bab ii perusahaan pembiayaan a. pengertian ... -...
TRANSCRIPT
BAB II
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
A. Pengertian Perusahaan Pembiayaan
Perusahaan merupakan badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang
perekonomian ( keuangan, industri, dan perdagangan), yang dilakukan secara
terus menerus atau teratur ( regelmatig ) terang-terangan ( openlijk ) , dan dengan
tujuan memperoleh keuntungan dan/ atau laba. 12
1. Sewa Guna Usaha;
Dalam Pasal 1 huruf (b) UU Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan dijelaskan bahwa perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang
menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang
didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia, untuk
tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.
Sedangkan, pengertian dari Perusahaan Pembiayaan diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan, dalam pasal 1 huruf ( b) dikatakan bahwa Perusahaan Pembiayaan
adalah badan usaha di luar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang
khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha
Lembaga Pembiayaan.
Perusahaan Pembiayaan merupakan badan usaha yang melaksanakan
kegiatan usaha dari lembaga pembiayaan. Selain Perusahaan Pembiayaan, bank
dan lembaga keuangan bukan bank juga meruapakan badan hukum yang
melaksanakan aktivitas dari lembaga pembiayaan yaitu :
2. Modal Ventura; 3. Perdagangan Surat Berharga; 4. Anjak Piutang; 5. Usaha Kartu Kredit; 6. Pembiayaan Konsumen.
12 Abdul R Saliman, SH, MM, dkk, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori dan Contoh
Kasus), Kencana Renada Media Group, Jakarta 2005. Hal. 100.
Universitas Sumatera Utara
B. Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan.
Kegiatan Perusahaan Pembiayaan merupakan sebagian kegiatan yang
dilakukan oleh lembaga pembiayaan. Dalam pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, disebutkan bahwa
bentuk kegiatan usaha dari Perusahaan Pembiayaan antara lain :
1. Sewa Guna Usaha;
2. Anjak Piutang;
3. Usaha Kartu Kredit; dan/atau
4. Pembiayaan Konsumen.
Ad.1 Sewa Guna Usaha.
Sewa Guna Usaha (Leasing) merupakan kegiatan pembiayaan dalam
bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi
(Finance lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease)
untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu
berdasarkan pembayaran secara angsuran.
Kegiatan Sewa Guna Usaha dilakukan dalam bentuk pengadaan barang
modal bagi Penyewa Guna Usaha, baik dengan maupun tanpa hak opsi untuk
membeli barang tersebut. Pengadaan barang modal dapat juga dilakukan dengan
cara membeli barang Penyewa Guna Usaha yang kemudian disewagunausahakan
kembali.
Sepanjang perjanjian Sewa Guna Usaha (Leasing) masih berlaku, hak
milik atas barang modal objek transaksi Sewa Guna Usaha berada pada
Perusahaan Pembiayaan.
Ad. 2 Anjak Piutang
Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk
pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan
atas piutang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pasl 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006
tentang Perusahaan Pembiayaan, dijelaskan bahwa kegiatan anjak piutang
dilakukan dalam bentuk piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut
pengurusan atas piutang tersebut.
Kegiatan anjak piutang tersebut, dapat dilakukan dalam bentuk anjak
piutang tanpa jaminan dari penjual piutang (Without Recourse) dan anjak piutang
dengan jaminan dari penjual piutang (With Recourse).
Anjak piutang tanpa jaminan dari penjual piutang (Without recourse)
adalah kegiatan anjak piutang dimana Perusahaan Pembiayaan menanggung
seluruh resiko tidak tertagihnya Piutang. Sedangkan anjak piutang dengan
jaminan dari penjual piutang (With recourse) adalah kegiatan anjak piutang
dimana penjual piutang menanggung resiko tidak tertagihnya sebagian atau
seluruh piutang yang dijual kepada Perusahaan Pembiayaan.
Ad. 3 Usaha Kartu Kredit
Usaha Kartu Kredit (Credit Card) adalah kegiatan pembiayaan untuk
pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu kredit. Kegiatan
usaha kartu kredit dilakukan dalam bentuk penerbitan kartu kredit yang dapat
dimanfaatkan oleh pemegangnya untuk pembelian barang dan/atau jasa.
Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha kartu kredit,
sepanjang berkaitan dengan sistem pembayaran wajib mengikuti ketentuan Bank
Indonesia.
Ad. 4 Pembiayaan Konsumen
Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah kegiatan pembiayaan
untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran
secara angsuran. Kegiatan Pembiayaan Konsumen dilakukan dalam bentuk
penyediaan dana untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen
dengan pembayaran secara angsuran.
Kebutuhan konsumen yang dimaksud meliputi antara lain :
Universitas Sumatera Utara
a. Pembiayaan kendaraan bermotor;
b. Pembiayaan alat-alat rumah tangga;
c. Pembiayaan barang-barang elektronik;
d. Pembiayaan perumahan.
C. Tata Cara Pendirian Perusahaan Pembiayaan.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang
Perusahaan Pembiayaan pada pasal 1, dijelaskan bahwa Perusahaan Pembiayaan
didirikan dalam bentuk badan hukum Perseroan Terbatas atau Koperasi.
