bab ii tinjauan pustakarepository.sari-mutiara.ac.id/354/3/chapter ii.pdf · n faktor genetik namun...
TRANSCRIPT
-
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Reumatoid Artritis
1. Defenisi
Reumatoid Artritis adalah peradangan sendi kronis yang disebabkan oleh
gangguan autoimun, gangguan autoimun terjadi ketika sistem kekebalan
tubuh yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap penyusup seperti virus,
bakteri, dan jamur yang menyerang sel dan jaringan tubuh sendiri, sistem
imun gagal membedakan jaringan sendiri dengan benda asing sehingga
menyerang jaringan tubuh sendiri, khususnya jaringan sinovium yaitu
selaput tipis yang melapisi sendi (Haryono & Setianingsih, 2013).
Artritis reumatoid merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik
yang walaupun manifestasi utamanya adalah poliartritis yang progesif,
akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh. Artritis
reumatoid ditandai dengan adanya peradangan dari lapisan selaput sendi
(sinovium) yang menyebabkan sakit, kekakuan, hangat, bengkak, dan
merah (Nugroho, 2012).
Menurut Price (1995), artritis reumatoid terjadi kira-kira 2,5 kali lebih
sering menyerang wanita daripada pria, penyakit ini biasanya pertama kali
muncul pada usia 25-50 tahun, puncaknya adalah antara usia 40 hingga 60
tahun, penyakit ini menyerang orang-orang diseluruh dunia dari berbagai
suku bangsa, sekitar satu persen orang dewasa menderita artritis reumatoid
yang jelas, dan dilaporkan bahwa di Amerika Serikat setiap tahun timbul
kira-kira 750 kasus baru per satu juta penduduk (Lukman & Ningsih,
2009).
2. Penyebab Artritis Reumatoid
Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui secara pasti walaupun
banyak hal mengenai patologis penyakit ini telah terungkap, penyakit ini
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
6
belum dapat dipastikan mempunyai hubungan dengan faktor genetik
namun berbagai faktor (termasuk kecenderungan genetik) bisa
mempengaruhi reaksi autoimun.Faktor-faktor yang berperan yaitu jenis
kelamin, keturunan, lingkungan, dan infeksi (Lukman & Ningsih, 2009).
Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab artritis
reumatoid, dugaan faktor infeksi sebagai penyebab artritis reumatoid juga
timbul karena umumnya penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul
dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Walaupun
hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari
jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa
terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme
yang dapat mencetuskan terjadinya artritis reumatoid, agen infeksius yang
diduga merupakan penyebab artritis reumatoid antara lain adalah bakateri,
mikoplasma, atau virus (Nugroho, 2012).
3. Patofisiologi
Artritis reumatoid, reaksi autoimun terutama terjadi pada jaringan sinovial,
proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi, enzim-enzim
tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi
membran sinovial, dan akhirnya membentuk panus. Panus akan
menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang, akibatnya
menghilangkan permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi, otot
akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan
generatif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi
otot (Lukman & Ningsih, 2009).
4. Gejala Umum Artritis Reumatoid
Menurut Haryono dan Setianingsih (2013), mengatakan setiap orang gejala
artritis reumatoid yang dirasakan berbeda-beda, beberapa gejala umum
artritis reumatoid yaitu (1) Kekakuan pada dan seputar sendi yang
berlangsung sekitar 30-60 menit di pagi hari; (2) Bengkak pada beberapa
sendi pada saat yang bersamaan; (3) Bengkak dan nyeri umumnya terjadi
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
7
dengan pola yang simetris (nyeri pada sendi yang sama di kedua sisi
tubuh) dan umumnya menyerang sendi pergelangan tangan; (4) Sakit atau
radang dan terkadang bengkak dibagian persendian pergelangan jari,
punggung dan sekitar leher; (5) Sakit artritis reumatoid dapat berpindah-
pindah tempat dan bergantian bahkan sekaligus di berbagai persendian; (6)
Sakit artritis reumatoid biasanya kambuh atau setelah mengkonsumsi
makanan pantangan seperti sayur bayam, kangkung, kelapa, santan, dan
lain-lain.
