bab ii tinjauan pustakarepository.sari-mutiara.ac.id/354/3/chapter ii.pdf · n faktor genetik namun...

22
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Reumatoid Artritis 1. Defenisi Reumatoid Artritis adalah peradangan sendi kronis yang disebabkan oleh gangguan autoimun, gangguan autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap penyusup seperti virus, bakteri, dan jamur yang menyerang sel dan jaringan tubuh sendiri, sistem imun gagal membedakan jaringan sendiri dengan benda asing sehingga menyerang jaringan tubuh sendiri, khususnya jaringan sinovium yaitu selaput tipis yang melapisi sendi (Haryono & Setianingsih, 2013). Artritis reumatoid merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang walaupun manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progesif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh. Artritis reumatoid ditandai dengan adanya peradangan dari lapisan selaput sendi (sinovium) yang menyebabkan sakit, kekakuan, hangat, bengkak, dan merah (Nugroho, 2012). Menurut Price (1995), artritis reumatoid terjadi kira-kira 2,5 kali lebih sering menyerang wanita daripada pria, penyakit ini biasanya pertama kali muncul pada usia 25-50 tahun, puncaknya adalah antara usia 40 hingga 60 tahun, penyakit ini menyerang orang-orang diseluruh dunia dari berbagai suku bangsa, sekitar satu persen orang dewasa menderita artritis reumatoid yang jelas, dan dilaporkan bahwa di Amerika Serikat setiap tahun timbul kira-kira 750 kasus baru per satu juta penduduk (Lukman & Ningsih, 2009). 2. Penyebab Artritis Reumatoid Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui secara pasti walaupun banyak hal mengenai patologis penyakit ini telah terungkap, penyakit ini UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Upload: others

Post on 21-Oct-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Reumatoid Artritis

    1. Defenisi

    Reumatoid Artritis adalah peradangan sendi kronis yang disebabkan oleh

    gangguan autoimun, gangguan autoimun terjadi ketika sistem kekebalan

    tubuh yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap penyusup seperti virus,

    bakteri, dan jamur yang menyerang sel dan jaringan tubuh sendiri, sistem

    imun gagal membedakan jaringan sendiri dengan benda asing sehingga

    menyerang jaringan tubuh sendiri, khususnya jaringan sinovium yaitu

    selaput tipis yang melapisi sendi (Haryono & Setianingsih, 2013).

    Artritis reumatoid merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik

    yang walaupun manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progesif,

    akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh. Artritis

    reumatoid ditandai dengan adanya peradangan dari lapisan selaput sendi

    (sinovium) yang menyebabkan sakit, kekakuan, hangat, bengkak, dan

    merah (Nugroho, 2012).

    Menurut Price (1995), artritis reumatoid terjadi kira-kira 2,5 kali lebih

    sering menyerang wanita daripada pria, penyakit ini biasanya pertama kali

    muncul pada usia 25-50 tahun, puncaknya adalah antara usia 40 hingga 60

    tahun, penyakit ini menyerang orang-orang diseluruh dunia dari berbagai

    suku bangsa, sekitar satu persen orang dewasa menderita artritis reumatoid

    yang jelas, dan dilaporkan bahwa di Amerika Serikat setiap tahun timbul

    kira-kira 750 kasus baru per satu juta penduduk (Lukman & Ningsih,

    2009).

    2. Penyebab Artritis Reumatoid

    Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui secara pasti walaupun

    banyak hal mengenai patologis penyakit ini telah terungkap, penyakit ini

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 6

    belum dapat dipastikan mempunyai hubungan dengan faktor genetik

    namun berbagai faktor (termasuk kecenderungan genetik) bisa

    mempengaruhi reaksi autoimun.Faktor-faktor yang berperan yaitu jenis

    kelamin, keturunan, lingkungan, dan infeksi (Lukman & Ningsih, 2009).

    Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab artritis

    reumatoid, dugaan faktor infeksi sebagai penyebab artritis reumatoid juga

    timbul karena umumnya penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul

    dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Walaupun

    hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari

    jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa

    terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme

    yang dapat mencetuskan terjadinya artritis reumatoid, agen infeksius yang

    diduga merupakan penyebab artritis reumatoid antara lain adalah bakateri,

    mikoplasma, atau virus (Nugroho, 2012).

    3. Patofisiologi

    Artritis reumatoid, reaksi autoimun terutama terjadi pada jaringan sinovial,

    proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi, enzim-enzim

    tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi

    membran sinovial, dan akhirnya membentuk panus. Panus akan

    menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang, akibatnya

    menghilangkan permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi, otot

    akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan

    generatif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi

    otot (Lukman & Ningsih, 2009).