Perusahaan Pembiayaan dapat didirikan oleh:
1. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau
2. Badan usaha asing dan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia (usaha patungan).
Setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
diatas, wajib terlebih dahulu memperoleh Izin Usaha sebagai Perusahaan
Pembiayaan dari Menteri, dimana Perusahaan Pembiayaan tersebut harus
mencantumkan dalam anggaran dasarnya kegiatan pembiayaan yang dilakukan
secara jelas.
Adapun hal-hal yang perlu dilampirkan didalam format yang diajukan
kepada Menteri untuk mendapatkan Izin Usaha untuk melakukan kegiatan usaha
adalah sebagai berikut :
1. Akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar yang telah disahkan
oleh instansi berwenang, yang sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama dan tempat kedudukan;
b. Kegiatan usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan;
c. Permodalan;
d. Kepemilikan;
e. Wewenang, tanggung jawab, masa jabatan direksi dan dewan komisaris
atau pengurus dan pengawas;
Universitas Sumatera Utara
2. Data direksi dan dewan komisaris atau pengurus dan pengawas meliputi:
a. Fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP)
atau paspor;
b. Daftar riwayat hidup;
c. Surat pernyataan:
1) Tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet di sektor perbankan;
2) Tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sector perbankan;
3) Tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
4) Tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap;
5) Tidak merangkap jabatan pada Perusahaan Pembiayaan lain bagi
Direksi;
6) Tidak merangkap jabatan lebih dari 3 (tiga) Perusahaan Pembiayaan
lain bagi Komisaris;
d. Bukti berpengalaman operasional di bidang Perusahaan Pembiayaan atau
perbankan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun bagi salah satu
direksi atau pengurus;
e. Fotokopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS) dan fotokopi surat izin
bekerja dari instansi berwenang bagi direksi atau pengurus
berkewarganegaraan asing;
3. Data pemegang saham atau anggota dalam hal:
a. Perorangan, wajib dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud
dalam huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3 serta surat pernyataan bahwa
setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan kegiatan pencucian uang
(money laundering);
b. Badan hukum, wajib dilampiri dengan:
1. Akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar berikut
perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari instansi
berwenang termasuk bagi badan usaha asing sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di negara asal;
Universitas Sumatera Utara
2. Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan laporan
keuangan terakhir;
3. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1, angka 2, dan
angka 3 bagi pemegang saham dan direksi atau pengurus;
4. Sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia;
5. Fotokopi bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk deposito berjangka pada
salah satu bank umum di Indonesia dan dilegalisasi oleh bank penerima
setoran yang masih berlaku selama dalam proses pengajuan izin usaha;
6. Rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. Rencana pembiayaan dan langkah-langkah yang dilakukan untuk
mewujudkan rencana dimaksud;
b. Proyeksi arus kas, neraca dan perhitungan laba/rugi bulanan dimulai sejak
Perusahaan Pembiayaan melakukan kegiatan operasional;
7. Bukti kesiapan operasional antara lain berupa:
a. Daftar aktiva tetap dan inventaris;
b. Bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa-menyewa gedung
kantor; contoh perjanjian pembiayaan yang akan digunakan; dan
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
8. Perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia bagi
perusahaan patungan;
9. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (P4MN).
Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh Izin Usaha wajib
melakukan kegiatan usaha selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung
sejak tanggal Izin Usaha ditetapkan, yang mana laporan atas pelaksanaan kegiatan
tersebut disampaikan kepada Menteri selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak
tanggal dimulainya kegiatan usaha tersebut. Apabila setelah jangka waktu yang
telah ditentukan, Perusahaan Pembiayaan tidak melakukan kegiatan usaha,
Menteri mencabut Izin Usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
D. Kepemilikan dan Kepengurusan Perusahaan Pembiayaan
1. Kepemilikan Perusahaan Pembiayaan.
Perusahaan Pembiayaan, dapat didirikan oleh badan hukum ataupun
koperasi. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan badan usaha asing untuk
menanamkan sahamnya di suatu Perusahaan Pembiayaan. Dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan
dijelaskan bahwa badan usaha asing, dapat memiliki saham dalam suatu
Perusahaan Pembiayaan setinggi-tingginya adalah 85% (delapan puluh lima
perseratus) dari modal disetor.
Sedangkan bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum, jumlah
penyertaan modal pada Perusahaan Pembiayaan ditetapkan setinggi-tingginya
sebesar 50 % (lima puluh perseratus) dari modal sendiri. Modal sendiri yang
dimaksud disini adalah penjumlahan dari modal disetor, agio saham, cadangan
dan saldo laba/rugi dari Perusahaan Pembiayaan tersebut. Sementara untuk
Perusahaan Pembiayaan yang pemegang sahamnya berbentuk badan hukum
koperasi, modal sendiri yang dimaksud terdiri dari penjumlahan dari simpanan
pokok, simpanan wajib, dana cadangan, dan hibah. Dan yang pemegang
sahamnya berbentuk badan hukum yayasan, modal sendiri yang dimaksud terdiri
dari aktiva bersih terikat secara permanen, aktiva bersih terikat secara temporer,
dan aktiva bersih tidak terikat.
2. Kepengurusan Perusahaan Pembiayaan.
Pengurus suatu perusahaan pembiayaaan terdiri dari :
a. Direksi;
b. Komisaris;
c. Kepala cabang.