5. Penatalaksanaan
Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan nyeri artritis reumatoid yaitu (1)
Sendi yang mengalami inflamasi di istirahatkan selama eksaserbasi; (2)
Periode istirahat setiap hari; (3) Kompres panas dan dingin bergantian; (4)
Aspirin, obat anti-inflamasi nonsteroid lainnya atau steroid sistemik; (5)
Obat anti-TNF digunakan untuk menghambat inflamasi yang di perantarai
sitoksin; (6) Pembedahan untuk mengangkat membaran sinovial atau
untuk memperbaiki deformitas; (7) Pengobatan herbal dengan khasiat anti-
inflamasi telah digunakan pada beberapa generasi untuk mengurangi gejala
artritis reumatoid.
B. Lanjut Usia
1. Defenisi
Lansia atau lanjut usia adalah kelompok orang yang sedang mengalami
suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa
dekade. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menetapkan bahwa usia
pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45-59 tahun, usia lanjut
(elderly) adalah kelompok usia 60-70 tahun, usia lanjut tua (old) adalah
kelompok usia antara 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) adalah
kelompok usia di atas 90 tahun (Notoatmodjo, 2011).
Menurut UU No. 13 Tahun 1998 Pasal 1 ayat 2 tentang kesejahteraan
lanjut usia menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
8
mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut Maryam (2008), lansia dapat
dikelompokan dalam lima kelompok seperti dibawah ini :
a. Pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
b. Lansia yaitu seseorang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun
lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan (Depkes RI, 2003).
d. Lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa (Depkes RI, 2003).
2. Karakteristik Lansia
Menurut Keliat (1999), lansia memiliki karakteristik yaitu : (1) berusia
lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No. 13 tentang
kesehatan; (2) kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat
sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial samapai spiritual, serta dari
kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif; (3) lingkungan tempat tinggal
yang bervariasi (Maryam, 2008).
3. Teori-teori Proses Penuaan
Menurut Stanley (2007), teori-teori yang menjelaskan proses penuaan
dikelompokan ke dalam dalam dua kelompok, yaitu:
a. Teori Biologis
Teori biologis menjelaskan pada seseorang yang mengalami proses
penuaan dengan cara yang berbeda dari waktu ke waktu dan faktor yang
mempengaruhi umur yang panjang, perlawanan terhadap oraganisme,
dan kematian atau perubahan seluler. Teori biologis mencakup teori
genetika, teori wear-and-tear, teori lingkungan, teori imunitas, dan teori
neuroendokrin.
1. Teori Genetika
Menurut teori genetika, penuaan adalah suatu proses yang tidak
sadar diwariskan yang berjalan dari waktu ke waktu untuk mengubah
sel atau struktur jaringan. Teori ini menyatakan bahwa proses
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
9
replikasi pada tingkatan seluler menjadi tidak teratur karena adanya
informasi tidak sesuai yang diberikan dari inti sel. Molekul DNA
menjadi saling bersilangan (crosslink) dengan unsur yang lain
sehingga mengubah informasi genetik. Adanya crosslink ini
mengakibatkan kesalahan pada tingkat seluler yang menyebabkan
sistem dan organ tubuh gagal untuk berfungsi.
2. Teori Wear–and-Tear
Teori wear-and-tear (dipakai atau rusak) mengusulkan bahwa
akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis
DNA, sehingga mendorong malfungsi molecular dan akhirnya
malfungsi pada organ tubuh.
3. Teori Lingkungan
Menurut teori lingkungan, faktor-faktor di dalam lingkungan
(misalnya karsinogen dari industri, cahaya matahari, trauma, dan
infeksi) dapat membawa perubahan dalam proses penuaan.
4. Teori Imunitas
Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dan sistem
penuaan.Ketika sesorang bertambah tua, pertahanan mereka terhadap
organisme asing mengalami penurunan, sehingga meraka lebih
rentan untuk menderita berbagai penyakit kanker dan infeksi.Seiring
dengan berkunganya fungsi sistem imun tubuh kehilangan
kemampuanya untuk meningkatkan responya terhadap sel asing,
terutama bila menghadapi infeksi.