    4. Gejala Umum Artritis Reumatoid

    Menurut Haryono dan Setianingsih (2013), mengatakan setiap orang gejala

    artritis reumatoid yang dirasakan berbeda-beda, beberapa gejala umum

    artritis reumatoid yaitu (1) Kekakuan pada dan seputar sendi yang

    berlangsung sekitar 30-60 menit di pagi hari; (2) Bengkak pada beberapa

    sendi pada saat yang bersamaan; (3) Bengkak dan nyeri umumnya terjadi

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 7

    dengan pola yang simetris (nyeri pada sendi yang sama di kedua sisi

    tubuh) dan umumnya menyerang sendi pergelangan tangan; (4) Sakit atau

    radang dan terkadang bengkak dibagian persendian pergelangan jari,

    punggung dan sekitar leher; (5) Sakit artritis reumatoid dapat berpindah-

    pindah tempat dan bergantian bahkan sekaligus di berbagai persendian; (6)

    Sakit artritis reumatoid biasanya kambuh atau setelah mengkonsumsi

    makanan pantangan seperti sayur bayam, kangkung, kelapa, santan, dan

    lain-lain.

    5. Penatalaksanaan

    Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan nyeri artritis reumatoid yaitu (1)

    Sendi yang mengalami inflamasi di istirahatkan selama eksaserbasi; (2)

    Periode istirahat setiap hari; (3) Kompres panas dan dingin bergantian; (4)

    Aspirin, obat anti-inflamasi nonsteroid lainnya atau steroid sistemik; (5)

    Obat anti-TNF digunakan untuk menghambat inflamasi yang di perantarai

    sitoksin; (6) Pembedahan untuk mengangkat membaran sinovial atau

    untuk memperbaiki deformitas; (7) Pengobatan herbal dengan khasiat anti-

    inflamasi telah digunakan pada beberapa generasi untuk mengurangi gejala

    artritis reumatoid.

    B. Lanjut Usia

    1. Defenisi

    Lansia atau lanjut usia adalah kelompok orang yang sedang mengalami

    suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa

    dekade. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menetapkan bahwa usia

    pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45-59 tahun, usia lanjut

    (elderly) adalah kelompok usia 60-70 tahun, usia lanjut tua (old) adalah

    kelompok usia antara 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) adalah

    kelompok usia di atas 90 tahun (Notoatmodjo, 2011).

    Menurut UU No. 13 Tahun 1998 Pasal 1 ayat 2 tentang kesejahteraan

    lanjut usia menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 8

    mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut Maryam (2008), lansia dapat

    dikelompokan dalam lima kelompok seperti dibawah ini :

    a. Pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

    b. Lansia yaitu seseorang berusia 60 tahun atau lebih.

    c. Lansia resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun

    lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah

    kesehatan (Depkes RI, 2003).

    d. Lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan

    dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa (Depkes RI, 2003).

    2. Karakteristik Lansia

    Menurut Keliat (1999), lansia memiliki karakteristik yaitu : (1) berusia

    lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No. 13 tentang

    kesehatan; (2) kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat

    sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial samapai spiritual, serta dari

    kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif; (3) lingkungan tempat tinggal

    yang bervariasi (Maryam, 2008).

    3. Teori-teori Proses Penuaan

    Menurut Stanley (2007), teori-teori yang menjelaskan proses penuaan

    dikelompokan ke dalam dalam dua kelompok, yaitu:

    a. Teori Biologis

    Teori biologis menjelaskan pada seseorang yang mengalami proses

    penuaan dengan cara yang berbeda dari waktu ke waktu dan faktor yang

    mempengaruhi umur yang panjang, perlawanan terhadap oraganisme,

    dan kematian atau perubahan seluler. Teori biologis mencakup teori

    genetika, teori wear-and-tear, teori lingkungan, teori imunitas, dan teori

    neuroendokrin.

    1. Teori Genetika

    Menurut teori genetika, penuaan adalah suatu proses yang tidak

    sadar diwariskan yang berjalan dari waktu ke waktu untuk mengubah

    sel atau struktur jaringan. Teori ini menyatakan bahwa proses

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 9

    replikasi pada tingkatan seluler menjadi tidak teratur karena adanya

    informasi tidak sesuai yang diberikan dari inti sel. Molekul DNA

    menjadi saling bersilangan (crosslink) dengan unsur yang lain

    sehingga mengubah informasi genetik. Adanya crosslink ini

    mengakibatkan kesalahan pada tingkat seluler yang menyebabkan

    sistem dan organ tubuh gagal untuk berfungsi.

    2. Teori Wear–and-Tear

    Teori wear-and-tear (dipakai atau rusak) mengusulkan bahwa

    akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis

    DNA, sehingga mendorong malfungsi molecular dan akhirnya

    malfungsi pada organ tubuh.