Setiap pengurus dari suatu Perusahaan Pembiayaan ( direksi, komisaris,
dan kepala cabang ) sekurang-kurangnya memiliki persayaratan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a. Tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet di sektor perbankan;
b. Tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sector perbankan;
c. Tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
d. Setoran modal pemegang saham tidak berasal dari pinjaman dan kegiatan
pencucian uang (money laundering);
e. Salah satu direksi atau pengurus harus berpengalaman operasional di
bidang Perusahaan Pembiayaan atau perbankan sekurang-kurangnya 2
(dua) tahun; dan
f. Tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan
keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Direksi Perusahaan Pembiayaan wajib menetap di Indonesia dan dilarang
melakukan perangkapan jabatan sebagai Direksi pada Perusahaan Pembiayaan
lain, namun diperkenankan merangkap jabatan sebagai komisaris pada 1 (satu)
Perusahaan Pembiayaan lain. Sedangakan Komisaris Perusahaan Pembiayaan,
diperkenankan merangkap jabatan menjadi komisaris sebanyak-banyaknya pada 3
(tiga) Perusahaan Pembiayaan.
E. Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Perusahaan Pembiayaan.
Suatu perusahaan pembiayaaan dimungkinkan untuk melakukan Merger,
Konsolidasi ataupun Akuisisi apabila dianggap perlu. Dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan dikatakan
bahwa Merger, Konsolidasi, ataupun Akuisisi dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Merger adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan Pembiayaan atau
lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu Perusahaan
Pembiayaan dan membubarkan Perusahaan Pembiayaan lainnya dengan atau
tanpa likuidasi.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan Konsolidasi adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan
Pembiayaan atau lebih, dengan cara mendirikan Perusahaan Pembiayaan baru dan
membubarkan Perusahaan-Perusahaan Pembiayaan tersebut dengan atau tanpa
likuidasi.
Dan yang dimaksud dengan Akuisisi adalah pengambilalihan baik seluruh
maupun sebagian besar saham Perusahaan Pembiayaan yang dapat mengakibatkan
beralihnya pengendalian terhadap Perusahaan Pembiayaan.
Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi wajib dilaporkan kepada Menteri
selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah Merger, Akuisisi, dan
Konsolidasi dilakukan. Dalam pasl 21 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan dikatakan bahwa
laporan tersebut harus dilengkapi dengan :
a. Risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota;
b. Perubahan anggaran dasar yang telah disahkan atau dilaporkan kepada
instansi berwenang dan didaftarkan dalam Daftar Perusahaan;
c. Akta Merger atau akta Konsolidasi;
d. Data pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris atau anggota,
pengurus, dan pengawas;
e. Status kantor Perusahaan Pembiayaan yang menggabungkan diri atau
Konsolidasi.
Apabila laporan tersebut telah diterima oleh Menteri, maka menteri dapat
mencabut Izin Usaha yang telah ditetapkan dan menetapkan status kantor pusat
dan Kantor Cabang dari Perusahaan Pembiayaan yang menggabungkan diri atau
memberi izin usaha kepada Perusahaan Pembiayaan hasil Konsolidasi serta
mencatat perubahan pemegang saham. Izin usaha baru yang diperoleh oleh
Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Konsolidasi berlaku sejak Konsolidasi
disetujui oleh instansi yang berwenang. Dan sebelum izin usaha tersebut
diberikan, Perusahaan Pembiayaan hasil dari Konsolidasi tersebut telah dapat
menjalankan kegiatan usahanya.
Universitas Sumatera Utara
F. Pengertian dan Sejarah Berkembangnya Leasing di Indonesia
Sewa Guna Usaha adalah istilah yang dipakai dalam peraturan tentang
Lembaga Pembiayaan sebagai terjemahan dari istilah bahasa Inggris Leasing dari
kata dasar Lease, yang artinya sewa menyewa. Kemudian, dalam dunia bisnis
Leasing berkembang sebagai bentuk sewa-menyewa, yaitu dalam bentuk
pembiyaan perusahaan berupa penyedia barang modal yang digunakan untuk
menjalankan usahanya dengan mebayar sewa selama jangka waktu tertentu.13
Berdasarkan defenisi tersebut konsep Leasing sebagai bentuk sewa-
menyewa yang disebut Sewa Guna Usaha sudah lebih terarah dan jelas. Hal ini
dinyatakan oleh unsur-unsur berikut :
Untuk mengetahui Leasing sebagai Sewa Guna Usaha, yaitu suatu bentuk
dari sewa-menyewa, perlu ditelaah ketentuan yang terdapat dalam Peraturan
Perizinan Usaha Leasing. Menurut Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan,
Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor :
Kep-122MK/IV/2/1974, Nomor : 32/M/SK/2/1974, Nomor : 30/Kpb/I/74,
teertanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing dalam Pasal 1,
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Leasing adalah setiap kegiatan
pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang modal untuk digunakan
oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan
pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (opsi) bagi perusahaan
tersebut untuk membeli barang modal yang bersangkutan, atau memperpanjang
jangka waktu Leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.
14
1. Pembiayaan Perusahaan.
Pembiayaan tidak dalam bentuk dana, melainkan dalam bentuk barang
modal yang digunakan untuk kegiatan usaha bisnis.
2. Penyediaan barang modal
Dalam hal ini, biasanya disediakan oleh Supplier atas biaya Lessor untuk
digunakan oleh Lessee bagi keperluan bisnis.
13 Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum: Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal.201.
14 Ibid. hal.202.
Universitas Sumatera Utara
3. Digunakan oleh suatu perusahaan.
Barang modal tersebut merupakan bentuk pembiayaan suatu perusahaan
dalam menjalankan usahanya.
