bab ii teori dan kerangka pemikiran a. reviu penelitian ...eprints.umm.ac.id/59102/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A. Reviu Penelitian Terdahulu
Lembaga masjid telah menggunakan standar baku sebagaimana yang
diatur dalam PSAK N0. 45 Tahun 2011 tentang Organisasi Nirlaba. Laporan
keuangan masjid meliputi laporan posisi keuangan, laporan aktivitas, laporan
arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Namun laporan keuangan Masjid
Nasional Al-Akbar Surabaya belum pernah dilakukan pemeriksaan oleh auditor
independen yang tentunya mengurangi nilai akuntabilitas laporan keuangan
Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya (Rahayu, 2014).
Siskawati dan Surya (2015) menemukan bahwa akuntabilitas “keatas”
(upward accountability), akuntabilitas kepada pihak donatur, dan penyantun,
tidak berpengaruh terhadap budaya organisasi. Hasil pengujian akuntabilitas
“kebawah” (downward accountability) terhadap budaya organisasi masjid
menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap budaya organisasi.
Hanya pada hasil penelitian “akuntabilitas kedalam” (internal accountability)
secara positif dan signifikan berpengaruh terhadap budaya organisasi masjid.
“Akuntabilitas kedalam” (internal accountability) fokus kepada misi dan tujuan
organisasi, dengan cara memelihara nilai-nilai spiritual untuk mencapai tujuan
organisasi masjid, yaitu untuk memberikan pelayanan dan jasa agar jamaah
dapat beribadah dengan sebaikbaiknya dan memberikan dampak sosial yang
positif terhadap lingkungan.
6
Kepercayaan masyarakat merupakan faktor utama yang dipegang teguh
oleh pengurus dalam menjalankan kegiatan dan program-program masjid. Untuk
menjaga kepercayaan masyarakat, pengurus masjid selalu menjunjung tinggi
nilai-nilai kejujuran yang ada pada dirinya. Jika masyarakat dapat diberdayakan
oleh masjid dalam upaya memakmurkan masjid, maka dengan sendirinya masjid
telah memakmurkan masyarakat. Hal ini disebabkan karena kegiatan masjid
Sungai Jambu tidak hanya sebatas pada kegiatan peribadatan saja, namun
meliputi kegiatan sosial dan perekonomian yang berorientasi pada kepentingan
masyarakat. Begitu juga sebaliknya, kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi
dalam kegiatan dan program-program masjid tersebut secara langsung telah
memakmurkan masjid (Siskawati et al., 2016).
Terdapat tiga jenis masjid tipologi di Balikpapan, Kalimantan Timur, yaitu
masjid yayasan, masjid pemerintah, dan masjid komunitas. Pertama, masjid
yayasan memiliki partisipasi yang diindikasikan sebagai formal dan informal da-
lam memberikan pertanggungjawaban. Evaluasi di masjid Yayasan adalah kon-
duksi komunikasi dialektis melalui pelaporan. Semua masjid menyampaikan
evaluasi mereka secara resmi. Ada media komunikasi yang terdeteksi di semua
masjid. Ini menunjukkan bentuk informal akuntabilitas. Namun, hanya masjid
yayasan memiliki radio sebagai media komunikasi selain pelaporan keuangan di
papan pengumuman mereka.
Kedua, ada masalah sistem birokrasi dalam memberikan tindakan akunta-
bilitas dalam masjid pemerintah. Sistem birokrasi juga ditemukan dalam
penelitian ini yang memberi pengaruh untuk struktur organisasi dan mekanisme
7
akuntabilitas. Ketiga, masjid komunitas memiliki pengaruh politik dalam men-
dukung mekanisme akuntabilitas. Hal ini menyebabkan memperoleh dana untuk
kegiatan keagamaan. Semua masjid mengungkapkan laporan mereka secara
resmi. Namun, hanya masjid komunitas memiliki kurangnya pengetahuan dalam
kategorisasi rekening mereka (Fitria, 2017).