    3. Teori Lingkungan

    Menurut teori lingkungan, faktor-faktor di dalam lingkungan

    (misalnya karsinogen dari industri, cahaya matahari, trauma, dan

    infeksi) dapat membawa perubahan dalam proses penuaan.

    4. Teori Imunitas

    Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dan sistem

    penuaan.Ketika sesorang bertambah tua, pertahanan mereka terhadap

    organisme asing mengalami penurunan, sehingga meraka lebih

    rentan untuk menderita berbagai penyakit kanker dan infeksi.Seiring

    dengan berkunganya fungsi sistem imun tubuh kehilangan

    kemampuanya untuk meningkatkan responya terhadap sel asing,

    terutama bila menghadapi infeksi.

    5. Teori Neuroendokrin

    Menurut teori neuroendokrin penuaan terjadi oleh karena adanya

    suatu perlambatan dalam sekresi hormon tertentu yang mempunyai

    suatu dampak pada reaksi yang diatur oleh sistem saraf.Hal ini lebih

    jelas ditunjukkan dalam kelenjar hipofisis, tiroid, adrenal, dan

    reproduksi.

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 10

    b. Teori Psikologis

    Teori psikologis memusatkan perhatian pada perubahan sikap dan

    perilaku yang menyertai peningkatan usia, sebagai lawan dari implikasi

    biologi pada kerusakan anatomis.

    1. Teori Kepribadian

    Teori kepribadian menyebutkan bahwa aspek-aspek pertumbuhan

    psikologis tanpa menggambarkan harapan atau tugas spesifik

    lansia.Jung (1960 dalam Stanley, 2007), mengembangkan suatu teori

    pengembangan kepribadian orang dewasa yang memandang

    kepribadian sebagai ekstrovert atau introvert.

    2. Teori Tugas Perkembangan

    Erickson (1986 dalam Stanley, 2007), menguraikan tugas utama

    lansia adalah mampu melihat kehidupan seseorang sebagai

    kehidupan yang dijalani dengan integritas. Kondisi tidak adanya

    pencapaian perasaan bahwa ia telah menikmati kehidupan yang baik,

    maka lansia tersebut berisiko untuk disibukkan dengan rasa

    penyesalan atau putus asa.

    3. Teori Disengagement

    Teori disengagement (teori pemutusan hubungan) menggambarkan

    proses penarikan diri oleh lansia dari peran bermasyarakat dan

    tanggung jawabnya.

    4. Teori Aktivitas

    Menurut teori aktivitas menunjukkan bahwa hilangnya fungsi peran

    pada lansia secara negatif mempengaruhi kepuasan hidup.

    5. Teori Kontinuitas

    Teori ini menekankan pada kemampuan koping individu sebelumnya

    dan kepribadian sebagai dasar untuk memprediksi bagaimana

    seseorang akan dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat

    penuaan.

    4. Perubahan yang Terjadi pada Lanjut Usia

    Menurut Maryam (2008), perubahan fisik yang terjadi pada lanjut usia

    meliputi perubahan fisik, sosial, dan psikologis.

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 11

    a. Perubahan Fisik

    1. Sel

    Jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun, dan

    cairan intraseluler menurun.

    2. Kardiovaskuler

    Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah

    menurun (menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas

    pembululuh darah menurun, serta meningkatnya resistensi

    pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat.

    3. Respirasi

    Otot-otot pernapasan kekuatanya menurun dan kaku, elastisitas

    paru menurun, kapasitas residu meningkat sehingga menarik nafas

    lebih berat, alveoli melebar dan jumlahnya menurun, kemampuan

    batuk menurun, serta terjadi penyempitan pada bronkus.

    4. Persyarafan

    Berkurang atau hilangnya lapisan mielin atau akson, sehingga

    menyebabkan berkurangnya respon motorik dan refleks.

    5. Muskuluskeletal

    Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh (osteoporosis),

    bungkuk (kifosis), persendian membesar dan menjadi kaku (atrofi

    otot), kram, tremor, tendon mengerut, dan mengalami sklerosis.

    6. Gastrointestinal

    Esofagus melebar, asam lambung menurun lapar menurun, dan

    peristaltik menurun sehingga daya absorpsi juga ikut menurun.

    7. Genitourinaria

    Ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal menurun, penyaringan di

    glomerulus menurun, dan fungsi tubulus menurun sehingga

    kemampuan mengonsentrasi urine ikut menurun.

    8. Vesika Urinaria

    Otot-otot melemah, kapasitasnya menurun, dan retensi urine.

    Prostat: hipertrofi pada 75% lanjut usia.

    9. Vagina yaitu selaput lendir mengering dan sekresi menurun.

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 12

    10. Pendengaran

    Membran timpani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran,

    tulang-tulang pendengaran mengalami kekakuan.