4. Pembayaran sewa secara berkala.
Yaitu merupakan kewajiban Lessee membayar angsuran harga barang
modal kepada Lessor yang sudah melunasinya kepada Supplier.
5. Jangka waktu tertentu.
Yaitu berapa tahun Sewa Guna Usaha dilakukan, dan setelah jangka waktu
berakhir, ditentukan status kepemilikan barang modal tersebut.
6. Hak opsi untuk membeli barang modal.
Pada saat kontrak berakhir, Lessee diberi hak opsi untuk membeli barang
modal tersebut sesuai dengan harga yang disepakati, atau
mengembalikannya kepada Lessor.
Menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam
bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi
(Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease)
untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha ( Lessee) selama jangka waktu
tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.
Berdasarkan defenisi tersebut, terdapat hal-hal penting yang perlu digaris
bawahi di dalam transaksi Sewa Guna Usaha, yaitu :15
1. Transaksi Sewa Guna Usaha dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Sewa
Guna Usaha dengan hak opsi ( Finance Lease) dan Sewa Guna Usaha
tanpa hak opsi (Operating Lease). Selain itu, kegiatan Sewa Guna Usaha
dapat juga dilakukan dengan cara membeli barang modal milik penyewa
guna usaha yang kemudian disewagunausahakan kembali ( Sale and Lease
back);
2. Objek pembiayaan Sewa Guna Usaha harus berbentuk barang modal;
15 Budi Rahmat, op.cit, hal. 58.
Universitas Sumatera Utara
3. Pembayaran Sewa Guna Usaha dapat dilakukan secara bulanan, dua
bulanan, tiga bulanan, berdasarkan kesepakatan antara Lessor dan Lessee;
4. Transaksi Sewa Guna Usaha mensyaratkan dibuat dalam jangka waktu
tertentu.
Eksistensi Leasing di Indonesia baru terjadi di awal dasawarsa tahun 1970-
an, dan perkembangan sejarah bisnis Leasing di Indonesia sangat terkait secara
erat dengan kebijaksanaan pemerintah.
Perkembangan Leasing dalam sejarah di Indonesia tersebut dapat
diklasifikasikan ke dalam (3) tiga fase, sebagai berikut :16
1. Fase Pengenalan
Yaitu merupakan fase pertama dari bisnis Leasing di Indonesia, yang
terjadi antara tahun 1974 sampai dengan tahun 1983. Fase pertama ini
dimulai dengan keluarnya beberapa peraturan pada tahun 1974, yang
khusus mengatur tentang hukum Leasing tersebut. Dalam fase ini, Leasing
belum begitu dikenal dalam masyarakat, dan perkembangannya tidak
begitu pesat. Konsekuensinya, jumlah perusahaan Leasing pada waktu itu
belum seberapa dan jumlah transaksinya juga masih relatif kecil.
2. Fase pengembangan
Yaitu merupakan fase kedua, yang terjadi antara tahun 1984 sampai
dengan tahun 1990. Dalam fase ini, bisnis Leasing cukup pesat
perkembangannya, hal ini bersamaan dengan pesatnya pertumbuhan bisnis
di Indonesia. Dimana perkembangan perusahaan dan jumlah besarnya
kontrak Leasing mengalami peningkatan. Pada fase kedua ini, beberapa
segi operasionalisasi Leasing telah berubah, misalnya dalam hal metode
perhitungan penyusutan aset untuk kepentingan perpajakan. Hal ini
merupakan akibat berlakunya Undang-Undang Pajak tahun 1984,
16 Munir Fuadi, Hukum Tentang Pembiayaan (dalam teori dan praktek), PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2006,hal. 14
Universitas Sumatera Utara
sementara itu sistem peloporan pajak dalam periode ini masih
menggunakan Operating method seperti fase sebelumnya.
3. Fase Konsolidasi
Yaitu merupakan fase ketiga, merupakan fase Konsolidasi dari fase
perkembangan Leasing di Indonesia, yang terjadi sejak tahun 1991 sampai
sekarang. Pada periode ini, izin-izin pendirian perusahaan Leasing yang
sebelumnya agak diperketat, kemudian dibuka kembali. Perusahaan Multi
Finance juga didirikan pada periode ini. Salah satu perubahan yang terjadi
pada fase ini adalah diubahnya sistem perpajakan, dari semula dengan
Operating method berubah menjadi Financial method. Perubahan sistem
perhitungan pajak ini mulai berlaku sejak 19 Januari 1991, berdasarkan
ketentuan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor
1169/KMK.01/1991.
Sungguhpun perkembangan bisnis Leasing sudah mulai terasa di
Indonesia, banyak pihak yang mengatakan bahwa perkembangannya masih jauh
dari yang diharapkan. Hal ini antara lain disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut,
yaitu :17
1. Karena bisnis Leasing masih terbilang relatif baru;
2. Kurangnya promosi dan lemahnya aturan hukum;
3. Masyarakat masih lebih terfokus pada barang-barang primer, dan belum
terhadap barang-barang lainnya;
4. Ada anggapan sementara pihak, bahwa beban yang dipikul oleh para pihak
lebih besar dibandingkan dengan fasilitas perbankan;
5. Untuk Leasing barang-barang tertentu dibutuhkan jaminan, sehingga orang
cenderung memilih sistem perbankan.
