentuk. Untuk material pondasi menggunakan model material
linear elastis dengan tipe material non porous. Jendela input parameter
material tanah ditunjukkan dalam Gambar 2.10. Kumpulan data material
yang digunakan dapat di pindahkan (drag) ke bidang gambar dan
dilepaskan pada komponen geometri yang diinginkan.
Gambar 2.10. Jendela Kumpulan Data Material
a. Penyusunan jaring elemen
Setelah model geometri telah didefinisikan secara lengkap dan sifat-
sifat material telah diaplikasikan keseluruh klaster dan obyek sruktur,
maka geometri harus dibagi menjadi elemen-elemen untuk melakukan
perhitungan. Penggunaan warna berbeda pada tiap lapisan merupakan cara
agar material tanah dapat diidentifikasikan secara jelas. Hasil penggunaan
jaring elemen hingga ditunjukkan dalam Gambar 2.11.
27
Gambar 2.11. Hasil Generated Mesh Elemen Hingga.
d. Kondisi awal
Kondisi awal terdiri dari dua buah modus, yaitu modus untuk
menghitung tekanan air dan modus untuk spesifikasi dari konfigurasi
geometri awal. Secara pra-pilih, garis phreatik global diletakkan pada
dasar model geometri, dan akan segera digantikan jika garis phreatik yang
baru diaplikasikan. Kondisi tegangan awal sebelum diberi pembebanan
merupakan tegangan efektif awal sebelum dikalkulasi seperti dalam
Gambar 2.12.
Gambar 2.12. Hasil Initial Stress sebelum dikalkulasi.
Pasir sangat padat
Pasir padat
Pasir
Lempung
Pasir sedang berlanau
Pasir padat berlanau
28
2. Plaxis Calculation, berisikan semua fasilitas pengoperasian program kalkulasi.
Dalam analisis tegangan-regangan elastis plastis digunakan tipe kalkulasi
plastis, namun untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dapat digunakan
analisis update mesh yang membutuhkan waktu yang lama dalam me-running
perangkat lunak Plaxis. Plaxis Calculation ditunjukkan dalam Gambar 2.13.
Gambar 2.13. Jendela Perhitungan.
3. Plaxis Output, berisikan semua fasilitas untuk mengetahui hasil dari input data
dan perhitungan elemen hingga.
Palxis Output berupa tegangan, ditampilkan jaring elemen yang mengalami
tegangan dalam bentuk shading (warna). Menu tegangan memuat tampilan
kondisi tegangan secara visual dalam model elemen hingga, tampilannya
berupa tegangan arah aksial atau arah lateral. Vertical total stresses merupakan
tegangan yang terjadi pada arah aksial beban terhadap pondasi. Vertical total
stresses yang merupakan output dari Plaxis ditunjukkan dalam Gambar 2.14.
Untuk memperoleh gambaran mengenai distribusi nilai-nilai tertentu dalam
tanah ditampilkan keluaran berupa suatu potongan. Potongan ini berupa Cross
Section (A-A). Cross Section ditunjukkan seperti dalam Gambar 2.15.