5. Teori Neuroendokrin
Menurut teori neuroendokrin penuaan terjadi oleh karena adanya
suatu perlambatan dalam sekresi hormon tertentu yang mempunyai
suatu dampak pada reaksi yang diatur oleh sistem saraf.Hal ini lebih
jelas ditunjukkan dalam kelenjar hipofisis, tiroid, adrenal, dan
reproduksi.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
10
b. Teori Psikologis
Teori psikologis memusatkan perhatian pada perubahan sikap dan
perilaku yang menyertai peningkatan usia, sebagai lawan dari implikasi
biologi pada kerusakan anatomis.
1. Teori Kepribadian
Teori kepribadian menyebutkan bahwa aspek-aspek pertumbuhan
psikologis tanpa menggambarkan harapan atau tugas spesifik
lansia.Jung (1960 dalam Stanley, 2007), mengembangkan suatu teori
pengembangan kepribadian orang dewasa yang memandang
kepribadian sebagai ekstrovert atau introvert.
2. Teori Tugas Perkembangan
Erickson (1986 dalam Stanley, 2007), menguraikan tugas utama
lansia adalah mampu melihat kehidupan seseorang sebagai
kehidupan yang dijalani dengan integritas. Kondisi tidak adanya
pencapaian perasaan bahwa ia telah menikmati kehidupan yang baik,
maka lansia tersebut berisiko untuk disibukkan dengan rasa
penyesalan atau putus asa.
3. Teori Disengagement
Teori disengagement (teori pemutusan hubungan) menggambarkan
proses penarikan diri oleh lansia dari peran bermasyarakat dan
tanggung jawabnya.
4. Teori Aktivitas
Menurut teori aktivitas menunjukkan bahwa hilangnya fungsi peran
pada lansia secara negatif mempengaruhi kepuasan hidup.
5. Teori Kontinuitas
Teori ini menekankan pada kemampuan koping individu sebelumnya
dan kepribadian sebagai dasar untuk memprediksi bagaimana
seseorang akan dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat
penuaan.
4. Perubahan yang Terjadi pada Lanjut Usia
Menurut Maryam (2008), perubahan fisik yang terjadi pada lanjut usia
meliputi perubahan fisik, sosial, dan psikologis.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
11
a. Perubahan Fisik
1. Sel
Jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun, dan
cairan intraseluler menurun.
2. Kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah
menurun (menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas
pembululuh darah menurun, serta meningkatnya resistensi
pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat.
3. Respirasi
Otot-otot pernapasan kekuatanya menurun dan kaku, elastisitas
paru menurun, kapasitas residu meningkat sehingga menarik nafas
lebih berat, alveoli melebar dan jumlahnya menurun, kemampuan
batuk menurun, serta terjadi penyempitan pada bronkus.
4. Persyarafan
Berkurang atau hilangnya lapisan mielin atau akson, sehingga
menyebabkan berkurangnya respon motorik dan refleks.
5. Muskuluskeletal
Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh (osteoporosis),
bungkuk (kifosis), persendian membesar dan menjadi kaku (atrofi
otot), kram, tremor, tendon mengerut, dan mengalami sklerosis.
6. Gastrointestinal
Esofagus melebar, asam lambung menurun lapar menurun, dan
peristaltik menurun sehingga daya absorpsi juga ikut menurun.
7. Genitourinaria
Ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal menurun, penyaringan di
glomerulus menurun, dan fungsi tubulus menurun sehingga
kemampuan mengonsentrasi urine ikut menurun.
8. Vesika Urinaria
Otot-otot melemah, kapasitasnya menurun, dan retensi urine.
Prostat: hipertrofi pada 75% lanjut usia.
9. Vagina yaitu selaput lendir mengering dan sekresi menurun.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
12
10. Pendengaran
Membran timpani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran,
tulang-tulang pendengaran mengalami kekakuan.
11. Penglihatan
Respons terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap
menurun, akomodasi menurun, lapang pandang menurun, dan
katarak.
12. Endokrin yaitu produksi hormon menurun.
13. Kulit yaitu mengalami keriput serta kulit kepala dan rambut
menipis. Rambut dalam hidung dan telinga menebal. Elastisitas
menurun, vaskularisasi menurun, rambut memutih (uban), kelenjar
keringat menurun, kuku keras dan rapuh.
14. Belajar dan memori yaitu kemampuan belajar masih ada tetapi
relatif menurun, dan memori (daya ingat) menurun.