17 Ibid, hal.16.
Universitas Sumatera Utara
G. Dasar Hukum Leasing dan Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Leasing
1.Dasar Hukum Leasing
Pranata hukum Sewa Guna Usaha (Leasing) baru mulai diatur secara
khusus untuk pertama kalinya dalam perundang-undangan Negara Republik
Indonesia pada tahun 1974. Beberapa peraturan di tahun 1974 tersebut merupakan
tonggak sejarah perkembangan hukum Leasing di Indonesia, peraturan-peraturan
tersebut adalah :18
a. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan Menteri Perindustrian dan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : Kep-
122MK/IV/2/1974, Nomor : 32/M/SK/2/1974, Nomor : 30/Kpb/I/74,
tertanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing;
b. Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
Kep.649/MK/IV/5/1974, tanggal 6 Mei 1974 tentang Perizinan Usaha
Leasing;
c. Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
Kep.650/MK/IV/5/1974, tanggal 6 Mei 1974 tentang Penegasan Ketentuan
Pajak Penjualan dan Beasrnya Bea Materai Terhadap Usaha Leasing;
d. Pengumuman Direktur Jenderal Moneter Nomor : Peng-
307/DJM/III.1/7/1974, tanggal 8 Juli 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan
Peraturan Leasing;
e. Surat Edaran Direktur Jenderal Moneter dalam Negeri no : SE-
499/MD/1984 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penyampaian Laporan
Perusahaan Leasing;
f. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia no. 448/KMK.017/2000
tentang Perusahaan Pembiayaan;
g. Surat Edaran Direktur Jenderal Moneter dalam Negeri no: SE-
4835/MD/1983 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pendirian Kantor
Cabang dan Kantor Perwakilan Perusahaan Leasing;
18 Ibid, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
h. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 1169/KMK.01/1991
tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing);
i. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 834/KMK.013/1990
tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa
Guna Usaha (Perusahaan Leasing).
Leasing sebagai salah satu bentuk kegiatan ekonomi di bidang bisnis
pembiayaan bersumber dari berbagai ketentuan hukum, baik perjanjian maupun
perundang-undangan. Perjanjian adalah sumber utama hukum Sewa Guna Usaha
(Leasing) dari segi perdata, sedangkan perundang-undangan adalah sumber utama
hukum Sewa Guna Usaha (Leasing) dari segi publik.19
1. Segi Hukum Perdata
Dengan demikian dasar hukum Leasing dapat dilihat dari 2 (dua) segi,
yaitu dari segi perdata dan dari segi publik.
Pada setiap kegiatan usaha pembiayaan, termasuk juga Leasing, inisiatif
mengadakan hubungan kontraktual berasal dari pihak pihak-pihak yang
berkepentingan, terutama Lessee. Dengan demikian, kehendak pihak-pihak
tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis berupa rumusan perjanjian yang
menetapkan kewajiban dan hak masing-masing pihak dalam hubungan hukum
Leasing. Dalam perundang-undangan juga diatur mengenai kewajiban dan hak
pihak-pihak dan hanya akan berlaku sepanjang pihak-pihak tidak menentukan lain
secara khusus dalam perjanjian yang dibuat. Dengan demikian, ada 2 (dua)
sumber hukum perdata yang mendasari Leasing, yaitu asas kebebasan berkontrak
dan undang-undang bidang hukum perdata.
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Dalam perjanjian Leasing, perjanjian selalu dibuat tertulis sebagai
dokumen hukum yang menjadi dasar kepastian hukum (legal certainly).
Perjanjian Leasing dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak, memuat
rumusan kehendak berupa hak dan kewajiban Lessor sebagai Perusahaan
19 Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, op. cit, hal. 214.
Universitas Sumatera Utara
Pembiayaan ( Finance Company) dan Lessee sebagai perusahaan atau perorangan
yang dibiayai. Perjanjian Leasing dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-
Undang bagi para pihak (Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata).
b. Undang-Undang Bidang Hukum Perdata
1). Perajanjian Sewa-Menyewa
Perjanjian Leasing tergolong ke dalam perjanjian sewa-menyewa karena
objeknya adalah barang khusus berupa barang modal, yang juga termasuk menjadi
objek sewa-menyewa.
Selain itu, kedua belah pihak juga berstatus khusus sebagai Perusahaan
Pembiayaan (Lessor) dan perusahaan pengguna barang modal (Lessee), yang juga
termasuk dalam pengertian pihak yang menyewakan dan pihak penyewa.
Mengenai perjanjian sewa-menyewa ada diatur dalam Pasal 1548 sampai
dengan Pasal 1580 Kitab Undang-Undang hukum Perdata, dengan demikan
ketentuan pasal-pasal tersebut juga berlaku dalam perjanjian Leasing, kecuali jika
dalam perjanjian diatur secara khusus menyimpang dari peraturan tersebut.
2). Segi Perdata di Luar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Ada juga ketentuan-ketentuan dalam berbagai Undang-Undang di luar
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatur aspek perdata Leasing.
Undang-Undang yang dimaksud adalah sebagai berikut :20
a) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Berlakunya Undang-Undang ini apabila perusahaan Leasing hukum
berbentuk koperasi, sehingga di dalam pendirian dan kegiatan juga
harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
tersebut.
20 Sunaryo, op.cit, hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
b) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila
perusahaan Leasing berbentuk hukum Perseroan Terbatas (PT).
c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Agraria, dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-
Undang ini apabila Leasing mengadakan perjanjian meneganai hak-
hak atas tanah serta pendaftarannya.
d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-
Undang ini apabila Lessor melakukan pelanggaran kewajiban dan
larangan Undang-Undang yang secara perdata merugikan konsumen
(Lessee).
2. Segi Hukum Publik.
Sebagai usaha yang berkiprah di bidang jasa pembiayaan, Leasing banyak
menyangkut kepentingan publik, terutama yang bersifat administratif. Oleh karena
itu, Leasing banyak diatur dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan
Administrasi Negara.
a. Undang-Undang Bidang Hukum Publik
Berbagai Undang-Undang bidang Administrasi Negara yang menjadi
sumber utama Leasing adalah sebagi berikut :21
1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan,
dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila
Leasing berurusan dengan pendaftaran, pendaftaran ulang, dan pendaftaran
likuidasi perusahaan.
2) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, dan peraturan pelaksanaannya.
Berlakunya Undang-Undang ini apabila Leasing berhubungan dengan
bank.
21 Ibid, hal.51.
Universitas Sumatera Utara
3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang telah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 yang telah diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1991 yang telah diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak
Pertambahan Nilai, serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Berlakunya
Undang-Undang ini karena Leasing membayar Pajak Bumi dan Bangunan,
Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan jenis pajak lainnya.
4) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, dan
peraturan pelaksanaanya. Berlakunya Undang-Undang ini karena Leasing
wajib melakukan pembukuan perusahaan dan pemeliharaan dokumen
perusahaan.
5) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
dan peraturan pelaksanaanya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila
Lessor melakukan pelanggaran kewajiban dan larangan Undang-Undang
yang secara perdata merugikan konsumen (Lessee).
b. Peraturan tentang Lembaga Pembiayaan
Pertaturan tentang Lembaga Pembiayaan mengatur Sewa Guna Usaha
antara lain adalah :
1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang
Perusahaan Pembiayaan. Yang diantaranya memuat tentang kegiatan
usaha Perusahaan Pembiayaan (pasal 2 – pasal 6), tata cara pendirian
(pasal 7 – pasal 13), kepemilikan dan kepengurusan (pasal 14-pasal 20),
Merger, Konsolidasi dan Akuisisi (pasal 21), sanksi (pasal 44).
2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank. Yang
diantaranya memuat tentang prinsip mengenal nasabah (pasal 2- pasal 12),
pelaksanaan dan fasilitas pendukung (pasal 13-pasal 16), sanksi (pasal 18).
Universitas Sumatera Utara
2. Pihak-pihak dalam Perjanjian Leasing
Dalam setiap transaksi Leasing selalu melibatkan 3 (tiga) pihak utama,
yaitu:22
a. Pihak Lessor
Pihak Lessor adalah perusahaan Leasing yang memiliki hak kepemilikan
atas barang modal. Perusahaan Leasing menyediakan dana kepada pihak yang
membutuhkan.
Dalam usaha pengadaan barang modal, biasanya perusahaan Leasing
berhubungan langsung dengan pihak penjual (Supplier), dan telah melunasi
barang modal tersebut.
Lessor bertujuan untuk mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan
untuk membiayai penyediaan barang modal dengan memperoleh keuntungan, atau
memperoleh keuntungan dari penyediaan barang modal dan pemberian jasa
pemeliharaan serta pengoperasian barang modal.
b. Pihak Lessee
Pihak Lessee adalah perusahaan atau pengguna barang modal yang dapat
memiliki hak opsi pada akhir kontrak Leasing. Lessee yang memerlukan barang
modal berhubungan langsung dengan Lessor, yang telah membiayai barang modal
dan berstatus sebagai pemilik barang modal tersebut. Barang modal yang dibiayai
oleh Lessor tersebut kemudian diserahkan penguasaannya kepada dan untuk
digunakan oleh Lessee dalam menjalankan usahanya. Pada akhir kontrak Leasing,
Lessee mengembalikan barang modal tersebut kepada Lessor, kecuali jika ada hak
opsi untuk membeli barang modal dengan harga berdasarkan nilai sisa.
c. Pihak Supplier
22 Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, op. cit, hal.203
Universitas Sumatera Utara
c. Pihak Supplier
Pihak Supplier adalah penjual barang modal yang menjadi objek Leasing.
Harga barang modal tersebut dibayar tunai oleh Lessor kepada Supplier untuk
kepentingan Lessee.
Pihak Supplier dapat berstatus perusahaan produsen barang modal atau
pihak penjual biasa. Ada juga jenis Leasing yang tidak melibatkan Supplier,
melainkan hubungan bilateral antara pihak Lessor dengan pihak Lessee, misalnya
dalam bentuk Sale and Lease back.
H. Jenis-Jenis Leasing
Pada prinsipnya ada dua macam jenis Leasing yaitu Leasing yang
berbentuk Operating dan Leasing yang berbentuk Finance.23
Financial Leasing mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
Namun demikian,
terdapat juga berbagi bentuk lainnya yang lebih merupakan derifatif dari kedua
bentuk pokok tersebut
1.Financial Lease (Hak Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi)
Financial Lease sering disebut dengan Capital Lease atau Full-Payout
Lease. Financial Lease merupakan suatu corak Leasing yang paling sering
digunakan.
Dalam jenis ini, Lessor adalah pihak yang membiayai penyediaan barang
modal. Lessee biasanya memilih barang modal yang dibutuhkan dan atas nama
Lessor, sebagi pemilik barang modal tersebut, melakukan pemesanan,
pemeriksaan serta pemeliharaan barang modal yang menjadi objek transaksi
Leasing.
24
23 Munar Fuadi, op. cit, hal.16. 24 Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, op. cit, hal.205.
Universitas Sumatera Utara
a. Objek Sewa Guna Usaha (Leasing) dapat berupa barang bergerak dan
tidak bergerak, yang berumur maksimum sama dengan masa kegunaan
ekonomis barang tersebut.
b. Besarnya harga sewa ditambah hak opsi harus menutup harga barang
ditambah keuntungan yang diharapkan oleh Lessor.
c. Jumlah sewa yang dibayar secara angsuran per bulan terdiri dari biaya
perolehan barang ditambah dengan biaya lain dan keuntungan yang
diinginkan Lessor.
d. Jangka waktu berlakunya kontrak relatif lebih panjang, dan resiko biaya
pemeliharaan dan biaya lain (kerusakan, pajak, asuransi) atas barang
modal ditanggung oleh Lessee.
e. Pada akhir masa kontrak, Lessee diberi hak opsi untuk membeli barang
modal sesuai nilai sisa, atau mengembalikannya kepada Lessor, atau
perpanjangan masa kontrak dengan pembayaran yang lebih rendah dari
sebelumnya.
f. Selama jangka waktu kontrak, Lessor tidak boleh secara sepihak
mengakhiri kontrak Sewa Guna Usaha (Leasing) atau mengakhiri
pemakaian barang modal tersebut.
2. Operating Lease (Sewa Guna Usaha tanpa Hak Opsi)
Operating Lease disebut juga Service Lease. Dalam jenis ini, Lessor
membeli barang modal dan selanjutnya disewagunausahakan kepada Lessee.
Berbeda dengan Finance Lease, jumlah seluruh pembayaran Leasing berkala
dalam Operating Lease tidak mencakup jumlah biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh barang modal tersebut berikut dengan bunganya. Perbedaan ini
disebabkan karena Lessor mengharapkan keuntungan justru dari penjualan barang
modal yang disewagunausahakan, atau melalui beberapa kontrak Sewa Guna
Usaha lainnya.
Dalam Leasing jenis ini, dibutuhkan keahlian khusus dari Lessor untuk
memelihara dan memasarkan kembali barang modal yang sudah
disewagunausahakan kembali.
Universitas Sumatera Utara
Ciri-ciri dari Operating Lease adalah sebagai berikut :25
a. Jangka waktu kontrak relatif lebih pendek dari umur ekonomis barang
modal. Atas dasar perhitungan tersebut, Lessor dapat memetik keuntungan
dari hasil penjualan setelah kontrak berakhir.
b. Barang modal yang menjadi objek Operating Lease, biasanya barang yang
mudah dijual.
c. Jumlah sewa secara berkala (angsuran) yang dibayar oleh Lessee kepada
Lessor lebih kecil daripada harga barang ditambah keuntungan yang
diharapakan Lessor (non full payout)
d. Segala resiko ekonomi (kerusakan, pajak, asuransi, pemeliharaan) atas
barang modal ditanggung oleh Lessor.
e. Kontrak Operating Lease dapat dibatalkan secara sepihak oleh Lessee
dengan mengembalikan barang modal kepada Lessor.
f. Setelah kontrak berakhir, Lessee wajib mengembalikan barang modal
tersebut kepada Lessor.
Bahwa selain kedua bentuk utama Leasing diatas, masih terdapat bentuk-
bentuknya dari Leasing, antara lain sebagai berikut :26
3. Sale and Lease Back ( Jual dan Sewa Kembali)
Dalam bentuk transaksi ini, Lessee membeli terlebih dahulu barang modal
atas namanya sendiri, kemudian barang modal tersebut dijual kepada Lessor dan
selanjutnya oleh Lessee disewa kembali dari Lessor untuk digunakan kembali bagi
keperluan usahanya daalam suatu bentuk kontrak Leasing. Biasanya bentuk Sale
and Lease Back ini mengambil bentuk Financial Lease.
Sale and Lease Back mirip dengan hutang-piutang uang dengan jaminan
barang, dan pembayaran barang tersebut dilakukan secara cicilan. Tujuan Lessee
mengunakan bentuk ini untuk memperoleh dana tambahan modal kerja, yang
tadinya ditanggulangi sendiri, lalu dialihkan melalui kontrak Leasing.
25 Ibid, hal.208. 26 Munar Fuady, op.cit, hal.17.
Universitas Sumatera Utara
Bentuk ini banyak digunakan di Indonesia akibat masalah kesulitan impor
barang modal terutama mengenai perizinan, bea masuk, pajak impor, yang banyak
memakan biaya.
4. Direct Finance Lease (Sewa Guna Usaha Langsung)
Dalam bentuk transaksi ini, Lessor membeli barang modal dan sekaligus
menyewakannya kepada Lessee. Pembelian tersebut dilakukan atas permintaan
Lessee dan Lessee pula yang menentukan spesifikasi barang modal, harga dan
Suppliernya.
Dengan kata lain, Lessee berhubungan langsung dengan Supplier dan
Lessor membiayai kebutuhan barang modal tersebut untuk kepentingan Lessee.
Penyerahan barang langsung kepada Lessee tidak melalui Lessor, tetapi
pembayaran harga secara angsuran langsung dilakukan kepada Lessor.
Jadi, tujuan Lessee adalah memperoleh barang modal untuk
perusahaannya dengan pembiayaan secara Leasing dari Lessor.
5. Syndicated Lease (Sewa Guna Usaha Sindikasi)
Dalam bentuk transaksi, seorang Lessor tidak sanggup membiayai sendiri
keperluanbarang modal yang dibutuhkan Lessee karena alasan tidak memiliki
kemampuan pendanaan.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka beberapa Leasing Companies
mengadakan kerja sama membiayai barang modal yang dibutuhkan Lessee. Dalam
pelaksanaanya, salah satu Leasing Company bertindak sebagai Coordinator of
Laesing Companies untuk menghadapi Lessee dan juga pihak Supplier.
6. Leveraged Lease
Leveraged Lease merupakan suatu jenis Financial Lease, dengan mana
pihak yang memberikan pembiayaan di samping Lessor juga pihak ketiga.
Universitas Sumatera Utara
Biasanya Leveraged Lease ini dilakukan terhadap barang-barang yang
mempunyai nilai tinggi, dimana pihak Lessor hanya membiayai antara 20%
sampai dengan 40% dari pembelian barang, sedangkan selebihnya akan dibiayai
oleh pihak ketiga, yang merupakan hasil pinjaman Lessor dari pihak ketiga
tersebut dengan memakai kontrak Leasing yang bersangkutan sebagai jaminan
hutangnya. Pihak ketiga ini sering disebut dengan Credit Provider atau Debt
Participant. Biasanya dengan Leveraged Lease ini terdapat juga seorang yang
disebut manager. Yakni pihak yang melaksanakan tender kepada Lessee, dan
mengatur hubungan dan negoisasi antara Lessor, Lessee dan Debt Participant.
7. Cross Border Lease
Cross Border Lease merupakan Leasing dengan mana pihak Lessor dan
pihak Lessee berada dalam dua negara yang berbeda.
8. Net Lease
Ini merupakan bentuk Financial Leasing, dimana Lessee yang
menanggung resiko dan bertanggungjawab atas pemeliharaan barang dan
membayar pajak dan asuransinya.
9. Net-net Lease
Ini juga merupakan bentuk Financial Leasing, dimana Lessee tidak hanya
menanggung resiko dan bertanggungjawab atas pemeliharaan barang dan
membayar pajak saja, bahkan Lessee harus juga mengembalikan barang kepada
Lessor dalam kondisi dan nilai seperti pada saat mulainya perjanjian Leasing.
Sering juga dipakai istilah Non-Maintenance Lease baik untuk Net Lease maupun
untuk Net-net Lease.
10. Full service Lease
Full service Lease disebut juga dengan Rental Lease atau Gross Lease.
Maksudnya adalah Leasing dengan mana pihak Lessor bertanggungjawab atas
pemeliharaan barang, membayar asuransi dan pajak.
Universitas Sumatera Utara
11. Big Ticket Lease
Ini merupakan Leasing untuk barang-barang mahal, misalnya pesawat
terbang dan dengan jangka waktu yang relatif lama, misalnya 10 tahun.
12. Captive Leasing
Yang dimaksud dengan Captive Leasing adalah Leasing yang ditawarkan
oleh Lessor kepada langganan tertentu, yang telah terlebih dahulu ada
hubungannya dengan Lessor. Dalam hal ini, biasanya yang menjadi barang objek
Leasing adalah barang yang merupakan merek dari Lessor itu sendiri.
13. Third Party Leasing
Transaksi bentuk ini merupakan kebalikan dari Captive Leasing. Dalam
trnasaksi ini, pihak Lessor bebas menawarkan Leasing kepada siapa saja. Jadi,
Lessor tidak harus mempunyai hubungan terlebih dahulu dengan Lessee.
14. Wrap Lessee
Wrap Lease merupakan jenis Leasing, yang biasanya pihak Lessor tidak
mau mengambil resiko, sehingga jangka waktunya lebih singkat dari biasanya.
Tetapi tentunya ini akan memberatkan Lessee, karena ia akan membayar cicilan
yang besar.
Oleh karena itu, pihak Lessor biasanya melease kembali barang tersebut
kepada investor yang mau menanggung resiko, sehingga jangka waktu Leasing
bagi Lessee menjadi lebih panjang, sehingga cicilannya menjadi relatif kecil.
15. Straight Payable Lease, Seasonal Lease dan Return on Invescment Lease
Pembagian kepada tiga jenis Leasing ini adalah jika dipergunakan kriteria
“cara pembayaran” terhadap cicilan harga barang oleh Lessee kepada Lessor.
Yang dimaksud dengan Straight Payable Lease adalah Leasing yang
cicilannya dibayar Lessee kepada Lessor tiap bulannya dengan jumlah cicilan
yang selalu sama.
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu, yang dimaksud dengan Seasonal Lease adalah Leasing
yang metode pembayaran cicilannya oleh Lessee kepada Lessor dilakukan setiap
periode tertentu, miasalnya dibayar tiap tiga bulan sekali.
Sedangkan yang dimaksud dengan Return on Invescment Lease adalah
suatu jenis Leasing dimana pembayaran cicilan oleh Lessee kepada Lessor hanya
terhadap angsuran bunganya saja. Sementara hutang pokoknya baru dibayar setiap
akhir tahun dari keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan Lessee.
Universitas Sumatera Utara