bab ii tinjauan pustaka 1. latar belakang …eprints.undip.ac.id/17444/8/chapter_ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Latar Belakang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual
Sejak awal dasawarsa 80 HKI kian berkembang menjadi bahan
percaturan yang sangat menarik. Dibidang ekonomi, terutama industri dan
perdagangan Internasional, HKI menjadi penting. Perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, komunikasi, industri
dan transportasi pada akhir abad ini terasa semakin canggih dan cepat.
Kondisi tersebut telah membawa pengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan hubungan antar bangsa dan negara serta perkembangan
perdagangan dunia yang di dukung oleh kemajuan teknologi telah
menjadikan perubahan dunia yang cukup besar dewasa ini. Jarak antar
negara tidak lagi menjadi kendala dalam suatu transaksi perdagangan
berkat kemajuan teknologi.
HKI senantiasa terkait dengan persoalan perekonomian suatu negara.
Pada negara-negara maju, kesadaran akan manfaat HKI dari sudut
ekonomi telah tertanam dengan kuat. Beberapa studi ekonomi yang
dilakukan di negara-negara maju membuktikan produk yang dilindungi
dengan HKI mampu meningkatkan pendapatan nasional suatu negara serta
menambah angka angkatan kerja nasional.3
Manfaat ekonomi yang demikian besar dari HKI menjadikan suatu
negara dapat peka terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum HKI oleh 3 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasional, Undang-undang Hak Cipta 1997 dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, Hal. 2
15
negara lain. Bahkan tidak mustahil akan timbul berbagai ketegangan
dalam hubungan Internasional apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran
semacam itu.4
2. Konvensi Internasional Mengenai HKI
Berkembangnya perdagangan Internasional dan adanya gerakan
perdagangan bebas mengakibatkan makin terasa kebutuhan perlindungan
terhadap HKI yang sifatnya tidak lagi timbal balik tetapi sudah bersifat
antar negara secara global. Pada akhir abad ke-19 perkembangan
pengetahuan mengenai HKI mulai melewati batas-batas negara. Tonggak
sejarahnya dimulai dengan dibentuknya Uni Paris untuk perlindungan
Internasional milik perindustrian pada tahun 1883. Selang beberapa tahun
kemudian pada tahun 1886 dibentuk pula sebuag konvensi untuk
perlindungan di bidang hak cipta yang dikenal dengan Internasional
Convention for The Protection of Literary and Arsitics Works, yang
ditandatangani di Bern.5 Pada awalnya kedua konvensi itu masing-masing
membentuk union yang berbeda yaitu union internasional untuk
perlindungan Hak Milik Perindustrian (The International Union for The
Protection of Industrial Property), dan union Internasional untuk
perindungan Hak Cipta (International union for The Protection of Literary
and Artistics Works). Meskipun terdapat dua union, tetapi pengurusan
administrasinya dalam satu manajemen yang sama yaitu : United Biro for
The Protection of Intellectual Property, yang dalam bahas Perancisnya
4 ibid 5 Muhamad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual : sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1993, Hal. 9 (lihat dalam buku Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, terjemahan Muhammad Radjab, cetakan ketiga, Jakarta: Bantara Karya Aksara, 1982, Hal. 11
16
Bivieaux International Reunis Pour La Protection de la Propriete
Intellectuele (BIRPI). Perkembangan selanjutnya timbul keinginan agar
terbentuk suatu organisasi dunia untuk HKI secara keseluruhan. Melalui
konferensi Stockholm tahun 1967 telah diterima suatu konvensi khusus
untuk pembentukan organisasi dunia untuk HKI (Convention Establishing
The World Intellectual Property Organization/ selanjutnya disebut WIPO).