2. Perubahan Sosial
Perubahan sosial meliputi (1) Peran yaitu post power syndrome, single
woman, dan single parent; (2) Keluarga yaitu emptiness (kesendirian),
dan kehampaan; (3) Teman yaitu ketika lanjut usia lainnya meninggal,
maka muncul perasaan kapan akan meninggal; (4) Abuse
yaitukekerasan dalam bentuk verbal (dibentak) dan nonverbal (dicubit,
tidak diberi makan); (5) Masalah hukum yaitu berkaitan dengan
perlindungan aset dan kekayaan pribadi yang dikumpulkan sejak masih
muda; (6) Pensiun yaitu menjadi PNS akan ada tabungan (dana
pensiun) kalau tidak, anak dan cucu yang akan memberi uang; (7)
Ekonomi yaitu kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok
bagi lanjut usia dan income security; (8) Rekreasi yaitu untuk
ketenangan batin; (9) Keamanan yaitu jatuh dan terpeleset; (10)
Transportasi yaitu kebutuhan akan sistem transportasi yang cocok bagi
lanjut usia; (11) Politik yaitu kesempatan yang sama untuk terlibat dan
memberikan masukan dalam sistem politik yang berlaku; (12)
Pendidikan yaitu berkaitan dengan pengetesan buta aksara dan
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
13
kesempatan untuk tetap belajar sesuai dengan hak asasi manusia; (13)
Agama yaitu melaksanakan ibadah; (14) Panti jompo yaitu merasa
dibuang/diasingkan.
3. Perubahan Psikologis
Perubahan psikologis pada lanjut usia meliputi short term memory,
frustasi, kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi
kematian, perubahan keinginan, depresi, dan kecemasan.
C. Nyeri
1. Defenisi
Nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang di manifestasikan sebagai
penderitaan yang di akibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman,
dan fantasi luka mengacu kepada teori dari asosiasi nyeri internasional,
pemahaman tentang nyeri lebih menitikberatkan bahwa nyeri adalah
kejadian fisik, yang tentu saja untuk penatalaksanaan nyeri
menitikberatkan pada manipulasi fisik. Nyeri diperkenalkan sebagai suatu
pengalaman emosional yang penatalaksanaannya tidak hanya pengelolaan
fisik semata, namun penting juga untuk melakukan manipulasi (tindakan)
psikologis untuk mengatasi nyeri (Tamsuri, 2014).
Menurut Monti (1998), nyeri adalah suatu sensasi yang disebabkan karena
rusaknya jaringan, bisa di kulit sampai jaringanyang paling dalam.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa nyeri yang sering dijumpai pada
penderita lansia biasanya sering diterapi secara paliatif, bahkan dengan
manajemen yang sering tidak adekuat (Darmojo, 2011).
2. Fisiologi Nyeri
Proses fisiologi nyeri menurut Tamsuri (2014), adalah sebagai berikut :
a. Reseptor Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri.Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri
adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespons hanya terhadap
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
14
stimulus kuat yang secara potensial merusak.Reseptor nyeri disebut
juga nosiseptor, berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokan
dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik
dalam (deep so matic), dan pada daerah viseral, karena letaknya
berbeda-beda inilah nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang
berbeda.Nosiseptorkutaneusberasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang
berasal dari derah ini biasanya mudah untuk dilokalisasi dan
didefinisikan.
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen, yaitu :
1. Serabut A Delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30
m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat
hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.
2. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi 0,5-2
m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya
bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
b. Transmisi Nyeri
Terdapat beberapa teori yang menggambarkan bagaimana nosiseptor
dapat menghasilkan rangsang nyeri, yaitu :
1. Teori Spesivisitas (Specivicity Theory)
Teori ini didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh
yang secara khusus mentransmisi rasa nyeri.
2. Teori Pola (Patter Theory)
Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri, yaitu serabut
yang mampu menghanatarkan rangsang dengan cepat, dan serabut
yang mampu menghantarkan dengan lambat. Kedua serabut saraf
tersebut bersinapsis pada medula spninalis dan meneruskan
informasi ke otak mengenai jumlah, intensitas, dan tipe input sensori
nyeri yang menafsirkan karakter dan kuantitas input sensori nyeri.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
15
3. Teori Gerbang Kendali Nyeri (Gate Control Theory)
Teori gerbang kendali nyeri, menyatakan terdapat semacam “pintu
gerbang” yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi
sinyal nyeri.
c. Neuroregulator Nyeri
Neuroregulator yang berperan dalam transmisi stimulus saraf dibagi
dalam dua kelompok besar, yaitu neurotrasmiter dan neuromodulator.
Neurotransmitermengirimkan impuls-impuls elektrikk melewati rongga
sinaps antara dua serabut saraf, dan dapat bersifat sebagai penghambat.
Sedangkan neuromodulator bekerja untuk memodifikasi aktivitas
neuron tanpa mentransfer secara langsung sinyal-sinyal menuju sinap,
neuromodulator dipercaya bekerja secara tidak langusng dengan
meningkatkan atau menurunkan efek pertikuler neurotransmiter.
3. Klasifikasi Nyeri
Menurut Potter dan Perry (2006), nyeri diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Nyeri Superfisial atau Kutaneus
Nyeri akibat stimulasi kulit, nyeri berlangsung sebentar dan
terlokalisasi, nyeri biasanya terasa seagai sensasi yang tajam.
2. Nyeri Viseral Dalam
Nyeri akibat stimulasi organ-organ internal, nyeri bersifat difus dan
dapt menyebar ke beberapa arah, durasi bervariasi tetapi biasanya
berlangsung lebih lama dari pada nyeri superfisial.Nyeri dapat terasa
tajam tumpul, atau unik tergantung organ yang terlibat.
3. Nyeri Alih (Referred)
Merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karena banyak organ
tidak memiliki reseptor nyeri, nyeri yang di bagian tubuh yang terpisah
dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai karakteristik.
4. Nyeri Sebar (Radiasi)
Nyeri terasa seakan menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang
bagian tubuh, nyeri dapat menjadi intermiten atau konstan.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
16
4. Respons Tubuh Terhadap Nyeri
Menurut Tamsuri (2014), respons tubuh terhadap nyeri adalah sebagai
berikut :
a. Respons Fisik
Respons fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh
medula spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf otonom
terstimulasi sehingga menimbulkan respons yang serupa dengan
respons tubuh terhadap stres. Pada nyeri skala ringan sampai moderat
serta pada nyeri superfisial, tubuh bereaksi membangkitkan “General
adaptation syndrome” (reaksi fight or flight), dengan merangsang
sistem saraf simpatis, sedangkan pada nyeri yang berat dan tidak dapat
ditoleransi serta nyeri yang berasal dari organ viseral akan
mengakibatkan stimulasi terhadap saraf parasimpatis (Tamsuri, 2014).
b. Respons Psikologis
Respons psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap
nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien, klien yang mengartikan
nyeri sebagai sesuatu yang negetif cendrung memiliki suasana hati
sedih, berduka, ketidakberdayaan, dan dapat berbalik menjadi rasa
marah dan frustasi. Sebaliknya pada klien yang memiliki persepsi nyeri
sebagai pengalaman yang positif akan menerima nyeri yang dialaminya.
c. Respon Perilaku
Menurut Meinhart dan Mc.Caffery (1983 dalam Tamsuri, 2014),
menggambarkan tiga fase perilaku terhadap nyeri yaitu : antisipasi,
sensasi, dan fase pascanyeri.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Menurut Potter dan Perry (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
sebagai berikut :
a. Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya
pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan yang ditemukan
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
17
di antara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaiman anak-anak
dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Kemampuan klien lansia untuk
menginterpretasi nyeri dapat mengalami komplikasi dengan keberadaan
berbagai penyakit disertai gejala samar-samar yang mungkin mengenai
bagian tubuh yang sama, misalnya nyeri dada tidak selalu
mengindikasikan serangan jantung, nyeri dada juga dapat merupakan
gejala artritis pada spinal atau gejala gangguan abdomen.
b. Jenis Kelamin
Secara umum tidak ada perbedaan pria dan wanita dalam merespon
nyeri (Gil, 1990). Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis
kelamin (misalnya menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus
berani dan tidak boleh menangis, sedangkan seorang anak perempuan
boleh menangis dalam situasi yang sama).
c. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri, individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa
yang diterima oleh kebudayaan mereka.
d. Makna Nyeri
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri.
Misalnya seorang wanita yang sedang bersalin akan mempersepsikan
nyeri berbeda dengan seorang wanita yang mengalami nyeri akibat
cedera karena pukulan pasangannya.
e. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri, perhatian yang meningkat dihubungkan
dengan nyeri yang meningkat sedangkan upaya pengalihan
dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun (Gil, 1990).
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
18
f. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas sering
kali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan
suatu perasaan ansietas.
g. Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri, rasa kelelahan menyebabkan
sensasi nyeri semakin intensif dan menurukan kemampuan koping.
Nyeri seringkali akan berkurang setelah individu mengalami suatu
periode tidur yang lelap, dibanding pada akhir hari yang melelahkan.
h. Pengalaman
Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu
tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang
akan datang, apabila seorang klien tidak pernah merasakan nyeri maka
persepsi pertama nyeri dapat mengganggu koping terhadap nyeri.
i. Gaya Koping
Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat
seseorang merasa kesepian, apabila klien mengalami nyeri di keadaan
perawatan kesehatan, seperti di rumah sakit klien merasa tidak berdaya
dengan rasa sepi itu.Hal yang sering terjadi adalah klien merasa
kehilangan kontrol terhadap lingkungan atau kehilangan kontrol
terhadap hasil akhir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.
j. Dukungan Keluarga dan Sosial
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri adalah
kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaiman sikap mereka
terhadap klien, individu yang mengalami nyeri sering kali bergantung
kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh
dukungan, bantuan, atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien
rasakan, kehadiran orang yang dicintai klien akan meminimalkan
kesepian dan ketakutan.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
19
6. Pengukuran Skala Nyeri
Beberapa cara pengukuran yang dapat digunakan untuk menilai skala nyeri
pada klien (Prasetyo, 2010).
a. Skala Intensitas Nyeri Deskriptif Sederhana
Skala Itensitas Nyeri Deskriptif Sederhana merupakan salah satu alat
ukur tingkat keperahan yang lebih bersifat objektif.Kalimat
pendeskripsi ini diranking dari tidak ada nyeri sampai nyeri paling
hebat.
Gambar 1
b. Skala Intensitas Nyeri Numerik 0-10
Skala intensitas nyeri numerik digunakan sebagai pengganti alat
pendeskripsi kata, dalam hal ini pasien menilai nyeri dengan skala 0
sampai 10.Skala ini efektif digunakan untuk mengkaji intesitas nyeri
sebelum dan sesudah intervensi terapeutik.
Gambar 2
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Keterangan :
Tidak ada nyeri (0); Nyeri ringan (1-3) yaitu secara objektif klien dapat
berkomunikasi dengan baik; nyeri sedang (4-6) yaitu secara objektif klien
dapat menunjukan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik; nyeri berat (7-9) yaitu secara objektif klien terkadang
Tidak ada
nyeri
Nyeri
ringan
Nyeri
sedang
Nyeri
hebat
Nyeri sangat
hebat
Nyeri paling
hebat
Tidak
ada nyeri Nyeri
ringan
Nyeri
sedang
Nyeri
hebat
Nyeri sangat
hebat
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
20
tidk dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi; nyeri sangat berat (10) yaitu
klien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi (Anonim, 2014).
c. Skala Analog Visual (VAS)
Skala analog visual merupakan suatu garis lurus yang mewakili intensitas
nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap
ujungnya.
Gambar 3
d. Skala Wajah Wong-Bakers untuk Mengukur Nyeri
Wong dan Baker (1988), mengembangkan skala wajah untuk
mendeskripsikan nyeri pada anak-anak, skala tersebut terdiri dari 6
wajah profil kartun yang menggambarkan wajah tersenyum (bebas dari
rasa nyeri) kemudian berahap menjadi wajah kurang bahagia, wajah
yang sangat sedih dan wajah yang sangat ketakutan, anak-anak berusia
tiga tahun dapat menggunakan skala tersebut.
Gambar 4
Tidak
ada nyeri
Nyeri paling
hebat
Tidak ada
nyeri
Nyeri
ringan
Nyeri
sedang
Nyeri
berat
Nyeri sangat
berat
Nyeri tidak
tertahankan
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
21
7. Penatalaksanaan Nyeri
Manajemen farmakologis, penatalaksanaan nyeri secara farmakologis
meliputi penggunaan opioid (narkotik), non-opioid/NSAIDs (Nonsteroid
Anti-inflammationdrugs), dan adjuvan, serta ko-analgesik.Analgesik
opioid (narkotik) terdiri dari berbagai derivat dari opium seperti morfin
dan kodein (Tamsuri, 2014).
