bab ii tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/51398/3/bab ii.pdfpenentuan hararki jalan yang akan...

33
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Jaringan Jalan Suatu jaringan jalan dirancang dan di rencanakan sedemikian rupa sehingga ada hirarki yang membentuk suatu sistem pelayanan yang tak terpisahkan dengan pola tata ruang kegiatan. Watak jalan yang mampu berperan sebagai pemicu pembangunan adalah fakta yang nyata. Ruas jalan yang telah dibangun sebagai penghubung dari satu kawasan dengan kawasan lainnya, dengan serta merta mengubah nilai pada jalur yang bersangkutan sebagai akibat dari akses yang meningkat. Akibatnya, tak terelakan lagi kegiatan sepanjang jalan tersebut berkembang. (Warpani, 2002 : hal 83) Jaringan jalan dapat dicerminkan dalam beberapa tingkat pengelompokka n yang berbeda. Kunci utama dalam merencanakan sistem jaringan jalan adalah penentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin, 2000 :93-94). 2.2. Klasifikasi Jalan Klasifikasi jalan adalah pengelompokan jalan berdasarkan dari suatu fungsi/kegunaan jalan, administrasi pemerintahan, muatan sumbu yang menyangkut tentang dimensi suatu kendaraan, serta berat dari kendaraan. Tujuan dari pengelompokan jalan adalah supaya lebih mudah untuk dipahami berdasarkan poin dari klasifikasi tersebut. Menurut peraturan Bina Marga 1997, klasifikasi jalan dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu klasifikasi menurut fungsi jalan, klasifikasi menurut kelas jalan, klasifikasi menurut medan jalan, dan klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan.

Upload: others

Post on 13-Oct-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistem Jaringan Jalan

Suatu jaringan jalan dirancang dan di rencanakan sedemikian rupa sehingga

ada hirarki yang membentuk suatu sistem pelayanan yang tak terpisahkan dengan

pola tata ruang kegiatan. Watak jalan yang mampu berperan sebagai pemicu

pembangunan adalah fakta yang nyata. Ruas jalan yang telah dibangun sebagai

penghubung dari satu kawasan dengan kawasan lainnya, dengan serta merta

mengubah nilai pada jalur yang bersangkutan sebagai akibat dari akses yang

meningkat. Akibatnya, tak terelakan lagi kegiatan sepanjang jalan tersebut

berkembang. (Warpani, 2002 : hal 83)

Jaringan jalan dapat dicerminkan dalam beberapa tingkat pengelompokkan

yang berbeda. Kunci utama dalam merencanakan sistem jaringan jalan adalah

penentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan

bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin, 2000 :93-94).

2.2. Klasifikasi Jalan

Klasifikasi jalan adalah pengelompokan jalan berdasarkan dari suatu

fungsi/kegunaan jalan, administrasi pemerintahan, muatan sumbu yang

menyangkut tentang dimensi suatu kendaraan, serta berat dari kendaraan. Tujuan

dari pengelompokan jalan adalah supaya lebih mudah untuk dipahami berdasarkan

poin dari klasifikasi tersebut.

Menurut peraturan Bina Marga 1997, klasifikasi jalan dikelompokkan menjadi

4 bagian, yaitu klasifikasi menurut fungsi jalan, klasifikasi menurut kelas jalan,

klasifikasi menurut medan jalan, dan klasifikasi menurut wewenang pembinaan

jalan.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

8

2.2.1. Klasifikasi Jalan Berdasarkan Fungsi

Undang – undang Republik Indonesia No 38 Tahun 2004 Tentang Jalan,

menggelompokkan fungsi jalan umum antara lain :

a. Jalan Arteri, yaitu jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama,

dengan ciri, perjalanan jarak jauh dengan kecepatan rata-rata tinggi dan

jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.

b. Jalan Kolektor, yaitu jalan umum yang berfungsi melayani angkutan

pengumpulan/pembagian, dengan ciri-ciri, perjalanan sedang, kecepatan

rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.

c. Jalan Lokal, yaitu jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat

dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah.

d. Jalanan Lingkungan, yaitu jalan umum yang berfungsi melayani angkutan

lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dengan kecepatan rata-rata

rendah.

Menurut Saodang, 2010 bahwa klasifikasi jalan menurut fungsinya terbagi

menjadi 2 jaringan, yaitu jaringan jalan primer dan jaringan jalan sekunder. Masing-

masing jaringan tersebut terbagi menjadi jalan arteri primer, jalan kolektor primer,

jalan lokal primer, untuk jaringan jalan primer serta jalan arteri sekunder, jalan

kolektor sekunder, jalan lokal sekunder untuk jaringan jalan sekunder.

Penjelasan klasifikasi menurut dari ahli diatas bahwa klasifikasi jalan

menurut fungsi tidak hanya sebatas jalan arteri, kolektor, maupun lokal saja,

melainkan penjelasan yang lebih kompleks mengenai suatu sistem jaringan jalan,

yang terbagi lagi menjadi jaringan jalan primer dan jaringan jalan sekunder.

1) Sistem jaringan jalan primer

Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan yang

dibuat sesuai dari rencana tata ruang perkotaan dan pelayanan kegiatan

menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi dalam struktur

pembangunan wilayah dengan ketentuan sebagai berikut :

− Di dalam antara satuan wilayah pengembangan suatu sistem

jaringan jalan primer menghubungkan secara terus menerus

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

9

hingga pada ke persil, sehingga kota jenjang di sekitarnya dapat

terhubung semua,

− Sistem jaringan jalan primer dapat menghubungkan antara satuan

wilayah pengembangan.

Sistem jaringan jalan primer terbagi lagi menjadi :

a. Jalan arteri primer

Jalan arteri primer adalah jaringan jalan yang

menghubungkan antara pusat kegiatan nasional dengan pusat

kegitan wilayah. (PP RI No. 34 Tahun 2006 tentang jalan)

Ketentuan persyaratan penyusunan teknis jalan arteri primer

adalah :

- Kecepatan yang di desain paling rendah 60 km/jam,

- Desain lebar badan jalan paling rendah 11 m,

- Lalu lntas jarak jauh tidak boleh tergantung oleh lalu

lintas ulang alik, lalu lintas lokal, dan kegiatan lokal,

- Jumlah jalan masuk dibatasi sedemikian rupa sehingga

ketentuan poin 1, 2, dan 3 dapat terpenuhi,

- Persimpangan yang sebidang harus dilakukan

pengaturan tertentu,

- Jalan arteri primer ini didesain tidak boleh terputus

hingga memasuki kawasan perkotaan dan/ atau kawasan

pengembangan perkotaan.

b. Jalan kolektor primer

Jalan kolektor primer merupakan jaringan jalan yang

menghubungkan antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat

kegiatan lokal. (PP RI No. 34 Tahun 2006 tentang jalan)

Persyaratan desain teknis yang disusun pada jalan ini adalah

:

- Kecepatan yang di desain paling rendah 40 km/jam,

- Desain lebar badan jalan paling rendah 9 m,

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

10

- Desain kapasitas lebih besar dibanding volume lalu

lintas rata-rata,

- Jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan dengan

ketentuan poin 1, 2 tetap terpenuhi,

- Persimpangan sebidang harus dilakukan pengaturan

tertentu,

- Tidaklah boleh terputus saat memasuki kawasan

perkotaan dan/ atau kawasan pengembangan perkotaan.

c. Jalan lokal primer

Jalan lokal primer merupakan jaringan jalan yang

menghubungkan pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan

lingkungan, serta antar pusat kegiatan lingkungan, serta antar

pusat kegiatan lingkungan. (PP RI No. 34 Tahun 2006 tentang

jalan)

Persyaratan desain teknis yang disusun pada jalan ini adalah

:

- Kecepatan yang di desain paling rendah 20 km/jam,

- Desain lebar badan jalan paling rendah 7,5 m,

- Jalan lokal primer tidak boleh terputus saat memasuk i

kawasan perdesaan.