    11. Penglihatan

    Respons terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap

    menurun, akomodasi menurun, lapang pandang menurun, dan

    katarak.

    12. Endokrin yaitu produksi hormon menurun.

    13. Kulit yaitu mengalami keriput serta kulit kepala dan rambut

    menipis. Rambut dalam hidung dan telinga menebal. Elastisitas

    menurun, vaskularisasi menurun, rambut memutih (uban), kelenjar

    keringat menurun, kuku keras dan rapuh.

    14. Belajar dan memori yaitu kemampuan belajar masih ada tetapi

    relatif menurun, dan memori (daya ingat) menurun.

    2. Perubahan Sosial

    Perubahan sosial meliputi (1) Peran yaitu post power syndrome, single

    woman, dan single parent; (2) Keluarga yaitu emptiness (kesendirian),

    dan kehampaan; (3) Teman yaitu ketika lanjut usia lainnya meninggal,

    maka muncul perasaan kapan akan meninggal; (4) Abuse

    yaitukekerasan dalam bentuk verbal (dibentak) dan nonverbal (dicubit,

    tidak diberi makan); (5) Masalah hukum yaitu berkaitan dengan

    perlindungan aset dan kekayaan pribadi yang dikumpulkan sejak masih

    muda; (6) Pensiun yaitu menjadi PNS akan ada tabungan (dana

    pensiun) kalau tidak, anak dan cucu yang akan memberi uang; (7)

    Ekonomi yaitu kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok

    bagi lanjut usia dan income security; (8) Rekreasi yaitu untuk

    ketenangan batin; (9) Keamanan yaitu jatuh dan terpeleset; (10)

    Transportasi yaitu kebutuhan akan sistem transportasi yang cocok bagi

    lanjut usia; (11) Politik yaitu kesempatan yang sama untuk terlibat dan

    memberikan masukan dalam sistem politik yang berlaku; (12)

    Pendidikan yaitu berkaitan dengan pengetesan buta aksara dan

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 13

    kesempatan untuk tetap belajar sesuai dengan hak asasi manusia; (13)

    Agama yaitu melaksanakan ibadah; (14) Panti jompo yaitu merasa

    dibuang/diasingkan.

    3. Perubahan Psikologis

    Perubahan psikologis pada lanjut usia meliputi short term memory,

    frustasi, kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi

    kematian, perubahan keinginan, depresi, dan kecemasan.

    C. Nyeri

    1. Defenisi

    Nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang di manifestasikan sebagai

    penderitaan yang di akibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman,

    dan fantasi luka mengacu kepada teori dari asosiasi nyeri internasional,

    pemahaman tentang nyeri lebih menitikberatkan bahwa nyeri adalah

    kejadian fisik, yang tentu saja untuk penatalaksanaan nyeri

    menitikberatkan pada manipulasi fisik. Nyeri diperkenalkan sebagai suatu

    pengalaman emosional yang penatalaksanaannya tidak hanya pengelolaan

    fisik semata, namun penting juga untuk melakukan manipulasi (tindakan)

    psikologis untuk mengatasi nyeri (Tamsuri, 2014).

    Menurut Monti (1998), nyeri adalah suatu sensasi yang disebabkan karena

    rusaknya jaringan, bisa di kulit sampai jaringanyang paling dalam.

    Beberapa penelitian menunjukan bahwa nyeri yang sering dijumpai pada

    penderita lansia biasanya sering diterapi secara paliatif, bahkan dengan

    manajemen yang sering tidak adekuat (Darmojo, 2011).

    2. Fisiologi Nyeri

    Proses fisiologi nyeri menurut Tamsuri (2014), adalah sebagai berikut :

    a. Reseptor Nyeri

    Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima

    rangsang nyeri.Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri

    adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespons hanya terhadap

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 14

    stimulus kuat yang secara potensial merusak.Reseptor nyeri disebut

    juga nosiseptor, berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokan

    dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik

    dalam (deep so matic), dan pada daerah viseral, karena letaknya

    berbeda-beda inilah nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang

    berbeda.Nosiseptorkutaneusberasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang

    berasal dari derah ini biasanya mudah untuk dilokalisasi dan

    didefinisikan.

    Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen, yaitu :

    1. Serabut A Delta

    Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30

    m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat

    hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.

    2. Serabut C

    Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi 0,5-2

    m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya

    bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.

    b. Transmisi Nyeri

    Terdapat beberapa teori yang menggambarkan bagaimana nosiseptor

    dapat menghasilkan rangsang nyeri, yaitu :

    1. Teori Spesivisitas (Specivicity Theory)

    Teori ini didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh

    yang secara khusus mentransmisi rasa nyeri.