WIPO sebagai organisasi dunia kemudian menjadi pengelola tunggal
kedua konvensi tersebut.6
2.1. Konvensi Yang Mengatur Mengenai Hak Cipta
Pengaturan Internasional mengenai hak cipta dapat dilakukan
berdasarkan perjanjian bilateral atau berdasarkan perjanjian multilateral.7
Konvensi hak cipta dimulai dari Konvensi Bern 1886 di Bern, ibukota
Switzerland, sepuluh kepala Negara Belgium, France, Germany, Great
Britain, Haiti, Italy, Liberia, Spain, Switzerland, Tunisia (original
members) menandatangani pendirian suatu organisasi Internasional di
Bern Union yang bertujuan melindungai karya-karya cipta di bidang seni
dan sastra. Bersamaan dengan pendirian organisasi Internasional ini
ditandatangani juga suatu kesepakatan mengikatkan diri pada perjanjian
Internasional yaitu, International Convention for The Protection of
Literary and artistics works (selanjutnya di sebut Bern Convention).
Kemudian diikuti tujuh Negara (Denmark, japan, Luxemburg, Manaco,
Montenegro, Norway, Sweden) yang menjadi peserta dengan cata aksesi
menandatangani naskah asli Konvensi Bern.
6 Ibid, Hal. 11 7 Eddy Damian, Op.cit, Hal. 57
17
Konvensi Bern yang tergolong sebagai Law Making Treaty,
terbuka bagi semua Negara yang belum menjadi anggota. Keikutsertaan
sebagai negara anggota baru harus dilakukan dengan meratifikasinya dan
menyerahkan ratifikasinya kepada Direktur Jenderal WIPO.
2.2. Persetujuan Tentang Aspek-aspek Dagang dari Hak Kekayaan
Intelektual (TRIPs)
Bertujuan untuk mengurangi gangguan dan halangan atas
perdagangan Internasional dan mengingat perlunya untuk
mempromosikan perlindungan yang efektif dan layak atas HKI. Serta
untuk menjamin bahwa tindakan dan prosedur untuk memberlakukan
hak milik intelektual itu sendiri tidak menjadi penghalang bagi
perdagangan yang sah
Dengan demikian TRIPs lahir dalam rangka persetujuan
tentang pembentukan organisasi perdagangan dunia (WTO), pada
persetujuan akhir Putaran Uruguay di Marakesh, Maroko tanggal 15
April 1994. Persetujuan ini dilampirkan sebagai lampiran C (Annex
C) pada persetujuan akhir tersebut.8
Apabila dikaji isi lampiran C mengenai persetujuan akhir
perundingan Marakesh yaitu tentang aspek-aspek dagang yang
terkait dengan HKI (TRIPs) tujuannya adalah :9
8 Understanding on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including
Trade in Counterfect Goods (Persetujuan mengenai Aspek-aspek dagang yang terkait dengan HKI, termasuk perdagangan barang palsu). Undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Estabilishing The World Trade Organization/ persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia, ibid, Hal. 18
9 Paingot Rambe Manalu, Hukum Dagang Internasional Pengaruh Globalisasi Ekonomi terhadap Hukum Nasional, Khususnya Hukum HKI, Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2000, Hal. 122 (lihat juga dalam W.R. Cornish, Intellectual Property, Edisi 2, London: Sweet & Maxwell, 1989, Hal. 167
18
1. Meningkatkan perlindungan terhadap HKI dari produk-produk
yang diperdagangkan;
2. Menjamin prosedur pelaksanaan HKI yang tidak menghambat
kegiatan perdagangan;
3. Merumuskan aturan serta disiplin mengenai pelaksanaan
perlindungan terhadap HKI;
4. Mengembangkan prinsip-prinsip aturan dan mekanisme
kerjasama Internasional untuk menangani kasus-kasus
perdagangan barang-barang hasil pemalsuan dan pembajakan.
TRIPs sebagai persetujuan Internasional di bidang HKI pada
dasarnya tidak terlepas dari persetujuan-persetujuan yang telah ada
sebelumnya, seperti Paris Convention (1971) tentang perlindungan
terhadap karya tulis dan seni, yang tertuang dalam akta paris dari
Konvensi Paris tersebut tanggal 14 Juli 1971. Konvensi Roma yaitu
konvensi Internasional mengenai Perlindungan terhadap pelaku
pertunjukan, produser rekaman musik dan organisasi siaran yang
disepakati di Roma tanggal 26 Oktober 1961. Selain itu, terdapat
traktat HKI atas Integreted Circuits yang di kenal dengan IPIC
Treaty yang disepakati di Washington 25 Mei 1989.10
Berlakunya TRIPs secara efektif dinyatakan tanggal 1 Januari
1995 dan bagi negara-negara berkembang diberi waktu masa
peralihan selama lima tahun. Dengan demikian, bagi negara-negara
berkembang akan berlaku 1 Januari 2001. 10 Fidel s. Djaman, Beberapa Aspek dan Kebijakan Penting di Bidang Hak Milik
Intelektual (mengutip dari Charles Himawan: 1992), Jakarta: Varia Peradilan No. 106. 1994, Hal. 408
19
3. Hak Cipta dan Adaptasi Film
Konsep hak cipta diberlakukan untuk cakupan yang luas pada
proses kreatif, intelektual, atau bentuk artistik, atau "seni" . Secara spesifik
cakupan ini berbeda tergantung pada cakupan hukum (yuridiksi) yang
melingkupi syair, drama, hasil karya yang berkenaan dengan kesusastraan,
film, tarian, penyusunan musik, rekaman audio, lukisan, seni lukis, seni
patung, foto, perangkat lunak, penyiaran radio dan televisi, dan industri-
industri seni. Hak cipta tidak mencakup ide dan informasi ide-ide tersebut,
hanya bentuk atau cara bagaimana ide itu diungkapkan. Di banyak cakupan
hukum, UU hak cipta membuat pengecualian untuk pembatasan tersebut
ketika hasil karya disalin untuk kepentingan penjelasan atau penggunaan lain
yang berhubungan, contoh menyalin untuk keperluan pendidikan.11
Film atau bioskop merupakan suatu format hiburan yang
menjadikan cerita melalui suara dan rangkaian gambar; memberikan ilusi
pergerakan terus-menerus. Karena film terdiri dari pekerjaan seni (cerita,
suara, musik) maka film masuk dalam lingkup UU hak cipta. Sejak adanya
bioskop, adaptasi hampir terjadi selayaknya pengembangan naskah drama. Hal
yang terjelas dan biasa diadaptasi industri film adalah penggunaan novel
sebagai dasar pembuatan film.
Pada bahasa Inggris (seperti pada bahasa lain), kata "Adaptasi"
mengacu kepada proses seperti teks akhir, sebagai hasil dari proses tersebut.
Secara tradisional, asal kata dasar (text-oriented) dan kajian secara umum
memusatkan pada proses adaptasinya, dan pada kecukupannya. Akan tetapi,
11 Lyman Ray Patterson, “Copyright in Hystorical Perspective” Vanderbilt University Press, 1968
20
secara umum Adaptasi film adalah merujuk pada film pertamanya, dibuat oleh
pembuat film untuk dilihat secara luas. Dengan kata lain, fungsi adaptasi film
yang utama adalah sebagai film didalam hal-hal yang berkaitan dengan
pembuatannya.”12
Adaptasi berbeda dengan terjemahan, konsep “terjemahan”
ditandai dengan cara yang berganti-ganti yang menyebutkan bahwa peran
seorang penerjemah hanya satu yaitu sebagai “cermin” untuk apa yang dia
baca (tanpa pertimbangan lebih). Apabila seorang penerjemah boleh dibilang
tidak tampak kehadirannya dalam sebuah karya terjemahan, maka seorang
adaptor akan tampak sekali kehadirannya dalam karya hasil adaptasinya
dengan menceritakan kembali yang mempertimbangkan profile penikmatnya.
Berkebalikannya kedua hal antara terjemahan dan adaptasi, antara
“mencerminkan” dan “menceritakan kembali”, ketidakhadiran penerjemah dan
kehadiran adaptor, sebenarnya kurang memadai untuk menganalisa isu tentang
perbedaan antara terjemahan dan adaptasi. Pada penerjemah dia membuat
hasilnya dapat diakses sama seperti halnya yang dihadirkan oleh adaptor. Hal
ini tidak berarti bahwa setiap transformasi dapat dikategorikan sebagai karya
terjemahan atau adaptasi. Masih ada ruang kelembagaan, dimensi yang
berubah-ubah, prinsip-prinsip yang terkait yang membolehkan atau memberi
wewenang bacaan-bacaan spesifik untuk dikategorikan sebagai “terjemahan”
sebagaimana jika mereka bebas dari tujuan target pembaca. Sebuah
interpretasi juga bisa masuk kedalam konsep adaptasi walaupun memunculkan
beberapa perbedaan, sebab dalam sebuah transformasi dapat dipastikan oleh
12 Patrick Cattrysse, “Unbearable Lightness of Being : Film Adaptation Seen From Different Perspective”, The Literature Fil Quarterly, 1997
21
orang-orang ahli untuk mwnjaga kebenaran “mistis” tentang sumber karya
cipta yang telah diadaptasi melalui kesensitifan pengarang.
Kasus hak cipta karya dua dimensi umumnya terjadi pada satu dari
tiga cara. Pada skenario pertama, penggugat menyatakan bahwa hal ini
berkenaan dengan karya sastra, biasanya buku, setting tempat film, atau aksi
teater, semuanya adalah wajar untuk pondasi film dua dimensi. Ini adalah
yang sering dipakai untuk klaim-klaim kasus perfilman karena karya dua
dimensi jarang mengandung isi cerita seperti karya dasarnya. Terlebih, karya
dua dimensi mewujud dari kesusteraan seperti buku, cerita, atau naskah
drama. Perlindungan hak cipta tidak memperluas ke asal ide gagasan, seperti
sepasang kekasih dari dua keluarga yang bertengkar saling jatuh cinta.13
Secara khas, " Hanya film yang utuh dan mencakup segalanya akan menjadi
ekspresi sebenarnya dari ide gagasan dan dilindungi oleh hukum hak cipta”.14
Pelanggaran jenis ini merupakan hal tersulit bagi penggugat untuk sukses baik
pada saat jalannya pengadilan atau saat keputusan akhir juri pengadilan.15 Jika
seorang penulis ingin menulis sebuah buku, scenario atau cerita, dia dapat
menggunakan ide-ide yang tidak termasuk dalam pekerjaan yang dilindungi
hak ciptanya seperti sepasang anak-anak yang saling jatuh cinta dari dua
keluarga yang berseteru. Penulis masih dapat mengembangkan kreativitasnya
dengan menggunakan milik publik. Dalam UU Hak Cipta Amerika Serikat
dan Internasional, perlidungan hak cipta tidak meluas untuk ide-ide.
13 K.J Greene, Motion Pictures Infringement And The Presumption Of Irreparable Harm :
Toward A Reevaluation Of The Standard For Preliminary Injunctive Relief, Rutgers School of Law – Camden Rutgers Law Journal Fall : 31 Rutgers L. J. 173, 1999
14 Id. Hal 173 15 Id. Hal 173
22
Skenario kedua adalah saat penggugat menuntut bahwa karya film
sebagai keseluruhan ekspresi penggugat, namun satu kesatuan dari karya
penggugat yang telah secara wajar dilanggar untuk sebagian kecil (diadopsi)
film tergugat. Dan skenario terakhir adalah pelanggaran dalam film dengan
teknologi digital, dimana pihak tergugat, pembuat film, dianggap dengan jelas
mengambil hasil karya visual penggugat dan secara digital dimanipulasi ke
bagian yang tepat untuk hasil karya tergugat.16
16 Id.