2) Sistem jaringan jalan sekunder

Sistem jaringan jalan sekunder adalah sistem jaringan jalan yang

menghubungkan antar kawasan di dalam kawasan perkotaan yang diatur

secara berjenjang sesuai dengan fungsi kawasan yang menghubungkannya

(PP RI No. 34 Tahun 2006 tentang jalan).

Sistem jaringan jalan sekunder terbagi menjadi :

a. Jalan arteri sekunder

Jalan arteri sekunder merupakan jalan yang menghubungkan

suatu kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau

menghubungkan kawasan sekunder kedua (PP RI No. 34 Tahun

2006 tentang jalan).

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

11

Ketentuan dari persyaratan desain jalan arteri sekunder

diantaranya adalah :

- Kecepatan rencana paling rendah 30 km/jam,

- Lebar badan jalan paling rendah 11 m,

- Memiliki kapasitas yang lebih besar dibandingkan

volume lalu lintas rata-rata,

- Lalu lintas cepat tidak terganggu oleh lalu lintas yang

lambat,

- Persimpangan sebidang harus dilakukan pengaturan

tertentu.

b. Jalan kolektor sekunder

Jalan kolektor sekunder adalah merupakan jalan yang

menghubungkan suatu kawasan sekunder kedua dengan

kawasan sekunder kedua, atau kawasan sekunder kedua dengan

kawasan sekunder ketiga (PP RI No. 34 Tahun 2006 tentan

jalan).

Ketentuan untuk persyaratan desain jalan kolektor sekunder

adalah:

- Kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam,

- Lebar badan jalan paling rendah 9 m,

- Lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas

yang lambat,

- Persimpangan sebidang lurus harus dilakukan dengan

pengaturan tertentu.

c. Jalan lokal sekunder

Jalan lokal sekunder merupakan jalan yang menghubungkan

suatu kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan

sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga

dan seterusnya sampai perumahan (PP RI No. 34 tahun 2006

tentang jalan).

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

12

Persyaratan untuk desain teknis jalan lokal sekunder

diantaranya adalah :

- Kecepatan rencana paling rendah 10 km/jam,

- Lebar badan jalan paling rendah yakni 7,5 m.

d. Jalan lingkungan sekunder

Jalan lingkungan sekunder merupakan jalan yang

menghubungkan antara persil dalam kawasan perkotaan (PP RI

No. 34 tahun 2006 tentang jalan).

Ketentuan persyaratan desain jalan lingkungan sekunder

diantaranya adalah :

- Kecepetan rencana paling rendah 10 km/jam,

- Lebar badan jalan paling rendah 6,5 m,

- Desain jalan lingkungan sekunder diperuntukkan untuk

kendaraan roda 3 atau lebih, dan

- Jalan lingkungan sekunder yang tidak diperuntukkan

bagi kendaraan roda 3 ataupun lebih harus mempunya i

lebar jalan paling rendah 3,5 m.

2.2.2. Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Pembinaan Jalan

Menurut PP No. 26 Tahun 1985 menyatakan bahwa klasifikasi jalan menurut

wewenang pembinaan merupakan jalan nasional, jalan provinsi, jalan

kabupaten/kotamadya, jalan desa dan jalan khusus.

Masing-masing dari wewenang pembinaan jalan diatas juga dikelompokkan

menurut Saodang, 2010 bahwa :

1) Jalan Nasional, meliputi :

• Jalan arteri primer

• Jalan kolektor primer, yang menghubungkan antar Ibukota Provinsi

• Jalan selain dari yang termasuk arteri/kolektor primer yang memilik i

nilai strategis terhadap kepentingan nasional yaitu jalan yang tidak

dominan terhadap pengembangan ekonomi tetapi memiliki peranan

yang menjamin kesatuan dan keutuhan nasional, melayani daerah-

daerah yang rawan dan lain-lain.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

13

2) Jalan Provinsi

• Jalan kolektor primer, yang menghubungkan ibukota Provinsi

dengan ibukota Kabupaten/Kotamadya, dan menghubungkan antar

ibukota Kabupaten/Kotamadya

• Jalan selain jalan diatas yang memiliki nilai strategis terhadap

kepentingan propinsi yakni jalan yang meskipun tidak dominan

terhadap perkembangan ekonomi tetapi punya peranan tertentu

dalam menjamin terselenggaranya pemerintah yang baik dalam

Pemerintah Daerah Tingkat I dan terpenuhinya kebutuhan sosial

lainnya

• Jalan dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta, kecuali jalan yang

termasuk jalan Nasional.

3) Jalan Kabupaten / Kotamadya.

• Jalan kolektor primer, yang tidak termasuk dalam kelompok jalan

Nasional dan kelompok jalan Provinsi

• Jalan lokal primer

• Jalan sekunder lain, selain yang dimaksud jalan Nasional dan jalan

Propinsi

• Jalan selain dari yang disebutkan di atas yang mempunyai nilai

strategis terhadap kepentingan Kabupaten, yakni jalan yang

walaupun tidak dominan terhadap kepentingan perkembangan

ekonomi tetapi memiliki peranan tertentu dalam menjamin

terselenggaranya pemerintahan dalam Pemerintah Daerah.

4) Jalan Desa

• Jaringan jalan sekunder di dalam Kotamadya

• Jaringan jalan sekunder di dalam desa yang merupakan hasil

swadaya masyarakat, baik yang ada di desa maupun di kelurahan

5) Jalan Khusus

• Jalan yang dibangun dan dirawat oleh instansi/ badan hukum/

perorangan untuk melayani kepentingan masing-masing.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

14

2.2.3. Klasifikasi Berdasarkan Muatan Sumbu

Jenis klasifikasi jalan di Indonesia juga dikelompokkan berdasarkan muatan

sumbu antara lain yaitu jalan kelas I, jalan kelas II, jalan kelas IIIA, jalan kelas IIIB,

dan jalan kelas IIIC. Berikut penjelasan dari klasifikasi jalan di Indonesia.

a. Jalan kelas I adalah jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor

termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2500 milimete r,

ukuran panjang tidak melebihi 18000 milimeter dan muatan sumbu

terberat yang diizinkan lebih besar dari 10 ton, yang saat ini masih belum

digunakan di Indonesia namun sudah mulai dikembangkan di berbagai

negara maju, seperti Perancis yang telah mencapai muatan sumbu terberat

sebesar 13 ton.

b. Jalan kelas II adalah jalan arteri yang dapat dilalui oleh kendaraan

bermotor termasuk mutan dengan ukuran yang lebar tidak melebihi dari

2500 mm. Ukuran panjang tidak boleh melebihi 18000 milimeter dan

muatan sumbu terberat yang diizinkan 10 ton. Jalan kelas ini merupakan

suatu jalan yang sesuai untuk angkutan peti kemas.

c. Jalan kelas IIIA adalah jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui oleh

kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar yakni tidak

melebihi 2500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18000 milimete r

dan muatan sumbu terberatnya yang di izinkan adalah sebesar 8 ton.

d. Jalan kelas IIIB adalah jalan kolektor yang dapat dilalui oleh kendaraan

bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar yang tidak melebihi 2500

mm, ukuran panjang tidak melebihi 18000 milimeter dan muatan sumbu

terberat yang boleh diizinkan yakni 8 ton.

e. Jalan kelas IIIC adalah jalan lokal dan lingkungan yang dapat dilalui

kendaraan bermotor termasuk mutan dengan ukuran lebar <2.100 mm,

ukuran panjang <9.000 milimeter, dan muatan sumbu terberatnya yang

diizinkan yaitu 8 ton. (Sumber : Suwardjoko P. Warpani, 2002;85)

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

15

2.3. Hambatan Samping

Hambatan samping adalah dampak terhadap kinerja lalu lintas dari suatu

aktifitas samping segmen jalan. Banyaknya sebuah aktifitas samping jalan sering

menimbulkan berbagai macam konflik yang sangat besar pengaruhnya terhadap

suatu kelancaraan lalu lintas.

Adapun faktor-faktor yang mempengarui nilai kelas dari hambatan samping

dengan frekuensi bobot kejadian per/jam per 200 m dari segmen jalan yang akan

diamati, pada kedua sisi jalan. (MKJI, 1997) seperti Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Penentuan Tipe Frekuensi Kejadian Hambatan Samping

(Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997)

Untuk mengetahui nilai kelas dari hambatan samping, maka tingkat hambatan

samping telah dikelompokkan dalam 5 kelas dari yang paling sangat rendah sampai

yang sangat tinggi pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2: Nilai Kelas Hambatan Samping

(Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997)

Tipe Kejadian hambatan samping Simbol Faktor bobot

Pejalan kaki PED 0.5

Kendaraan parker PSV 1

Kendaraan masuk dan keluar sisi jalan EEV 0.7

Kendaraan lambat SMV 0.4

Kelas

hambatan samping (SCF)

Kode Jumlah kejadian

per 200 m perjam

Kondisi daerah

Sangat rendah VL < 100

Daerah pemukiman: hampir tidak ada

kegiatan

Rendah L 100-299

Daerah pemukiman: berupa angkutan umum, dsb

Sedang M 300-499

Daerah industri: berupa toko disisi

jalan

Tinggi H 500-899

Daerah komersial: aktifitas sisi jalan yang sangat tinggi

Sangat tinggi VH > 900

Daerah komersial: aktifitas pasar di samping jalan

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

16

Dalam menentukan nilai kelas hambatan samping digunakan rumus (MKJI

1997):

SFC = PED + PSV + EEV + SMV (2.1)

Dimana :

SFC : Kelas hambatan samping

PED : Frekuensi pejalan kaki

PSV : Frekuensi bobot kendaraan parkir

EEV : Frekuensi bobot kendaraan masuk/keluar sisi jalan

SMV : Frekuensi bobot kendaraan lambat

2.3.1. Faktor Pejalan Kaki

Aktifitas pejalan kaki merupakan salah satu penyebab masalah yang dapat

mempengaruhi nilai kelas dari hambatan samping terutama pada daerah-daerah

yang merupakan kegiatan masyarakat contoh seperti pusat perbelanjaan.

Banyak jumlah pejalan kaki yang menyebrang atau berjalan di samping

jalan yang dapat menyebabkan laju kendaraan menjadi lambat atau terganggu. Hal

ini semakin diperburuk oleh kesadaran dari pejalan kaki sendiri untuk

menggunakan fasilitas yang sudah tersedia, seperti trotoar dan tempat

penyebrangan.

2.3.2. Faktor kendaraan parkir dan berhenti

Kurangnya ketersedian lahan untuk parkir yang memadahi bagi kendaraan

juga dapat menyebabkan kendaraan parkir maupun berhenti sembarangan pada

simpang jalan. Pada daerah-daerah yang mempunyai tingkat kepadatan lalu lintas

yang tinggi, kendaraan parkir dan berhenti pada simpang jalan dapat menyebabkan

pengaruh terhadap kelancaran dari arus lalu lintas.

Kendaraan yang parkir dan berhenti pada simpang jalan juga akan

mempengaruhi kapasitas dari lebar jalan dimana kapasitas jalan akan menjadi

semakin sempit karena pada samping jalan telah digunakan oleh kendaraan yang

parkir dan berhenti.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

17

2.3.3. Faktor kendaraan masuk/keluar pada simpang jalan

Banyaknya dari kendaraan yang masuk/keluar pada simpang sering

mengakibatkan berbagai konflik dan permasalahan terhadap arus lalu lintas

perkotaan. Pada daerah-daerah yang arus lintasnya sangat tinggi, disertai dengan

aktifitas masyarakat yang besar, kondisi seperti ini sering juga menimbulkan sebuah

masalah dalam kelancaran arus lalu lintas. Dimana arus lalu lintas yang melewati

ruas jalan tersebut mengalami gangguan yang dapat mengakibatkan terjadinya

kemacetan.

2.3.4. Faktor kendaraan lambat

Yang termasuk dalam kendaraan lambat ialah seperti becak, delman, dan

sepeda. Laju dari kendaraan yang berjalan lambat pada suatu ruas jalan dapat

menimbulkan sebuah konflik pada aktifitas kendaraan yang akan melewati ruas

jalan tersebut. Oleh karena itulah kendraan lambat merupkan salah satu dari faktor

yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya nilai kelas dari hambatan samping.

2.4. Persimpangan Jalan

Persimpangan jalan merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari semua

sistem jalan. Persimpangan jalan dapat didefinisikan sebagai suatu daerah umum

dimana dua jalan atau lebih betemu atau bersimpangan, termasuk jalan, dan fasilitas

tepi jalan sebagai pergerakan lalu lintas didalamnya. (Khisty dan Lall,2003:274)

Persimpangan adalah bagian terpenting dari sistem jaringan jalan yang secara

umum kapasitas persimpangan dapat dikontrol dengan mengendalikan volume la lu

lintas dalam sistem jaringan tersebut. Pada prisipnya persimpangan adalah

pertemuan dua atau lebih jaringan jalan. (Alamsyah; 2005:89)

Persimpangan jalan yaitu sumber suatu konflik lalu lintas. Satu perempatan

jalan yang sebidang menghasilkan 16 titik permasalahan. Oleh karena itulah

berbagai upaya untuk memperlancar arus lalu lintas adalah dengan meniadakan titik

konflik tersebut, misalnya dengan membangun pulau jalan, atau bisa bundaran,

memasang lampu lalu lintas yang dapat mengatur giliran dari gerak suatu

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

18

kendaraan, menerapkan satu arah, menerapkan larangan belok kanan atau bisa juga

membangun simpang susun. (Warpani; 2002:86)

Persimpangan adalah simpul pada suatu jaringan jalan dimana ruas jalan

bertemu dan lintasan arus kendaraan saling berpotongan. Lalu lintas pada tiap

masing-masing kaki persimpangan menggunakan ruang jalan pada persimpangan

secara bersama-sama dengan lalu lintas lainnya. Oleh karena itu persimpangan

merupakan suatu faktor yang paling penting dalam menentukan kapasitas dan

waktu perjalanan pada suatu jaringan jalan khususnya di daerah perkotaan.

Suatu persimpangan merupakan tempat dari sumber berbagai macam konflik

lalu lintas yang rawan akan kecelakan terjadi konflik kendaraan dengan kendaraan

lainnya ataupun antara kendraan dengan pejalan kaki. Oleh karena itu

persimpangan merupakan aspek penting didalam pengendalian lalu lintas. Masalah

utama yang sering terkait pada suatu persimpangan adalah :

1. Volume dan kapasitas yang secara langsung mempengaruhi dari hambatan

2. Desain geometrik dan kebebasan suatu pandangan

3. Kecelakaan dan keselamatan jalan, kecepatan, lampu jalan

4. Parkir, akses dan pembangunan umum

5. Pejalan kaki

6. Jarak antar simpang

Kinerja lalu lintas suatu perkotaan dapat dinilai dengan menggunakan

parameter lalu lintas berikut berupa Tabel 2.3. (Tamin, 2000)

1. Untuk ruas jalan dapat berupa NVK, kecepatan dan kepadatan

2. Untuk persimpangan dapat berupa tundaan dan kapasitas sisa

3. Data kecelakaan lalu lintas dapat juga perlu dipertimbangkan

Tabel 2.3 Nilai NVK pada Berbagi Kondisi

(Sumber : Tamin 2000)

NVK Keternagan

< 0.8 Kondisi stabil

0.8 – 1.0 Kondisi tidak stabil

> 1.0 Kondisi kritis

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

19

Menurut Jinca 2001 pemecahan persoalan lalu lintas yang bersumber dari

ketidak seimbangan antara kapasitas (C) dan volume (V) dapay ditempuh antara

lain dengan menambah kapasitas (C) dan atau mengurangi volume (V)

2.5. Jenis – Jenis Persimpangan

Secara garis besarnya persimpangan terbagi dalam 2 bagian :

1. Persimpangan sebidang

2. Persimpangan tak sebidang

Persimpangan sebidang adalah suatu persimpangan dimana berbagai jalan atau

ujung jalan masuk ke persimpangan mengarahkan lalu lintas untuk masuk kejalan

yang dapat berlawanan dengan arus lalu lintas lainnya.

Pada persimpangan sebidang menurut jenis fasilitas pengatur lalu lintasnya

dipisahkan menjadi 2 bagian :

1. Simpang bersinyal (signalised intersection) adalah persimpangan jalan

yang pergerakan atau arus lalu lintas dari berbagai pendekatnya diatur dengan

lampu sinyal untuk melewati persimpangan secara bergilir.

2. Simpang tak bersinyal (unsignalised intersection) adalah pertemuan jalan

yang tidak menggunakan sinyal pada pengaturannya.

Adapun contoh simpang susub disajikan secara virtual pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Berbagai Jenis Persimpangan Jalan Sebidang

(Sumber : Marlok, E. K. 1991)

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

20

Sedangkan persimpangan tak sebidang, sebaiknya ialah memisah-misahkan

lalu lintas pada jalur yang berbeda sedemikian rupa agar persimpangan jalur dari

kendaraan hanya terjadi pada tempat yang dimana kendaraan- kendaraaan dari atau

bergabung menjadi satu lajur gerak yang sama (contoh seperti jalan layang), karena

kebutuhan untuk menyediakan gerakan membelok tanpa terjadi berpotongan, maka

perlu di butuhkan sebuah tikungan yang besar dan sulit biasanya yang mahal.

Pertemuan jalan tidak sebidang juga membutuhkan daerah yang cukup luas

serta penempatan dan tata letaknya sangat dipengaruhi oleh topografi.

Adapun contoh simpang susun disajikan secara virtual pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Beberapa Contoh Simpang Susun jalan Bebas Hambatan

(Sumber : Marlok, E. K. 1991)

Pergerakan sebuah arus lalu lintas pada persimpangan juga membentuk suatu

manuver yang dapat mengakibatkan sering terjadi konflik dan tabrakan kendaraan.

Pada dasarnya manuver dari kendaraan dapat terbagi dari 4 jenis,

1. Berpencar (diverging)

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

21

2. Bergabung (merging)

3. Bersilang (weaving)

4. Berpotongan (crosing)

Gambar 2.3 Jenis-Jenis Dasar Pergerakan

(Sumber : Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas & Angkutan Kota)

2.6. Simpang Bersinyal

Simpang bersinyal merupakan bagian dari sistem kendali waktu tetap yang

dirangkai atau sinyal aktuasi tersolir, memerlukan metode langkah khusus,

(Direction Of Urban Road Development, 1997 hal :2-2).

Lampu lalu lintas adalah sebuah peralatan yang dioperasikan secara mekanis,

ataupun elektrik untuk memerintahkan kendaraan-kendaraan agar berhenti atau

berjalan. Peralatan standar ini terdiri dari sebuah tiang, dan kepala lampu dengan

tiga warna berbeda (merah, kuning, hijau)

Tujuan dari pemasangan lampu lalu lintas (MKJI 1997) ialah :

1. Menghindari kemacetan simpang akibat adanya konflik arus lalu lintas yang

berlawanan, sehingga kapasitas dari persimpangan dapat dipertahankan selama

keadaan lalu lintas puncak.

2. Menurunkan tingkat frekuensi kecelakaan

3. Mempermudah menyebrang jalan utama bagi kendaraan atau pejalan kaki dari

jalan minor.

Lampu lalu lintas di pasang pada suatu persimpangan berdasarkan alasan

spesifik (C. Jotin Khisty and b. Ken Lall, 2003) :

1. Untuk meningkatkan keamanan sistem secara keseluruan.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

22

2. Untuk mengurangi waktu tempuh rata-rata disebuah persimpangan, sehingga

dapat meningkatkan kapasitas.

3. Untuk menyeimbangkan kualitas pelayanan di seluruh aliran lalu lintas.

Pengaturan suatu simpang dengan menggunakan sinyal lalu lintas termasuk

yang paling efektif, terutama untuk volume lalu lintas pada kaki simpang yang

relatif tinggi. Pengaturan ini dapat mengurangi atau menghilangkan titik konflik

pada simpang dengan memisahkan pergerakan arus lalu lintas pada waktu yang

berbeda (Alamsyah, 2005)

Beberapa istilah- istilah yang digunakan dalam operasional lampu

persimpangan bersinyal (Liliani, 2002) :

a) Siklus urutan lengkap suatu lampu lalu lintas

b) Fase, adalah bagian dari suatu siklus yang dialokasikan untuk kombinas i

pergerakan secara bersamaan.

c) Waktu hijau efektif, adalah periode waktu hijau yang dimanfaatkan pergerakan

pada fase yang bersangkutan.

d) Waktu antar hijau, waktu antara lampu hijau ntuk sekali fase dengan awal

lampu hujau untuk fase berikutnya.

e) Rasio hijau, perbandingan antara waktu hijau efektif dan panjang siklus.

f) Merah efektif, waktu selama suatu pergerakan atau kelompok pergerakan

secara efektif tidak diijinkan bergerak, dihitung sebagai panjang siklus dikuragi

waktu hjau efektif.

g) Lost time, waktu hilang dalam sebuah fase karena keterlambatan mulai

kendaraan dan berakhirnya dari tingkat pelepasan kendaraan yang terjadi

selama waktu hilang.

2.7. Karakteristik Lalu Lintas

2.7.1. Kondisi Arus Lalu Lintas

Data-data lalu lintas dibagi dalam beberapa tipe kendaraan, yaitu kendaraan tak

bermotor (UM), sepeda motor (MC), kendaraan ringan (LV), dan kendaraan berat

(HV). Arus lalu lintas setiap pendekat dibagi dalam tipe pergerakan, antara lain

adalah : belok kiri (QLT), lurus (QST), dan belok kanan (QRT) dikonfersi dari

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

23

kendaraan per jam menjadi satuan mobil penumpang (smp) perjam dengan

menggunakan ekivalen kendaraan penumpang (emp) untuk masing-mas ing

pendekat terlindung dan terlawan. Nilai emp setiap jenis kendaraan berdasarkan

pendekatnya dapat dilihat dalam Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Nilai emp untuk jenis kendraan berdasarkan pendekat

(Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997)

Setiap pendekat dihitung rasio kendaraan belok kiri (PLT) dan rasio belok kanan

(PRT) dengan rumus dibawah ini :

(PLT) = 𝑄𝐿𝑇 (𝑠𝑚𝑝/𝑗𝑎𝑚)

𝑄𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 (𝑠𝑚𝑝 /𝑗𝑎𝑚) (2.2)

(PRT) = 𝑄𝑅𝑇 (𝑠𝑚𝑝/𝑗𝑎𝑚)

𝑄𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 (𝑠𝑚𝑝/𝑗𝑎𝑚) (2.3)

Dimana :

PLT : Rasio kendaraan belok kiri

QLT : Arus lalu lintas belok kiri

PRT : Rasio kendaraan belok kanan

QRT : Arus lalu lintas belok kanan

Rasio kendaraan tak bermotor (PUM) diperoleh dengan cara membagi arus

kendaraan tak bermotor (QUM) kendaraan/jam dengan arus kendaraan bermotor

(QMV) kendaraan/jam

(PUM) = (QUM)/(QMV) (2.4)

Dimana :

PUM : Rasio kendaraan tak bermotor

QUM : Kendaraan tak bermotor

QMV : Arus kendaraan bermotor

Tipe kendaraan emp

Pendekat terlindung Pendekat terlawan

LV 1,0 1,0

HV 1,3 1,3

MC 0,2 0,4

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

24

2.7.2. Geometrik Persimpangan

Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI 1997), salah satu faktor

yang mempengarui kapasitas simpang bersinyal adalah kondisi geometrik yang di

gambarkan dalam bentuk gambar sketsa yang memberikan informasi lebar dari

bagian pendekat yang diperkeras, lebar msuk dan keluar, ada tidaknya median,

belok kiri langsung/LTOR. Untuk hal diatas dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Geometrik Persimpangan Dengan Lampu Lalu Lintas

(Sumber : Directorat Bina Sistem Lalu Lintas & Angkutan Kota)

2.7.3. Penentuan Waktu antar Hijau per Fase dan Waktu Hilang

Waktu antar hijau didefinisikan sebagai waktu antara hijau suatu fase dan awal

waktu hijau pada fase berikutnya. Waktu antar hijau sendiri terdiri dari waktu

kuning dan waktu merah, waktu merah semua yang diperlukan untuk pengosongan

pada tiap akhir fase harus memberi kesempatan bagi kendraan yang terakhir

(melewati garis berhenti pada sinyal kuning) berangkat dari titik konflik sebelum

kedatangan kendaraan yang pertama pada fase berikutnya (Manual kapasitas jalan

Indonesia, 1997).

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

25

Waktu merah semua dirumuskan sebagai berikut :

Merah Semuah = [ (L𝐸𝑉+𝐼𝐸𝑉

𝑉𝐸𝑉−

𝐿 𝐴𝑉

𝑉 𝐴𝑉 ]max (2.5)

Dimana :

LEV, LAV : Jarak dari garis henti ke titik konflik masing-masing untuk kendaraan

yang berangkat dan yang datang (m)

lEV : Panjang kendaraan yang berangkat (m)

VEV, VAV : Kecepatan masing-masing kendaraan yang berangkat dan yang

datang (m/det)

Nilai-nilai yang dipilih untuk VEV, VAV dan lEV tergantung dari komposisi

lalu lintasnya dan kondisi kecepatan pada lokasi. Untuk Indonesia, nilai-nila i

tersebut ditentukan sebagai berikut :

• Kecepatan kendaraan yang datang : VAV = 10 m/det (kend.bermotor)

• Kecepatan kendaraan yang berangkat : VEV = 10 m/det (kend. Bermotor)

3 m/det (kend tak bermotor)

1.2 m/det (pejalan kaki)

• Panjang kendaraan yang berangkat : LEV = 5 m (LV atau HV)

2 m (MC atau UM)

Jika diperoleh merah semua untuk masing-masing akhir pada fase telah

ditetapkan maka waktu hilang (LTI) untuk simpang dapat dihitung sebagai jumlah

dari waktu-waktu antar hijau.

LTI = (merah semua+kuning)i = lgi (2.6)

(Sumber : MaKJI, 1997).

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

26

2.7.4. Karakter Sinyal dan Pergerakan Lalu Lintas

Persimpangan pada umumnya diatur oleh sinyal lalu lintas, hal ni dikarenakan

beberapa alasan, seperti faktor keselamatan dan efektifitas dari pergerakan dari arus

kendaraan dan pejalan kaki yang bertemu pada saat akan melintasi persimpangan.

Parameter dasar dalam perhitungan sistem pengaturan waktu sinyal secara

umum meliputi parameter ruang (geometrik). Dalam hal seperyi ini perhitungan

waktu sinyal juga termasuk perhitungan kinerja lalu lintas di persimpangan seperti

tundaan, antrian dan jumlah kendaraan terhenti.

2.7.5. Penentuan Waktu Sinyal

2.7.5.1. Tipe Pendekatan Efektif

Tipe pendekat pada suatu persimpangan bersinyal umumnya dibedakan atas

dua macam yaitu (MKJI, 1997).

a. Tipe terlindung (tipe P) ialah pergerakan kendaraan pada suatu

persimpangan tanpa terjadi konflik antar kaki persimpangan yang

berbeda saat lampu hijau pada fase yang sama.

b. Tipe terlawan (tipe O) yaitu suatu pergerakan kendaraan pada suatu

persimpangan dimana terjadi konflik antara sebuah kendaraan berbelok

kanan dengan kendaraan yang akan bergerak lurus atau belok kiri dari

approach yang berbeda saat lampu hijau pada fase yang sama.

2.7.5.2. Lebar Pendekat Efektif

Lebar efektif (We) dari setiap pendekat ditentukan dengan berdasarkan

informasi tentang lebar pendekat (WA), lebar masuk (Wmasuk), dan lebar keluar

(Wkeluar) serta rasio arus lalu lintas berbelok.

a. Produser untuk pendekat tanpa belok kiri langsung (LTOR) jika Wkeluar

< We x (1 – PRT – PLTOR), We sebaiknya dikasih nilai baru yang sama

dengan Wkeluar dan sebuah analisa penentuan waktu sinyal untuk

pendekat ini dilakukan hanya untuk bagian dari lalu lintas lurus saja (Q

= QST)

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

27

Untuk penangan keadaan yang mempunyai arus belok kanan lebih besar dari

pada yang terdapat dalam diagram, dapat dilihat dalam contoh berikut : (MKJI,

1997)

1. Tanpa lajur belok kanan tidak terpisah

• Jika QRTO > 250 smp/jam:

a. Tentukan SPROV pada QRTO = 250

b. Tentukan S sesungguhnya sebagai S = SPROV-[(QRTO – 250) x 8] smp/jam

QRT > 250 smp/jam :

a. Tentukan SPROV pada QRTO dan QRT = 250

b. Tentukan S sesungguhnya sebagai S = SPROV – [(QRTO + QRT – 500)

x 2] amp/jam

• Jika QRTO < 250 smp/jam dan QRTO > 250 smp/jam :

Tentukan S seperti pada QRT = 250

2. Lajur belok kanan terpisah

• Jika QRTO > 250 smp/jam :

QRT < 250 smp/jam : tentukan S dengan ekstrapolasi

QRT > 250 smp/jam : tentukan SPROV pada QRTO dan QRT = 250

• Jika QRTO < 250 smp/jam dan QRTO > 250 smp/jam : tentukan S dengan

ekstrapolasi.

2.7.5.3. Perhitungan Arus Jenuh Dasar

Arus jenuh dasar (So) yaitu besarnya dari keberangkatan antrian di dalam

pendekat selama kondisi ideal (smp/jam hijau)

a. Untuk pendekat tipe P (arus terlindungi)

So = 600 x We smp/jam hijau (2.7)

Dimana :

So = Arus jenuh dasar

We = Lebar efektif

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

28

b. Untuk pendekat tipe O (arus terlawan)

Arus jenuh dasar sendiri ditentukan berdasarkan gambar (untuk pendekat

tanpa lajur belok kanan terpisah) sebagai fungsi dari We, QRT, dan QRTO, juga

digunakan untuk mendapat nilai dari arus jenuh pada keadaan di mana We, lebih

besar atau kecil dari pada We, sesungguhnya dan hasilnya dihitung dengan

interpolasi.

2.7.5.4. Faktor Penyesuaian

a. Faktor-faktor penyesuaian untuk nilai arus jenuh dasar pada kedua tipe

pendekat P dan O adalah sebagai berikut ini : (MKJI, 1997)

− Faktor dari penyesuaian ukuran kota ditentukan dengan Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota

(Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997)

− Faktor penyesuaian hambatan samping

Faktor penyesuaian dari hambatan samping ditentukan dengan Tabel 2.6:

− Faktor penyesuaian kelandaian (FG)

Faktor penyesuaian kelandaian (FG) sebagai fungsi dari kelandaian jalan (MKJI

1997), ditentukan dari Gambar 2.5.

Ukuran Kota (jumlah penduduk) Faktor penyesuaian untuk ukuran

kota FCcs

< 0,1 0,86

0,1 - 0,5 0,90

0,5 - 1,0 0,94

1,0 - 3,0 1,00

> 3 1,04

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

29

Gambar 2.5 Faktor Penyesuaian untuk Kelandaian (FG)

(Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997)

− Faktor penyesuaian parkir (Fp)

Faktor penyesuaian parkir sebagai fungsi jarak dari garis henti sampai ke

kendaraan yang diparkir pertama. Faktor ini dapat dihitung menggunakan rumus

berikut :

Fp = [( Lp/3 – (WA-2) x (Lp/3 – g) / WA] / g (2.8)

Dimana :

Lp : Jarak antara garis henti dan kendaraan yang diparkir pertama (m) atau

panjang dari lajur pendek

WA : Lebar pendekat (m)

G : Waktu hijau pada pendekat

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

30

Tabel 2.6 Faktor Penyesuaian Hambatan Samping (FSF)

(Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997)

− Faktor penyesuaian belok kanan (FRT)

Faktor penyesuaian belok kanan (FRT) dapat ditentukan sebagai fungsi dari

rasio kendaraan yang belok kanan PRT . Untuk pendekat tipe P, tanpa median, jalan

dua arah, lebar efektif ditentukan oleh lebar masuk (MKJI, 1997).

FRT 1.0 + PRT x 0.26 (2.9)

− Faktor penyesuaian belok kiri (FLT)

Faktor dari penyesuaian belok kiri (FLT) ditentukan untuk fungsi rasio belok

kiri PLT. Untuk pendekat tipe P, tanpa LTOR, lebar efektif ditentukan oleh lebar

masuk.

FLT = 1.0 + PLT x 0.16 (2.10)

Lingkungan

jalan Hambatan samping Tipe fase

Rasio kendaraan tak bermotor

0 0,5 0,1 0,15 0,2 0,25

Komersial

(COM)

Tinggi Terlawan 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70

Terlindung 0,93 0,91 0,88 0,87 0,85 0,81

Sedang Terlawan 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,71

Terlindung 0,94 0,92 0,89 0,88 0,86 0,82

Rendah Terlawan 0,95 0,90 0,86 0,84 0,76 0,72

terlindung 0,95 0,93 0,90 0,89 0,87 0,83

Pemukiman

(RES)

Tinggi Terlawan 0,96 0,91 0,86 0,81 0,78 0,72

Terlindung 0,96 0,94 0,92 0,89 0,86 0,84

Sedang Terlawan 0,97 0,92 0,87 0,82 0,79 0,73

Terlindung 0,97 0,95 0,93 0,90 0,87 0,85

Rendah Terlawan 0,98 0,93 0,88 0,83 0,80 0,74

terlindung 0,98 0,96 0,94 0,91 0,88 0,86

Akses

terbatas

(RA)

Tinggi/Sedang/Rendah

Terlawan 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75

Terlindung 1,00 0,98 0,95 0,93 0,90 0,88

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

31

b. Arus jenuh dasar disesuaikan (S)

Sebuah studi tentang bergeraknya suatu kendaraan melewati garis henti

disuatu persimpangan menunjukkan bahwa ketika lampu hijau menyala, kendaraan

membutuhkan waktu beberapa saat untuk memulai bergerak dan melakukan

percepatan menuju kecepatan normal, setelahnya beberapa detik antrian kendaaran

mulai bergerak pada kecepatan yang relatif stabil atau konstan, ini disebut arus

jenuh.

MKJI menjelaskan arus jenuh biasanya dinyatakan sebagai hasil perkalian dari

arus jenuh dasar (So) yakni arus jenuh pada keaadan yang standar, dengan faktor

penyesuaian (F) untuk penyimpangan dari kondisi yang sebenernya, dari suatu

kumpulan kondisi (ideal) yang telah ditetapkan sebalumnya.

S = So x FCS x FSF x FG x Fp x FRT x FLT (2.11)

Dimana :

So: Arus jenuh dasar

FCS: Faktor penyesuaian ukuran kota, berdasarkan jumlah penduduk

FSF: Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan dan hambatan samping,

FG: Faktor kelandaian jalan

Fp: Faktor penyesuaian parkir

FLT: Faktor penyesuaian belok kiri

FRT: Faktor penyesuaian belok kanan

2.7.5.5. Rasio Arus Jenuh

Ada beberapa langkah dalam menentukan sebuah arus jenuh diantaranya yaitu :

a. Arus lalu lintas masing-masing pendekat (Q) (MKJI,1997).

1. Jika We = Wkeluar, maka hanya pergerakan lurus saja yang dimasukkan

dalam nilai Q

2. Jika suatu dari pendekat mempunyai sinyal hijau dalam dua fase, yang satu

untuk arus terlawan (Q) dan yang satunya arus terlindung (P), maka

gabungan arus dari lalu lintas sebaiknya dihitung sebagai smp rata-rata

berbobot untuk kondisi terlawan dan terlindung dengan cara yang sama

dengan perhitungan arus jenuh.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

32

b. Rasio arus (FR) untuk masing-masing pendekat:

FR = Q / S (2.12)

c. Menentukan tanda rasio arus kritis (FRCRLT) tertinggi untuk masing-mas ing

fase

d. Rasio arus simpang (IFR) sebagai jumlah dari nilai FRCRLT

IFR = (FRCRLT) (2.13)

e. Rasio fase (PR) pada masing-masing fase sebagai rasio antara FRCRLT dan IFR

PR = FRCRLT / IFR (2.14)

2.7.5.6. Waktu Siklus dan Waktu Hijau

Panjang waktu siklus pasa fase fixed time operation tergantung dengan volume

lalu lintas. Bila volume lalu lintas tinggi pada waktu siklus lebih panjang.

Panjang dari waktu siklus juga mempengaruhi tundaan kendaraan rata-rata

yang melewati persimpangan. Bila waktu siklusnya pendek, bagian dari siklus yang

terampil oleh kehilangan waktu dalam periode antar hijau dan kehilangan waktu

awal menjadi tinggi, menyebabkan pengatur sinyal menjadi tidak efisien, dapat

dilihat pada Tabel 2.7. Sebaiknya bila waktu siklus panjang kendaraan yang

menunggu akan lewat pada awal periode hijau dan kendaraan yang lewat pada akhir

periode hijau mempunyai waktu antara yang benar.

a. Waktu siklus sebelum penyesuaian

Waktu siklus sebelum penyesuaian (Cua) untuk pengendalian waktu tetap. (MKJI,

1997)

Cua = (1.5 x LTI + 5) / (1 – IFR) (2.15)

Dimana:

Cua = waktu siklus sebelum penyesuaian sinyal (det)

LTI= waktu hilang total persiklus (det)

IFR= rasio arus simpang (FRCRLT)

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

33

Tabel 2.7 di bawah ini memberikan waktu siklus yang disarankan untuk keadaan

yang berbeda

(Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997)

b. Waktu hijau

Waktu hijau adalah nyala hijau dalam suatu pendekat atau periode waktu yang

digunakan untuk melepaskan diri dari pesimpangan jalan dalam kondisi yang aman.

Waktu hijau yang lebih pendek dari 10 detik harus dihindari, karena dapat

menyebabkan pelanggaran lampu merah yang berlebihan dan kesulitan bagi para

pejalan kaki yang mau menyebrang jalan.

Waktu hijau (g) untuk masing-masing fase : (MKJI,1997).

gi = (Cua – LTI) x Pri (2.16)

Dimana :

gi= tampilan waktu hijau pada fase I (det)

Cua = waktu siklus sebelum penyesuaian (det)

LTI= waktu hilang total persiklus

Pri= rasio fase FRCRLT / (FRCRLT)

c. Waktu siklus yang disesuaikan

Waktu siklus yang disesuaikan (c) sesuai waktu hijau yang diperoleh dan waktu

yang hilang (LTI) :

c = g + LTI (2.17)

2.8. Kinerja Simpang Bersinyal

2.8.1. Kapasitas dan Drajat Kejenuhan

Kapasitas (C) adalah arus lalu lintas maksimum yang dapat ditampung dengan

suatu pendekat dalam waktu tertentu. Satuan yang digunakan adalah smp/jam atau

Tipe Pengaturan Waktu Siklus Yang Layak (det)

Pengaturan dua fase 40 - 80

Pengaturan tiga fase 50 - 100

Pengaturan empat fase 80 - 130

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

34

kendaraan per jam. Untuk menghitung kapasitas digunakan dengan rumus berikut

ini : (MKJI, 1997).

C = S x g/c (2.18)

Dimana :

C= Kapasitas (smp/jam)

S= Arus jenuh (smp/jam)

g= Waktu hijau (detik)

c= waktu siklus (detik)

nilai dari kapasitas dipakai untuk menghitung derajat kejenuhan masing-

masing pendekat :

DS = Q / C (2.19)

Dimana :

DS: Derajat kejenuhan

Q: Arus lalu lintas (smp/jam)

C: Kapasitas (smp/jam)

Jika penentuan waktu sinyal sudah dikerjakan secara benar, maka derajat

kejenuhan akan akan hampir sama dalam semua pendekat-pendekat kritis.

2.8.2. Kapasitas Untuk Perubahan

Jika waktu siklus yang akan dihitung pada perhitungan sebelumnya lebih besar

dari batas yang disarankan pada bagian yang sama, maka derajat kejenuhan (DS)

umumnya juga lebih tinggi dari 0.85. ini berarti bahwa simpang tersebut mendekati

lewat-jenuh, yang akan mengakibatkan antrian panjang pada kondisi lalu lintas

puncak. Kemudian untuk menambah kapasitas simpang melalui salah satu cara

maka diperlukan tindakan berikut, oleh karenanya harus dipertimbangkan : (MKJI,

1997)

a. Penambahan lebar pendekat

Jika memungkinkan untuk menambah lebar pendekat, pengaruh terbaik dari

tindakan seperti akan diperoleh jika pelebaran dilakukan pada pendekat-pendekat

dengan nilai FR kritis yang tertinggi

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

35

b. Perubahan fase sinyal

Jika pendekat arus berangkat terlawan (tipe O) dan rasio kanan (PRT) tinggi

menunjukkan kalau nilai FR kritis yang tinggi (FR > 0.8) suatu rencana fase

alternatif dengan fase terpisah untuk lalu lintas belok kanan mungkin akan sesuai.

Penerapan fase terpisah untuk lalu lintas belok kanan mungkin juga harus disertai

dengan tindakan pelebaran juga.

c. Pelanggaran gerakan belok kanan

Pelanggaran bagi satu atau bahkan lebih dari gerakan belok kanan biasanya

manaikkan kapasitas, terutama jika pada hal itu menyebabkan pengurangan jumlah

dari fase yang diperlukan. Walaupun demikian perencanaan manajemen lalu lintas

yang tepat, perlu untuk memastikan agar perjalanan oleh pergerakan belok kanan

yang akan dilarang tersebut dapat diselesaikan tanpa jalan pengalih yang terlalu

panjang dan menggangu yang beedekatan.

2.9. Perilaku Lalu Lintas

Dalam menentukan perilaku lintas pada suatu persimpangan bersinyal dapat

ditetapkan berupa panjang antrian, jumlah kendaraan terhenti dan tundaan. (MKJI,

1997)

2.9.1. Panjang Antrian

Untuk menghitung jumlah antrian yang tersisa dari fase sinyal hijau

sebelumnya digunakan hasil pehitungan drajat kejenuhan yang tersisa dari fase

hijau sebelumnya, (MKJI, 1997)

Untuk DS > 0.5 :

NQ1 = 0.25 x C x {(𝐷𝑆 − 1) + √(𝐷𝑠 − 1)2 +8𝑥(𝐷𝑆−0.5)

𝐶} (2.20)

Untuk DS < 0.5 atau DS = 0.5 : NQ1 = 0

Dimana :

NQ1 : Jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya

DS : Derajat kejenuhan

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

36

C : Kapasitas (smp/jam) = arus jenuh dikalikan rasio hijau (SxGR)

Jumlah antrian smp yang datang selama fase merah (NQ2)

NQ2 = 𝑐 𝑥 1−𝐺𝑅

1−𝐺𝑅 𝑥 𝐷𝑆 𝑥

𝑄

3600 (2.21)

Dimana :

NQ2 : jumlah smp yang tersisa di fase merah

DS : derajat kejenuhan

GR : rasio hijau (g/c)

C : waktu siklus

Qmasuk : Arus lalu lintas pada tempat masuk di luar LTOR (smp/jam)

Jumlah antrian kendaraan secara kesalahan adalah:

NQ = NQ1 + NQ2 (2.22)

Panjang antrian ql dengan mengalikan Nqmax dengan luas rata-rata yang

digunakan per smp (20 m2) kemudian dibagi dengan lebar masuknya.

𝑄𝐿 =𝑁𝑄𝑚𝑎𝑥 𝑥 20

𝑊𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘 (2.23)

2.9.2. Kendaraan Terhenti

Angka henti (NS) masing-masing dari pendekat yang didefinisikan sebagai

jumlah rata-rata berhenti per smp. NS adalah fungsi dari NQ dibagi dengan waktu

siklus. (MKJI, 1997)

𝑁𝑆 = 0.9𝑥𝑁𝑄

𝑄 𝑥 𝑐𝑥3600 (2.24)

Dimana :

c : waktu siklus

Q : arus lalu lintas

Jumlah kendaraan terhenti Nsv masing-masing pendekat

Nsv = Q x NS (smp/jam) (2.25)

Angka henti diseluruh simpang dengan cara membagi jumlah kendaraan terhenti

pada seluruh dengan arus simpang total Q dalam kend/jam

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

37

𝑁𝑆𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = ∑ 𝑁𝑠𝑣

𝑄𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 (2.26)

2.9.3. Tundaan

Tundaan yaitu waktu tempuh tambahan yang dibutuhkan untuk melewati

simpang dibandingkan dengan lintasan tanpa melalui suatu persimpangan. (MKJI,

1997)

1. Tundaan lalu lintas rata-rata setiap pendekat (DT) akibat dari pengaruh timbal

balik dengan gerakan-gerakan lainnya pada persimpangan.

DT = c x A x 𝑁𝑄1 𝑥 3600

𝐶 (2.27)

Dimana :

DT : Tundaan lalu-lintas rata-rata (det/smp)

C : Waktu siklus yang disesuaikan (det)

Dengan :

𝐴 = 0.5 𝑥 (1−𝐺𝑅)2

(1−𝐺𝑅 𝑥 𝐷𝑆) (2.28)

Dimana :

GR : rasio hijau (g/c)

DS : derajat kejenuhan

NQ1 : jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya

C : kapasitas (smp/jam)

2. Tundaan geometrik rata-rata masing-masing dari pendekat (DG) akibat

perlambatan dan percepatan ketika menunggu giliran pada suatu simpang atau

ketika akan dihentikan lampu merah

DGj = (1 – PSV) x PT + (PSV x 4) (2.29)

Dimana :

DGj = Tundaan geometrik rata-rata untuk pendekat j (det/smp)

PSV = Rasio kendaraan terhenti pada pendekat

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

38

PT = Rasio kendaraan berbelok

3. Tundaan rata-rata (D) sebagai jumlah tundaan lalu lintas rata-rata (DT) dan

tundaan geometri rata-rata (DG)

D = DT + DG (2.30)

4. Tundaan total (Dtotal) dengan mengalikan tundaan rata-rata (D) dengan arus

lalu lintas (Q)

Dtotal = D x Q (2.31)

5. Tundaan rata-rata untuk seluruh persimpangan (D1) didapatkan dengan cara

membagi jumlah nilai tundaan dengan arus total (Qtot) dalam smp/jam

D1 = ∑(𝑄𝑥𝐷1

𝑄𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 (2.32)

Menurut Tamin, 2000 jika kendaraan berhenti terjadi sebuah antrian

dipersimpangan sampai kendaraan tersebut keluar dari persimpangan karena

adanya pengaruh kapasitas persimpangan yang sudah tidak memadai lagi.

Semakin tinggi nilai tundaan maka semakin tinggi pula waktu tempuhnya.

Untuk menentukan indeks tingkat pelayanan (ITP) suatu persimpangan bisa dilihat

pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8 ITP pada Persimpangan Berlampu Lalu Lintas

Indeks Tingkat Pelayanan (ITP)

Tundaan kendaraan (detik)

A 5,0

B 5,1 - 15,0

C 15,0 - 25,0

D 25,1 - 40,1

E 40,1 - 60,0

F 60

(Sumber : Tamin 2000)

Indikator Tingkat Pelayanan (ITP) pada suatu ruas jalan menunjukkan secara

keseluruan ruas jalan tersebut. Secara umum tingkat dari suatu pelayanan dapat

dibedakan sebagai berikut ini.

• Indeks Tingkat Pelayanan A : kondisi arus lalu lintasnya bebas antara satu

kendaraan dengan kendaraan lainnya, besar kecepatan sepenuhnya ditentukan

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/51398/3/BAB II.pdfpenentuan hararki jalan yang akan dianalisis (arteri, kolektor atau lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin,

39

oleh keinginan seorang pengemudi dan sesuai dengan batas kecepatan yang

telah ditentukan.

• Indeks Tingkat Pelayanan B : kondisi arus lalu lintas yang stabil, kecepatan

operasi mulai dibatasi oleh kendaraan yang lain, dan mulai dirasakan hambatan

oleh kendaraan yang berada disekitarnya

• Indeks Tingkat Pelayanan C : kondisi arus lalu lintas masih dalam batas yang

stabil, kecepatan operasionalnya mulai dibatasi dan hambatan dari kendaraan

yang lain semakin besar

• Indeks Tingkat Pelayanan D : kondisi arus lalu lintas mendekati tidak stabil,

kecepatan operasional menurun relatif dengan cepat akibat adanya hambatan

yang timbul dan kebebasan bergerak relatif kecil

• Indeks Tingkat Pelayanan E : volume arus lalu lintas sudah mendekati

kapasitas ruas jalan, kecepatan kira-kira sudah lebih rendah dari 40 km/jam.

Pergerakan lalu lintasnya kadang terhambat

• Indeks Tingkat Pelayanan F : pada tingkat pelayanan seperti ini arus lalu

lintasnya berada dalam keadaan puncak, kecepatan relatif sangat rendah, arus

lalu lintas sering terhenti sehingga menyebabkan antrian kendaraan yang

panjang. (Ofyar Z Tamin, Perencanaan dan Permodelan Transportasi).