Manajemen non-farmakologis, menurut Potter dan Perry (2006), terdapat
beberapa manajemen nyeri secara non-farmakologis adalah sebagai berikut
:
a. Bimbingan Antisipasi
Memodifikasi secara langsung cemas yang berhubungan dengan nyeri
menghilangkan nyeri dan menambah efek tindakan untuk
menghilangkan nyeri yang lain, cemas yang sedang akan bermanfaat
jika klien mengantisipasi pengalaman nyeri.
b. Distraksi
Sistem aktivitas retikular menghambat stimulus yang menyakitkan jika
seseorang menerima masukan sensori yang cukup ataupun berlebihan,
stimulus sensori yang menyenangkan menyebabkan pelepasan endorfin.
c. Biofeedback
Merupakan terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan
individu informasi tentang respon fisiologis, terapi ini digunakan untuk
menghasilkan relaksasi dalam dan sangat efektif untuk mengatasi
ketegangan otot dan nyeri.
d. Hipnosis Diri
Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh
sugesti positif, suatu pendekatan kesehatan holistik, hipnosis diri
menggunakan sugesti diri dan kesan tentang perasaan yang rileks dan
damai.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
22
e. Mengurangi Persepsi Nyeri
Salah satu cara sederhana untuk meingkatkan rasa nyaman adalah
membuang atau mencegah stimulus nyeri, nyeri juga dapat dicegah
dengan mengantisipasi kejadian yang menyakitkan.
f. Stimulus Kutaneus
Stimulus kulit yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri seperti
masase, mandi air hangat, kompres menggunakan kantong es, dan
stimulasi saraf elektrik transkutan merupakan langkah-langkah
sederhana dalam upaya menurunkan persepsi nyeri.
g. Masase Kulit
Masase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan tegangan
otot, ransangan masase otot ini dipercaya akan merangsang serabut
berdiameter besar, sehingga mampu membelok atau menurunkan
impuls nyeri (Tamsuri, 2014).
h. Kompres
Kompres panas dingin, selain menurunkan sensasi nyeri juga dapat
meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang mengalami
kerusakan, penggunaan panas selain memberi efek mengatasi atau
sensasi nyeri, teknik ini juga memberikan reaksi fisiologis seperti
meningkatkan respons inflamasi, meningkatkan aliran darah dalam
jaringan, dan meningkatkan pembentukan edema (Tamsuri, 2014).
D. Jahe Merah
1. Defenisi
Jahe adalah tanaman dengan sejuta khasiat yang telah dikenal sejak lama
oleh manusia di muka bumi ini, tanaman jahe telah lama dikenal dan
tumbuh baik di negara indonesia. Jahe merupakan salah satu rempah yang
sangat penting, rimpangnya sangat luas dipakai antara lain sebagai bumbu
masak, minuman, serta permen, dan juga digunakan dalam ramuan obat
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
23
tradisional. Jahe sebagai anti peradangan (anti-inflamasi) dan pereda nyeri.
Percobaan klinis terkontrol plasebo untuk menguji khasiat jahe dalam
pengobatan nyeri dilakukan pada tahun 2001, percobaan tersebut
dilakukan oleh Universitas Miami selama enam minggu terhadap 261
pasien dengan osteoarthritis lutut, hasilnya jahe memiliki prospek sebagai
pereda nyeri (Ramadhan, 2013).
Jahe merah (Zingiber officinale Roscoe), merupakan tumbuhan suku
zingiberaceai yang sudah digunakan sebagai obat turun-menurun sejak
dulu karena mempunyai komponen volatile (minyak atsiri) dan non-
volatile (oleoresin) paling tinggi jika dibandingakan dengan jahe jenis
lainnya, yaitu kandungan minyak atsiri sekitar 2,58-3,90% dan 3%
oleoresin-nya (Panjaitan, 2012).