Yuliarti (2019) menemukan bahwa model pengelolaan yang dipakai oleh
pengurus masjid yaitu model pencatatan sederhana, yaitu mencatan aliran kas
masuk dam aliran kas keluar lalu dijumlahkan untuk menghasilkan jumlah saldo.
Walaupun pencatatannya masih sederhana namun dalam prakteknya dapat ber-
jalan dengan baik dan tidak pernah ditemukan masalah. Walaupun jama’ah su-
dah sangat percaya dengan para pengurus, namun dalam prakteknya para pen-
gurus tetap bertanggung jawab (akuntabilitas) dengan apa yang dikerjakan dan
terbuka (transparansi) dalam hal pencatatannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa
pengelolaan keuangan dan akuntabilitas publik sudah dijalankan oleh Takmir
Masjid Al Qolam.
8
B. Teori dan Kajian Pustaka
B.1 Akuntabilitas
Menurut (Yuliarti, 2019) akuntabilitas merupakan istilah dari
perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan
maupun kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawaban
yang dilaksanakan secara periodik. Haryanti dan Kaukab (2019)
akuntabilitas sebagai suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar
proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan
stakeholder.
Akuntabilitas adalah suatu pertanggungjawaban oleh pihak-pihak
yang diberi kepercayaan oleh masyarakat atau individu dimana nantinya
terdapat keberhasilan atau kegagalan didalam pelaksanaan tugasnya
tersebut dalam mencapai tujuan yang telah diterapkan ( Ulum dan Sofyani
2016).
Menurut ( Ulum dan Juanda 2016 ) ada dua tipe akuntabilitas yaitu:
1. Akuntabilitas internal, berlaku untuk setiap tingkatan dalam organisasi
internal penyelenggaraan negara termasuk pemerintah dimana setiap
jabatan atau petugas publik baik individu atau kelompok berkewajiban
untuk mempertanggungjawabkan kepada atasannya langsung mengenai
perkembangan kinerja atau hasil pelaksanaan kegiatannya secara
periodik atau sewaktu-waktu bila dipandang perlu.
9
2. Akuntabilitas eksternal,terdapat pada setiap lembaga negara sebgai
suatu organisasi untuk mempertanggungjawabkan semua amanat yang
telah diterima dan telah pula dilaksanakan untuk kemudian
dikomunikasikan kepada pihak eksternal dan lingkungannya.
Dari sudut fungsional, J.D Stewart dalam“ The Role of Information in
Public Accountability” sebagaimana dikutip Trijuwono ( 1999 ) dalam
(Ulum dan Sofyani, 2016) menyatakan bahwa akuntabilitas terdiri dari
lima tingkat yang berbeda yaitu :
1. Policy Accountability, akuntabilitas atas pilihan-pilihan kebijakan yang
dibuat
2. Program Accountability, akuntabilitas atas pencapaian tujuan/hasil dan
efektifitas yang dicapai
3. Performance Accountability, akuntabilitas terhadap pencapaian
kegiatan yang efisien
4. Process Accountability, akuntabilitas atas penggunaan proses, prosedur
atau ukuran yang layak dalam melaksanakan tindakan-tindakan yang
ditetapkan.
5. Probity and Legality Accountability, akuntabilitas atas legalitas dan
kejujuran penggunaan dana sesuai dengan anggaran yang disetujui atau
ketaatan terhadap undang-undang yang berlaku.
10
Berdasarkan pemaparan yang ada diatas dapat disimpulkan bahwa
akuntabilitas adalah suatu bentuk tanggungjawab atas suatu proses atau
tindakan yang dilakukan baik berhasil atau tidak dalam mencapai target
yang telah ditetapkan oleh sebuah organisasi maupun instansi pemerintah.
B.2 Akuntabilitas Publik
Akuntabilitas publik merupakan kewajiban penerima tanggung
jawab untuk mengelola, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas
dan kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan sumber daya publik.
Tuntutan akuntabilitas harus diikuti dengan pemberian kapasitas untuk
melakukan keleluasaan dan kewenangan. Akuntabilitas publik terdiri dari
akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal.Akuntabilitas vertikal
merupakan akuntabilitas kepada otoritas yang lebih tinggi, sedangkan
akuntabilitas horizontal adalah akuntabilitas kepada publik secara luas
atau terhadap sesama lembaga lainnya yang tidak memiliki hubungan
atasan bawahan (Sochimin, 2015).
Putra (2018) menyatakan bahwa akuntabilitas publik berarti
pemberian informasi dan disclosure atas aktivitas dan kinerja finansial
pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap laporan
tersebut. Akuntabilitas publik juga merupakan pertanggungjawaban
tindakan dan keputusan dari para pemimpin atau pengelola organisasi
sektor publik kepada pihak yang memiliki kepentingan (stakeholder) dan
masyarakat yang memberikan amanah kepadanya berdasarkan sistem
11
pemerintahan yang berlaku (Bastian, 2014). Sehingga dapat disimpulkan
bahwa akuntabilitas publik adalah bentuk tanggung jawab pengelola atau
pemimpin organisasi atau pemerintahan untuk memberikan informasi
berdasarkan aktivitasnya kepada masyarakat.
Menurut Ellwood (1993) dalam (Al Muddatstsir et al., 2018) terdapat
empat dimensi akuntabilitas publik yang harus dipenuhi organisasi sektor
publik, yaitu:
1. Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum. Akuntabilitas kejujuran
(accountability for probity) terkait dengan penghindaran penyalahgunaan
jabatan (abuse of power), sedangkan akuntabilitas hukum (legal
accountability) terkait dengan jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum
dan peraturan lain yang disyaratkan dalam penggunaan sumber dana
publik.
2. Akuntabilitas proses. Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur
yang digunakan dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik dalam hal
kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi manajemen, dan
prosedur administrasi. Akuntabilitas proses termanifestasikan melalui
pemberian pelayanan publik yang cepat, responsif, dan murah biaya.
Pengawasan dan pemeriksaan terhadap pelaksanaan akuntabilitas proses
dapat dilakukan, misalnya dengan memeriksa ada tidaknya markup dan
pungutan-pungutan lain di luar yang ditetapkan, serta sumber-sumber
inefisiensi dan pemborosan yang menyebabkan mahalnya biaya pelayanan
12
publik dan kelambanan dalam pelayanan.
3. Akuntabilitas program. Akuntabilitas program terkait dengan pertimbangan
apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah telah
mempertimbangkan alternatif program yang memberikan hasil yang
optimal dengan biaya yang minimal.
4. Akuntabilitas kebijakan. Akuntabilitas kebijakan terkait dengan
pertanggungjawaban pemerintah, baik pusat maupun daerah.
B.3 Transaparansi
Haryanti dan Kaukab (2019) memaparkan bahwa transparansi ada-
lah kewajiban bagi para pengelola untuk menjalankan prinsip keterbukaan
dalam proses keputusan dan penyampaian informasi. Transparansi artinya
dalam menjalankan pemerintahan, pemerintah mengungapkan hal-hal
yang sifatnya material secara berkala kepada pihak-pihak yang memiliki
kepentingan, dalam hal ini yaitu masyarakat luas sehingga prinsip
keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan
mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah
(Hanifah dan Praptoyo, 2015).
Julkarnain (2018) menjelaskan bahwa transparansi merupakan
kebijakan terbuka bagi pengawasan. Terbuka artinya, dapat dijangkau oleh
publik atau masyarakat secara umum. Suatu kebijakan pemerintah suatu
Negara misalnya, terkait dengan keterbukaan informasi, maka diharapkan
akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran sehingga
kebijakan yang dibuat berdasarkan pada referensi publik.
13
Ada beberapa prinsip transparansi seperti yang dikemukakan oleh
Humanitarian Forum Indonesia (HFI) (Tundunaung et al., 2018), yaitu:
1. Adanya informasi yang mudah dipahami dan diakses (dana, cara
pelaksanaan, bentuk bantuan atau program).
2. Adanya publikasi dan media mengenai proses kegiatan dan detail
keuangan.
3. Adanya laporan berkala mengenai pendayagunaan sumber daya dalam
perkembangan proyek yang dapat diakses oleh umum.
4. Laporan tahunan
5. Website atau media publikasi organisasi
6. Pedoman dalam penyebaran informasi
Hanifah dan Praptoyo (2015) mengatakan prinsip-prinsip
transparansi dapat diukur melalui sejumlah indikator seperti berikut :
1. Mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi dari
semua proses-proses pelayanan publik
2. Mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang
berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses
didalam sektor publik
14
3. Mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran
informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik didalam
kegiatan melayani.
Berdasarkan pengertian yang telah dijelaskan dapat ditarik
kesimpulan bahwa transparansi adalah suatu kejujuran atau keterbukaan
dalam menjalankan suatu organisasi atau pemerintahan untuk mengambil
keputusan mengenai target yang telah ditetapkan dan hasil dari keputusan
tersebut dapat diakses oleh masyarakat baik melalui website maupun
melalui laporan keuangan yang ada.
B.4 Organisasi Nirlaba
Organisasi nirlaba merupakan suatu organisasi yang bertujuan
pokok untuk mendukung kepentingan publik yang tidak komersial,
organisasi nirlaba meliputi organisasi keagamaan, sekolah, rumah sakit,
dan klinik publik, organisasi masyarakat, organisasi sukarelawan,
serikat buruh. Tujuan dari organisasi nirlaba menjadi jelas perbedaannya
ketika dibandingkan dengan organisasi bisnis. Organisasi nirlaba berdiri
untuk mewujudkan perubahan pada individu atau komunitas, sedangkan
organisasi bisnis bertujuan untuk mencari keuntungan. Organisasi nirlaba
menjadikan sumber daya manusia sebagai aset yang paling berharga,
karena semua aktivitas organisasi ini pada dasarnya adalah dari, oleh, dan
untuk manusia (Marlinah dan Ibrahim, 2018).
B.5 Sifat Organisasi Nirlaba
15
Organisasi Nonlaba memiliki sektor entiti yang sangat berbeda,
dimana pemiliknya adalah publik dan privat, para dermawan dan self
promoting, memperoleh pembebasan pajak dan/atau dapat dikenakan
pajak. Organisasi Nonlaba adalah salah satu diantara empat kategori :
VHWO, rumah sakit, sekolah tinggi dan universitas, dan organisasi
Nonlaba lain-lainnya (seperti gereja, masjid, museum, organisasi massa
dan lain-lain). Metode-metode akuntansi dan laporan keuangan untuk
setiap organisasi Nonlaba berbeda. Organisasi Nonlaba pertama didesain
sebagai pemerintahan atau sebagai non-pemerintahan untuk menentukan
apakah harus mengikuti standar-standar GASB atau FASB (di Indonesia
SAP atau SAK). Semua organisasi nonlaba non-pemerintah esensinya
menggunakan basis panduan yang sama, meskipun sifat dari transaksinya
berbeda (Andarsari, 2016).
B.6 Karakteristik Entitas Nirlaba
Karakteristik Entitas Nirlaba, sebagai berikut, (1) Sumber daya
entitas nirlaba berasal dari pemberi sumber daya yang tidak mengharapkan
pembayaran kembali atau manfaat ekonomi yang sebanding dengan
jumlah sumber daya yang diberikan. (2) Menghasilkan barang ada/atau
jasa tanpa bertujuan memupuk laba dan jika entitas nirlaba menghasilkan
laba, maka jumlahnya tidak dibagikan kepada pendiri atau pemilik entitas
tersebut. (3) Tidak ada kepemilikan seperti umunya pada entitas bisnis
dalam arti bahwa kepemlilikan dalam entitas nirlaba tidak dapat dijual,
dialihkan atau ditebus kembali, atau kepemilikan tersebut tidak
16
mencerminkan proporsi pembagi sumber daya entitas pada saat liquidasi
atau pembubaran entitas nirlaba (Firdaus dan Yulianto, 2018).
B.7 Laporan Keuangan Organisasi Nirlaba
Menurut (Dinanti dan Nugraha, 2018) laporan keuangan merupakan
informasi keuangan suatu organisasi dalam suatu periode yang
menjabarkan kinerja dari organisasi tersebut. Laporan keuangan tersebut
dianggap sangat penting untuk dibuat karena dapat menggambarkan
kinerja organisasi dalam suatu periode. Laporan keuangan yang tersusun
diharapkan dapat memberikan informasi yang jelas terhadap para
penggunanya. Tujuan laporan keuangan adalah untuk memberikan
informasi kepada pihak yang membutuhkan tentang kondisi suatu
perusahaan dari sudut angka-angka dalam satuan moneter.
B.8 Komponen Laporan Keuangan PSAK No.109
17
IAI (2008) komponen laporan keuangan dalam PSAK No.109 terdiri
dari :
1. Neraca ( Laporan Posisi Keuangan )
Entitas amil menyajikan pos-pos dalam neraca (laporan posisi
keuangan) dengan memperhatikan ketentuan dalam PSAK terkait, yang
mencakup, tetapi tidak terbatas pada:
a. Aset : kas dan setara kas, instrumen keuangan, piutang, aset tetap
dan akumulasi penyusutan
b. Kewajiban : biaya yang masih harus dibayar, dan kewajiban
imbalan kerja
c. Saldo dana : dana zakat, dana infak/sedekah, dana amil, dan dana
nonhalal
2. Laporan Perubahan Dana
Amil menyajikan laporan perubahan dana zakat, dana infak/sedekah,
dana amil, dan dana nonhalal. Penyajian laporan perubahan dana
mencakup, tetapi tidak terbatas pada pos-pos berikut:
a. Dana zakat yang terdiri dari penerimaan dana zakat, penyaluran dana
zakat, saldo awal dana zakat, saldo akhir dana zakat.
b. Dana infaq atau sedekah yang terdiri dari penerimaan dana infaq
atau sedekah, penyaluran dana infaq atau sedekah, saldo awal dana
infaq atau sedekah, dan saldo akhir.
18
c. Dana amil yang terdiri dari penerimaan dana amil, penyaluran dana
amil, saldo awal dana amil, dan saldo akhir dana amil.
d. Dana nonhalal yang terdiri dari penerimaan dana nonhalal,
penyaluran dana nonhalal, saldo awal dana nonhalal, dan saldo akhir
dana nonhalal.
3. Laporan Perubahan Aset Kelolaan
Entitas amil menyajikan laporan perubahan aset kelolaan yang
mencakup tetapi tidak terbatas pada :
a. Aset kelolaan yang termasuk aset lancar
b. Aset kelolaan yang termasuk tidak lancar dan akumulasi penyusutan
c. Penambahan dan pengurangan
d. Saldo awal
e. Saldo akhir
4. Laporan Arus Kas
Entitas amil menyajikan laporan arus kas sesuai dengan PSAK 2 yaitu
laporan arus kas dan PSAK yang relevan.
5. Catatan Atas Laporan Keuangan
Amil menyajikan catatan atas laporan keuangan sesuai dengan PSAK
101 yaitu penyajian laporan keuangan syariah dan PSAK yang relevan.
B.9 Masjid
19
Siskawati et al. (2016) masjid merupakan organisasi non profit
dimana pengurus masjid berfungsi sebagai agent yang berkewajiban
mengatur dan melaporkan penggunaan dana yang diberikan oleh principal.
Namun kritik terhadap akuntabilitas masjid mengatakan bahwa
pengendalian internal dan pengawasan pengelolaan keuangan pada
organisasi masjid masih lemah.
Ikatan Akuntansi Indonesia pada tahun 2008 membuat pernyataan
standar akuntansi keuangan (PSAK No. 109) untuk akuntansi zakat dan
infaq/sedekah sebagai pedoman dalam penyusunan laporan keuangan
dengan tujuan agar laporan keuangan yang disajikan mudah dipahami oleh
pengguna. Oleh karena itu, Masjid yang merupakan organisasi nirlaba
diharapkan menyajikan laporan keuangannya dengan berpedoman pada
PSAK No 45. Setiap laporan keuangan yang dibuat diharuskan
mempunyai karakter kualitatif, yaitu ciri khas yang harus dimiliki oleh
setiap pelaporan keuangan supaya pelaporan keuangan tersebut bisa
berguna bagi setiap pemakainya. Karakteristik kualitas utama yang harus
dipenuhi dalam laporan keuangan antara lain: dapat dipahami, relevansi,
dapat diandalkan, serta dapat dibandingkan (IAI 2010 ).
B.10 Pengelolaan Keuangan Masjid
Halim dan Kusufi yang dikutip dari (Ibrahim, 2018) menyatakan
“Dalam konteks organisasi peribadatan, manajemen keuangan organisasi
peribadatan adalah usaha yang dilakukan pengelola tempat peribadatan
20
dalam menggunakan dana umat sesuai dengan ketentuan dalam ajaran
agama dan kepentingan umat beragama, serta bagaimana memperoleh
dana dari umat dengan cara-cara yang dibenarkan oleh agama)”.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka dalam manajemen keuangan
terdapat dua fungsi yaitu 1) fungsi mendapatkan dana, dan 2) fungsi
menggunakan dana.
C. Kerangka Pemikiran
Pada era saat ini semakin banyak terjadinya kasus korupsi baik yang
dilakukan pejabat maupun para pengurus suatu organisasi baik itu organisasi
besar atau kecil serta organisasi yang bertujuan mendapatkan profit maupun
non profit. Untuk menghindari terjadinya korupsi tersebut maka cara yang paling
efektif adalah dengan membentuk sebuah laporan keuangan, karena dengan
adanya laporan keuangan adalah sebagai bentuk dari adanya transparansi dan
akuntabilitas suatu entitas.
Pelaksanaan praktik akuntansi terutama dalam hal akuntabilitas dan
transparansi pada organisasi Islam melalui masjid masih jarang diperhatikan,
padahal dalam rangka pelaksanaan prinsip akuntabilitas dan transparansi pada
masyarakat praktik pengelolaan keuangan masjid sangatlah penting. Mengingat
bahwa masyarakat dan donatur sekarang ini sudah sangatlah cerdas dalam
melihat kondisi suatu masjid, sehingga untuk mengurangi atau menghindari
terjadinya perilaku kecurangan dan kasus korupsi pada sebuah organisasi
masjid, maka pengelola masjid perlu melakukan pencatatan sumber
21
penerimaaan dan pengeluaran kas berdasarkan aktivitas sehingga keuangan
masjid lebih terkendali dan transparan.
Masjid Jami’ Agung Malang adalah masjid utama di kota Malang yang
terletak di tengah-tengah kota Malang. Daya tampung jamaah pada masjid ini
cukup besar sehingga jamaah yang datang juga tidak sedikit ketika memasuki
waktu shalat tiba. Berdasarkan penjelasan tersebut penulis dapat menyimpulkan
bahwa arus kas masuk dan keluar masjid ini lancar. Melakukan penyusunan
laporan keuangan sebuah organisasi nirlaba dalam hal ini masjid, IAI
mengeluarkan standar pelaporan keuangan yakni PSAK No. 109. Menurut
PSAK No. 109 setidaknya pengelola zakat, infak dan sedekah membuat 5 jenis
komponen laporan keuangan yaitu, laporan posisi keuangan pada akhir periode
laporan, laporan perubahan dana untuk suatu periode pelaporan, laporan peru-
bahan aset kelolaan untuk suatu periode pelaporan, laporan arus kas untuk suatu
periode pelaporan, dan catatan atas laporan keuangan.
Adanya penelitian mengenai akuntabilitas dan transaparansi ini
diharapkan pengurus masjid bisa menghasilkan sebuah manajemen keuangan
masjid yang baik dengan membuat laporan keuangan dan mengumumkannya di
hadapan jamaah dan donatur secara transparan. Sehingga jamaah dan donatur
memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap masjid untuk menginfakkan uangnya
kepada masjid tersebut.
22
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kerangka pikir penulis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Akuntabilitas
Laporan Keuangan Yang
Transparan dan Akuntabel
Transparansi
Tata Kelola Keuangan
Sesuai dengan PSAK 109
Laporan Keuangan
Laporan Keuangan
Masjid Agung Jami’ Malang