    2. Teori Pola (Patter Theory)

    Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri, yaitu serabut

    yang mampu menghanatarkan rangsang dengan cepat, dan serabut

    yang mampu menghantarkan dengan lambat. Kedua serabut saraf

    tersebut bersinapsis pada medula spninalis dan meneruskan

    informasi ke otak mengenai jumlah, intensitas, dan tipe input sensori

    nyeri yang menafsirkan karakter dan kuantitas input sensori nyeri.

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 15

    3. Teori Gerbang Kendali Nyeri (Gate Control Theory)

    Teori gerbang kendali nyeri, menyatakan terdapat semacam “pintu

    gerbang” yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi

    sinyal nyeri.

    c. Neuroregulator Nyeri

    Neuroregulator yang berperan dalam transmisi stimulus saraf dibagi

    dalam dua kelompok besar, yaitu neurotrasmiter dan neuromodulator.

    Neurotransmitermengirimkan impuls-impuls elektrikk melewati rongga

    sinaps antara dua serabut saraf, dan dapat bersifat sebagai penghambat.

    Sedangkan neuromodulator bekerja untuk memodifikasi aktivitas

    neuron tanpa mentransfer secara langsung sinyal-sinyal menuju sinap,

    neuromodulator dipercaya bekerja secara tidak langusng dengan

    meningkatkan atau menurunkan efek pertikuler neurotransmiter.

    3. Klasifikasi Nyeri

    Menurut Potter dan Perry (2006), nyeri diklasifikasikan sebagai berikut :

    1. Nyeri Superfisial atau Kutaneus

    Nyeri akibat stimulasi kulit, nyeri berlangsung sebentar dan

    terlokalisasi, nyeri biasanya terasa seagai sensasi yang tajam.

    2. Nyeri Viseral Dalam

    Nyeri akibat stimulasi organ-organ internal, nyeri bersifat difus dan

    dapt menyebar ke beberapa arah, durasi bervariasi tetapi biasanya

    berlangsung lebih lama dari pada nyeri superfisial.Nyeri dapat terasa

    tajam tumpul, atau unik tergantung organ yang terlibat.

    3. Nyeri Alih (Referred)

    Merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karena banyak organ

    tidak memiliki reseptor nyeri, nyeri yang di bagian tubuh yang terpisah

    dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai karakteristik.

    4. Nyeri Sebar (Radiasi)

    Nyeri terasa seakan menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang

    bagian tubuh, nyeri dapat menjadi intermiten atau konstan.

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 16

    4. Respons Tubuh Terhadap Nyeri

    Menurut Tamsuri (2014), respons tubuh terhadap nyeri adalah sebagai

    berikut :

    a. Respons Fisik

    Respons fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh

    medula spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf otonom

    terstimulasi sehingga menimbulkan respons yang serupa dengan

    respons tubuh terhadap stres. Pada nyeri skala ringan sampai moderat

    serta pada nyeri superfisial, tubuh bereaksi membangkitkan “General

    adaptation syndrome” (reaksi fight or flight), dengan merangsang

    sistem saraf simpatis, sedangkan pada nyeri yang berat dan tidak dapat

    ditoleransi serta nyeri yang berasal dari organ viseral akan

    mengakibatkan stimulasi terhadap saraf parasimpatis (Tamsuri, 2014).

    b. Respons Psikologis

    Respons psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap

    nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien, klien yang mengartikan

    nyeri sebagai sesuatu yang negetif cendrung memiliki suasana hati

    sedih, berduka, ketidakberdayaan, dan dapat berbalik menjadi rasa

    marah dan frustasi. Sebaliknya pada klien yang memiliki persepsi nyeri

    sebagai pengalaman yang positif akan menerima nyeri yang dialaminya.

    c. Respon Perilaku

    Menurut Meinhart dan Mc.Caffery (1983 dalam Tamsuri, 2014),

    menggambarkan tiga fase perilaku terhadap nyeri yaitu : antisipasi,

    sensasi, dan fase pascanyeri.

    5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri

    Menurut Potter dan Perry (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

    sebagai berikut :

    a. Usia

    Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya

    pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan yang ditemukan

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 17

    di antara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaiman anak-anak

    dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Kemampuan klien lansia untuk

    menginterpretasi nyeri dapat mengalami komplikasi dengan keberadaan

    berbagai penyakit disertai gejala samar-samar yang mungkin mengenai

    bagian tubuh yang sama, misalnya nyeri dada tidak selalu

    mengindikasikan serangan jantung, nyeri dada juga dapat merupakan

    gejala artritis pada spinal atau gejala gangguan abdomen.

    b. Jenis Kelamin

    Secara umum tidak ada perbedaan pria dan wanita dalam merespon

    nyeri (Gil, 1990). Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis

    kelamin (misalnya menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus

    berani dan tidak boleh menangis, sedangkan seorang anak perempuan

    boleh menangis dalam situasi yang sama).

    c. Kebudayaan

    Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu

    mengatasi nyeri, individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa

    yang diterima oleh kebudayaan mereka.

    d. Makna Nyeri

    Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi

    pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri.