2. Kandungan Jahe Merah
Rimpang jahe atau rhizoma yang ada pada jahe mengandung beberapa zat
aktif antara lain minyak atsiri yang terdiri zingiberan, kamfena, lemonin,
zingiberol, dan masih banyak lainnya. Komponen zat lain yang bisa
ditemui pada rimpang jahe adalah oleoresin yang juga terbagi atas
gingerol, shagol, resin, dan zingiberin. Secara umum aroma khas pada
jahe disebabkan oleh kandungan minyak atsirinya, sedangkan rasa
pedasnya bersumber pada oleoresin-nya (Ramadhan, 2014).
MenurutHernani dan Hayani (2001), jahe merah mempunyai kandungan
pati (52,9%), minyak atsiri (3,9%), dan ekstrak yang larut dalam alkohol
(9,93%) lebih tinggi dibandingkan jahe emprit (41,48, 3,5 dan 7,29%) dan
jahe gajah (44,25, 2,5, dan 5,81%). Stoilova (2007), beberapa komponen
kimia jahe, seperti gingerol, shogaol dan zinggerone memberi efek
farmakologi dan fisiologi seperti antioksidan, anti-inflamasi, analgesik,
antikarsinogenik, non-toksik, dan non-mutagenik(Hernani & Winarti,
2014).
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
24
3. Khasiat Jahe Merah
Sejak dulu jahe dipercaya secara turun-menurun mempunyai beberapa
khasiat, seperti mengatasi mual, mabuk diperjalanan, gangguan usus atau
pencernaan, keracunan makanan, serta radang sendi.Untuk mengatasi
radang sendi, jahe dipercaya bisa menggantikan aspirin dan obat sejenis
lainnya (Haryono & Setianingsih, 2013).
Swarbick dan Boylan (2002), mengatakan kandungan jahe bermanfaat
untuk mengurangi nyeri reumatik atau osteoarthritis karena jahe memiliki
sifat pedas, pahit, dan aromatic dari oleoresin seperti zingeron, gingerol,
dan shogaol (Masyhurrosyidi, 2013).
Hapsoh (2010), mengatakan rimpang jahe merah biasanya digunakan
sebagai obat masuk angin, gangguan pencernaan, sebagai analgesik,
antipiretik, anti-inflamasi, menurunkan kadar kolesterol, mencegah
depresi, dan impotensi (Panjaitan, 2012).
4. Langkah Cara Membuat Kompres Jahe Merah
Prosedur pembuatan dan pelaksanaan kompres hangat jahe merah dapat
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
Prosedur perebusan jahe merah, yaitu :
a. Siapkan jahe merah 400 gram
b. Cuci jahe merah sampai bersih
c. Kemudian jahe merah diparut
d. Nyalakan api kompor
e. Siapkan panci dan isi air bersih secukupnya, kira-kira dua liter
untuk 400 gram jahe merah
f. Panaskan air sampai mendidih, kemudian campurkan jahe merah
g. Setelah itu gunakan saringan dan peras air yang ada pada ampas
jahe merah tersebut
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
25
h. Kemudian siapkan termos dan masukan air hangat jahe merah ke
dalam termos, ini dilakukan supaya tingkat kehangatan air jahe
merah tetap terjaga.
Prosedur pelaksanaan kompres hangat jahe merah, yaitu :
1) Inform consent
2) Bersihkan terlebih dahulu daerah nyeri yang akan dilakukan
pengompresan
3) Kemudian tuangkan air hangat jahe merah yang ada pada termos ke
dalam baskom
4) Campurkan sedikit air bersih kedalam baskom yang telah terisi air
rebusan jahe merah, ini dilakukan agar air jahe merah tidak terlalu
panas
5) Kemudian masukan handuk kecil kedalam air hangat jahe merah
tersebut, tunggu beberapa menit sebelum handuk diperas
6) Peraskan handuk dan tempelkan ke daerah sendi yang terasa nyeri
7) Angkat handuk kecil apabila sudah terasa dingin
8) Pengompresan dilakukan selama 20 menit
9) Lakukan pengukuran skala nyeri setelah dilakukan pengompresan
tersebut (post-test).
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
-
26
E. Kerangka Konsep
Skema 2.1 Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
F. Hipotesis Penelitian
Ha : Ada pengaruh kompres hangat jahe merah terhadap intensitas nyeri
artritis reumatoid pada lansia di UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia
dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan.
Intensitas nyeri artritis
reumatoid.
Kompres hangat
jahe merah
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA