bab ii sistem informasi geografis dan · pdf filebencana banjir tersebut, antara lain peta...

10
6 BAB II SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFRASTRUKTUR DATA SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN BANJIR 2.1 Faktor Penyebab Banjir Banjir adalah aliran/genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan menyebabkan kehilangan jiwa (Asdak, 1995). Untuk dapat mengatasi permasalahan banjir tersebut maka perlu diketahui faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya banjir. Pada umumnya banjir dapat terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Curah Hujan Curah hujan yang tinggi dapat menimbulkan debit air sungai menjadi lebih besar dari kapasitas tampungnya sehingga terjadi limpasan dan genangan pada daerah dataran banjir (Nurhikmat, 1994). Dataran banjir (flood plain) adalah lahan/dataran di kanan kiri sungai yang sewaktu-waktu bisa tergenang banjir (Siswoko, 2002). Sebagai ilustrasi dapat dilihat Gambar 2.1. Gambar 2.1 Dataran Banjir

Upload: vudiep

Post on 06-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

6

BAB II

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFRASTRUKTUR DATA

SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN BANJIR

2.1 Faktor Penyebab Banjir

Banjir adalah aliran/genangan air yang menimbulkan kerugian ekonomi atau bahkan

menyebabkan kehilangan jiwa (Asdak, 1995). Untuk dapat mengatasi permasalahan

banjir tersebut maka perlu diketahui faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya

banjir.

Pada umumnya banjir dapat terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor, antara

lain:

1. Curah Hujan

Curah hujan yang tinggi dapat menimbulkan debit air sungai menjadi lebih besar dari

kapasitas tampungnya sehingga terjadi limpasan dan genangan pada daerah dataran

banjir (Nurhikmat, 1994). Dataran banjir (flood plain) adalah lahan/dataran di kanan

kiri sungai yang sewaktu-waktu bisa tergenang banjir (Siswoko, 2002). Sebagai

ilustrasi dapat dilihat Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Dataran Banjir

7

2. Daya Serap Lahan

Setiap lahan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menginfiltrasikan

(meresapkan) air hujan ke dalam tanah sehingga jumlah air hujan yang meresap ke

dalam tanah dan yang mengalir di atas permukaan tanah akan berbeda di setiap jenis

lahannya. Jika daya serap lahan kecil maka air hujan yang mengalir di atas

permukaan tanah (run off) lebih banyak dan begitu pula sebaliknya.

Hal-hal yang dapat mempengaruhi kemampuan daya serap lahan adalah jenis tanah

dan tipe tutupan lahan. Jenis tanah dapat dibedakan lagi menjadi dua, yaitu jenis

tanah yang impervious (kedap air) dan permeable (dapat ditembus air). Tanah yang

impervious tidak dapat meresapkan atau menyimpan air ke dalam tanah sehingga

volume run off yang terjadi akan lebih banyak. Tetapi jika jenis tanah yang

permeable adalah sebaliknya, dapat menyimpan air untuk sementara dan volume run

off yang terjadi besarnya sedikit. Untuk tipe tutupan lahan, jika tipe tutupan lahan

berupa bangunan atau lahan terbuka maka tidak dapat meresapkan atau menyimpan

air ke dalam tanah. Sedangkan jika tipe tutupan lahan berupa vegetasi maka

mempunyai daya serap yang lebih besar dan volume run off yang akan terjadi

besarnya sedikit.

2.2 Penanggulangan Bencana Banjir

Penanggulangan bencana banjir adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan tujuan

untuk mengurangi kerugian-kerugian akibat banjir. Terdapat 4 tahapan yang

dilakukan dalam penanggulangan bencana banjir, yaitu 2 tahap dilakukan sebelum

terjadi bencana dan 2 tahap lagi dilakukan setelah terjadi bencana. Tahapan yang

dilakukan sebelum terjadinya bencana adalah berupa disaster preparedness

(kesiapsiagaan menghadapi bencana) dan disaster mitigation (mitigasi bencana).

Sedangkan tahapan yang dilakukan setelah terjadi bencana adalah berupa disaster

response/emergency response (tanggap bencana) dan disaster recovery (pemulihan).

8

Ke-empat tahapan tersebut membentuk suatu siklus penanggulangan banjir seperti

yang dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Siklus Penanggulangan Bencana Banjir

Kegiatan penanggulangan banjir yang dilakukan sebelum terjadi bencana adalah:

• Pencegahan/mitigasi bencana (disaster mitigation)

Pada tahap ini dilakukan usaha yang bertujuan untuk mencegah bahaya (resiko) banjir

atau mengantisipasi agar kerugian yang ditimbulkan akibat banjir dapat dikurangi.

Tahap mitigasi ini berbeda dari tiga tahap yang lain karena fokus pada usaha jangka

panjang untuk mengurangi bahkan menghilangkan resiko banjir. Usaha mitigasi dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu terstruktur dan tidak terstruktur. Usaha terstruktur

bersifat memperbaiki alam, salah satunya menggunakan solusi teknologi, seperti

perbaikan/pembuatan bendungan banjir, pembuatan tanggul sepanjang alur sungai,

dan bangunan pengendali lainnya. Sedangkan usaha yang tidak terstruktur meliputi

kegiatan seperti pembuatan peraturan, pembuatan sistem informasi lokasi daerah

rawan banjir dan lain-lain.

• Persiapan/kesiapsiagaan (disaster preparedness)

Pada tahap persiapan, dilakukan perencanaan sebelum terjadi bencana banjir,

kesiapsiagaan menghadapi bencana. Tindakan ini dilakukan ketika mitigasi dianggap

BANJIR

Kesiapsiagaan (Disaster Preparedness)

Pemulihan (Disaster Recovery)

Mitigasi (Disaster Mitigation)

Tanggap Bencana (Disaster Response)

9

tidak mencukupi untuk dapat melindungi dari bencana banjir. Usaha-usaha yang

dilakukan meliputi operasional tindakan pencegahan, pembangunan early warning

system, dan pendidikan, seperti pengembangan dan pelatihan sistem peringatan dini

yang dikombinasikan dengan tempat pengungsian dan rencana evakuasi,

pemberitahuan kepada masyarakat mengenai lokasi daerah rawan banjir, pelatihan

layanan emergency, dan lain-lain.

Kegiatan penanggulangan banjir yang dilakukan setelah terjadinya bencana adalah:

• Tanggap Bencana (disaster response)

Tanggap darurat adalah tindakan-tindakan yang dilakukan pada saat terjadi bencana

banjir, berupa koordinasi, pencarian dan penyelamatan korban banjir, pendugaan

kerusakan akibat banjir dan lain-lain. Semua tindakan tersebut dilakukan untuk

menghindari korban dan kerugian banjir agar tidak menjadi semakin banyak.

• Pemulihan (disaster recovery)

Tujuan dari tahap pemulihan ini adalah memulihkan kondisi lingkungan yang terkena

bencana banjir dengan membangun kembali daerah yang rusak menjadi keadaan

semula yang normal misalnya pembangunan ulang bangunan yang hancur atau

hanyut terbawa arus banjir, perbaikan infrastruktur yang rusak dan pembangunan

yang lain.

Dalam penanggulangan bencana banjir diperlukan adanya data spasial karena pada

setiap tahapan penanggulangan bencana banjir seperti di atas dapat dibantu dengan

memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). Berikut beberapa contoh

pemanfaatan SIG dalam siklus penanggulangan bencana banjir, yaitu:

• Pada tahap mitigasi, SIG dapat digunakan untuk mengidentifikasi daerah yang

rawan terjadi banjir.

• Pada tahap persiapan, SIG dapat digunakan untuk merencanakan rute

evakuasi korban bencana banjir dan menentukan daerah pengungsian.

10

• Pada tahap tanggap darurat, SIG dapat digunakan pendistribusian bantuan.

• Pada tahap pemulihan, SIG dapat digunakan untuk mengelola informasi

kerusakan dan informasi setelah terjadi bencana untuk keperluan rekontruksi.

Adapun jenis data spasial yang dapat digunakan untuk membantu penanggulangan

bencana banjir tersebut, antara lain peta topografi, peta geomorfologi, peta sistem

lahan, peta tutupan lahan, peta tata guna lahan, peta administrasi, peta jaringan jalan,

peta jenis tanah, peta curah hujan, peta DAS, peta jaringan sungai, peta kejadian

banjir, data kependudukan, dan lain-lain.

2.3 Basis Data untuk Identifikasi Daerah Rawan Banjir

Identifikasi daerah rawan banjir merupakan salah satu tindakan dalam tahap mitigasi

bencana untuk menanggulangi banjir. Hal yang dilakukan dalam identifikasi daerah

rawan banjir ini adalah mendefinisikan secara spasial mengenai keberadaan daerah

yang berpotensi terjadi banjir. Untuk dapat melakukan hal itu maka diperlukan suatu

sistem yang mampu menghasilkan informasi berbasis spasial. Sistem yang dapat

dimanfaatkan untuk menghasilkan informasi berbasis spasial tersebut adalah Sistem

Informasi Geografis (SIG). Dalam pemanfaatan SIG untuk identifikasi daerah rawan

banjir ini, akan dapat dilakukan secara efektif jika telah dibangun basis data yang

baik.

Berikut tahap-tahap yang dilakukan untuk membangun basis data identifikasi daerah

rawan banjir, yaitu: tahap konseptual, tahap logikal, dan tahap fisikal.

a. Tahap Konseptual

Tahap konseptual adalah tahapan yang dilakukan untuk mendefinisikan

kebutuhan pengguna. Pada tugas akhir ini, pendefinisian kebutuhan pengguna

dilakukan dengan studi literatur berdasar model identifikasi daerah rawan

banjir seperti yang dapat diihat pada Gambar 2.3.

11

Gambar 2.3 Metodologi Untuk Identifikasi Daerah Rawan Banjir

(Rallyanti P., 2007)

Data Tutupan Lahan

Data Jenis Tanah

Indeks Tutupan Lahan

Indeks Jenis Tanah

Data Curah Hujan

Konversi ke Data Curah Hujan durasi jam

Curah Hujan (P)

Intensitas Hujan (I)

Curve Number

Potensial Penyerapan Maksimum (S)

S = (1000 / CN) - 10

Inisial Abstraksi(Ia) Ia = 0,2 . S

Nilai runoff (Q) Q = (P - Ia)2 / ((P - Ia) + S)

Koefisien runoff (C) C = Q / P

Batas DAS

Luas DAS (Adas)

Debit Puncak (Qp) Qp = 0,278 . C . I . A

Waktu Konsentrasi (Tc) Tc = 0,0195 x L0,77 x S-0,385

DEM

Akumulasi Aliran

Arah Aliran

Kemiringan (S)

Panjang Aliran (L)

Volume Air Limpasan (Qvol) Qvol = Qp x Tc

Kapasitas Tampung Sungai (Svol) Svol = L x d x l

Potensi Banjir (F) F = Qvol – Svol

Data Titik Tinggi

12

b. Tahap Logikal

Tahap logikal ialah suatu tahap pendesainan model hubungan antar entitas, dimana

entitas yang dimaksud adalah individu yang mewakili sesuatu yang nyata,

mempunyai karakteristik yang sama dan dapat dibedakan dari sesuatu yang lain

berdasarkan karakteristik yang dimiliki, antara lain dinyatakan dalam bentuk atribut.

Oleh karena itu, pada tahap ini dilakukan pemilihan dan pengelompokan data yang

diperlukan untuk identifikasi daerah rawan banjir sehingga diperoleh suatu data yang

mewakili keadaan sebenarnya dan kemudian dibentuk menjadi suatu entitas. Setelah

itu, entitas-entitas tersebut dimodelkan melalui suatu hubungan antar entitas berdasar

aturan-aturan yang digunakan (enterprise rule). Enterprise rule adalah aturan yang

digunakan untuk mendefinisikan hubungan antara entitas yang satu dengan yang

lainnya. Hal ini dibutuhkan agar hubungan keterkaitan antar entitas dapat terdefinisi

dengan jelas dan logis sehingga basis data yang dibangun dapat menggambarkan

permasalahan yang sebenarnya. Adapun model hubungan antar entitas yang

digunakan dalam tugas akhir ini adalah model relasional.

c. Tahap Fisikal

Tahap fisikal merupakan tahap untuk membuat perancangan fisik dari suatu sistem

yang dilaksanakan dengan mengacu kepada tahap konseptual dan logikal yang

dikerjakan sebelumnya. Pada tahap fisikal ini di-uji sampai sejauh mana data dasar

spasial yang telah diidentifikasi dan yang tersedia dapat memenuhi kebutuhan query

yang diperlukan oleh pengguna.

Secara ringkas, tahap-tahap penyusunan basis data untuk identifikasi daerah rawan

banjir ini dapat dilihat pada Gambar 2.4.

13

Gambar 2.4 Tahap-Tahap Penyusunan Basis Data

2.4 Infrastruktur Data Spasial

Pemanfaatan SIG untuk identifikasi daerah rawan banjir merupakan salah satu contoh

perkembangan aplikasi SIG. Semakin berkembang teknologi SIG, dirasakan juga

semakin meningkat kegiatan pengadaan data. Proses pengadaan data merupakan

kegiatan yang memerlukan biaya tinggi dan alokasi waktu yang cukup lama. Saat ini

pengadaan data spasial telah banyak dilakukan baik oleh instansi-instansi pemerintah

maupun lembaga-lembaga non-pemerintah (swasta). Akibat keberadaan data spasial

yang terdistribusi di berbagai instansi yang berbeda ini maka muncul permasalahan-

permasalahan sebagai berikut:

• Kemungkinan duplikasi data atau kegiatan pemetaan yang sama yang

diakibatkan karena belum adanya komunikasi yang baik dan belum banyak

Tahap Logikal

Penentuan Entitas Pembuatan Atribut Pembuatan Diagram ER (Entity Relationship) Pembuatan Tabel Kerangka (skeleton table)

Tahap Fisikal

Pembuatan Aplikasi SIG

Identifikasi Kebutuhan Data Pengumpulan Data

Tahap Konseptual

Studi Literatur Identifikasi Kebutuhan Pengguna

Model Identifikasi Daerah Rawan Banjir (Rallyanti, 2007)

14

yang melakukan penggunaan data secara bersama (sharing data) antar

instansi. Padahal masing-masing instansi memiliki tugas dan fungsi instansi

sendiri-sendiri.

• Kesulitan dalam mengakses data karena tidak tersedianya informasi yang

menjelaskan tentang keberadaan data yang telah tersedia.

• Kesulitan dalam meng-integrasikan data karena belum ada suatu standarisasi

data, terutama untuk skala, sistem pemetaan/koordinat, dan format

penyimpanan datanya.

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut maka diperlukan suatu upaya

bersama untuk membangun Infrastruktur Data Spasial (IDS). Tujuan pembangunan

IDS adalah membangun sistem pengadaan data spasial yang memenuhi standar

(bersifat homogen/seragam) dan membangun sistem akses yang memberikan

kemudahan kepada para pengguna dengan konsep pertukaran data atau berbagi pakai

data.

Berkaitan dengan pembangunan IDS, pada tahun 2004, status pembangunan

Infrastruktur Data Spasial Daerah (IDSD) Propinsi Jawa Barat telah menghasilkan

rumusan Kelompok Data Dasar (KDD). Yang dimaksud KDD pada suatu IDS

(Sumarno, 2003) adalah:

1. data yang dibutuhkan oleh sebagian besar pengguna IDS

2. sebagai referensi untuk regristrasi kumpulan data tematik

3. terdiri dari beberapa klasifikasi item tematik

4. tiap-tiap tema dipelihara oleh institusi anggota IDS melalui aktivitas

kelembagaan yang sesuai

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sumarno (2003), telah diusulkan model

rumusan KDD yang kemudian digunakan dalam membangun KDD IDSD Propinsi

Jawa Barat. Selanjutnya berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dhani Gumelar

(2004), telah diidentifikasi ketersediaan data eksisting yang kemudian data tersebut

15

dikelompokkan dan dimasukkan dalam rumusan KDD. Identifikasi ketersediaan data

dilakukan adalah dengan mengumpulkan informasi jenis, nama, atribut, sumber, tipe

data, dan instansi yang memiliki data tersebut. Identifikasi dilakukan terhadap

beberapa kegiatan pemetaan (pengadaan data spasial) yang pernah dilakukan di

lingkungan Propinsi Jawa Barat dan informasi keberadaan data hanya dilakukan

terhadap data dengan format digital. Dengan ketersediaan data eksisting dalam

Rumusan KDD IDSD Propinsi Jawa Barat ini, telah dicoba melakukan penelusuran

keberadaan dan ketersediaan data spasial khususnya yang dibutuhkan untuk

identifikasi daerah rawan banjir.