    Misalnya seorang wanita yang sedang bersalin akan mempersepsikan

    nyeri berbeda dengan seorang wanita yang mengalami nyeri akibat

    cedera karena pukulan pasangannya.

    e. Perhatian

    Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat

    mempengaruhi persepsi nyeri, perhatian yang meningkat dihubungkan

    dengan nyeri yang meningkat sedangkan upaya pengalihan

    dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun (Gil, 1990).

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 18

    f. Ansietas

    Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas sering

    kali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan

    suatu perasaan ansietas.

    g. Keletihan

    Keletihan meningkatkan persepsi nyeri, rasa kelelahan menyebabkan

    sensasi nyeri semakin intensif dan menurukan kemampuan koping.

    Nyeri seringkali akan berkurang setelah individu mengalami suatu

    periode tidur yang lelap, dibanding pada akhir hari yang melelahkan.

    h. Pengalaman

    Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu

    tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang

    akan datang, apabila seorang klien tidak pernah merasakan nyeri maka

    persepsi pertama nyeri dapat mengganggu koping terhadap nyeri.

    i. Gaya Koping

    Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat

    seseorang merasa kesepian, apabila klien mengalami nyeri di keadaan

    perawatan kesehatan, seperti di rumah sakit klien merasa tidak berdaya

    dengan rasa sepi itu.Hal yang sering terjadi adalah klien merasa

    kehilangan kontrol terhadap lingkungan atau kehilangan kontrol

    terhadap hasil akhir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.

    j. Dukungan Keluarga dan Sosial

    Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri adalah

    kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaiman sikap mereka

    terhadap klien, individu yang mengalami nyeri sering kali bergantung

    kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh

    dukungan, bantuan, atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien

    rasakan, kehadiran orang yang dicintai klien akan meminimalkan

    kesepian dan ketakutan.

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 19

    6. Pengukuran Skala Nyeri

    Beberapa cara pengukuran yang dapat digunakan untuk menilai skala nyeri

    pada klien (Prasetyo, 2010).

    a. Skala Intensitas Nyeri Deskriptif Sederhana

    Skala Itensitas Nyeri Deskriptif Sederhana merupakan salah satu alat

    ukur tingkat keperahan yang lebih bersifat objektif.Kalimat

    pendeskripsi ini diranking dari tidak ada nyeri sampai nyeri paling

    hebat.

    Gambar 1

    b. Skala Intensitas Nyeri Numerik 0-10

    Skala intensitas nyeri numerik digunakan sebagai pengganti alat

    pendeskripsi kata, dalam hal ini pasien menilai nyeri dengan skala 0

    sampai 10.Skala ini efektif digunakan untuk mengkaji intesitas nyeri

    sebelum dan sesudah intervensi terapeutik.

    Gambar 2

    0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

    Keterangan :

    Tidak ada nyeri (0); Nyeri ringan (1-3) yaitu secara objektif klien dapat

    berkomunikasi dengan baik; nyeri sedang (4-6) yaitu secara objektif klien

    dapat menunjukan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti

    perintah dengan baik; nyeri berat (7-9) yaitu secara objektif klien terkadang

    Tidak ada

    nyeri

    Nyeri

    ringan

    Nyeri

    sedang

    Nyeri

    hebat

    Nyeri sangat

    hebat

    Nyeri paling

    hebat

    Tidak

    ada nyeri Nyeri

    ringan

    Nyeri

    sedang

    Nyeri

    hebat

    Nyeri sangat

    hebat

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 20

    tidk dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat

    menunjukan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi

    dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi; nyeri sangat berat (10) yaitu

    klien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi (Anonim, 2014).

    c. Skala Analog Visual (VAS)

    Skala analog visual merupakan suatu garis lurus yang mewakili intensitas

    nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap

    ujungnya.

    Gambar 3

    d. Skala Wajah Wong-Bakers untuk Mengukur Nyeri

    Wong dan Baker (1988), mengembangkan skala wajah untuk

    mendeskripsikan nyeri pada anak-anak, skala tersebut terdiri dari 6

    wajah profil kartun yang menggambarkan wajah tersenyum (bebas dari

    rasa nyeri) kemudian berahap menjadi wajah kurang bahagia, wajah

    yang sangat sedih dan wajah yang sangat ketakutan, anak-anak berusia

    tiga tahun dapat menggunakan skala tersebut.

    Gambar 4

    Tidak

    ada nyeri

    Nyeri paling

    hebat

    Tidak ada

    nyeri

    Nyeri

    ringan

    Nyeri

    sedang

    Nyeri

    berat

    Nyeri sangat

    berat

    Nyeri tidak

    tertahankan

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 21

    7. Penatalaksanaan Nyeri

    Manajemen farmakologis, penatalaksanaan nyeri secara farmakologis

    meliputi penggunaan opioid (narkotik), non-opioid/NSAIDs (Nonsteroid

    Anti-inflammationdrugs), dan adjuvan, serta ko-analgesik.Analgesik

    opioid (narkotik) terdiri dari berbagai derivat dari opium seperti morfin

    dan kodein (Tamsuri, 2014).

    Manajemen non-farmakologis, menurut Potter dan Perry (2006), terdapat

    beberapa manajemen nyeri secara non-farmakologis adalah sebagai berikut

    :

    a. Bimbingan Antisipasi

    Memodifikasi secara langsung cemas yang berhubungan dengan nyeri

    menghilangkan nyeri dan menambah efek tindakan untuk

    menghilangkan nyeri yang lain, cemas yang sedang akan bermanfaat

    jika klien mengantisipasi pengalaman nyeri.

    b. Distraksi

    Sistem aktivitas retikular menghambat stimulus yang menyakitkan jika

    seseorang menerima masukan sensori yang cukup ataupun berlebihan,

    stimulus sensori yang menyenangkan menyebabkan pelepasan endorfin.

    c. Biofeedback

    Merupakan terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan

    individu informasi tentang respon fisiologis, terapi ini digunakan untuk

    menghasilkan relaksasi dalam dan sangat efektif untuk mengatasi

    ketegangan otot dan nyeri.

    d. Hipnosis Diri

    Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh

    sugesti positif, suatu pendekatan kesehatan holistik, hipnosis diri

    menggunakan sugesti diri dan kesan tentang perasaan yang rileks dan

    damai.

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 22

    e. Mengurangi Persepsi Nyeri

    Salah satu cara sederhana untuk meingkatkan rasa nyaman adalah

    membuang atau mencegah stimulus nyeri, nyeri juga dapat dicegah

    dengan mengantisipasi kejadian yang menyakitkan.

    f. Stimulus Kutaneus

    Stimulus kulit yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri seperti

    masase, mandi air hangat, kompres menggunakan kantong es, dan

    stimulasi saraf elektrik transkutan merupakan langkah-langkah

    sederhana dalam upaya menurunkan persepsi nyeri.

    g. Masase Kulit

    Masase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan tegangan

    otot, ransangan masase otot ini dipercaya akan merangsang serabut

    berdiameter besar, sehingga mampu membelok atau menurunkan

    impuls nyeri (Tamsuri, 2014).

    h. Kompres

    Kompres panas dingin, selain menurunkan sensasi nyeri juga dapat

    meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang mengalami

    kerusakan, penggunaan panas selain memberi efek mengatasi atau

    sensasi nyeri, teknik ini juga memberikan reaksi fisiologis seperti

    meningkatkan respons inflamasi, meningkatkan aliran darah dalam

    jaringan, dan meningkatkan pembentukan edema (Tamsuri, 2014).

    D. Jahe Merah

    1. Defenisi

    Jahe adalah tanaman dengan sejuta khasiat yang telah dikenal sejak lama

    oleh manusia di muka bumi ini, tanaman jahe telah lama dikenal dan

    tumbuh baik di negara indonesia. Jahe merupakan salah satu rempah yang

    sangat penting, rimpangnya sangat luas dipakai antara lain sebagai bumbu

    masak, minuman, serta permen, dan juga digunakan dalam ramuan obat

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 23

    tradisional. Jahe sebagai anti peradangan (anti-inflamasi) dan pereda nyeri.

    Percobaan klinis terkontrol plasebo untuk menguji khasiat jahe dalam

    pengobatan nyeri dilakukan pada tahun 2001, percobaan tersebut

    dilakukan oleh Universitas Miami selama enam minggu terhadap 261

    pasien dengan osteoarthritis lutut, hasilnya jahe memiliki prospek sebagai

    pereda nyeri (Ramadhan, 2013).

    Jahe merah (Zingiber officinale Roscoe), merupakan tumbuhan suku

    zingiberaceai yang sudah digunakan sebagai obat turun-menurun sejak

    dulu karena mempunyai komponen volatile (minyak atsiri) dan non-

    volatile (oleoresin) paling tinggi jika dibandingakan dengan jahe jenis

    lainnya, yaitu kandungan minyak atsiri sekitar 2,58-3,90% dan 3%

    oleoresin-nya (Panjaitan, 2012).

    2. Kandungan Jahe Merah

    Rimpang jahe atau rhizoma yang ada pada jahe mengandung beberapa zat

    aktif antara lain minyak atsiri yang terdiri zingiberan, kamfena, lemonin,

    zingiberol, dan masih banyak lainnya. Komponen zat lain yang bisa

    ditemui pada rimpang jahe adalah oleoresin yang juga terbagi atas

    gingerol, shagol, resin, dan zingiberin. Secara umum aroma khas pada

    jahe disebabkan oleh kandungan minyak atsirinya, sedangkan rasa

    pedasnya bersumber pada oleoresin-nya (Ramadhan, 2014).

    MenurutHernani dan Hayani (2001), jahe merah mempunyai kandungan

    pati (52,9%), minyak atsiri (3,9%), dan ekstrak yang larut dalam alkohol

    (9,93%) lebih tinggi dibandingkan jahe emprit (41,48, 3,5 dan 7,29%) dan

    jahe gajah (44,25, 2,5, dan 5,81%). Stoilova (2007), beberapa komponen

    kimia jahe, seperti gingerol, shogaol dan zinggerone memberi efek

    farmakologi dan fisiologi seperti antioksidan, anti-inflamasi, analgesik,

    antikarsinogenik, non-toksik, dan non-mutagenik(Hernani & Winarti,

    2014).

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 24

    3. Khasiat Jahe Merah

    Sejak dulu jahe dipercaya secara turun-menurun mempunyai beberapa

    khasiat, seperti mengatasi mual, mabuk diperjalanan, gangguan usus atau

    pencernaan, keracunan makanan, serta radang sendi.Untuk mengatasi

    radang sendi, jahe dipercaya bisa menggantikan aspirin dan obat sejenis

    lainnya (Haryono & Setianingsih, 2013).

    Swarbick dan Boylan (2002), mengatakan kandungan jahe bermanfaat

    untuk mengurangi nyeri reumatik atau osteoarthritis karena jahe memiliki

    sifat pedas, pahit, dan aromatic dari oleoresin seperti zingeron, gingerol,

    dan shogaol (Masyhurrosyidi, 2013).

    Hapsoh (2010), mengatakan rimpang jahe merah biasanya digunakan

    sebagai obat masuk angin, gangguan pencernaan, sebagai analgesik,

    antipiretik, anti-inflamasi, menurunkan kadar kolesterol, mencegah

    depresi, dan impotensi (Panjaitan, 2012).

    4. Langkah Cara Membuat Kompres Jahe Merah

    Prosedur pembuatan dan pelaksanaan kompres hangat jahe merah dapat

    mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :

    Prosedur perebusan jahe merah, yaitu :

    a. Siapkan jahe merah 400 gram

    b. Cuci jahe merah sampai bersih

    c. Kemudian jahe merah diparut

    d. Nyalakan api kompor

    e. Siapkan panci dan isi air bersih secukupnya, kira-kira dua liter

    untuk 400 gram jahe merah

    f. Panaskan air sampai mendidih, kemudian campurkan jahe merah

    g. Setelah itu gunakan saringan dan peras air yang ada pada ampas

    jahe merah tersebut

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 25

    h. Kemudian siapkan termos dan masukan air hangat jahe merah ke

    dalam termos, ini dilakukan supaya tingkat kehangatan air jahe

    merah tetap terjaga.

    Prosedur pelaksanaan kompres hangat jahe merah, yaitu :

    1) Inform consent

    2) Bersihkan terlebih dahulu daerah nyeri yang akan dilakukan

    pengompresan

    3) Kemudian tuangkan air hangat jahe merah yang ada pada termos ke

    dalam baskom

    4) Campurkan sedikit air bersih kedalam baskom yang telah terisi air

    rebusan jahe merah, ini dilakukan agar air jahe merah tidak terlalu

    panas

    5) Kemudian masukan handuk kecil kedalam air hangat jahe merah

    tersebut, tunggu beberapa menit sebelum handuk diperas

    6) Peraskan handuk dan tempelkan ke daerah sendi yang terasa nyeri

    7) Angkat handuk kecil apabila sudah terasa dingin

    8) Pengompresan dilakukan selama 20 menit

    9) Lakukan pengukuran skala nyeri setelah dilakukan pengompresan

    tersebut (post-test).

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

  • 26

    E. Kerangka Konsep

    Skema 2.1 Kerangka Konsep

    Variabel Independen Variabel Dependen

    F. Hipotesis Penelitian

    Ha : Ada pengaruh kompres hangat jahe merah terhadap intensitas nyeri

    artritis reumatoid pada lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia

    dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan.

    Intensitas nyeri artritis

    reumatoid.

    Kompres hangat

    jahe merah

    UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA